LAMA'AT KEDUA PULUH DELAPAN

326. Page

LAMA’AT KEDUA PULUH DELAPAN

 

Ini berisi beberapa paragraf singkat yang saya tulis untuk memberikan hiburan di hati para saudara saya yang ada di hadapan saya, di saat saya dilarang untuk bergaul dan berbicara dengan siapa pun juga ketika berada di Penjara Eskisyehir.

 

بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

 

Nuktah Kecil untuk Sebuah Ayat Agung

 

Obrolan Ringan Bersama Sulaiman Rusydi,[1] Ikon Keikhlasan dan Kesetiaan, Sosok Istimewa dengan Hati Jernih dan Bersih

 

Sebagian orang egois-oportunis menggunakan pembasmi serangga di kamar kami, tidak lama menjelang lalat-lalat mulai bebas dari tugas di musim gugur. Mereka bermaksud membasmi lalat-lalat yang sedikit mengganggu itu. Tapi, itu sering membangkitkan rasa iba dalam hati saya. Namun lalat-lalat itu justru kian banyak, meski sudah dibasmi oleh orang-orang tadi sekian lama.


Di kamar saya terdapat tali untuk menggantung baju. Burung-burung kecil ini berbaris rapi sekali di tali itu pada waktu maghrib. Saya kemudian berkata kepada Rusydi saat hendak menggantung baju, “Jangan mengusik serangga-serangga kecil itu. Gantungkan saja bajumu di tempat lain.” Dengan serius Rusydi menjawab, “Kami memerlukan tali ini. Biarkan lalat-lalat ini saja yang mencari tempat lain.”


Bagaimana pun, obrolan tentang serangga-serangga kecil yang begitu banyak, seperti lalat dan semut, berawal di waktu sahur. Terkait obrolan lembut ini, saya kemudian berkata kepada Rusydi, “Jenis-jenis serangga yang kian banyak salinannya ini mempunyai banyak tugas penting yang sangat bernilai.”


Ya. Buku dicetak dalam jumlah besar sesuai nilainya, yang berarti jenis lalat pun mempunyai tugas penting dan nilai besar, karena Sang Pencipta Maha Bijak memperbanyak salinan naskah tulisan-tulisan takdir dan kata-kata qudrat yang sangat kecil tersebut.


Ya, al-Qur'an Karim mengatakan:


يَۤا اَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوالَهُ اِنَّ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللّٰهِ لَنْ يَخْلُقُواذُبَابًاوَلَوِاجْتَمَعُوالَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًالاَ يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Qs. al-Hajj [22]: 73)


Yakni, penciptaan lalat merupakan mukjizat rabbani dan ayat takwini. Andai pun seluruh sebab menyatu, pasti ia tidak akan mampu menciptakan makhluk seperti lalat, dan pasti tidak akan mampu menentang ayat rabbani ini atau menirunya.


[1] Salah seorang murid pertama Imam Said Nursi saat diasingkan di Barla.




327. Page

Inilah lalat yang menjadi topik utama ayat ini, (makhluk kecil) yang mengalahkan Namrud, ketika Sayidina Musa a.s berkata mengeluhkan gangguannya, “Ya Rabb! Mengapa Engkau menciptakan banyak sekali makhluk yang mengusik ini?” Jawabannya muncul dalam bentuk ilham, “Wahai Musa! Kau hanya sekali menentang lalat, padahal lalat-lalat ini sering meminta begini: ‘Ya Rabb! Manusia yang berkepala besar ini hanya menyebut-Mu dengan satu lisan, itu pun kadang lalai untuk menyebut-Mu. Andai saja Engkau menciptakan kami dari sebagian darinya sebesar kepalanya saja, tentu akan banyak sekali makhluk seperti kami yang menyebut-Mu dengan seribu lisan’.”


Lalat membela hikmah penciptaannya sekuat seribu kali bantahan atas keluhan Musa a.s. Tak syak lagi, rombongan (lalat) yang menjaga kebersihan dan selalu membersihkan mata, wajah, dan sayapnya setiap waktu hingga seakan berwudhu ini, memiliki tugas penting. Hanya saja pandangan hikmah dan filsafat manusia terbatas, tidak bisa mengetahui tugas lalat sama sekali.


Ya. Allah S.w.t menciptakan sebagian hewan pemakan daging dari spesies pembersih kesehatan, dalam penciptaan yang menawan dan menakjubkan, untuk membersihkan wajah lautan dan mengumpulkan[1] bangkai-bangkai binatang laut di mana setiap harinya terjadi milyaran kematian, serta untuk menyelamatkan wajah laut dari pemandangan tidak sedap karena dikotori bangkai-bangkai itu. Andai para petugas kesehatan laut tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan cermat, tentu wajah lautan tak akan berkelip seperti cermin, bahkan mungkin saja terlihat kotor hingga membangkitkan kesedihan dan duka mendalam sedemikian rupa.


Kemudian Allah S.w.t menciptakan burung-burung buas pemakan daging seperti elang dan nasar, yang seolah-olah para petugas kebersihan dan kesehatan. Mereka bisa mengendus –dengan kawalan rabbani mirip karamah– keberadaan bangkai-bangkai tersembunyi sejauh perjalanan kurang lebih enam jam. Mereka kemudian terbang ke sana dan membuang bangkai-bangkai itu, demi membersihkan wajah bumi dari kotoran, dengan mengumpulkan bangkai binatang dan burung-burung liar setiap harinya. Mereka menyelamatkan makhluk hidup dari pemandangan-pemandangan pilu yang menyedihkan. Andai para petugas kesehatan daratan ini tidak menjalankan tugasnya dengan baik, tidak disiplin, dan tidak memperhatikan tugas yang harus dijalankan, tentu wajah bumi ini perlu diratapi.


Ya. Rizki halal bagi hewan-hewan pemakan daging adalah daging-daging bangkai hewan. Daging hewan yang masih hidup haram hukumnya bagi mereka. Jika tetap dimakan, mereka akan mendapat hukuman. Disebutkan dalam sebuah hadits mulia:


حَتّٰي يَقْتَصُّ الْجَمَّاءُ مِنَ الْقَرْنَاءِ

“Hingga hewan tak bertanduk menuntut balas pada hewan yang bertanduk.”[2]


[1] Ya, seekor ikan bisa mengeluarkan ribuan telur. Lalu telur tersebut menetaskan ribuan ikan kecil. Bahkan kadang-kadang kandung telurnya bisa mengeluarkan jutaan telur dan membentuk ikan-ikan. Dengan demikian, jumlah ikan yang lahir setara dengan yang mati sehingga bisa menjaga keseimbangan laut. Di antara bentuk kasih sayang Tuhan adalah ketika ada perbedaan yang sangat besar antara tubuh induk dan tubuh anak. Karena si induk tidak bisa menggiring anak-anaknya kemana pun ia pergi sebab sang induk tak bisa masuk ke tempat-tempat yang dimasuki oleh sang anak, maka Allah Yang Maha Bijak dan Kasih menciptakan seekor pemimpin kecil di antara anak-anak itu guna menggantikan tugas induknya.

[2] Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah S.a.w bersabda, “Para makhluk menuntut balas satu sama lain, hingga hewan tak bertanduk menuntut balas pada hewan yang bertanduk, bahkan semut menuntut balas pada semut (lainnya).” HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya, hadits nomor 8741. Hadits ini dikuatkan oleh sejumlah riwayat lain dalam kitab Shahih Muslim, hadits nomor 2582, Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits nomor 7363, Sunan At-Tirmidzi, hadits nomor 2420, al-Sunan al-Kubra, Al-Baihaqi, hadits nomor 11285, al-Mustadrak ‘ala al- Shahihain, Hakim, hadits nomor 8716, al-Mu’jam al-Awsath, Thabrani, hadits nomor 5477, Al-Mu’jam Al-Kabir, Thabrani, hadits nomor 1412, Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 520, dan lainnya, Musnad Abu Ya’la, hadits nomor 6513.




328. Page

Yakni, para hari kiamat hewan-hewan tak bertanduk akan menuntut balas pada hewan-hewan yang bertanduk, atau arti seperti yang Nabi S.a.w sampaikan, menunjukkan isyarat pada hal itu. Di alam baka sana, ada balasan dan hukuman yang berlaku sesuai dengan kondisi hewan-hewan yang ruhnya tetap kekal setelah jasadnya hancur. Berdasarkan hal itu, bisa dikatakan bahwa daging-daging hewan yang masih hidup haram hukumnya bagi hewan-hewan pemangsa.


Allah S.w.t telah menugaskan semut sebagai petugas-petugas kebersihan. Mereka ditugaskan untuk mengumpulkan bangkai-bangkai bintang kecil, mengumpulkan biji-bijian, atau benda-benda kecil yang berserakan. Semut diberi tugas layaknya petugas kesehatan untuk menjaga bagian-bagian kecil nikmat ilahi, biji-bijiannya dan serakannya agar tidak terbuang percuma, agar tidak diinjak-injak kaki, dan diperlakukan secara hina serta sia-sia. Semut juga ditugaskan untuk mengumpulkan bangkai-bangkai hewan yang kecil sekali.


Demikian pula lalat. Mereka ditugaskan melakukan sejumlah pekerjaan yang lebih penting lagi dari tugas-tugas tersebut. Yaitu, membersihkan dan menyucikan bahan-bahan beracun dan bakteri-bakteri berbagai penyakit yang tak terlihat oleh mata telanjang manusia. Lalat bukannya memindahkan bakteri, justru lalat menghilangkan bakteri dengan cara menghisap dan memakannya. Lalat mengubah bahan-bahan beracun menjadi bahan-bahan lain, serta mencegah penyebaran berbagai macam penyakit menular.


Bukti bahwa lalat adalah pekerja kesehatan dan petugas kebersihan, sekaligus sebagai ahli kimia cekatan, yang merupakan tajalli hikmah umum yang besar dan luas, ialah jumlahnya yang banyak tak terbatas. Sebab, sesuatu yang bernilai dan bermanfaat tentu perlu diperbanyak.


Wahai manusia yang egois dan oportunis! Lihatlah satu manfaat kecil lalat yang Anda rasakan di antara ribuan hikmah kehidupan lalat. Singkirkan sikap memusuhi lalat, karena selain bisa menemani Anda saat sendirian dan terasing, lalat juga mengingatkan dan menyadarkan Anda dari kelalaian dan lamunan tidak karuan.


Anda tahu, lalat mengajari Anda dan mengingatkan tugas-tugas manusia, seperti wudhu, shalat, pergerakan, dan kebersihan, melalui kondisi-kondisinya yang lembut. Ia berwudhu, membasuh dan membersihkan wajah serta kedua matanya.


Selanjutnya Anda perlu mencintai lebah yang masih satu keluarga dengan lalat. Lebah yang memberi Anda madu sebagai anugerah paling manis dan lezat. Dialah makhluk yang dimuliakan sekaligus bisa menegakkan kepala karena namanya disebut dalam wahyu rabbani di dalam al-Qur'an yang bayannya penuh mukkjizat. Karena itu, memusuhi lalat atau bahkan memusuhi hewan-hewan yang berusaha membantu manusia dengan jujur, yang ikut memikul beban berat manusia dan menolongnya, adalah tindakan zalim. Tapi, yang mungkin dihadapi hanyalah sebatas menangkal bahayanya saja, seperti halnya menghadapi serigala sebatas agar tidak menerkam kambing.


Coba perhatikan. Bukankah peningkatan volume darah yang melebihi kebutuhan tubuh saat suhu udara tengah panas itu berbahaya?!


Tidakkah mungkin jika nyamuk atau pun kutu yang menghisap darah kotor di aliran-aliran darah yang mengandung unsur-unsur berbahaya, bahkan menjalankan tugas 

329. Page

menghisap darah kotor sedemikian rupa, disebut sebagai tukang bekam alami?

 

سُبْحَانَ مَنْ تَحَيَّرَ في صُنْعِهِ الْعُقُولُ

Maha Suci Zat yang ciptaannya mencengangkan akal!


Suatu ketika saat saya bermujahadah melawan nafsu diri yang mengira nikmat-nikmat ilahi yang ia lihat sebagai hak miliknya. Ia pun merasa angkuh dan bangga diri. Saya lalu berkata pada jiwa saya, “Semua nikmat ini bukan milikmu, tapi sebagai amanat." Jiwa kemudian menyingkirkan sikap terpedaya dan bangga diri itu. Namun, ia mulai malas dan berkata, “Mengapa aku harus menjaga sesuatu yang bukan milikku? Apa untungnya? Biarkan saja lenyap tanpa guna!”


Tiba-tiba saya melihat seekor lalat hinggap di tangan saya. Lalat itu kemudian mulai membersihkan wajahnya, kedua matanya, dan sayap-sayapnya yang merupakan amanat Allah yang ia jaga dengan baik dan penuh perhatian. Lalat membersihkan diri layaknya seorang prajurit membersihkan senjata dan seragam yang diberikan negara dengan peduli dan penuh perhatian. Saya kemudian berkata pada jiwa saya, “Lihatlah lalat ini." Jiwa saya melihat dan menerima sebuah pelajaran sempurna. Lalat menjadi guru dan ustadz bagi jiwa saya yang sombong dan malas.


Kotoran-kotoran lalat adalah bahan yang menurut kesehatan tidak membahayakan, bahkan kadang menjadi minuman lezat dan manis. Tentu tidak lepas dari pandangan hikmah rabbani, lalat laksana mesin alat pemanis, pembersih dan penyaring kecil karena keberadaannya sesuai sumber makanannya yang terdiri dari ribuan bahan berbeda-beda, bakteri dan racun berbahaya. Tapi, itu termasuk bagian dari hikmah rabbani.


Ada spesies lalat –kecuali lebah– yang sumber makanannya adalah bahan-bahan kotor dan menjijikkan,[1] namun selalu mengeluarkan cairan manis, bukan bahan-bahan kotor. Bahan-bahan makanan yang kotor dan beracun tersebut berubah menjadi minuman manis dan bisa dijadikan obat, seperti embun manis layaknya madu yang turun dari dedaunan pohon. Ini membuktikan, lalat benar-benar mesin pemanis. Lalat memperlihatkan kebesaran kelompok makhluk-makhluk kecil yang jumlahnya amat banyak ini. Melalui bahasa kondisionalnya, lalat mengatakan, “Jangan melihat bentuk kami yang kecil ini, tapi lihatlah kebesaran kelompok kami, lalu ucapkan, Subhanallah!”


Sa’id al-Nursi 



[1] Sekelompok lalat yang sangat kecil diciptakan dalam bentuk bulatan hitam di atas ranting pohon sejenis kacang dan aberikos di akhir musim semi. Ia menetap dengan menempel di ranting tersebut. Kemudian ia mengeluarkan sari makanan berupa tetesan air semacam madu. Lalu jenis lalat lainnya berkumpul guna mengisapnya. Sementara sekelompok lalat lain dipergunakan untuk proses penyerbukan beberapa bunga tumbuhan dan beberapa pohon yang mempunyai buah seperti pohon Tin. Selain itu, kelompok lalat yang lain, yaitu kunang-kunang, yang mengerlap di malam hari merupakan binatang unik yang menarik perhatian dan perlu direnungkan. Salah satu jenis darinya mengerlapkan cahaya seperti emas. Kita juga tidak boleh lupa dengan nyamuk dan tawon yang bersenjatakan tombak. Seandainya kendali lalat-lalat ini tidak berada di tangan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih lalu mereka menyerang semua makhluk dan manusia, pasti mereka telah menyusahkan manusia sebagaimana mereka telah membunuh Namrudz. Serta, makna simbolis dari ayat al-Quran yang berbunyi, “Dan jika lalat itu mengambil sesuatu dari mereka, mereka takkan bisa mengelak” (وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّباَبُ شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُوهُ) tentu menjadi kenyataan. Karena itu, bangsa lalat yang memiliki banyak jenis dan karakter khusus seperti telah disebutkan di atas mempunyai kedudukan sangat penting sehingga layak untuk menjadi salah satu tema al-Quran, “Wahai manusia, ada sebuah contoh perumpamaan, maka dengarkanlah!” (يَٓا اَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ).




330. Page

بِسْـــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 اِنَّمَا اَمْرُهُ اِذَا اَرَادَ شَيْئًا اَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia’.” (Qs. Yasin [36]: 82)

 

Segala sesuatu diciptakan, sesuai isyarat ayat mulia ini, berdasarkan perintah Allah S.w.t. Khazanah-khazanah qudrat-Nya dan simpanannya berada di antara huruf kaf dan nun. Sebagian di antara banyak aspek dari rahasia rumit ini sudah disebutkan dalam Risalah al-Nur. Kami akan berusaha memahamkan rahasia tersebut dengan contoh materiil yang teraba, agar hadits-hadits terkait keistimewaan huruf-huruf al-Qur'an lebih mudah difahami, terutama huruf-huruf potongan yang terdapat di awal-awal surat. Juga akan diungkap keutamaannya, dan pengaruh materiilnya, untuk mendekatkannya pada pandangan materialis di masa kini. Berikut jelasnya:


Sang Pemilik Arsy Maha Agung memiliki “empat Arsy ilahi,” yang semuanya merupakan sarana untuk mengatur seluruh makhluk yang ada di bola bumi sebagai pusat maknawi alam, inti jagad raya, dan kiblatnya.


Pertama, Arsy penjagaan (hifdzu) dan kehidupan (hayat), yaitu tanah, yang memantulkan nama Allah al-Hafidz dan al-Muhyi.


Kedua, Arsy karunia (fadhl) dan rahmat (rahmah), yaitu unsur air.


Ketiga, Arsy ilmu ('ilm) dan hikmah (hikmat), yaitu unsur cahaya.


Keempat, Arsy perintah ('amr) dan kehendak (iradah), yaitu unsur udara.


Dengan mata telanjang, kita bisa melihat berbagai unsur mineral dan tumbuh-tumbuhan berbeda-beda yang tak terbatas untuk memenuhi kebutuhan para hewan dan manusia tak terbatas dari tanah sederhana. Kita juga melihat penampakan kuantitas banyak yang tersebar tak terbatas dari unsur sederhana, yakni dari satu, yang amat banyak tak terbatas, dari sesuatu sederhana tak terhingga dari jenis-jenis berbeda dengan aturan dan keselarasan yang sempurna. Sebagaimana kita juga melihat ukiran-ukiran menawan tak terbatas dalam satu lembar yang kosong, maka munculnya mukjizat-mukjizat dan keindahan tak terbatas di balik berbagai macam makhluk hidup dari unsur air –padahal nutfah hewan hanyalah unsur sederhana laksana air– memperlihatkan kepada kita bahwa cahaya dan udara meski sederhana, namun menjadi tempat keajaiban mukjizat pena ilmu Sang Pengukir Azali Yang Maha Mengetahui Maha Agung di mana perintah dan kehendak-Nya laksana dua Arsy sebelumnya.


Untuk sementara unsur cahaya tidak kita bahas terlebih dahulu. Sesuai konteks permasalahan yang dibahas, kita usahakan untuk mengungkap tabir yang menutupi keajaiban-keajaiban perintah dan kehendak di balik unsur udara yang merupakan Arsy perintah dan kehendak bagi bumi. Jelasnya sebagai berikut:


 Sebagaimana kita menanam huruf-huruf dan kata-kata melalui media udara yang ada di mulut kita, maka secara langsung kata-kata dan huruf-huruf tersebut mengeluarkan bulir. Yakni, seakan-akan satu kata menjadi sebuah biji di udara sesaat dan tanpa jeda waktu, kemudian kata tersebut mengeluarkan bulir di udara luar, selanjutnya bulir tersebut menyatu untuk kata yang sama baik dalam bentuk kecil maupun besar dengan bilangan tak terbatas. 

331. Page

Maka seperti itu juga jika kita memperhatikan unsur udara yang tunduk pada perintah كُنْ فَيَكُونُ, sehingga setiap atom udara seakan menantikan perintah setiap saat laksana seorang prajurit. Atom yang paling jauh pun memperlihatkan ketaatan menjalankan perintah kehendak yang merupakan tajalli kun, tanpa adanya jeda waktu.


Sebagai contoh: Sebagaimana memperdengarkan kata-kata manusia di tempat mana pun melalui alat radio pemancar dan penerima di tempat mana pun di udara– dengan syarat harus ada radio penerima- di belahan bumi mana pun, memperlihatkan sejauh mana kepatuhan setiap atom udara pada tajalli “kun fayakun” secara sempurna, demikian pula huruf-huruf yang keberadaannya di udara tidak stabil, karena kesuciannya bisa saja menjadi inti dan tajalli pengaruh-pengaruh luar dan karakteristik materi sesuai rahasia pelaksanaan perintah ini. Seakan ia memiliki keistimewaan untuk mengubah hal-hal yang bersifat maknawi menjadi hal-hal yang bersifat materi, mengubah hal-hal gaib menjadi terlihat nyata.


Demikianlah contoh di antara sekian banyak pertanda tak terbatas yang menunjukkan bahwa huruf-huruf yang ada di udara, apalagi huruf-huruf suci dan huruf al-Qur'an, terlebih khusus lagi huruf-huruf kata-kata ilahi yang ada di awal-awal surat, terlihat seakan mendengarkan perintah ilahi yang teratur dan amat sensitif sekali, yang datang tanpa perjanjian sebelumnya dan langsung menjalankan perintah tersebut. Karena itu, huruf-huruf ini tentu mendorong seseorang untuk menerima karakteristik material dan keutamaan luar biasa huruf-huruf yang ada di atom udara yang merupakan inti sekaligus tajalli perintah كُنْ فَيَكُونُ, dan tajalli kehendak azali dari sisi kesucian.


Berdasarkan rahasia ini, ungkapan al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat yang terkadang menunjukkan jejak qudrat, seakan muncul dari sifat kehendak dan kalam. Maksudnya, perintah dilaksanakan dan memberlakukan hukumnya laksana kekuasaan, secara persis, terlebih segala sesuatu diciptakan dengan sangat cepat sekali, semuanya untuk dan patut secara sempurna pada perintah-perintah yang diberikan, semua wujud tunduk secara sempurna pada perintah itu. Dengan kata lain, huruf-huruf yang datang dari perintah takwini menguasai penciptaan segala sesuatu. Ia seakan kekuatan materiil. Dan perintah takwini tampak seakan qudrat dan juga kehendak itu sendiri.


Ya. Di balik wujud-wujud yang tak terlihat ini –di mana wujud materiilnya berupa udara yang amat samar, seakan separuhnya bersifat materiil dan separuhnya lagi bersifat maknawi– terlihat adanya jejak-jejak perintah dan kehendak, seakan perintah takwini adalah qudrat itu sendiri, bahkan menjadi inti kekuasaan.


Dan untuk menarik perhatian kepada wujud laksana sekat antara hal-hal yang bersifat materiil dan hal-hal yang bersifat maknawi, al-Qur'an mengatakan:


اِنَّمَا اَمْرُهُ اِذَا اَرَادَ شَيْئًا اَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia’.” (Qs. Yasin [36]: 82)


Dengan demikian, huruf-huruf suci yang ada di awal-awal surat seperti alif lam mim, tha’ sin mim, ha’ mim (ألم طسم حم) merupakan ikatan dan kancing huruf yang mampu mengguncang senar-senar kesesuaian yang amat jeli dan samar tanpa adanya jeda waktu di atom-atom udara. Fungsinya sebagai intel-intel suci laksana jaringan nirkabel maknawi dari makhluk paling kecil hingga yang paling besar. Ini sangat masuk akal sekali.

Ya, setiap atom dari atom-atom udara yang tersebar di berbagai penjuru dunia 

332. Page

menjalankan perintah laksana telepon tanpa kabel dan telegraf. Atom-atom udara juga memiliki sejumlah tugas lain, yaitu menerima dan memancarkan listrik dan unsur-unsur lembut lain yang mengalir. Lebih dari itu, saya sendiri melihat hal tersebut di balik bunga-bunga buah badam berdasarkan intuisi pasti, bahkan melalui musyahadah pepohonan yang merupakan pasukan yang rapi di bumi ini. Dengan sekedar diterpa angin sepoi, ia menerima perintah-perintah dari atom-atom udara yang laksana stasiun penerima. Hal ini membuat saya yakin secara pasti sepasti 2 x 2 = 4 bahwa setiap atom dari atom-atom udara melaksanakan perintah-perintah laksana telepon tanpa kabel dan telegram.


Maka, seperti halnya udara adalah pelayan aktif dan bergerak di permukaan bumi, melayani tamu-tamu al-Rahman dan al-Rahim di permukaan bumi, yang menyampaikan, laksana seorang prajurit taat, perintah-perintah suci al-Rahman kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan, seakan setiap atom udaranya adalah penerima gelombang tanpa kabel, dan juga ia menjalankan banyak sekali tugas berdasarkan perintah kun fayakun, maka seperti itu juga ia memicu terbentuknya huruf-huruf di mulut setelah menjalankan peran ventilasi udara dan kenyamanan jiwa. Maksudnya, ia berperan membersihkan darah yang menjadi air kehidupan bagi tubuh, dan bertugas memberikan kehangatan naluriah yang merupakan api kehidupan.


Berdasarkan karakteristik udara ini, huruf-huruf yang merupakan materi-materi udara, setiap kali meraih kesucian, maksudnya setiap kali berperan sebagai penerima, maka huruf-huruf yang ada di awal-awal surat menjadi pusat di bagian ujung keterkaitan samar tersebut, lebih dari huruf-huruf lainnya, di samping sebagai ikatan dan tombol-tombol sensitif bagi materi-materi udara. Karena itulah keberadaannya sebagai materi udara membuatnya memiliki karakteristik sedemikian rupa, seperti halnya keberadaannya di alam fikiran atau bahkan keberadaannya sebagai ukiran penciptaan pun tetap memiliki salah satu di antara sekian karakteristik tersebut.


Dengan demikian, membaca dan menulis huruf-huruf tersebut bisa memberikan obat –seperti pengobatan materiil– serta untuk tujuan-tujuan lain.

 

 

Badiuzzaman Sa’id Nursi

 

 

بِسْــــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِه مَدَدًا

 “Katakanlah, ‘Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Qs. al-Kahfi [18]: 109)

 

Ayat mulia ini merupakan lautan besar dan luas sekali. Untuk menjelaskan mutiara-mutiara ayat ini, kita perlu menulis satu jilid buku tebal. Karena itu, kami berharap penjelasan mutiara-mutiara ayat berharga ini ditunda ke lain waktu.


 Tampak dari kejauhan oleh saya, sebuah sinar dari suatu nuktah yang menarik perhatian pikiran saya padanya. Sinar semacam bersitan hakikat yang melintas beberapa hari silam saat berdzikir selepas shalat yang merupakan waktu penting bagi saya. Hanya saja kami 

333. Page

tidak bisa menulis bersitan tersebut saat itu. Sinar tersebut semakin menjauh sedikit demi sedikit seiring perjalanan waktu. Untuk meraih tajalli di antara tajalli-tajalli nuktah tersebut, berikut akan kami sebutkan beberapa kalimat saat ini, seakan kami meletakkan lingkaran-lingkaran di sekitar sinar tersebut, agar tidak benar-benar lenyap secara keseluruhan.

 

Kalimat pertama: Kalam azali tidak ada batas akhirnya dari sisi keberadaannya sebagai sifat ilahi, seperti sifat ilmu dan qudrat. Karena itu, andai seluruh lautan menjadi tinta untuk menulis sesuatu yang tidak ada batas akhirnya, tentu lautan akan habis sebelum sesuatu tersebut habis.

 

Kalimat kedua: Jejak paling nyata dan kuat yang memberi rasa keberadaan seseorang adalah berbicara dengannya. Mendengar kata-kata seseorang membuktikan keberadaan orang tersebut laksana seribu bukti, bahkan termasuk dalam tingkatan syuhud. Ayat di atas dari sisi pandangan ini menyatakan sesuai makna isyaratnya:


Andai lautan menjadi tinta dan seluruh pohon menjadi pena, lalu menulis (kalam Allah), tentu ia tak akan mampu menuntaskan bilangan kalam Allah yang menunjukkan keberadaan Rabb Maha Agung. Artinya, satu kata saja yang diucapkan seseorang menunjukkan keberadaannya hingga tingkatan syuhud, maka kata-kata ilahi yang menunjukkan keberadaan Zat Maha Esa Maha Agung –konteks pembicaraan dengan sang pembicara dan petunjuk keberadaannya– yang tanpa batas, di mana seandainya seluruh lautan menjadi tinta, tentu itu tidak akan cukup untuk menulis kata-kata tersebut.

 

Kalimat ketiga: Al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat mengajarkan dan menyampaikan hakikat-hakikat keimanan kepada seluruh tingkatan manusia, maka ia mengulang satu hakikat secara lahiriah untuk suatu hikmah, memperkuat, menegaskan dan meyakinkannya. Karena itu, ayat di atas merupakan jawaban secara maknawi terhadap serangan-serangan zalim ulama Yahudi –padahal mereka orang-orang berilmu dan ahli kitab– terhadap keberadaan Rasulullah S.a.w yang buta huruf dan minim ilmu pada masa itu. Jelasnya:


Ayat di atas menyatakan: Mengulang-ulang permasalahan yang mengandung ribuan hakikat seperti rukun iman di mana satu permasalahannya senilai seribu masalah, dengan gaya bahasa dan pola yang beragam, yang dimaksudkan untuk banyak sekali hikmah, seperti untuk menanamkan dan memuaskan (pemahaman hakikat) secara mendalam, menanamkan satu hakikat yang memiliki banyak sekali manfaat dan maslahat, serta memperkuat hakikat tersebut di hati siapa pun, khususnya kalangan awam, itu sama sekali bukan kata-kata tanpa makna, bukan karena hampa fikiran atau pun karena minimnya bahan pembicaraan. Bahkan andai pun seluruh lautan dijadikan tinta untuk menghitung kata-kata kalam azali yang merupakan sumber al-Qur'an Karim, yang berasal dari simpanan azali tak terbatas dan tak terhingga bagi kalam ilahi, yang diarahkan ke alam nyata dari alam gaib, menyampaikan pesan kepada jin, manusia, ruh, dan malaikat, yang mengiang di telinga siapa pun juga … andai pun lautan dijadikan tinta, seluruh makhluk yang memiliki kesadaran dan pemahaman dijadikan buku, seluruh tanaman dan pepohonan dijadikan pena, bahkan meskipun atom-atom dijadikan seluruh mata pena tersebut, tentu itu semua tak akan bisa menghitung kalam tersebut, karena kalam ini tidak terhingga, sementara lautan dan pepohonan ada batasnya.


334. Page

Kalimat keempat: Seperti diketahui, kata-kata yang muncul tidak diduga membuat kata-kata tersebut mempunyai nilai penting, membuatnya didengar dengan sendirinya, apalagi gema mirip kata-kata yang dituturkan oleh obyek besar seperti awan di udara, itu mendorong semuanya untuk mendengarkan kata-katanya dengan penuh perhatian dan kejelian, khususnya simponi-simponi yang menuturkan benda agung sebesar gunung. Simponi ini menarik apa pun untuk lebih banyak dan lebih banyak mendengarnya, terlebih gema langit al-Qur'an yang muncul untuk memperdengarkannya kepada kepala bola bumi yang menjadikan tingkatan-tingkatan langit sebagai tiang penyangga ... Maka atom-atom udara mesti menjadi seperti cermin, lisan, ujung jarum, dan telinga bagi huruf-huruf suci al-Qur'an, seperti halnya atom-atom udara datang membawa huruf-huruf dengan kekuatan radio. Ayat itu sendiri – yang merupakan simbol hakikat ini dan sebagai isyarat sejauh mana nilai penting huruf-huruf al-Qur'an, karakteristik, dan dinamikanya – berkata melalui pengertian isyaratnya:


Al-Qur'an yang merupakan kalam Allah memiliki nilai tinggi dan dinamika besar, karena sekira seluruh lautan menjadi tinta untuk menghitung telinga-telinga yang mendengarnya dan kata-kata suci yang masuk ke dalam seluruh telinga tersebut, sementara para malaikat menjadi penulisnya, selanjutnya seluruh atom, nutfah, tumbuhan dan rambut menjadi pena untuk menulis kata-kata itu, tentu itu semua tidak bisa menulisnya hingga tuntas. Sebab, jika Allah S.w.t memperbanyak di udara kata-kata manusia yang lemah yang tidak punya ruh menjadi berjuta-juta kata, maka tentu setiap kata yang ditujukan kepada bumi, langit, atau apa pun yang menjadi lawan bicara yang memiliki kesadaran dan pemahaman yang ada di langit dan bumi, seperti malaikat langit dan bumi yang tak ada bandingnya, tentu itu akan menjadi sebanyak bilangan atom udara.

 

Kalimat kelima

Ini terdiri dari dua huruf:

Huruf pertama, sebagaimana halnya sifat kalam memiliki kata-kata, demikian pula qudrat memiliki kata-kata yang berbentuk. Ilmu juga memiliki kata-kata qadariyah yang memiliki hikmah, yaitu semua wujud yang ada, terutama makhluk hidup, terlebih makhluk-makhluk kecil. Masing-masing dari semua itu adalah kata rabbani yang mengisyaratkan adanya Zat Azali yang berbicara, sebagai isyarat yang lebih kuat dari tutur kata. Kalam-Nya tidak akan bisa dihitung jumlahnya, bahkan andaikata seluruh samudera menjadi tintanya. Ayat ini secara simbolik juga menatap dan mengarah kepada makna di atas.


Huruf kedua, seluruh ilham yang datang kepada seluruh malaikat, manusia, bahkan hewan, adalah semacam kalam ilahi. Untuk itu, kata-kata kalam ini pasti tidak ada batas akhirnya. Maka ayat tersebut di atas mengabarkan kepada kita tentang begitu banyaknya kata-kata ilham dan perintah ilahi yang senantiasa diterima seluruh pasukan tak terbatas milik kekuasaan mutlak. Juga menjelaskan bahwa kata-kata ini tidak ada batas akhirnya.

 

Ilmu hanya milik Allah jua, dan tidak ada siapa pun yang mengetahui hal gaib selain Allah

 

Sa’id al-Nursi 


335. Page

بِسْـــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 وَاَنْزَلْنَا الْحَديدَ فيهِ بَاْسٌ شَديدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ

Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (Qs. al-Hadid [57]: 25)

 

Inilah jawaban singkat untuk sebuah pertanyaan tentang ayat mulia ini, yang ditanyakan oleh orang penting, terkemuka, ahli di bidang ilmu-ilmu modern, yang pertanyaannya membuat sebagian syaikh tak berkutik.

 

Pertanyaan: Dikatakan bahwa besi keluar dari bumi, bukan diturunkan dari langit sehingga dikatakan “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا). Mengapa tidak dikatakan “telah Kami keluarkan” (اَخْرَجْنَا), sebagai ganti dari “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا) yang tidak selaras dengan kenyataan lahiriah?

 

Jawaban:

Pertama, al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat mengatakan “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا) agar dapat mengingatkan aspek nikmat agung dan penting terkait besi melalui kata اَنْزَلْنَا. Yang dimaksud bukanlah untuk menarik perhatian pada besi itu sendiri hingga dikatakan “telah Kami keluarkan” (اَخْرَجْنَا), tapi yang dimaksud adalah mengingatkan manusia pada nikmat agung yang terkandung dalam besi, dan sejauh mana kebutuhan manusia padanya. Adapun dari sisi nikmat, besi tidak berasal dari bawah lalu muncul ke atas, tapi datang dari simpanan rahmat, dan simpanan rahmat mestilah tinggi dan luhur serta berada di tingkatan tinggi secara maknawi. Karena itu, nikmat pasti turun dari atas ke bawah, dan tingkatan manusia yang memerlukan nikmat tersebut adanya di bawah. Karena itu, pemberian nikmat (in’am) tentu lebih luhur dari hajat kebutuhan, sehingga ungkapan yang tepat terkait datangnya nikmat dari simpanan rahmat sebagai bantuan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia dan untuk memahaminya, adalah kata-kata “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا), bukan “telah Kami keluarkan” (اَخْرَجْنَا).


Lalu alasan lain, pengeluaran bertahap (ikhraj tadriji) berlangsung di tangan manusia. Karena itulah kata “mengeluarkan” (ikhraj) tidak menimbulkan kesan aspek kebaikan dan pemberian nikmat bagi pandangan lalai.


Ya, jika yang dimaksud adalah materi besi, ungkapan yang tepat adalah “telah Kami keluarkan” (اَخْرَجْنَا) dilihat dari sisi tempatnya secara materi. Namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah nikmat besi. Dan nikmat sebagai makna yang dimaksud di sini bersifat maknawi. Makna ini tidak mengarah pada tempatnya secara materi, tapi tertuju pada tingkatan maknawi. Maka nikmat yang datang dari simpanan rahmat yang merupakan salah satu tajalli dari tingkat keluhuran al-Rahman dan ketinggian-Nya yang tak terbatas haruslah dikirim dari posisi teratas ke tingkat bawah. Sehingga, ungkapan yang tepat adalah “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا). Melalui ungkapan ini, al-Qur'an mengingatkan manusia bahwa besi merupakan nikmat ilahi yang paling besar.


336. Page

Ya. Tambang seluruh industri spesies manusia, sumber kemajuannya, dan penyebab kekuatannya adalah besi. Karena itu, Allah S.w.t berfirman melalui maqam anugerah dan pemberian nikmat dengan keagungan dan kebesaran-Nya yang sempurna untuk mengingatkan nikmat agung tersebut:


وَاَنْزَلْنَا الْحَديدَ فيهِ بَاْسٌ شَديدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ

“Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (Qs. al-Hadid [57]: 25)


Demikian pula, Dia mengabarkan tentang mukjizat Dawud a.s yang paling penting dan paling besar melalui firman-Nya:

وَاَلَنَّا لَهُ الْحَديدَ

“Dan Kami melunakkan besi untuknya.” (Qs. Saba` [34]: 10)


Yakni, Allah menerangkan bahwa pelunakan besi merupakan mukjizat agung dan nikmat agung sekali bagi seorang nabi agung.


Kedua: Bawah dan atas itu relatif. Bagian atas adalah bagian bawah bagi pusat bola bumi. Bahkan sesuatu yang paling bawah bagi kita menjadi sesuatu yang paling atas bagi benua Amerika. Artinya, materi yang berasal dari pusat inti menuju permukaan bumi berubah-ubah posisinya tergantung siapa yang berada di permukaan bumi. Al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat menuturkan dengan bahasa mukjizat bahwa besi memiliki banyak sekali manfaat dan faedah bagi makhluk yang ada di permukaan bumi, karena besi bukanlah materi biasa sembarangan yang dikeluarkan dari simpanan bola bumi yang merupakan rumah bagi manusia, bukan tambang fitri yang bisa digunakan untuk sembarang kebutuhan.


Bahkan, Sang Pencipta jagad raya berfirman dengan sifat-Nya yang agung perkasa, Rabb langit dan bumi: “telah Kami turunkan” (اَنْزَلْنَا) dari simpanan rahmat sebagai nikmat yang diperlihatkan di pabrik besar jagad raya, agar menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan penduduk bola bumi, dan mengungkap banyak sekali manfaat besi. Seolah-olah besi memiliki manfaat umum dan menyeluruh seperti rahmat, cahaya, dan panas yang datang dari langit. Karena itulah besi dikirim dari pabrik jagad raya. Besi tidak muncul dari simpanan bola bumi yang sempit ini, tapi dikirim dari simpanan rahmat agung yang ada di istana jagad raya, diletakkan di tempat penyimpanan bola bumi, dan dikeluarkan dari tempat penyimpanan ini sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan setiap zaman.


Al-Qur'an Agung tidak bermaksud mengungkap tentang makna penggunaan besi yang ada di tempat penyimpanan kecil ini, dan yang dikeluarkan darinya sepotong demi sepotong, tapi al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa Allah S.w.t menurunkan nikmat agung tersebut bersamaan dengan bola bumi dari simpanan besar. Yakni, sebagian besar apa yang diperlukan oleh rumah bola bumi adalah besi ini. Seakan-akan Sang Pencipta Maha Agung ketika memisahkan bola bumi dari matahari, lalu menurunkannya untuk manusia, saat itu Dia turut pula menurunkan besi, mengingat sebagian besar kebutuhan manusia diselesaikan dengannya.


Al-Qur'an mengumumkan melalui pengumuman penuh mukjizat, “Wahai manusia! Gunakanlah besi ini untuk segala pekerjaan dan capaian kalian, serta manfaatkan besi dengan mengeluarkannya!” Di dalam ayat ini, al-Qur'an menjelaskan dua nikmat yang merupakan sarana untuk menangkal serangan musuh dan mendatangkan berbagai manfaat. 


337. Page

Sebelum al-Qur'an turun, manfaat-manfaat penting manusia sudah terealisasi dengan besi. Namun al-Qur'an menampakkan kilauan mukjizat dari sisi pemberitaan gaib melalui kata-kata, “Yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,” untuk menjelaskan bahwa besi di masa depan bisa melayang di udara, berlayar di lautan, dan berjalan di daratan dalam wujud luar biasa dan mencengangkan akal, sehingga besi mampu menundukkan bola bumi dan menampakkan kekuatan dahsyat luas biasa yang bisa menyebabkan kematian.

Saat membahas tentang nuktah sebelumnya, pembicaraan melebar hingga membahas tentang burung Hudhud Nabi Sulaiman a.s, lalu salah seorang saudara kami[1] yang sering kali menyebutkan banyak sekali pertanyaan dan memaksanya, berkata:


Burung Hudhud menyebut Allah S.w.t sebagai:


يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ

Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi.” (Qs. al-Naml [27]: 25)


Apa sebab Hudhud menyebut sifat ini, yang merupakan sifat biasa-biasa saja jika dibandingkan dengan sifat-sifat ilahi di kedudukan yang maha agung?


Jawaban:

Salah satu keistimewaan kalam fasih adalah menimbulkan kesan banyaknya pekerjaan dan tugas yang dilakukan oleh sumber pembicaraan. Burung Hudhud Nabi Sulaiman a.s berperan sebagai pengawas kelompok hewan dan burung, laksana seorang ahli badui yang mampu mengetahui tempat-tempat air yang terpendam di padang pasir Jazirah Arab yang sangat minim air melalui firasat yang mirip karamah. Hudhud adalah burung yang diberkahi, yang dipercaya dengan tugas mencari air untuk Nabi Sulaiman a.s. Melalui ukuran kemahirannya yang kecil, Hudhud mengetahui dan memberitahukan bahwa Allah S.w.t mampu mengeluarkan hal-hal tersembunyi yang ada di langit dan bumi, dan Dia adalah Zat yang disembah dan disujud.


Ya. Indah sekali pandangan Hudhud! Karena jika mengacu pada fitrah tak terbatas yang dimiliki biji-bijian, benih tumbuhan, dan tambang logam yang ada di bawah tanah, tentu semua ini tidak bisa keluar dari bawah ke atas, karena materi-materi berat tidak bisa naik ke atas dengan sendirinya lantaran tidak memiliki ikhtiar dan nyawa. Bahkan sebaliknya, materi-materi tersebut bisa jatuh ke bawah dengan sendirinya. Materi berat yang terpendam di dalam bumi dan terbebani oleh beratnya tanah yang ada di atas, tentu tidak mungkin bisa keluar ke permukaan dengan sendirinya. Dengan demikian, materi-materi tersebut mesti dikeluarkan karena qudrat luar biasa. Dan Hudhud, dalam kapasitasnya sebagai pengawas cekatan, mengetahui dan bisa menemukan bukti-bukti sembahan (ma’budiyah) dan persujudan (masjudiyah) yang paling tersembunyi dan paling penting, sementara al-Qur'an mengungkapkan keistimewaan Hudhud ini dalam bentuk untaian kata mengandung mukjizat.

 

Sa’id Nursi

 


[1] Saudara kami ini namanya Ra’fat, yang rajin mengeluarkan pertanyaan- pertanyaan serta agak malas menulis dan mencatat Risalah al-Nur.




338. Page

بِسْــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 وَاَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْاَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ اَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ في بُطُونِ اُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ في ظُلُمَاتٍ ثَلٰثٍ

Dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.” (QS. al-Zumar [39]: 6)

 

Ayat ini memuat nuktah yang sama seperti yang telah kami jelaskan dalam ayat, “Dan telah Kami turunkan besi” (وَاَنْزَلْنَا الْحَديدَ), juga menegaskannya, dan di sama bersamaan ia ditegaskan dengannya.


Ya. Sesungguhnya al-Qur'an yang penuh mukjizat dalam surah al-Zumar tidak mengatakan, “Dia menciptakan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan,” tapi, “Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan.” Dengan begitu ia menjelaskan bahwa delapan pasang hewan yang diberkahi ini diturunkan untuk kalian dari simpanan rahmat ilahi sebagai nikmat. Seakan-akan ia dikirim kepada kalian dari surge. Sebab, hewan-hewan yang diberkahi ini dengan semua aspeknya merupakan nikmat bagi manusia seluruhnya, karena rambut dan bulu-bulunya bisa digunakan sebagai tempat tinggal yang bisa dipindah-pindah oleh kaum badui, bisa digunakan untuk merajut pakaian, daging dan susunya bisa dimasak sebagai makanan yang baik dan lezat, kulitnya bisa digunakan untuk membuat sepatu dan barang-barang lainnya, bahkan kotorannya pun menjadi rizki bagi tanaman, selain sebagai bahan bakar bagi manusia. Hewan-hewan yang diberkahi ini seakan-akan menjelma menjadi rahmat dan nikmat itu sendiri.


Itulah sebabnya mengapa hewan-hewan ini disebut al-an’am (yang berasal dari kata nikmat), seperti halnya hujan disebut rahmat. Seakan-akan rahmat menjelma menjadi hujan, dan nikmat seolah menjelma dalam berbagai macam bentuk; kambing, biri-biri, kerbau, sapi, dan unta. Meski bahan-bahan jasmani hewan-hewan ini diciptakan di bumi, namun sifat nikmat dan makna rahmat mengalahkan materinya secara keseluruhan. Sang Pencipta Yang Maha Penyayang Maha Agung menurunkan hewan-hewan yang diberkahi ini ke bumi dengan ungkapan اَنْزَلْنَا (Kami turunkan) dari tingkatan rahmat-Nya yang mulia dan surga maknawi-Nya yang tinggi sebagai hadiah dari simpanan rahmat secara langsung.


Ya. Sebagaimana suatu produk seharga lima dirham kadang dimasukkan dalam bahan senilai lima sen, maka yang menjadi perhatian bukanlah bahan barang tersebut, tapi yang dinilai adalah barang dari sisi kreasinya, seperti bahan lalat kecil dan produk ciptaan rabbani yang ada di balik bahan tersebut. Sebaliknya, kadang ada barang senilai lima sen berada di dalam bahan benda senilai lima dirham, sehingga hukumnya saat itu berlaku untuk bahan. Demikian pula halnya kadang ada makna nikmat dan rahmat di bahan yang berwujud, di mana maknanya seratus kali lebih besar dan lebih penting dari bahan yang di dalam wujud tersebut, sehingga seakan wujud tersebut tak terlihat, dan hukumnya kembali pada sisi nikmat.


 Sebagaimana halnya manfaat besi yang besar dan banyak serta buahnya yang begitu beragam menyembunyikan bahannya, demikian pula halnya nikmat yang terdapat di setiap bagian hewan-hewan yang diberkahi tersebut seolah-olah telah mengubah bahan jasmaninya menjadi nikmat. Karena itu, sifat-sifat maknawi bahan-bahan jasmani diambil sebagai inti pelajaran sebelum hukumnya diberlakukan sebagai inti pelajaran, sehingga al-Qur'an 

339. Page

mengungkapkannya dengan kata Kami turunkan (اَنْزَلْنَا) dan Dia turunkan (اَنْزَلْ).

Ya. Sebagaimana Kami turunkan (اَنْزَلْنَا) dan Dia turunkan (اَنْزَلْ) menjelaskan nuktah sebelumnya sebagai hakikat, keduanya juga menjelaskan makna penting dari sisi balaghah sebagai berikut:


Kata Dan Kami menurunkan besi (وَاَنْزَلْنَا الْحَديدَ) diungkapkan untuk menjelaskan bahwa besi bisa diperoleh setiap orang di mana pun dan dalam pekerjaan apa pun dengan mudah karena besi ada di mana-mana, meski besi secara tekstur keras, tersembunyi, dan berada di kedalaman bumi, di samping karakteristik khusus besi yang bisa dilunakkan seperti adonan. Kata tersebut juga diungkapkan untuk menjelaskan bahwa alat-alat dari besi bisa didapatkan dengan mudah dan gampang, seakan-akan diturunkan dari pabrik tinggi laksana nikmat samawi alami, lalu diserahkan ke tangan manusia.


Al-Qur'an Karim juga menjelaskan bahwa makhluk-makhluk besar seperti kerbau, sapi, dan unta, yang merupakan hewan-hewan penting, semuanya ditundukkan dan dipatuhkan sepenuhnya. Bahkan jika tali kekang unta diserahkan kepada anak kecil yang lemah, unta pasti taat padanya. Dengan demikian, ungkapan, “Dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan” (وَاَنْزَل لَكُمْ مِنَ الْاَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ اَزْوَاجٍ), menjelaskan bahwa hewan-hewan ini seakan bukan hewan-hewan dunia yang memiliki watak buas, suka menyerang dan berbahaya bagi manusia, mulai dari yang paling kecil seperti nyamuk hingga ular, kelajengking, serigala, dan singa. Tapi, hewan-hewan itu memiliki banyak manfaat dan tidak membahayakan, di samping mereka adalah hewan-hewan surga maknawi. Karena itu, al-Qur'an Karim menjelaskan bahwa “hewan-hewan tersebut diturunkan dari atas,” yakni dari simpanan rahmat. Mungkin perkataan sebagian ahli tafsir yang menyebut “hewan-hewan ini diturunkan dari surge” berangkat dari makna ini.[1]


Andai satu halaman penuh ditulis untuk menjelaskan berbagai karakteristik, keistimewaan dan hakikat setiap satu huruf darihuruf-huruf al-Qur'an Hakim, tentu tidak sepatutnya dibilang itu terlalu panjang lebar, karena al-Qur'an adalah kalam Allah S.w.t. Karena itu, tentu bukan suatu tindakan berlebihan jika beberapa halaman ditulis untuk menafsirkan ungkapan اَنْزَلْنَا, sebab kadang satu huruf dari huruf-huruf al-Qur'an Hakim merupakan kunci bagi simpanan maknawi.[2]

 

 

Sa’id Nursi


[1]  Perkataan sebagian ahli tafsir bahwa asal usul hewan-hewan ternak tersebut berasal dari langit, maksudnya keberlangsungan hewan-hewan yang disebut an’am (ternak) ini karena adanya rizki. Rizki hewan-hewan tersebut adalah rerumputan yang tumbuh karena hujan, hujan adalah air kehidupan dan rahmat. Rizki berasal dari langit. Dengan demikian ayat, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu,” (وَفِي السَّمَٓاءِ رِزْقُكُمْ) (Qs. al-Dzariyat [51]: 22) juga mengisyaratkan makna ini. Mengingat tubuh hewan-hewan ini bergantung pada hujan yang turun dari langit, maka ungkapan اَنْزَلْ yang menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut diturunkan dari langit, sangat tepat sekali. (Penulis)

[2] Masya’Allah, barakallah, semoga Allah selalu memberikan balasan baik padamu, wahai ustadz kami. Ungkapan-ungkapan ini membias di Risalah al-Nur yang merupakan cerminan al-Qur'an, sehingga Risalah al-Nur mendapatkan rahmat dan pertolongan khusus (Murid-murid Risalah al-Nur).




340. Page

Beberapa patah kata ditulis untuk para murid Risalah al-Nur di penjara Eskisyehir

 

Hiburan Hakiki

 

Saudara-saudara sekalian yang terhormat! Saya sedih sekali karena kalian. Derita ini amat menyakitkan bagi saya. Namun, saya mendapat ilham bahwa ini bagian dari takdir kita untuk makan makanan di penjara dan minum dari airnya bersama-sama. Saya melihat sebagai jejak rahmat ilahi dan tajalli bantuan Rabbani bahwa penjara ini merupakan tempat paling mudah untuk mendapatkan makanan dan minuman bersama-sama, sekaligus tempat terbaik dan paling banyak pahalanya. Saya juga melihat bahwa penjara adalah madrasah yang lebih banyak manfaatnya bagi para murid Risalah al-Nur, tempat iktikaf yang paling banyak limpahan karunianya, medan ujian dan cobaan amat sensitif yang mengajarkan sejauh mana pentingnya berlaku waspada dan hati-hati terhadap lawan, tempat belajar yang lebih banyak cahayanya untuk memetik manfaat dari keistimewaan-keistimewaan luhur dan tinggi sesama saudara karena masing-masing tentu memiliki keistimewaan tersendiri yang baik dan bagus, untuk mengambil faedah dan menerima pelajaran dari kelebihan-kelebihan mereka yang luhur dan karakter mereka yang terpuji, dari persaudaraan yang mereka peroleh dan mereka perkokoh, dan dari perbaruan ikatan-ikatan persaudaraan yang ada di antara mereka. Karena itulah, saya bersyukur kepada Allah S.w.t dengan segenap jiwa saya atas kondisi ini, bukannya mengeluh.


Ya. Syukur adalah jalan spiritual (maslak) kita, juga tatapan wajah rahmat dan arah nikmat dalam segala hal.

 

Saudara kalian yang menderita karena derita kalian semua

 

Sa’id Nursi

 

 

Dustur

 

Hendaknya murid-murid Risalah al-Nur tidak mencari dan mengejar cahaya di luar kawasan Risalah al-Nur –dan mereka betul-betul memang tidak mencari dan mengejarnya. Jika ada seorang dari mereka yang berusaha mencari dan mengejarnya, dia pasti tidak akan menemukan kecuali lampu biasa, bukannya matahari maknawi yang bersinar dan menerangi dari jendela Risalah al-Nur. Bahkan bisa jadi dia telah kehilangan matahari.


Lalu, apa yang ada dalam kawasan Risalah al-Nur berupa “faham persahabatan (khullah) dan persaudaraan (ukhuwwah)” tulus yang kuat, yang seringkali memberikan banyak spirit bagi setiap pribadi muridnya, dan yang menampakkan faham persaudaraan para sahabat r.a yang diraih berdasarkan rahasia warisan nubuwah, itu tidak lagi memerlukan seorang ayah atau mursyid di kawasan-kawasan eksternal, malah justru akan membahayakan mereka dari tiga sisi. Juga, (mereka) tidak lagi perlu mencari ayah, tapi justru memperoleh banyak saudara tua, bukannya seorang ayah. Maka tak syak lagi bahwa kasih sayang dan cinta yang begitu banyak dari para saudara tua tentu akan membuat kasih sayang dari seorang ayah tidak lagi ada artinya.


341. Page

Siapa pun yang memiliki seorang syaikh sebelum memasuki kawasan (Risalah al-Nur) ini, dimungkinkan baginya untuk tetap menjaga hubungan dengan syaikh atau mursyidnya dalam kawasan ini, bahkan hingga setelah memasukinya. Namun bagi mereka yang sebelumnya tidak memiliki syaikh, ia tidak mungkin mencari seorang mursyid setelah memasuki kawasan Risalah al-Nur kecuali dalam lingkup kawasannya.


Selanjutnya, apa yang ada dalam kawasan pelajaran Risalah al-Nur berupa ilmu hakikat, yang merupakan kewalian terbesar dan yang mengalirkan limpahan rahasia warisan nubuwah pada seseorang, itu tidak lagi memerlukan tarekat-tarekat yang di luar kawasannya, kecuali bagi dia yang memahami tarekat secara keliru. Yakni, kecuali dia yang kagum pada diri sendiri, yang termasuk di antara mereka yang terpedaya oleh mimpi-mimpi, angan-angan indah, cahaya-cahaya, dan rasa spiritual (dzauq), juga yang termasuk dari mereka yang menginginkan kenikmatan dunia yang memanjakan hawa nafsu untuk menjauhi keutamaan ukhrawi, serta yang termasuk dari mereka yang mencari maqam marja’iyyah.


Dunia ini adalah negeri khidmat (pengabdian), bukan negeri pemberian balasan (mukafaah). Ganjaran akan diberikan sesuai kadar kesulitan dan beban yang ditanggung. Karena itu, para ahli hakikat tidak membela dzauq dan cahaya yang ada di kasyaf dan karamah sebagai perhatian utama, bahkan kadang mereka menjauhi hal itu dan mereka ingin menutupinya.


Lalu, sesungguhnya kawasan Risalah al-Nur luas sekali, dan murid-muridnya juga banyak sekali. Mereka tidak berlari mengikuti orang-orang yang berlari keluar (dari kawasan Risalah al-Nur). Mereka juga tidak menyibukkan diri memikirkan hal itu. Bahkan, mereka tidak mengajak mereka (yang sudah keluar) untuk masuk kembali ke barisan mereka. Sebab, setiap orang (hanya) memiliki satu kalbu, dan tidak mungkin bagi satu kalbu berada di dalam kawasan (Risalah al-Nur) tersebut namun pada saat bersamaan berada di luarnya.


Lalu, mereka yang ingin menuntun orang-orang yang berada di luar kawasan al-Nur hendaknya jangan disibukkan dengan para murid Risalah al-Nur. Sebab, mereka justru bisa membahayakan diri sendiri melalui tiga sisi. Sesungguhnya murid-murid yang berada di dalam wilayah takwa tidak lagi memerlukan tuntunan (irsyad). Di sana di luar masih banyak orang yang meninggalkan shalat. Membiarkan mereka (yang meninggalkan shalat) dan sibuk dengan murid-murid (Risalah al-Nur) bukanlah irsyad. Jika dia memang menyukai murid-murid tersebut, silahkan dia terlebih dahulu memasuki kawasan (al-Nur) ini, lalu menjadi saudara bagi mereka, bukannya ayah. Dan jika ia memiliki kelebihan-kelebihan, silahkan dia menjadi saudara tua bagi mereka.


Sudah jelas dalam kasus ini bahwa intisab kepada Risalah al-Nur memiliki urgensi besar, dan bahwa itu harus dibayar dengan harga sangat mahal. Maka, orang berakal pemberi irsyad, yang membayar harga mahal ini dan menyandang sifat seorang mujahid melawan kekafiran dan atheisme atas nama ulama islami, tentu dia tidak akan begitu saja meninggalkan maslaknya yang amat berharga laksana emas lalu memasuki maslak-maslak yang lain.

 

 

Sa’id Nursi 


342. Page

بِاسْمِه سُبْحَانَهُ

Dengan Nama-Nya, Maha Suci Dia

 

Saudara-saudaraku!

Berkali-kali saya memberikan pembelaan yang sepatutnya untuk para murid Risalah al-Nur, dan insya Allah saya akan berteriak lantang di hadapan Mahkamah. Akan saya perdengarkan kepada dunia nilai Risalah al-Nur dan para muridnya. Namun perlu saya ingatkan, ada satu syarat yang harus dipenuhi untuk menjaga nilai pembelaan saya ini, yaitu tidak perlu kecewa terhadap Risalah al-Nur disebabkan peristiwa pahit yang timbul dari kasus ini. Juga, jangan sampai ada seorang saudara merasa kecewa terhadap gurunya. Jangan sampai membenci salah seorang saudara pun karena berbagai sebab yang muncul akibat kesempitan dan kesulitan ini. Jangan sampai mencari-cari aib dan kekurangan saudara lain. Dan jangan menyandarkan berbagai kesalahan dan kekurangan pada mereka.


Ingatlah hakikat ini saja: Musibah-musibah yang mendera seseorang memiliki dua wajah dan hukum, seperti telah kami tegaskan dalam Risalah Takdir. Salah satunya menatap ke arah manusia, dan yang lain kembali kepada takdir ilahi. Di satu kejadian kadang dia memperlakukan seseorang secara tidak adil. Namun takdir yang berada di belakangnya adil dan berlaku adil di dalamnya. Terkait masalah kita ini, kita perlu memikirkan keadilan takdir dan rahasia hikmah ilahi, lebih banyak dari pemikiran kita tentang kezaliman manusia.


Ya. Takdir telah memanggil para murid Risalah al-Nur ke majelis ini, dan hikmah menggiring mereka untuk membuka mujahadah maknawi menuju Madrasah Yusuf (penjara) yang terasa benar-benar berat dan sulit, sehingga kezaliman manusia menjadi wasilah dan perantara untuk mujahadah tersebut.


Untuk itu, jangan sampai di antara kalian saling mengatakan satu sama lain, “Andai kau tidak melakukan ini dan itu, tentu kau tidak dipenjara!”

 

 

Sa’id Nursi

 

 

Tulisan ini adalah bagian dari pledoi kami di hadapan Mahkamah

 

Ini tercantum di sini tanpa sengaja atau rencana, dan tidak dikeluarkan, tapi tetap dibiarkan seperti sediakala

 

Saya menuntut ketua Mahkamah dan para anggotanya atas hak saya yang penting, yaitu:


 Saya bukanlah satu-satunya orang yang menjadi pusat pemeriksaan dalam kasus ini hingga diharapkan kalian bisa membebaskan saya dari segala tuduhan dan kalian bisa mencermati persoalan ini dengan sebenarnya. Sebab, dalam pandangan rakyat, yang menjadi tersangka terkait persoalan ini adalah sosok maknawi ahlul ilmi dan ahli takwa. Sementara pemerintah tidak lagi percaya kepada ahlul ilmi dan ahli takwa. Maka para ahlul ilmi dan ahli takwa harus mengetahui bagaimana menjauhi tindakan-tindakan fatal yang membahayakan diri mereka sendiri. Untuk itu, saya ingin menyebarkan bagian akhir pledoi ini, yang saya tulis 

343. Page

sendiri, melalui cetakan dengan huruf-huruf baru (latin), agar ahlul ilmi dan ahli takwa tidak jatuh dalam konspirasi. Agar mereka tidak mendekati tindakan-tindakan berbahaya sehingga pribadi maknawi mereka terselamatkan, agar nama mereka bersih di hadapan rakyat, pemerintah percaya kepada ahlul ilmi, dan tidak lagi berburuk sangka pada mereka, agar kejadian-kejadian dan salah paham semacam ini yang amat membahayakan pemerintah, negara, dan juga rakyat tidak lagi terulang.

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

Saudara-saudara sekalian yang terhormat!

Kali ini –dengan syarat tidak membuat kecewa– saya akan menjelaskan dua masalah kecil dengan kritikan, bukan dengan penghormatan dan rasa kagum:

 

Masalah pertama: Saya sering kali menghadiri berbagai kasus dan tuduhan di sejumlah Mahkamah untuk memberikan pembelaan terhadap kalian dan Risalah al-Nur. Kalian adalah saksi-saksi saya di barisan depan dalam kasus-kasus dan tuduhan-tuduhan itu. Hanya saja, lantaran kalian mengingkari, kalian meninggalkan saya seorang diri tanpa saksi. Kalian justru memperkuat tuduhan yang diarahkan kepada saya, karena pengingkaran dan sikap lepas tangan kalian seakan mengesankan: karena mereka tidak membela dan mendukungnya, berarti pasti ada sesuatu. Untuk itu, siapa pun di antara kalian yang tidak punya anak dan keluarga, sepatutnya membela saya sepenuh kejantanan agar tidak membiarkan saya seorang diri layaknya usaha yang saya lakukan dalam membebaskan segala tuduhan dari kalian. Namun semuanya sudah terlambat, dan saya tidak perlu dibela sekali lagi.

 

Masalah kedua: Ada di antara saudara-saudara kita yang tidak puas dengan limpahan dalam kawasan Risalah al-Nur yang menjelaskan sifat luhur dan akhlak mulia para sahabat Nabi r.a. Mereka tidak puas terhadap manhaj Nabi S.a.w yang bercahaya terang, hingga mereka berkeinginan untuk berada di wilayah lainnya karena dorongan rasa senang terhadap tarekat-tarekat sufi yang sama sekali tidak membawa faedah dan manfaat, tanpa mendapat restu dari sosok maknawi guru dan saudara-saudara mereka, serta tanpa meminta izin dari mereka. Situasi seperti ini tentu membahayakan kita, membahayakan Risalah al-Nur, membahayakan saudara-saudara sekalian yang dipenjara, membahayakan teman-teman kita yang belum pernah memasuki wilayah Risalah al-Nur, di samping berkali-kali mengalihkan perhatian para mata-mata ke arah kita dengan jeli.


 Adapun saya, di hadapan Mahkamah, sudah saya umumkan secara terus terang bahwa saya tidak ingin meminta ganti seratus orang dari penduduk negeri ini dengan seorang pun di antara kalian. Saya juga mengumumkan kepada siapa pun yang mengunjungi saya bahwa bagi saya, satu orang murid Risalah al-Nur yang paling kecil sekali pun lebih penting dan lebih agung dari seorang wali di luar kawasan Risalah al-Nur. Dan saya lebih menyukai murid-murid yang masih muda dan tulus, seperti Ali dan Luthfi dari Kuleonu ketimbang seorang wali besar di luar (kawasan Risalah al-Nur). Meski kalian telah mengetahui sikap saya ini melalui banyak sekali tanda, lalu mengapa kalian mau mendampingi orang malang yang maqamnya tidak jelas itu di luar hanya karena keinginan tanpa guna, justru malah membahayakan, dengan 

344. Page

membesar-besarkan kesyaikhannya tanpa memikirkan maqam tinggi dan dikenal milik sosok maknawi saudara-saudara kalian dan guru kalian yang telah berbuat baik kepada kalian ini?! Ini tentu tidak tepat, dan tidak patut.


Kritikan ini tidak ditujukan pada kalian semua, tidak juga sebagian besar kalian. Semoga Allah memuliakan kalian. Juga tidak ditujukan pada kekurangan-kekurangan yang ada pada sebagian dari kalian. Tapi hanya ditujukan pada keinginan berlebihan pada sebagian dari kalian untuk mengikuti tarekat sufi karena hati mereka yang amat bersih dan jernih.


Lalu, titik paling lemah para pejabat resmi di provinsi Isparta adalah mereka sangat sensitif terhadap tarekat-tarekat sufi. Karena itu, saya menduga bahwa keinginan kuat tanpa makna inilah yang membuat kalian menilai tarekat sufi sebagai alasan kuat untuk melayangkan segala tuduhan kepada kami. Dan saya yakin, faktor penyebab paling kuat bagi taufik kita dalam persoalan ini adalah keinginan (mengikuti tarekat sufi) oleh sebagian kalangan lugu, dan menjadikan hubungan mereka dengan saya memiliki corak tarekat sufi. Saya harap kalian tidak kecewa dengan kritikan ini.

 

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

Saudara-saudara sekalian!

Andai semua orang menarik diri dari membela dan menjaga Risalah al-Nur, bahkan andai saya juga menarik diri, maka wajib bagi saudara kita yang lima tidak menarik diri. Mereka inilah teman-teman pembangun: Husain, Khalil Ibrahim, Ra’fat Bey, Husrau, dan Haqqi Afandi. Andai Risalah al-Nur tidak membuahkan kenikmatan agung seperti ketenaran dan penyebarannya yang penting dilihat dari apa yang diinginkan, lantaran bahaya besar yang dibidikkan kepada Risalah al-Nur akibat tindakan tiga nama pertama (Husain, Khalil Ibrahim, Ra’fat Bey) atas tindakan tanpa kewaspadaan yang mereka lakukan tanpa sengaja, juga akibat kedengkian pribadi dari para musuh kedua nama berikutnya (Hasrau dan Haqqi Afandi), tentu ruh-ruh saudara-saudara tersebut akan sangat sedih sekali karena beban berat yang ditimpakan para musuh, lantaran derita dan kesulitan sebagian murid Risalah al-Nur yang teraniaya. Karena itu, bagi lima saudara yang namanya tersebut di atas harus lebih berhati-hati terhadap siapa pun, dan mereka semua harus seperti satu tubuh.

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

Saudara-saudaraku!

Terbersit dalam benak saya: Sebagaimana kitab mulia al-Matsnawi al-Rumi menjadi cermin satu di antara tujuh hakikat yang muncul dari cahaya matahari al-Qur'an, dan meraih kemuliaan suci hingga menjadi pembimbing yang tak pernah mati bagi sebagian besar ahli kalbu, lebih-lebih kalangan maulawi, demikian pula halnya Risalah al-Nur yang mencerminkan tujuh warna yang ada di cahaya matahari al-Qur'an, sekaligus tujuh cahaya beraneka ragam di matahari tersebut pada cerminnya, sehingga insya Allah Risalah al-Nur akan menjadi mulia 

345. Page

dan suci melalui tujuh arah, menjadi penuntun kekal abadi, dan pembimbing yang tak pernah mati bagi ahli hakikat dengan tujuh kali lipat dari al-Matsnawi al-Rumi.

 

Sa’id Nursi

 

* * *

Saudara-saudaraku!

Perhatikan penjagaan dan perlindungan Sang Penjaga Maha Agung terkait persoalan kita. Tidak adanya satu pun bukti terkait keterlibatan seorang pun di antara murid Risalah al-Nur dengan berbagai konspirasi asing, rencana-rencana jahat organisasi-organisasi antipemerintah, atau hubungan murid-murid Risalah al-Nur dengan organisasi mana pun yang jumlahnya banyak sekali, padahal hamper seratus dua puluh sudah meminta jawaban dengan membawa kertas-kertas khusus yang sesuai dengan jumlah Risalah al-Nur, itu sungguh merupakan perlindungan Rabbani, penjagaan ilahi, dan bantuan rahmani yang amat jelas dan kentara, seakan menangkap granat besar lalu melemparkannya kembali dengan tangan-tangan terangkat –ke hadirat ilahi- yang dilakukan empat puluh dua saudara kita yang tidak salah dan teraniaya. Doa-doa itu seakan secara maknawi mengembalikan granat ke kepala mereka yang melemparkannya, yang sama sekali tidak membahayakan kita selain hanya luka-luka kecil yang tidak seberapa.


Bisa selamat dengan hanya luka ringan dari serangan granat yang sudah dipersiapkan sejak setahun lamanya seperti ini, tentu merupakan hal luar biasa. Nikmat sebesar ini harus dibalas dengan rasa syukur, senang dan gembira. Dengan demikian, tidak mungkin lagi kehidupan kita setelah ini hanya untuk kita saja, karena rencana-rencana buruk para pembuat onar pasti akan dilancarkan kepada kita. Untuk itu, kita harus mewakafkan hidup kita setelah sekarang ini demi kebenaran dan hakikat, bukan untuk diri kita sendiri. Ketimbang mengeluh, kita harus berusaha untuk melihat jejak rahmat, serta wajah dan hakekatnya dalam segala sesuatu. Inilah cara yang akan selalu mendorong kita untuk bersyukur.

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

Saya berharap, saudara-saudaraku tidak saling memutuskan hubungan satu sama lain hanya karena pernyataan-pernyataan buruk yang muncul dari sebagian kawan disebabkan beban berat, kesulitan, dan kesempitan jiwa, atau karena rasa sensitif mereka, atau terkecoh oleh penyusupan-penyusupan jiwa dan setan, atau pun karena faktor lemahnya kesadaran yang sempurna. Jangan sampai kalian mengatakan, “Persoalan ini menodai harga diri dan kehormatan saya,” karena sayalah yang menanggung beban kata-kata dan pernyataan buruk seperti itu. Jangan sampai kalian kecewa dan dengki. Andai saya memiliki seribu kehormatan, tentu akan saya korbankan semuanya demi menjaga cinta dan keikhlasan di antara saudara-saudaraku sekalian.

 

Sa’id Nursi

 

* * *


346. Page

Saudara-saudaraku!

Sejak dua atau tiga hari ini, saya sampai pada keyakinan bahwa tamparan yang menimpa kita – sangat disayangkan[1] – adalah tamparan sayang, hingga saya memahami bahwa satu di antara sekian banyak isyarat satu ayat terkait para ahli maksiat seakan mengarah kepada kita. Ayat yang dimaksud adalah:


فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِه ... اَخَذْنَاهُمْ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. Al-An’am: 44)


Yakni, ketika mereka melupakan nasehat, petuah, dan peringatan yang telah Kami sampaikan kepada mereka dan tidak juga mereka kerjakan, Kami siksa mereka dengan berbagai musibah.


Pada akhirnya, sebuah risalah tentang rahasia keikhlasan didektekan kepada saya. Risalah ini benar-benar merupakan sebuah dustur luhur dan terang tentang persaudaraan (ukhuwwah), sebuah dustur suci yang membuat sepuluh orang mampu menghadapi berbagai peristiwa dan musibah yang tak mungkin dihadapi keculi oleh kelompok berkekuatan puluhan ribu orang berkat rahasia keikhlasan. Namun sayangnya, kita –khususnya saya– tidak bisa melaksanakan peringatan maknawi itu, hingga akhirnya kita dipenjara –sesuai makna isyarat ayat ini– dan tamparan-tamparan sayang pun menimpa sebagian di antara kita, meski tidak menimpa yang lain. Mereka terseret dalam musibah ini agar menjadi sarana hiburan bagi saudara-saudara yang mendapatkan tamparan, dan agar penjara menjadi pusat pahala dan perolehan manfaat.


Karena sejak tiga bulan lalu saya dilarang untuk bertemu siapa pun, saya tidak bisa mengetahui kondisi internal saudara-saudara saya. Hanya saja sejak tiga hari belakangan ini, sekali lagi saya memperhatikannya kembali, dan merasakan adanya tindakan yang menafikan rahasia keikhlasan di antara mereka yang saya kira sebagai saudara-saudara paling tulus. Akhirnya saya mengerti dan memahami makna isyarat ayat:


فَلَمَّانَسُوامَاذُكِّرُوا بِه ...اَخَذْنَاهُمْ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. al-An’am: 44)

Ayat ini dari jauh tertuju kepada kita. Meski ayat ini turun berkenaan dengan para pengikut kesesatan sebagai siksaan bagi mereka, namun itu bagi kita menjadi tamparan sayang untuk mendidik jiwa, menghapus segala dosa, dan meningkatkan derajat.


Bukti bahwa kita menerima tamparan sayang karena kita tidak benar-benar menghargai nikmat ilahi yang amat bernilai dan berharga yang ada di tangan kita adalah: kita belum puas dengan amal-amal dan khidmat suci al-Qur'an melalui perantara Risalah al-Nur yang memuat

[1] Perasaan sayang di sini kembali pada musibah itu sendiri, bukannya sebagai tamparan kasih sayang.




347. Page

mujahadah maknawi paling suci, yang meraih luapan kewalian besar melalui rahasia warisan nubuwah, serta yang meraih rahasia manhaj para sahabat Nabi dan maslak mereka. Keinginan kita yang keras untuk menganut tarekat-tarekat sufi adalah keinginan yang manfaatnya kecil sekali untuk kita pada saat ini.[1] Hanya saja keinginan ini akhirnya hilang dan terhenti setelah peringatan keras berkali-kali saya sampaikan. Tidak menutup kemungkinan keinginan tersebut menimbulkan bahaya besar bagi kita yang dalam kondisi seperti ini, sehingga bisa merusak dan menghancurkan persatuan kita, membuyarkan fikiran yang membuat nilai 1111 (seribu seratus sebelas) hanya menjadi empat (1+1+1+1), di samping menyebabkan tercerai-berainya hati yang dapat melenyapkan kekuatan kita dalam menghadapi kejadian berat dan sangat sulit ini.


Syaikh Sa’di al-Syairazi dalam bukunya, Gulistan,[2] menyebutkan:

Saya melihat salah seorang ahli kalbu (sufi) sedang sibuk mengamalkan ritual sayr dan suluk di salah satu zawiyah (sudut ruangan). Kemudian beberapa hari berikutnya, saya melihatnya berada di tengah-tengah murid madrasah, lalu saya bertanya padanya, “Mengapa kau meninggalkan zawiyah itu yang mendenyutkan banyak sekali luapan rahmat, lalu kau datang ke madrasah ini?”


Dia menjawab, “Di sana, masing-masing orang hanya berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, itu pun jika mereka mendapat taufiq untuk itu. Sementara di sini, mereka sosok-sosok yang memiliki idealisme tinggi berusaha menyelamatkan banyak orang selain menyelamatkan diri mereka sendiri. Maka kehormatan, idealisme tinggi dan keutamaan akhlak adalah milik mereka ini. Itulah alasan mengapa saya datang ke sini.”


Jika masalah-masalah kecil ilmu nahwu dan sharaf yang dipelajari para murid, seperti perubahan kata نَصَرَ، نَصَرُوا، نَصَرَتْ lebih utama dari wirid-wirid sufi di zawiyah, lantas bagaimana kiranya dengan Risalah al-Nur yang mengajarkan hakikat-hakikat iman suci yang ada dalam, “Aku beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya, dan hari akhir(اٰمَنْتُ بِاللّٰهِ وَمَلٰئِكَتِه وَكُتُبِه وَرُسُلِه وَبِالْيَوْمِ اْلاٰخِرِ), secara jelas dan dogmatis, selain membuat orang zindiq yang paling membangkang, dan filosof yang paling bandel, diam tak berkutik.


Maka, meninggalkan Risalah al-Nur, atau menangguhkannya, atau tidak puas dengannya, lalu memasuki zawiyah-zawiyah tarekat yang tertutup[3] karena dorongan keinginan mengamalkan tarekat sufi tanpa terlebih dulu meminta izin kepada Risalah al-Nur, adalah sebuah kesalahan yang menunjukkan sejauh mana kita berhak mendapatkan tamparan sayang dan cinta.

 

Sa’id Nursi


[1] Maksudnya dalam penjara.

[2] Sa’di al-Syairazi adalah seorang penyair besar dari Persia, lahir tahun 580 H. di Syairaz, hidup lebih dari 100 tahun, wafat tahun 691, tinggal di Baghdad, terpengaruh oleh syaikh sufi Syihabuddin al-Suhrawardi. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Arij al-Bustan, diterbitkan di Kairo, Mesir.

[3] Tempat-tempat yang secara resmi ditutup oleh pemerintah saat itu.




348. Page

Perhatian!

 

Dua Kisah Singkat

 

Pertama: Saat saya ditawan lima belas tahun dari sekarang di utara Rusia di halaman sebuah pabrik besar bersama sembilan puluh orang tentara kita yang tertangkap, sering kali terjadi cekcok dan keributan karena situasi sulit, marah, dan gangguan spiritual. Saya menenangkan mereka karena sebenarnya mereka sangat menaruh hormat dan menghargai saya. Saya menunjuk sebagian tentara untuk menjaga ketenangan, lalu saya katakan pada mereka, “Kalau kalian mendengar suara gaduh dan rebut-ribut di sudut mana pun, segera hampiri, dan tolonglah pihak yang tidak benar.” Cara ini ampuh untuk menghentikan kegaduhan. Saya kemudian ditanya, “Mengapa Anda mengatakan, ‘Tolonglah pihak yang tidak benar?’” Saat itu saya jawab:


“Pihak yang tidak benar adalah pihak yang tidak adil. Ia tidak mau mengesampingkan satu dirham untuk kepentingannya pribadi demi empat puluh dirham demi kepentingan semua. Sementara pihak yang benar memiliki ciri adil. Dia rela mengorbankan satu dirham haknya demi empat puluh dirham kepentingan saudaranya untuk menjaga ketenangan bersama. Dia rela mengabaikan hak pribadinya itu, sehingga kegaduhan dan kekisruhan berhenti, kembali tenang, dan sembilan puluh tawanan di ruangan ini merasa lega. Jika pertolongan diberikan ke pihak yang benar, itu justru akan semakin membuat kacau dan gaduh. Maka dalam kehidupan sosial seperti ini, kemaslahatan umumlah yang harus diperhatikan.”


Saudara-saudaraku! Dalam kehidupan sosial kita ini, jangan sampai ada yang berkata, ‘Saudara saya ini menzalimi saya, dan tidak berlaku adil pada saya, sehingga saya marah dan memutuskan hubungan dengannya.’ Ini kesalahan besar dalam bersikap, karena saat kau merugikan satu dirham pada saudaramu itu, kau justru merugikan kami empat puluh dirham karena engkau pergi dan memutuskan hubungan, bahkan tidak menutup kemungkinan sikap ini bisa merugikan empatpuluh lira bagi Risalah al-Nur.”


Namun, alhamdulillah, pembelaan-pembelaan kami yang benar dan sangat kuat membuat semua kawan sesama tawanan tidak diinterogasi lagi, sehingga kerusakan bisa dihentikan. Tanpa usaha ini, tentu para saudara yang memutuskan hubungan dengan kita, juga tentu permasalahan kita dan dakwah kita, akan tertimpa bahaya besar hanya karena kedengkian dan kecongkakan kecil, seperti adanya benda sekecil sayap lalat yang masuk ke mata, atau adanya kobaran api kecil yang jatuh mengenai senjata.

 

Kisah kedua: Seorang wanita tua memiliki delapan anak lelaki. Dia biasa memberi mereka masing-masing sepotong roti yang berjumlah delapan roti, sehingga tak tersisa satu pun untuknya. Kemudian setiap anak mengembalikan setengah potong dari roti tadi kepada sang ibu. Jadi, si ibu memiliki empat potong roti sementara anak-anaknya hanya mendapat setengah.


 Saudara-saudaraku sekalian! Saya juga merasakan dan mencicipi separuh derita maknawi dari bagian musibah kalian masing-masing yang berjumlah empat puluh orang, dan saya tidak memperdulikan derita pribadi saya. Suatu ketika saya merasa sedih karena derita yang amat berat, lalu saya bilang, “Apakah gerangan hukuman ini diberikan karena kesalahan saya, sampai saya merasa menderita karenanya.” Saya kemudian merenungkan kondisi 

349. Page

sebelumnya, lalu saya melihat bahwa saya tidak pernah melakukan sesuatu pun yang menyulut datangnya tambahan musibah semacam ini. Bahkan saya menerapkan perencanaan sebisa mungkin untuk menghindari musibah ini. Dengan demikian, musibah ini sudah merupakan takdir ilahi yang menimpa kami. Rencana ini sudah dirancang setahun sebelumnya terhadap kami oleh pihak-pihak pembuat onar, yang tidak mungkin dihindari. Mereka pasti menghalangi kita dalam persoalan ini, meski apa pun yang terjadi. Ratusan ribu puji dan syukur untuk Allah karena Dia telah meringankan seratus musibah menjadi satu musibah.


Berdasarkan hakikat ini, janganlah kalian membebankan musibah ini pada saya dengan mengatakan, “Kami mengalami dan didera musibah ini karenamu.” Jangan bilang demikian, tapi maafkanlah saya, dan doakanlah saya.


Jangan kalian saling mengkritik satu sama lain, jangan pula mengatakan, “Andai kau tidak melakukan ini dan itu, tentu tidak terjadi seperti ini.” Sebagai contoh, salah seorang saudara kita mengaku di hadapan sebagian pemegang kuasa, hingga akhirnya ia bisa mempersempit langkah para pembuat onar yang sudah merancang rencana tersebut agar membuat banyak orang jatuh dalam musibah dan bala. Atas sikap yang dipilih itu, ia berhasil menyelamatkan banyak orang. Tindakan seperti ini tidak berbahaya, justru memberikan banyak manfaat, karena menjadi wasilah bagi banyak sekali orang tak bersalah terhindar dari musibah.

 

Sa’id Nursi

 

 

Bagian ini sangat bernilai dan bermanfaat untuk semuanya

Khususnya bagian awal hingga nuktah kedua

 

Nuktah khusus tentang akhlak terkait kondisi-kondisi tidak baik yang muncul di penjara Eskisyehir karena kesulitan dan tekanan, bukan karena akhlak buruk. Dan pembahasan ini berkisar tentang suatu nuktah dari satu ayat al-Qur’an yang terkenal namun masih tetap tersembunyi.

 

Nuktah Pertama

Allah S.w.t – sebagai bagian dari kemuliaan, rahmat, dan keadilan-Nya yang sempurna – telah memasukkan balasan yang disegerakan di dalam perbuatan baik dan kebaikan, memasukkan hukuman yang disegerakan di dalam perbuatan buruk, memasukkan kenikmatan dan kelezatan maknawi di dalam kebaikan-kebaikan yang mengingatkan pada pahala akhirat, dan juga memasukkan hukuman maknawi di dalam keburukan-keburukan yang dapat memberi rasa (betapa berat) siksaan akhirat.


Contoh: Cinta di antara sesama kaum mukminin adalah kebaikan yang bagus dan indah bagi ahli iman. Di dalam kebaikan ini telah dimasukkan kelezatan dan kenikmatan maknawi serta rasa senang di hati yang mengingatkan pahala materiil di akhirat. Siapa pun yang merujuk pada kalbunya, pasti akan merasakan kenikmatan ini.


Contoh: Permusuhan dan pertikaian di antara sesama kaum mukminin adalah keburukan. Tindakan ini membuat orang-orang terhormat yang memiliki jiwa luhur merasakan siksaan nurani, mencekik kalbu, dan jiwa dengan kesulitan dan kesempitan.


350. Page

Saya sudah merasakan banyak sekali pengalaman, mungkin lebih dari seratus kali. Saat saya menyembunyikan permusuhan pada seorang saudara sesama mukmin, saya justru merasa tersiksa olehnya sedemikian rupa, sehingga saya tidak merasa ragu sedikit pun bahwa siksaan batin ini adalah hukuman yang disegerakan atas keburukan yang saya lakukan.

Contoh: Penghormatan dan penghargaan diberikan kepada orang-orang yang berhak, sementara rahmat, kasih sayang dan pengabdian diberikan kepada orang yang patut mendapatkan kebaikan dan kebajikan. Di dalam kebaikan ini terdapat kenikmatan besar dan daya rasa (dzauq) agung yang mengisyaratkan adanya pahala akhirat sampai-sampai penghormatan dan penghargaan itu mendorong pelakunya rela mengorbankan hidupnya.


Perasaan yang diperoleh ibu dan pemberian cintanya pada sang anak melalui rahmat dan kasih sayangnya telah mendorongnya untuk rela mengorbankan hidupnya demi kasih sayang itu. Induk ayam yang rela menyerang singa demi menyelamatkan anak-anaknya adalah salah satu contoh hakikat kasih sayang ini dari bangsa hewan. Dengan demikian, di dalam kasih sayang, penghormatan, dan penghargaan terdapat balasan yang disegerakan, balasan yang bisa dirasakan oleh orang-orang mulia yang memiliki idealisme tinggi dan jiwa luhur, sehingga mereka memperlihatkan aksi-aksi heroik.


Contoh: Di dalam sifat tamak dan berlebihan terdapat hukuman, karena hukuman maknawi dan kalbu yang meresahkan membuat seseorang dirundung perasaan hina dan rendah. Di dalam sifat hasad dan cemburu juga terdapat hukuman yang disegerakan, karena hasad akan membakar orang yang bersangkutan.


Di dalam tawakal dan qanaah juga terdapat balasan, karena pahala saat ini yang nikmat itu menghilangkan derita kemiskinan serta bala kebutuhan dan dan kefakiran.


Contoh: Di dalam sifat terpedaya dan sombong terdapat beban berat, karena orang yang terpedaya selalu menanti dan menuntut penghormatan dari semua orang. Penantian dan tuntutan inilah yang membuatnya merasa memikul beban berat, sehingga ia selalu tersiksa.


Ya, penghormatan dan penghargaan itu diberikan, bukan dicari.

Contoh: Di dalam sikap rendah hati dan meninggalkan sikap egois terdapat balasan yang nikmat, karena bisa menyelamatkan orang dari beban berat, menghindarkan orang dari berusaha membuat dirinya disukai orang lain, yang tentu saja membuat banyak orang keberatan.


Contoh: Di dalam sikap buruk sangka dan penafsiran tidak baik terdapat hukuman yang disegerakan di dunia ini. Orang yang berburuk sangat pasti disangka buruk pula oleh orang lain sesuai kaidah: Siapa yang memukul, dia dipukul (مَنْ دَقَّ دُقَّ). Orang yang mengartikan tindakan saudara-saudara mereka sesama mukmin secara tidak baik, tindakannya pun akan diartikan secara tidak baik oleh orang lain dalam waktu tak lama, dan mereka pasti menanggung siksanya.


Demikianlah, setiap akhlak baik dan buruk harus ditakar dan diukur sesuai standar dan neraca di atas.


Seraya berharap rahmat Allah S.w.t, saya berdoa semoga perasaan-perasaan maknawi ini bisa dirasakan oleh mereka yang merasakan kemukjizatan maknawi al-Qur'an yang menjelma dalam Risalah al-Nur di zaman ini, semoga mereka tidak jatuh dalam akhlak buruk, insya Allah.


351. Page

Nuktah Kedua

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ اِلَّأ لِيَعْبُدُونِ{ مَا اُريدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا اُريدُ اَنْ يُطْعِمُونِ{ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتينُ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Qs. al-Dzariyat: 56-58)


Makna lahiriah yang dipaparkan banyak tafsir mengenai ayat-ayat ini tidak dapat menjelaskan ungkapan luhur dan tinggi kemukjizatan al-Qur'an. Inilah yang sering kali memusingkan pikiran saya.


Maka, kami akan menjelaskan secara global “tiga aspek” di antara makna-maknanya yang indah, lembut, dan luhur, yang muncul dari luapan al-Qur'an.

 

Aspek Pertama: Allah S.w.t kadang mengaitkan pada diri-Nya sebagian hal yang mungkin bisa kembali kepada rasul-Nya S.a.w sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan bagi beliau. Demikian pula halnya dalam topik ini, di mana maksud ayat di atas adalah pemberian makan dan rizki yang kembali kepada Rasul mulia S.a.w. Sebab, ayat itu bermakna: “Rasul-Ku tidak meminta upah, balasan, atau pun makanan dari kalian atas tugas risalah dan tablig ubudiyah yang dia sampaikan kepada kalian. Dan Aku telah menciptakan kalian untuk beribadah, bukan untuk memberi-Ku rizki atau pun makan.” Jika tidak, berarti sama saja ayat itu memberitahukan sesuatu yang sudah diketahui secara pasti. Ini tentu tidak selaras dengan balaghah kemukjizatan al-Qur'an.

 

Aspek Kedua: Orang seringkali terpedaya dan terkecoh oleh rizki, sehingga dia mengira usaha demi mencari rizki bisa menghalangi ibadah. Ayat di atas memberikan penjelasan sebagai berikut agar manusia tidak menjadikan bekerja sebagai alasan untuk tidak beribadah:


Kalian diciptakan untuk beribadah, dan hasil penciptaan kalian hanyalah untuk beribadah. Adapun berusaha mencari rizki, itu merupakan bagian dari ibadah dilihat dari sisi perintah ilahi. Sedangkan pemenuhan rizki bagi seluruh makhluk-Ku, bagi kalian, bagi keluarga kalian, dan bagi hewan-hewan kalian, yang rizkinya menjadi tanggungan-Ku, itu semua secara khusus merupakan bagian-Ku, dan kembali kepada-Ku. Kalian tidak diciptakan untuk memenuhi dan menyiapkan rizki atau pun makanan yang sudah menjadi tanggungan-Ku, karena Aku-lah Maha Pemberi rizki, Aku-lah yang memberi rizki kepada kalian, dan yang memberi rizki kepada hamba-hamba-Ku yang ada hubungannya dengan kalian. Karena itu, jangan meninggalkan ibadah dengan alasan mencari rizki.


Jika bukan ini makna yang Dia maksud, maka sudah diketahui dan dipastikan bahwa rizki Allah S.w.t dan pemberian makan oleh-Nya menjadi mustahil. Jadi, (kalam) ini termasuk pemberitahuan sesuatu yang sudah lazim diketahui. Kaidah baku ilmu balaghah menyebutkan, ketika makna suatu kalam sudah diketahui dan sudah pasti, berarti makna tersebut bukanlah yang dimaksudkan. Tapi yang dimaksudkan adalah salah satu di antara konsekwensi dan kaitan kalam itu sendiri.


352. Page

Sebagai contoh: Misalkan Anda berkata pada seorang penghafal al-Qur'an, “Kau hafal al-Qur'an.” Kata-kata ini termasuk memberitahukan sesuatu yang sudah diketahui. Dengan demikian, makna yang dimaksudkan darinya adalah saya mengetahui bahwa engkau penghafal al-Qur'an. Yakni, dia sebelumnya tidak mengetahui kalau saya tahu bahwa dia penghafal al-Qur'an, lalu saya memberitahukan hal itu kepadanya.


Mengacu pada kaidah ini, makna ayat di atas, yang merupakan alegori (kinayah) tentang penafian rizki Allah S.w.t dan pemberian makan oleh-Nya, sebagai berikut:


Rizki dan memberi makan adalah tugas-Ku, kalian tidak diciptakan untuk memberi rizki kepada makhluk-makhluk-Ku yang rizkinya Aku jamin. Tapi tugas orisinil kalian adalah beribadah. Berusaha untuk mendapatkan rizki sesuai perintah-Ku juga bagian dari ibadah.

 

Aspek Ketiga:

لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُولَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” (Qs. al-Ikhlash [112]: 3)


Makna lahiriah ayat dari surah al-Ikhlas ini sudah diketahui dan benar dengan sendirinya (aksiomatis). Adapun maksudnya adalah salah satu dari konsekwensi maknanya. Yaitu, siapa pun yang memiliki ayah dan anak sama sekali tidak mungkin menjadi Tuhan selamanya. Dengan demikian, ayat “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,” diperlakukan menurut hukum yang diketahui dan aksiomatis dalam hak Allah S.w.t, yaitu bahwa Dia adalah azali dan abadi. Dan itu dengan maksud menepis ketuhanan Isa dan Uzair a.s, juga ketuhanan malaikat, bintang dan sembahan-sembahan batil.


Demikian pula halnya dengan makna pada contoh kita ini, yaitu bahwa setiap apa pun yang menerima rizki dan makanan, tidak mungkin menjadi Tuhan dan sembahan. Yakni, Sang Pemberi rizki Yang Maha Agung itulah sembahan kalian. Dia tidak menginginkan rizki dari kalian. Dan kalian tidak diciptakan untuk memberi-Nya makan. Artinya, semua maujud yang memerlukan rizki dan diberi makan, tidak berhak disembah.

 

Sa’id Nursi

 

 

بِسْـــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 اَوْ هُمْ قَائِلُونَ

“Atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Qs. al-A’raf: 4)

 

Topik pembahasan ini ditulis terkait telaah Ra’fat mengenai makna kata qailun (قائلون) dalam ayat agung di atas (اَوْ هُمْ قَائِلُونَ), juga (ditulis) agar pena (Sa’id Nursi) yang selaksa emas tidak terhenti karena rasa malas yang muncul akibat tidurnya selepas shalat fajar seperti yang dilakukan para tahanan lain yang bersamanya di penjara.


Tidur terbagi tiga macam:

Pertama, ghailulah (غَيْلُولة), yaitu tidur selepas shalat fajar hingga berakhirnya waktu terlarang untuk shalat. Tidur ini menyalahi Sunnah, karena bisa mewariskan pengurangan 

353. Page

rizki dan berkah, seperti disebutkan dalam hadits,[1] mengingat waktu paling utama untuk berusaha mencari rizki dan menyiapkan awal kerja adalah ketika udara sejuk dan seimbang. Setelah waktu ini berlalu, orang mulai merasa malas dan lelah sehingga mengganggu pekerjaan, lalu mempersulit rizki, dan mengurangi berkah, seperti yang terbukti melalui banyak pengalaman.


Kedua, failulah (فَيْلُولة), yaitu tidur selepas shalat ashar hingga waktu maghrib. Tidur ini bisa menyebabkan umur berkurang. Yakni, umur manusia yang sering digunakan untuk tidur secara nyata menjadi pendek dan mengalami pengurangan secara materiil, karena kemalasan dan kelelahan hebat yang dialaminya, yang timbul akibat tidur ini. Juga, karena hasil maknawi maupun materiil kehidupannya pada hari ini umumnya terlihat setelah ashar. Jika waktu ini dihabiskan untuk tidur dan tidak memperlihatkan hasil pekerjaan tersebut, manusia seakan tidak hidup pada hari itu.


Ketiga, qailulah (قَيْلُولة), inilah tidur sunnah saniyah, yaitu tidur mulai waktu dhuha hingga sesaat setelah zhuhur. Tidur ini sunnah saniyah karena bisa membantu bangun malam (qiyamullail). Lebih dari itu, istirahat bekerja seperti kebiasaan orang-orang Arab di waktu yang amat terik –waktu zhuhur– memperkuat sunnah saniyah ini.


Tidur ini merupakan sarana untuk memperpanjang umur dan meningkatkan rizki, karena tidur qailulah setengah jam (di tengah hari) nilainya setara dengan tidur dua jam pada malam hari. Dengan demikian, tidur ini menambah usia satu setengah jam setiap harinya, menghindarkan satu setengah jam dari tidur yang merupakan saudara dekat kematian, menghidupakannya, dan menambahkannya pada jangka waktu usaha mencari rizki.

 

 

Sa’id Nursi

 

 

Tentang kalimat

اَلْفُ اَلْفِ صَلاَةٍ وَ اَلْفُ اَلْفِ سَلاَمٍ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ

“Sejuta doa rahmat dan salam untukmu, wahai Rasulullah”

 

Saat kalimat “Sejuta doa rahmat dan salam untukmu, wahai Rasulullah” dibaca dalam zikir selepas shalat, saya melihat sebuah nuktah lembut dari kejauhan yang tersingkap untuk saya. Saya tidak bisa menangkap semuanya. Saya hanya mengingat sebagian dari kalimatnya dalam bentuk isyarat.


Saya melihat dunia di malam hari laksana salah satu di antara rumah-rumah dunia yang baru dibuka. Saya lalu memasuki dunia itu di waktu shalat isya. Mengingat luasnya khayalan yang membentang melebihi biasanya, juga karena hubungan esensi manusia dengan dunia secara keseluruhan, saya melihat dunia yang besar di malam itu laksana sebuah rumah, sementara makhluk hidup mengecil, dan manusia juga mengecil hingga tak terlihat sesuatu

[1] Ibnu Majah menyebutkan dalam kitab Sunan-nya; dari Shakhr al-Ghamidi, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Ya Allah! berkahilah umatku pada pagi harinya.’ Saat mengirim pasukan kecil atau pasukan besar, beliau memberangkatkan mereka di pagi hari.’ Perawi hadits menyebutkan, ‘Shakhr adalah seorang pedagang. Ia biasa mengirim barang-barang dagangnya di pagi hari, kekayaannya melimpah dan hartanya banyak.” Baca, Sunan Ibnu Majah (II/752)




354. Page

yang bersamanya. Saya tidak bisa melihat suatu khayalan kecuali maknawi Muhammad S.a.w satu-satunya. Seperti halnya seseorang saat baru masuk rumah mengucapkan salam kepada penghuninya, saya juga merasakan dorongan kuat dalam diri untuk mengucapkan “Sejuta doa rahmat dan salam untukmu, wahai Rasulullah[1] (اَلْفُ اَلْفِ صَلاَةٍ وَ اَلْفُ اَلْفِ سَلاَمٍ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ).”


Seakan-akan saya mengucapkan salam kepada beliau S.a.w sebanyak bilangan manusia dan jin. Yakni, saya mengucapkan salam bahwa saya memperbarui baiat kepadamu, saya mengakui tugasmu dan perintahmu, saya mematuhi hukum yang kau bawa, saya menerima seluruh perintahmu, dan bahwa engkau pasti terhindar dari pemusuhan kami dan serangan kami padamu, saya berbicara pada seluruh manusia dan jin yang merupakan bagian dari alam saya, dan seluruh makhluknya yang memiliki kesadaran, saya sampaikan kepadamu atas nama masing-masing dari mereka dengan salam menurut makna-makna tersebut.


Seperti halnya engkau sinari alam saya ini dengan cahaya dan petunjuk yang kau bawa, kau pun menyinari pula alam siapa pun yang ada di dunia ini, kau limpahkan beragam nikmat padanya.


Demikianlah, sebagai ucapan terimakasih atas hadiah ini, saya sampaikan “Sejuta doa rahmat dan salam untukmu, wahai Rasulullah” (اَلْفُ اَلْفِ صَلاَةٍ وَ اَلْفُ اَلْفِ سَلاَمٍ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ).


Yakni, kami tak bisa menunaikan ucapan terimakasih atas kebaikan yang kau berikan kepada kami. Kami hanya bisa menghaturkan terimakasih kami dengan berdoa kepada Pencipta kami S.w.t, agar Dia menurunkan kepadamu rahmat-rahmat yang turun dari simpanan rahmat-Nya sebanyak bilangan para penghuni seluruh langit. Inilah makna-makna yang saya rasakan dalam khayalan.


Rasul S.a.w meminta doa yang berarti rahmat, karena beliau membimbing makhluk menuju al-Haq S.w.t dari aspek ubudiyahnya. Beliau menginginkan doa salam karena beliau adalah utusan al-Haq kepada makhluk melalui risalah beliau.


Seperti halnya kami mempersembahkan doa selamat sebanyak bilangan jin dan manusia kepada beliau yang selayaknya, dan memperbarui baiat umum sebanyak bilangan jin dan manusia, beliau juga berhak mendapatkan doa sebanyak bilangan para penghuni langit dari khazanah rahmat atas nama masing-masing dari. Karena melalui cahaya yang beliau bawa, kesempurnaan segala sesuatu menjadi terlihat, nilai semua wujud tampak, tugas rabbani setiap makhluk dapat disaksikan, tujuan-tujuan ilahi dari setiap ciptaan juga tampak. Karena itu, andai segala sesuatu memiliki bahasa lisan seperti halnya bahasa kondisional, mereka pasti akan mengucapkan, “Salawat dan salam untukmu, wahai Rasulullah” (اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُولَ اللّٰهِ). Kami juga atas nama mereka semua secara maknawi mengatakan:


[1] Rahmat yang turun kepada Rasulullah S.a.w terkait dengan kebutuhan seluruh umat di zaman yang abadi. Karena itu, menjadi sangat tepat jika salawat yang tak terhingga banyaknya dipersembahkan kepada beliau. Jika sekiranya seseorang masuk ke dalam sebuah rumah kosong yang gelap dan mencekam seperti dunia yang gelap dan penuh dengan kelalaian ini, pastilah ia akan sangat ketakutan dan gelisah. Namun ia akan menjadi sangat senang, tenteram dan bahagia jika kemudian ia melihat ada seseorang di depan rumah yang bisa memperkenalkan kepadanya semua isi rumah. Lalu bagaimana menurutmu seandainya orang tersebut adalah kekasih tercinta, Rasulullah S.a.w. Beliau berada di depan rumah untuk memperkenalkan kepada kita Sang Penguasa Yang Maha Pengasih dan Maha Mulia berikut segala sesuatu yang ada di dalamnya. Betapa hal itu akan menimbulkan perasaan senang, suka cita, bahagia, ceria, dan gembira! Maka bandingkan hal itu dengannya, dan takarlah seberapa besar harga dan kenikmatan bersalawat yang disampaikan kepada sang pembawa risalah, Nabi Muhammad S.a.w. (penulis).




355. Page

اَلْفُ اَلْفِ صَلاَةٍ وَ اَلْفُ اَلْفِ سَلاَمٍ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ بِعَدَدِ الْجِنِّ وَ الْأِنْسِ وَ بِعَدَدِ الْمَلَكِ وَ النُّجُومِ

فَيَكْفيكَ اَنَّ اللّٰهَ صَلّٰي بِنَفْسِه{ وَ اَمْلاَكَهُ صَلَّتْ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَتْ

Sejuta doa rahmat dan salam untukmu, wahai Rasulullah, sebanyak bilangan jin dan manusia, sebanyak bilangan malaikat dan bintang.

Bahwa Allah melimpahkan rahmat, dan para malaikat mendoakan rahmat serta salam, itu sudah cukup bagimu.

 

 

Sa’id Nursi

 

 

Saudara-saudaraku sekalian yang terhormat!

 

Kalian meminta suatu penjelasan tentang wihdat al-wujud (kesatuan wujud). Di “Lama’at Kesembilan” dari “Maktub Ketigapuluh Satu” sudah ada jawaban kuat dan panjang lebar terhadap pemikiran Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi mengenai masalah ini. Namun di sini kami cukupkan sekedar penjelasan berikut untuk saat ini:


Menyampaikan masalah faham wihdat al-wujud ini sangat berbahaya bagi orang di zaman sekarang ini. Seperti halnya kiasan (tasybihat) dan perumpamaan (tamtsilat)[1] ketika berpindah dari tangan kalangan khusus (khawwas) ke tangan kalangan awam, dari tangan berilmu ke tangan bodoh, bisa dikira bahwa itu hakikat, demikian pula halnya dengan hakikat yang tinggi seperti masalah faham wihdat al-wujud, ketika berpindah ke orang-orang lalai lalu ke kalangan awam yang terpengaruh oleh pemikiran sebab-akibat, mereka akan mengira faham ini sebagai (faham tentang) alam, sehingga menimbulkan tiga bahaya fatal berikut:


Pertama, faham wihdat al-wujud meskipun mirip pengingkaran terhadap semua wujud demi mengakui keberadaan Allah, tapi setiap kali faham ini diterima kalangan awam, apalagi mereka yang lalai, lebih khusus lagi pemikiran-pemikiran yang bercampur dengan pemikiran para filosof materialisme, itu akan menjurus pada pengingkaran keberadaan Tuhan demi mengakui keberadaan seluruh wujud dan materi.


Kedua, faham wihdat al-wujud menolak dan menyangkal dengan sangat keras rububiyah apa pun selain Allah S.w.t. Bahkan faham ini mengingkari apa pun selain Allah S.w.t, menolak dualisme, di samping faham wihdat al-wujud ini mengharuskan untuk tidak memandang wujud apa pun secara independen bagi jiwa amarah semata. Menyampaikan penjelasan tentang wihdat al-wujud kepada orang-orang yang jiwa amarah sebagian dari mereka sudah menjadi Fir’aun kecil, seolah-olah mereka memiliki kesiapan untuk menjadikannya sebagai sembahan, terlebih di zaman ini di mana Sang Pencipta dan akhirat

[1] Seperti dua malaikat besar yang dikenal dengan nama lembu dan ikan. Bagi orang awam perumpamaan tersebut berubah menjadi gambaran lembu dan ikan yang besar (penulis).




356. Page

sudah dilupakan karena dominasi pemikiran filsafat materialisme, kesombongan dan egoisme kian berkuasa, itu semua akan mendorong jiwa amarah bersikap sombong dan angkuh yang tak bisa lagi diatur dan diarahkan. Na’udzu billah.


Ketiga, faham itu mengiring pada persepsi-persepsi yang tidak patut bagi Zat yang Wajib Ada, Yang Maha Agung Swt, yang suci, terhindar, dan terbebas dari perubahan, pergantian, perpecahan dan penggabungan, di samping tidak patut dengan kesucian-Nya, dan menimbulkan pengajaran-pengajaran batil.


Ya. Siapa pun yang berbicara tentang faham wihdat al-wujud, dia hendaknya mengangkat naik fikirannya jauh-jauh dari bumi ke langit, meninggalkan alam raya ini di belakangnya, menganggap alam raya sebagai sesuatu yang tidak ada dengan pandangan fokus ke Arsy dalam kondisi hanyut ruhani, kemudian setelah itu ia mungkin bisa melihat segala sesuatu dari Zat Yang Maha Esa Maha Tunggal secara langsung dengan kekuatan iman. Tanpa itu, orang yang menatap alam raya, dengan berdiri di belakangnya, dan melihat segala sebab-akibat di hadapannya, lalu menatap mulai dari alam rendah ke Arasy, tidak menutup kemungkinan akan hanyut dalam sebab-sebab dan jatuh dalam lumpur naturalisme.


Orang yang naik dengan fikirannya menuju Arsy bisa saja mengatakan seperti yang dikatakan Jalaluddin al-Rumi,[1] “Bukalah seluruh pendengaranmu, karena kata-kata yang kau dengar dari setiap orang bisa kau dengar dari al-Haq S.w.t, seakan-akan pendengaranmu adalah alat perekam alami fitri.”


Jika tidak, ketika Anda mengatakan kepada orang yang tidak mampu naik mencapai tingkatan orang seperti Jalaluddin al-Rumi, dan tidak mampu melihat semua wujud dari bumi ke Arasy dalam bentuk cermin, “Dengarkanlah, kau akan mendengar kalam Allah dari siapa pun,” tentu dia akan mengalami persepsi-persepsi batil yang bertentangan dengan hakikat, seakan runtuh dari Arsy ke bumi secara maknawi.


قُلِ اللّٰهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ في خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakanlah, ‘Allah-lah (yang menurunkannya).’ Kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya’.” (Qs. al-An’am: 91)

 

مَا لِلتّرَابِ وَ لِرَبّ الارْبَابِ

سُبْحَانَ مَنْ تَقَدَّسَ عَنِ الْاَشْبَاهِ ذَاتُهُ

 وَتَنَزَّهَتْ عَنْ مُشَابَهَةِ الْاَمْثَالِ صِفَاتُهُ

 وَشَهِدَ عَلٰي رُبُوبِيَّتِه اٰيَاتُهُ جَلَّ جَلاَلُهُ

و شهد على رُبُوْبِيَّتِه آيَاتُهُ جلَّ جلالُهُ

وَلاَ اِلٰهَ اِلَّأ هُوَ


[1] Maulana Jalaluddin al-Rumi, dikenal sebagai al-Rumi karena sebagian besar hidupnya ia habiskan di kawasan Rum, Turki.Dia adalah pendiri tarekat Maulawiyah, lahir pada tahun 1207 H., meninggal tahun 1273 M., dimakamkan di Kaunia, Turki.




357. Page

Tidak untuk tanah dan untuk Tuhan makhluk

Maha Suci Rabb yang Zat-Nya suci dari padanan

Yang sifat-sifat-Nya suci dari persamaan

Yang tanda-tanda kebesaran-Nya bersaksi akan rububiyah-Nya

Tiada Tuhan selain Dia

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

Jawaban Atas Sebuah Pertanyaan

 

Saya tidak punya banyak waktu untuk membuat perbandingan antara pemikiran-pemikiran Musthafa Sabri[1] dengan Musa Bakuf.[2] Hanya saya mau sampaikan sekedarnya sebagai berikut:


Salah satu dari keduanya berlebihan, sementara yang satunya lagi terlalu mengentengkan. Meski Musthafa Sabri benar dalam pembelaannya dibanding Musa Bakuf, namun dia keliru karena memalsukan tokoh yang merupakan salah satu mukjizat ilmu Islam seperti Muhyiddin ibnu Arabi.


Ya. Muhyiddin ibnu Arabi sendiri mendapat petunjuk dan bisa diterima, namun dia bukan penunjuk jalan atau pun pembimbing (mursyid) dalam semua karya tulisnya. Karena umumnya Ibnu Arabi bertolak tanpa neraca dalam hakikat sehingga menyalahi kaidah-kaidah Ahlussunnah. Sebagian kata-katanya secara lahiriah terlihat sesat meski dia terbebas dari kesesatan, dan sebagian kata-katanya juga kadang terlihat kafir, hanya saja orangnya tidak kafir. Musthafa Sabri tidak mengambil poin-poin ini dengan pandangan iktibar, sehingga dia mengentengkan pada sebagian poin karena terlalu fanatik dengan kaidah-kaidah Ahlussunnah.


Sementara Musa Bakuf sering keliru dengan pemikiran-pemikirannya yang sangat condong pada pembaharuan, berjalan dan bertolak menurut kekinian dan kebaruan, serta suka mendistorsi sebagian hakikat Islam melalui penakwilan, sering kali bersikap berlebihan, di mana dia mengangkat sosok yang tidak bisa diterima seperti Abul Ala' al-Ma'arri melebihi tingkatan para ahli tahqiq, memihak permasalahan-permasalahan Muhyiddin yang sejalan dengan pemikirannya, dan bertentangan dengan Ahlussunnah. Padahal, Muhyiddin sendiri pernah mengatakan, “Siapa pun yang bukan bagian dari golongan kami, haram membaca kitab-kitab kami.” Artinya, “siapa pun yang bukan golongan kami dan tidak mengenali maqam kami, jangan membaca kitab-kitab kami, karena akan menimbulkan bahaya.”


[1]  Syaikhul Islam di masa Daulah Utsmaniyah, asli Turki, lahir dan tumbuh dewasa di Turki, lahir tahun 1869, wafat tahun 1954 setelah berhijrah ke Mesir, dimakamkan di sana. Baca biografinya dalam al-A’lam (VII/236)

[2]  Musa Jarullah at-Turkistani al-Qazani al-Tatari al-Rusi, Syaikhul Islam Rusia sebelum terjadinya revolusi Baslchef, lahir tahun 1878 di Rusia, wafat tahun 1949, dimakamkan di Mesir, belajar di tanah Arab, menguasai ilmu-ilmu Islam. Baca biografinya dalam al-A’lam (VII/320).




358. Page

Tepat sekali, membaca kitab-kitab Muhyiddin di zaman sekarang ini berbahaya, khususnya dalam masalah terkait faham wihdat al-wujud.

 

Sa’id Nursi

 

* * *

 

بِسْـــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

Saat dari jendela penjara saya menyaksikan gelak tawa manusia yang menimbulkan tangis di tengah malam ‘Ied agung yang penuh kegembiraan melalui lensa kerisauan ke masa depan yang memperlihatkan akibat, tiba-tiba dalam pandangan khayal saya terungkap kondisi berikut, yang akan saya jelaskan pada kalian.


Seperti halnya di film tampak kondisi kehidupan masa lalu orang-orang yang sudah tidur di kuburan saat ini, saya juga seakan menyaksikan jenazah-jenazah hidup yang di masa datang dalam waktu tak lama lagi akan menjadi penghuni-penghuni kuburan. Saya pun menangisi orang-orang yang tertawa itu. Setelah itu saya merasa takut dan sedih, namun saya kemudian kembali sadar, seraya bertanya kepada hakikat, “Khayalan apa ini?” Hakikat kemudian menjawab:


Lima dari lima puluh orang malang dan sengsara yang tertawa, bersenang-senang, bernikmat dan bergembira ria secara meluap itu, lima puluh tahun berikutnya akan menjadi orang-orang lanjut usia dalam umur mereka yang tujuh puluh tahun, dan punggung mereka pun sudah membungkuk, condong, dan bengkok. Adapun empat puluh lima lainnya kadang sudah lenyap dan hancur di kuburan. Wajah-wajah menawan dan tawa riang itu kelak akan berubah sebaliknya.


Karena menyaksikan segala sesuatu yang akan datang tidak lama lagi seakan nyata terlihat sedemikian rupa adalah hakikat berdasarkan kaidah, “Semua yang akan terjadi itu dekat” (كُلُّ اٰتٍ قَريبٌ), maka tidak dapat diragukan lagi bahwa apa yang saya saksikan bukanlah khayalan.


Karena gelak tawa dunia dalam kelalaian adalah tabir dan tirai penutup kondisi memilukan dan mengundang tangis, yang hanya sesaat dan pasti berlalu, maka tak diragukan lagi bahwa hiburan yang akan menyenangkan hati manusia malang –yang sangat mendambakan keabadian–, yang akan menyenangkan ruhaninya yang terpedaya oleh cinta akan kekekalan dan keabadian, adalah hiburan suci yang dibolehkan syariat dalam syukur, tanpa disertai kelalaian terhadap Allah. Juga kebahagiaan dan kesenangan yang akan memberikan keabadian dari sisi pahala. Karena itulah sudah banyak disebutkan dalam riwayat-riwayat (hadits) adanya peringatan-peringatan yang mendorong kita untuk berzikir dan bersyukur kepada Allah S.w.t agar kelalaian tidak mendominasi suasana ‘Ied, lalu menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan. Hendaknya seseorang mengubah nikmat kesenangan dan kebahagiaan dalam suasana ‘Ied itu menjadi ungkapan rasa syukur, sehingga kenikmatan akan bertahan lama dan bertambah, karena syukur akan menambah nikmat dan menangkal kelalaian.

 

 

Sa’id Nursi 


359. Page

بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

 

Bagian ini bermanfaat dan berguna untuk setiap orang

 

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّٓوءِ

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf: 53)

 

Salah satu di antara nuktah-nuktah hadits, “Musuhmu yang paling memusuhi adalah jiwa yang ada di dalam dirimu” (اَعْدٰي عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتي بَيْنَ جَنْبَيْكَ).[1]


Orang yang hanya mencintai diri sendiri –hingga jiwanya selalu memerintahkan pada keburukan, dan dan tidak bersih– tidaklah mencintai orang lain. Bahkan meski secara lahiriah dia mencintai orang lain, dia mencintainya bukan dengan cinta yang tulus, tapi mencinta kepentingan dirinya, manfaatnya, dan kenikmatan yang dinantikannya darinya. Ia selamanya berusaha agar orang lain mencintai dirinya, membuat mereka kagum pada dirinya, menganggap dirinya tidak punya salah atau kelemahan apa pun, bahkan selalu membela dan melindungi diri layaknya pengacara, selalu memuji dan menganggap suci dirinya dengan kata-kata berlebihan, bahkan mungkin dengan kata-kata dusta, seakan mengkultuskan dirinya, sehingga menerima salah satu dari tamparan sayang yang datang dari ayat berikut, sesuai derajatnya:

مَنِ التَّخَذَ اِلٰهَهُ هَوٰيهُ

“Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” (Qs. al-Furqan [25]: 43).

Adapun memuji diri sendiri dan mendorong orang lain untuk mencintainya, itu justru memicu perbuatan sebaliknya, sehingga memberatkan orang lain, menyebabkan sikap dingin dari orang lain, menghilangkan keikhlasan dalam amalan ukhrawi, mencampurnya dengan riya, hingga kalah oleh perasaan, emosi, dan hawa nafsu yang tidak bisa melihat akibat segala tindakan, tidak bisa memikirkan hasil, serta hawa nafsu yang terpedaya oleh kenikmatan kini yang sesaat.


Hingga akhirnya dia harus mendekam dalam penjara selama setahun akibat kenikmatan dan kesenangan hanya sejam karena bisikan hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan yang tersesat jalan, dia harus merasakan siksa selama sepuluh tahun penjara hanya karena rasa sombong atau dendam yang hanya berlangsung satu menit. Dia seakan menjadikan amal-amal kebaikannya yang nilainya laksana intan permata itu sebagai sarana untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dan egoisme yang nilainya hanya seperti potongan kaca tak berharga, demi memanjakan perasaannya, menyenangkan dan memuaskan



[1]  Al-Zuhd al-Kabir, hadits nomor 355, diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Hadits tersebut diriwayalkan oleh al-Baihaqi dalam al-Zuhd dengan sanad lemah. Namun ada hadits lain yang sama yang berasal dari Anas. Lihat Kasyf al-Khafa 1:143. Ketika mentakhrij kitab Ihya' (Bab keajaiban hati) al-Iraqi mengatakan bahwa Baihaki meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari hadits Ibn Abbas. Di dalamnya ada Muhammad ibn Abdurrahman ibnu Ghazwan salah seorang pemalsu hadits. Sementara dalam Syarah al-Ihya', Zubaidi mengomentari pendapat Iraqi tersebut dengan mengatakan, ‘Dalam tulisan Ibn Hajar aku menemukan teks yang berbunyi, ‘Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan selain dari hadits Anas.




360. Page

keinginannya layaknya anak kecil dungu yang menukarkan juz ‘amma yang dipelajarinya dengan sepotong permen. Seperti itulah dia merugi dalam hal-hal yang seharusnya membawa keuntungan.

 

اَللّٰهُمَّ احْفَظْنَا مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ وَمِنْ شَرِّ الْجِنِّ وَالْأِنْسَانِ

Ya Allah! Jagalah kami dari kejahatan jiwa, setan, serta dari kejahatan jin dan manusia.

 

Sa’id Nursi

 

 

Pertanyaan:

Bagaimana berada di penjara neraka jahanam untuk jangka waktu tak terbatas menjadi balasan adil bagi kekafiran yang hanya dilakukan dalam jangka waktu pendek?


Jawaban:

Jika hukuman tindak pembunuhan yang hanya memakan waktu selama satu menit adalah penjara selama 7.884.000 menit –dengan hitungan satu tahun sama dengan 365 hari– sebagai hukuman yang adil, maka orang yang melakukan kekafiran selama 20 tahun dari umurnya lalu mati dalam keadaan kafir patut mendapatkan hukuman adil selama 57.201.200.000.000 tahun hukuman penjara berdasarkan undang-undang kemanusiaan yang adil. Sebab, satu menit kekafiran sama seperti pembunuhan seribu jiwa. Maka tak ragu, dari sini bisa difahami aspek kesesuaian antara hakikat ini dengan keadilan ilahi dalam firman Allah S.w.t:

خَالِدينَ فيها اَبَدًا

“Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Qs. al-Nisa` [4]: 169)


Rahasia kesesuaian antara dua angka yang berbeda jauh sekali ini adalah karena pembunuhan dan kekafiran adalah tindakan perusakan, penghancuran, kesewenang-wenangan, dan melampaui batas. Keduanya berpengaruh pada orang lain, berlaku seperti tindakan keduanya pada orang lain. Pembunuhan yang hanya memakan waktu satu menit merenggut minimal lima belas tahun kehidupan orang yang dibunuh sesuai kebiasaan yang tampak, sehingga si pembunuh patut masuk penjara selama itu pula sebagai gantinya. Adapun kekafiran yang memakan waktu satu menit, karena ia merupakan pengingkaran terhadap seribu satu nama ilahi, pemalsuan ukiran nama-nama tersebut, menzalimi hak-hak seluruh wujud yang ada, mengingkari kesempurnaannya, mendustakan bukti-bukti keesaan yang tak terhitung dan tak terbilang, serta menolak kesaksiannya atas keesaan, maka orang kafir patut dilemparkan ke tingkatan neraka paling bawah lebih dari seribu tahun, dan dipenjara di sana “untuk selamanya.”

 

Sa’id Nursi

 

 


361. Page

Tawafuq Halus yang Memiliki Tujuan

 

Pasal 163 yang dituduhkan kepada para murid Risalah al-Nur, dan dituntut hukuman sesuai yang tertera dalam pasal tersebut, selaras dengan jumlah 163 di antara 200 wakil yang menyepakati keputusan untuk memberikan bantuan sebesar 150 ribu lira ke madrasah milik penulis Risalah al-Nur. Menurut maknanya, keselarasan (tawafuq) ini menyatakan bahwa tanda tangan 163 wakil pemerintahan Republik membatalkan putusan hukum pasal 163 terhadap mereka secara khusus menurut haknya.


Keselarasan halus lain yang memiliki tujuan adalah, bagian-bagian Risalah al-Nur jumlahnya mencapai 128 yang secara keseluruhan membentuk 115 kitab. Karena tanggal penangkapan pertama para murid Risalah al-Nur dan pengarangnya adalah 27 April 1935, dan tanggal keluarnya putusan Mahkamah adalah 19 Agustus 1935, di mana rentang waktu antara kedua tanggal ini adalah selama 115 hari, maka jumlah ini tepat sesuai jumlah kitab Risalah al-Nur, selain tepat persis dengan jumlah orang-orang yang diinterogasi yang mencapai 115 orang. Ini mengisyaratkan bahwa ujian yang menimpa penulis Risalah al-Nur dan para murid al-Nur, semata dirancang oleh tangan inayah ilahi.[1]

 

Sa’id Nursi

 

Salah seorang saudara kita dengan penuh semangat dan cinta menyebut Risalah al-Nur dengan nama-nama “emas,” “permata,” “cahaya,” yang ia tulis berkali-kali. Dan menurut hemat kami, sebutan-sebutan ini perlu dimasukkan di bagian akhir lama’at ini.

 

Apakah murid yang ada dalam lingkup kawasan takwa bisa melepaskan diri dari cahaya Risalah al-Nur, dari emas yang berharga ini, dan meninggalkannya, bahkan andai pun ia gila?


Menurut dugaan saya, jarang ada orang yang sudah melihat karamah Risalah al-Nur yang mirip mukjizat, keutamaannya, kelezatannya, dan memetik buahnya yang manis dan lezat, lalu memakannya seperti murid kalian yang lemah ini. Saya berhutang budi pada kalian atas perhatian yang kalian berikan, meski saya tidak mampu memberikan pengabdian kepada Risalah al-Nur mengingat kelemahan yang saya alami sampai batas ini. Berdasarkan hal itu, siapa pun murid dari murid-murid kalian –bukan hanya saya- tak akan bisa meninggalkan kenikmatan Risalah al-Nur, emas yang diberkahi ini. Mohon maaf, terus terang saya tegaskan, ada dua karamah yang terlihat dan terungkap di saat-saat pemeriksaan.


Saat sejumlah polisi, polisi militer, dan sipir penjara menggeledah penjara dengan sangat teliti dan jeli, keponakan saya yang berumur tujuh atau delapan tahun, memasukkan salinan Risalah al-Nur ke dalam tas madrasahnya tanpa seorang pun melihatnya, setelah itu si anak kecil ini keluar. Penggeledahan dan pencarian juga dilakukan di dalam ruangan saya yang lemah ini. Anak itu kemudian masuk ke ruangan saya. Saat mendengar suara rebut dan gaduh, ia segera memasukkan bagian-bagian Risalah al-Nur ke dalam tasnya yang ia letakkan




[1]  Patut diperhatikan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap beberapa murid Nur terjadi pada tanggal 25 April 1935. Jumlah murid yang menjadi tertuduh lewat putusan pengadilan adalah 117 orang di mana ada dua nama yang terulang. Dengan demikian jumlah 117 itu sama dengan lama penahanan yang berlangsung selama 117 hari, dilihat dari sejak ditangkap hingga keluarnya putusan pengadilan. Hal ini merupakan bentuk korelasi dan keselarasan indah lainnya disamping korelasi di atas.




362. Page

di salah satu sudut ruangan. Tak seorang polisi ataupun petugas melihat tas tersebut, mereka juga tidak bertanya apa pun pada si anak. Anak pemberani ini kemudian pergi menghampiri ibunya dan bilang, “Aku membawa bagian-bagian Risalah al-Nur yang selalu dibacakan paman. Aku dengar polisi hendak mengambil Risalah al-Nur ini, namun aku lebih dulu mengambilnya tanpa mereka sadari. Saat mereka membolak-balik sejumlah risalah dan kitab-kitab lain, aku memasukkan Risalah al-Nur ke dalam tasku.”


Anak itu meneruskan, “Tolong ibu letakkan Risalah al-Nur ini di tempat yang aman, jagalah dengan baik, karena saya suka membacanya. Saat paman membacanya di hadapan kami, saya merasakan kondisi-kondisi spiritual berbeda.” Setelah itu ia kembali ke madrasah. Atas tindakan anak tersebut, emas, permata dan cahaya-cahaya ini tidak berhasil disita. Jika ini bukan karamah, lalu apa? Jika bukan karamah al-Qur'an, lalu apa? Adakah kitab yang memiliki keutamaan, kenikmatan, nilai emas dan permata seperti ini? Dari mulut siapa gerangan emas, permata dan cahaya-cahaya ini bercucuran deras hingga saat ini?


Bukan hanya penjara yang saya terima dengan rela hati. Tapi apa pun pengorbanan yang saya lakukan di setiap saat dan detik demi emas, permata, dan cahaya-cahaya ini, semuanya saya terima dengan rela dan senang hati. Anak saya yang bernama Amin, juga siap untuk mengorbankan seluruh hidupnya sepeninggal saya nanti demi emas, permata, dan cahaya-cahaya ini.


Bukti karamah kedua emas, permata dan cahaya-cahaya ini dipastikan bahwa kerabat dan anak-anak saya yang berusia tiga hingga delapan tahun, saya pastikan mereka akan mengorbankan hidup mereka demi emas, mutiara dan cahaya-cahaya ini dengan penuh keberanian tanpa pikir panjang. Sebab, ketika saya membaca emas, permata, dan cahaya-cahaya ini, mereka berkumpul di sekeliling saya. Saya kemudian bercanda dengan mereka, saya suguhkan mereka teh satu per satu, lalu saya meneruskan bacaan emas, mutiara dan cahaya ini, mereka pun bertanya, “Apa itu? Huruf-huruf apa itu?” Saya menjawab, “Ini adalah emas, permata, dan cahaya.” Saya terus membaca cukup lama, saat itu saya membaca “Kalimat Kesepuluh” Risalah Kebangkitan Kembali (Hasyr). Jika tidak faham, mereka bertanya kepada saya karena sifat ingin tahu mereka mencari tambahan ilmu. Saat itu saya menjelaskan pada mereka emas, mutiara dan cahaya-cahaya ini dengan cara yang selaras dengan pemahaman mereka. Wajah mereka membinar terang dan tambah indah menawan. Setiap kali menatap wajah mereka, saya melihat masing-masing mereka semua memiliki wajah Sa’id terakhir yang bercahaya. Mereka bertanya kepada saya, “Mana intannya, mana mutiaranya, mana cahayanya?” Saya menjawab, cahaya itu adalah membaca kitab-kitab ini. Saya bilang, “Lihatlah, keindahan dan kebaikan itu terpancar dalam diri kalian.” Mereka kemudian menatap wajah sebagian mereka, lalu mereka membenarnya saya.


Mereka kemudian bertanya, “Lalu intannya apa?” Saya menjawab bahwa intannya adalah dengan menulis kitab-kitab ini. Maksudnya, jika kalian menulis kitab-kitab ini, tulisan kalian akan sangat bernilai laksana intan. Mereka pun percaya.


Mereka juga bertanya, “Lalu permatanya apa?” Saya menjawab bahwa permatanya adalah keimanan yang kalian raih dari kitab ini. Mereka kemudian secara serentak mengucapkan kalimat syahadat.


Hampir empat jam kami menghabiskan waktu untuk pembicaraan dan dialog ini tanpa terasa. Setelah itu saya bilang pada mereka, “Inilah cahaya, intan dan permata.” Mereka percaya kata-kata saya, mereka semua menatap ke arah saya, lalu bertanya, “Siapa yang menulis kitab-kitab ini?”


363. Page

Murid Anda,

 

Syafiq

 

 

Mimpi Dzakai

 

Pagi hari ini, saya bermimpi bahwa saya serasa berada di tepi lautan jernih, berkilau, dan bersih, mirip kawasan pantai Tophane, [1] Istanbul. Sinar-sinar matahari memantul di pantai lautan besar ini, membinar indah di waktu ini yang saya kira waktu dhuha. Saya menatap lautan, lalu saya melihat seorang pemuda berenang dari arah selatan di tengah lautan, lalu menepi di pantai, setelah itu ia meletakkan pembajak yang dipikulnya di atas tanah.


Saat teman-teman kami yang ada di sana berpamitan hendak pergi, mereka semua berseru, “Seorang penunggang kuda datang, Ustadz Nursi datang. Mereka datang dari barat dengan mengarungi pantai.” Kerumunan kemudian bubar, lalu kedua sosok yang berwibawa, berwajah coklat, dan menunggangi kuda hitam ini menjauh menuju timur. Saya terjaga ketika dalam mimpi saya hampir tenggelam di laut.

 

Dzakai

 

* * *

 

 

Ditulis sesuai pembicaraan seseorang yang melihat Risalah al-Nur dengan pikiran tendensius dan tatapan yang menyaingi Risalah al-Nur

 

Jika kau bermaksud untuk memuji diri sendiri dengan membanggakan diri

Maka kau tidak lain adalah satelit bagi salah satu bintang Risalah al-Nur yang paling redup

Jangan pernah kau fikir ia (Risalah al-Nur) adalah bintang, wahai saudaraku, karena bukan hanya bumi semata

Tapi matahari juga salah satu rembulannya (Risalah al-Nur)

Risalah al-Nur tidak lama lagi akan muncul di dunia

Cahaya tidak akan redup, hanya akan tertutup saja, karena ia adalah cahaya di atas cahaya

Ia adalah cahaya, ia lautan hakikat, dan pusat petunjuk



[1] Patut diperhatikan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap beberapa murid Nur terjadi pada tanggal 25 April 1935. Jumlah murid yang menjadi tertuduh lewat putusan pengadilan adalah 117 orang di mana ada dua nama yang terulang. Dengan demikian jumlah 117 itu sama dengan lama penahanan yang berlangsung selama 117 hari, dilihat dari sejak ditangkap hingga keluarnya putusan pengadilan. Hal ini merupakan bentuk korelasi dan keselarasan indah lainnya disamping korelasi di atas.




364. Page

Bacalah:

مَنْ اَصْحَابُ الصِّرَاطِ السَّوِيِّ وَ مَنِ اهْتَدٰي

“Siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs. Thaha [20]: 135)


Bukannya saya mengeluhkan kebenaran, tujuan saya hanya menyampaikan

Dakwahku pada kebenaran sudah jelas, dan aku pun berjalan sesuai syariat

Kebenaran itu adalah Risalah al-Nur yang aku layani

Kebenaran itu adalah Risalah al-Nur, dialah tali kuat yang tidak akan terputus                                                                                                                                  

Aku berpegang teguh kepadanya, karena ia adalah petunjuk, dan inti hakikat

Mereka kemudian menempatkan kami bersama Ustadz Nursi ke tempat di mana Yusuf a.s pernah mendekam di sana

 

 

Khalil Ibrahim

 

 

Nuktah Keduapuluh Delapan

 

Dari Lama’at Keduapuluh Delapan

 

بِسْــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 لاَيَسَّمَّعُونَ اِلَي الْمَلَاِ الْاَعْلٰي وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ{ دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ{ اِلَّأ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَاَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

“Setan-setan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal. Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (Qs. al-Shaffat [37]: 8-10)

 

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطينِ

“Sesungguhnya Kami menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (Qs. al-Mulk [67]: 5)

 

Akan dijelaskan sebuah nuktah penting dari ayat-ayat di atas, dan ayat-ayat serupa lainnya, terkait kritikan para pengikut kesesatan sebagai berikut:


 Sebuah jawaban singkat atas pertanyaan penting sekali yang memiliki tiga cabang terkait ayat-ayat tersebut di atas yang menunjukkan bahwa para mata-mata jin dan setan mencuri dengar berita-berita langit. Mereka kemudian memberitahukan berita-berita dari alam gaib itu kepada orang-orang yang biasa menyampaikan hal-hal gaib, seperti dukun, para penganut faham materialisme, dan mereka yang kerjanya memanggil arwah. Tapi mata-mata jin dan setan ini dilempari panah api. Mereka dihalangi untuk mencuri dengar berita-berita 

365. Page

langit -seperti yang selalu mereka lakukan selama ini- di awal-awal turunnya wahyu agar tidak menodai wahyu dengan keraguan apa pun.

 

Pertanyaan:

Dari ayat-ayat ini, dan ayat-ayat serupa lainnya, dapat difahami bahwa para mata-mata setan merasuk ke langit yang jaraknya sangat jauh secara mutlak, agar mereka dapat mencuri dengar, meski terkait kejadian-kejadian gaib kecil parsial, dan kadang terkait kejadian sosok gaib. Juga bisa difahami bahwa setan mana pun yang mendengarkan kejadian kecil parsial tersebut secara tidak sempurna dan terputus-putus, kemudian mereka akan menyampaikannya (ke teman-teman mereka), hingga seolah-olah pembicaraan tentang kejadian kecil parsial tersebut berlangsung di seluruh penjuru langit yang luas sekali. Apakah makna yang bisa difahami dari ayat ini tidak bisa diterima akal dan hikmah?


Selanjutnya, sebagian pemilik risalah dan ahli karamah (sufi) memetik buah surga yang ada di atas langit –berdasarkan nash ayat, seakan-akan mereka memetik buah-buahan itu dari tempat yang dekat. Kadang, mereka menyaksikan surga dari dekat. Hal ini merupakan masalah jarak yang begitu jauh secara mutlak, yang bisa diraih dalam jarak yang begitu dekat secara mutlak. Ini tentu tidak bisa dicerna akal di zaman sekarang ini?


Kondisi-kondisi parsial seseorang yang parsial menjadi inti pembicaraan malaikat di langit universal yang begitu luas, tidak selaras dengan hikmah pengaturan jagad raya dan pengaturannya yang sangat bijak?


Lantas bagaimana tiga hal ini dianggap sebagai hakikat Islam?

 

Jawaban:

Pertama

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطينِ

“Sesungguhnya Kami menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (Qs. al-Mulk [67]: 5)


Pertama: Ayat mulia ini menunjukkan bahwa mata-mata golongan setan diusir dan dihalau dari langit dengan bintang-bintang.


Masalah ini sudah disebutkan dalam risalah yang disebut “Kalimat Kelimabelas” secara meyakinkan, yang memuaskan bahkan hingga kalangan materialis yang amat bandel, membuat mereka diam tak berkutik dan mendorong mereka untuk menerimanya. Penjelasan ini disampaikan dalam tujuh mukadimah kuat dan pasti, atas nama tujuh tingkat derajat.


Kedua: Kami akan menjelaskan hakekat-hakekat Islam yang dikira jauh (dari rasional) tersebut, dengan membuatkan sebuah perumpamaan agar lebih mudah difahami akal yang terbatas:


 Jika kepentingan urusan militer suatu pemerintahan ditetapkan berada di bagian timur negeri, kepentingan keadilan berada di baratnya, kepentingan pendidikan dan pengajaran berada di utaranya, kepentingan agama berada di selatannya, dan kepentingan internal berada di tengahnya, dan jika setiap kepentingan situasi-situasi yang terkait dengannya dilihat melalui hubungan komunikasi tanpa kabel, telepon, telegram, dan segala berita disampaikan melalui alat-alat ini, maka seluruh negara seakan-akan merupakan kepentingan militer padahal ia merupakan kepentingan keadilan, dan seakan-akan merupakan kepentingan

366. Page

internal padahal ia adalah kepentingan agama.


Sebagai contoh, sejumlah negara dan pemerintahan yang memilik ibukota yang berbeda-beda terkadang memiliki kekuasaan dan kepemimpinan di satu negara dilihat dari kepentingannya yang imperialistis di sana, atau karena adanya keistimewaan-keistimewaan tersendiri di sana, atau dilihat dari hubungan-hubungan perdagangan dengannya. Meski rakyat dan bangsa sama, sesungguhnya tiap pemerintahan terkait dengan rakyat tersebut dilihat dari kelebihan dan keistimewaannya, sehingga interaksi di antara pemerintahan-pemerintahan yang sangat berjauhan ini tetap terhubung satu sama lain, berdekatan di setiap rumah, melibatkan setiap individu yang ada di sana, mengatasi masalah-masalah parsialnya dalam implementasi dan pertukaran parsial yang ada di titik-titik komunikasi dan interaksi. Setiap masalah parsial tidak diproyeksi dari daerah keseluruhan. Namun ketika terjadi pembicaraan tentang masalah-masalah parsial tersebut, saat itu dibahas pula masalah lain yang dibahas dalam lingkup daerah keseluruhan, seakan masalah parsial tersebut berasal dari lingkup daerah keseluruhan karena terhubung secara langsung dengan undang-undang wilayah tersebut.


Seperti halnya kedua contoh di atas, meski langit sangat jauh sekali dilihat dari sisi ibukota dan pusat, namun ia memiliki telepon-telepon maknawi yang terbentang hingga ke dalam hati umat manusia di negeri bumi. Alam langit tidak hanya berkaitan dengan alam jasmani semata, tapi juga mencakup alam ruh dan alam malakut. Karena itulah, Dia mengetahui alam nyata dari suatu sisi di balik tirai dan tabir.


Demikian pula halnya surga yang berada di alam kekal dan negeri abadi, meski jaraknya teramat jauh secara mutlak, namun wilayah perlakuannya membentang secara nurani ke seluruh penjuru dan arah di bawah tabir alam nyata, menyebar ke sana melalui hikmah Sang Pencipta Maha Bijak Maha Agung dan qudrat-Nya.


Sebagaimana pusat indera yang Sang Pencipta Maha Bijak tempatkan di kepala manusia berbeda-beda, tapi masing-masing indera mampu mengontrol seluruh bagian tubuh dan tubuh seluruhnya, serta mampu memadukannya dalam wilayah kerjanya, demikian pula dengan jagad raya yang merupakan manusia terbesar yang memuat ribuan alam laksana lingkaran-lingkaran yang saling merasuk dan terjalin satu sama lain. Alam-alam ini menjadi pusat perhatian dilihat dari sisi universalitas kejadian dan kondisi yang terjadi di dalamnya, serta bagian-bagian partikularnya, kekhususannya, dan kebesarannya. Dengan kata lain, kejadian-kejadian partikular tersebut berada di tempat-tempat parsial yang dekat, sementara kejadian-kejadian universal yang besar berada di tempat-tempat universal yang besar. Hanya saja suatu kejadian parsial yang bersifat khusus kadang juga menguasai alam besar. Ketika telinga dipasang, kejadian tersebut bisa didengarkan. Pasukan tentara tidak hanya dimobilisasi untuk menghadapi kekuatan lawan saja, namun juga kadang untuk memperlihatkan kekuatan dan keagungan. Sebagai contoh:


 Mengingat peristiwa risalah Muhammad S.a.w dan peristiwa wahyu suci al-Qur'an merupakan kejadian paling besar dan penting di langit secara keseluruhan, bahkan di setiap penjurunya, tidak heran jika para penjaga langsung berbaris di atas kubu-kubu langit yang sangat besar, luas dan tinggi sekali. Mereka melempari setan-setan yang menjadi mata-mata dengan alat pelempar dari bintang-bintang, serta mengusir mereka. Al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat, dengan memperlihatkan langit dalam kondisi dan gambaran seperti ini, bermaksud menjelaskan bahwa bintang-bintang dijatuhkan, dilemparkan, dan dilontarkan ke setan-setan paling banyak di masa (risalah) tersebut dan di waktu tersebut sebagai isyarat 

367. Page

rabbani yang memberitahukan sejauh mana keagungan wahyu al-Qur'an dan wibawa kekuasaannya, sejauh mana kebenaran al-Qur'an yang tak terdapat syubhat di dalamnya. Al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat dengan perannya menerjemahkan dan menggambarkan pemberitahuan takwini tersebut, dan mengumumkannya, serta menunjukkan pada isyarat-isyarat langit tersebut.


Ya. Ketika setan mata-mata dimungkinkan diusir dengan tiupan salah seorang malaikat, maka deskripsi al-Qur'an tentang peristiwa ini sebagai pertarungan antara setan mata-mata dengan para malaikat melalui cara isyarat langit seperti ini, itu pasti dimaksud untuk menampakkan keagungan kuasa wahyu al-Qur'an dan wibawanya.


Penjelasan al-Qur'an yang menggentarkan dan mobilisasi langit yang besar ini bukan untuk menjelaskan bahwa jin dan setan punya kemampuan dan intervensi yang mendorong para penghuni langit untuk bertarung dengan mereka dan membela melawan mereka, tapi semata untuk mengisyaratkan tidak adanya intervensi jin dan setan di posisi mana pun pada jalur panjang yang membentang dari hati Muhammad S.a.w ke alam langit, bahkan sampai Arsy terbesar.


Dengan demikian, al-Qur'an mengisyaratkan bahwa wahyu al-Qur'an adalah hakikat yang diperbincangkan semua malaikat di langit besar, hingga setan terpaksa naik hingga ke langit, hanya saja mereka tidak mendapatkan apa pun, bahkan malah mereka dilempari dan dilontari. Melalui isyarat ini, al-Qur'an yang bayangnya penuh mukjizat mengabarkan bahwa wahyu yang turun ke hati Muhammad S.a.w, bahwa Jibril a.s yang membawa wahyu ke diwan Muhammad S.a.w, hakikat-hakikat gaib yang tampak di pandangan Muhammad S.a.w, semuanya benar, tak menerima sedikit pun syak dan keraguan.


Adapun soal melihat surga di tempat terdekat dan kadang memetik buah surga meski tempatnya amat jauh dari kita, karena surga berada di alam baka, jelasnya demikian:


 Sebagaimana tampak jelas melalui rahasia kedua contoh pertama di atas, alam fana dan alam nyata adalah tirai dan penghalang alam gaib dan negeri abadi. Seperti halnya melihat surga di tempat mana saja bisa mungkin terjadi melalui perantara cermin alam perumpamaan, meski pusatnya yang besar amat jauh sekali, demikian pula mungkin saja surga –yang tak bisa dimisalkan– memiliki semacam daerah dan wilayah kedudukan di alam fana ini melalui perantara iman yang mencapai tingkatan haqqul yaqin. Dimungkinkan pula ruh-ruh yang luhur dan tinggi memiliki hubungan dengan surga melalui telepon-telepon hati, dan mungkin juga hadiah-hadiah surga datang dari sana.


Adapun soal penjelasan di tafsir-tafsir tentang hubungan wilayah universal dengan kejadian personal parsial, maksudnya setan-setan naik ke langit dan mencuri dengar untuk medapatkan berita-berita gaib lalu mereka sampaikan kepada para dukun, membawa berita-berita keliru, kurang, dan tidak lengkap, maka hakikatnya sebagai berikut:


Hal itu bukan berarti setan naik ke ibukota negeri langit dan menerima berita parsial tersebut. Bahkan, negeri-negeri langit yang mencakup ruang udara juga memiliki pos-pos seperti lubang, yang tak bisa dicontohkan. Di pos-pos inilah langit berlangsung komunikasi dengan negeri bumi, di mana setan mencuri dengar (info) peristiwa-peristiwa parsial melalui pos-pos parsial ini. Bahkan hati manusia juga merupakan salah satu tempat tersebut, di mana setan khasnya bertarung dengan malaikat ilham di tempat tersebut.


 Adapun hakikat iman dan hakikat al-Qur'an, serta peristiwa-peristiwa Muhammad S.a.w, meskipun bersifat parsial tapi al-Qur'an Karim menjelaskannya seakan-akan ia suatu peristiwa terbesar dan dan terpenting universal, dan bahwa pembahasan dan perbincangan 

368. Page

tentangnya berlangsung di setiap sudut di antara sudut-sudut jagad raya, serta seolah-olah ia –yang tak bisa dimisalkan– tersebar di lembaran-lembaran maknawi yang berisi takdir jagad raya dalam wilayah Arsy agung, juga dalam wilayah langit, yang keduanya merupakan wilayah paling universal. Itu juga menunjukkan bahwa setan sama sekali tidak punya cara selain mencuri dengar dari langit. Sebab, tidak ada kemungkinan mereka melakukan intervensi dalam segala sesuatu, mulai dari hati Muhammad S.a.w hingga ke wilayah Arsy yang agung.


Demikianlah, al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat memaklumkan dan menjelaskan, melalui cara yang sangat fasih (baligh), bahkan dengan gaya bahasa yang mengandung mukjizat, betapa luhur dan tinggi martabat kebenaran wahyu al-Qur'an dan nubuwah Muhammad S.a.w. Dan bahwa, sama sekali tidak mungkin kesalahan dan tipu daya apa pun bisa mendekati al-Qur’an dan nubuwah tersebut dengan cara apa pun.

 

سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ

Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)

 

Sa’id Nursi