NAVIGATION
76. Page
LAMA'AT KEDUA BELAS
Seputar Penjelasan Dua Nuktah dari al-Qur’an Terkait Dua Pertanyaan Sederhana Saudara Ra’fat
بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ
Dengan Nama-Nya, Maha Suci Dia
وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ عَلٰٓي اِخْوَانِكُمْ وَ رَحْمَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ
Saudaraku yang mulia, yang tulus dan setia, Ra’fat
Pertanyaan-pertanyaan Anda di saat yang tidak tepat ini menempatkan saya berada dalam posisi sulit. Meskipun pertanyaan-pertanyaan Anda (yang pertama) kali ini bersifat parsial, namun ia terkait dengan dua nuktah Qur’ani.
Kemudian pertanyaan Anda (yang kedua) seputar bola bumi berhubungan dengan kritikan-kritikan ilmu geografi dan astronomi tentang tujuh tingkatan (lapis) bumi dan tujuh tingkatan (lapis) langit, karena itu permasalahan ini tampak pada saya memiliki urgensi.
Untuk ini, kami akan menjelaskan dua nuktah seputar dua ayat mulia secara ilmiah, menyeluruh, dan global, tanpa memandang parsialitas pertanyaan. Selanjutnya Anda bisa mengambil peran sendiri (sesuai) dengan kadar pertanyaan Anda yang parsial.
Nuktah Pertama
Ini terdiri dari dua poin.
Poin Pertama: Sesungguhnya rizki berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Agung Yang Esa, berdasarkan rahasia dua ayat ini:
وَكَاَيِّنْ مِنْ دَٓابَّةٍ لاَتَحْمِلُ رِزْقَهَا اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu.” (Qs. al-’Ankabut: 60)
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَت۪ينُ
“Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Qs. al-Dzariyat [51]: 58)
Dan (rizki) itu keluar dari khazanah rahmat-Nya. Maka tidak sepatutnya seseorang mati karena kelaparan, sebab rizki setiap makhluk hidup sudah berada dalam jaminan rabbani (ta’ahhud rabbani). Nyatanya, orang yang meninggal karena kelaparan dan ketiadaan rizki masih banyak.
Penjelasan hakikat dan rahasianya sebagai berikut:
Jaminan rabbani benar adanya. Tidak ada seorang pun meninggal dunia karena ketiadaan rizki. Sebab, Tuhan Yang Maha Bijaksana Maha Agung menyimpankan suatu bagian dari rizki yang dikirim-Nya ke dalam tubuh makhluk hidup sebagai cadangan dalam bentuk lemak dan minyak. Bahkan Dia juga menyimpankan suatu bagian dari rizki yang dikirim-Nya
77. Page
ke setiap sel tubuh, di ujung-ujung sel itu, dan menyimpannya sebagai persediaan cadangan yang dapat digunakan saat rizki dari luar terputus di masa mendatang. Maka orang-orang yang mati tersebut sebetulnya mati sebelum rizki cadangan yang tersimpan ini habis. Jadi, kematian ini terjadi bukan karena ketiadaan rizki, tapi mereka mati karena kebiasaan yang timbul dari buruknya ikhtiar dan kehendak,disebabkan penyakit yang muncul akibat meninggalkan kebiasaan buruk yang sudah biasa mereka lakukan.
Ya, rizki fitri yang tersimpan dalam bentuk lemak di dalam tubuh orang hidup berlangsung terus selama empat puluh hari penuh, untuk batasan pertengahan. Bahkan, (rizki) itu bisa mungkin berlangsung selama delapan puluh hari sebagai hasil dari alasan tertentu atau tenggelam dalam laku ruhani. Malahan, koran-koran pernah memuat sebuah berita tiga puluh sembilan tahun silam,[1] tentang seorang yang mampu bertahan hidup –demi pembangkangan sangat keras– di penjara London selama tujuh puluh hari, dalam kondisi sehat dan selamat, tanpa makan apa pun.
Mengingat rizki fitri itu bertahan empat puluh hari hingga tujuh puluh atau delapan puluh hari; mengingat tajalli nama al-Razzaq (Maha Pemberi Rizki) terlihat dan dapat disaksikan di permukaan bumi dalam lingkup paling luas; mengingat rizki datang dan mengalir dengan cara tak terduga dari air susu ibu atau tanaman, maka nama (al-Razzaq) ini tentu akan mengetahui dan menolong makhluk hidup tersebut, menutup batas antara dia dengan kematian sebelum rizki fitri habis, selama belum ada campur tangan manusia yang banyak keburukannya melalui ikhtiarnya yang tidak baik. Jadi, orang-orang yang mati karena kelaparan sebelum empatpuluh hari, sesungguhnya kematian mereka bukan karena ketiadaan rizki, tapi disebabkan kebiasaan yang berulang-ulang dijalani melalui ikhtiar yang buruk, dan juga disebabkan ‘illah (علة) dan penyakit yang muncul akibat meninggalkan kebiasaan tersebut sesuai kaidah, “meninggalkan kebiasaan termasuk hal yang membinasakan” (تَرْكُ الْعَادَاتِ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ). Karena itu, dapat dikatakan: tidak ada kematian karena kelaparan.
Ya, sesungguhnya disaksikan melalui musyahadah bahwa rizki justru sesuai secara terbalik dengan kemampuan dan ikhtiar. Sebagai contoh, janin dikirimi rizki langsung kepadanya dengan cara tanpa dia perlu bahkan menggerakkan mulutnya, karena memang dia sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kehendak saat di rahim sang ibu. Selanjutnya saat dia datang ke dunia, ketika dia masih belum memiliki kemampuan dan ikhtiar kecuali semacam kesiapan-kesiapan dan perasaan-perasaan yang masih terpendam di dalamnya sebagai potensi, dikirimkan kepadanya riski dari puting susu ibunya –berdasarkan fitrah paling menakjubkan– sebagai makanan paling sempurna, paling bernutrisi, paling lembut, dan paling mudah dicerna. Selanjutnya, ketika dia mulai memiliki sedikit kemampuan dan ikhtiar, rizki yang mudah, baik, dan lembut ini sedikit demi sedikit mulai berkurang. Puting susu ibu pun terhenti mengalir, dan rizkinya dikirimkan melalui berbagai arah lain. Hanya saja kemampuan dan ikhtiarnya masih belum cukup layak untuk mencari rizki. Karena itu, Tuhan al-Razzaq (Maha Pemberi Rizki) Yang Maha Mulia menjadikan kecintaan dan kasih sayang kedua orang tuanya sebagai pembantu bagi kemampuan dan ikhtiarnya. Ketika kemampuan dan ikhtiarnya telah mencapai kesempurnaan, rizkinya tidak lagi berusaha menghampirinya, dan tidak lagi dialirkan untuknya, tapi tetap berada di tempatnya. Rizki itu bilang padanya, “Berusahalah datang padaku, carilah aku, temukan aku, raihlah aku!”
[1] Terhitung saat penulisan risalah ini.
78. Page
Maka, rizki berbanding terbalik dengan kemampuan dan ikhtiar. Bahkan, kami telah menjelaskan di banyak risalah, hewan yang paling lemah kemampuannya dan yang paling sedikit ikhtiarnya justru hidup lebih baik dari yang lain, dan mendapatkan rizki yang lebih baik dari yang lain.
Poin Kedua: Terdapat banyak macam dan jenis kemungkinan (imkan). Misalnya, kemungkinan akal (‘aqli), kemungkinan tradisi (‘urfi), dan kemungkinan kebiasaan (‘adi). Jika ada kejadian tertentu tidak berada dalam lingkup kemungkinan akal, maka ia tertolak. Jika kejadian itu tidak berada dalam lingkup kemungkinan tradisi, maka ia menjadi mukjizat, dan pada umumnya bukan sekadar karamah. Dan jika kejadian tersebut tidak sesuai dengan tradisi maupun kaidah yang berlaku, ia tidak diterima kecuali melalui bukti kuat yang setingkat kesaksian langsung. Berdasarkan rahasia ini, maka keadaan luar biasa yang dialami Ahmad al-Badawi dengan tidak makan selama empat puluh hari, termasuk dalam lingkup kemungkinan tradisi, serta merupakan karamah, sekaligus pada saat bersamaan bisa saja itu merupakan kebiasaan tidak lumrah baginya.
Ya, banyak riwayat setingkat mutawatir menyebutkan bahwa Ahmad al-Badawi di saat tertentu berada dalam kondisi luar biasa dan dalam kondisi tenggelam spiritual (istighraq). Dia didapati benar-benar tidak pernah makan kecuali hanya sekali selama empat puluh hari. Namun dia tidak selamanya demikian, tapi hanya terjadi beberapa kali sebagai karamah baginya. Ada kemungkinan lain bahwa ketika dia berada dalam kondisi tenggelam spiritual, dia tidak lagi memerlukan makan, karenanya ini menjadi kebiasaan baginya.
Kejadian-kejadian luar biasa semacam itu juga diriwayatkan secara meyakinkan dari banyak wali seperti Ahmad al-Badawi.
Karena rizki yang tersimpan dalam diri manusia bisa bertahan lebih dari empat puluh hari seperti telah kami tegaskan di “poin pertama,” dan karena tidak makan selama rentang waktu ini mungkin biasa terjadi, serta karena kondisi-kondisi seperti ini pun telah diriwayatkan secara terpercaya dari banyak orang luar biasa, maka hendaknya hal ini wajib untuk tidak dipungkiri.
Pertanyaan Kedua:
Akan dijelaskan dua permasalahan penting terkait pertanyaan ini. Karena ilmu geografi dan astronomi tak mampu menapaki langit-langit al-Qur’an dan mengungkap makna tujuh lapis sebagaimana disebut dalam bintang-bintang ayat-ayat al-Qur’an, , dengan hukumnya yang serba terbatas, dengan prinsipnya yang sempit, dan dengan skalanya yang kecil, maka keduanya pun berusaha mengkritik ayat (al-Qur’an), bahkan berupaya mengingkarinya dengan gila.
Masalah penting pertama: Tentang keberadaan bumi yang terdiri dari tujuh lapis seperti langit.
Masalah ini tampak tidak benar menurut para ahli filsafat modern, karena ilmu mereka yang terkait dengan bumi dan langit tidak menerima hal itu. Maka mereka pun menjadikan ini dalih untuk menentang sebagian hakikat keimanan. Berikut akan kami tuliskan sejumlah isyarat ringkas seputar persoalan ini.
(Isyarat) Pertama: Yang pertama, sesungguhnya makna ayat itu adalah satu hal, dan bagian-bagian dari makna itu berikut konotasinya (dilalah) merupakan hal yang lain lagi. Jika satu di antara bagian dari makna tersebut tidak ada, makna itu tetap tidak bisa dipungkiri.
79. Page
Terdapat tujuh bagian yang secara kasat mata tampak selaras dengan bagian-bagian yang banyak dari makna menyeluruh lapisan tujuh langit dan lapisan tujuh bumi.
Yang kedua, ayat اَللّٰهُ الَّذ۪ي خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ وَمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّ (“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi,” Qs. al-Thalaq [65]: 12) tidak secara tegas menyebut bahwa “bumi memiliki tujuh lapis,” tapi teks eksplisit ayat hanya menyebutkan bahwa: “Allah menciptakan bumi seperti tujuh langit tersebut, dan menjadikannya sebagai hunian bagi para makhluk-Nya.” (Allah) tidak menyatakan bahwa Dia menciptakan bumi itu tujuh lapis. Adapun kesepertiannya (mitsliyyah) adalah keserupaan (tasybih) dari sisi keberadaan (bumi) sebagai ciptaan dan sebagai hunian bagi para makhluk.
(Isyarat) Kedua: Meskipun bola bumi amat kecil dibanding langit, namun maka ia setara dan sebanding dengannya dilihat dari keberadaannya sebagai pameran bagi kreasi-kreasi ilahi yang tak terbatas, juga sebagai displai, tempat kumpul dan pusatnya. Yakni, sebagaimana hati setara dengan jasad, maka bola bumi juga demikian ibarat hati dan pusat maknawi bagi langit yang begitu besar tak terhingga.
Bumi yang kecil – dibanding langit –memiliki tujuh iklim sejak dulu kala.
Lalu, ia terdiri dari tujuh benua, yaitu benua-benua yang dikenal dengan Eropa, Afrika, Australia, dua Asia, dan dua Amerika.
Lalu, ia memiliki tujuh belahan yang dikenal di sisi ini dan di sisi lain bagi alam baru, yaitu: timur, barat, utara, selatan, dengan tiga samudera.
Lalu, ia terdiri dari tujuh lapis yang bermacam-macam dan saling terhubung satu sama lain dari inti hingga ke kerak eksternal, sebagaimana dibuktikan secara hikmah (filsafat) dan ilmiah.
Lalu, ia terdiri dari tujuhpuluh unsur sederhana dan parsial yang menjadi inti kehidupan makhluk hidup, dan terdiri dari tujuh jenis unsur secara menyeluruh yang disebut dengan tujuh lapis.
Lalu, di dalamnya terdapat tujuh lapis dan tujuh alam untuk sesuatu yang disebut empat unsur, yaitu air, udara, api dan tanah, serta untuk sesuatu yang disebut tiga sumber, yaitu mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
Lalu padanya terdapat alam untuk ketujuh lapisnya, yang merupakan alam dan tempat tinggal bagi jin, ifrit, dan beragam makhluk lain yang memiliki perasaan, kesadaran, dan kehidupan, sebagaimana sudah dibuktikan melalui kesaksian banyak sekali ahli kasyaf dan syuhud.
Lalu dapat difahami dari sejumlah ayat al-Qur’an bahwa bola bumi terdiri dari tujuh lapis. Di dalamnya terdapat petunjuk dan isyarat tentang adanya tujuh planet lain mirip dengan bumi kita yang menjadi tempat tinggal dan hunian makhluk hidup. Yakni, tentang adanya tujuh lapis, atau tujuh bola bumi.
Keseluruhan makna ini dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, terbukti keberadaan tujuh lapis bumi melalui tujuh jenis dan tujuh macam.
Makna kedelapan ini, dan yang terakhir, penting dari sudut pandang lain, serta itu tidak termasuk dalam ketujuh makna.
(Isyarat) Ketiga: Karena Tuhan Yang Maha Bijaksana Maha Mutlak tidak bertindak berlebihan dan tidak menciptakan sesuatu sia-sia; karena para makhluk diciptakan untuk (makhluk) yang memiliki kesadaran dan pemahaman, serta melalui (makhluk) yang memiliki kesadaran dan pemahaman maka ia mencapai kesempurnaan, serta dengan merekalah ia
80. Page
dimakmurkan dan dengan mereka ia terhindar dari kesia-siaan; karena Tuhan Yang Maha Bijaksana Maha Mutlak Maha Agung itu memakmurkan unsur udara, alam air dan lapisan tanah dengan berbagai makhluk hidup tak terhingga; karena udara dan air tidak menghalangi perkelanaan hewan di dalam keduanya, sebagaimana halnya benda-benda padat seperti tanah dan batu tidak menghalangi aliran listrik dan sinar; oleh karena itu semua, maka Tuhan Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, dan Yang Maha Pencipta yang tak lenyap, tentu tidak membiarkan tujuh kelapis universal yang saling terhubung satu sama lain ini, tidak pula ruang-ruang terbuka, alam, dan gua-gua yang begitu luas itu kosong, sejak dari inti bumi hingga lapisan permukaannya yang menjadi tempat tinggal dan markas kita ini (kosong belaka). Tak diragukan lagi bahwa Dia tentu memakmurkannya, menciptakan makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran dan pemahaman yang cocok untuk memakmurkan alam-alam tersebut, serta menempatkannya di sana. Mengingat makhluk-makhluk tersebut harus memiliki kesadaran dan pemahaman, termasuk jenis-jenis malaikat dan spesies makhluk ruhani lain, maka tak diragukan lagi bahwa (yang menempati alam tersebut) adalah yang paling cocok dan sesuai dengannya, misalnya laut cocok bagi ikan, dan udara cocok bagi burung. Bahkan sudah merupakan keharusan bahwa api panas besar yang ada di inti bumi, cocok bagi makhluk-makhluk tersebut, sama posisinya seperti panasnya matahari cocok bagi kita. Makhluk-makhluk spiritual yang memiliki kesadaran dan pemahaman ini diciptakan dari cahaya, sehingga api laksana cahaya bagi mereka.
(Isyarat) Keempat: Telah disebutkan dalam “Maktub ke-18” contoh gambaran-gambaran yang diungkap para ahli kasyaf seputar keajaiban-keajaiban lapis bumi yang mereka jelaskan dengan cara di luar cakupan akal. Ringkasannya sebagai berikut:
Bola bumi adalah sebiji benih di alam nyata. Sementara di alam perumpamaan dan alam barzakh, ia laksana sebuah pohon besar yang ukuran besarnya sama dengan ukuran besar langit. Maka penglihatan ahli kasyaf tentang lapis bumi yang khusus dihuni para jin ifrit di bola bumi sejauh perjalanan seribu tahun, bukan di benih bola bumi yang berada di alam nyata, tapi itu merupakan penampakan dahan-dahan dan tingkatan-tingkatannya yang berada di alam perumpamaan. Mengingat suatu lapisan tidak memiliki penampakan dari lapisan-lapisan bola bumi yang memiliki tajalli-tajalli agung seperti ini di alam lain, maka dimungkinkan mengatakan bahwa (bumi) memiliki tujuh lapis, sama seperti langit.
Ayat-ayat al-Qur’an menunjukkan poin-poin tersebut melalui suatu kemukjizatan, serta mengingatkan tentang hal itu dengan ia menampakkan bumi yang sangat kecil ini jika dibandingkan dengan tujuh lapisan langit.
Masalah penting kedua:
Sejumlah ayat al-Qur’an, seperti ayat-ayat berikut ini, menjelaskan bahwa langit itu tujuh:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوَاتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ ف۪يهِنَّ
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.” (Qs. al-Isra’ [17]: 44)
ثُمَّ اسْتَوٰٓي اِلَي السَّمَٓاءِ فَسَوّٰيهُنَّ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَئٍ عَل۪يمٌ
“lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 29)
81. Page
Tepat sekali jika kini (kami) kemukakan ringkasan permasalahan yang telah kami jelaskan dengan indah sekali dalam (kitab) tafsir Isyarat al-I’jaz, yang terpaksa harus diringkas karena menghadapi perang dan pertempuran pada tahun pertama Perang Dunia I, sebagai berikut:
Filsafat kuno menyebut langit itu sembilan, menganggap ‘Arsy dan Kursi –yang termasuk dalam bahasa syariat– bersama dengan langit, lalu mendeskripsikan langit dengan gambaran menakjubkan. Kata-kata indah para filosof kuno yang penuh pesona telah menguasai akal manusia dalam masa yang panjang, sampai-sampai banyak ahli tafsir yang terpaksa harus menyelaraskan teks eksplisit ayat-ayat (al-Qur’an) dengan pandangan (para filosof). Dengan demikian, mereka telah menutupkan tirai pada kemukjizatan al-Qur’an Hakim hingga batas tertentu.
Sementara filsafat baru, yang disebut sebagai filsafat (hikmah) modern justru lebih ekstrem dan memiliki pandangan yang agak mengingkari keberadaan langit, kebalikan dari pandangan berlebihan filsafat kuno yang menganggap langit tak bisa ditembus dan menyatu. Kelompok pertama bersikap berlebihan (ifrath), sementara kelompok yang terakhir bersikap menyepelekan (tafrith). Mereka tak mampu menerangkan hakikat dengan jelas.
Adapun hikmah (filsafat) suci al-Qur’an Hakim memilih batas tengah, tidak berlebihan dan tidak pula menyepelekan. Ia menyatakan bahwa Sang Maha Pencipta Maha Agung menciptakan tujuh langit, sementara bintang-bintang beredar di langit laksana ikan, serta bertasbih. Disebutkan dalam hadits, “Langit adalah gelombang yang tertahan” (اَلسَّمَٓاءُ مَوْجٌ مَكْفُوفٌ).[1] Yakni, langit adalah lautan yang gelombangnya tenang. Kami akan membuktikan hakikat al-Qur’an ini dengan “tujuh kaidah” dan “tujuh aspek makna” secara singkat sebagai berikut:
Kaidah pertama: Terbukti secara ilmiah dan filsafat bahwa ruang angkasa tanpa batas ini bukanlah hampa tak terhingga. Ruang ini penuh dengan materi yang disebut ether.
Kaidah kedua: Terbukti secara ilmiah, akal, bahkan musyahadah, bahwa terdapat materi yang memenuhi ruang angkasa yang menjadi pengikat tatanan benda-benda angkasa, seperti hukum gravitasi, hukum motivasi, serta menjadi penyebar energi yang ada pada materi, seperti cahaya, panas dan listrik, serta penghantarnya.
Kaidah ketiga: Terbukti melalui eksperimen bahwa materi ether, meskipun tetap sebagai ether, memiliki bentuk beragam dan rupa berbeda-beda seperti semua materi.
Ya, seperti halnya ketiga jenis udara, cair, dan padat, misalnya uap, air, dan es, tercipta dari materi itu sendiri, maka tidak dapat dipungkiri secara logika bahwa tujuh lapis langit berasal dari materi ether, serta tak mungkin ini jadi bahan bantahan apa pun.
Kaidah keempat: Jika pengamatan ditujukan kepada benda-benda angkasa, akan terlihat perbedaan lapisan-lapisannya. Msalnya, lapisan yang di dalamnya terdapat lingkaran besar berbentuk awan yang disebut galaksi Bimasakti, tak dapat diragukan bahwa itu tidak menyerupai lapisan bintang-bintang yang tetap. Seakan-akan lapisan bintang-bintang yang tetap itu telah matang dan ranum laksana buah-buahan musim panas. Adapun bintang-bintang yang tak terbatas jumlahnya, yang terlihat berbentuk awan dalam galaksi Bimasakti, ia selalu memperbarui diri dan mengarah menuju kematangan. Lapisan bintang yang tetap juga berbeda dari lapisan tata surya yang teratur rapi sebagaimana dapat disaksikan dengan
[1] Baca, al-Tirmidzi, hadits nomor 3220, Ahmad, hadits nomor 8472, Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 6819, Musnad al-Syamiyyin, hadits nomor 2598, dan Abu Hatim, hadits nomor 12919.
82. Page
intuisi yang jujur.
Demikianlah, dengan perasaan dan intuisi, dapat diketahui perbedaan ketujuh tatanan dan ketujuh lapisan antara satu dengan yang lain.
Kaidah kelima: Sudah terbukti melalui intuisi, perasaan, pemikiran induktif dan eksperimen, bahwa jika di suatu materi terdapat tatanan dan bentukan tertentu, lalu dibuat produk-produk lain darinya, maka ia akan menjadi beragam bentuk dan lapisan yang berbeda-beda. Contohnya, ketika pembentukan berlangsung di tambang intan, saat itu akan diproduksi abu, arang, dan intan darinya. Contoh lain, ketika api mulai terbentuk dan tercipta, ia menghasilkan lapisan kobaran api, asap, dan bara. Contoh lain, ketika hidrogen dan oksigen dicampur, maka akan terbentuk lapisan air, es dan uap.
Berdasarkan contoh-contoh ini menjadi jelas bahwa, ketika dalam materi tertentu terdapat pembentukan, ia bisa terpecah menjadi beberapa lapisan. Dengan demikian, karena Kuasa Pencipta memulai penciptaan dan pembentukan dalam materi ether, maka tak diragukan lagi bahwa dari (materi) inilah tujuh lapisan terbentuk sebagai lapisan-lapisan yang beragam, berdasarkan rahasia:
فَسَوّٰيهُنَّ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ
“Lalu dijadikan-Nya tujuh langit.” (Qs. al-Baqarah [2]: 29)
Kaidah keenam: Indikasi-indikasi tersebut menunjukkan secara pasti keberadaan langit dan jumlahnya yang banyak. Karena langit secara pasti banyak, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui Maha Benar mengatakan melalui bahasa al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat bahwa (langit) itu tujuh, maka (langit) itu tentu tujuh tanpa diragukan lagi.
Kaidah ketujuh: Ungkapan tujuh, tujuh puluh, atau tujuh ratus, maksudnya adalah banyak, dalam Bahasa Arab. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ketujuh lapisan universal tersebut memiliki banyak sekali lapisan.
Kesimpulan
Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Agung telah menciptakan tujuh langit dari materi ether, membentuknya menjadi bertingkat-tingkat, menatanya dengan aturan yang rinci dan menakjubkan hingga batas terjauh, serta menanam bintang-bintang dan dan menaburnya di materi ether tersebut.
Karena al-Qur’an dengan bayannya yang menakjubkan merupakan sebuah wacana abadi (khuthbah azaliyah) yang berbicara kepada seluruh tingkatan manusia dan jin, maka tak dapat diragukan lagi bahwa setiap tingkatan manusia akan mengambil bagiannya tersendiri dari setiap ayat al-Qur’an. Dan ayat-ayat al-Qur’an pun akan memiliki makna-makna beragam yang berbeda-beda sesuai pemahaman masing-masing tingkatan.
Ya, luasnya wacana-wacana Qur’ani, serta keluasan makna dan isyaratnya, di samping perhatiannya terhadap derajat pemahaman seluruh tingkatan (manusia), dimulai dari kalangan awam paling bawah hingga kalangan khawas paling khas, pasti menunjukkan bahwa setiap ayat memiliki sudut pandang sesuai pemahaman setiap tingkatan orang. Berdasarkan rahasia ini, ketujuh tingkatan manusia dapat memahami ketujuh tingkatan berbeda-beda dari makna-makna pada makna universal dari “tujuh langit” (sab’a samawat). Hal itu sebagai berikut:
Tingkatan manusia (pertama) yang terbatas pandangannya dan sempit pikirannya, memahami ayat: فَسَوّٰيهُنَّ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ (“Lalu dijadikan-Nya tujuh langit” Qs. al-Baqarah [2]: 29), sebagai tingkatan-tingkatan atmosfer udara.
83. Page
Tingkatan manusia kedua, yang kepala pemiliknya dimabuk ilmu astronomi, memahami bintang-gemintang dan garis edarnya yang dikenal masyarakat umum sebagai tujuh planet yang beredar.
Sebagian manusia yang lain (tingkatan ketiga) memahami bahwa itu merupakan tujuh bola langit lainnya yang menjadi hunian bagi para makhluk hidup, sama seperti bola bumi kita.
Kelompok keempat manusia memahami darinya bahwa tata surya terbagi menjadi tujuh lapisan, dan bahwa di sana terdapat tujuh tata surya lain bersamaan dengan tata surya kita ini.
Kelompok kelima manusia memahami bahwa pembentukan materi ether terbagi ke dalam tujuh lapis.
Kelompok keenam yang memiliki pemahaman lebih luas beranggapan bahwa seluruh langit yang terlihat dan dihiasi oleh bintang-gemintang ini adalah satu langit. Mereka berpendapat bahwa ia merupakan langit dunia ini. Mereka memahami bahwa di luar sana terdapat enam lapis langit selain ini.
Kelompok ketujuh, yang merupakan tingkatan mereka yang paling tinggi, tidak menganggap bahwa ketujuh langit terbatas hanya di alam nyata (‘alam al-syahadah). Tapi mereka memahami bahwa di luar sana terdapat tujuh langit yang merupakan wadah yang menyeluruh dan atap yang mencakup alam akhirat, alam gaib, alam dunia ini, dan alam perumpamaan.
Demikianlah, di dalam universalitas ayat tersebut terdapat makna-makna parsial lainnya yang banyak sekali sebagaimana tujuh tingkatan makna ini yang difahami oleh ketujuh tingkatan (manusia) tersebut. Masing-masing mengambil bagian tersendiri darinya sesuai tingkat pemahamannya, dan masing-masing mendapatkan rizkinya di hidangan langit ini.
Mengingat ayat ini memiliki konotasi-konotasi yang benar hingga sebanyak ini, maka serangan para filosof yang bodoh dungu dan para ilmuwan astronomi yang pengigau penipu terhadap ayat tadi, dengan alasan mengingkari keberadaan langit, adalah mirip anak kecil yang melemparkan batu ke bintang dengan maksud merontokkan satu bintang. Sebab, jika satu konotasi dari makna-makna universal ayat itu benar, berarti makna universal itu juga betul dan benar. Bahkan, jika pun satu di antara bagian darinya tidak ada secara nyata, namun menyebar di mulut semua orang, bisa jadi ia termasuk dalam makna universal itu demi menjaga pemikiran banyak orang. Nyatanya, kita melihat banyak sekali bagian-bagiannya yang betul dan benar.
Sekarang mari kita perhatikan ilmu geografi yang zalim dan tidak adil, dan ilmu astronomi yang ngelantur, menipu, dan mabuk, bagaimana kedua disiplin ilmu ini keliru dan amat semena-mena, menutup matanya terhadap makna universal itu, yang merupakan suatu kebenaran, hakikat dan kejujuran. Keduanya sama sekali tidak melihat konotasi-konotasi (ayat) yang sangat jujur itu. Keduanya beranggapan sendirian, aneh, penuh khayalan, bahwa itulah makna ayat, sehingga mereka melempari ayat tersebut dengan batu, lalu mereka memecahkan kepala mereka sendiri dengan batu yang mereka lemparkan tersebut hingga menguapkan keimanan mereka.
Kesimpulan
Pemikiran materialisme-atheisme –yang kedudukannya sama seperti ifrit dan setan– tak mampu menapaki tujuh lapis langit al-Qur’an yang turun pada tujuh qiraat, tujuh aspek,
84. Page
tujuh mukjizat, tujuh hakikat, dan tujuh pilar. Ia juga tak bisa mengetahui apa yang terdapat di bintang-bintang ayat tersebut. Karena ia menyampaikan berita penuh tipuan dan tak karuan, maka kepala mereka tertimpa meteor dari bintang-bintang ayat tersebut seperti penjelasan detail di atas, hingga membakarnya.
Ya, tidak mungkin naik ke langit-langit al-Qur’an dengan filsafat para filosof yang memiliki pemikiran ala ifrit dan setan. Naik ke bintang-bintang ayat (al-Qur’an) hanya bisa digapai dengan tangga hikmah hakiki, dan dengan dua sayap iman dan Islam.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰي شَمْسِ سَمَٓاءِ الرِّسَالَةِ وَ قَمَرِ فَلَكِ النُّبُوَّةِ وَ عَلٰٓي اٰلِه۪ وَ صَحْبِه۪ نُجُومِ الْهُدٰي لِمَنِ اهْتَدٰي
Ya Allah! Limpahkanlah rahmat kepada mentari langit risalah, rembulan cakrawala nubuwah, juga kepadakeluarga dan para sahabatnya, bintang-bintang petunjuk bagi siapa pun yang mau mengikuti.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)