LAMA'AT KEDUA PULUH EMPAT

236. Page

LAMA'AT KEDUDA PULUH EMPAT

 

Seputar Hijab

 

Lama’at ini semula merupakan “masalah kedua” dan “masalah ketiga” dari “Catatan Kelimabelas” (dalam kitab al-Lama’at). Namun, ia kemudian dijadikan “Lama’at Keduapuluh Empat” didasarkan atas nilai pentingnya.

 

بِسْـــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 

يَا اَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِاَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنينَ يُدْنينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبيبِهِنَّ

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” (Qs. al-Ahzab [33]: 59)


Ayat mulia ini memerintahkan (kaum muslimah) untuk menggunakan hijab. Tapi, peradaban rendahan memiliki pandangan yang berlawanan dengan hukum al-Qur'an ini. Mereka berpendapat, hijab bukanlah sesuatu yang bersifat fitrah, tapi bisa disebut sebagai pengekangan.[1]


Jawaban: Kami akan menjelaskan empat di antara sekian banyak hikmah yang menunjukkan bahwa hukum al-Qur'an ini bersifat fitriah secara sempurna, dan bahwa apa pun yang menyalahi hukum al-Qur'an tidak bersifat fitriah.


Hikmah Pertama:

Hijab merupakan fitrah bagi kaum wanita. Fitrah mereka mengharuskan untuk berhijab. Karena kaum wanita menurut kodrat penciptaannya lemah dan lembut, serta memerlukan perlindungan dan bantuan lelaki yang bisa menjaga mereka, bisa melindungi dan membantu anak-anak yang mereka cintai melebih kehidupan mereka sendiri, maka mereka memiliki kecenderungan alami untuk dicintai, tidak sudi dipaksa oleh orang lain, serta tidak suka dihina dan dibenci oleh pihak lain.


Selanjutnya, enam atau tujuh dari sepuluh wanita, mungkin karena sudah tua atau berwajah buruk dan keriput, tidak ingin jika ketuaan dan kejelekan paras muka mereka terlihat oleh semua orang, atau khawatir jika mereka jika mendapat perlakuan semena-mena dan tidak mendapat perhatian, maka secara fitrah dan alami mereka ingin mengenakan hijab demi menghindari perlakuan semena-mena dan dituduh berkhianat di mata suami mereka. Bahkan jika dicermati, akan ditemukan sebagian besar wanita yang cenderung menutupi tubuh mereka dari dilihat orang lain adalah para wanita tua.


[1 Berikut sebuah pledoi yang diajukan kepada Mahkamah Banding yang membuat Mahkamah diam tidak bisa menjawab:

Saya katakan kepada Mahkamah, “Jika di muka bumi ini ada keadilan, tentu akan ditolak adanya putusan mahkamah zalim yang memenjarakan seseorang hanya karena menjelaskan hukum suci ilahi yang memiliki hakikat mendalam dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin dengan populasi mencapai 350 juta di setiap abadnya selama 1.350 tahun, berdasarkan pembenaran dan kesepakatan 350 ribu tafsir, juga mengacu pada keyakinan para pendahulu kami dalam rentang waktu 1.350 tahun. Keadilan tersebut pasti akan membatalkan putusan ini.” (Penulis)




237. Page

Mungkin ada sekitar dua atau tiga dari sepuluh wanita muda dan yang berparas cantik tidak risih untuk memperlihatkan kecantikan mereka. Meski seperti dimaklumi, orang tentu merasa tidak berkenan jika dilihat orang yang tidak mereka sukai, serta merasa keberatan dan terpengaruh dengan itu. Karena itu, tak diragukan lagi bahwa wanita cantik yang berhias modis dan tidak menutup kepala, jika ingin dilihat oleh dua atau tiga di antara sepuluh lelaki yang bukan mahram, ia tetap tidak ingin dilihat oleh tujuh atau delapan dari sepuluh lelaki. Wanita cantik yang akhlaknya tidak rusak dan tidak bejat, karena sensitif dan mudah terpengaruh, akan merasa tidak berkenan oleh tatapan-tatapan beracun dan nakal yang pengaruhnya bisa berimbas secara fisik. Bahkan kami mendengar, banyak sekali wanita di Eropa, yang merupakan pusat kecantikan dan mode, merasa keberatan oleh tatapan-tatapan yang selalu mengintai. Mereka melapor ke pihak polisi, “Orang-orang hina itu terus menatapi dan mengganggu saya.”


Dengan demikian, mengabaikan hijab yang diberlakukan peradaban (modern) menyalahi fitrah. Perintah al-Qur'an untuk berhijab, di samping itu merupakan fitrah, bisa menyelamatkan para wanita yang merupakan sumber kasih sayang, dan yang mungkin akan menjadi pendamping setia suami mereka untuk selamanya, serta menyelamatkan diri dengannya agar tidak terjatuh, terhina, menjadi tawanan secara maknawi, dan dinista.


Selanjutnya, para wanita secara naluri memiliki rasa takut kepada lelaki-lelaki asing (bukan mahram). Rasa takut ini sesuai fitrah mengharuskan wanita untuk mengenakan hijab. Sebab, ada beban berat kehamilan bayi (yang harus ditanggung wanita) selama delapan atau sembilan bulan yang dihasilkan dari kenikmatan (seks luar nikah) yang dirasakan selama delapan atau sembilan menit. Selain itu, terdapat kemungkinan ia menanggung perawatan anak yang tidak punya pelindung (ayah), menanggung beban berat selama delapan hingga sembilan tahun akibat kenikmatan tidak sesuai syariat yang berlangsung hanya delapan atau sembilan menit.


Kasus-kasus seperti ini, yang banyak terjadi karena perbuatan para lelaki bukan mahram, tentu saja secara fitrah menakutkan bagi para wanita. Kodrat mengharuskan para wanita untuk menjauhi (para lelaki demikian). Maka, sifat wanita yang lemah mewajibkan diri, dengan mengenakan hijab, agar hendaknya mereka tidak memicu libido para lelaki yang bukan mahram, tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbuat semena-mena, mengingatkan mereka dengan kuatnya pada hal tersebut, dan menjelaskan bahwa parit pelindung dan benteng kokoh mereka adalah jilbab.


Sesuai informasi yang sampai ke telinga saya, salah seorang perancang sepatu sangat modis pada suatu siang melintas di hadapan para warga ibukota pusat pemerintahan[1] bersama istri salah seorang pejabat besar dengan kedua betis terbuka. Ini merupakan tamparan keras tak tahu malu ke muka orang-orang yang menentang hijab.


Hikmah Kedua:

Ikatan kuat, hubungan kokoh, dan cinta berat mendalam antara seorang wanita dan lelaki bukan hanya muncul karena kebutuhan kehidupan duniawi semata.


Ya, wanita bukan hanya pendamping hidup suaminya dalam kehidupan dunia saja, tapi ia adalah pendamping dalam kehidupan abadi pula. Mengingat dia akan menjadi pendamping suaminya hingga kehidupan abadi, maka wajib baginya untuk tidak menarik




[1] Maksudnya, Ankara.



238. Page

perhatian para lelaki selain suaminya, yang merupakan pendamping dan kekasih abadi baginya, untuk menatap keindahan-keindahan yang dimilikinya. Juga wajib baginya untuk tidak memicu kecemburuan dan ghirah sang suami. Mengingat hubungan suaminya yang beriman dengannya –berdasarkan rahasia keimanan- tidak hanya sebatas dalam kehidupan dunia saja, juga bukan cinta hewani sesaat dan hanya selama ketika si istri masih terlihat cantik dan molek saja, tapi merupakan ikatan cinta dan penghormatan serius dan kokoh, sebab istri juga akan merupakan pendamping dalam kehidupan abadi pula. Dia memiliki cinta dan penghormatan itu tidak hanya berlaku saat si wanita masih muda dan terlihat cantik saja, tapi terus berlaku hingga ia berusia tua dan keriput. Karena itu semua, istri harus membatasi keindahan-keindahan dirinya hanya untuk dilihat suami saja, dan cukup membatasi cinta pada suami saja, karena hal itu sudah merupakan tuntutan kemanusiaan. Jika tidak, wanita hanya akan mendapatkan keuntungan kecil, dengan kerugian besar.


Suami tentu harus berlaku kufu’ pada istrinya secara syar’i. Maksudnya, hendaknya saling selaras satu sama lain. Dan syarat utama dalam berlaku kufu’, kesetaraan, dan persamaan adalah agama.


Beruntung suami yang melihat keagamaan istrinya dan ketakwaannya lalu dia menirunya, serta selalu berpegangan pada agama agar tidak kehilangan pendamping dalam kehidupan abadi. Alangkah bahagianya seorang istri yang melihat keagamaan suami dan ketakwaannya, lalu ia berpegangan pada ketakwaan itu agar dia tidak kehilangan pendampingnya yang abadi.


Betapa celaka suami yang melakukan hal-hal bodoh yang membuatnya kehilangan istri shalihah untuk selamanya. Betapa sengsara istri yang tidak mengikuti suaminya yang bertakwa, hingga akhirnya kehilangan pendamping yang diberkahi.


Seribu kali celaka bagi pasangan suami-istri sengsara yang saling mengikuti satu sama lain dalam berbuat fasik dan bodoh, dan saling mendorong satu sama lain ke neraka!


Hikmah Ketiga:

Kebahagiaan keluarga dalam kehidupan akan tetap bertahan selama masih ada kepercayaan, keikhlasan, penghargaan, dan cinta secara timbal-balik antara suami-istri.


 Adapun tidak mengenakan penutup kepala, bersolek minim, dan menanggalkan hijab, itu bisa merusak kepercayaan tersebut, merusak penghargaan tadi, dan mengotori kesucian cinta timbal-balik itu. Dari sepuluh wanita yang tidak mengenakan penutup kepala dan modis, hanya ada satu saja yang menilai tidak ada lelaki yang lebih tampan dari suaminya, sehingga dia tidak berusaha untuk dicintai lelaki lain. Sementara sembilan lainnya menilai ada lelaki lain yang lebih baik dari sang suami. Sebaliknya, di antara duapuluh lelaki, hanya ada satu yang menilai ada wanita lain yang lebih cantik dari istrinya. Saat itulah keikhlasan, cinta, dan penghargaan satu sama lain lenyap, bahkan lebih dari itu bisa menjadi penyebab yang memicu perasaan keji, buruk, dan hina. Itu karena, pada umumnya secara fitri orang tidak memiliki hasrat syahwat terhadap perempuan mahram, seperti terhadap saudara perempuan sendiri, karena wajah-wajah wanita mahramnya dirasakannya dengan kasih sayang dan cinta yang dibenarkan oleh syariat disebabkan adanya ikatan kekerabatan dan kemahraman (kesucian), sehingga kecenderungan nafsu syahwat dan seksual bisa terputus. Namun menyingkap bagian-bagian tubuh tertentu yang tidak boleh disingkap secara syar’i, seperti betis misalnya, meski di hadapan mahram sendiri, kadang bisa memicu perasaan hina dalam jiwa yang hina pula, karena wajah mahram merasakan kemahraman, tidak sama dengan wajah bukan mahram. Tapi betis yang 

239. Page

tersingkap, misalnya, di situ tak bisa dibedakan antara (betisnya) wanita mahram dan bukan mahram, dan tidak punya kaitan pembeda yang memberitahukan tentang kemahraman. Karena itu, kadang hal itu memicu hasrat tatapan liar hewani di sebagian jiwa-jiwa yang hina. Tatapan seperti ini menunjukkan jatuhnya nilai manusia yang membuat kulit gemetar dan bulu roma meremang.


Hikmah Keempat:

Seperti dimaklumi, memiliki banyak keturunan merupakan harapan semua orang. Tidak ada bangsa atau pemerintahan kecuali pasti mendukung usaha untuk memperbanyak anak dan keturunan. Bahkan Rasul mulia S.a.w bersabda: تَنَاكَحُوا تَكَاثَرُوا فَاِنّي اُبَاهي بِكُمُ الْأُمَمَ (“Menikahlah kalian dan perbanyaklah keturunan, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat),”[1] atau seperti yang beliau sampaikan.


Namun, menanggalkan hijab bukannya meningkatkan jumlah pernikahan, justru semakin banyak mengurangi. Sebab, pemuda yang paling rusak akhlaknya dan paling fasik justru menginginkan pendamping hidupnya yang bisa menjaga diri, tidak menginginkan istri sepertinya, atau pun wanita yang tidak berhijab, hingga memaksanya untuk terus membujang, bahkan kadang terdorong untuk berbuat zina. Adapun wanita, tidaklah demikian halnya. Sebab, dia tidak bisa banyak menentukan suaminya. Hal itu karena wanita diperintahkan untuk menjaga semua harta dan anak-anak si suami, atau semua hal khusus lain berkenaan dengan posisinya sebagai pengurus segala urusan internal dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, sifat istri yang paling mengakar dalam-dalam adalah keikhlasan, kesetiaan, dan kepercayaan. Sementara menanggalkan hijab dan tidak mengenakan penutup kepala tentu saja merusak keikhlasan dan kesetiaan, membuatnya kehilangan kepercayaan di mata suaminya, dan membuatnya mengalami siksa batin.


Bahkan keberanian dan murah hati yang merupakan sifat baik bagi lelaki, jika dimiliki seorang wanita justru akan menjadi budi pekerti buruk, karena kedua sifat ini membahayakan dan merusak kepercayaan, kesetiaan, serta keikhlasan, sehingga keduanya akan dianggap termasuk sifat buruk yang tercela. Namun, tugas seorang suami tidak sebatas menjaga harta istri dan tulus ikhlas kepadanya, tapi termasuk juga harus melindungi, menyayangi, dan menghormati si istri. Karena itu, lelaki tidak berada dalam batasan dan ikatan tertentu. Bahkan dia bisa menikah dan kawin lagi dengan wanita-wanita lain.


kita ini tidak bisa dibandingkan dengan Eropa, karena kehormatan di sana memang dijaga dalam batas tertentu, di tengah-tengah dandanan kosmetik dan busana telanjang kepala, melalui cara-cara kekerasan seperti perang tanding. Lelaki yang ingin menatap secara lepas istri orang terhormat yang jiwanya mulia, harus lebih dulu mengalungkan kain kafan di lehernya, setelah itu baru bisa melihat. Di samping itu juga karena faktor geografis Eropa yang merupakan negara dingin dan beku. Adapun Asia –benua dunia Islam– ia bersuhu panas jika dibanding negara-negara dingin tersebut. Seperti diketahui, lingkungan turut berpengaruh terhadap budi pekerti manusia. Dandanan kosmetik dan busana telanjang kepala untuk membangkitkan gairah hewani (seksual) dan


[1] Hadits ini diriwayatkan dalam bentuk matan yang berbeda-beda. Baca: Mustadrak Hakim, hadits nomor 2685, Abdurrazzaq, hadits nomor 1039, al-Nasa`i dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 5342, Abu Dawud, hadits nomor 2050, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 13235, al-Nasa`i, hadits nomor 3227, Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 5099 dan al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 508, Imam Ahmad dalam Musnadnya, hadits nomor 12634 dan 13593.




240. Page

menggerakkan nafsu syahwat bagi orang-orang yang kedinginan tersebut mungkin tidak banyak memicu perilaku buruk dan sikap berlebihan. Namun, dandanan kosmetik dan busana telanjang kepala yang senantiasa menimbulkan gairah dan dorongan nafsu bagi masyarakat yang sensitif dan mudah terpengaruh di negara-negara bersuhu panas, tentu bisa memicu perilaku buruk, sikap berlebihan, menurunnya angka kelahiran dan keturunan, serta melemahkan dan menghancurkan kekuatan, sehingga ada lelaki yang mengira dirinya terpaksa harus berlebihan dalam melakukan hubungan badan dalam jangka waktu beberapa hari saja, padahal kebutuhan normal untuk berhubungan badan adalah sekali dalam sebulan atau setiap dua puluh hari sekali. Selain itu, dia terpaksa harus menjauhi istri selama lima belas hari setiap bulan karena adanya sejumlah halangan seperti haid, hingga akhirnya dia cenderung berbuat zina jika tidak bisa menguasai diri.


Di samping itu, penduduk perkotaan tidak mungkin menanggalkan hijab jika mengacu pada kondisi orang-orang perkampungan dan pedalaman, sebab beban hidup membuat orang-orang perkampungan dan pedalaman selalu sibuk bekerja, memaksa mereka bekerja dengan kekuatan fisik, yang membuat badan jadi letih. Dalam kondisi seperti ini hasrat syahwat lazimnya tidak terpicu oleh hal-hal sederhana seperti tersingkapnya sebagian tubuh para pekerja wanita tak berdosa dan kaum buruh wanita, yang tidak menarik perhatian jika dibandingkan dengan wanita-wanita perkotaan. Di perkampungan-perkampungan, tidak ada lelaki dungu pengangguran, kecuali hanya sedikit sekali. Karena itu di perkampungan tidak terdapat kerusakan-kerusakan moral seperti yang terjadi di perkotaan, meski hanya sepuluh persen saja. Jadi, tak bisa diperbandingkan antara kota dan desa.

 

Masalah penting yang tiba-tiba diilhamkan kepada saya

 

Bisa difahami melalui sejumlah riwayat hadits bahwa mereka yang akan memainkan peran penting dalam fitnah akhir zaman adalah sekelompok wanita dan fitnah yang akan mereka timbulkan.[1]


Ya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sejarah, di masa lampau terdapat sekelompok pasukan tentara yang terdiri dari para wanita yang sangat mahir menggunakan peralatan perang. Pasukan ini dinamai “Wanita Amazon,”[2] yang sering melancarkan serangan secara membabi-buta. Demikian pula halnya dengan para wanita berpakaian namun telanjang dalam perang kesesatan atheis terhadap Islam pada masa sekarang. Mereka merupakan kelompok paling berbahaya yang menyerahkan tali komando kepada setan melalui langkah-langkah strategi nafsu amarah. Mereka menipu orang-orang beriman dan menyerang mereka dengan betis-betis telanjang yang seakan-akan pisau tajam.



[1]  Disebutkan dalam kitab Shahih Muslim (IV/2098) hadits nomor 2742: Muhammad bin Mutsanan bercerita kepada kami, Muhammad bin Basysyar bercerita kepada kami, Muhammad bin Ja’far bercerita kepada kami, Syu’bah bercerita kepada kami, dari Abu Maslamah, yang mengatakan, “Aku mendengar Abu Nadhrah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi Saw, beliau bersabda, ‘Sungguh dunia itu manis dan hijau ranau, dan Allah menunjuk kalian sebagai khalifah di sana, lalu melihat bagaimana amal kalian. Maka jagalah diri kalian dari dunia dan jagalah diri kalian dari wanita, karena fitnah pertama Bani Israil adalah wanita’.” Hadits Ibnu Basyar menyebutkan, “Agar Dia melihat bagaimana amalan kalian.”

[2] Dalam dongeng Yunani, disebutkan seorang wanita petarung yang disebut Amazon. Konon, saat itu ada sekelompok prajurit wanita yang disebut wanita-wanita Amazon, mereka menggunakan berbagai macam persenjataan dalam perang. Sejarah peperangan Yunani dihiasi oleh kelompok-kelompok wanita ini yang berperang bersama bangsa Yunani. Sebagian peneliti menyatakan, nama sungai Amazon dikaitkan dengan mereka ini.




241. Page

Mereka mampu menawan hati banyak orang dalam sekejap mata, menyerang hati dan ruhani mereka dengan dosa-dosa besar. Mereka berusaha sekuat tenaga menutup rapat-rapat pintu pernikahan serta memperlebar jalan menuju kompleks pelacuran dan perzinaan. Bahkan mereka mampu membunuh sebagian hati ini. Itulah mengapa wanita berbikini yang berpisau ini akan menjadi kayu bakar neraka. Sebelum membakar apa pun, mereka membakar diri sendiri, sebagai balasan setimpal karena memperlihatkan kemolekan kaki di hadapan hawa nafsu orang bukan mahram selama bertahun-tahun. Mereka tidak menemukan suami yang cocok seperti yang mereka inginkan, padahal secara fitrah mereka sangat membutuhkannya. Itu semua disebabkan karena mereka kehilangan kepercayaan, ketulusan dan keikhlasan di dunia. Bahkan sekali pun mereka sudah menemukannya, itu akan menjadi musibah bagi mereka.


Bahkan bisa difahami dari sejumlah riwayat hadits bahwa, sebagai akibat dari kondisi seperti ini, mereka akan menjadi orang-orang tak berharga, tanpa siapa pun yang menjaga dan menemani, serta tak lagi bernilai hingga batas ketika di akhir zaman nanti satu orang lelaki akan menjaga empat puluh wanita di sebagian tempat, karena tidak adanya minat atau pun perhatian untuk menikah.[1]


Mengingat faktanya demikian, dan setiap orang yang berparas rupawan menyukai kecantikannya itu, serta berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya sebisa mungkin dan tidak ingin layu, juga mengingat rupa yang elok merupakan suatu nikmat, maka secara maknawi nikmat itu akan terus meningkat selama masih ada rasa syukur. Sebaliknya itu akan berubah dan menjadi buruk jika tidak ada rasa syukur.


Jika wanita berparas cantik memiliki akal, tak syak tentu ia akan menghindar sekuat tenaga dari menggunakan kecantikan dan kemolekannya demi memperoleh keburukan, menghindar dari mempengaruhi orang lain untuk memperoleh (keburukan) itu, menghindar dari menjadikan kecantikan dan keelokannya sebagai kecantikan dan kemolekan yang buruk dan beracun, serta menghindar dari mengubah keduanya menjadi penyebab siksa baginya karena mengingkari nikmat. Wanita yang berakal akan mensyukuri nikmat paras cantik dengan menggunakan kecantikan fana yang hanya akan berlangsung selama lima atau sepuluh tahun itu untuk hal-hal yang dibolehkan syariat, sehingga menjadikan kecantikannya tetap abadi. Jika tidak, ia akan menjadi beban berat bagi orang lain dalam rentang waktu lama saat sudah menginjak usia tua, dan dia akan menangis layaknya wanita putus asa.


Sementara jika kecantikan itu dihiasi dengan adab al-Qur'an dalam lingkup tarbiyah Islam, kecantikan fana itu akan secara maknawi menjadi abadi, dan akan memberikan kepada si pemiliknya keindahan dan keelokan yang lebih lembut dan lebih mekar dibanding kecantikan bidadari surga. Hal ini sudah disebutkan secara pasti dan qath’i di dalam hadits-hadits mulia.


Jika memang para wanita cantik tersebut mempunyai akal meski cuma sekecil atom, maka buah yang begitu indah, menawan, lembut, dan abadi ini pasti tidak akan lepas dari tangannya.



[1] Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari (I/43); bab“Lenyapnya ilmu dan munculnya kebodohan,” Rabi’ah mengatakan, “Siapapun yang memiliki ilmu, ia tidak patut menyia-nyiakan diri (karena aku pernah mendengar hadits berikut); Musaddad bercerita kepada kami, ia berkata, ‘Yahya bercerita kepada kami, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas, ia mengatakan, ‘Maukah kalian kuberitahu suatu hadits, tak seorang pun yang akan menyampaikan hadits ini pada kalian sepeninggalku; aku pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Di antara tanda-tanda kiamat; minimnya ilmu, kebodohan muncul, perzinaan muncul, wanita banyak jumlahnya sementara lelaki sedikit, hingga satu lelaki mengurus limapuluh wanita’.”