Kalimah Ketujuh Belas

83. Page

KALIMAH KETUJUH BELAS

Kalimah ini terdiri dari dua maqam yang tinggi dan satu tambahan yang bersinar.

 

Maqam Pertama

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِينَةً لَهَا لنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلاً وَاِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَٓا اِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ


Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapa diantaranya yang terbaik perbuatannya. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula)apa yang diatasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering. (Q.S., al-Kahfi:7-8)


Al-Khaaliqur Rahiim, ar-Razzaaqul Kariim dan as-Saani`ul Hakiim menjadikan dunia ini dalam bentuk perayaan dan perhiasan untuk alam roh dan makhluk-makhluk rohani. Dia menghiasinya dengan ukiran yang menakjubkan bagi nama-nama-Nya. Kemudian Dia memakaikan setiap roh yang besar atau kecil, yang mulia atau hina dengan tubuh yang telah dilengkapi dengan indra sesuai kegunaannya, berbagai kecantikan dan nikmat yang tidak terhitung banyaknya, memberikannya satu jasad jasmani dan menghantarnya ke pameran itu hanya untuk satu kali.

 

Bahkan Dia juga membagi-bahagikan perayaan yang sangat panjang waktunya dan luas tempatnya, Dia bagi waktu kepada abad, tahun, musim hatta kepada hari dan benua lalu dari satu benua sebagai satu perayaan agung yang berbentuk lintasan resmi untuk setiap golongan makhluk-Nya yang bernyawa dan masnuat-Nya (ciptaan) yang dari kalangan tumbuh-tumbuhan. Dia menjadikan, terutamanya muka bumi, khususnya pada musim bunga dan musim panas sebagai satu seri perayaan yang sangat meriah dan hebat buat golongan makhluk kecil sehingga kelihatan menarik dan bisa menarik perhatian makhluk rohani, para malaikat dan penghuni langit yang berada di peringkat yang tinggi. Perayaan itu menjadi tempat untuk renungan yang begitu indah bagi ahli tafakkur sehingga akal tidak berdaya untuk menggambarkannya.


Namun sebagai ganti kepada tajalli  (keterpujian) nama ar-Rahman dan al-Muhyi pada penjamuan Ilahi dan perayaan Rabbani ini, nama al-Qahhar dan al-Mumit muncul di hadapan mereka dengan perpisahan dan kematian. Secara lahiriah tidak sesuai dengan keluasan kesyumulan rahmat وَسِعَتْ رَحْمَتِى كُلَّ شَيْئٍ-Nya.

 

Namun, pada hakikatnya terdapat beberapa sudut kecocokannya dan salah satunya seperti berikut: Setelah setiap kumpulan makhluk menyelesaikan giliran lintas hormatnya dan setelah hasil yang diinginkan telah diperolehi darinya, dengan penuh belas kasihan as-Saani’ul Kariim dan al-Faatirur Rahiim menjadikan sebagian besar dari mereka merasa benci dan bosan 

84. Page

dengan dunia. Dia menganugerahkan kecenderungan untuk istirahat dan kerinduan untuk berhijrah ke alam yang lain. Ketika mereka dibebaskan dari tugas kehidupan, Dia membangkitkan dalam roh mereka suatu kecenderungan rindu yang membara untuk pulang ke negara asal mereka.


Bahkan, ia tidak jauh dari rahmat ar-Rahmaan yang tiada tepian itu, karena Dia memberikan gelaran syahid kepada seorang pejuang yang mati demi tugasnya dalam kerja mujahadahnya serta memberi ganjaran dengan cara mengurniakan tubuh jasmani yang baqa di akhirat kepada biri-biri yang disembelih sebagai qurban dan memberikan pangkat sebagai tunggangan seperti Buraq untuk tuannya di atas Sirat, demikian juga akan diberi ganjaran rohani dan upah maknawi berdasarkan amalan pribadi untuk semua makhluk bernyawa dan hewan lain yang mati dalam tugas fitrah Rabbani, dalam mentaati perintah Subhani yang khusus kepada mereka dan untuk makhluk bernyawa yang menderita menanggung kesusahan. Supaya sebelum mereka pergi dari dunia ini mereka tidak merasa sangat terluka bahkan merasa senang hati. لاَ يَعْلَمُ الْغَيْبَ اِلاَّ اللّٰهُ.


Tetapi manusia merupakan makhluk bernyawa yang paling mulia dan paling banyak mengambil bagian dari segi jumlah dan cara dalam perayaan-perayaan itu, walaupun sangat terpesona dan mendambakan dunia, sebagai akibat rahmat, Dia memberikan satu kebencian kepada dunia dan suatu keadaan rindu yang bergelora untuk pergi ke alam baqa’. Maka insan yang keinsanannya tidak tenggelam dalam kesesatan dapat mengambil bagian dari keadaan tersebut. Lalu dia pergi dengan hati yang tenang.


Sekarang, sebagai contoh, kami akan menerangkan lima wajah dari wajah-wajah yang menghasilkan keadaan itu:


Pertama: Dengan menunjukkan tanda kefanaan dan kelenyapan serta arti kepahitan melalui usia tua di atas benda-benda duniawi yang indah dan menarik, Dia menyebabkan insan itu terkejut dengan dunia lalu mencari kehendak yang baqa menggantikan yang fana itu.


Kedua: Disebabkan sembilan puluh sembilan persen dari semua kekasih yang telah dan berhubungan dengan manusia telah meninggalkan dunia ini dan menetap di alam lain, maka Dia mengurniakan suatu kerinduan ke tempat yang dituju oleh para kekasih itu melalui dorongan rasa cinta yang tulus. Panggilan-Nya yang indah menyebabkan insan menyambut ajal dan kematian dengan penuh kegembiraan.


Ketiga: Dengan menyadarkan manusia tentang kedaifan dan kelemahan yang tidak ada ujungnya melalui beberapa perkara dan dengan memahamkan betapa beratnya beban dan tanggungjawab kehidupan, Dia membangkitkan kehendak yang bersungguh-sungguh untuk beristirahat dan keinginan yang tulus untuk pergi ke dunia lain.


Keempat: Melalui cahaya keimanan, Dia menunjukkan kepada orang yang beriman bahwa kematian bukanlah hukuman mati, tetapi penukaran tempat. Kubur bukanlah mulut telaga yang gelap, tetapi pintu menuju alam-alam yang bercahaya. Dunia bersama-sama dengan kehebatannya hanyalah ibarat penjara jika dibandingkan dengan akhirat. Sudah tentu, keluar dari penjara dunia ini dan masuk ke taman-taman syurga, menyeberang ke alam ketenangan dan medan berterbangannya roh dari kehidupan jasmani yang mengganggu dan mengeluarkan diri dari hiruk-pikuk makhluk yang menjengkelkan menuju ke hadirat ar-Rahmaan merupakan perjalanan bahkan kebahagiaan yang didambakan oleh semua jiwa.


Kelima: Dengan memberitahu tentang perihal dunia melalui ilmu hakikat dan nur hakikat yang terkandung di dalam al-Quran, Dia menerangkan kepada orang yang mendengar al-Quran bahwa cinta dan hubungan kepada dunia adalah sangat tidak berarti.


85. Page

Yakni Dia berkata kepada insan dan menetapkan bahwa dunia ialah kitab as-Samad. Huruf dan kalimahnya tidak mengisyaratkan kepada diri huruf dan kalimah itu sendiri tetapi kepada dzat, sifat dan nama sesuatu yang lain. Oleh itu, ketahuilah artinya dan berpeganglah padanya. Namun tinggalkanlah ukirannya dan pergi.

Dunia juga merupakan sebuah ladang. Semai, tuai dan simpanlah hasilnya. Buanglah sampahnya dan biarkanlah!

Dunia juga merupakan himpunan cermin yang sentiasa bersilih-ganti di belakang satu sama lain. Jika begitu, ketahuilah apa yang menjelma pada cermin-cermin itu dan lihatlah cahaya-cahaya-Nya. Pahamilah tajalli (ketinggian) nama-nama yang muncul pada cermin-cermin itu. Cintailah apa yang telah dinamakan dan putuskanlah hubunganmu dengan serpihan kaca yang telah ditakdirkan akan binasa dan pecah itu!

Dunia juga merupakan tempat perdagangan yang akan berlalu pergi. Oleh itu, berdaganglah dan pulang. Janganlah berlari dan menghabiskan waktu secara sia-sia di belakang kafilah yang melarikan diri darimu dan tidak mempedulikanmu.

Dunia juga merupakan tempat bernapas sementara. Oleh sebab itu, pandanglah ia dengan pandangan penuh renungan dan perhatikanlah bukan kepada wajahnya yang bodoh, tetapi kepada wajahnya yang indah dan terlindung yang memandang kepada al-Jamilul Baqi (Yang Maha Indah Selamanya). Lakukanlah perjalanan yang menyenangkan dan bermanafaat, kemudian kembalilah. Janganlah menangis dan sedih akibat tertutupnya tirai yang memaparkan pemandangan yang indah dan cantik. janganlah seperti anak kecil yang belum berakal dan cengeng.

Dunia juga merupakan rumah tempat menerima tamu. Oleh itu makan dan minumlah sepanjang yang diizinkan Tuan Rumah Yang sangat Pemurah yang membinanya dan bersyukurlah kepada-Nya. Beramal dan bertindaklah sesuai undang-undang-Nya. Kemudian janganlah menoleh ke belakangmu. Keluar dan pergilah. Janganlah mencampuri secara berlebihan dengan mengatakan sesuatu yang yang tidak jelas. Janganlah menyibukkan dirimu dengan hal-hal yang berpisah dari dirimu dan tidak kaitan denganmu. Janganlah mengikat dirimu dengan perkara yang bersifat fana lalu tenggelam di dalamnya!

Begitulah lima wajah ini memperlihatkan rahasia-rahasia dalam wajah dunia sebenarnya melalui hakikat-hakikat lahir, lalu sangat memudahkan perpisahan dari dunia. Bahkan Dia menjadikan mereka yang sadar mencintainya. Dia memperlihatkan bahwa terdapat jejak rahmat-Nya pada setiap benda dan dalam setiap urusan-Nya.

Justeru, sebagaimana al-Quran mengisyaratkan kepada lima wajah tadi, ayat-ayat al-Quran juga mengisyaratkan kepada wajah-wajah khusus yang lain. Malang dan celakalah siapa saja yang tidak mendapat keuntungan dari lima wajah itu.


Maqam Kedua Kalimah Ketujuh Belas.[1]

 

Tinggalkanlah ratapan karena musibah, datang dan bertawakkallah wahai yang orang yang buntu!


[1] Petikan-petikan dalam Maqam Kedua ini menyerupai puisi tetapi bukanlah puisi. Kata-kata ini tidak digubah dengan sengaja. Tetapi dari sudut kesempurnaan susunan hakikat, mereka menyerupai gubahan puisi.

86. Page

ketahuilah bahwa ratapan adalah musibah dalam musibah dan dalam kesalahan!


kamu telah menemui Pemberi musibah, ketahuilah bahawa ia adalah musibah dalam anugerah dan dalam kelapangan!

Tinggalkanlah ratapan, bersyukurlah wahai yang kebuntuan!

Sepertimana bulbul, senantiasa riang dari keadaannya selalu tertawa

Jika kamu tidak dapat temui pemberi musibah,

Maka ketahuilah bahwa seluruh dunia adalah sia-sia dalam sengsara dan dalam derita!

Ketika di atasmu ada musibah sebesar dunia,

apalah yang kau jeritkan dari musibah yang kecil,

ayo bertawakkallah!

 

Tersenyumlah di wajah musibah dengan tawakkal, moga ia turut tersenyum.

Sebaik saja ia tersenyum, ia mengecil, terjadilah perubahan.

 

Ketahuilah, wahai orang yang angkuh!

Kebahagiaan di dunia ini adalah dengan meninggalkannya.

Jika engkau mengenali Allah, Dia adalah mencukupi.

Jika engkau meninggalkannya (dunia) sekalipun, semua benda bersamamu.

Jika engkau angkuh, ia adalah bencana.

Apa pun yang engkau lakukan, semua benda menentangmu.

Artinya dunia ini, perlu meninggalkannya (dunia) dalam dua-dua keadaan.

 

Meninggalkan dunia ialah memandang milik Allah dengan keizinan dan nama-Nya.

Jika engkau ingin berdagang, caranya tukarkan umurmu yang fana kepada kebaqaan.

Jika engkau maukan diri sendiri, sesungguhnya ia akan hancur.

Jika engkau maukan janji indah dunia, lambang kefanaan ada di atasnya.

 

Artinya tidak ada manfaatnya di pasar ini, kerana barangnya semuanya busuk.

Oleh karena itu, tinggalkan ia. Barang-barang yang baik telah disusun di belakangnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


87. Page







 

Sebiji Buah Mulberi Hitam

 

Di depan pohon mulberi yang diberkati itu, ‘Said Lama’ telah bermadah melalui lidah ‘Said Baru’        

 

Mukhatab-ku bukanlah Ziya Pasha, tetapi mereka yang terpesona dengan Eropa

Yang berbicara bukanlah diriku tetapi hatiku atas nama murid-murid al-Quran.

 

Kalimah-kalimah yang terlafaz ialah kebenaran

Awas! Jangan kau heran!

Jangan sekali-kali kau melebihi batasnya

Kepada fikiran asing, jangan kau melencong!

Ia tersesat, jangan kau dengar!

Pasti ia menyebabkan engkau menyesal.

 

Engkau melihat, orangmu paling bercahaya

Yang mangangkat panji kebijaksanaan

Selalu berkata dari keheranan itu:

“Aduhai, tentang siapa dan kepada siapakah aku perlu mengadu

Aku juga keliru!”

 

Al-Quran menyuruh, aku pun berkata

Sama sekali aku tidak gentar!

Dari-Nya kepada-Nya aku mengadu 

88. Page

Bukan sepertimu, aku tidak keliru.

 

Tentang al-Haq kepada al-Haq aku meraung

Bukan sepertimu, aku tidak berlebih

Dari bumi ke langit aku akan berseru

Bukan sepertimu, aku tidak akan lari bercerai-berai.

 

Karena tiap seruan dalam al-Quran

Dari nur kepada nur

Bukan sepertimu, aku tidak berundur.

 

Dalam al-Quran hikmah yang benar, akan aku buktikan!

Falsafah yang sesat, tidak mempunyai nilai

Pada al-Furqanlah berlian hakikat

(Deminya) aku serahkan nyawa

Bukan sepertimu, aku tidak akan menjualnya.

 

Dari makhluk kepada al-Haq aku berjalan

Bukan sepertimu, aku tidak melencong

Di jalan berduri aku terbang

Bukan sepertimu, aku tidak menginjaknya

Dari bumi ke langit aku bersyukur

Bukan sepertimu, aku tidak mengabaikannya.

 

Bagaikan teman, ku pandang ajal dan maut

Bukan sepertimu, aku tidak takut

Sambil tertawa aku masuk ke kubur

Bukan sepertimu, aku tidak gentar.

Bukan sepertimu, aku tidak melihatnya bak mulut naga

Lubuk kesepian

lorong kekosongan.

Ia temukan kembali aku dengan para kekasih

Aku tidak risau kerana pusara

Bukan sepertimu, aku tidak murka.

           

Ia pintu rahmat, pintu cahaya dan pintu kebenaran

Dengannya aku tidak pernah bosan, aku takkan berundur

Dengan menyebut “بِسْمِ اللّٰهِ” aku mengetuknya[1]

Aku tidak pernah menoleh ke belakang. Aku tidak gentar.

Dengan berkata Alhamdulillah aku menemui kerehatan dan aku akan berbaringan

Aku tidak akan merasai kesusahan dan tinggal dalam kesunyian

Dengan berkata Allahu Akbar aku mendengar azan kebangkitan dan aku akan bangun[2]


1. Mansuh Pertama Aku tidak lari dengan berkata aduhai!
2. Mansuh Kedua Aku akan bangun sambil berkata Allahu Akbar setelah mendengar Azan Subuh Hari Kebangkitan oleh Israfil. Aku tidak akan menarik diri dari Solat Agung. Aku tidak akan gentar dari perhimpunan terbesar.


89. Page

Aku tidak akan gentar akan Mahsyar teragung

Aku tidak akan lari dari Masjid yang tinggi.

 

Karena kesantunan Tuhan, cahaya al-Quran, limpahan iman,

Aku tidak pernah bersedih

Tanpa henti aku akan berlari, ke naungan ‘Arasy ar-Rahmaan

Aku akan terbang

Bukan sepertimu, aku tidak akan tertipu

In syaa’-Allah.

 

Said Nursi



















Munajat Berbahasa Persi

 

 هٰذِهِ الْمُنَاجَاةُ تَخَطَّرَتْ فِى الْقَلْبِ هٰكَذَا بِالْبَيَانِ الْفَارِسِىِّ

Karena munajat di bawah ini terlintas di hatiku dalam bahasa Persi maka ia ditulis dalam bahasa Persi. ia telah dimasukkan dalam Risalah Habab (biji benih) yang telah dicetak sebelum ini.

 

يَا رَبْ بَشَشْ جِهَتْ نَظَرْ مِيكَرْدَمْ دَرْدِ خُودْرَا دَرْمَانْ نَمِى دِيدَمْ


90. Page

Ya Rabb! Untuk mencari penawar kedukaanku aku telah bersandar kepada keupayaan dan ikhtiarku tanpa tawakkal dan dengan kelalaian, aku menjelajahkan pandanganku pada enam sudut yang disebut sebagai jihatus sittah (sudut yang enam). Malangnya aku tidak dapat menemui penawar kedukaanku. Lalu secara tersirat telah dikatakan kepadaku. “tidak cukupkah kedukaan menjadi penawar untukmu?”

 

دَرْ رَاسْت مِى دِيدَمْ كِه دِى رُوزْ مَزَارِ پَدَرِ مَنَسْت

Ya, dalam kelalaian, aku memandang ke masa lalu di sebelah kananku untuk mencari ketenangan. Tetapi aku melihat bahwa kemaren kelihatan seperti pusara ayahku dan masa lalu bagaikan perkuburan terbesar semua moyangku. Sebagai gantian ketenangan ia mendatangkan kengerian.[1]

 

وَ دَرْ چَپْ دِيدَمْ كِه فَرْدَا قَبْرِ مَنَسْت

Lalu aku melihat ke masa depan di sebelah kiri. Pun aku tidak dapat menemui penawar. Bahkan hari esok kelihatan sebagai kuburku dan masa depan seperti pusara terbesar bagi mereka yang sepertiku dan generasi yang mendatang. Maka ia tidak memberikan kemesraan bahkan kengerian.[2]

 

وَ اِيمْرُوزْ تَابُوتِ جِسْمِ پُرْ اِضْطِرَابِ مَنَسْت

Karena dari kiri juga tidak kelihatan kebaikan, maka aku memandang kepada hari ini. Aku melihat bahwa hari ini bagaikan sebuah keranda. Ia mengusung sekujur tubuhku yang meronta bagaikan disembelih.[3]

 

بَرْ سَرِ عُمُرْ جَنَازَهِ مَنْ اِيسْتَادَه اَسْت

Maka, dari sudut itu juga aku tidak dapat menemui penawar. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan melihat ke bagian atas pohon usiaku. Aku nampak bahwa satu-satunya buah bagi pohon itu ialah jenazahku yang tergantung di atas pohon itu dan ia memandang kepadaku.[4]

 

 دَرْ قَدَمْ آبِ خَاِ خِلْقَتِ مَنْ وَ خَاكِسْتَرِ عِظَامِ مَنَسْت



[1] Keimanan memperlihatkan bahawa perkuburan terbesar yang mengerikan itu sebagai majlis yang bercahaya dan tempat berhimpun para kekasih.
[2] Keimanan dan ketenangannya memperlihatkan pusara besar yang menakutkan itu sebagai satu undangan ar-Rahmaan ke istana-istana kebahagiaan yang menawan.
[3] Keimanan memperlihatkan keranda itu sebagai sebuah tempat berniaga dan sebuah rumah tamu yang gemilang.
[4] Keimanan memperlihatkan bahawa buah pohon itu bukanlah jenazah tetapi, rohku yang menerima kehidupan abadi dan menjadi calon kebahagiaan abadi yang telah berangkat dari sarangnya yang usang untuk menjelajah di atas bebintang.

91. Page

Karena dari sudut itu pun aku berputus asa, maka aku menundukkan kepalaku ke bawah. Aku perhatikan dan nampak bahwa tanah dan tulang-tulangku yang di bawah, di bawah tapak kaki telah bercampur aduk dengan tanah kejadian pertamaku. Ia bukan penawar bahkan menambah kedukaanku.[1]

 

چُونْ دَرْ پَسْ مِينِگَرَمْ بِينَمْ اِينْ دُنْيَاءِ بِى بُنْيَادْ هِيچْ دَرْ هِيچَسْت

Darinya juga aku memalingkan pandangan dan memandang ke belakangku. Aku nampak bahwa dunia yang tidak berfondasi dan fana bergolek di lembah kesia-siaan dan di dalam gelap ketiadaan. Ia bukan penawar bagi kedukaanku tetapi telah menambahkan racun kengerian dan kedahsyatan.[2]


 

وَ دَرْ پِيشْ اَنْدَازَهِ نَظَرْ مِيكُنَمْ دَرِ قَبِرْ كُشَادَه اَسْت وَ رَاهِ اَبَدْ بَدُورِ دِرَازْ بَدِيدَارَسْت

Karena padanya aku tidak melihat kebaikan, maka aku telah mengantarkan pandanganku jauh ke depan. Aku melihat bahwa pintu kubur kelihatan terbuka di ujung jalanku dan jalan yang menuju keabadian di belakangnya kekaburan menerpa pandangan.[3]

 

مَرَا جُزْ جُزْءِ اِخْتِيَارِى چِيزِى نِيسْت دَرْ دَسْت

Justeru, untuk menghadapi bukan kemesraan dan ketenangan pada enam sudut itu, bahkan kedahsyatan dan kengerian yang aku peroleh, selain dari juzuk ikhtiarku, di tanganku tiada sebarang benda untuk aku bersandar kepadanya menghadapi itu semua.[4]

 

كِه اُو جُزْءْ هَمْ عَاجِزْ هَمْ كُوتَاهُ هَمْ كَمْ عَيَارَسْت

Sedangkan senjata manusia yang dinamakan juzuk ikhtiar itu adalah lemah dan pendek. Malah pengerjaan akhirnya tidak sempurna. Ia tidak dapat mengadakan. Tiada apa pun yang datang dari tangannya selain usaha.[5]

 

نَه دَرْ مَاضِى مَجَاِ حُلُوْ نَه دَرْ مُسْتَقْبَلْ مَدَارِ نُفُوذَاسْت


[1] Keimanan memperlihatkan bahwa tanah itu sebagai pintu rahmat dan tirai dewan syurga.
[2] Keimanan memperlihatkan bahwa dunia yang tergolek dalam kegelapan itu ialah tulisan as-Samad dan lembaran ukiran as-Subhan yang telah menamatkan tugasnya, mengifadahkan maknanya dan telah meninggalkan hasilnya sebagai ganti dirinya di alam wujud.
[3] Karena keimanan memperlihatkan bahwa pintu kubur itu ialah pintu alam nurani dan jalan itu ialah jalan kebahagiaan abadi, ia menjadi penawar dan penyembuh kepada kedukaanku.
[4] Keimanan memberikan sertifikat pengakuan untuk bersandar kepada qudrat yang tidak berpengujung menggantikan bab ikhtiar yang  ibarat bab yang tidak dapat dipecah-pecahkan bahkan keimanan itu sendiri ialah sertifikat pengakuan.
[5] Keimanan akan mempergunakan bab ikhtiar itu atas nama Allah lalu menjadikannya mencukupi untuk menghadapi setiap perkara. Sebagaimana apabila seorang tentara menggunakan kekuatannya yang sedikit di atas nama negara, dia dapat melakukan pekerjaan yang ribuan kali lipat lebih banyak dari kekuatannya.


92. Page

Ia tidak dapat apakah menyusup ke masa lalu atau merentas ke masa depan. Ia tidak memberikan manfaat kepada cita-cita dan kesakitanku yang merujuk kepada masa lalu dan masa depan.[1]

 

مَيْدَانِ اُو اِينْ زَمَانِ حَا و يَكْ آنِ سَيَّالَسْت


Ruang lingkup juzuk ikhtiar itu adalah masa sekarang yang sangat singkat dan sekejap mata .

 

بَا اِينْ هَمَه فَقْرَهَا وَ ضَعْفهَا قَلَمِ قُدْرَتِ تُو آشِكَارَه نُوِشْتَه اَسْت دَرْ فِطْرَتِ مَامَيْلِ اَبَدْ وَاَمَلِ اَبَدْ وَاَمَلِ سَرْمَدْ


Justeru, bersama dengan semua keperluan, kedaifan, kefakiran dan kelemahanku, ketika di dalam keadaan yang sengsara menghadapi kedahsyatan dan kengerian yang datang dari enam sudut, kehendak-kehendak yang panjang sehingga keabadian dan cita-cita yang tersebar hingga kesarmadian telah tertulis dengan pena qudrat pada lembaran fitrah dalam bentuk yang sangat jelas. Ia telah disertakan di dalam perihalku.

 

بَلْكِه هَرْ چِه هَسْت هَسْت

Bahkan apa jua yang ada di dunia terdapat contoh-contohnya di dalam fitrahku. Aku mempunyai hubungan dengan semua itu. Aku bekerja untuk itu semua.

 

دَائِرَهِ اِحْتِيَاجْ مَانَنْدِ دَائِرَهِ مَدِّ نَظَرْ بُزُرْگِى دَارَسْت

Ruang lingkup sebesar dan seluas ruang lingkup pandangan.

 

خَيَاَلْ كُدَامْ رَسَدْ اِحْتِيَاجْ نِيزْ رَسَدْ دَرْ دَسْت هَرْ چِه نِيسْت دَرْ اِحْتِيَاجْ هَسْت

Hatta, ke mana saja hayalan pergi, lingkungan keperluan juga akan turut ke sana. Di sana juga terdapat kebutuhan. Bahkan apa yang tiada di tangan ada pada keperluan. Apa yang bukan di tangan ada pada keperluan. Apa yang tiada di tangan pula adalah tidak terkira.

 

دَائِرَهِ اِقْتِدَارْ هَمْچُو دَائِرَهِ دَسْتِ كُوتَاهِ كُوتَاهَسْت

Sedangkan lingkungan keupayaan adalah pendek dan sempit seperti lingkungan tanganku yang pendek.

 

پَسْ فَقْرُ حَاجَاتِ مَا بَقَدَرِ جِهَانَسْت

Maknanya, kefakiran dan keperluanku adalah sebanyak dunia.

 

وَ سَرْمَايَهِ مَا هَمْ چُو جُزْءِ لاَيَتَجَزَّا ئَسْتْ

Modalku adalah benda juz’i seperti bab yang tidak dapat dipecah-pecahkan.

 

اِينْ جُزْؤِ كُدَامْ وَ اِينْ كَائِنَاتِ حَاجَاتْ كُدَامَسْت

Justeru, di manakah kebutuhan yang hanya dapat diperoleh dengan milyaran harta sebanyak alam ini? Di manakah bab ikhtiar yang sekadar lima sen ini? Semua ini adalah tidak laku untuk membeli itu semua. Semua itu tidak dapat diperoleh dengan bab ikhtiar ini. Jika begitu, adalah perlu untuk mencari suatu jalan penyelesaian yang lain.


[1] Karena keimanan mengambil alih tali kendalinya dari tangan tubuh kehewanannya lalu menyerahkannya kepada hati dan roh, ia dapat menyusup ke masa lalu dan merentas ke masa depan,  kerana lingkungan kehidupan hati dan roh adalah luas.

93. Page

 

پَسْ دَرْ رَاهِ تُو اَزْ اِينْ جُزْءْ نِيزْ بَازْ مِى گُزَسْتَنْ چَارَهِ مَنْ اَسْت

Jalan penyelesaian itu ialah seperti berikut: Meninggalkan bab ikhtiar lalu menyerahkan kerjamu kepada iradat Ilahi. Menghindarkan diri dari daya dan kekuatan sendiri lalu bergantung kepada hakikat tawakkal dengan cara bernaung kepada kuasa dan kekuatan Allah Taala. Ya Rabb! Melihat inilah jalan untuk menyelamatkan diri, maka di jalan-Mu, aku tidak bergantung kepada bab ikhtiar dan aku membebaskan diri dari sifat ananiyyahku itu.

 

تَا عِنَايَتِ تُو دَسْتْگِيرِ مَنْ شَوَدْ رَحْمَتِ بِى نِهَايَتِ تُو پَنَاهِ مَنْ اَسْت

Semoga, inayah-Mu memegang tanganku kerana mengasihani kelemahan dan kedaifanku. Semoga rahmat-Mu juga membelasi kefakiran dan keperluanku lalu dapat menjadi tempat untukku berlindung. Semoga ia membuka pintunya untukku.

 

آنْ كَسْ كِه بَحْرِ بِى نِهَايَتِ رَحْمَتْ يَافْتَ اسْت تَكْيَه نَه كُنَدْ بَرْ اِينْ جُزْءِ اِخْتِيَارِى كِه يَكْ قَطْرَه سَرَابَسْت


Ya, jika siapapun saja yang menemui lautan rahmat yang tidak bertepi, sudah tentu dia tidak bergantung pada bab ikhtiarnya yang ibarat fatamorgana. Tidak mungkin dia meninggalkan rahmat lalu merujuk kepadanya.

 

 

 

اَيْوَاهْ اِينْ زَنْدِگَانِى هَمْ چُو خَابَسْت وِينْ عُمْرِ بِى بُنْيَادْ هَمْ چُو بَادَسْت

Aduhai! Kita telah terpedaya. Kita telah menyangka bahwa kehidupan duniawi ini adalah kekal. Akibat sangkaan itu kita telah kehilangan semuanya. Ya, kehidupan yang sementara ini adalah sebuah lena dan telah berlalu seperti mimpi. Umur yang tidak kukuh itu juga berterbangan pergi seperti badai.

 

اِنْسَانْ بَزَوَاْ دُنْيَا بَفَنَا اَسْت آمَاْ بِى بَقَاءِ آلاَمْ بَبَقَا اَسْت


Manusia angkuh yang bergantung kepada diri sendiri dan menyangka dirinya abadi terhukum dengan kefanaan dan berlalu pergi begitu cepat. Dunia yang merupakan kediaman manusia terjerumus ke dalam gelap ketiadaan.

 

بِيَا اَىْ نَفْسِ نَافَرْجَامْ وُجُودِ فَانِى خُودْرَا فَدَا كُنْ

خَالِقْ خُودْرَا كِه اِينْ هَسْتِى وَدِيعَه هَسْت

 

Memperhatikan hakikat begini, ayolah wahai nafsu bedebahku yang sangat rindukan kehidupan, sangat maukan umur, sangat mencintai dunia serta diuji dengan cita-cita dan kesakitan yang tidak terkira! Sadar dan fikirkanlah baik-baik! Sebagaimana kunang-kunang kekal dalam kegelapan malam yang tidak berkesudahan karena bergantung kepada cahaya kecilnya yang suram dan sebagaimana lebah menemui mentari siang karena tidak bergantung kepada dirinya sendiri maka ia dapat menyaksikan bunga-bungaan yang merupakan teman-temannya diterangi sinar mentari, begitulah juga dirimu. Sekiranya engkau bersandar kepada diri sendiri, wujud dan ananiyyahmu (egoismu), maka engkau akan menjadi seperti kunang-kunang. Sekiranya engkau mengorbankan wujudmu yang fana di jalan al-Khaliq yang memberikan wujud itu kepadamu, engkau akan menjadi seperti lebah madu. Engkau akan menemui nur kewujudan yang tidak terkira. Maka bekorbanlah! Karena wujud ini adalah titipan dan amanah kepadamu.


94. Page

 

وَ مُلْكِ اُو وَ اُو دَادَه فَنَا كُنْ تَا بَقَا يَابَدْ اَزْ آنْ سِرِّى كِه نَفْىِ نَفْى اِثْبَات اَسْت


Malah ia milik-Nya dan Dia yang telah memberikannya. Sebab itu, fanakan dan korbankanlah ia tanpa rasa terutang budi dan takut supaya ia mendapat keabadian. Karena menihilkan sesuatu yang tiada ialah pengakuan keberadaan sesuatu. Yakni, seandainya tidak ada adalah tidak ada, maka ia adalah ada. Jika tiada menjadi tiada ia menjadi ada.

 

خُدَاىِ پُرْكَرَمْ خُودْ مُلْكِ خُودْرَا مِى خَرَدْ اَزْ تُو بَهَاىِ بِى گِرَانْ دَادَه بَرَاىِ تُو نِگَاهْ دَارَسْت

Al-Khaliqul Kariim membeli milik-Nya sendiri darimu. Dia membayar dengan harga semahal surga. Dia juga memelihara harta itu untukmu dengan baik. Bahkan Dia menaikkan nilainya. Dia akan memberikannya kembali kepadamu dalam bentuk yang baqa (abadi) dan sempurna. Sebab itu wahai nafsuku! Jangan pernah berdiam diri! Lakukanlah perdagangan yang mempunyai lima keuntungan dalam satu dengan yang lain. Semoga engkau selamat dari lima kerugian lalu mendapat lima keuntungan secara sekaligus.

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

فَلَمَّا اَفَلَ قَالَ لَا اُحِبُّ الْآفِلِينَ لَقَدْ اَبْكَانِى نَعْىُ لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ

 مِنْ خَلِيلِ اللّٰهِ

Rintihan لآَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ yang terbit dari Nabi Ibrahim

‘Alaihis Salam yang mengumumkan kehancuran dan kematian alam semesta telah menitiskan air mataku.

 

فَصَبَّتْ عَيْنُ قَلْبِى قَطَرَاتٍ بَاكِيَاتٍ مِنْ شُئُونِ اللّٰهِ

Karena itu, mata hati telah menangis dan menumpahkan tetesan yang menangis. Sebagaimana mata hati menangis, tiap tetes yang ditumpahkannya juga sangat memilukan. Menyebabkan tangisan seolah-olah dirinya juga menangis. Tetesan itu ialah ungkapan-ungkapan berbahasa Parsi berikut:

 

لِتَفْسِيرِ كَلاَمٍ مِنْ حَكِيمٍ اَىْ نَبِىٍّ فِى كَلاَمِ اللّٰهِ

Justeru, tetesan itu sejenis tafsir yang berada dalam Kalamullah bagi kata-kata seorang bijaksana utusan Ilahi yang merupakan Nabi dan Rasul.

 

نَمِى زِيبَاسْت اُفُولْدَه گُمْ شُدَنْ مَحْبُوبْ

Sesungguhnya kekasih yang ghaib bersama kehilangan tidaklah cantik. Karena apa apa yang ditetapkan bahwa akan hilang tidak mungkin menjadi benar-benar cantik. Ia tidak mungkin dicintai dan tidak wajar dicintai oleh hati yang dicipta untuk cinta abadi dan merupakan cermin as-Samad.

 

 

 

نَمِى اَرْزَدْ غُرُوبْدَه غَيْب شُدَنْ مَطْلُوبْ

Sesungguhnya keinginan yang pasti hilang sia-sia untuk difikirkan. Ia tidak dapat menjadi rujukan kepada cita-cita. Tidak wajar untuk menyesal dengan kesedihan dan kedukaan di belakangnya. Maka, bagaimanakah hati bisa memuja dan terikat dengannya serta kekal begitu?

 

نَمِى خَواهَمْ فَنَادَه مَحْو شُدَنْ مَقْصُودْ


95. Page

Sesungguhnya aku tidak pernah maukan tujuan yang binasa dalam kefanaan, karena aku adalah fana dan aku tidak pernah maukan yang fana. Apa yang bisa aku lakukan dengannya?

 

نَمِى خَوانَمْ زَوَالْدَه دَفْن شُدَنْ مَعْبُودْ

Sesungguhnya aku tidak akan memanggil dan berlindung kepada sembahan yang disemadikan dalam kelenyapan. Karena aku sangat memerlukan dan sangat lemah. Apa yang lemah tidak akan dapat mencari penawar kepada kedukaanku yang sangat besar. Ia tidak akan dapat menyapu penyembuh kepada luka-lukaku yang abadi. Bagaimanakah sesuatu yang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari kelenyapan bisa menjadi sembahan?

 

عَقْل فَرْيَادْ مِى دَارَدْ نِدَاءِ لَا اُحِبُّ الْآفِلِينَ مِى زَنَدْ رُوحَمْ

Ya, akal yang hanya mengutamakan yang lahiriah, meratap bagaikan berputus asa dengan melihat kelenyapan benda-benda yang dipujanya di alam semesta ini. Roh yang mencari kekasih yang baqa’ juga mengumumkan ratapan لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ.

 

نَمِى خَواهَمْ نَمِى خَوانَمْ نَمِى تَابَمْ فِرَاقِى

Aku tidak mau! Aku tidak ingin! Aku juga tidak mampu menanggung perpisahan!

 

نَمِى اَرْزَدْ مَرَاقَه اِينْ زَوَاْ دَرْ پَسْ تَلاَفِى

Sesungguhnya pertemuan-pertemuan pahit karena kelenyapan yang begitu cepat tidak patut disedihkan dan dibimbangi. Ia tidak layak untuk dirindui, karena kehilangan lezat ialah kesakitan, maka membayangkan kehilangan lezat juga kesakitan. Semua diwan para pencinta yakni buku-buku puisi yang merupakan madah-madah cinta setiap mereka adalah ratapan yang datang dari bayangan kelenyapan itu. Sekiranya engkau membedah jiwa semua diwan puisi itu, niscaya ia akan meneteskan ratapan yang menyakitkan.

 

اَزْ آنْ دَرْدِ گِرِينِ لآَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ مِى زَنَدْ قَلْبَمْ


Justeru, kerana kedukaan dan musibah pertemuan-pertemuan yang berbaur dengan kelenyapan dan rasa cinta majazi (hayalan) yang menyakitkan itulah hatiku menangis dan menjerit dengan tangisan لآَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ seperti Ibrahim

‘Alaihis Salam.

 

دَرْ اِينْ فَانِى بَقَا خَازِى بَقَا خِيزَدْ فَنَادَنْ

Jika kamu maukan kebaqaan (keabadian) di dunia yang fana ini, sesungguhnya kebaqaan muncul dari kefanaan. Maka carilah kefanaan dari sudut nafsu ammarah supaya kamu menjadi baqa’.

 

فَنَا شُدْ هَمْ فَدَا كُنْ هَمْ عَدَمْ بِينْ كِه اَزْ دُنْيَا بَقَايَه رَاهْ فَنَادَنْ

Bebaskanlah diri dari akhlak mazmumah (yang tercelah) yang merupakan asas-asas pemujaan dunia. Jadilah fana! Korbankanlah benda-benda dalam lingkungan pemilikan dan hartamu di jalan al-Mahbubul Haqiqi. Lihatlah kesudahan maujudat yang memperlihatkan ketiadaan. Karena jalan yang menuju kebaqaan dari dunia ini adalah menelusuri kefanaan.

 

مِى زَنَدْ وِجْدَانْ لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ فِكِرْ فِيزَارْ مِى دَارَدْ اَنِينِ

Pikiran insan yang tenggelam dalam asbab (hukum kausalitas), akan keheranan dari gempa kelenyapan dunia ini lalu menangis tersedu bagaikan berputus asa. Sanubari yang maukan kewujudan hakiki memutuskan hubungan dengan para kekasih majazi dan maujudat 

96. Page

yang akan lenyap melalui rintihan لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ seperti Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam lalu mengikat dirinya kepada al-Maujudul Haqiqi dan al-Mahbubus Sarmadi.


 

بِدَانْ اَى نَفْسِ نَادَانَمْ كِه دَرْ هَرْ فَرْدَازْ فَانِى دُو رَاهْ هَسْت

بَا بَاقِى دُو سِرِّ جَانْ جَانَانِى

Wahai nafsuku yang tidak sadar diri! Ketahuilah bahwa secara lahiriah dunia dan maujudat adalah fana. Tetapi engkau bisa menemui dua jalan yang membawamu kepada al-Baqi pada setiap benda yang fana. Engkau juga akan dapat melihat dua kilauan dan dua rahasia dari tajalli keindahan al-Mahbub la yazal yang merupakan kekasih sebenar. Tetapi syaratnya ialah jika engkau dapat membuang kefanaan dan dirimu sendiri.

 

كِه دَرْ نِعْمَتْهَا اِنْعَامْ هَسْتْ وَ پَسْ آثَارَهَا اَسْمَا بِگِيرْ مَغْزِى و مِيزَنْ دَرْ فَنَا آنْ قِشْرِ بِى مَعْنَا


Ya, kelihatan pemberian nikmat dalam nikmat. Keprihatinan ar-Rahman dapat dirasai. Jika engkau memahami pemberian nikmat dari nikmat, maka Engkau akan menemui al-Mun‘im (Maha Pemberi Nikmat). Malah setiap hasil karya as-Samad adalah seperti sepucuk surat yang memberitahu tentang nama-nama as-Sani’ Dzul Jalal. Jika engkau melangkau dari ukiran kepada makna, engkau akan menemui yang dinamakan (iaitu Allah) melalui jalan nama. Memperhatikan engkau bisa menemui intipati dan isi hasil seni yang fana ini, maka ambillah ia. Engkau bisa membuang kulit dan cangkerangnya yang tidak berarti ke dalam arus kefanaan tanpa rasa kasihan.

 

بَلِى آثَارَهَا گُويَنْد زِاَسْمَا لَفْظِ پُرْ مَعْنَا بِخَانْ مَعْنَا و مِيزَنْ دَرْ هَوَا آنْ لَفْظِ بِى سَوْدَا


Ya, sesungguhnya tidak ada tanda atau jejak apapun pada masnuat (sesuatu yang diciptakan) melainkan ia merupakan banyak lafaz,  makna yang mempunyai bentuk dan membacakan banyak nama as-Sani’ Dzul Jalal. Memandangkan masnuat itu adalah lafaz-lafaz dan kalimah-kalimah qudrat, maka bacalah makna-maknanya. Letakkanlah ia ke dalam hatimu. Lemparkanlah lafaz-lafaz tanpa makna yang tinggal tanpa gentar ke udara kelenyapan. Janganlah memandang ke belakangmu dengan penuh minat dan menjadi sibuk dengannya.

 

عَقْل فَرْيَادْ مِى دَارَدْ غِيَاثِ لَا اُحِبُّ الْآفِلِينَ مِيزَنْ اَىْ نَفْسَمْ

Karena akal duniawi yang terdiri dari memuja apa yang lahir dan modalnya adalah dari informasi-informasi yang tidak perlu menarik rantaian pemikiran begini ke arah kesia-siaan dan ketiadaan, maka ia meratap bagaikan putus asa akibat keheranan dan kehilangannya. Ia mencari jalan benar menuju kepada hakikat. Memperhatikan roh telah menarik tangannya dari benda-benda yang binasa dan yang menemui kelenyapan, hati juga telah menghindari kekasih majazinya (hayalan) dan sanubari juga telah memalingkan wajahnya dari makhluk yang fana, maka engkau juga wahai nafsuku yang tidak berdaya, nyatakanlah rayuan لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ seperti Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dan selamatkanlah dirimu.

 

چِه خُوشْ گُويَدْ اُو شَيْدَا جَامِى عِشْقِ خُوىْ

Untuk memalingkan wajah dari banyak perkara kepada keesaan, renunglah kata-kata indah Maulana Jami yang mabuk dengan penuh kecintaan bagaikan fitrahnya telah diaduk dengan cinta. Katanya: 


97. Page

 

 

يَكِى خَواهْ١ يَكِى خَوانْ٢ يَكِى جُوىْ٣ يَكِى بِينْ٤ يَكِى دَانْ٥ يَكِى گُوىْ٦ [1]

Yakni:

1.                      Mintalah yang hanya Satu karena yang lain tidak layak diminta.

2.                      Serulah yang Satu karena yang lain tidak datang membantu.

3.                      Maukanlah yang Satu karena yang lain adalah tidak layak.

4.                      Lihatlah yang Satu karena yang lain tidak kelihatan sebab mereka berlindung di sebalik tabir kelenyapan.

5.                      Kenalilah yang Satu karena mengenali yang lain yang tidak membantumu untuk mengenal-Nya adalah tidak berguna

6.                      Ucapkanlah yang Satu karena kata-kata yang tidak merujuk kepada-Nya bisa disebut sebagai tidak bearti.

 

نَعَمْ صَدَقْتَ اَىْ جَامِى هُوَ الْمَطْلُوبُ هُوَ الْمَحْبُوبُ هُوَ الْمَقْصُودُ هُوَ الْمَعْبُودُ

  Ya wahai Jami, kata-katamu sangat benar. Hanya Dialah al-Mahbub (kekasih), al-Matlub (yang diminta), al-MaQ.S.ud (yang ditujui) dan al-Ma’bud (yang disembah) yang hakiki.

 

كِه لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ بَرَابَرْ مِيزَنَدْ عَالَمْ

Kerena alam ini bersama dengan semua maujudatnya bersama melafazkan لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ melalui lidah-lidah yang berlainan dan dengan alunan-alunan yang berasingan dalam halaqah agung zikir Ilahi. Semuanya menjadi saksi akan keesaan-Nya. Ia menyapu obat diatas luka yang tergores disebabkan لاَ اُحِبُّ الْآفِلِينَ. Ia memperlihatkan al-Mahbub la yazal sebagai ganti kepada para kekasih majazi yang telah diputuskan hubungannya.

 

Dua puluh lima tahun sebelum ini di Puncak Nabi Yusha’ yang terletak di persisiran Selat Bosphorus, ketika aku mengambil keputusan untuk meninggalkan (kesibukan) dunia, untuk mengembalikanku kepada dunia dan kepada keadaanku yang lama, beberapa orang teman rapatku telah datang kepadaku. Maka aku berkata: Kalian berikanlah aku masa sampai esok hari untuk aku beristikharah. Menjelang pagi, dua lauhah (papan kenyataan) berikut terlintas di hatiku. Kedua-duanya menyerupai puisi tetapi kedua-duanya bukan puisi. Demi lintasan yang berkat itu aku tidak mengusiknya. Ia telah dikekalkan sebagaimana ia datang. Ia ditambah di penghujung Kalimah Kedua Puluh Tiga. Oleh sebab ia berkait dengan maqam ini maka ia telah dibawa ke sini.

 

Lauhah Pertama:

 

Lauhah ini ialah lauhah yang menggambarkan hakikat bagi dunia mereka yang sesat.

 


[1] 7. Kata-kata Maulana Jami hanyalah baris ini.

98. Page

Janganlah mengajakku kepada dunia Aku telah sampai ke sana dan ku dapati ia

fana

Apabila kelalaian menjadi hijab Ku lihat nur kebenaran adalah terselindung

Aku dapati semua benda dan maujudat Masing-masing adalah fana dan bermudarat

Jika engkau kata kewujudan, aku telah Rupanya ia adalah ketiadaan, ku merasai

memakainya banyak musibah

Jika engkau kata kehidupan, aku telah Ku dapati ia azab di dalam azab

merasainya

Akal menjadi hukuman itu sendiri Ku lihat kebaqaan sebagai bala

Usia menjadi punca kehendak Ku lihat kesempurnaan dasar kesia-siaan

Amal menjadi riya’ itu sendiri Ku lihat cita-cita dasar kesakitan

Pertemuan menjadi kelenyapan itu sendiri Ku lihat penawar dasar kesakitan

Cahaya-cahaya ini menjadi kegelapan Ku lihat para kekasih ini sebagai yatim

Suara-suara ini menjadi ratapan kematian Ku lihat mereka yang hidup ini sebagai mati

Ilmu berubah menjadi prasangka Dalam hikmah ku lihat seribu kerusakan

Kelazatan menjadi kesakitan itu sendiri Ku lihat pada kewujudan seribu ketiadaan

Jika kau kata kekasih, aku telah Rupanya dalam perpisahan ku lihat banyak menemuinya kesakitan

 

Lauhah Kedua:

 

Lauhah ini ialah lauhah yang mengisyaratkan kepada hakikat dunia bagi ahli hidayah dan al-muqarrabin.

 

Apabila kelalaian menemui kelenyapan Ku lihat nur kebenaran adalah terang

Wujud menjadi bukti kepada dzat Lihatlah, kehidupan sebagai cermin kebenaran

Akal menjadi anak kunci khazanah Lihatlah, kefanaan sebagai pintu kebaqaan

Kilau kesempurnaan telah padam Lihatlah, mentari keindahan tetap ada,

Kelenyapan menjadi pertemuan itu sendiri Lihatlah, kesakitan sebagai kelezatan itu sendiri

Umur menjadi amalan itu sendiri Lihatlah keabadian sebagai usia itu sendiri

Kegelapan menjadi pembalut cahaya Lihatlah, di dalam kematian ada kehidupan

sebenar

Semua benda menjadi mesra Lihatlah, semua suara sebagai zikir

Semua biji-bijian maujudat Lihatlah, masing-masing sebagai penzikir yang

bertasbih

Ku temui kefakiran sebagai khazanah Lihatlah, pada kelemahan ada kekuatan

kekayaan sebenar

Jika engkau telah temui Allah Lihatlah, semua benda adalah milikmu

Sekiranya engkau dimiliki al-Malikul Mulk Lihatlah, milik-Nya adalah milikmu

Jika engkau angkuh dan pemilik diri Lihatlah, ia adalah bala yang tidak terhitung

sendiri

99. Page

Ia azab yang tiada batasan rasakanlah Lihatlah, ia adalah sangat berat

Jika kau benar-benar hamba yang kenal Lihatlah, ia ketenangan yang tiada batasan

Tuhan

Terdapat pahala yang tidak terhitung dan Lihatlah, kebahagiaan tanpa penghujung

kecaplah ia

  

Dua puluh lima tahun sebelum ini, pada bulan Ramadhan, selesai Solat Asar, aku membaca puisi Asmaul Husna Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Lalu timbul satu hasrat padaku untuk menulis satu munajat melalui Asmaul Husna. Namun, waktu itu ia telah ditulis sebanyak ini. Aku mau menandingi Munajat Asmaul Husna yang berkat bagi tuan guruku yang mulia itu. Mana mungkin! Aku tidak mempunyai bakat menulis puisi. Lalu aku tidak dapat melakukannya lalu ia terbengkalai. Munajat ini telah dilampirkan kepada Risalah Jendela yang merupakan Surat Ketiga Puluh Tiga bagi Kalimah Ketiga Puluh Tiga. Karena kesesuaiannya dengan maqam ini maka ia telah diambil ke sini.



هُوَ الْبَاقِى


حَكِيمُ الْقَضَايَا نَحْنُ فِى قَبْضِ حُكْمِهِ                  هُوَ الْحَكَمُ الْعَدْلُ لَهُ الْاَرْضُ وَ السَّمَاءُ

عَلِيمُ الْخَفَايَا وَ الْعُيُوبُ فِى مُلْكِهِ                      هُوَ الْقَادِرُ الْقَيُّومُ لَهُ الْعَرْشُ وَ الثَّرَاءُ

لَطِيفُ الْمَزَايَا وَ النُّقُوشِ فِى صُنْعِهِ                  هُوَ الْفَاطِرُ الْوَدُودُ لَهُ الْحُسْنُ وَ الْبَهَاءُ

جَلِيلُ الْمَرَايَا وَ الشُّونُ فِى خَلْقِهِ                      هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ لَهُ الْعِزُّ وَ الْكِبْرِيَاءُ

بَدِيعُ الْبَرَايَا نَحْنُ مِنْ نَقْشِ صُنْعِهِ                     هُوَ الدَّائِمُ الْبَاقِى لَهُ الْمُلْكُ وَ الْبَقَاءُ

كَرِيمُ الْعَطَايَا نَحْنُ مِنْ رَكْبِ ضَيْفِهِ                  هُوَ الرَّزَّاُقُ الْكَافِى لَهُ الْحَمْدُ وَ الثَّنَاءُ

جَمِيلُ الْهَدَايَا نَحْنُ مِنْ نَسْجِ عِلْمِهِ                    هُوَ الْخَالِقُ الْوَافِى لَهُ الْجُودُ وَ الْعَطَاءُ

سَمِيعُ الشَّكَايَا وَ الدُّعَائِ لِخَلْقِهِ                       هُوَ الرَّاحِمُ الشَّافِى لَهُ الشُّكْرُ وَ الثَّنَاءُ

غَفُورُ الْخَطَايَا وَ الذُّنُوبِ لِعَبْدِهِ                      هُوَ الْغَفَّارُ الرَّحِيمُ لَهُ الْعَفْوُ وَ الرِّضَاءُ

           

Wahai nafsuku! Menangis dan menjeritlah seperti hatiku dan katakanlah: Aku fana, aku tidak maukan yang fana. Aku lemah, aku tidak maukan yang lemah. Aku telah menyerahkan rohku kepada ar-Rahman. Aku tidak mau selain-Nya. Aku mau, tetapi aku mau teman yang baqa. Aku adalah biji zarah, tetapi aku maukan mentari kesarmadian. Aku bukan apa-apa dalam yang bukan apa-apa tetapi aku maukan semua maujudat ini sekaligus.


Sebiji buah pohon Vinus, Sedar, Juniper dan Poplar Hitam dan Tanah Tinggi Barla.

 

Kutipan ini adalah bagian dari Surat Kesebelas. Karena kesesuaian maqamnya, maka ia telah diambil ke sini.

 


100. Page

Suatu masa, ketika aku ditawan, tatkala aku menatap bentuk yang menunjukkan kehebatan dan keadaan yang melahirkan keheranan bagi pohon Vinus, Sedar dan Juniper yang rimbun di puncak gunung, angin semilir yang sangat latif (lembut) telah bertiup. Karena ia telah mengubah keadaan itu kepada lentur bagaikan gemulai tarian bercampur hiruk-pikuk yang sangat hebat dan menawan serta tasbih yang mengundang juzbah, maka tatapan yang menghiburkan itu bertukar menjadi renungan iktibar dan bisikan hikmah. Tiba-tiba kata-kata Ahmad al-Jizri yang dalam bahasa Kurdi berikut: هَرْكَسْ بِتَمَاشَاگَهِ حُسْنَاتَه زِهَرْجَاىْ تَشْبِيهِ نِگَارَانْ بِجَمَالاَتَه دِنَازِنْ telah terlintas di hatiku. Maka, untuk mengifadahkan makna-makna iktibarnya, hatiku telah menangis seperti berikut:

 

 يَا رَبْ هَرْ حَىْ بِتَمَاشَاگَهِ صُنْعِ تُو زِهَرْجَاىْ بَتَازِى زِنَشيِبُ اَزْ فِرَازِى مَانَنْدِ دَلاَّلاَنْ بِنِدَائُ بِآوَازِى دَمْ دَمْ زِجَمَاِ نَقْشِ تُو دَرْ رَقْصُ بَازِى زِكَمَاِل صُنْعِ تُو خُوشْ خُوشْ بَگَازِى زِشِيرِينِى آوَازِ خُودْ هَىْ هَىْ دِنَازِى اَزْ وَىْ رَقْصَ آمَدْ جَذْبَه خَازِى اَزِينْ آثَارِ رَحْمَتْ يَافْتِ هَرْ حَىْ دَرْسِ تَسْبِيحُ نَمَازِى اِيسْتَادَسْت هَرْ يَكِى بَرْ سَنْگِ بَالاَ سَرْفِرَازِى دِرَازْ كَرْدَسْت دَسْتهَارَا بَدَرْگَاهِ اِلٰهِى هَمْ چُو شَهْبَازِى بَجُنْبِيدَسْت زُلْفهَارَا بَشَوْ اَنْگِيزِ شَهْنَازِى بَبَالاَ مِيزَنَنْد اَزْ پَرْدَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِشْق بَازِى


 مِيدِهَدْ هُوشَه گِيرِينْهَاىِ دِيرِينْهَاىِ زَوَالِى اَزْ حُبِّ مَجَازِى بَرْ سَرِ مَحْمُودْهَا نَغْمَهَاىِ حُزْن اَنْگِيزِ اَيَازِى مُرْدَهَارَا نَغْمَهَاىِ اَزَلِى اَزْ حُزْن اَنْگِيزِ نَوَازِى رُوحَه مِى آيَدْ اَزُو زَمْزَمَهِ نَازُ نِيَازِى قَلْب مِيخَوانَدْ اَزِينْ آيَاتْهَا سِرِّ تَوْحِيدْ زِعُلُوِّ نَظْمِ اِعْجَازِى نَفْس مِيخَواهَدْ دَرْ اِينْ وَلْوَلَهَا زَلْزَلَهَا ذَوْقِ بَاقِى دَرْ فَنَاىِ دُنْيَا بَازِى عَقْل مِيبِينَدْ اَزِينْ زَمْزَمَهَا دَمْدَمَهَا نَظْمِ خِلْقَتْ نَقْشِ حِكْمَتْ كَنْزِ رَازِى آرْزُو مِيدَارَدْ هَوَا اَزِينْ هَمْهَمَهَا هَوْهَوَهَا مَرْگِ خُود دَرْ تَرْكِ اَذْوَاِ مَجَازِى خَيَاْ بِينَدْ اَزِينْ اَشْجَارْ مَلاَئِكْ رَا جَسَدْ آمَدْ سَمَاوِى بَاهَزَارَانْ نَىْ اَزِينْ نَيْهَا شُنِيدَتْ هُوشْ سِتَايِشْهَاىِ ذَاتِ حَىْ وَرَقْهَارَا زَبَانْ دَارَنْد هَمَه هُو هُو ذِكْر آرَنْد بَدَرْ مَعْنَاىِ حَىُّ حَىْ چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ بَرَابَرْ مِيزَنَدْ هَرْ


 شَىْدَمَادَمْ جُويَدَنْد يَا حَقْ سَرَاسَرْ گُويَدَنْد يَا حَىْ بَرَابَرْ مِيزَنَنْد اَللّٰهْ فَيَا حَىُّ رَيَا قَيُّومُ بِحَقِّ اِسْمِ حَىِّ قَيُّومِ حَيَاتِى دِهْ بَاِينْ قَلْبِ پَرِيشَانْ رَا اِسْتِقَامَتْ دِهْ بَاِينْ عَقْلِ مُشَوَّشْ رَا آمِينْ


Makna bagi bait-bait berbahasa Parsi tentang buah pohon Pain, Sedar, Juniper dan Poplar Hitam di kawasan Tepelice di Tanah Tinggi Barla.


 


هَرْكَسْ بِتَمَاشَاگَهِ حُسْنَاتَه زِهَرْجَاىْ تَشْبِيهِ نِگَارَانْ بِجَمَالاَتَه دِنَازِنْ


Terlintas di hatiku. Untuk mengifadahkan makna-makna renungan itu, hatiku juga menangis seperti berikut: Untuk menatap keindahan-Mu, semua orang bersegera datang dari semua tempat. Mereka bermanja dengan keindahan-Mu.


 


يَا رَبْ هَرْ حَىْ بِتَمَاشَاگَهِ صُنْعِ تُو زِهَرْجَاىْ بَتَازِى


Ya

Rabb! Setiap benda hidup muncul dari semua tempat untuk menatap-Mu dan memandang kepada muka bumi yang merupakan hasil seni-Mu.

 

زِنَشيِبُ اَزْ فِرَازِى مَانَنْدِ دَلاَّلاَنْ بِنِدَاءِ بِآوَازِى


Dari atas dan bawah, mereka keluar dan menjerit seperti para juruhibah.

 

دَمْ دَمْ زِجَمَاِ نَقْشِ تُو زِهَوَاىِ شَوْقِ تُو دَرْ رَقْصُ بَازِى

Pohon-pohon yang umpama juruhibah itu menikmati ukiran keindahan-Mu lalu melambai menari.

 

زِكَمَالِ صُنْعِ تُو خُوشْ خُوشْ بِگَازِى نُسْخَه


101. Page

Pohon-pohon itu keriangan dengan kesempurnaan seni-Mu lalu menghasilkan suara yang indah.[1]


 

زِشِيرِينِى آوَازِ خُودْ هَىْ هَىْ دِنَازِى


Seolah-olah kemerduan suara mereka turut meriangkan mereka lalu menyebabkan mereka bermanja dengan penuh kemanjaan.

 

اَزْ وَىْ رَقْصَه آمَدْ جَذْبَه خَازِى


Justeru kerana itulah pohon-pohon itu telah menari dan maukan juzbah.

 

اَزِينْ آثَارِ رَحْمَتْ يَافْت هَرْ حَىْ دَرْسِ تَسْبِيحُ نَمَازِى


Melalui tanda-tanda rahmat Ilahi inilah setiap yang bernyawa mengambil pelajaran tasbih dan solat yang dikhususkan kepada dirinya sendiri.

 

اِيسْتَادَسْت هَرْ يَكِى بَرْ سَنْگِ بَالاَ سَرْفِرَازِى

Selesai mengambil pelajaran, setiap pohon tegak berdiri di atas batu yang tinggi sambil mengangkat kepalanya ke langit.

 

دِرَازْ كَرْدَسْت دَسْتهَارَا بَدَرْگَاهِ اِلٰهِى هَمْ چُو شَهْبَازِى

Masing-masing telah mengambil kedudukan yang hebat untuk beribadat sambil memanjangkan ratusan tangannya ke gerbang Ilahi seperti Shahbaz Qalandar.[2]

 

بَجُنْبِيدَسْت زُلْفهَارَا بَشَوْ اَنْگِيزِ شَهْنَازِى

Mereka melambai-lambaikan ranting-ranting kecil yang seperti untaian rambut dan dengannya pohon-pohon itu memperingatkan kegembiraan yang latif (lembut) dan kenikmatan yang tinggi kepada mereka yang turut menatap.[3]


بَبَالاَ مِيزَنَنْد اَزْ پَرْدَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِشْق بَازِى

Mereka memberikan suara bagaikan menyentuh urat-urat dan perasaan yang paling sensitif dari tabir-tabir keriuhan cinta.[4]

 

مِيدِهَدْ هُوشَه گِيرِينْهَاىِ دِيرِينْهَاىِ زَوَالِى اَزْ حُبِّ مَجَازِى

Dari keadaan ini datang arti seperti berikut kepada pikiran: Tangisan yang datang dari kesakitan kehilangan rasa cinta yang majazi (hayalan), memperingatkan satu rintihan pilu yang amat mendalam.

 

بَرْ سَرِ مَحْمُودْهَا نَغْمَهَاىِ حُزْن اَنْگِيزِ اَيَازِى

[1] زِهَوَاىِ شَوْقِ تُو : نُسْخَه
[2] Shahbaz Qalandar ialah seorang pahlawan yang masyhur yang berlindung ke gerbang rahmat Ilahi melalui bimbingan Syeikh Jailani lalu naik ke martabat kewalian.
[3] Shahnaz Celkezi ialah rupawan dunia yang masyhur dengan rambutnya yang mempunyai empat puluh dandan.
[4] Bait yang dimansuhkan di bawah merujuk kepada pohon Juniper yang di tanah perkuburan.
بَبَالاَ مِيزَنَنْد اَزْ پَرْدَه هَاىِ هَاىُ هُوىِ چَرْخِ بَازِى مُرْدَهَارَا نَغْمَهَاىِ اَزَلِى اَزْخُزْنِ اَنْگِيزِ نَوَازِى




102. Page

Mereka memperdengarkan bentuk alunan berbaur kesedihan bagi para kekasih di atas kepala semua pencinta yang telah berpisah dari kekasihnya seperti para Mahmud yakni Sultan Mahmud.

 

مُرْدَهَارَا نَغْمَهَاىِ اَزَلِى اَزْ حُزْنِ اَنْگِيزِ نَوَازِى

Mereka kelihatan bagaikan mempunyai tugas memperdengarkan alunan-alunan azali dan suara-suara yang menggambarkan kesedihan kepada para si mati yang telah terputus dari mendengar suara dan kata-kata duniawi.

 

رُوحَه مِى آيَدْ اَزُو زَمْزَمَهِ نَازُ نِيَازِى


Dari keadaan ini, roh telah paham seperti berikut: Sesungguhnya benda-benda adalah irama rayuan manja yang datang membalas tajalli (ketinggian) nama-nama as-Sani’ Dzul Jalal  (Pencipta yang Mahatinggi) melalui tasbihat (perumpamaan).


 

قَلْب مِيخَوانَدْ اَزِينْ آيَاتْهَا سِرِّ تَوْحِيدْ زِعُلُوِّ نَظْمِ اِعْجَازِى


Hati membaca rahasia tauhid dari setiap pohon ibarat ayat-ayat besar itu sebagai ketinggian nazam (gubahan) kemukjizatan ini. Yakni, terdapat ketersusunan, seni ciptaan dan hikmah yang begitu hebat pada penciptaan pohon-pohon itu sehingga seandainya semua kausalitas alam semesta diandaikan sebagai pelaku yang terpilih dan berkumpul (untuk menjadikannya), niscaya mereka tidak mungkin dapat menirunya.

 

نَفْسِ مِيخَواهَدْ دَرْ اِينْ وَلْوَلَهَا زَلْزَلَهَا ذَوْقِ بَاقِى دَرْ فَنَاىِ دُنْيَا بَازِى

Nafsu begitu melihat keadaan itu, ia nampak seluruh muka bumi bagaikan berguling dalam gempa perpisahan yang berbaur keirian. Maka ia mencari satu kenikmatan yang baqa. Lalu ia memahami bahawa kamu akan menemuinya dengan meninggalkan pemujaan dunia.

 

عَقْل مِيبِينَدْ اَزِينْ زَمْزَمَهَا دَمْدَمَهَا نَظْمِ خِلْقَتْ نَقْشِ حِكْمَتْ كَنْزِ رَازِى

Akal menemui susunan penciptaan, ukiran hikmah dan khazanah rahasia yang sangat bermakna dari irama hewan dan pohonan dan dari geseran tumbuhan dan udara. Dia memahami bahwa setiap benda bertasbih memuji as-Sani’ Dzul Jalaal melalui banyak sudut.

 

آرْزُو مِيدَارَدْ هَوَا اَزِينْ هَمْهَمَهَا هَوْهَوَهَا مَرْگِ خُودْ دَرْ تَرْكِ اَذْوَاقِ مَجَازِى


Hawa nafsu pula mendapat kelezatan yang begitu enak dari desiran angin dan gesekan daunan sehingga ia melupakan semua kelezatan majazi kepadanya lalu dengan meninggalkan kelezatan majazi yang merupakan nyawa hawa nafsu, ia mau mati dalam kelezatan hakikat ini.

 

خَيَالْ بِينَدْ اَزِينْ اَشْجَارْ مَلاَئِكْ رَا جَسَدْ آمَدْ سَمَاوِى بَاهَزَارَانْ نَىْ


Hayalan melihat seolah-olah para malaikat yang diwakilkan untuk pokok-pokok itu telah masuk ke dalamnya lalu memakai pohon-pohon yang dipakaikan dengan ney (seruling Turki) yang banyak di setiap dahannya sebagai tubuh. Seolah-olah as-Sultanus Sarmadi telah memakaikan itu semua kepada mereka dengan bunyian ribuan ney dalam satu pembukaan 

103. Page

rasmi yang hebat sehingga pohon-pohon itu memperlihatkan keadaan mereka bukan seperti jisim yang kaku dan tiada perasaan bahkan sangat bermakna dan mempunyai perasaan.

 

اَزِينْ نَيْهَا شُنِيدَتْ هُوشْ سِتَايِشْهَاىِ ذَاتِ حَىْ

Justeru, ney-ney itu adalah murni dan memberi kesan bagaikan datang dari pemusik yang samawi dan tinggi (kedudukannya). Pikiran tidak mendengar keluhan-keluhan perpisahan yang menyakitkan yang telah didengari oleh para pencinta yang diketuai oleh Maulana Jalaluddin ar-Rumi dari ney-ney itu. Bahkan ia mendengar ucapan kesyukuran Rahmani dan pujian Rabbani yang dipersembahkan kepada Dzat al-Hayyul Qayyum.

 

 

 

وَرَقْهَارَا زَبَانْ دَارَنْد هَمَه هُو هُو ذِكْرِ آرَنْد بَدَرْ مَعْنَاىِ حَىُّ حَىْ


Memandangkan tiap-tiap pohon telah menjadi tubuh dan daun-daun juga telah menjadi lidah, maka berarti bahwa setiap satunya mengulang-ulang zikir ‘Hu Hu’ melalui ribuan lidah dan melalui sentuhan udara. Semuanya mengumumkan bahwa as-Sani’nya ialah al-Hayyul Qayyum melalui ucapan tahiyyat hidup mereka.

 

چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ بَرَابَرْ مِيزَنَدْ هَرْ شَىْ

Karena semua benda melafazkan لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ lalu mereka bekerja dengan cara berzikir bersama-sama dalam halaqah zikir alam semesta yang agung.

 

دَمَادَمْ جُويَدَنْدْ يَا حَقْ سَرَاسَرْ گُويَدَنْدْ يَا حَىْ بَرَابَرْ مِيزَنَنْد اَللّٰهْ

Waktu demi waktu, mereka meminta hak-hak kehidupan dari khazanah rahmat dari Allah Taala melalui lidah persediaan dengan melafazkan Ya Haq. Sekalian mereka juga dari awal hingga akhir menyebut nama Ya Hayy melalui lidah kehidupan yang terzahir pada mereka.

 

فَيَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِحَقِّ اِسْمِ حَىٍّ قَيُّومٍ

حَيَاتِى دِهْ بَاِينْ قَلْبِ پَرِيشَانْ رَا اِسْتِقَامَتْ دِهْ بَاِينْ عَقِلْ مُشَوَّشْ رَا آمِينْ


 

Suatu masa di Barla, pada malam hari, di satu tempat yang tinggi di Gunung Pain, aku telah mengamati wajah langit. Tiba-tiba ungkapan-ungkapan yang akan dinyatakan nanti telah terlintas. Ia ditulis seolah-olah aku secara hayalan telah mendengar perbincangan bintang-bintang melalui lisanul hal-nya. Oleh sebab aku tidak tahu tentang Nazam dan Syair maka ia tidak mengikut kaedah puisi. Ia ditulis sebagaimana ia terlintas. Ia telah dipetik dari Surat Keempat dan dari pengujung perhentian Pertama Kalimah Ketiga Puluh Dua.


Surat yang mengandaikan bintang bicara

 

Dengarlah juga khutbah menawan bebintang ini     

Perhatikanlah bagaimana hikmah menyusun bintang-bintang yang bercahaya itu?

 

Semuanya bertutur bersama, dengan lidah yang benar:

104. Page

“Kami semua adalah burhan yang memancarkan cahaya

kepada kehebatan kerajaan al-Qadir Dzul Jalal

Kami juga saksi kepada kewujudan as-Sani’ malah kepada keesaan dan kekuasaan-Nya

Kami merupakan mukjizat menawan yang menyaduri wajah bumi itu untuk dijelajahi malaikat,

Serta ribuan mata langit yang memandang kepada bumi dan memberi tumpuan[1] kepada surga

Dari (pohon)Tuba penciptaan ke belahan langit ke semua dahan Bima Sakti

Kamilah buah-buah yang sangat indah yang diletakkan melalui tangan hikmah al-Jamil Dzul Jalaal. Tiap kami adalah masjid bergerak, rumah berputar, sarang yang tinggi, lampu bersinar, bahtera yang besar dan pesawat terbang bagi penghuni langit ini.

Tiap kami ialah mukjizat qudrat al-Qadir Dzul Kamal, al-Hakim Dzul Jalal, kehebatan seni al-Khaliq, keajaiban hikmah, kebijaksanaan penciptaan dan alam cahaya.

Kami memperlihatkan dan memperdengarkan seratus ribu burhan melalui seratus ribu bahasa begini kepada insan yang benar-benar insan.

Semoga butalah mata mereka yang tidak beragama dan semoga mereka tidak dapat lagi melihat wajah kami dan tidak akan mendengar lagi kata-kata kami!

Karena kamilah ayat-ayat yang menyatakan kebenaran

 

Stempel kami satu, tanda kami satu, kami patuh kepada Rabb kami.

Kami selalu bertasbih dan berzikir dengan penuh pengabdian.

Kamilah mereka yang juzbah yang tergolong dalam halaqah agung Bima Sakti.”

 

Demikianlah kata-kata mereka yang  aku dengari secara hayalan.

 

 

Tambahan

 

Tambahan bagi Risalah Taqdir yang membicarakan tentang jalan al-Quran yang paling pendek.

Kami kagum apabila melihat kemasukan enam puluh enam perkataan ke dalam tawafuq pada halaman pertama dalam naskah yang telah ditulis secara bersusah payah oleh seorang penyalin yang paling tidak berpengalaman yang tidak tahu tentang tawafuq. Maka kami meletakkan isyarat. Lalu kami menyalinnya dalam bentuk yang sama seolah-olah tiada lagi kalimah yang serupa melainkan semuanya bertawafuq. Darinya kami paham bahwa tambahan

[1] Yakni, sebab mukjizat qudrat yang tidak terhitung telah dipamerkan di atas muka bumi yang merupakan tanah semaian dan kebun kecil bunga-bunga surga, sebagaimana para malaikat di alam langit menatap mukjizat dan kehebatan itu, bintang-bintang yang ibarat mata benda-benda langit juga seolah-olah seperti malaikat sebaik saja nampak masnuat yang manja di muka bumi, mereka memandang ke alam surga. Mereka memandang kepada bumi dan surga seperti mereka menyaksikan kehebatan yang sementara itu di surga juga dalam bentuk yang baqa. Yakni, mereka mempunyai pandangan kepada dua alam itu.


105. Page

yang kecil ini mempunyai kepentingan yang besar. Ia bermanfaat untuk semua. Sebab tidak semua orang membaca Risalah Taqdir maka ia tidak dimanfaatkan. Rahasia ini mengisyaratkan bahwa ia diambil dari Risalah Taqdir yang susah lalu ditulis di tempat yang mudah.

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

 

Sesungguhnya jalan yang membawa kepada Allah adalah sangat banyak. Semua jalan yang benar telah diambil dari al-Quran. Tetapi sebagian jalan lebih pendek, lebih selamat dan lebih umum dibanding dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya salah satu dari jalan-jalan itu ialah jalan al-‘ajzu (kelemahan), al-faqru (kefakiran), asy-syafaqah (kasih) dan at-tafakkur (tafakur) yang aku dapati dari al-Quran melalui kepahamanku yang kecil.


Ya, sesungguhnya cinta kelemahan juga bahkan merupakan satu jalan yang lebih selamat karena melalui jalan ubudiyyah ia dapat sampai ke tahap mahbubiyyah (sesuatu yang dicintai). Kefakiran juga dapat membawa kepada nama ar-Rahmaan. Rasa kasih juga seperti cinta bahkan jalan yang lebih tajam dan lebih luas karena ia membawa kepada nama ar-Rahiim. Malah tafakkur juga seperti cinta. Bahkan jalan yang lebih kaya dan lebih terang karena ia membawa kepada nama al-Hakiim. Jalan ini adalah seperti jalan-jalan yang tersembunyi, bukan sepuluh langkah seperti Lataif ‘Asyarah. Ia juga bukan langkah-langkah yang dibuka menuju tujuh martabat Nufusus Sab’ah. Bahkan ia terdiri dari empat langkah. Selain dari tariqat ia juga adalah hakikat dan syariat. Janganlah disalah pahami, ia berarti melihat kelemahan, kefakiran dan kekurangannmu di hadapan Allah Ta‘ala. Bukan berarti melakukan semua itu ataupun memperlihatkannya kepada makhluk. Wirid bagi jalan yang singkat ini ialah: Mengikut Sunnah, melaksanakan segala fardhu dan meninggalkan dosa-dosa besar. Terutama menunaikan solat dengan menyempurnakan rukun dan melakukan zikir dan wirid selepas solat.

 

Ayat فَلاَ تُزَكُّوا اَنْفُسَكُمْ mengisyaratkan kepada Langkah Pertama.

Ayat وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذ۪ينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسَيهُمْ اَنْفُسَهُمْ mengisyaratkan kepada Langkah Kedua.

Ayat مَا اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَا اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ mengisyaratkan kepada Langkah Ketiga.

Ayat كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ اِلاَّ وَجْهَهُ mengisyaratkan kepada Langkah Keempat.

Penjelasan ringkas bagi empat langkah di atas adalah seperti berikut.

 

Langkah pertama: Tidak mensucikan diri (jangan menganggap diri kalian suci dari dosa). Itulah yang telah diisyaratkan oleh ayat فَلاَ تُزَكُّوا اَنْفُسَكُمْ. Ini kerana berdasarkan kepada perangai dan fitrahnya, manusia menyayangi dirinya sendiri. Bahkan yang paling utama dan hakikatnya, manusia hanya menyayangi dirinya. Dia sanggup mengorbankan segala-galanya untuk dirinya. Dia memuji dirinya dalam bentuk yang hanya layak kepada al-Ma’bud. Melalui penyucian yang hanya layak kepada al-Ma’bud, dia menyucikan dan membebaskan dirinya dari segala keaiban. Dia sedaya upaya tidak mau melihat dirinya layak dengan segala kekurangan dan menidakkannya. Dia bersungguh-sungguh mempertahankan dirinya bagaikan dia menyembah dirinya. Hatta dia telah menggunakan peralatan dan persediaan yang diamanahkan dalam fitrahnya dan diberikan kepadanya untuk memuji dan bertasbih kepada al-Ma’budul Hakim untuk dirinya sendiri. Maka dia menzahirkan maksud ayat مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهُ هَوَيهُ. Dia (hanya) nampak 

106. Page

dirinya sendiri, bergantung kepada dirinya sendiri dan hanya menyukai dirinya sendiri. Justeru, pembersihan dan penyuciannya pada langkah ini tidak membersihkan dan membebaskannya.

 

  Langkah kedua: Ayat وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذ۪ينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسَيهُمْ اَنْفُسَهُمْ memberitahu bahwa manusia telah melupakan dirinya dan dia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Apabila dia memikirkan kematian, dia menyerahkannya kepada yang lain. Jika diamelihat kefanaan dan kelenyapan, dia tidak pernah mengambil kepada dirinya (menganggap bahwa itu untuk dirinya). Dia melupakan dirinya sendiri pada maqam tanggungjawab dan khidmat, tetapi pada maqam mendapat ganjaran dan mengambil manfaat dari peluang, dia memikirkan dirinya dan bersungguh-sungguh membiasakannya. Sesungguhnya ini apa yang dikehendaki oleh nafsu amarah pada dirinya. Maka penyucian, pembersihan dan pentarbiahannya pada maqam ini adalah bertentangan dengan keadaan itu. Yakni tidak lupa apabila melupakan diri sendiri. Yakni melupakan diri dalam peluang dan ketamakan namun memikirkannya pada kematian dan khidmat.


Langkah ketiga: Ayat مَا اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَا اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ memberitahu bahwa kehendak nafsu manusia senantiasa menganggap kebaikan itu datang dari dirinya. Lalu dia masuk ke dalam kebanggaan dan ujub. Maka pada langkah ini apa yang dilihatnya hanyalah kecacatan, kekurangan, kelemahan dan kefakiran pada dirinya. Kemudian dia memahami bahwa semua kebaikan dan kesempurnaan merupakan nikmat-nikmat yang telah dikurniakan oleh al-Fatir Dzul Jaalal kepadanya lalu dia menggantikan rasa bangga dengan bersyukur dan menggantikan sifat suka dipuji dengan memuji Ilahi. Penyuciannya pada martabat ini melalui rahasia قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكَّيهَا adalah seperti berikut: Manusia mengetahui bahwa kesempurnaannya adalah pada kekurangannya, kekuatannya pada kelemahan dan kekayaannya adalah pada kefakirannya.

 

  Langkah keempat: Ayat كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ اِلاَّ وَجْهَهُ memberitahu bahwa nafsu manusia menganggap bahwa dirinya adalah bebas dan tidak terikat serta memang maujud. Maka dia menyeru sejenis rububiyyah. Dia membawa keengkaran yang penuh permusuhan terhadap al-Ma’bud-nya. Justeru, dengan menyadari hakikat yang akan datang berikut dia dapat menyelamatkan diri darinya. Hakikat itu ialah: Melalui makna nama pada dirinya, setiap benda adalah fana, hilang, baru dan tiada. Tetapi melalui arti hurufnya dan dari sudut tugas mencerminkan nama-nama as-Sani’ Dzul Jalaal dan dari sudut tugas, dia ialah saksi, yang disaksikan, yang mewujudkan dan diwujudkan. Penyucian dan pembersihannya pada maqam ini adalah seperti berikut:

 

Terdapat ketiadaan pada kewujudannya dan kewujudan pada ketiadaannya. Yakni, jika dia menganggap dirinya terjadi dengan sendiri dan dia yang memberikan kewujudan, maka dia berada di dalam gelap ketiadaan seluas alam semesta. Yakni, jika dia bergantung kepada kewujudan dirinya sendiri lalu lalai dari al-Mujidul Haqiqi, maka cahaya kewujudan dirinya yang seperti kunang-kunang akan berada dan tenggelam di dalam gelap ketiadaan dan perpisahan yang tiada tepian. Tetapi bila dia meninggalkan ananiyyah dan nampak bahwa dirinya sememangnya bukanlah apa-apa dan wujudnya cermin tajalli al-Mujidul Haqiqi, maka dia akan 

107. Page

mendapat semua maujudat dan kewujudan yang tiada penghujung. Kerana hati yang menemui Dzat Wajibul Wujud yang mana semua maujudat akan kembali kepada-Nya.

 

Penutup: Penjelasan bagi empat langkah di jalan kelemahan, kefakiran, rasa kasih dan tafakkur ini telah dinyatakan dalam dua puluh enam Kalimah yang berkenaan dengan ilmu hakikat, hakikat syariat dan hikmah al-Quran. Di sini kami hanya akan mengisyaratkan secara ringkas kepada satu atau dua poin.

 

Ia seperti berikut: Ya, jalan ini adalah lebih pendek. Karena ia hanya empat langkah. Sesungguhnya, apabila kelemahan melepaskan tangannya dari nafsu, maka ia secara langsung akan menyerahkannya kepada al-Qadir Dzul Jalaal. Manakala rasa cinta yang merupakan jalan yang paling berkesan menarik tangan dari nafsunya, tetapi ia bergantung kepada kekasih majazi. Namun setelah kekasih itu menemui kelenyapannya, barulah ia pergi kepada al-Mahbubul Haqiqi.

 

Jalan ini lebih selamat. Karena padanya tidak terdapat panggilan nafsu yang mengacau dan jauh tersasar. Karena pada dirinya tidak ditemui kecuali kelemahan, kefakiran dan kekurangan untuk melampaui batas.

 

Jalan ini lebih umum dan merupakan jalan terbesar. Karena ia tidak terpaksa untuk mengganggap bahwa alam semesta dihukum dengan penghapusan seperti ahli wahdatul wujud demi mendapatkan rasa berada di hadapan Allah yang berterusan lalu ia menghukumkan لاَ مَوْجُودَ اِلاَّ هُوَ ataupun seperti ahli wahdatus syuhud yang mengandaikan bahwa alam semesta dihukum dengan kurungan di dalam penjara kelupaan mutlak demi me rasakan berada di hadapan Allah yang berterusan lalu mengatakan لاَ مَشْهُودَ اِلاَّ هُوَ.

 

Bahkan, karena al-Quran telah membebaskan alam semesta dari penghapusan dan pemenjaraan dengan cara yang sangat lahir, maka diri manusia juga tidak mempedulikannya dengan cara menyingkirkan maujudat dari khidmat atas nama mereka sendiri. Lalu manusia menggunakan maujudat itu atas nama al-Fatir Dzul Jalaal dan dengan cara memperkerjakan mereka dalam tugas penerimaan dan pencerminan Asmaul Husna, maka manusia memandang mereka melalui makna hurufnya. Maka ia selamat dari kelalaian mutlak dan memasuki rasa berada di hadapan Allah yang berterusan dan menemui jalan menuju Allah Taala pada setiap benda.

 

Hasilnya: Sesungguhnya jalan ini menyingkirkan maujudat dari khidmat atas nama maujudat itu sendiri dan tidak memperhatikannya dengan arti namanya.