NAVIGATION
181. Page
LAMA'AT KEDUA PULUH
Khusus tentang Keikhlasan
Lama’at ini merupakan poin pertama dari Masalah Kedua –yang terdiri dari lima poin– di Catatan Ketujuhbelas pada Lama’at Ketujuhbelas. Namun karena urgensinya, ia dijadikan Lama’at Keduapuluh.
Catatan: Di antara tanda kebaikan kota Isparta yang diberkati, yang patut jadi pusat rasa syukur, ialah bahwa, dibanding tempat-tempat lain, di sana tak begitu tampak perselisihan penuh persaingan di antara para ahli taqwa, ahli tarekat sufi, dan para ulama. Di sana tidak ada perselisihan dan persaingan yang membahayakan dibanding di tempat-tempat lain, meskipun di antara mereka tidak ada cinta dan kesatuan hakiki yang diperlukan.
بِسْـــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
Seungguhnya ayat dan hadits berikut ini sama-sama menekankan bagaimana keikhlasan merupakan dasar penting dalam Islam.
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَهُ الدينَ{ اَلاَ لِلّٰهِ الدينُ الْخَالِصُ
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs. al-Zumar [39]: 2-3)
Rasulullah S.a.w bersabda:
هَلَكَ النَّاسُ اِلَّأ الْعَالِمُونَ وَهَلَكَ الْعَالِمُونَ اِلَّأ الْعَامِلُونَ وَهَلَكَ الْعَامِلُونَ اِلَّأ الْمُخْلِصُونَ وَالْمُخْلِصُونَ عَلٰي خَطَرٍ عَظيمٍ
Manusia celaka keculi yang berilmu. Yang berilmu celaka kecuali yang mengamalkan (ilmunya). Yang mengamalkan (ilmunya) celaka keculi mereka yang ikhlas. Dan orang yang ikhlas dihadapkan pada bahaya besar. Atau seperti yang disabdakan (Nabi) S.a.w.
Kami hanya akan menerangkan secara ringkas lima saja dari sekian poin yang tak terhitung banyaknya tentang problema keikhlasan ini.
Poin Pertama
Pertanyaan penting dan serius: Mengapa para ahli agama, ahli ilmu, dan ahli tarekat sufi – yang merupakan pengikut kebenaran (ahl al-haqq) dan penyuka keharmonisan (ahl al-wifaq) – terus berselisih dengan saling bersaing, di saat para pengikut dunia dan pengikut kelalaian, bahkan hingga pengikut kesesatan dan kaum munafik, bersatu-padu tanpa persaingan?
Ketika kesepakatan merupakan hak ahl al-wifaq, sementara perselisihan termasuk bagian dari kelaziman orang-orang munafik, mengapa kebenaran ini berpindah ke sana, sementara kebatilan berpindah ke sini?!
182. Page
Jawaban: Kami akan menerangkan tujuh sebab di antara banyak faktor penyebab problema genting yang menyakitkan, tragis dan mencengangkan ini, yang membuat orang-orang fanatik menangis.
Penyebab Pertama: Perselisihan di antara pengikut hakekat (ahl al-haqiqah) tidak terjadi karena mereka bukan orang-orang benar,[1] sebagaimana kesepakatan (ittifaq) orang-orang lalai juga tidak terjadi karena mereka orang-orang benar.[2] Akan tetapi, tugas-tugas kelompok, jamaah dan perkumpulan –yang melaksanakan tugas tertentu dan khidmat khusus di dalam strata kehidupan sosial– seperti para pecinta dunia, politisi, kaum terpelajar dan budayawan, masing-masing sudah ditentukan dengan jelas dan ditetapkan secara spesifik. Demikian pula, upah materiil yang akan mereka terima untuk penghidupan sebagai imbalan atas tugas-tugas mereka juga sudah ditentukan dengan jelas dan ditetapkan secara spesifik. Selain itu, upah maknawi yang akan mereka dapatkan dari perhatian manusia,[3] seperti penghargaan, citra, dan popularitas, sudah begitu jelas. Dengan demikian, tidak ada sesuatu di antara mereka hingga batas tertentu yang dapat menjadi penyebab timbulnya konflik, pertengkaran, dan persaingan. Karena itu, sangat dimungkinkan bagi mereka untuk bersepakat satu sama lain betapa pun buruk jalan yang mereka lalui.
Sementara para pengikut agama, ulama, dan pengikut tarekat sufi, tugas masing-masing mereka tertuju pada semua, sebagaimana upah langsung mereka tidak ditetapkan dan tidak ditentukan pasti. Karena nasib mereka dalam hal kedudukan sosial, penerimaan masyarakat, dan penghargaan yang mereka dapatkan pun tidak tentu dan tidak jelas, maka terdapat banyak orang yang memperebutkan satu kedudukan yang sama; terdapat banyak sekali tangan yang sering mengincar dan ingin menangkap setiap upah material dan upah maknawi. Maka, muncullah konflik dan persaingan dari titik ini. Akibatnya kemudian, hal itu mengubah keharmonisan menjadi kemunafikan, dan kesepakatan menjadi perselisihan.
Maka salep dan obat untuk menyembuhkan penyakit kronis ini tak lain adalah keikhlasan.
Yakni, hendaknya seseorang menerima keikhlasan itu dengan mengutamakan sikap mengikuti kebenaran ketimbang mengikuti hawa nafsu; dan dengan mengamalkan rahasia (makna) ayat “Upahku hanyalah dari Allah” (اِنْ اَجْرِيَ اِلَّأ عَلَي اللّٰهِ) (Qs. Saba’ [34]: 47) dengan memenangkan kepentingan kebenaran atas kepentingan nafsu dan ego; serta dengan mengamalkan makna ayat “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan” (وَمَا عَلَي الرَّسُولِ اِلَّأ الْبَلاَغُ) (Qs. al-Ma’idah [5]: 99), dengan cara tidak mengharapkan[4] upah materiil dan maknawi yang
[1] Maksudnya, perselisihan yang terjadi di antara kalangan ahli hakekat bukan berasal dari ketiadaan kebenaran.
[2] Maksudnya, kesepakatan orang-orang lalai dan sesat bukan berasal dari adanya kebenaran pada mereka.
[3] Perhatian: Sesungguhnya penerimaan dan perhatian manusia tidak boleh diminta dan diharapkan, melainkan mestinya diberi dan dianugerahi. Jika diberi dan dianugerahi sekali pun, itu tidak layak dibanggakan dan disenangi. Jika orang membanggakan dan menyenanginya, dia akan kehilangan keikhlasan dan masuk ke dalam riya. Adapun penerimaan dan perhatian manusia yang datang dari keinginan pada pangkat dan ketenaran, itu bukanlah upah dan ganjaran, melainkan suatu hukuman dan balasan akibat tiadanya keikhlasan. Ya, mengharapkan penghargaan manusia dan popularitas yang bertentangan dengan keikhlasan yang merupakan ruh amal saleh berubah menjadi sangat buruk seperti siksa kubur di balik kubur, ketimbang kenikmatan parsial yang berakhir di pintu kubur. Karena itu, janganlah mengharap penghargaan manusia, melainkan ia harus dihindari dan dijauhi. Inilah yang harus diperhatikan oleh para penghamba popularitas dan mereka yang meminta popularitas dan kemasyhuran (penulis).
[4] Menjadikan sifat Itsar, yang menyebabkan para sahabat mendapat pujian al-Qur’an, sebagai pedoman dan petunjuk, yaitu mengutamakan orang yang lain apabila menerima hadiah dan sedekah, meyakini bahwa manfaat materi yang datang sebagai balasan atas khidmat agama adalah karunia Ilahi semata-mata –tanpa menginginkan dan tanpa menuntutnya dengan hati serta tanpa merasa berhutang budi dari manusia, bahkan tidak mengambil apa-apa sebagai balasan atas pelayanan agama. Ini karena apa pun tidak wajar diminta di dunia sebagai balasan atas khidmat agama supaya keikhlasan tidak hilang. Pada hekekatnya mereka berhak karena sepatutnya masyarakat yang menanggung kehidupan mereka. Mereka juga berhak menerima zakat. Tetapi itu tidak boleh diminta melaikan diberi dan dianugerahi. Apabila diberi dan dianugerahi, itu tidak boleh dikatakan sebagai upah atas khidmat yang diberikan. Sesungguhnya seseorang bisa selamat dari bahaya besar ini dengan cara mengamalkan rahasia ayat, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan.” (وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ) (Qs. al-Hasyr [59]: 9), dan dengan cara qanaah sebisa mungkin, serta dengan cara mengutamakan orang lain yang lebih layak dan berhak ketimbang diri sendiri sehingga dia dapat memperoleh keikhlasan.
183. Page
datang dari manusia, sekaligus meyakini bahwa penerimaan yang baik, kesan yang baik, dan pujian dari manusia, semuanya merupakan bagian dari apa yang dikuasai Allah dan berasal dari kebaikan-Nya, serta (didapat) sama sekali bukan karena melakukan tabligh yang memang tugasnya. Dia sama sekali tidak perlu memperhatikan (hal-hal tersebut), karena dia memang tidak diberi beban kewajiban untuk itu. Jika tidak, dia akan kehilangan keikhlasan.
Penyebab Kedua: Kesepakatan golongan sesat berasal dari kehinaan mereka, sementara perselisihan golongan yang mendapat hidayah (ahl al-hidayah) berasal dari kemuliaan mereka. Yakni, para pecinta dunia dan golongan sesat, yang merupakan orang-orang lalai, adalah lemah dan hina karena mereka tidak bersandar pada kebenaran dan hakikat. Mereka merasa perlu meminta bantuan karena mereka hina. Untuk mendukung keperluan ini, mereka akan bergantung sungguh-sungguh pada bantuan pihak lain dan kesepakatan dengan mereka. Mereka tetap menjaga kesepakatan itu meskipun jalan mereka sesat. Seolah-olah mereka berbuat benar dalam kebatilan itu, tulus ikhlas dalam kesesatan itu, fanatik dalam keatheisan itu, dan tampak bersatu dalam kemunafikan itu, sehingga mereka berhasil. Sebab, tak ada keikhlasan sejati hakiki yang tanpa hasil, meskipun dalam hal kejahatan.
Ya, Allah niscaya akan memberi kepada siapa pun yang memohon kepada-Nya dengan ikhlas, meskipun dia meminta.[1]
Adapun ahli hidayah dan agama, ahli ilmu dan tarikat sufi, karena mereka bersandar pada kebenaran dan hakikat, maka masing-masing mereka berjalan di jalan kebenaran dengan hanya memikirkan keridhaan Allah semata, dan dengan bergantung pada taufiq-Nya. Karena itu, mereka memiliki kehormatan yang timbul dari jalan yang ditempuh itu. Ketika merasa lemah, dia kembali kepada Rabb-nya, ketimbang kepada manusia. Dia pun hanya mengharapkan bantuan dari-Nya. Dia tidak sepenuhnya merasa perlu untuk meminta bantuan kepada orang yang secara lahiriah fahamnya berbeda dengannya disebabkan perbedaan aliran faham (masyrab). Dia tidak bisa melihat bahwa dirinya memerlukan kesepakatan. Bahkan jika pada dirinya tertanam sifat sombong dan egoisme dengan menyangka bahwa dirinya benar, dan mengira bahwa orang yang berbeda dengannya keliru, maka dari sini akan timbul perselisihan dan persaingan, sebagai ganti dari kesepakatan dan cinta. Saat itulah ia akan kehilangan keikhlasan, dan amalnya pun runtuh.
Solusi satu-satunya untuk tidak tampak hasil tragis yang ditimbulkan oleh penyebab akut ini adalah sembilan hal:
[1] “Siapa yang meminta atau mencari dan dia bersungguh-sungguh maka dia akan memperoleh” (مَنْ طَلَبَ وَجَدَّ وَجَدَ) adalah aturan kebenaran. Sifatnya yang menyeluruh dan keluasannya bisa termasuk dalam aliran kita juga.
184. Page
1. Bekerja positif, yaitu hendaknya orang bekerja berdasarkan kewajiban cintanya pada aliran yang ditempuhnya. Jangan biarkan permusuhan aliran lain dan kecaman pihak lain merasuki fikirannya dan (mempengaruhi) kerjanya; dan hendaknya jangan sekali-kali menyibukkan diri dengan mereka.
2. Hendaknya dia sepakat bersatu dengan orang-orang yang berada di wilayah Islam, atas dasar pemikiran bahwa di situ terdapat banyak ikatan persatuan yang merupakan sumber cinta kasih, persaudaraan, dan kesepakatan, apa pun jenis aliran mereka.
3. Menjadikan prinsip keadilan (inshaf) sebagai petunjuk dan pedoman, yaitu bahwa setiap pengikut aliran kebenaran berhak dan boleh berkata –dilihat dari sisi tiadanya sentuhan dengan aliran-aliran lain– bahwa “Aliran saya benar,” atau, “Aliran saya lebih baik.” Namun, dia tidak boleh mengatakan, “Yang benar hanya aliran saya saja,” atau, “Yang baik hanya aliran saya saja,” yang mengisyaratkan bahwa aliran pihak lain salah atau buruk.
4. Menyadari bahwa bersepakat dengan para pengikut kebenaran merupakan salah satu faktor penyebab untuk memperoleh taufiq ilahi, serta salah satu penyebab kejayaan Islam (‘izzah Islamiyyah).
5. Mempertahankan kebenaran dan hakekat di hadapan pribadi maknawi genting dari kalangan ahli kesesatan dengan mengeluarkan sosok maknawi (sebagai kelompok jamaah) yang kuat melalui perantara persatuan di sisi kalangan ahli kebenaran, didasarkan kesadaran bahwa perlawanan individual paling kuat akan kalah di hadapan sosok maknawi (kelompok) tersebut di zaman ketika kelompok sesat dan batil melakukan serangan melalui kecerdasan sosok maknawi yang kuat sebagai suatu jamaah disebabkan adanya sikap saling-dukung.
Dan untuk menyelamatkan kebenaran dari serangan kebatilan, hendaknya seseorang meninggalkan:
6. Nafsu amarah.
7. Egoisme.
8. Hal yang secara salah disebut kehormatan dan harga diri.
9.Semua perasaan buruk tak berarti yang bisa menggiringnya kepada pertengkaran, pertikaian, dan persaingan.
Dengan sembilan poin tersebut, seseorang akan sukses melalui keikhlasan, serta akan dapat melaksanakan kewajibannya dengan semestinya.[1]
Penyebab Ketiga: Perselisihan para pengikut kebenaran terjadi bukan karena tiadanya tekad (himmah) dan bukan karena nista. Dan kesepakatan para pengikut kesesatan terjadi bukan karena tekad yang tinggi. Tapi, perselisihan ahli hidayah terjadi karena buruk dalam menggunakan tekad yang tinggi. Sementara kesepakatan golongan sesat terjadi karena
[1] Bahkan melalui hadits yang sahih diriwayatkan bahwa sebagaimana para penganut Masehi (Kristiani) yang benar-benar beragama akan bersatu dengan ahli al-Qur’an dan akan bertahan menentang golongan zindik yang merupakan musuh mereka bersama pada akhir zaman; pada zaman ini juga ahli agama dan para pengikut kebenaran bukan hanya perlu bersatu dengan sahabat seagama, sama aliran dan sesaudara saja bahkan dengan cara tidak membicarakan perkara-perkara yang menjadi inti perselisihan sebagai inti perbincangan dan pertikaian; mereka harus bersepakat dengan para ahli spiritual Nasrani yang benar-benar beragama untuk menghadapi golongan tidak beragama yang melampaui batas yang merupakan musuh bersama. (Penulis)
185. Page
kelemahan dan ketidak-mampuan yang berasal dari tiadanya tekad.
Dan yang menggiring ahli hidayah (berubah) dari tekad yang tinggi ke implementasinya yang buruk, yang kemudian membawa pada perselisihan dan persaingan, adalah semangat besar untuk mendapatkan pahala –yang sebetulnya merupakan tindakan terpuji dari sudut pandang akhirat– serta tidak merasa cukup dalam tugas-tugas ukhrawi. Yakni, dia sampai mengatakan, “Biarlah aku yang mendapat pahala ini,” atau, “Biarlah aku yang membimbing mereka semua,” atau, “Biarlah mereka mendengar kata-kataku saja.” Akibatnya, pikiran ini membawanya ke pembentukan fase persaingan melawan saudaranya yang hakiki, yang sebetulnya sangat membutuhkan pertolongannya, persaudaraannya, dan cinta kasihnya.
Dia juga mengatakan, “Mengapa murid-muridku pindah ke orang itu?” atau, “Mengapa aku tidak memiliki murid juga sebanyak muridnya?” Akibatnya, sifat egoisme mulai mendapatkan peluang luas di dalam dirinya, kemudian dari titik ini peluang itu menggiringnya pada cinta prestise yang merupakan sifat tercela, hingga hilanglah keikhlasannya, dan terbukalah pintu riya.
Obat untuk menyembuhkan kesalahan, luka parah, dan penyakit jiwa yang kronis ini ialah:
Pengetahuan bahwa keridhaan Allah S.w.t hanya bisa diraih dengan keikhlasan, bukan dengan banyaknya jumlah pengikut serta bukan dengan banyaknya keberhasilan dan kesuksesan. Sebab, banyaknya pengikut, kesuksesan, dan keberhasilan, itu kembali (tergantung) pada Allah Yang Maha Agung Maha Tinggi. Hal itu tidak bisa diminta, melainkan dianugerahkan dan diberikan (oleh Allah) pada waktunya.
Ya, terkadang satu perkataan bisa menjadi penyebab keselamatan dan pangkal bagi keridhaan (Allah). Maka, tidaklah patut kuantitas dijadikan tolok ukur selamanya, karena kadang-kadang bimbingan atas satu orang saja bisa menjadi sumber untuk memperoleh keridhaan Allah S.w.t dengan nilai setara bimbingan atas seribu orang.
Selanjutnya, keikhlasan dan pencarian kebenaran menuntut pemihakan untuk memberikan manfaat kepada kaum muslimin, tanpa membatasi di mana dan dari siapa sumber manfaat itu. Pikiran bahwa “Biarlah mereka belajar dari saya saja, dan mendatangkan pahala untuk saya,” hanyalah muslihat nafsu dan ego, serta tipu daya keduanya.
Wahai orang yang rakus terhadap pahala, dan wahai orang yang tidak merasa qanaah dalam amal-amal ukhrawi!
Telah datang sejumlah rasul, tapi hanya sejumlah orang terbatas saja yang mau mengikuti mereka. Namun, mereka tetap mendapatkan pahala tak terhitung untuk tugas suci kenabian tersebut. Jadi, kemahiran bukan dinilai dengan banyaknya pengikut, tapi kemahiran dihitung dengan perolehan keridhaan Allah.
Karena itu, sadarlah kamu itu siapa, sampai-sampai kamu melupakan tugasmu, serta dengan tamak mencampuri urusan Allah seraya berkata, “Semua hendaknya mendengarkan aku!?”
Sesungguhnya soal apakah orang menerima kata-katamu dan masyarakat berkumpul di sekelilingmu, itu termasuk wewenang Allah S.w.t. Laksanakan saja kewajbanmu. Jangan sekali-kali engkau mencampuri masalah dan urusan Allah.
Di samping itu, orang-orang yang mendengarkan kebenaran dan hakikat, serta orang-orang yang membuat pembicaranya mendapatkan pahala, bukan hanya terbatas pada jenis manusia saja, tapi juga para makhluk yang berkesadaran, para makhluk spiritual, dan para malaikat al-Haqq S.w.t, yang telah memenuhi alam semesta dan memakmurkan seluruh penjuru dunia.
186. Page
Mengingat engkau menginginkan pahala yang banyak, maka berpeganglah pada keikhlasan, dan hendaknya pikiran difokuskan pada keridhaan Allah semata, agar setiap masing-masing kata penuh berkah yang keluar dari mulutmu dihidupkan dan dinyawakan dengan keikhlasan dan dengan niat yang tulus, sehingga masuk ke telinga-telinga makhluk berkesadaran yang tidak terkira banyaknya. Dengan begitu, engkau telah menerangi mereka, lantas engkau pun mendapatkan pahala. Sebab, ketika engkau menyebut “alhamdulillah,” misalnya, kalimat ini akan ditulis di angkasa, atas izin Allah, sebagai jutaan kalimat “alhamdulillah” yang kecil maupun besar.
Karena Sang Pengukir Maha Bijak tidak bekerja sia-sia dan berlebihan, maka Dia telah menciptakan telinga-telinga tak terbatas yang cukup untuk mendengarkan kata-kata penuh berkah yang banyak itu. Sekiranya kata-kata di angkasa itu hidup dan berjalan di sana dalam derap kehidupan dengan ikhlas dan niat tulus, maka ia akan masuk sebagai suara-suara indah di telinga para makhluk spiritual. Akan tetapi, jika keridhaan Allah dan keikhlasan tidak memberi kehidupan kepada kata-kata yang terdapat di angkasa itu, kata-kata itu tidak akan didengar, sehingga pahala yang diberikan hanya terbatas pada apa yang diucapkan dari mulut. Karena itu, perhatikanlah telinga para pembaca (al-Qur’an) yang merasa resah atas sedikitnya pendengar mereka karena mereka tidak memiliki suara bagus.
Penyebab Keempat: Perselisihan di antara ahli hidayah dengan cara bersaing terjadi bukan karena mereka tidak memikirkan akibat dan bukan karena mereka berpikiran sempit, sebagaimana kesepakatan golongan sesat dengan tulus terjadi bukan karena mereka begitu memperhatikan akibat dan bukan karena mereka berpikiran luas.
Orang-orang ahli hidayah mestinya dapat menjaga sikap istiqamah dan keikhlasan, serta tidak tergoda oleh perasaan buta di nafsu akibat pengaruh kebenaran dan hakikat, serta akibat mereka mengikuti kecenderungan hati dan akal yang memikirkan masa depan lalu resah atasnya. Tapi, mereka tidak bisa melakukan itu, sehingga mereka tidak dapat mempertahankan kedudukan mereka yang tinggi, lantas mereka pun terjerumus ke dalam perselisihan.
Sedangkan kaum sesat, akibat pengaruh hawa nafsu dan karena tuntutan perasaan buta yang tidak memperhatikan akibat, yang lebih mengutamakan satu dirham kelezatan yang disegerakan ketimbang satu rithl kelezatan yang akan datang; maka mereka saling bersepakat di antara mereka dengan tulus dan kokoh demi mendapatkan keuntungan yang disegerakan dan kelezatan yang sekarang.
Ya. Sosok-sosok hina pemuja nafsu, yang kalbu mereka telah mati, bersepakat dan bersatu dengan tulus dan sungguh-sungguh di sekitar kelezatan dan keuntungan duniawi saat ini.
Adapun ahli hidayah, karena mereka mengarah pada buah ukhrawi dan kesempurnaan yang menilik masa depan melalui dorongan prinsip-prinsip kalbu dan akal yang tinggi, maka seharusnya dimungkinkan bagi mereka untuk menegakkan sikap istiqamah yang kokoh, keikhlasan yang sempurna, serta persatuan dan kesepakatan dengan penuh kerelaan dan pengorbanan. Namun, mereka tidak mampu melepaskan diri dari egoisme, sehingga masuklah intervensi sikap ekstrem dan berlebihan, lantas mereka pun kehilangan kesepakatan yang merupakan sumber kekuatan yang tinggi. Selanjutnya keikhlasan mereka melemah, dan penyakit pun menggerogoti tugas-tugas ukhrawi mereka. Maka menjadi sulit bagi mereka untuk memperoleh keridhaan Allah S.w.t.
Obat untuk penyakit kronis ini dan dan penawarnya sebagai berikut:
Hendaknya (seseorang) berhasil dengan ikhlas dengan merasa bangga saat berjalan
187. Page
menyertai orang-orang yang meniti jalan kebenaran berdasarkan rahasia, “Cinta karena Allah” (اَلْحُبُّ فِي اللّٰهِ); ikut berjalan di dalam kendaraan mereka; meninggalkan kemuliaan kepemimpinan (dengan membiarkannya) untuk mereka; membebaskan diri dari egoisme dengan beranggapan bisa jadi setiap orang yang meniti jalan kebenaran, siapa pun dia, lebih baik dan lebih utama dari dirinya.
Lalu, dia menyadari bahwa satu dirham amal yang dilakukan dengan keikhlasan lebih dipilih ketimbang amal sekian rithl tanpa keikhlasan; lebih memilih menjadi pengikut ketimbang menjadi pemimpin yang diikuti, yang memiliki resiko berbahaya dan tanggung jawab; seseorang berusaha selamat dari penyakit kronis tersebut dan bisa berhasil dengan ikhlas, sehingga dia dapat melakukan tugas-tugas ukhrawinya.
Penyebab Kelima: Perselisihan ahli hidayah dan tiadanya kesepakatan di antara mereka bukan berasal dari kelemahan mereka, sebagaimana kesepakatan kuat golongan sesat juga bukan dari kekuatan mereka. Tapi, tiadanya kesepakatan di antara ahli hidayah timbul dari titik sandar yang berasal dari keimanan sempurna dan dari kekuatan yang memancar dari titik sandar itu, sebagaimana kesepakatan golongan lalai dan sesat datang dari kelemahan dan ketidak-mampuan mereka. Sebab, mereka tidak menemukan titik sandaran di hati mereka. Orang-orang lemah bersepakat dengan kuatnya karena mereka memang merasa memerlukan kesepakatan. Sementara orang-orang kuat bersepakat dengan lemahnya karena mereka merasa tidak begitu memerlukan kesepakatan. Sebagian binatang seperti singa dan musang hidup sendiri-sendiri karena mereka tidak merasa memerlukan kesepakatan. Sementara kambing liar hidup membentuk kawanan untuk menyelamatkan diri dari ancaman serigala. Maksudnya, perkumpulan orang-orang lemah dan kepribadian maknawi mereka begitu kuat, sementara perkumpulan orang-orang kuat dan kepribadian maknawi mereka begitu lemah.
Terdapat isyarat halus dan nuktah indah dari al-Qur’an yang menunjuk pada rahasia ini, di mana Dia berfirman: وَ قَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدينَةِ (“Dan wanita-wanita di kota berkata.” Qs. Yusuf [12]: 30). Di sini, Allah menyebutkan sekelompok wanita dengan kata kerja berbentuk maskulin qala (قَالَ), padahal mereka sebetulnya berbentuk feminin (نِسْوَةٌ). Lalu, Dia juga menyebutkan sekelompok lelaki dengan kata kerja berbentuk feminin qalat (قَالَتْ) (dalam firmn-Nya: وَ قَالَتِ الْاَعْرَابُ (Orang-orang Arab badui itu berkata... Qs. al-Hujurat [49]: 14).
Dengan penyebutan itu, Dia secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa kumpulan para wanita yang lemah, lembut, dan penyayang itu menjadi kuat, bertambah kokoh dan keras. Mereka memperoleh semacam sifat kelelakian (rajuliyyah). Karena itu, posisi menuntut penggunaan kata kerja maskulin (fi’il mudzakkar), sehingga ungkapan “وَقَالَ نِسْوَةٌ” tampil begitu indah.
Sedangkan para lelaki itu, apalagi mereka orang-orang Arab Badui, karena mereka bergantung pada kekuatan mereka sendiri, maka kumpulan mereka pun menjadi lemah. Dan karena mereka memilih sikap berhati-hati, waspada, dan lembut, seolah-seolah mereka memakai semacam sifat wanita, maka penggunaan kata kerja feminin (fi’il muannas) dalam ungkapan “قَالَتِ الْاَعْرَابُ” sangat tepat sekali.
Ya, para pengikut kebenaran tidak merasa perlu meminta bantuan dari orang-orang lain, tidak membutuhkan mereka, berkat keutamaan sikap tawakkal dan pasrah diri (taslim) yang bersumber dari keimanan kepada Allah, yang merupakan titik sandaran paling kuat. Bahkan, seandainya mereka meminta bantuan itu, mereka tidak akan melakukannya dengan
188. Page
pengorbanan dan dedikasi.
Sementara para pecinta dunia, mereka menjadi lemah dan tak berdaya dalam urusan-urusan dunia disebabkan kelalaian mereka meninggalkan titik sandaran hakiki mereka, sehingga mereka merasa sangat memerlukan siapa pun yang bisa membantu dan menolong. Maka mereka pun saling bersepakat dengan mereka secara sungguh-sungguh dan jujur, bahkan mungkin berani berkorban dan dedikasi.
Sedangkan para pengikut kebenaran, karena mereka tidak memikirkan kekuatan kebenaran yang tersimpan dalam kesepakatan, serta mereka tidak berusaha mencarinya, akhirnya terjerumus ke dalam perpecahan yang merupakan dampak tidak benar yang berbahaya.
Adapun ahli kesesatan yang tidak benar, karena mereka menyadari kekuatan yang tersimpan dalam kesepakatan melalui perantara kelemahan mereka, maka mereka pun memperoleh kesepakatan yang merupakan sarana sangat penting untuk mencapai tujuan.
Karena itu, obat bagi penyakit kronis perpecahan tidak benar yang menimpa para pengikut kebenaran, serta penawarnya ialah: kita harus menjadikan ancaman keras dalam ayat وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ ريحُكُمْ (“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu,” Qs. al-Anfal [8]: 46) dan perintah ilahi yang bijaksana sekali untuk kehidupan bermasyarakat dalam ayat وَتَعَاوَنُوا عَلَي الْبِرِّ وَالتَّقْوٰي , (“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Qs. al-Ma’idah [5]: 2), sebagai dustur pergerakan.
Selain itu, kita harus bergabung secara setia dan penuh pengorbanan bersama rombongan pengikut kebenaran dengan segala kelemahan total dan ketidak-berdayaannya, seraya memahami betapa perselisihan sangat berbahaya bagi Islam, dan betapa perpecahan akan memudahkan golongan sesat untuk mengalahkan pengikut kebenaran. Di samping itu, kita harus memperoleh keikhlasan dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, serta dengan menghilangkan sikap riya dan sikap pura-pura.
Penyebab Keenam: Perpecahan para pengikut kebenaran terjadi bukan karena tidak adanya muruah (harga diri), bukan karena tidak ada semangat tinggi, dan bukan karena tidak adanya tekad mereka. Demikian pula, kesepakatan setia para pecinta dunia dan orang-orang sesat di dalam urusan khusus kehidupan dunia juga bukan terjadi karena adanya muruah, bukan karena tekad, dan bukan karena semangat tinggi mereka. Tapi, tekad para pengikut kebenaran, juga semangat tinggi dan muruah mereka, terpecah-pecah ke begitu banyak persoalan penting disebabkan mereka terlalu memikirkan, di banyak kesempatan, mengenai keuntungan-keuntungan khusus untuk akhirat.
Karena mereka tidak mempergunakan waktu mereka, yang merupakan modal hakiki mereka, untuk fokus mengurusi satu masalah tertentu, maka kesepakatan mereka dengan kawan-kawan sesama yang mengurus persoalan sama tidak begitu kokoh, apalagi permasalahan begitu banyak dan medannya juga luas.
Adapun para pecinta dunia yang lalai, karena mereka hanya memikirkan kehidupan dunia saja, maka mereka memfokuskan diri pada masalah-masalah yang khusus terkait kehidupan dunia dengan segenap perasaan, jiwa dan hati mereka secara kokoh. Mereka pun saling bergandengan tangan dengan orang yang bersedia membantu mereka dalam masalah tersebut dengan kokohnya.
Mereka memfokuskan waktu mereka yang berharga yang nilainya sama dengan lima ratus lira dalam masalah tersebut -yang tak sebanding dengan lima kurusy di mata para pengikut
189. Page
kebenaran, dan yang tak bernilai di mata ahli kebenaran walau sekadar lima kurusy. Mereka ini seperti orang Yahudi gila pembeli emas yang memberi lima lira untuk potongan kaca rendahan yang nilainya sama dengan lima kurusy. Tak syak lagi, membayar sesuatu dengan harga mahal serta memfokuskan perhatian pada masalah tersebut dengan sepenuh perasaan kuat – meskipun di jalan kebatilan – tentu akan membawa mereka pada keberhasilan. Sebab, mereka memperlihatkan keikhlasan yang tulus. Maka mereka pun mampu mengalahkan para pengikut kebenaran. Dampak dari kekalahan ini, para pengikut kebenaran jatuh dalam kehinaan, dominasi, kepura-puraan dan riya, sehingga hilanglah keikhlasan. Mereka terpaksa mencari muka di hadapan sebagian pecinta dunia dengan tanpa harga diri, tekad dan semangat.
Wahai para pengikut kebenaran! Wahai para ahli syariat, ahli hakikat, dan ahli tarikat yang menyanjung kebenaran! Janganlah kalian saling melihat kekurangan masing-masing ketika menghadapi penyakit kronis ini, penyakit perselisihan. Jauhkan pandangan dari melihat aib masing-masing kalian! Beradablah dengan adab furqani (al-Qur’an): وَاِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” Qs. al-Furqan [25]: 72)
Ketahuilah, meninggalkan pertikaian internal saat musuh luar menyerang, dan keyakinan harus menyelamatkan para pengikut kebenaran dari kejatuhan dan kehinaan, merupakan dua tugas ukhrawi paling utama dan terpenting. Laksanakanlah dengan sekuat-kuatnya semua yang diperintahkan ratusan ayat (al-Qur’an) dan hadits Nabi mengenai persaudaraan (ukhuwwah), cinta (mahabbah), dan tolong-menolong (ta’awun)! Dengan segenap perasaan kalian, bersepakatlah dengan saudara-saudara kalian, dalam perjalanan hidup dan dalam agama kalian, melalui kesepakatan yang jauh lebih kokoh dari para pecinta dunia. Yakni, janganlah kalian terjerumus ke jurang perpecahan!
Janganlah kalian melemahkan kesepakatan dengan berkata, “Aku akan mempergunakan waktuku yang sangat berharga untuk perkara yang berharga seperti zikir dan fikir, ketimbang untuk mengurus masalah kecil seperti ini!” Sebab, boleh jadi perkara yang kalian anggap kecil itu merupakan unsur besar sangat penting dalam jihad maknawi.
Tugas penjagaan seorang tentara selama satu jam, di saat penting dan dalam kondisi tertentu, terkadang berfungsi sebagai ibadah dengan nilai pahala satu tahun. Maka demikian pula, satu hari yang engkau pergunakan demi menyelesaikan salah satu masalah dalam jihad maknawi, di saat ketika orang-orang ahli kebenaran dikalahkan atas urusan mereka, nilai pahalanya seribu derajat seperti nilai satu jam si tentara tadi. Bahkan, terkadang satu harimu tersebut setara dengan seribu hari.
Selama hal ini dimaksudkan demi Allah, jangan diperhatikan besar-kecilnya dan penting-tidaknya hal tersebut. Hal sekecil atom yang dilakukan di jalan keikhlasan dan ridha ilahi bisa menjadi seperti bintang. Jangan pula perhatikan apa wasilahnya, tetapi lihatlah hasilnya. Selama hasilnya adalah keridhaan ilahi, dan raginya adalah keikhlasan, pasti hal itu bukan kecil, tapi besar.
Penyebab Ketujuh: Perpecahan para pengikut kebenaran dan hakikat serta persaingan di antara mereka bukan timbul dari adanya perasaan dengki, juga bukan dari sikap rakus terhadap dunia. Sebagaimana, kesepakatan para pecinta dunia dan orang-orang lalai juga bukan berasal dari tekad dan tingginya semangat mereka.
Tapi, para pengikut hakekat itu jatuh dalam perpecahan yang dipenuhi persaingan karena
190. Page
mereka tidak dapat menjaga tekad dan tingginya semangat idealisme yang sama-sama bersumber dari hakikat. Mereka juga tidak mampu menjaga persaingan terpuji di jalan kebenaran secara sempurna. Mereka menyalah-gunakannya hingga batas tertentu akibat masuknya orang-orang yang bukan ahlinya di antara mereka. Akibatnya, mereka membahayakan diri sendiri dan jamaah kaum muslimin sedemikian rupa.
Adapun orang-orang lalai dan sesat, mereka bersatu secara tulus dengan rekan-rekan mereka –walaupun mereka orang hina, pengkhianat dan berbahaya – disebabkan kehinaan mereka, tiadanya muruah dan tekad pada mereka, agar mereka tidak kehilangan manfaat yang mereka inginkan, serta agar mereka tidak dijauhi oleh para pemimpin dan rekan mereka yang mencintai mereka hingga derajat ibadah demi kepentingan dan manfaat itu. Mereka bersepakat secara tulus dengan para sekutu mereka yang bersatu di seputar kepentingan mereka, bagaimana pun kondisi mereka. Maka, dari persatuan dan kesepakatan ini, mereka memetik hasil dari kesungguhan dan keikhlasan ini.
Wahai para pengikut kebenaran yang ditimpa musibah dan jatuh dalam perselisihan! Kalian telah menyebabkan para pengikut kebenaran menjadi hina dan kalah, disebabkan karena kalian telah kehilangan keikhlasan pada zaman penuh musibah ini, dan disebabkan karena kalian tidak menjadikan keridhaan ilahi semata sebagai maksud dan tujuan kalian.
Hendaknya tidak ada lagi persaingan, iri, hasad, serta kecemburuan dalam urusan-urusan agama dan akhirat. Dan kalian tidak akan mungkin berhasil dari sudut pandang hakekat. Kecemburuan dan hasad ini terjadi disebabkan banyaknya tangan yang dijulurkan ke satu hal, karena banyaknya mata yang mengarah ke satu kedudukan, dan karena banyaknya perut yang mengincar sepotong roti. Demikianlah, mereka terjerumus ke dalam perasaan iri disebabkan permusuhan, persaingan, dan perlombaan, lantas mereka terjebak dalam hasad.
Mengingat begitu banyak orang yang menginginkan sesuatu yang sama di dunia, dan karena dunia begitu sempit dan sementara, maka ia tak dapat memuaskan keinginan manusia yang tak terbatas, sehingga manusia pun jatuh dalam kancah persaingan.
Adapun di akhirat, setiap orang akan diberi surga seluas lima ratus tahun perjalanan,[1]
[1] Ada satu pertanyaan penting dari seseorang: Disebutkan dalam hadits bahwa di surga, sebuah taman seluas (perjalanan) lima ratus tahun diberikan kepada seseorang. Bagaimanakah hakikat ini dapat dipahami dengan akal duniawi?
Jawaban: Sebagaimana setiap orang memiliki sebuah dunia yang khusus dan sementara di dunia ini, sebagaimana tiang bagi dunia itu ialah kehidupannya lalu dia bisa memanfaatkan dunianya melalui perasaan-perasaan lahir dan batinnya dan bisa berkata, “Matahari ialah lampuku” dan “Bintang-bintang ialah lilin-lilinku,” serta sebagaimana keberadaan makhluk dan pemilik roh yang lain tidak menjadi penghalang kepada kepemilikan orang itu, sebaliknya mereka memeriahkan dan menghiasi dunianya yang khusus itu; maka sama seperti itu juga, bahkan ribuan kali lebih tinggi dari itu, selain dari taman pribadi yang mengandung ribuan bidadari di surga, setiap mukmin memiliki surga khusus yang seluas lima ratus tahun selain dari surga yang umum. Dia bisa memanfaatkan dalam bentuk yang sesuai dengan surga dan keabadian berdasarkan tingkatannya. Sebagaimana penyertaan yang lain tidak mengurangi kepemilikan dan manfaatnya, mereka turut memberikan kekuatan. Mereka menghiasi surganya yang khusus dan luas. Sebagaimana manusia bisa memetik manfaat dari sebuah taman seluas satu jam perjalanan, berwisata seluas satu hari, sebuah negeri seluas sebulan dan pengembaraan selama setahun di sebuah tempat perjalanan di dunia ini menerusi mulut, telinga, mata, perasaan, rasa dan seluruh inderanya, sama seperti itu juga indera bau dan rasa di negeri fana ini yang hanya beristifadah dari sebuah taman seluas satu jam akan melakukan istifadah yang sama di sebuah taman seluas setahun di negari baka itu. Manakala indera penglihatan dan pendengaran yang hanya boleh beristifadah dari sebuah tempat pesiaran seluas setahun akan beristifadah dari perjalanan di tempat wisata seluas lima ratus tahun di sana dalam bentuk yang sesuai dengan negari hebat yang indah berhias dari ujung ke ujung itu. Setiap mukmin akan mengecap, menikmati kenikmatan melalui indera-indera yang terbentang dan terbuka menurut tingkatannya serta menurut pahala dan amal kebajikan yang ia dapatkan di dunia.
191. Page
selain tujuh puluh ribu istana dan bidadari. Setiap ahli surga rela dengan nasibnya dengan sepenuh keridhaan. Semua ini menunjukkan bahwa di akhirat tidak ada hal yang menyebabkan persaingan, dan memang mustahil di sana terdapat persaingan.
Karena itu, tidak dimungkinkan pula adanya persaingan dalam amal-amal shalih yang mengarah ke akhirat. Amal shalih bukanlah tempat untuk hasad. Orang yang hasad mungkin seorang riya yang mencari hasil duniawi atas nama amal shalih, atau mungkin dia benar-benar orang bodoh yang tidak mengetahui ke mana amal shalihnya mengarah, serta tidak menyadari bahwa keikhlasan ialah ruh amal shalih dan asasnya. Dia menuduh luasnya rahmat ilahi membawa sejenis rasa permusuhan terhadap para wali Allah yang shalih dalam bentuk persaingan.
Kepada kalian akan dikisahkan sebuah peristiwa nyata yang memperkuat hakekat ini:
Salah seorang sahabat lama kami memendam permusuhan dengan orang tertentu. Seseorang memuji musuhnya itu padanya sebagai orang shalih, bahkan menyebutnya wali. Dia tidak dengki padanya, dan tidak kesal. Lalu, ada orang lain berkata, “Musuhmu itu berani dan kuat.” Kami lalu melihat rasa hasad dan persaingan yang keras muncul padanya. Maka kami katakan kepadanya, “Sesungguhnya kewalian dan keshalihan merupakan kekuatan dan kemuliaan seperti permata kehidupan yang kekal abadi. Engkau tidak mendengkinya dari aspek ini. Sebab, perbandingan antara kekuatan dan keberanian duniawi dengan kewalian dan keshalihan seperti perbandingan antara satu serpihan kaca biasa dengan permata, selain itu kekuatan duniawi mungkin dimiliki banteng dan keberanian pun bisa dimiliki binatang buas.”
Orang itu pun berkata, “Sesungguhnya kami masing-masing mengincar satu titik tertentu dan kedudukan tertentu di dunia. Tangga kami untuk naik ke kedudukan itu adalah hal-hal seperti kekuatan dan keberanian. Karena itulah saya hasad padanya. Adapun kedudukan di akhirat dan tingkatannya tidak terbatas. Mungkin saja seseorang menjadi saudara kekasih sejati saya di akhirat, sementara dia merupakan musuh saya di dunia ini.”
Wahai para pengikut kebenaran dan tarekat! Mengabdi kepada kebenaran bagaikan memikul dan menjaga harta karun yang besar dan berat. Orang-orang yang memikul harta ini di pundak mereka akan senang dan bahagia sekiranya tersedia banyak tangan-tangan kuat membantu mereka. Mengapa saudara-saudara hakiki dan orang-orang yang membantu dengan berkorban itu harus dilihat dengan pandangan persaingan, padahal semestinya mereka diberi tepuk tangan dengan rasa bangga atas kekuatan, pengaruh, dan bantuan mereka yang datang untuk membantu, dan merekalah yang memiliki lebih banyak kekuatan, pengaruh, dan bantuan. Sebab kondisi ini bisa melenyapkan keikhlasan, dan kalian akan mendapat banyak tuduhan dalam tugas kalian. Kalian pun akan menghadapi banyak tuduhan dahsyat dari kalangan orang-orang sesat, seperti ingin mencari keuntungan dunia lewat agama, mengamankan sumber penghidupan dengan ilmu hakikat, dan bersaing dalam kerakusan dan ketamakan yang kedudukannya seratus persen lebih rendah dari diri kalian dan dari aliran kalian.
Satu-satunya obat untuk menyembuhkan penyakit ini adalah dengan menganggap dirinya yang salah, dan selalu berpihak kepada temannya sealiran, bukan mementingkan diri sendiri.
Terdapat ketentuan sikap fair (inshaf) dan pencarian kebenaran di kalangan ulama ilmu debat dan ilmu akhlak, yaitu: Jika ada orang berusaha menampakkan kebenaran kata-katanya
192. Page
sendiri dalam perdebatan masalah tertentu, lalu dia merasa senang karena kelihatannya dia benar, sementara musuhnya keliru dan salah, maka dia bukanlah seorang yang bersikap fair, malah sebenarnya dia merugi. Sebab, jika dia menampilkan diri sebagai orang yang benar, maka dia tidak akan mempelajari hal baru yang tak diketahuinya dalam perdebatan tersebut, dan kadang dia harus menanggung resiko karena kemungkinan terjadinya kesombongan diri. Adapun sekiranya kebenaran tampak di pihak lawan, dia bisa mengambil manfaat dengan mempelajari hal baru yang tidak diketahuinya, tanpa harus menanggung resiko, serta dia akan terhindar dari kesombongan diri.
Dengan demikian, pencari kebenaran yang bersikap fair akan mampu mengalahkan pikiran sendiri demi ide kebenaran. Jika dia melihat kebenaran di tangan lawannya, dia menerimanya dengan rela hati, lantas mendukungnya, serta merasa senang dan gembira.
Maka, jika para ahli agama, ahli hakekat, ahli tarikat, dan ahli ilmu menjadikan aturan ini sebagai pedoman, mereka akan memperoleh keuntungan melalui keikhlasan, mereka akan berhasil dalam menjalankan tugas-tugas ukhrawi, serta berkat rahmat ilahi mereka akan selamat dari kejatuhan yang pahit ini dan dari musibah yang mengerikan sekarang ini.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)