LAMA'AT KEDUA

6. Page

LAMA’AT KEDUA َّ

 

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

 “Dan Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’.” (Qs. al-Anbiya’ [21]: 83) 

 

Munajat Nabi Ayub 'alaihissalām -pahlawan kesabaran– ini merupakan doa yang mujarab dan sangat manjur. Maka, dalam setiap munajat-munajat kita, kita pun harus memanjatkan doa seperti yang dipanjatkan Nabi Ayyub dalam ayat atas

 

رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِين

 

“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” 

 

Ringkasan dari kisah nabi Ayyub -'alaihissalām- yang masyhur adalah sebagai berikut: (Nabi) Ayyub -'alaihissalām- telah menderita luka dan borok dalam waktu yang lama. Namun, İa menghadapi penyakit itu dengan penuh kesabaran sembari memikirkan pahala besar dari penyakit itu. Tapi ketika cacing-cacing yang keluar dari luka-lukanya mulai mengenai hati dan lidahnya, ia memanjatkan doa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan penyakit ini mengganggu dzikir lisanku dan ibadah hatiku” (munajat) ini dipanjatkan Ayub -'alaihissalām- bukan untuk kenyamanannya, tapi karena dia berpikir agar penyakitnya tidak mengganggu ibadahnya yang dia laksanakan dengan hati dan lidahnya yang merupakan sarana dzikir pada Allah dan makrifat ilahi. 

 

Allah pun mengabulkan munajat yang ikhlas, tulus, murni, dan jauh dari segala kotoran tersebut, dengan jawaban yang luar biasa. Dan (Allah) memberikan kesembuhan total padanya, serta mencurahkan beragam rahmat-Nya atasnya. 

 

Lama’at ini mengandung lima noktah: 

 

Noktah Pertama

Sesungguhnya di dalam diri kita terdapat penyakit-penyakit batiniyah, rohaniyah, dan kalbiyah, sejalan dengan luka-luka nabi Ayyub -'alaihissalām- dan penyakit-penyakit lahiriahnya. Seandainya sisi batin kita berubah menjadi lahiriah, dan sisi lahiriah kita berubah menjadi batin, tentu akan tampak bahwa kita ini terserang luka-luka dan penyakit yang jauh lebih banyak dari yang dialami nabi Ayyub. Sebab, setiap dosa yang kita lakukan, dan setiap syubhat yang merasuk ke otak kita, akan selalu menimbulkan luka-luka di hati dan rohani kita. Luka-luka nabi Ayyub hanya 

7. Page

mengancam kehidupan dunianya yang pendek, sedangkan luka-luka maknawi kita, itu akan mengancam kehidupan kita yang kekal abadi. Karena itu, kita sangat perlu memanjatkan munajat Ayyubiyah tersebut, lebih banyak seribu kali dari Ayyub sendiri. Sebagaimana cacing yang keluar dari luka-luka nabi Ayyub menyerang hati dan lidahnya, demikian pula halnya luka-luka yang timbul akibat dosa dan kesalahan kita, serta rasa was-was dan ragu-ragu yang bermunculan akibat luka-luka itu, -na’udzu billah- (pasti) akan menyerang batin hati kita yang merupakan tempat keimanan. Maka, (luka-luka) itu pun menggerogoti dan mengoyak keimanan kita, lalu menyerang kelezatan spiritual lisan yang merupakan penerjemah keimanan, serta menjauhkan lisan dari berdzikir dan membungkamnya. 

 

Ya,, Dosa merasuk ke dalam hati, menembusnya, dan terus menerus menyebarkan bintik-bintik hitam hingga iman yang ada di dalamnya keluar. Sungguh, dalam setiap dosa terdapat jalan menuju kekufuran. Jika dosa tersebut tidak segera dihapus dengan meminta ampunan (istighfar), bukan hanya berubah menjadi ulat, bahkan menjadi ular kecil maknawi yang akan mematok hati.

 

Sebagai contoh: Orang yang melakukan perbuatan dosa yang memalukan dengan sembunyi-sembunyi akan sangat merasa malu jika perbuatannya itu diketahui orang lain, maka keberadaan malaikat dan makhluk ghaib (ruhaniyyat lainnya) akan terasa sangat berat baginya (untuk diakui), dan dia pun ingin mengingkari keberadaan mereka meski dengan (adanya) suatu petunjuk kecil. 

 

Sebagai contoh lagi: Orang yang melakukan dosa besar, yang akan membuatnya mendapatkan siksa neraka jika dia tidak membentengi dirinya dengan istighfar, setiap kali mendengar ancaman-ancaman neraka ia akan mengingkari keberadaannya dengan sepenuh hatinya. Maka adanya suatu keragu-raguan atau amarah kecil dalam dirinya sudah cukup baginya untuk membangkitkan keberanian mengingkari keberadaan neraka. 

 

Contoh lainnya: Orang yang tidak menunaikan shalat fardhu yang sudah ditentukan dan tidak memenuhi tugas kewajiban ibadahnya, serta merasa sakit hati ketika mendapat teguran dari atasannya disebabkan kelalaiannya melaksanakan tugasnya, maka kemalasannya dalam memenuhi tugasnya terhadap perintah yang berulang-ulang dari Sang Penguasa kekekalan dan keazalian akan membuatnya begitu tertekan. Dan karena tekanan ini dia mengingkari keberadaan tugas kewajiban ibadah ini, serta berkata dalam hati , “Andaikan saja (ibadah) ini tidak ada.” Dari hasrat inilah kemudian muncul keinginan pengingkaran yang darinya tercium bau permusuhan maknawi terhadap Allah . Jika keragu-raguan terhadap keberadaan Allah sudah merasuk ke dalam hati, maka dia akan cenderung meyakini keraguan tersebut, seakan-akan ia merupakan suatu dalil yang mutlak. Dengan demikian, terbukalah baginya pintu kehancuran yang besar. Dan orang celaka ini tidak menyadari bahwa dengan pengingkaran itu dia justru membiarkan dirinya menghadapi suatu kesulitan maknawi, lebih sulit jutaan kali, bahkan milyaran kali, ketimbang kesulitan parsial dan 

8. Page

ringan yang timbul dari (kemalasannya melaksanakan) tugas kewajiban ibadah. Dia lari dari gigitan nyamuk untuk menerima gigitan ular. Demikianlah, hendaknya contoh-contoh tersebut dijadikan suatu kiasan sehingga rahasia ayat berikut menjadi jelas dan dapat difahami:

 

بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

 “Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Qs. al-Muthaffifin [83]: 14) 

 

Nuktah Kedua: Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai rahasia takdir (qadar) di kalimat ke-26 bahwa manusia tidak berhak mengeluh terhadap berbagai musibah dan penyakit karena “tiga aspek,”  

 

Aspek Pertama: Allah SWT telah menjadikan busana tubuh yang Dia pakaikan pada manusia sebagai kreasi ciptaannya. Yakni, (Allah) menjadikan manusia sebagai model di mana Dia bisa memotong, memangkas, mengganti dan mengubah model busana eksistensi (wujud) itu, sehingga dengan demikian tampaklah tajalli (manifestasi) nama-nama-Nya yang beragam. Sebagaimana nama “al-Syafi” (Maha Penyembuh) menuntut adanya penyakit, demikian pula nama “al-Razzaq” (Maha Pemberi Rizki) menuntut adanya rasa lapar. Demikianlah:

 

مَالِكُ الْمُلْكِ يَتَصَرَّفُ ف۪ي مُلْكِه۪ كَيْفَ يَشَٓاءُ

Sang Pemilik kerajaan berhak melakukan apa pun terhadap kerajaan-Nya seperti yang Dia kehendaki. 

 

Aspek Kedua: Sesungguhnya kehidupan menjadi jernih dengan adanya musibah dan penyakit. Dengan musibah dan penyakit itu pula ia mencapai kesempurnaan, semakin kuat, kian berkembang, produktif, menjadi lebih sempurna, dan menunaikan tugas-tugasnya. Adapun kehidupan monoton di atas kasur istirahat, itu lebih dekat kepada ketiadaan (‘adam) yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kedekatannya kepada eksistensi (wujud) yang merupakan kebaikan mutlak; (bahkan) ia condong pada ketiadaan. 

 

Aspek Ketiga: Sesungguhnya dunia ini merupakan medan ujian dan tempat pengabdian. Ia bukan tempat bersenang-senang, serta bukan pula tempat menerima upah dan imbalan. Karena ia merupakan rumah pengabdian dan tempat beribadah, maka segala penyakit dan musibah –dengan syarat ia tidak bersifat keagamaan dan dengan syarat bersabar atasnya– akan selaras dengan pengabdian dan peribadahan (‘ubudiyyah) tersebut, serta akan semakin menguatkannya. Maka, hendaknya bersyukur, bukan berkeluh kesah atasnya; sebab ia bisa menjadikan setiap jamnya laksana ibadah seharian penuh. Sesungguhnya ibadah terbagi dua: yang satu positif, dan yang lainnya negatif. Yang positif sudah jelas. Sementara yang negatif adalah, ketika orang tertimpa penyakit dan musibah menyadari kelemahannya, maka ia pun 

9. Page

berlindung dan berpaling kepada Tuhannya yang Maha Pengasih, serta memperhatikan-Nya dan menundukkan diri (tadlarru’) kepada-Nya. Dengan demikian, ia telah melaksanakan suatu ibadah yang tulus. Maka ‘ubudiyyah ini pun tulus, tidak terkotori oleh riya. Jika orang bersabar atasnya, serta menghitung-hitung pahala musibah itu dan bersyukur kepada Rabbnya, maka saat itu setiap waktu dari jam-jam (yang dilaluinya) bernilai ibadah seharian penuh. Umurnya yang pendek berubah menjadi umur yang panjang. Bahkan ada sebagian dari (musibah dan penyakit) itu akan mengubah setiap detiknya bernilai ibadah seharian penuh. Hingga saya pernah begitu mengkhawatirkan penyakit berat yang dialami salah seorang saudara seakhirat saya, yaitu Hafidz Ahmad Muhajir. Terbesik dalam hati saya untuk memberikan ucapan selamat kepadanya. Karena setiap detik dari detik-detik penyakitnya bernilai ibadah seharian penuh. Begitulah, beliau bersyukur kepada Allah dalam kesabaran menghadapi penyakit tersebut.

 

Nuktah Ketiga:Sebagaimana telah kami jelaskan di sebagian kitab “al-Kalimat” bahwa, ketika setiap orang memikirkan kehidupannya yang telah berlalu, maka hati dan lisannya mungkin mengucapkan “Aduh!” atau “Alhamdulillah.” Yakni, mungkin dia merasa menyesal ataupun kecewa, atau pun memuji dan bersyukur kepada Allah. Hal yang membuat dia bersedih adalah derita-derita maknawi yang timbul dari lenyapnya kenikmatan-kenikmatan masa lalu dan keterpisahannya. Sebab, lenyapnya kenikmatan merupakan penderitaan. Kadang-kadang, kenikmatan temporal mewariskan penderitaan berkesinambungan. Memikirkannya akan semakin menambah luka-luka derita tersebut serta menghadirkan rasa penyesalan. Adapun kenikmatan dan kesenangan maknawi yang berkesinambungan dan timbul dari lenyapnya perderitaan-perderitaan temporal yang menimpa seseorang dalam kehidupan masa lalunya, itu akan membuatnya mengucapkan, “Alhamdulillah.” Dan saat dia memikirkan tentang pahala serta balasan akhirat yang merupakan hasil dari musibah, juga peralihan umurnya yang pendek menjadi umur yang panjang karena perantara musibah, maka dia akan bersyukur lebih banyak dari pada kesabarannya, sehingga mendorongnya untuk mengucapkan: 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي كُلِّ حَالٍ

“Segala puji bagi Allah atas segala hal,

 

سِوَي الْكُفْرِ وَ الضَّلاَلِ

Selain kekufuran dan kesesatan.” 

 

Terdapat peribahasa masyhur yang berbunyi, “betapa panjangnya masa musibah.” Ya, masa musibah (terasa) lama sekali (waktunya). Namun, dengan pengertian yang berbeda dari apa yang dikenal dan dipikirkan orang, mereka menganggap musibah itu panjang karena kesengsaraan dan penderitaan. Padahal sebetulnya ia menjadi terbentang panjang, seperti umur manusia karena menghasilkan kehidupan yang berkah.


10. Page

Nuktah Keempat : Sebagaimana telah dijelaskan di “Makam Pertama” pada “Kalimat ke-21” bahwa, jika manusia tidak mencerai-beraikan kekuatan kesabaran yang Allah anugerahkan kepadanya dengan sangkaan atau perkiraan yang tidak berdasarkan pada hakikat, maka kekuatan ini cukup (baginya) untuk menghadapi segala musibah. Tapi manusia, ketika dia memorak-porandakan kekuatan kesabaran dan memisahkannya untuk (penderitaan) masa lalu dan (kekhawatiran) masa depan disebabkan dominasi sangkaan, karena kelalaian, dan karena anggapannya bahwa kehidupan fana ini abadi, maka seketika itu kesabaran tak lagi mencukupi untuk menghadapi musibah yang sedang terjadi. Manusia pun mulai mengeluh, meratap, dan iba, seakan-akan dia mengadukan Allah kepada manusia. Dia mengeluh secara tanpa hak, gila, dan tidak sabaran. karena setiap hari yang telah berlalu, ketika ia sudah luruh dalam musibah itu, maka telah berlalu pula beban kesulitannya, dan yang tersisa (hanya) rasa nyamannya. 

 

Rasa sakitnya telah sirna, dan tersisa rasa kenikmatannya. kesulitannya menghilang, dan yang masih tersisa adalah ganjarannya. Karena itu, semestinya dia tidak boleh mengeluh, akan tetapi seharusnya ia bersyukur. Dia pun sepatutnya tak membenci, akan tetapi mencintai mereka. Sebab, usianya yang telah berlalu dan fana telah berubah menjadi usia yang kekal dan bahagia melalui perantara musibah. Karena itu, termasuk tindakan bodoh dan gila jika seseorang memikirkan derita (musibah) itu dengan perasaan sangka, dan mengacaukan sebagian kesabaran padanya. Adapun hari-hari yang akan datang, karena ia belum tiba, maka memikirkan penyakit dan musibah yang mungkin akan dialami pada hari-hari tersebut, serta mengeluh dan mengadukannya, itu merupakan suatu kebodohan. Demikian juga halnya, termasuk bodoh jika seseorang minum sepanjang hari dan makan terus-menerus karena khawatir besok dan lusa ia akan kelaparan dan kehausan. Demikian pula, ketika manusia memikirkan berbagai musibah dan penyakit yang akan menimpa di hari-hari mendatang, padahal saat ini sama sekali itu tidak ada. Jadi, merasa menderita karena penyakit itu sekarang, berkeluh kesah atasnya, dan menganiaya diri sendiri karenanya padahal musibah dan penyakit sama sekali belum terjadi. itu merupakan tindakan bodoh yang akan mencabut haknya untuk mendapatkan kasih sayang dan rahmat. 


Kesimpulan Seperti halnya bersyukur akan menambah nikmat, mengeluh pun akan menambah musibah dan mencabut hak pemiliknya untuk mendapatkan rahmat. Seorang lelaki yang diberkati di Erzurum[1] mengalami sakit keras pada tahun pertama Perang di Dunia Pertama. Saya menjenguknya, lalu ia mengeluhkan sakitnya ke saya. Katanya, “Saya tidak bisa tidur selama seratus hari.” Saya sangat iba padanya. Tiba-tiba terbetik pikiran di benakku, lalu saya katakan padanya, “Saudaraku! Seratus hari yang telah kau lewati dalam sakit dan kesempitan, itu kini bagimu nilainya sama dengan seratus hari dalam kebahagiaan dan kegembiraan. Maka janganlah engkau

[1] Salah satu kota di sisi timur laut Turki.



11. Page

mengeluh dengan terus memikirkannya. Bersyukurlah setiap kali engkau menatapnya. Adapun hari-hari mendatang, yang sama sekali belum tiba, bersandarlah kepada rahmat Rabbmu Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Jangan menangis sebelum dipukul, jangan takut dari sesuatu yang asalnya belum ada, jangan mewarnai wujud yang asalnya tidak ada. Pikirkanlah waktu sekarang, karena kekuatan kesabaranmu hanya cukup untuk saat ini. Jangan bertindak seperti seorang komandan bodoh yang menghadapi pasukan sayap kanan musuh dengan sayap kanan pasukannya sehingga menjadi kekuatan baru baginya. Namun ia mengirim kekuatan besar ke sayap kanan itu, dan mengirim kekuatan besar lainnya ke sayap kiri, padahal disana sama sekali belum ada pasukan musuh, mereka sama sekali belum datang, sehingga dengan demikian ia memperlemah pusat secara keseluruhan. Kemudian, musuh mengetahui kondisi ini. Mereka langsung menyerang pusat, sehingga ia mengalami kekalahan telak.” Saya katakan juga kepadanya, “Saudaraku! Jangan bertindak seperti komandan tersebut. Tapi satukan dan kumpulkan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi situasi saat ini saja. Pikirkanlah tentang rahmat ilahi, balasan akhirat, dan pengalihan umur fanamu menjadi umur yang kekal abadi. Bersyukurlah dalam kesenangan dan kegembiraan, sebagai ganti dari keluhan yang terus menerus ini, dan bersikaplah lapang dada sepenuhnya.” Setelah mendengar itu Ia kemudian berkata, “Alhamdulillah! Aku sudah sembuh sembilan puluh persen.” 

 

Nuktah Kelima

 

Nuktah Kelima ini terdiri dari “tiga permasalahan”: 


Masalah Pertama: Musibah yang sebenarnya dan berbahaya adalah musibah yang menimpa agama. Hendaknya kita senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari musibah keagamaan (mushibah diniyyah), serta meminta pertolongan dan takut kepada-Nya. Musibah-musibah yang bukan keagamaan jika dilihat dari sisi hakikat bukanlah sebuah musibah . karena sebagian darinya merupakan peringatan (tanbih) dan penyadaran (iqadh) rahmani. Sebagaimana seorang penggembala yang melemparkan batu ke kambingnya yang masuk ke ladang orang lain sehingga kambing tersebut merasa bahwa batu tersebut dimaksudkan untuk menyadarkannya dan mengingatkannya agar menghindar dari bahaya, sehingga dengan penuh senang hati dan rela (kambingnya) kembali, maka demikian pula halnya berbagai macam musibah lahiriah yang banyak sekali, itu merupakan suatu penyadaran dan peringatan ilahi bagi kita. Sebagian di antaranya untuk menghapus dosa, sebagian lagi untuk menghilangkan kelalaian dan membuat seseorang merasakan kelemahan dan ketidakmampuannya sebagai manusia, serta untuk menganugerahinya perasaan adanya semacam pengawasan Allah (raqabat Allah). sebagaimana telah disebutkan sebelumnya penyakit yang sejenis musibah pada hakikatnya bukanlah musibah, tapi merupakan karunia ilahi dan sebuah pembersihan . Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang maknanya: “Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya (menghapus dosa-dosanya) seperti halnya 

12. Page

dedaunan pohon yang berguguran”.[1] Sayidina Ayyub berdoa kepada Allah dalam munajat-munajatnya bukan untuk mendapatkan ketenteraman dirinya, tapi semata memohon kesembuhan demi ibadahnya, ketika musibah mencegahnya untuk berdzikir dengan lidah dan berpikir dengan hati. 

 

Maka, tujuan utama kita dengan munajat itu, kita wajib berniat untuk menyembuhkan luka-luka maknawi dan ruhani kita yang timbul dari dosa dan kesalahan. Adapun penyakit-penyakit lahiriah, maka dimungkinkan bagi kita untuk berlindung kepada Allah SWT kala (penyakit tersebut) mencegah kita untuk melaksanakan ibadah. Namun, itu pun bukan dalam bentuk penolakan dan keluhan, tapi kita harus merendahkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. Oleh karena kita ridho dengan rububiyah-Nya , maka kita harus ridho dengan segala takdir yang telah Allah gariskan untuk kita dengan rububiyah itu. 

 

Namun, mengeluh dengan rintihan dan kerisauan yang beraroma penolakan terhadap qadha dan qadar, itu merupakan semacam kritikan terhadap takdir dan tuduhan terhadap rahmat ilahi. Orang yang mengkritik takdir laksana membenturkan kepalanya sendiri ke paron dan hancur orang yang membuat tuduhan terhadap rahmat akan terhalang dari rahmat itu sendiri. Karena, sebagaimana menggunakan tangan yang patah untuk memukul justru akan semakin memperparah patahan tangan tersebut, demikian pula halnya orang yang tertimpa musibah, bila ia menghadapinya dengan keluh kesah dan kerisauan, justru itu akan membuat musibah menjadi berlipat ganda. 

 

Masalah Kedua: Setiap kali musibah lahiriah dianggap besar maka ia akan makin membesar, dan setiap kali dianggap kecil maka ia akan makin mengecil. Misalnya, setiap kali seseorang menaruh perhatian kepada ilusi yang dilihatnya di malam hari,maka ilusi itu akan membesar. Namun jika diabaikan dan tidak diperdulikan, ia akan lenyap dan hilang. Seperti halnya, setiap kali sarang lebah diusik, maka akan semakin menyerang balik. Namun ketika tak dipedulikan ia akan pergi dengan sendirinya, demikian pula halnya dengan musibah-musibah fisik. Ketika seseorang menganggap (musibah fisik) itu besar, dan diperhatikan, maka (musibah) itu akan semakin membesar. Karena dia memperdulikannya, musibah-musibah itu pun menembus ke dalam tubuh, menetap dan tinggal di hati, serta terus melahirkan musibah maknawi, sehingga (musibah fisik) akan selalu bersandar padanya dan berlanjut. Namun, ketika seorang dapat menghilangkan keresahan tersebut dengan ridho menerima takdir dan dengan bertawakal kepada Allah SWT, maka musibah fisik akan mengering secara bertahap, sebagaimana pohon yang mengering ketika akarnya ditebang. Untuk menjelaskan hakikat ini, saya pernah mengatakan: 


[1] Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, “Tidaklah seorang muslim dirun­dung musibah dan penyakit melainkan Allah menghapus dosa-dosanya sebagaimana deda­u­nan pohon yang gugur.” Baca, Shahih Muslim (V/2.138):


13. Page

wahai orang malang, tinggalkanlah erangan dan ratapan, kemarilah dan bertawakallah! 

Erangan dan ratapan adalah kesalahan, dan musibah di atas musibah, maka ketahuilah! Ketika engkau menyadari siapa yang mengujimu, kau pasti merasakan adanya karunia dalam kejernihan dan ketenangan yang tersimpan di balik musibah, maka ketahuilah! 

Jika kau tidak menyadarinya, maka dunia ini seluruhnya kering dalam kefanaan, maka ketahuilah! 

Kenapa kau harus mengerang karena ujian kecil, sementara kau sendiri tertimpa musibah sepenuh dunia?! Maka kemarilah dan bertawakallah! 

Hadapilah musibah dengan senyuman, agar musibah juga ikut tersenyum. 

Setiap kali engkau tersenyum, musibah akan mengecil dan berganti. 

Sebagaimana permusuhan dapat berubah menjadi perdamaian, dan pertikaian berganti menjadi gurauan, melalui senyuman terhadap musuh bebuyutan di tengah pertikaian atau peperangan, dan permusuhan pun meredup kemudian lenyap, maka demikian pula halnya musibah ketika dihadapi dengan tawakal. 

 

Masalah Ketiga: Setiap zaman mempunyai hukum dan aturan tersendiri. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah berubah bentuk. Bagi sebagian orang, pada waktu tertentu, musibah bukanlah musibah, tapi merupakan kelembutan ilahi (luthf ilahi). Aku melihat bahwa mereka yang tertimpa penyakit di zaman ini –selama itu tidak menyentuh agama– adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia. Hal ini tidak membuatku antipati terhadap segala penyakit dan musibah, juga tidak mewariskan perasaan iba dalam diri terhadap mereka. Itu karena aku dapati, setiap pemuda sakit yang datang kepadaku tak lain pasti lebih banyak ikatannya dengan tugas-tugas keagamaan dan akhirat dibanding pemuda lain yang sebaya. Hal tersebut membuat saya sadar, penyakit-penyakit yang menimpa mereka, bukanlah sebuah musibah, akan tetapi salah satu nikmat Allah SWT.. Sebab, meskipun penyakit ini mewariskan kesulitan bagi kehidupan dunianya yang fana dan singkat, namun ia berguna bagi kehidupan akhiratnya, dan bernilai ibadah. Seandainya ia sehat, mungkin saja ia tidak bisa menjaga kondisinya yang pernah dialaminya kala sakit lantaran dimabuk masa muda, atau karena kebodohan yang kini menyebar, bahkan bisa jadi ia mendobrak kebodohan dan kedunguan. 

 

Penutup: Allah SWT menyematkan kelemahan tak terbatas di dalam diri manusia, serta kemiskinan tak terhingga, hingga Dia dapat menampakkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan rahmat-Nya yang tak terhingga. Dia pun telah menciptakannya laksana mesin hingga Dia dapat memperlihatkan ukiran nama-nama-Nya yang tak terbatas. Sebab, mungkin saja manusia menderita dari berbagai sisi tanpa batas, seperti halnya ia juga mungkin bersenang-senang dari berbagai sisi tanpa batas. Di dalam mesin manusia ini terdapat ratusan perangkat, dan masing masing memiliki penderitaan, kesenangan, tugas yang berbeda-beda, dan ganjaran yang berbeda pula. Seakan-akan seluruh nama ilahi yang tampak di alam semesta (makrokosmos) juga tampak dalam sosok manusia (mikrokosmos). Dan seluruh tajalliyat asmaul