NAVIGATION
266. Page
LAMA’AT KEDUA PULUH ENAM
Risalah Orang Tua
Ini terdiri dari duapuluh enam harapan, cahaya, dan hiburan.
Perhatian: Tujuan saya menulis kesedihan-kesedihan maknawi di bagian awal setiap harapan dalam gaya bahasa yang amat memilukan yang membuat Anda merasa sedih dan murung, adalah untuk memperlihatkan pengaruh luar biasa dari pengobatan yang bersumber dari al-Qur'an Hakim.
Lama’at yang secara khusus membahas tentang para orang tua lanjut usia (lansia) ini tidak dapat menjaga cara penyampaian yang baik dikarenakan sejumlah sebab berikut:
Pertama: Karena risalah ini secara khusus berkenaan dengan peristiwa dan kasus yang terjadi dalam kehidupan pribadi saya, dan ditulis dengan cara menengok –melalui khayalan – ke masa-masa terjadinya peristiwa dan kasus tersebut, sehingga ia tidak dapat menjaga keteraturan penyampaian, dan keselarasannya.
Kedua: Risalah ini ditulis dengan cepat di tengah-tengah kondisi yang memaksa setelah shalat Fajar, di mana saat itu saya merasa sangat letih sekali. Karena itu tampak adanya kekacauan pada kata-kata dan gaya bahasanya.
Ketiga: Saat menyusun risalah ini, tidak ada orang lain bersama saya yang siap menuliskannya untuk saya. Penulis yang biasa bersama saya saat itu juga tengah sibuk dengan tugas-tugas dan banyak kepentingan terkait dakwah Risalah al-Nur, sehingga saya tidak memiliki waktu memadai untuk mengevaluasi dan merevisinya. Karena itu, mungkin ada sedikit ketidakselarasan dalam risalah ini.
Keempat: Saya dan juga penulis merasa keletihan setelah menyusun kitab, akhirnya kami hanya cukup mengevaluasi dan merevisi sepintas lalu tanpa mencermati maknanya secara mendalam. Karena itu, pasti akan ditemukan beberapa kekurangan dalam cara penyampaian.
Saya berharap para orang tua terhormat agar bersedia memperhatikan dengan lapang dada dan penuh penerimaan atas segala kekurangan saya terkait gaya bahasa dan cara penyampaian, dan saya berdoa semoga para orang tua yang penuh berkah berkenan menyebut nama saya dalam doa-doa kala mereka mengangkat tangan dengan penuh ketundukan mengharapkan rahmat ilahi di mana tangan-tangan mereka tak akan ditolak dengan hampa.
Sa’id Nursi
267. Page
بِسْـــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ
كهٰيٰۤعۤصۤ{ ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا{ اِذْ نَادٰي رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا{ قَالَ رَبِّ اِنّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنّي وَاشْتَعَلَ الرَّاْسُ شَيْبًا وَلَمْ اَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Kaf Ha Ya 'Ain Shad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku’.” (Qs. Maryam [19]: 1-4)
Lama’at ini mengungkap dua puluh enam harapan.
Harapan Pertama:
Wahai saudara sekalian orang tua yang terhormat! Wahai siapa pun yang telah mencapai usia kesempurnaan.
Saya juga sudah tua renta seperti halnya Anda. Saya akan menuliskan sebagian kondisi yang saya lalui, dan apa saja harapan yang saya temukan dari waktu ke waktu selama masa tua ini, dengan harapan mudah-mudahan saya turut bersama Anda berada dalam cahaya hiburan di balik harapan-harapan itu. Hanya saja cahaya-cahaya yang saya lihat, juga pintu-pintu harapan yang saya hadapi ini sudah dilihat dan dibuka sesuai kesiapan saya yang tidak sempurna dan terganggu. Namun kesiapan-kesiapan Anda yang jernih dan murni insya Allah akan semakin menambah terang cahaya yang saya lihat sebagai cahaya di atas cahaya, dan (menambah terang) harapan yang saya temukan sebagai kekuatan di atas kekuatan, karena sumber semua harapan dan cahaya yang datang, serta tambang dan mata airnya, tak lain berasal dari keimanan semata.
Harapan Kedua:
Ketika telah memasuki usia senja, saya melihat ke dunia dari puncak gunung yang tinggi pada suatu hari waktu asar di musim gugur. Saya dikejutkan oleh sebuah kondisi yang amat menyedihkan sekaligus membuat iba di suatu sisi, dan berada dalam kegelapan yang begitu pekat di sisi lain. Saya melihat diri saya sudah tua. Siang hari ini juga sudah tua, seperti itu juga dengan tahun sudah tua, dan dunia sudah tua. Kondisi penuaan ini sangat mengguncang diri saya, karena masa perpisahan dengan dunia, perpisahan dari orang-orang tercinta dan dari apa pun yang saya cintai, sudah mendekat seiring segala jenis masa tua ini. Saat berada dalam situasi ini, tanpa diduga tiba-tiba rahmat ilahi terlihat dalam bentuk yang mengubah kesedihan mendalam dan perpisahan lembut itu menjadi cahaya harapan yang kuat dan menjadi hiburan yang mencerahkan.
Ya. Wahai para orang tua seperti saya!
Rahmat Sang Pencipta kita Yang Maha Penyayang memperkenalkan diri-Nya pada kita di dalam al-Qur'an Hakim sebanyak seratus kali dengan menyebut dua sifat “al-Rahman al-Rahim.” Dia mengirim rahmat-Nya sebagai bantuan bagi makhluk hidup yang senantiasa memohon rahmat di bumi. Dia menolong kita –kita yang membutuhkan rizki- setiap tahun dengan (mengirimkan) musim semi dari alam gaib yang dipenuhi beragam nikmat dan hadiah yang tak terhitung dan tak terbatas. Dia menampakkan mutiara rahmat-Nya lebih banyak
268. Page
setiap kali kelemahan dan ketidakberdayaan kita lebih banyak. Ya, rahmat Sang Pencipta kita Yang Maha Penyayang adalah harapan terbesar dan cahaya paling kuat bagi kita yang berada di masa tua seperti ini.
Adapun cara menemukan dan meraih rahmat ini adalah dengan melalui intisab (menisbahkan diri) kepada al-Rahman tersebut dengan beriman kepada-Nya, menunaikan kewajiban-Nya, dan taat kepada-Nya.
Harapan Ketiga:
Kala saya terjaga dari tidur di malam masa muda di pagi hari masa tua, saya menatap diri ini, lalu saya dapati tubuh saya ini bergerak dengan cepat ke arah kuburan, seakan-akan meluncur dengan derasnya dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Saya lihat tubuh saya yang merupakan rumah dan tempat bernaung bagi jiwa saya ini, setiap hari batu demi batu usia saya runtuh, hingga termakan dan merintih, seperti yang disampaikan Niyazi Al-Mishri:[1]
Tiap hari, sebongkah batu dari bangunan usiaku runtuh ke tanah
Sementara ruh terlelap dan lalai,
ia tak menyadari rumahnya runtuh,
tak menyadari dan tidak tahu.
Segala angan, hasrat keinginan, dan obsesi saya yang terkait erat dengan dunia mulai terputus. Saya pun merasa saat-saat perpisahan dengan orang-orang tercinta dan teman-teman yang terhitung begitu banyak, sudah kian dekat. Saya akhirnya mencari obat luka maknawi yang menganga lebar ini, yang terlihat seakan tidak ada obatnya, namun tidak jua saya temukan. Saya sekali lagi berkata seperti yang dikatakan Niyazi al-Mishri;
Hati menginginkan hidup selamanya
Sementara Zat Al-Haq telah menakdirkan kefanaan ke atas tubuhku
Penyakit berat telah menggerogoti
Namun orang bijak[2] yang paling berkilau itu tak tahu apa obatnya
Tiba-tiba, saya melihat nur cahaya Rasulullah S.a.w yang merupakan lisan rahmat ilahi, teladannya, wujudnya, penunjuknya, dan pelaksananya. Saya pun melihat syafaat beliau, juga hidayah dari hidayah-hidayah beliau yang disampaikan kepada umat manusia, tampak sebagai obat manjur dan obat penawar yang berguna untuk luka menganga lebar yang saya kira tak bisa diobati itu. Ia mengubah keputus-asaan yang saya rasa amat kelam menjadi harapan yang bersinar terang.
Ya. Wahai para orang tua, wahai orang-orang yang dimuliakan, yang merasakan masa tua mereka seperti saya ini!
Kita pasti pergi dan berlalu. Sama sekali tak ada gunanya lalai. Mereka tidak akan membuat kita bertahan hidup di sini kala kita telah memejamkan mata kita. Manusia semuanya digiring dengan cepat. Hanya saja kerajaan Barzakh yang terlihat seakan gelap, rumah asing, tempat perpisahan yang disebabkan kelalaian, yang disebabkan waham kegelapan-kegelapan yang berasal dari para pengikut kesesatan, pada hakikatnya adalah tempat perkumpulan orang-orang tercinta. Barzakh adalah alam yang mempertemukan kita
[1] Pujangga berkebangsaan Turki, tokoh sufi besar, lahir di Turki pada 1618 M dan meninggal pada 1693 H., di salah satu kepulauan Yunani, dan dimakamkan di sana. Dia adalah pendiri Tarekat Mishriyah atau Niyaziyah, bagian dari Tarekat Khalwatiyah pada abad ke-17 Masehi. Dijuluki al-Mishri karena ia belajar di Mesir.
[2] Maksudnya Luqman al-Hakim.
269. Page
dengan semua orang yang kita cintai, dengan penghulu mereka, sang pemberi syafaat bagi kita, kekasih Allah, (Muhammad) S.a.w.
Ya, kita semua pasti pergi ke alam yang telah didatangi Rasul S.a.w, pemimpin 350 juta umat manusia di setiap tahunnya sejak 1.350 tahun silam,[1] guru spiritual mereka, guru akal mereka, sosok yang dicinta dalam hati mereka, sosok yang amalan baik seluruh umatnya disertakan dalam catatan amalnya sesuai rahasia, “Penyebab itu sama seperti sang pelaku” (اَلسَّبَبُ كَالْفَاعِلِ), sekaligus sosok yang menjadi pusat maksud-maksud luhur ilahi di jagad raya ini, penyebab tingginya nilai semua maujud yang ada, serta ajaran dan kemajuannya.
Ya, kita semua pasti pergi ke alam yang telah didatangi Rasul S.a.w tersebut, yang dengan syafaatnya beliau berusaha memberikan bantuan kepada seluruh umat, kala semuanya berkata, “Jiwaku… jiwaku” (نفسي... نفسي... ), dengan pengorbanan paling suci dan paling mulia di Padang Mahsyar dengan berkata, “Umatku… umatku” (أمتي... أمتي...), seperti kala detik-detik terakhir meninggalkan dunia, beliau mengucapkan, “Umatku... umatku.”[2]
Kita semua pasti pergi menuju alam yang memerlukan cahaya matahari itu, alam yang memerlukan bintang-bintang para wali dan orang-orang pilihan yang tak terhingga. Maka, satu-satunya wasilah untuk bergabung di bawah panji syafaat Rasul S.a.w tersebut, serta cara untuk mendapatkan cahaya dan keselamatan di kegelapan alam Barzakh, adalah mengikuti (ittiba’) sunnah saniyyah.
Harapan Keempat:
Ketika saya menginjakkan kaki di alam masa tua saya beberapa tahun lalu, kesehatan tubuh saya –yang selalu membuat lalai- sudah terkena dan ditimpa penyakit. Masa tua dan penyakit menyerang saya secara bersamaan. Keduanya membuat saya tak bisa tidur karena serangan-serangan yang tiada henti atas kepala saya. Saya sendiri tak punya kaitan keluarga dan hubungan yang mengikatkan saya dengan dunia, seperti anak atau pun harta benda. Saya menatap ke arah buah modal usia yang telah saya sia-siakan karena kebodohan masa muda. Lalu saya melihat semuanya hanya kesalahan-kesalahan dan dosa. Saya pun berteriak seperti yang dikatakan Niyazi al-Mishri dengan lantang:
Kekayaan usia telah kusia-siakan tanpa guna dan merugi
Tak untung kuperoleh dari perdagangan, manfaat pun tak kuraih
Aku kembali lagi ke jalan yang benar
Namun aku tak bisa menyusul kafilah
Mereka semua telah pergi
Akhirnya kutempuhi jalan ini seorang diri dan terasing
Aku merintih, berteriak, meratap dan menangis
Air mata deras berderaian
Api berkobar menyala dalam hati ini
Sementara akal bingung dan kacau.
Saat terasing seorang diri, ketika saya merasa sedih, kala saya putus asa dan menyesal, di saat kata-kata yang terucap semuanya permohonan pertolongan dan bantuan, tanpa diduga
[1] Saat penulisan risalah ini (penerjemah).
[2] Terbukti melalui sejumlah riwayat shahih dan mukasyafah yang benar, bahwa saat muncul di dunia ini, Rasulullah S.a.w berkata: “Umatku, umatku.” (Penulis)
270. Page
al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat memberi saya pertolongan, membukakan pintu harapan yang kuat di hadapan saya, meliputi saya dengan cahaya hiburan hakiki yang mampu melenyapkan keputus-asaan yang sejak lama mendera, meski berlipat seratus kali sekali pun, al-Qur'an mampu melenyapkan segala kegelapan dan kezaliman tersebut.
Benar, wahai para orang tua yang dihormati! Wahai siapa pun yang hubungannya dengan dunia mulai terputus seperti saya ini! Wahai siapa pun yang ikatan-ikatannya dengan dunia mulai terlepas seperti saya ini!
Apakah mungkin Sang Pencipta Maha Agung yang menciptakan dunia yang laksana istana paling indah dan kota paling rapi ini tidak berbincang-bincang dengan para tamu-Nya yang penting, para kekasih dan wali-Nya yang menempati istana dan kota tersebut?!
Karena Dia sudah membangun istana ini berdasarkan pengetahuan, menata dan menghiasnya dengan kehendak dan ikhtiar, maka si pelaku tentu mengetahui, seperti halnya orang yang mengetahui bisa menyampaikan (apa yang diketahuinya). Karena Dia telah menjadikan istana ini dan kota ini sebagai ruang tamu yang indah dan tempat perdagangan yang menawan, maka tentu saja Dia memiliki buku-buku dan catatan-catatan di mana Dia menjelaskan hubungan kita dengan-Nya dan apa saja yang Dia inginkan dari kita.
Dan yang paling sempurna di antara semua kitab suci tersebut adalah al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat, yang merupakan mukjizat dalam empat puluh aspeknya, yang selalu dibaca minimal oleh seratus juta lisan dalam setiap menitnya, yang menebarkan cahaya, yang setiap hurufnya memberikan minimal sepuluh pahala dan sepuluh kebaikan, bahkan kadang sepuluh ribu kebaikan dan tigapuluh ribu kebaikan. Al-Qur'an adalah buah surga, cahaya Barzakh berdasarkan rahasia Lailatul Qadar. Di jagat raya ini, tak ada satu pun kitab yang menyaingi dan menyamai al-Qur'an dari sisi ini secara mutlak. Tak seorang pun yang bisa membuat kata-kata seperti al-Qur'an.
Mengingat al-Qur'an yang ada di hadapan kita ini merupakan kalam Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Agung, dari sisi rububiyah-Nya yang mutlak, dari sisi keagungan uluhiyah-Nya, dari sisi cakupan rahmat-Nya, firman-Nya, dan sumber rahmat-Nya, maka jadikanlah al-Qur'an sebagai sandaran dan pegangan, karena di dalamnya terdapat obat bagi setiap penyakit, cahaya untuk seluruh kegelapan, dan harapan untuk seluruh keputus-asaan.
Adapun kunci harta simpanan abadi ini adalah mengimani al-Qur'an, berserah diri kepada al-Qur'an, mendengarkan al-Qur'an, menerima seluruh isi al-Qur'an dan membaca al-Qur'an.
Harapan Kelima:
Di permulaan masa tua saya, saya suka menyendiri dan mengasingkan diri. Jiwa saya mencari ketenangan dalam kesendirian di Bukit Yusya, di pinggiran selat Bosforus, Istanbul.
Dari bukti tinggi itu, suatu hari saya menatap ke samping ufuk dan sekitar. Saya kemudian melihat papan kepergian dan perpisahan dipenuhi duka dan kesedihan karena peringatan masa tua. Pandangan kemudian saya arahkan dari puncak tinggi ke arah dahan keempat puluh lima –yang merupakan tahun keempat puluh lima– dari pohon usia saya, menyusuri hingga tingkatan-tingkatan paling rendah dari kehidupan saya. Lalu di setiap tahun dari tahun-tahun tiap dahannya, saya melihat jenazah orang-orang tercinta, kerabat, dan kenalan-kenalan saya yang tak terhitung dan tak terbilang banyaknya. Ketika saya merasa begitu sedih dan pilu secara maknawi, yang muncul akibat perpisahan dan kepergian itu, saya kemudian memikirkan orang-orang tercinta yang telah berpisah meninggalkan saya.
271. Page
Saya merintih dan mengeluh sakit, lalu saya mencari hiburan, harapan, dan pintu cahaya, dengan mengatakan seperti yang disenandungkan oleh Fudhuli al-Baghdadi:
Kumenangis setiap kali kuberkhayal berjumpa denganmu
Ku ‘kan terus menangis selama dalam tubuhku yang kurus ini masih ada nafas
Tiba-tiba cahaya keimanan kepada akhirat membantu saya, memberi saya cahaya yang tak akan pernah padam selamanya, memberikan harapan yang tak akan pernah pupus.
Ya, wahai semua saudara sesama orang tua, lelaki dan wanita!
Mengingat akhirat itu ada, mengingat akhirat itu abadi, mengingat akhirat itu lebih indah dari dunia, dan mengingat Zat yang menciptakan kita adalah Maha Bijaksana lagi Penyayang, maka tak ada alasan untuk menyesali dan mengeluhkan masa tua. Bahkan kita justru harus rela dan gembira dengannya, karena ia merupakan pertanda pencapaian usia kesempurnaan bersama iman dan ibadah. Ia merupakan pertanda untuk segera pergi menuju alam rahmat untuk istirahat dari tugas kehidupan.
Ya, seratus dua puluh empat ribu nabi yang merupakan sosok manusia terbaik sepakat mengabarkan adanya akhirat berdasarkan ijma’ dan riwayat mutawatir, sebagian lain bersandarkan syuhud, dan lainnya lagi bersandarkan haqq al-yaqin. Mereka juga sepakat mengabarkan bahwa umat manusia pasti digiring menuju ke sana, bahwa Sang Pencipta jagad raya ini pasti mendatangkan akhirat yang telah Dia janjikan secara pasti, sebagaimana pula kesaksian seratus dua puluh juta wali – yang membenarkan pemberitaan para nabi tersebut melalui mukasyafah, syuhud, dan ilmu pasti – juga menunjukkan adanya akhirat.
Demikian pula seluruh nama Sang Pencipta jagad raya ini juga menunjukkan adanya alam baqa, karena semuanya secara pasti mengharuskannya melalui tajalli-tajallinya yang diperlihatkannya di dunia ini.
Demikianlah, “qudrat azali” mutlak yang meliputi segala sesuatu, dan “hikmah abadi” tak terhingga yang tak berlebihan, dan yang setiap tahunnya, tepatnya pada musim semi, menghidupkan jenazah-jenazah tak terhingga pepohonan mati di muka bumi berdasarkan perintah kun fayakun كنْ فَيَكُونْ (“Jadilah! maka jadilah dia”), lalu menjadikannya sebagai pentas bagi “kebangkitan setelah kematian.” Ia menghimpun dan menebar tiga ratus ribu spesies kelompok tanaman dan bangsa hewan sebagai contoh bagi ratusan penghimpunan dan kebangkitan (makhluk setelah kematian).
Demikianlah, “rahmat abadi” dan “perhatian kekal” yang memberikan rizki dan penghidupan bagi seluruh makhluk hidup yang memerlukan rizki dengan sempurna dan sepenuh kasih sayang, yang setiap kali musim semi dan dalam waktu singkat memperlihatkan berbagai jenis hiasan dan keindahan tak terhitung dan tak terbilang. Semua itu –yakni qudrat, hikmah, rahmat, dan perhatian (ilahi) –secara pasti mengharuskan adanya akhirat.
Demikian pula halnya dengan manusia –yang merupakan buah jagad raya paling sempurna dan indah, ciptaan paling disukai Sang Pencipta jagad raya, dan yang paling banyak berkaitan dan berhubungan dengan seluruh maujud di alam raya– memiliki keinginan hidup kekal yang begitu menggebu, sangat kuat, mengakar, dan terus-menerus, juga merindukan keabadian dan cita-cita kekalan. Semua ini secara pasti menunjukkan dan mengisyaratkan adanya akhirat.
Demikianlah, semua dalil ini memastikan adanya alam kekal, kampong akhirat, rumah kebahagiaan setelah alam fana ini melalui bukti yang qath’i dan kuat, hingga batas
272. Page
mengharuskan penerimaan adanya akhirat sebagai penerimaan adanya dunia secara pasti.[1]
Mengingat pelajaran paling penting yang disampaikan al-Qur'an Hakim adalah keimanan pada akhirat, dan mengingat keimanan ini sangat kuat dan kokoh hingga sedemikian rupa, selain di dalamnya terdapat harapan agung dan hiburan besar hingga seandainya seratus ribu orang tua menyatu dalam diri seseorang, tentu hiburan yang muncul dari keimanan ini sudah cukup baginya. Karena itu semua, kita para orang tua hendaknya mengucapkan, “Segala puji bagi Allah atas kesempurnaan iman” (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي كَمَالِ الْأيمَانِ). Kita mesti senang, bahagia, dan bergembira dengan masa tua kita.
Harapan Keenam:
Ketika saya berstatus sebagai tawanan yang menyedihkan[2] dahulu kala di Barla, saya terasing dari orang banyak, dan menyendiri jauh dari mereka di puncak Çam Dagi, Gunung Pinus. Saat itu saya mencari cahaya dalam kesendirian. Suatu malam, saya berada di sebuah kamar kecil tanpa atap, yang didirikan di atas sebuah pohon cemara yang menjulang tinggi di puncak gunung yang tinggi itu.
Masa tua kemudian mengingatkan saya pada tiga atau empat macam keterasingan yang saling menyusup satu sama lain –seperti telah dijelaskan dalam Maktub Keenam- ketika di tengah malam yang hening membisu itu muncul gema sedih dari balik pepohonan dan gemerisiknya, sehingga menyulut kesedihan mendalam di hati, kelembutan masa tua, dan cetusan keterasingan saya. Lalu masa tua berbisik di telinga hati saya seraya mengingatkan membangunkan, “Seperti halnya siang telah berganti menjadi kuburan yang gelap seperti ini, menyelimuti dunia dengan kain kafannya yang hitam, seperti itu pula masa siang usiamu pun pasti akan berganti menjadi malam, masa siang dunia juga akan berganti menjadi malam Barzakh, musim panas kehidupan dunia akan berubah menjadi malam musim dingin kematian.”
Akhirnya, terpaksa jiwa saya berkata:
"Ya, selain terasing jauh dari kampung halaman, saya juga jauh dari orang-orang tercinta yang telah berlalu selama lima puluh tahun umur saya. Saya menangis di belakang mereka. Maka, situasi ini begitu asing, jauh lebih menyedihkan dan memilukan ketimbang terasing dari kampung halaman. Saya pun mendekati keterasingan yang lebih menyedihkan, lebih pilu, dan getir dari keterasingan saya yang menyedihkan di gunung yang terasing; karena
[1] Ya, tampak sejauh mana mudahnya pemberian kabar “masalah pasti” dan kesulitan “penafian dan pengingkaran” hingga begitu jelas dalam perumpaan berikut: Jika salah seorang dari mereka berkata: “Ada kebun yang sangat indah menawan di muka bumi, yang buahnya seperti perasan susu.” Sementara orang lain berkata: “Tidak, tidak ada.” Maka, orang yang memberi kepastian itu, dengan hanya memperlihatkan tempat kebun atau dengan memperlihatkan sebagian buahnya saja, sudah bisa memastikan klaimnya dengan mudah. Adapun si penolak, dia tak akan bisa meyakinkan klaimnya kecuali setelah melihat dan memperlihatkan semua pelosok bola bumi demi memastikan penolakannya.
Sebagaimana dalam contoh ini, orang-orang yang mengabarkan tentang surga, dengan sedikit pandangan bahwa mereka menunjuk pada ratusan ribu pembuahan, buahnya, dan jejaknya, maka dengan menghadirkan dua saksi jujur untuk kesaksian mereka atas kepastiannya, itu sudah cukup untuk memastikannya. Sementara orang yang mengingkarinya, dia tidak akan bisa membenarkan penolakannya dan membuktikan ketiadaan surga kecuali setelah menyaksikan alam raya yang tak terbatas dan masa abadi tak terbatas, menjelajahinya dan menempuhnya. Wahai kawan saya para orang tua, pahamilah sejauh mana kekuatan iman pada akhirat, kekokohan dan kepastiannya! (Penulis)
[2] Menggambarkan keberadaannya di Provinsi Barla sebagai orang buangan tahanan.
273. Page
masa tua memberitahu kepada saya bahwa masa-masa perpisahan dengan dunia dengan seluruh isinya kian dekat, maka saya akhirnya mencari harapan dan cahaya dalam kondisi seperti ini, kondisi terasing di balik keterasingan, kondisi sedih di balik kesedihan. Tiba-tiba keimanan kepada Allah memberi saya bantuan. Hiburan muncul dalam ruhani saya yang andaipun keterasingan yang menyesakkan mendera saya seribu kali, tentu hiburan tersebut cukup bagi saya.
Benar, wahai para orang tua! Mengingat kita memiliki Pencipta Yang Maha Penyayang, maka kita sama sekali tidak terasing. Mengingat Dia ada, maka segala sesuatu ada untuk kita. Mengingat Dia ada, dan para malaikat-Nya juga ada, maka dunia sama sekali tidak kosong. Gunung-gunung sepi, lembah-lembah senyap, dan wilayah tak berpenghuni dipenuhi dengan hamba-hamba Allah S.w.t. Bebatuannya dan pepohonannya menjadi teman dekat dengan cahaya dan hitungan Allah S.w.t. Di samping itu, hamba-hamba-Nya yang memiliki kesadaran bisa berbincang dengan kita melalui bahasa-bahasa kondisonal, dan menghibur kita!
Ya, bukti-bukti yang menunjukkan keberadaan Allah S.w.t dalam jumlah sebanyak wujud yang ada di jagad raya ini, juga dalam jumlah sebanyak huruf-huruf kitab alam raya yang besar ini, serta kesaksian-kesaksian yang bersaksi akan keberadaan rahmat Allah S.w.t dalam jumlah sebanyak bilangan organ-organ seluruh makhluk hidup, seluruh makanan mereka, seluruh nikmat mereka yang menjadi inti kasih sayang, rahmat, dan inayah ini, semuanya menunjukkan adanya kantor Sang Pencipta kita, Pembuat kita, dan Penjaga kita Yang Maha Pengasih, Maha Mulia, Pendamping dan Maha Mencintai.
Adapun perantara syafaat yang paling bisa diharapkan di kantor tersebut adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. Adapun saat-saat yang paling cocok untuk kelemahan dan ketidakberdayaan itu adalah masa tua. Karena itu, kita tidak seharusnya membenci masa tua yang menjadi perantara paling diharapkan di kantor seperti itu. Malah kita harus mencintai masa tua.
Harapan Ketujuh:
Suatu ketika di permulaan masa tua saya, dan di saat-saat canda tawa Sa’id “Lama” berubah menjadi tangisan Sa’id “Baru,” para pecinta dunia yang ada di Ankara meminta saya datang ke sana, karena dikiranya saya ini masih merupakan si Sa’id “Lama.” Saya pun pergi (memenuhi permintaan itu). Di akhir-akhir musim gugur, saya naik ke puncak benteng lama Ankara yang ditimpa tua jauh lebih dari saya, jauh lebih kuno dan lebih lapuk dari saya. Benteng ini terlihat oleh saya dalam bentuk gambaran berbagai peristiwa sejarah yang membatu.
tua tahun ini telah tiba, seperti itu juga masa tua saya, masa tua benteng ini, masa tua umat manusia, masa tua Daulah Keluarga Utsman yang mulia, dan kematian kesultanan Khilafah (Utsmaniyah), dan masa tua dunia yang membuat saya –kala saya merasa sangat sedih, pilu dan terasing sekali- menatap dari puncak benteng tinggi ini, menerawang ke lembah-lembah masa lalu dan ngarai-ngarai masa depan. Saya pun menatap, dan mencari cahaya, lipuran, hiburan, dan harapan di tengah gelapnya masa tua yang empat atau lima yang saling merasuk satu sama lain dan melingkupi diri saya, kala saya merasakan suasana jiwa[1]
[1] Suasana jiwa ini ditulis pada masanya sebagai munajat dalam Bahasa Parsi, dan dicetak di dalam Risalah “al-Hubab” di Ankara. (Penulis)
274. Page
yang begitu gelap di Ankara.
Ketika saya mencari hiburan seraya menatap ke kanan yang merupakan masa lalu, terlihat oleh saya bentuk kuburan besar ayah, kakek-kakek saya, dan ras saya sebagai manusia. Bukannya terhibur, saya justru merasa kesepian. Saya kemudian menatap ke arah masa depan yang berada di sebelah kiri saya demi mencari solusi. Lalu terlihat oleh saya bentuk kuburan besar yang begitu gelap di mata saya, juga bagi orang-orang seperti saya, dan generasi berikutnya. Bukannya itu menghibur saya, tapi saya justru semakin merasakan ketakutan. Setelah itu saya menatap ke masa sekarang ini setelah saya merasa kesepian di kanan dan kiri. Terlihatlah masa saat ini dalam penglihatan saya yang lalai dan mirip sejarah dalam bentuk peti berisi jenazah jasad saya ini, yang mati separuh dan terguncang bak hewan disembelih.
Lantas saya mengangkat kepala, menatap ujung pohon usia saya setelah saya merasa putus asa dari arah yang ini juga. Saya pun melihat hanya ada satu buah saja di pohon itu. Buah itu adalah jenazah saya. Di atas pohon itu, jenazah saya menatap ke arah saya, hingga akhirnya saya pun merasa kesepian pula dari sisi ini. Akhirnya saya menundukkan kepala, menatap ke bagian bawah pohon usia ini, yakni ke akarnya. Lalu saya melihat tanah di bagian bawah yang seakan-akan bercampur dengan tulang-tulang saya, tanah yang merupakan asal-usul penciptaan saya. Tulang dan tanah pun terinjak-injak kaki. Meski demikian, pemandangan ini tetap saja tidak memberi saya obat, bahkan semakin membuat saya sedih di atas kesedihan yang sudah ada.
Saya pun terpaksa menatap ke belakang saya. Lalu saya melihat dunia fana yang tak punya asas merosot menuju lembah ketiadaan dan kegelapan fana. Ia – arah itu – menambahkan racun di atas duka dan derita saya, kala saya tengah mencari obat! Di arah ini, saya tidak menemukan suatu kebaikan pun, hingga akhirnya saya menatap ke arah depan. Saya arahkan pandangan ke depan. Di sana saya melihat pintu kubur terbuka, tepat di depan jalan yang saya lalui. Pintu itu menatap ke arah saya dengan membuka lebar-lebar mulutnya. Di balik pintu itu, terlihat sebuah jalan terbentang menuju keabadian beserta kafilah-kafilah yang tengah menuju ke sana. Menghadapi semua ketakutan itu, serta ketakutan-ketakutan yang akan muncul dari enam jurus mata angin ini, saya tidak memegang apa pun selain sebagian dari ikhtiar parsial (al-ikhtiyar al-juz’i) sebagai titik sandaran dan senjata untuk membela diri.
Tak lain ikhtiar parsial itu –yang merupakan satu-satunya senjata manusia dalam menghadapi para musuh tak terhingga, juga berbagai hal membahayakan yang begitu banyak dan tak terhitung, serta tidak memiliki apa pun– kecuali kasab (usaha dan amal). Sebab, ia sendiri kurang, lemah, dan tidak mampu mengadakan. Ia juga tidak mungkin bisa kembali ke masa lalu untuk membungkam kesedihan-kesedihan yang selalu datang pada saya dari arah itu, juga tidak mungkin kembali ke masa depan untuk mencegah hal-hal yang saya takutkan yang akan datang dari arah itu. Saya pun melihat, tidak ada yang akan bisa membuat saya meraih semua angan saya, pun tidak bisa menghilangkan semua derita saya yang kembali ke masa lalu dan masa depan.
Kala saya merasa shock disebabkan kehebatan, kebuasan, kegelapan dan keputus-asaan yang timbul dari keenam jurus mata angin itu, tanpa diduga ada cahaya iman bersinar terang di langit al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat. Ia menerangi (keenam) arah itu, menerangi hingga sampai pada batas seandainya kesepian dan kegelapan yang saya lihat itu berlipat seratus kali pun, cahaya itu akan cukup dan memenuhi untuk menghadapinya, mengubah semua shock yang saya rasakan itu satu demi satu, menjadi hiburan yang menyenangkan,
275. Page
mengubah kesepian itu satu per satu menjadi ramah menyenangkan. Hal itu karena: Keimanan telah merobek bentuk masa lalu yang menakutkan, yang terlihat oleh saya seperti kuburan besar. Lalu terlihat oleh saya dengan ‘ainul yaqin dan haqqul yaqin bahwa (masa lalu) adalah majelis penuh cahaya dan perkumpulan orang-orang tercinta yang ramah menyenangkan.
Berikutnya, masa depan yang terlihat oleh pandangan saya yang lalai bagaikan kuburan besar, dengan ‘ilmul yaqin ditampakkan oleh keimanan dalam bentuk majelis jamuan rahmani di istana-istana kebahagiaan yang disukai.
Berikutnya, keimanan telah meruntuhkan masa sekarang, yang terlihat oleh tatapan saya yang lalai seperti peti mati. Keimanan menghancurkan bentuk peti dari hari yang kritis itu, lalu memperlihatkan hari kritis itu pada saya, melalui musyahadah, tampak seperti toko akhirat dan ruang jamuan rahmani yang indah dan menawan.
Berikutnya, keimanan dengan ‘ilmul yaqin memperlihatkan kepada saya bahwa satu-satunya buah yang tampak oleh pandangan saya yang lalai laksana jenazah di atas pohon usia itu ternyata bukan jenazah, tapi ia adalah keluarnya ruh yang memang layak menempuh kehidupan abadi dan diharapkan bahagia selamanya, meninggalkan gubuknya yang sudah usang untuk berkelana di antara bintang-bintang.
Berikutnya, keimanan dengan rahasia yang dimilikinya memperlihatkan bahwa tulang-belulang saya dan tanah yang merupakan asal-usul penciptaan saya, bukanlah tulang-belulang usang tanpa nilai yang terinjak-injak kaki. Tanah itu tidak lain adalah pintu rahmat dan tirai di bilik surga.
Berikutnya, berkat rahasia al-Qur'an, keimanan menampakkan hakikat dunia yang berguncang di belakang saya dalam ketiadaan dan dalam gelapnya ketiadaan bahwa dunia yang berada dalam kegelapan itu secara lahiriah merupakan bagian dari tulisan-tulisan shamdani dan lembaran-lembaran ukiran subhani yang sudah berakhir tugasnya, sudah memberikan makna-maknanya, meninggalkan jejak di alam nyata sebagai ganti dirinya, hingga akhirnya dengan ‘ilmul yaqin keimanan memberitahu esensi dunia.
Berikutnya, berkat cahaya al-Qur'an, keimanan menampakkan bahwa kuburan yang terlihat di depan mata saya, dan jalan yang ada di balik kuburan yang mengarah menuju keabadian, itu bukanlah pintu sumur, tapi pintu gerbang menuju alam cahaya. Jalan itu pun bukan jalan yang mengantar menuju ketiadaan atau pun menuju alam ketiadaan, tapi merupakan jalan menuju wujud (keberadan), alam cahaya, dan kebahagiaan abadi.
Saya katakan, keimanan – karena menampakkan semua hakikat ini dalam bentuk yang mewariskan kepuasan sempurna – menjadi hiburan dan obat untuk semua derita dan kesedihan saya.
Berikutnya, keimanan meletakkan di tangan ikhtiar parsial (ikhtiar juz’i) itu –di hadapan ikhtiar parsial lemah yang di tangannya tergenggam upaya parsial (kasb juz’i) yang begitu kecil– surat keterangan (watsiqah) agar dapat digunakan untuk bersandar pada qudrat (ilahi) yang tanpa batas, agar bisa digunakan untuk menisbahkan diri pada rahmat tak terbatas dalam menghadapi para musuh dan kegelapan yang tak terbatas tersebut. Bahkan keimanan menjadi surat keterangan di tangan ikhtiar parsial itu.
Berikutnya, senjata manusia yang adalah ikhtiar parsial –dan dia pada hakikatnya lemah, terbatas dan kekurangan– perumpamaannya seperti seorang prajurit yang mampu melakukan pekerjaan yang ribuan kali di atas kemampuannya jika kemampuan parsialnya itu digunakan atas nama negara. Demikian pula halnya ketika ikhtiar parsial yang lemah itu digunakan atas nama al-Haqq S.w.t dan di jalan-Nya dengan rahasia keimanan, maka itu akan
276. Page
memungkinkannya meraih surga seluas lima ratus tahun.
Berikutnya, keimanan mengambil tali kendali ikhtiar parsial –yang tidak mampu kembali ke masa lalu dan melampaui masa depan- itu dari tangan tubuh saya dan menyerahkannya kepada hati dan ruhani sehingga ikhtiar parsial itu keluar dari lingkupnya yang kecil untuk selanjutnya meraih (lingkup) yang menyeluruh. Itu karena, lingkup kehidupan ruh dan hati memuat tahunan masa lalu dan tahunan masa depan, sebab ruh dan hati tidak hanya terbatas pada masa sekarang saja, seperti halnya lingkup kehidupan tubuh yang terbatas pada masa sekarang.
Ikhtiar parsial selanjutnya menapak naik berkat cahaya iman menuju puncak-puncak gunung tinggi masa depan yang paling jauh, melenyapkan segala ketakutan, sebagaimana pula dengan kekuatan iman ia mampu menembus lembah-lembah masa lalu yang paling dalam dan melenyapkan gelapnya kesedihan.
Untuk itu, wahai para orang tua seperti saya, yang menanggung beban berat masa tua!
Mengingat kita orang yang beriman, alhamdulillah, mengingat iman merupakan simpanan terang, lezat, menyenangkan, dicintai, dan lembut hingga batas ini, dan mengingat masa tua kita akan menuntun kita ke inti simpanan itu secara lebih banyak dan lebih banyak lagi, maka hendaklah jangan sampai kita –tanpa ragu lagi– mengeluhkan masa tua yang beriman ini. Justru kita harus mensyukurinya beribu-ribu kali.
Harapan Kedelapan:
Kala rambut saya mulai beruban sebagai salah satu pertanda masa tua, saya terhenyak oleh guncangan-guncangan Perang Dunia Pertama dan kekacauan-kekacauan terkait status tawanan saya[1] yang memperkeruh kejernihan jiwa saya serta yang melelapkan tidur dan kelalaian masa muda saya. Di situ banyak pujian, sanjungan, atensi, dan perhatian besar mengarah kepada saya, jauh melebihi apa yang seharusnya saya terima, pada kali terakhir saya datang ke Istanbul, berasal mulai dari khalifah, syaikhul Islam, panglima besar, hingga murid-murid berbagai sekolah ilmu Islam. Saat itu, mabuk masa muda dan kondisi jiwa yang mewariskannya pada kondisi saya di atas, kian memperdalam kelalaian tersebut hingga batas saya melihat diri ini berada dalam suatu kondisi aneh bersamanya, seakan dunia ini abadi, dan saya menempel lekat pada dunia seakan saya tidak akan pernah mati.
Pada waktu itu, di bulan Ramadhan mulia, saya pergi Masjid Jami’ Bayazid yang diberkahi di Istanbul untuk mendengarkan bacaan al-Qur'an dari para qari’ yang tulus ikhlas. Lalu saya mendapati al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat dengan gaya bahasa langit yang tinggi menyampaikan firman dan edaran melalui lisan para qari’:
كُلُّ نَفْسٍ ذَٓائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Qs. al-‘Ankabut [29]: 57)
Ayat ini secara kuat memberitahukan kefanaan manusia dan kematian setiap makhluk hidup. Ayat ini pun masuk ke telinga saya, menembus ke relung hati saya, dan menetap di sana. Ia lantas menghancurkan tidur lelap kelalaian dan tingkatan-tingkatan mabuk (masa muda) tersebut.
Saya keluar meninggalkan Masjid Jami’ sementara angin kencang menerpa di kepala. Api penuh asap mengepul disebabkan oleh kantuk dan rasa pening karena tidur masa lalu
[1] Maksudnya saat beliau menjadi tawanan di Siberia oleh pasukan Rusia.
277. Page
yang tertanam di kepala sejak lama sekali. Saya kemudian melihat diri saya tak ubahnya sebuah kapal yang hilang kendali dan terombang-ambing oleh riak gelombang. Setiap kali saya menatap rambut di depan cermin, rambut-rambut putih ini seakan berkata kepada saya, “Waspadalah!”
Kondisi yang saya alami kian jelas melalui peringatan-peringatan dari uban putih itu. Saya kemudian merenung dan saya mendapati bahwa masa muda yang sangat saya percaya dan membuat saya terpedaya oleh kelezatannya, berkata kepada saya, “Selamat tinggal!” Sementara “kehidupan duniawi” yang sangat saya cintai tampak mulai redup sedikit demi sedikit. “Dunia” yang dengannya saya begitu dekat melalui berbagai hubungan dan ikatan hingga seolah-olah sangat saya cintai juga mengucapkan, “Selamat tinggal.” Ia mengingatkan saya bahwa saya akan pergi meninggalkan negeri jamuan tamu ini, dan ia sendiri pun mempersiapkan diri untuk pergi seraya berkata, “Selamat tinggal!”
Banyak makna yang terbuka dan tersingkap dalam hati dari kandungan dan isyarat salah satu ayat al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat ini, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ). “Spesies manusia” adalah jiwa, yang pasti akan mengalami kematian agar nanti dibangkitkan. Sementara “bola bumi” juga jiwa lainnya, yang pasti akan mengalami kematian agar memperoleh bentuk yang kekal abadi. Dan “dunia” juga jiwa, yang pasti pula akan mengalami kematian untuk berubah menjadi akhirat.
Pada situasi seperti ini, saya memperhatikan kondisi saya. Saya melihat bahwa “masa muda” yang merupakan pusat lingkaran segala indera perasa kini sudah berlalu dan pergi, selanjutnya digantikan masa tua, pemicu segala kesedihan. Kehidupan yang berkilau dan memburat terang itu pergi dan berlalu, dan berikutnya kematian yang gelap dan mencengangkan telah mempersiapkan diri dengan nyata untuk menggantikan posisinya. Dunia yang sangat dicintai, yang dikira akan kekal selamanya, dan yang dirindu oleh orang-orang lalai, juga pada akhirnya akan lenyap.
Setelah itu saya menatap “kenikmatan-kenikmatan kedudukan sosial” yang saya rasakan, yang saya dapatkan di Istanbul lebih dari yang seharusnya saya dapatkan, membuat jiwa saya terpedaya, mengubur kepala saya di balik kelalaian untuk sekali lagi. Saya melihat kenikmatan itu tak berguna, karena apa pun sambutan hangat, respon dan hiburan yang saya lihat, yang diberikan banyak orang, tidak akan bisa mengantarkan kemana pun selain menuju ke pintu kuburan di dekat saya, dan saat itulah semua itu padam. Saya melihat “keluhuran dan reputasi” yang amat didambakan oleh budak-budak ketenaran, merupakan riya berat yang bersembunyi di balik tirainya yang lezat dan lembut, merupakan egoisme dingin dan ujub, merupakan mabuk dan kelalaian sesaat. Saat itulah saya menyadari bahwa semua yang telah menipu saya sampai sekaran tak ada yang mampu memberi saya hiburan dan lipuran. Tak ada cahaya atau pun sinar di sana.
Agar sadar penuh, saya mulai mendengar bacaan para qari’ di Masjid Jami’ Bayazid sekali lagi, agar bisa kembali mendengarkan pelajaran samawi al-Qur'an. Saat itulah, dari pelajaran samawi itu, saya mendengar pemberiahuan, firman suci, dan kabar-kabar gembira seperti ayat: وَ بَشِّرِ الَّذينَ اٰمَنُوا (“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman.” Qs. al-Baqarah [2]: 25)
Berkat luapan karunia yang dihembuskan al-Qur'an dalam relung hati, saya mencari hiburan, harapan, dan cahaya di balik semua kejadian yang mencengangkan saya dan membuat saya berada dalam keterasingan dan putus asa secara esensial, bukan dari sisi
278. Page
luarnya.
Seribu kali rasa syukur saya panjatkan kepada Allah S.w.t karena saya menemukan obat di balik penyakit itu sendiri. Saya menemukan cahaya di dalam kegelapan itu sendiri. Saya menemukan hiburan di balik musibah berat itu sendiri!
Kala pertama kali saya menatap wajah “kematian” yang menakutkan semua, dan yang dikira mengerikan, saya melihat melalui cahaya al-Qur'an bahwa wajah hakiki kematian begitu terang dan indah bagi orang mukmin, meski selubung kepalanya gelap pekat dan buruk!
Saya sudah sering menyampaikan secara pasti hakikat ini di sejumlah risalah, khususnya “Kalimat Kedelapan” dan “Maktub Keduapuluh.” Ringkasnya demikian:
Kematian bukan peniadaan, bukan pula perpisahan, tapi sebuah pendahuluan untuk kehidupan abadi dan permulaannya, pembebasan dari tugas kehidupan dunia dan pelepasan dari segala bebannya, penggantian tempat, dan pertemuan dengan kafilah orang-orang tercinta yang telah pergi ke alam Barzakh.
Demikianlah, saya telah melihat wajah hakiki kematian yang indah melalui perantara hakikat-hakikat seperti ini. Maka saya tidak melihat wajah kematian dengan rasa takut, tapi dengan kerinduan. Karena itulah saya pun memahami salah satu di antara rahasia rabithah al-maut (mengingat kematian) yang amat penting bagi para pengikut tasawuf.
Setelah itu saya menatap masa muda saya yang berlalu dalam dosa dan kelalaian, “masa muda” yang membuat semuanya menangis karena hilangnya, membuat siapa pun merindukannya dan terpedaya olehnya. Saya pun melihat suatu wajah buruk, jelek, mabuk, dan membingungkan di balik pakaian dan busananya yang indah menawan. Andai saya tidak mengenali sosok sejatinya, tentu masa muda sudah membuat saya menangis sepanjang usia saya. Bahkan jika pun umur saya di dunia ini masih seratus tahun lagi, bukannya telah membuat saya lalai dan tertawa selama beberapa tahun saja, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang menghabiskan kehidupan dalam kelalaian seraya menangis:
اَلاَ لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُودُ يَوْمًا فَاُخْبِرَهُ بِمَا فَعَلَ الْمَشيبُ
Andai saja masa muda kembali lagi suatu hari nanti
Pasti kuberitahu bagaimana kondisi orang yang sudah tua renta.[1]
Ya, orang-orang tua yang tidak mengenali esensi sebenarnya masa muda seperti orang ini, pasti akan menangis dan meratap penuh rasa sesal dan rugi setiap kali teringat masa muda mereka.
Yang benar, masa muda bagi orang-orang mukmin berakal, yang memiliki hati jernih, yang merupakan ahlul qalbi dan ahlul hudhur,[2] masa muda yang digunakan dalam ibadah, kebaikan, dan bisnis-bisnis akhirat, tentu menjadi sarana paling kuat untuk meraup keuntungan, sarana terindah dan paling lembut untuk meraih segala kebajikan, tentu menjadi nikmat ilahi yang bernilai dan menyenangkan bagi mereka yang tidak mempergunakan masa muda secara tidak baik, dan bagi mereka yang mengenali tugas-tugas keagamaan mereka.
Ketika istiqamah, sikap menjaga diri dan takwa tidak menyertai masa muda, tentu itu akan mengandung banyak bahaya dan kebinasaan. Sebab, kelalaian dan hawa nafsunya akan mencederai kebahagiaan abadi dan kehidupan akhiratnya. Bahkan tidak menutup
[1] Bait syair karya Abu Atahiyah.
[2] Yakni, merasakan kebersamaan Allah dalam segala hal.
279. Page
kemungkinan ia bisa menghancurkan kehidupan dunianya pula, membuatnya menderita duka dan kesedihan selama masa tuanya, sebagai imbalan atas segala kenikmatan masa muda yang hanya berlangsung beberapa tahun saja.
Karena pada umumnya masa muda berlalu pada kebanyakan manusia dengan membawa banyak sekali bahaya, maka kita –para orang tua– harus bersyukur kepada Allah yang telah menyelamatkan kita dari ancaman-ancaman dan bahaya-bahaya masa muda.
Ya. Kenikmatan dan kelezatan masa muda tidak bisa tidak pasti berlalu, sama seperti segala sesuatu. Jika masa muda digunakan untuk ibadah dan kebaikan, manfaatnya akan tetap bertahan sebagai gantinya, dan menjadi sarana untuk mendapatkan masa muda abadi dalam kehidupan abadi.
Selanjutnya, saya kemudian menatap “dunia” yang dicintai dan menggoda kebanyakan manusia. Lalu dengan cahaya al-Qur'an saya melihat ada tiga dunia menyeluruh yang beraduk satu sama lain:
Pertama, dunia yang mengarah kepada nama-nama ilahi. Dunia ini merupakan cermin baginya.
Kedua, dunia yang mengarah kepada akhirat. Dunia ini adalah sebagai ladang baginya.
Ketiga, dunia yang mengarah kepada para pecinta dunia. Dunia ini adalah tempat bermain dan berpesta bagi orang-orang lalai.
Lalu, setiap orang memiliki suatu dunia besar khusus baginya di dunia ini. Dunia-dunia sebanyak bilangan manusia ini saling merasuk satu sama lain. Namun, tiang dunia setiap orang adalah kehidupannya sendiri. Ketika tubuhnya telah luluh lantak, dunianya runtuh menimpa di atas kepalanya, dan kiamatnya pun terjadi. Sementara orang-orang lalai, mereka tidak menyadari bahwa dunia pribadi mereka akan segera runtuh. Karena itulah mereka mengiranya akan bertahan abadi seperti dunia secara umum, sehingga mereka mencintai dunia dan tergoda olehnya sampai batas disembah-sembah.
Saya mulai memikirkan dan merenung bahwa saya pun –juga– memiliki dunia khusus yang akan lekas runtuh dan roboh, sama seperti orang lain. Dan apa manfaat dunia khusus saya ini bagi usia saya yang sangat singkat? Melalui cahaya al-Qur'an, saya melihat dunia bagi saya dan juga bagi semua orang adalah tempat perdagangan sementara, ruang tamu yang diisi dan dikosongkan setiap hari, pasar yang dibuat di pinggir jalan untuk menarik perhatian para pengguna jalan, buku yang diperbarui milik Sang Pengukir Azali yang menulis dan menghapus isinya sesuai hikmah. Setiap musim semi adalah surat indah-Nya. Setiap musim panas adalah kasidah-Nya yang tersusun rapi, sebagai cermin Sang Pencipta Maha Agung yang selalu diperbarui dan memanifestasikan tajalli nama-nama-Nya, kebun pembibitan untuk akhirat, taman rahmat ilahi, studio yang mempersiapkan berbagai film dan gambar yang akan ditayangkan di alam baqa nanti.
Saya panjatkan ratusan ribu syukur kepada Sang Pencipta Maha Agung yang menciptakan dunia dalam bentuk seperti ini. Saya akhirnya memahami, meski manusia diberi rasa cinta terhadap dunia yang indah, yang secara batin mengarah ke akhirat dan kepada al-asma’al-husna, namun dia menyalahgunakan cinta ini dan mengarahkan cinta pada sisi fana dunia yang buruk, membahayakan dan melalaikan, sehingga menjadi bukti kebenaran hadits mulia, “Cinta dunia adalah induk segala kesalahan” (حُبُّ الدُّنْيَا رَاْسُ كُلِّ خَطيئَةٍ).[1]
[1] Al-Mawardi menyebutkan dalam A’lam al-Nubuwwah: Diriwayatkan dari Hasan, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Cinta dunia adalah induk segala kesalahan.” Baca halaman 286. Disebutkan dalam Kasyfal-Khafa` (I/412): diriwayatkan Al-Bukhari dalam Asy-Syu’ab dengan sanad hasan hingga Hasan Al-Bashri secara marfu’ tanpa menyebut sahabat, dan disebutkan Dailami dalam Al-Firdaus, juga disebutkan anaknya tanpa sanad dari Ali secara marfu’. Ibnu Gharas berkata, “Hadits ini dhaif.” Baca juga: Syu’abal-Iman (VII/223).
280. Page
Wahai para orang tua!
Saya melihat hakikat ini melalui cahaya al-Qur'an, dengan mengingat masa tua, juga melalui pandangan hati nurani yang diberikan iman kepada saya. Hakikat ini sudah saya sebutkan di banyak risalah dengan sejumlah bukti pasti. Maka saya menemukan hiburan hakiki, harapan kuat, dan cahaya terang. Saya pun merasa senang dengan masa tua saya. Saya senang dengan kepergian masa muda saya. Karena itu, Anda juga tidak perlu menangis, justru harus bersyukur. Mengingat iman masih ada, dan hakikat demikian pula, maka biarkan para pengikut kelalaian dan kesesatan sama-sama menangis!
Harapan Kesembilan:
Saya pernah menjadi seorang tawanan di wilayah Kosturma, jauh sekali di timur laut Rusia, di tengah Perang Dunia Pertama. Ada masjid jamik kecil milik orang-orang Tartar di tepi Sungai Volga yang terkenal. Saya merasa tertekan berada di antara sesama kawan tawanan lain. Lalu saya meminta untuk tinggal seorang diri, namun saya tidak diperkenankan berjalan-jalan ke luar tanpa izin. Mereka akhirnya memindahkan saya dengan jaminan warga Tartar ke masjid kecil di tepi sungai Volga tersebut. Di sana, saya tidur seorang diri. Saat itu, musim semi hampir dekat. Saya sering kali begadang di malam-malam yang amat panjang di kawasan utara tersebut, di malam-malam yang gelap, dan di tengah kesendirian yang pekat. Deru air sungai Volga yang sedih. Demikian pula halnya rintik-rintik hujan, desiran angin penuh rasa sedih perpisahan menyadarkan saya dari tidur kelalaian yang dalam. Padahal saat itu saya belum menganggap diri saya tua. Hanya saja orang yang menyaksikan Perang Dunia Pertama memang dianggap sudah tua. Karena, kala hari-hari berlalu, itu akan membuat anak-anak menjadi tua, dan seakan rahasia يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شيبًا (“hari yang menjadikan anak-anak beruban” [Qs. al-Muzzammil 73: 17]) terlihat jelas padanya, hingga seakan saya merasa sudah berusia delapan puluh tahun, padahal saat itu saya baru berusia empat puluh tahun.
Di malam-malam gulita yang panjang itu, di tengah keterasingan yang menyedihkan, dan dalam kondisi getir itu, saya merasa putus asa pada kehidupan dan kampung halaman. Saya kemudian menatap kelemahan dan ketersasingan diri saya. Angan dan harapan saya pupus sudah. Saat berada dalam kondisi seperti ini, tanpa diduga sebuah bantuan dari al-Qur'an Hakim datang menghampiri saya. Lisan saya berulang-ulang mengucapkan:
حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ
“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Qs. Ali ‘Imran: 173)
Dengan menangis, hati ini berkata:
غَريبَمْ بيكَسَمْ ضَعيفَمْ نَاتُوَانَمْ اَلْاَمَانْ گُويَمْ عَفُوْ جُويَمْ مَدَدْ خَواهَمْ زِدَرْگَاهَتْ اِلٰهي
“Aku terasing, seorang diri, lemah, mencari rasa aman, memohon ampunan dan pertolongan di depan pintu-Mu, ya ilahi!”
Jiwa saya juga memikirkan orang-orang tercinta yang telah lama pergi di kampung halaman. Saya mengkhayalkan kematian saya. Saya mencari mereka di tengah keterasingan
281. Page
itu. Saat itulah saya mengucapkan seperti yang dikatakan Niyazi al-Mishri:
Kulalui kesedihan-kesedihan dunia,
kukepakkan sayapku untuk berpisah
Aku terbang dengan cinta,
dan kuserukan setiap saat, “Wahai teman, wahai teman!’
Apa pun itu, kelemahan dan ketidakberdayaan saya telah menjadi penolong dan perantara besar bagi saya di hadapan diwan ilahi, di tengah malam panjang yang menyedihkan dan memilukan yang diliputi perpisahan. Hingga kini saya pun masih bingung terkait masalah saya, karena saya bisa melarikan diri selang beberapa hari dalam suatu kondisi yang sama sekali tak terbayangkan terjadi sebelumnya. Saya bisa menempuh jarak perjalanan jauh yang memerlukan waktu satu tahun untuk dicapai dengan berjalan kaki, meski saat itu saya sama sekali tak bisa berbahasa Rusia. Namun akhirnya saya selamat atas bantuan ilahi yang memberi saya pertolongan karena saya lemah dan tiada berdaya, hingga akhirnya saya tiba di Istanbul dengan berjalan kaki melalui Warsawa[1] dan Vienna. Saya berhasil selamat dengan mudah dalam bentuk yang sangat luar biasa ini. Saya berhasil dengan mudah dan gampang menyelesaikan perjalanan panjang melarikan diri yang sama sekali tidak bisa dilakukan oleh orang paling berani dan paling berpengalaman sekali pun, atau pun orang yang bisa berbahasa Rusia.
Namun kondisi pada malam tersebut, saat saya berada di masjid di tepi sungai Volga tadi, membuat saya mengambil keputusan ini:
“Akan saya habiskan sisa usia saya di gua-gua dan di kolong-kolong. Cukup sudah saya membaur dalam kehidupan sosial, sebab pada akhirnya nanti saya juga akan pergi ke kuburan seorang diri. Karena itu, mulai saat ini saya memilih untuk mengasingkan diri agar terbiasa nantinya.”
Namun sayang, orang-orang tercinta yang banyak sekali dan tulus di sekitar saya, di samping kehidupan dunia yang indah dan berkilau di Istanbul, terlebih hal-hal tak berguna yang mengarah kepada saya, seperti reputasi dan kemuliaan yang jauh melebihi ukuran saya, semua ini membuat saya melupakan keputusan yang telah saya buat di atas untuk sesaat.
Seolah-olah malam-malam keterasingan yang telah saya lalui di masjid di tepi sungai Volga itu adalah bagian hitam yang bersinar terang di mata kehidupan saya. Sementara siang yang terang benderang dan menawan di Istanbul, adalah bagaikan bagian putih dari mata kehidupan saya yang tidak bercahaya, karena tak mampu melihat masa depan. Mata ini akhirnya tidur untuk sekali lagi, hingga Syaikh Abdul Qadir Jailani membuka mata saya sekali lagi dua tahun setelah itu melalui buku karyanya, Futuh al-Ghaib.
Wahai para orang tua!
Perlu Anda ketahui, kelemahan dan ketidakberdayaan yang ada pada masa tua adalah perantara untuk meraih rahmat dan pertolongan ilahi. Sebab, tajalli rahmat juga memperlihatkan hakikat ini di muka bumi dalam bentuk begitu nyata dan gamblang, seperti halnya saya juga menyaksikannya pada diri dan pribadi saya. Karena, hewan-hewan yang paling lemah dan tak berdaya adalah hewan-hewan kecil, dan yang diberi penampakan tajalli rahmat paling lembut dan paling indah juga mereka yang kecil-kecil. Tajalli rahmat yang datang lantaran kelemahan sosok makhluk kecil yang tinggal di dalam sarang burung di atas
[1] Ibukota Polandia.
282. Page
pohon, menundukkan induk burung itu seakan sebagai prajurit yang patuh. Sang induk berkeliling ke berbagai tempat lalu membawakan rizki makanan untuk anaknya. Namun ketika si anak burung sudah mulai melupakan kelemahan diri kala kedua sayapnya mulai kuat, induknya seakan bilang padanya, “Pergilah dan carilah makananmu sendiri.” Si induk tak lagi mendengarkan keluhan anaknya saat itu.
Seperti halnya berlaku bagi anak-anak kecil, rahasia rahmat ini juga berlaku bagi para orang tua yang telah berubah laksana anak kecil karena kondisi mereka yang lemah dan tak berdaya.
Saya mempunyai pengalaman yang membuat saya meyakini dan memastikan bahwa, seperti halnya rizki anak-anak kecil dikirim karena mereka lemah dengan cara luar biasa melalui susu ibu dan dialirkan darinya, demikian pula halnya orang-orang tua mukmin yang mendapatkan pengampunan, rizki dikirim ke mereka dalam bentuk berkah. Salah satu bagian dari hadits, لَوْلاَ الشُّيُوخُ الرُّكَّعُ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ الْبَلاَءُ صَبًّا (“Andai bukan karena orang-orang tua yang membungkuk, niscaya musibah sudah dituangkan pada kalian seperti banjir”)[1] memastikan hakikat ini dengan segala kandungannya. Sesungguhnya sendi berkah di dalam rumah adalah orang-orang tua perempuan, dan bahwa yang menjaga rumah itu dari segala petaka dan musibah adalah para orang tua laki-laki dan perempuan tak bersalah dengan punggung sudah membungkuk yang tinggal di dalam rumah itu.
Kelemahan dan ketidakberdayaan pada masa tua menyebabkan tertariknya rahmat ilahi sampai sedemikian rupa. Al-Qur'an Hakim pun telah menyeru anak-anak untuk menghormati, memuliakan, dan menyayangi kedua orang tua yang lemah, melalui gaya bahasa yang mengandung mukjizat dalam lima sisi melalui ayat-ayatnya:
اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَريمًا{ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَاني صَغيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil’.” (Qs. al-Isra' [17]: 23-24)
Mengingat Islam memerintahkan untuk memuliakan dan mengasihi orang tua, dan mengingat fitrah insani juga mengharuskan demikian, maka karena itu kita –para orang tua– tidak sepatutnya ingin mengganti masa tua dengan seratus kali masa muda. Sebab di masa tua, kita menerima rahmat dan penghormatan maknawi yang kekal dan penting, yang muncul dari pertolongan ilahi dan kelembutan insani, sehingga kita bisa mengenyam daya rasa
[1] Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Allah menangguhkan (ujian dan musibah). Andai bukan karena pemuda yang khusyuk, orang tua yang membungkuk, anak-anak kecil yang menetek, dan hewan-hewan ternak yang makan, niscaya Ia akan menimpakan siksa kepada kalian sebanyak-banyaknya, dan menumbuk kalian hingga remuk.” HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Wasith, hadits nomor 7085, hadits ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat lain dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Thabrani, Musnad Abu Ya’la, hadits nomor 6402, dan al-Sunan al-Kubra, Al-Baihaqi, hadits nomor 6184.
283. Page
maknawi yang muncul dari kasih sayang dan penghormatan, bukannya daya rasa materi sesaat yang muncul dari gairah syahwat masa muda.
Ya. Saya yakinkan pada Anda semua, andai saya diberi sepuluh tahun dari masa muda Sa’id “Lama,” tentu itu tidak akan saya tukarkan dengan satu tahun masa tua Sa’id “Baru” yang sekarang ini. Saya menerima masa tua ini dengan rela hati, dan sepatutnya Anda juga menerimanya dengan rela hati.
Harapan Kesepuluh:
Setelah berhasil meloloskan diri sebagai tawanan, suatu hari sekali lagi kelalaian menguasai diri saya dalam jangka satu atau dua tahun di Istanbul. Suhu politik saat itu mengalihkan pandangan saya untuk memikirkan tentang diri saya, dan memecah pandangan saya ke berbagai arah. Suatu hari, saya duduk di atas salah satu tebing tinggi di areal pemakaman Abu Ayyub al-Anshari yang terbentang di sepanjang lembah (Istanbul). Saya kemudian menatap ke segala sisi Istanbul. Namun, tiba-tiba terbayang seakan dunia khusus saya mati mendadak, ruh saya terseret ke beberapa sisi tempat, lalu saya bilang, “Gerangan tulisan-tulisan di atas pusara inikah yang membuat saya berkhayal seperti ini.” Saya pun mengalihkan pandangan dari pemakaman ke arah makam itu, bukan ke yang jauh, lalu hati saya mendapat ilham bahwa makam yang mengitarimu ini berisi seratus kota Istanbul. Sebab, Istanbul sudah seratus kali disemayamkan dalam kuburan itu. Sehingga mustahil bagimu untuk bisa selamat dari putusan Sang Hakim Maha Kuasa, yang memasukkan seluruh penduduk Istanbul ke makam ini sementara kau tidak. Itu tidak mungkin, karena kau juga akan masuk ke dalam makam itu.
Saya kemudian keluar meninggalkan areal pemakaman dengan khayalan yang masih menghantui. Saya kemudian masuk ke salah satu bilik kecil di koridor Masjid Jami’ Abu Ayyub Al-Anshari r.a yang sudah sering kali saya masuki. Saat itu, saya mulai berfikir seperti ini, “Saya ini tamu dari tiga sisi. Sebagaimana saya tamu di bilik kecil ini, saya juga tamu di Istanbul, bahkan saya tamu di dunia ini juga, dan tamu mesti memikirkan jalan dan rute yang ia tempuh. Seperti halnya saya akan keluar meninggalkan bilik ini, saya pun akan keluar dari Istanbul suatu hari nanti, dan pada hari yang lain, saya pasti akan keluar meninggalkan dunia ini.”
Saat berada dalam kondisi seperti ini, rasa sedih, duka, dan nestapa mendekam di hati dan kepala saya. Perasaan itu menyulut kesedihan, rasa pilu dan duka perpisahan, karena bukan hanya satu atau dua orang teman saja yang akan saya tinggalkan, tapi ribuan orang tercinta yang ada di Istanbul, seperti halnya saya juga akan meninggalkan Istanbul yang amat saya cintai. Seperti halnya saya akan meninggalkan ratusan ribu orang-orang tercinta di dunia, saya pun akan meninggalkan dunia yang manis dan indah yang amat saya cintai dan yang sering kali menggoda saya.
Ketika berfikir seperti itu, saya kembali lagi ke tebing tinggi pemakaman. Karena saya kadang melihat film untuk memetik pelajaran, saya menyaksikan para penduduk Istanbul saat itu dalam wujud jenazah-jenazah yang berjalan kaki. Sama seperti wujud orang-orang mati yang ada dalam film, mereka berjalan kaki meninggalkan wujud masa lalu menuju saat ini. Lalu khayalan berkata kepada saya, “Seperti halnya mereka yang tidur di pemakaman ini terlihat berjalan dan bergerak di layar film, maka perhatikanlah orang-orang yang niscaya akan memasuki makam ini di masa mendatang, mereka juga jenazah-jenazah yang berjalan di muka bumi.”
284. Page
Ketika kondisi menyedihkan itu berubah menjadi suasana menggembirakan dan menyenangkan berkat cahaya al-Qur'an dan petunjuk Syaikh Sayyid Abdul Qadir Jailani, maka cahaya yang bersumber dari al-Qur'an telah mengingatkan dan menegur saya atas kondisi menyedihkan ini sebagai berikut:
“Ada satu-dua orang temanmu sesama tentara yang ikut tertawan di Kosturma yang terletak di timur laut Rusia. Dan engkau tahu, keduanya pasti akan kembali ke Istanbul. Andai salah seorang di antara keduanya bertanya padamu di sana, ‘Kamu ingin pergi ke Istanbul ataukah ingin menetap di sini?’ Jika kau masih punya akal seberat atom pun, pasti kau akan memilih untuk pulang ke Istanbul dengan gembira dan senang hati, karena 999 di antara 1001 temanmu ada di Istanbul, dan yang masih ada di sana hanya tersisa satu atau dua orang saja, keduanya pun pasti akan ke Istanbul. Karena itu, pergi ke Istanbul bukanlah perpisahan menyakitkan atau pun menyedihkan bagimu. Kau sekarang pun sudah ada di Istanbul, bukankah kau senang dan bahagia? Bukankah kau sudah terlepas dari malam-malam gelap dan panjang musim dingin menusuk tulang dan badai kuat menerpa di negeri musuh, lalu kau tiba di Istanbul yang indah laksana surga dunia ini?!
Demikian pula halnya, sejak kau masih kecil hingga sekarang, 99 persen orang-orang tercinta sudah pergi ke kuburan yang mengkhawatirkanmu dan menakutkanmu. Dan di antara orang-orang tercinta yang masih bertahan di dunia ini hanya satu atau dua saja, itu pun mereka pasti pergi juga menuju kuburan. Karena itu, kematianmu di dunia ini bukanlah perpisahan, tapi sebagai perjumpaan dan pertemuan dengan orang-orang tercinta tersebut. Mereka –para ruh abadi– telah meninggalkan sarang-sarang lama mereka di bawah tanah. Sebagian dari mereka berkelana di antara bintang-bintang, sebagian lain berkelana di tingkatan-tingkatan alam Barzakh.”
Demikian ilham yang diberikan dalam hati saya.
Ya, al-Qur'an dan keimanan telah menegaskan hakikat ini secara pasti. Orang yang tidak kehilangan hati dan ruhani secara total, atau hatinya tidak ditenggelamkan oleh kesesatan, pasti akan membenarkan hakikat ini seakan-akan dia melihatnya. Sebab, Sang Pencipta Maha Bijak Maha Penyayang yang menghiasi dunia sedemikian menawan dengan berbagai macam kelembutan dan kebaikan tanpa batas, memperlihatkan rububiyah-Nya dalam bentuk yang amat mulia dan penuh kasih, yang menjaga hal-hal paling kecil sekali pun, seperti biji-bijian, pasti tidak akan melenyapkan manusia yang merupakan hasil ciptaan paling mulia, paling komplit, paling penting, dan paling Dia cintai. Dia tidak melenyapkan manusia dan menghilangkannya tanpa belas kasih, tanpa rahmat, dan tanpa akibat seperti yang terlihat secara lahiriah, tapi Sang Pencipta Maha Penyayang meletakkan ciptaan yang Dia cintai tersebut di bawah tanah untuk sementara waktu yang merupakan pintu rahmat, agar ia bisa mengeluarkan benih di kehidupan lain laksana biji-bijian yang ditabur oleh petani di tanah.[1]
Setelah mendapatkan teguran dan peringatan al-Qur'an itu, kini kuburan jauh membuat saya lebih senang dari Istanbul. Keterasingan dan kesendirian terlihat lebih nikmat bagi saya ketimbang perkawanan dan pergaulan. Saya pun menemukan sebuah tempat untuk menyendiri di Sariyer, sebuah kampung dekat Bosphorus. Imam Rabbani[2] dengan buku
[1] Hakikat ini sudah disebutkan di seluruh Risalah An-Nur, khususnya dalam “Kalimat Kesepuluh” dan “Kalimat Keduapuluh Sembilan” secara pasti, sepasti 2 x 2 = 4.
[2] Imam Rabbani adalah Ahmad bin Abdul Ahad As-Sarhandi Al-Faruqi (971-1034 H.), unggul di berbagai ilmu di masanya. Allah memberinya taufiq untuk mengeluarkan Daulah Mongolia dari atheisme menuju Islam, dan ia dianggap sebagai reformis millennium kedua.
285. Page
karyanya yang berjudul Maktubat menjadi teman menyenangkan sekaligus guru penyayang bagi saya, sama halnya Syaikh Abdul Qadir Jailani juga menjadi guru, dokter, sekaligus mursyid bagi saya melalui karyanya, Futuh al-Ghaib.
Saat itulah saya dengan senang hati memasuki periode masa tua, menarik diri dari segala kenikmatan dan kesenangan peradaban, menarik diri dari kehidupan sosial, dan saya banyak bersyukur kepada Allah S.w.t.
Karena itu, wahai siapa pun yang memasuki fase tua seperti saya ini, juga mereka yang sering mengingat kematian karena diingatkan oleh masa tua! Kita mesti rela dan menerima masa tua, kematian dan penyakit berkat cahaya pelajaran keimanan yang disampaikan al-Qur'an kepada kita, bahkan kita harus mencintai masa tua dari suatu sisi. Karena kita memiliki sebuah nikmat berharga dan tak ternilai seperti nikmat iman, maka masa tua itu baik adanya. Demikian pula halnya dengan penyakit dan kematian, baik juga adanya. Jika pun ada yang tidak baik, maka itu tidak lain adalah dosa, kebodohan, bid’ah, dan kesesatan.
Harapan Kesebelas:
Setelah kembali dari tawanan, saya tinggal bersama keponakan saya, almarhum Abdurrahman di sebuah villa pada bukit di Çamlica, Istanbul. Kehidupan saya kali ini bisa dibilang sebagai kehidupan paling bahagia untuk ukuran orang-orang seperti saya dari sisi duniawi, karena saya telah selamat dari penawanan. Saya diberi taufiq untuk menyebarkan ilmu dalam kondisi terbaik seperti yang diharapkan, tepatnya di Darü'l-Hikmet (Darul Hikmah al-Islamiyah),[1] tepat seperti tugas keilmuan yang saya emban. Reputasi dan kemuliaan yang diberikan pada saya jauh melebihi kapasitas saya. Saya pun tinggal di sebuah tempat indah di Istanbul, Çamlica, dan segala sesuatunya bisa dibilang dalam kondisi terbaik lebih dari yang diharapkan. Saya tinggal bersama keponakan saya, Abdurrahman, seorang murid, pelayan, juru tulis, anak maknawi yang cerdas dan rela berkorban demi saya.
Ketika saya menganggap diri ini sebagai orang paling bahagia di dunia, saya pun melihat ke cermin, lalu saya melihat uban-uban di rambut dan jenggot. Lalu, saya kembali lagi merasakan peringatan spiritual seperti yang pernah saya rasakan di sebuah masjid di Kosturma, di hari-hari saat menjadi tawanan. Saya mulai merenungkan segala kondisi dan sebab yang terkait dengan hati dan yang saya fikir sebagai inti kebahagiaan dunia bagi saya. Setiap kali merenungkan dan melihat suatu kondisi atau sebab, saya selalu melihatnya sebagai kondisi lemah dan lunak, tak patut untuk dijadikan pegangan, bahkan semua itu hanya menipu.
Selama waktu itu, saya melihat tiadanya sikap ikhlas yang sama sekali tak terbayangkan, tiadanya sikap setia yang sama sekali tak pernah terbersit dalam fikiran, yang diperlihatkan seorang teman yang saya kira sebagai teman paling tulus. Saat itu saya mulai merasa jenuh dan muak terhadap kehidupan dunia, dan saya berkata dalam hati, “Apakah gerangan saya tertipu secara total?!”
Kala saya melihat sebagian besar orang menatap kondisi saya dengan rasa iri, tatapan yang pada hakikatnya hanyalah ratapan, lantas apakah mereka sudah gila semuanya?! Ataukah saya yang gila sekarang hingga saya mulai melihat para pecinta dunia itu sebagai orang-orang gila?!
[1] Majelis agama ilmiah tertinggi di Daulah Utsmaniyah.
286. Page
Apa pun itu, terlebih dahulu saya telah melihat dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh melalui peringatan masa tua yang kini saya lalui bahwa segala sesuatu yang fana yang saya gandrungi pasti akan lenyap. Setelah itu saya melihat pada diri sendiri. Saya melihat diri ini amat lemah sekali. Saat itulah jiwa saya meronta ingin kekal. Ia telah terpedaya oleh sesuatu yang fana yang sebelumnya dikira kekal. Ia pun berteriak sekuat-kuatnya:
“Karena secara fisik saya ini fana, maka kebaikan apa yang bisa saya harapkan dari orang-orang fana tersebut?! Karena saya ini tidak berdaya, lalu apa lagi yang saya nantikan dari orang-orang tak berdaya tersebut?!”
Saat itulah saya mulai melacak dan mencari Zat yang Kekal Abadi, Maha Kuasa Azali, yang mampu memberikan obat penyakit saya. Terlebih dulu, saya merujuk ilmu yang saya pelajari di masa lalu. Saya mulai mencari hiburan dan harapan. Namun sayang, hingga saat ini saya masih saja memenuhi fikiran dan pemahaman dengan ilmu-ilmu filsafat bercampur ilmu-ilmu Islam. Saya menyangka, dengan dugaan sangat keliru, bahwa ilmu-ilmu filsafat adalah sumber kesempurnaan dan inti pencerahan. Namun masalah-masalah filsafat justru sering mengotori ruhani dan menghalangi saya untuk menemukan obat maknawi.
Saat berada dalam kondisi seperti ini, tanpa diduga hikmah suci yang terdapat dalam al-Qur'an Hakim menghampiri saya dan memberikan pertolongan atas karunia dan rahmat Allah S.w.t. Akhirnya saya mencuci dan membersihkan masalah-masalah filsafat tersebut, seperti yang sudah dijelaskan di sebagian besar Risalah al-Nur. Ringkasan permasalahannya demikian:
Kegelapan-kegelapan spiritual yang timbul dari hikmah ilmu-ilmu filsafat justru menenggelamkan ruhani saya di jagad raya. Di mana pun melihat, saya mencari-cari cahaya di sudut tersebut, tapi saya tak menemukan cahaya dalam permasalahan-permasalahan filsafat, dan saya tidak bisa bernafas lega. Hingga akhirnya tauhid yang bersumber dari al-Qur'an Hakim dan yang disampaikan oleh kalimat “لاَ اِلٰهَ اِلَّأ اللّٰهُ” menjadi cahaya terang, melenyapkan semua kegelapan, hingga akhirnya saya bisa bernafas lapang dan lega. Hanya saja nafsu dan setan menyerang hati dan akal dengan bersandar pada pelajaran yang mereka terima dari para pengikut kegelapan dan filsafat. Namun, pada akhirnya perdebatan-perdebatan jiwa dalam serangan kali ini dimenangkan hati, alhamdulillah.
Perdebatan-perdebatan tersebut sudah banyak ditulis di banyak risalah, dan kami rasa sudah cukup. Namun berikut ini akan saya jelaskan satu bukti saja di antara ribuan bukti yang ada untuk memperlihatkan kemenangan hati, agar hati bisa membersihkan dan menyucikan ruh sebagian guru yang mengotori ruhani mereka sendiri, menyengsarakan hati mereka sendiri, memanjakan diri pada masa muda dengan masalah-masalah yang disebut sebagai filsafat asing dan ilmu-ilmu peradaban madani di mana sebagian di antaranya hanyalah kesesatan, dan sebagian lainnya tak ada nilainya, agar mereka selamat dan melepaskan diri dari kejahatan jiwa dan setan dalam masalah tauhid. Bukti tersebut sebagai berikut:
Atas nama ilmu-ilmu filsafat, jiwa saya berkata: “Sebab-akibat yang ada di jagad raya ini, sesuai dengan tabiatnya, tentu berperan dalam semua wujud yang ada (maujudat). Tiap sesuatu bergantung dan terkait dengan salah satu sebab di antara sekian sebab. Buah harus dicari dari pohon, dan biji-bijian harus dicari dari tanah. Lantas apa makna sesuatu yang amat kecil dan tak berarti pun harus diminta dari Allah 'Azza wa Jalla, dan apa makna meminta kepada-Nya dengan sepenuh ketundukan hati dan bertawasul kepada-Nya?”
287. Page
Rahasia tauhid tersingkap di sela-selanya berkat cahaya al-Qur'an, sebagai berikut:
Hati saya berbicara kepada jiwa yang suka berfilsafat ini: “Sesuatu yang paling kecil dan yang paling banyak bagiannya, sama seperti sesuatu yang paling besar, hanyalah berasal dari qudrat Sang Pencipta seluruh jagad raya ini secara langsung. Ia berasal dari khazanah simpanan-Nya S.w.t. Tidak ada jalan lain selain itu. Sementara sebab-akibat, itu adalah hijab dan tirai. Hal itu karena, apa yang kita anggap dan kita duga sebagai makhluk paling kecil, tak bernilai, dan paling tak berguna, bisa jadi lebih besar dari makhluk terbesar dari sisi penciptaan dan keindahan. Jika lalat tidak lebih detil dan lebih indah dari ayam dari sisi penciptaan dan kreasi, berarti lalat tidak lebih hina dan lebih kecil dari ayam. Karena itu, kecil atau pun besar tak perlu dibedakan. Maka (pilihannya), segala sesuatu harus dibagi-bagikan di antara sebab-sebab materiil, ataukah harus disandarkan kepada Sang Maha Esa Maha Tunggal. Yang kedua ini wajib dan pasti, sementara pilihan yang pertama mustahil. Jelasnya demikian:
Karena segala sesuatu, ketika disandarkan dan dinisbahkan kepada Sang Esa, yakni disandarkan kepada Sang Maha Kuasa Maha Azali; dan karena ilmu-Nya – yang dengannya wujud semua makhluk dan hikmahnya diciptakan dengan indah dan teratur – meliputi segala sesuatu; serta mengingat banyak sekali ciptaan yang sempurna dan indah menawan setiap saat muncul ke alam nyata ini dari ketiadaan dengan sangat mudah sekali, seperti yang nyata terlihat; juga mengingat Sang Maha Kuasa Maha Mengetahui itu menakdirkan dengan perintahكُنْ فَيَكُونْ (“Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu) untuk menciptakan segala sesuatu; maka semua apa pun itu tetap mudah bagi-Nya semudah menyalakan korek api, seperti yang telah kami tegaskan dengan sejumlah dalil kuat di sebagian besar Risalah al-Nur. Terlebih Zat Yang Maha Kuasa Maha Mengetahui itu memiliki qudrat tak terbatas, seperti disebutkan dalam “Maktub Keduapuluh” dan bagian penutup “Lama’at Keduapuluh Tiga.” Maka tidak diragukan lagi bahwa kemudahan dan kegampangan yang amat menawan dan tiada duanya yang bisa disaksikan secara nyata, tidak lain bersumber dari cakupan ilmu dan keagungan qudrat tersebut.
Contoh: Sebagaimana halnya ketika bahan kimia tertentu dituangkan di atas sebuah buku yang ditulis dengan tinta rahasia yang tak terlihat dengan mata telanjang untuk memperlihatkan tulisan-tulisan buku tersebut, maka buku besar itu dalam sekejap memperlihatkan keberadaannya di hadapan setiap mata dan pandangan serta membacakan dirinya sendiri, demikian pula halnya bentuk segala sesuatu pun sudah ditentukan dalam ilmu Sang Maha Kuasa berdasarkan aturan tertentu. Dengan qudrat-Nya yang tak terbatas dan kehendak-Nya yang berlaku, Dia menuangkan kekuatan-Nya –laksana bahan kimia yang dituangkan di atas buku di atas- yang merupakan tajalli kuasa terhadap esensi ilmu tersebut berdasarkan perintah كُنْ فَيَكُونْ (“Jadilah!” maka jadilah dia) dengan sangat mudah sekali dan memberikan wujud nyata bagi sesuatu tersebut. Dia memperlihatkan sesuatu itu di hadapan segala mata dan pandangan. Dia membacakan ukiran-ukiran hikmah-Nya.
Ketika segala sesuatu tidak disandarkan kepada Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu, maka suatu tubuh makhluk paling kecil seperti lalat tentu harus dikumpulkan dari paling banyak spesies makhluk di alam dengan neraca khusus. Lebih dari itu, tubuh lalat kecil tersebut tidak mungkin terwujud kecuali jika atom-atom yang bekerja dalam tubuh lalat kecil tersebut mengetahui rahasia penciptaan lalat tersebut dan kesempurnaan kreasinya dengan seluruh detailnya, karena sebab-sebab alam dan sebab-sebab materiil sama sekali tak bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan, berdasarkan kebiasaan serta
288. Page
menurut kesepakatan seluruh orang berakal dan para cendekia.
Karena itu, ia mesti harus dikumpulkan jika ada. Sesungguhnya, pada setiap makhluk hidup –apa pun spesiesnya– adalah contoh (yang terdiri) dari sebagian besar unsur dan spesies. Seakan-akan makhluk hidup tersebut sama seperti ringkasan jagad raya dan benihnya. Dengan demikian, haruslah dikumpulkan unsur-unsur biji-bijian dari pohon secara keseluruhan, dari unsur-unsur makhluk hidup yang ada di permukaan bumi seluruhnya, setelah disaring dengan alat penyaring halus, dan setelah ditimbang dengan neraca yang sensitif.
Mengingat sebab-sebab alami itu bodoh, mati, dan tidak memiliki pengetahuan sehingga tidak bisa membuat rancangan, kerangka dan program, serta ia juga tidak bisa mencairkan atom-atom sesuai yang diperlukan, kemudian menuangkannya ke dalam cetakan-cetakan maknawi yang sesuai agar tidak terpisah-pisah dan tidak rusak strukturnya. Dan karena bentuk segala sesuatu dan strukturnya bisa saja termasuk dalam serangkaian bentuk dan model berbagai wujud tanpa batas, maka menyatukan atom-atom berbagai unsur –yang mengalir seperti aliran air dalam bentuk dan ukuran tertentu dalam berbagai macam bentuk dan ukuran yang tak terbatas– dalam bentuk seperti bongkah satu sama lain tanpa ukuran atau pun cetakan sempurna, tanpa terpisah-pisah, atau pun memberikan wujud sempurna untuk setiap makhluk hidup, jelas sekali mustahil, tidak mungkin, dan tidak masuk akal. Siapa pun yang dalam hatinya tidak ada buta, pasti mengetahui hal itu.
Ya. Maka, berdasarkan hakikat ini dan sesuai rahasia ayat agung:
اِنَّ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللّٰهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ
“Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.” (Qs. Al-Hajj [22]: 73), andaipun seluruh sebab materi bersatu, meskipun semua sebab tersebut punya ikhtiar dan kehendak, tetap saja ia tak akan mampu menghimpun (di tempat yang sama) tubuh seekor lalat pun berikut perangkat-perangkat tubuh tersebut dengan neraca khusus. Bahkan meskipun seluruh perangkat terhimpun, tetap ia tak akan bisa membuat tubuh lalat dengan ukuran-ukurannya tertentu. Bahkan meski itu tetap dibuat, tetap saja tidak bisa berfungsi secara teratur dan dengan kesempurnaan atom-atom yang selalu mengalami pembaruan secara terus-menerus, yang selalu datang ke tubuh tersebut dan berfungsi di dalamnya. Dengan demikian, “sebab-sebab” sudah pasti tak mampu mengklaim berkuasa terhadap hal-hal seperti ini. Berarti, tuannya dan pemiliknya bukanlah dia, tapi yang lain.
Ya, semua wujud yang ada mempunyai Pemilik Hakiki yang menghidupkan segala makhluk hidup di muka bumi ini secara keseluruhan semudah menghidupkan seekor lalat berdasarkan rahasia ayat:
مَا خَلْقُكُمْ وَلاَ بَعْثُكُمْ اِلَّأ كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Qs. Luqman [31]: 28)
Dia menciptakan musim semi semudah menciptakan sekuntum bunga karena Dia tidak perlu menyatukan (seluruh materi dan sebab). Dia menciptakan dan mengadakan segala sesuatu dengan sangat mudah sekali, semudah menyalakan korek api, karena Dia adalah Pemilik perintah kun fayakun (“Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu). Di setiap musim semi, Dia
289. Page
menciptakan sifat-sifat berbagai wujud yang ada tanpa batas, juga kondisi dan bentuknya, dari tidak ada, selain juga dari materi unsur-unsurnya. Program segala sesuatu, kerangkanya, indeksnya, dan rancangannya, telah ditentukan dan terlingkup dalam pengetahuan-Nya. Seluruh atom bergerak dalam lingkup pengetahuan dan qudrat-Nya.
Segala sesuatunya tidak bergerak secara keliru meski seukuran atom sekali pun. Sebagaimana halnya bintang-bintang adalah para prajurit yang patuh pada-Nya, demikian pula atom-atom laksana prajurit terstruktur bagi-Nya. Karena segala sesuatu bergerak sesuai qudrat azali itu, berusaha dan bekerja sesuai dustur pengetahuan azali itu, maka seluruh jejak itu datang ke alam nyata ini sesuai qudrat-Nya. Jika tidak, jangan anggap remeh jejak-jejak (qudrat azali tersebut) dengan melihat esensinya yang kecil dan tidak penting. Sebab, dengan kekuatan intisab (penisbahan) kepada qudrat tersebut, seekor lalat mampu membinasakan Namrud, semut mampu meruntuhkan istana Fir’aun, biji pohon cemara mampu memikul di pundaknya beban seberat pohon cemara yang amat besar seperti gunung!
Hakikat ini sudah sering kali kami tegaskan di banyak risalah. Sebagaimana seorang prajurit, karena mengandalkan intisabnya pada raja atau sultan melalui surat tugas militer, bisa melaksanakan tugas-tugas akbar yang seratus ribu kali lebih besar dari kemampuannya, seperti menahan seorang raja dan sultan yang lain, demikian pula halnya segala sesuatu, dengan mengandalkan intisabnya pada qudrat azali, akan mampu meraih keindahan dan kesempurnaan ciptaan penuh mukjizat yang seratus ribu kali lebih mengalahkan kekuatan sebab-sebab alamiah.
Kesimpulan
Tubuh sempurna bagi tiap sesuatu, dan kehadiran tubuh tersebut ke alam nyata dengan sangat mudah dan gampang, menunjukkan bahwa itu merupakan jejak-jejak karya Sang Maha Kuasa Azali Pemilik ilmu yang meliputi segala-galanya. Jika tidak, sungguh ia akan keluar dari wilayah kemungkinan, dan masuk ke wilayah terlarang dan mustahil. Seratus ribu mustahil itu akan terwujud. Ia akan keluar dari citra kemungkinan ke esensi terlarang. Apa pun tidak akan terwujud. Bahkan keluarnya sebagai wujud menjadi sama sekali mustahil.
Demikianlah, jiwa saya –yang merupakan murid setan untuk sementara, dan wakil para pengikut kesesatan dan filsafat– dibuat diam tak berkutik di hadapan bukti yang sangat detail dan kuat ini, yang sangat mendalam dan jelas ini. Alhamdulillah, jiwa saya yang beriman secara sempurna dan kuat mengatakan, “Ya, saya wajib memiliki Pencipta dan Rabb yang mengetahui bersitan-bersitan hati yang paling rahasia dan permohonan-permohonan saya yang paling samar. Selanjutnya Sang Pemilik Qudrat mampu mewujudkan kebutuhan dan keinginan-keinginan spiritual saya yang tersembunyi. Sebagaimana halnya Dia mampu mengubah dunia yang sangat besar ini menjadi akhirat, dan Dia mampu mengangkat dunia ini dan mendirikan akhirat di tempatnya, agar Dia memberikan kebahagiaan abadi, Dia pun mampu menciptakan lalat seperti mengadakan langit, mampu menempatkan matahari di langit sebagai mata di wajah langit, seperti halnya Dia mampu menempatkan atom dalam biji mataku. Jika tidak seperti itu, berarti sesuatu yang tak mampu menciptakan seekor lalat tentu tak mampu ikut campur dalam lintasan-lintasan hatiku, tak mampu mendengarkan permohonan dan munajat-munajat ruhani. Dan yang tidak bisa menciptakan langit juga tidak akan mampu memberikan kebahagiaan abadi.
Dengan demikian, Rabb saya jualah yang memperbaiki lintasan-lintasan hati saya. Sebagaimana Dia memenuhi ruang udara dengan mendung dan melenyapkannya dalam saat
290. Page
yang bersamaan, Dia mengganti dunia dengan akhirat, menciptakan surga, membuka pintunya untuk saya, dan berfirman, “Mari, silahkan masuk!”
Karena itu, wahai saudara-saudaraku sesama orang tua –sebagai akibat kesengsaraan seperti yang dialami jiwa saya- yang menghabiskan sebagian usia untuk mempelajari ilmu filsafat asing yang kelam tanpa penerangan dan tanpa cahaya!
Ketahuilah bagaimana hukum suci “la ilaha ilallah” –yang selalu diucapkan melalui lisan al-Qur'an selamanya– merupakan sendi iman yang suci, kuat, mengakar, memiliki kebenaran dan hakikat! Dan bagaimana sendi ini merupakan penopang yang tak akan pernah tergoyah selamanya, tak akan pernah terluka atau pun berubah, di mana ia melenyapkan semua kegelapan maknawi dan mengobati luka-luka maknawi.
Saya mencantumkan pembahasan panjang lebar ini ke dalam bab harapan-harapan masa tua ini seakan bukan atas kehendak saya. Bahkan saya pun tak bermaksud untuk mencantumkannya di sini karena khawatir membuat para pembaca merasa bosan. Namun bisa saya katakan bahwa penjelasan ini didiktekan kepada saya. Apa pun itu, sekarang kita kembali kepada inti persoalan.
Perasaan benci terhadap kenikmatan-kenikmatan kehidupan dunia di Istanbul yang manis, indah dan gemerlap secara lahiriah, tergugah seiring munculnya rambut-rambut putih di kepala dan jenggot saya, akibat seorang teman setia tidak lagi setia kepada saya, di samping karena jiwa ini mencari-cari daya rasa maknawi, bukannya daya rasa yang membuat saya tergoda, juga karena ingin mencari hiburan dan cahaya di balik masa tua yang dalam pandangan orang lalai terlihat seperti dingin, berat, dan jelek. Maka, kini seribu kali syukur alhamdulillah, saya telah menemukan daya rasa iman hakiki yang senantiasa terasa manis pada “la ilaha illallah” dan pada cahaya tauhid, sebagai ganti seluruh daya rasa duniawi yang getir, tidak hakiki, dan tidak membuahkan tadi. Di samping itu, saya menilai masa tua – yang dalam pandangan orang-orang lalai terlihat seperti dingin, berat, dan jelek– terasa amat ringan sekali, penuh kerinduan, kehangatan, dan terang dengan sinar tauhid.
Karena itu, wahai para orang tua! Karena Anda memiliki iman, Anda memiliki shalat, ibadah, dan permohonan yang menyinari iman, memperkuat dan meningkatkannya, maka Anda bisa melihat masa tua sebagai masa muda abadi. Sebab, dengan masa tua ini Anda bisa meraih masa muda abadi selamanya.
Sementara masa tua yang dingin, berat, buruk, gelap dan menyakitkan –sepenuh makna kata– itu adalah masa tua para pengikut kesesatan. Bahkan, kaum muda di antara mereka pun merasakan hal serupa. Biarlah mereka menangis dan mengucapkan, “Duhai menyesal sekali, duhai rugi sekali!”
Sementara Anda, wahai para orang tua mukmin yang dimuliakan, Anda harus bersyukur dalam kebahagiaan dan kesenangan seraya mengucapkan, “Segala puji bagi Allah atas segala kondisi” (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي كُلِّ حَالٍ).
Harapan Keduabelas:
Ketika saya seorang diri tanpa teman tanpa pelayan berada di salah satu sudut perkampungan Barla, di wilayah Isparta, sebagai tawanan tersiksa atas nama orang buangan, dilarang berbaur dengan orang, dilarang berhubungan dan berkorespondensi, dan di saat yang sangat menyedihkan dan sengsara, ketika saya menanggung beban sakit, masa tua, dan keterasingan, tiba-tiba tanpa diduga muncullah sebuah cahaya yang menghibur, cahaya
291. Page
seputar enam nuktah al-Qur'an Hakim dan rahasianya yang Allah S.w.t anugerahkan kepada saya dari kesempurnaan rahmat-Nya. Dengan karunia ini, saya berusaha melupakan kondisi pahit, memilukan, dan menyedihkan yang pernah saya alami.
Saya bisa melupakan kampung halaman, orang-orang tercinta, dan para kerabat. Namun, malangnya, saya tak bisa melupakan salah seorang di antara mereka. Dia adalah keponakan saya, anak maknawi saya, murid terbaik saya, yang rela berkorban untuk saya, teman paling berani, almarhum Abdurrahman. Ia telah pergi meninggalkan saya sejak enam atau tujuh tahun silam. Ia tak mengetahui keberadaan saya sehingga ia bisa membantu atau menghibur saya. Saya pun tidak mengetahui kondisinya agar kami bisa saling berbagi cerita, berbagi duka dan kesedihan. Di masa tua seperti ini, saya memerlukan seorang teman yang jujur, tulus dan rela berkorban seperti dia. Tanpa diduga, ada di antara mereka memberikan sebuah surat kepada saya. Saya pun membuka surat itu, lalu saya membacanya. Ternyata surat tersebut persis menunjukkan pribadi Abdurrahman. Sebagian dari surat ini sudah dimasukkan dalam sejumlah paragraf “Maktub Keduapuluh Tujuh”[1] dengan menyebutkan tiga karamah nyata.
Surat itu telah membuat saya menangis kala itu, dan sampai kini pun masih sering kali membuat saya menangis. Dalam surat itu, Abdurrahman menyatakan dengan penuh kejujuran dan ketulusan bahwa dia membenci kenikmatan-kenikmatan dunia. Keinginan terbesarnya adalah bisa menyusul dan berkumpul dengan saya agar bisa melayani dan menjaga saya yang tengah menjalani masa tua ini, sebagaimana dulu saya pernah merawat dan mendidiknya saat masih kecil. Dengan penanya yang kuat, dia ingin membantu saya menyebarkan rahasia-rahasia al-Qur'an yang memang sudah menjadi tugas hakiki saya di dunia. Bahkan, dalam suratnya itu, dia menyatakan, “Kirimkan kepada saya sekitar tiga puluh risalah, yang masing-masing akan saya gandakan dan saya tulis ulang menjadi sekitar tigapuluh eksemplar.” Suratnya itu membangkitkan harapan kuat saya terhadap dunia, sehingga saya bisa melupakan pedihnya menjadi tawanan tersiksa, kesendirian, kekhawatiran, keterasingan, dan masa tua. Ternyata saya kira saya mendapatkan seorang murid yang memiliki kecerdasan yang bisa dibilang jenius seperti dia, yang dengan setia akan melayani saya, jauh lebih baik dari putra hakiki. Sebelum mengirim surat ini, salinan risalah “Kalimat Kesepuluh” sudah ia terima. Risalah ini secara khusus membahas tentang keimanan terhadap akhirat yang sudah saya cetak sebelumnya. Risalah tersebut seakan-akan menjadi obat penawar baginya, karena mampu mengobati luka-luka maknawi yang menderanya selama hampir tujuh tahun. Surat ini dia kirimkan kepada saya dengan keimanan kuat dan mengakar, seakan dia tengah menantikan ajalnya.
Saat saya mengira akan menghabiskan sisa usia di dunia ini dengan bahagia melalui perantara Abdurrahman, ternyata sayang sekali saya dikejutkan berita kematiannya kira-kira dua bulan setelahnya. Rugi sekali! Berita memilukan ini sangat mengguncang saya, hingga setelah lima tahun berlalu, saya masih berada di bawah bayang-bayangnya. Status saya sebagai tawanan yang sangat menyiksa, dalam kesendirian, terasing, menghadapi masa tua, dan penyakit, itu membuat saya merasa sedih, amat membekas dalam jiwa, jauh melebihi apa yang saya rasakan. Dulu saya pernah mengatakan bahwa separuh dunia saya mati seiring kematian
[1] Catatan keduapuluh tujuh terdiri dari tiga jilid, berisi koleksi korespondensi Imam Said Nursi dengan murid-muridnya, yaitu; lampiran-lampiran Barla, lampiran-lampiran Emirdag, lampiran-lampiran Kostomanu. Dan yang dimaksud Imam Nursi di sini adalah kumpulan lampiran-lampiran Barla.
292. Page
ibunda almarhumah, lalu saya lihat kini separuhnya lagi yang tersisa mati seiring kematian Abdurrahman, hingga terputus sudah hubungan saya dengan dunia secara total. Sebab, andai saja Abdurrahman masih tetap ada di dunia, tentu dia akan menjadi sandaran kuat untuk menjalankan tugas akhirat saya di sana, tentu ia akan menjadi pengganti saya yang terbaik, sangat layak menempati posisi saya sepeninggal saya nanti, tentu ia menjadi teman yang tulus dan rela berkorban, yang bisa memberikan hiburan bagi saya di dunia ini, dan tentu ia akan menjadi murid paling cerdas, juru bicara, penjaga bagian-bagian Risalah al-Nur yang terpercaya dan jujur.
Ya. Kerugian seperti ini memang sangat menyayat orang-orang seperti saya –dari sudut pandang kemanusiaan– sangat mengejutkan dan menyakitkan. Sebenarnya, saya berusaha untuk kuat menanggung beban ini secara lahiriah, namun dalam jiwa saya ini terjadi badai kencang. Andai bukan hiburan yang bersumber dari cahaya al-Qur'an yang telah menenangkan badai spiritual ini, tentu saya tak bakal mampu menanggung beban seperti ini.
Suatu ketika, saya berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan pegunungan Barla. Saya duduk di tempat-tempat sunyi. Setiap kali terlintas dalam khayalan saya, di tengah kesedihan-kesedihan yang memilukan itu, tampilan-tampilan kehidupan bahagia yang saya lalui bersama para murid yang tulus seperti Abdurrahman di masa lalu laksana rekaman, dengan cepat kekuatan saya melemah karena pengaruh yang ditimbulkan oleh masa tua dan kesendirian. Namun, tiba-tiba terungkaplah rahasia ayat suci:
كُلُّ شَئٍ هَالِكٌ اِلَّأ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Qs. al-Qashash [28]: 88)
Ayat ini mendorong saya mengucapkan:
يَا بَاقي اَنْتَ الْبَاقي يَا بَاقي اَنْتَ الْبَاقي
“Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi. Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi,” hingga memberikan hiburan hakiki kepada saya.
Ya. Saya melihat diri saya berada di atas kepala tiga jenazah besar di lembah sunyi dalam kondisi memilukan ini berdasarkan rahasia ayat di atas, seperti yang saya sampaikan dalam risalah “Tangga Sunnah.”
Pertama, saya telah melihat seakan saya batu nisan yang berada di makam yang berisi lima puluh lima Sa’id yang sudah meninggal dunia dalam usia limapuluh lima tahun. Mereka semua dimakamkan dalam kehidupan umur saya.
Kedua, saya telah melihat diri saya seakan makhluk hidup yang kecil seperti semut yang berjalan dan berkelana di wajah zaman masa kini, yang berposisi sebagai saksi atas kuburan bagi jenazah besar, yang merupakan janazah keturunan jenis saya dan spesies saya yang telah wafat dan dikubur di kuburan masa lalu sejak zaman Nabi Adam a.s.
Ketiga, telah tergambar dalam khayal saya kematian dan kemusnahan dunia yang besar ini, melalui rahasia ayat di atas, dengan kematian dunia yang berpindah-pindah dan berjalan di muka bumi sebagaimana manusia mati.
Demikianlah, saya telah disadarkan oleh makna isyarat ayat berikut ini, yang secara keseluruhan menyinarkan makna yang mendebarkan, yang timbul dari kesedihan atas kematian Abdurrahman, lalu memberikan hiburan hakiki dan cahaya yang tak pernah padam:
293. Page
فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لاَ اِلٰهَ اِلَّأ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظيمِ
“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung,” (Qs. al-Taubah [9]: 129).
Ayat agung ini memberitahukan kepada saya bahwa, karena Allah ada, maka Dia adalah pengganti segala sesuatu. Karena Dia terus ada dan abadi, tentu Dia mencukupi segalanya. Tajalli salah satu pertolongan-Nya setara dengan dunia dengan seluruh isinya. Tajalli salah satu cahaya-Nya memberikan kehidupan maknawi bagi ketiga jenazah besar tersebut di atas, sekaligus menampakkan bahwa semua itu bukanlah jenazah, tapi pembebasan tugas dan peralihan menuju alam lain.
Rahasia ini sudah dijelaskan sebelumnya dalam “Lama’at Ketiga.” Karena itu, saya cukup katakan di sini: “Ya Baqi anta al-Baqi. Ya Baqi anta al-Baqi. Ya Baqi anta al-Baqi. Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi. Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi,” yang diulang sebanyak dua kali, menampakkan makna ayat:
كُلُّ شَئٍ هَالِكٌ اِلَّأ وَجْهَهُ
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (Qs. al-Qashash [28]: 88)
Kata-kata di atas menyelamatkan saya dari kondisi menyedihkan dan amat memilukan itu. Jelasnya sebagai berikut:
Saat kali pertama saya mengatakan, “Ya Baqi anta al-Baqi. Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi,” pengobatan dan terapi mulai menjalankan perannya menjalankan operasi luka-luka maknawi tak terbatas yang muncul akibat lenyapnya dunia dan lenyapnya orang-orang tercinta tak terhingga yang saya cintai di dunia, seperti Abdurrahman, juga akibat hubungan saya sudah terputus dengan mereka semua. Lalu saya katakan untuk kedua kalinya, “Ya Baqi anta al-Baqi. Wahai Yang Abadi, Kau jua Yang Abadi.” Kata-kata ini kemudian menjadi salep dan obat bagi luka-luka maknawi tak terhingga itu secara keseluruhan.
Yakni: “Engkau Kekal Abadi ya Rabb, maka siapa pun yang pergi silahkan berlalu. Engkau cukup. Karena Engkau Abadi, maka satu di antara sekian tajalli rahmat-Mu sudah cukup menggantikan apa pun yang lenyap. Karena Engkau ada, maka semua yang ada di dunia ini adalah untuk manusia yang mengetahui intisabnya pada-Mu dengan beriman kepada-Mu, bergerak dan bertindak sesuai hakikat Islam berdasarkan intisab tersebut. Kefanaan, kemusnahan, kematian, dan ketiadaan hanyalah hijab, tirai penutup, dan proses pembaruan kembali. Atau, ia merupakan sarana untuk sebuah perjalanan dalam berbagai tingkatan yang berbeda-beda.”
Dengan pemikiran seperti ini, kondisi spiritual yang membakar, menyayat, menyedihkan, memilukan, gelap, dan menakutkan, itu berubah menjadi kondisi yang lapang, nikmat, lezat, menyenangkan, bersinar, dicintai, dan membahagiakan, hingga akhirnya lisan, hati, dan seluruh atom tubuh saya mengucapkan dalam bahasa kondisional, “Alhamdulillah.”
Satu di antara seribu bagian tajalli rahmat yang dimaksud adalah:
Saya pulang meninggalkan lembah tempat kesedihan saya, meninggalkan kondisi yang penuh kesedihan, menuju Barla. Di sana terdapat seorang pemuda yang menyebut dirinya Musthafa, berasal dari desa Kuleonu. Ia datang menemui saya untuk menanyakan beberapa hal terkait masalah fiqh ibadah, khususnya tentang wudhu dan shalat. Meski saat itu saya tidak mau menerima tamu, namun melalui intuisi jiwa saya bisa membaca keikhlasan yang ada pada
294. Page
jiwa pemuda tersebut, serta pelayanan-pelayanan tak ternilai yang akan ia berikan untuk Risalah al-Nur di kemudian hari.[1] Saya pun tidak menolaknya, tapi menerimanya dengan senang hati sebagai tamu.[2]
Setelah itu saya tahu bahwa Allah S.w.t mengutus Musthafa kepada saya sebagai contoh pengganti sosok Abdurrahman yang kelak akan menjadi pengganti saya dalam meneruskan dakwah Risalah al-Nur dan menjalankan tugas selaku pewaris hakiki dengan sebenarnya. Allah seakan berkata kepada saya, “Aku telah mengambil satu Abdurrahman darimu, dan sebagai gantinya, Aku akan memberimu tiga puluh Abdurrahman lain sebagai murid, anak, saudara, anak-anak maknawi, saudara-saudara dan teman-teman yang rela berkorban demi tugas agama, seperti Musthafa yang kau lihat.”
Alhamdulillah, Allah rupanya memberi saya tiga puluh Abdurrahman, dan saat itu pula saya katakan, “Wahai hatiku yang menangis! Karena kau telah melihat contoh ini, karena Rabbmu telah mengobati salah luka maknawimu yang paling fatal dengan contoh ini, maka engkau harus yakin bahwa seluruh luka yang membuatmu sedih dan menderita pasti akan terobati.”
Wahai saudara-saudara sekalian sesama orang tua! Wahai siapa pun yang kehilangan anak dan kerabat tercinta di masa tua seperti halnya saya, wahai siapa pun yang menanggung beban kesedihan dan duka berat yang timbul akibat perpisahan, di samping beban berat masa tua yang ditanggung! Anda sudah mengetahui seperti apa kondisi saya, yang lebih berat dari kondisi Anda. Namun karena ayat di atas mampu menyembuhkan penyakit-penyakit saya, maka tentu saja di dalam apotik suci al-Qur'an Hakim terdapat obat-obatan yang mampu menyembuhkan luka-luka dan penyakit Anda seluruhnya. Jika Anda merujuk apotik ini dengan iman, dan mendapatkan obat-obatan itu melalui ibadah, niscaya segala beban berat masa tua yang Anda pikul dan kesedihan-kesedihan yang bersarang di kepala Anda akan terasa ringan.
Rahasia mengapa bahasan ini ditulis secara panjang lebar adalah ide untuk memperbanyak permohonan doa melalui rahmat bagi almarhum Abdurrahman. Untuk itu, saya berharap Anda tidak jemu dan bosan.
Selanjutnya, tujuan saya memperlihatkan luka-luka mendalam saya yang amat menyedihkan yang mungkin akan membuat Anda merasa sangat sedih, adalah untuk
[1] Adik dari pemuda Mustafa itu, yang disebut Ali kecil telah menulis lebih dari tujuh ratus naskah Risalah al-Nur lewat penanya yang indah. Dia persis seperti Abdurrahman. Bahkan dia berhasil mendidik sejumlah ‘Abdurrahman’ lainnya (penulis).
[2] Ya, pemuda itu memperlihatkan bahwa ia tidak hanya layak diterima, bahkan ia layak untuk disambut (penulis).
Ada sebuah peristiwa yang kuceritakan untuk membuktikan ucapan guruku bahwa Mustafa sebagai murid utama Risalah al-Nur layak untuk disambut: Ustadz Nursi ingin berjalan-jalan sehari sebelum hari Arafah. Maka ia pun mengutusku untuk menyiapkan sebuah kuda. Kukatakan pada beliau, ‘Ustadz tak usah turun untuk mengunci pintu. Biar aku saja yang akan menguncinya dan aku akan keluar dari pintu belakang. Beliau kemudian menjawab, ‘Tidak. Keluarlah dari pintu tersebut. Ia turun dan mengunci pintu tersebut dengan gembok. Lalu ia masuk kamar dan berbaring. Tidak lama kemudian, Mustafa Kuleonu datang disertai Haji Usman Mustafa. Pada hari tersebut sebenarnya Ustadz Said tidak mau menerima seseorang, apalagi sampai dua orang tamu secara bersamaan. Pastilah ia menolak keduanya. Namun ketika Mustafa tersebut datang beserta Haji Usman, pintu tadi seolah-olah menyambut kedatangannya dengan berkata, ‘Guruku memang tidak akan menerimamu. Namun aku akan membuka diri untukmu’. Pintu yang terkunci itu pun terbuka. Jadi sungguh benar apa yang dikatakan Ustadz Nursi tentang Mustafa. Ia memang orang yang layak diterima dan disambut. Sebagaimana pintu rumah beliau pun telah menjadi saksi atasnya (Husrev).
Ya, apa yang ditulis oleh Husrev di atas benar adanya. Pintu rumah yang kutempati telah menerima dan menyambut Mustafa sebagai ganti dariku (Said Nursi).
295. Page
menunjukkan sejauh mana terapi suci al-Qur'an Hakim merupakan obat luar biasa dan cahaya terang tiada banding.
Harapan Ketigabelas[1]
Pada bagian ini, saya akan membicarakan tentang sebuah lembaran penting di antara lembaran kejadian-kejadian kehidupan saya. Untuk itu, pembahasan ini mungkin akan memakan ruang, sehingga saya harap Anda tidak merasa jemu dan kecil hati.
Setelah selamat dari penawanan Rusia dalam Perang Dunia Pertama, khidmat keagamaan yang saya jalani selama kurang lebih tiga tahun di Darü’l-Hikmet (Darul Hikmah al-Islamiyah) di Istanbul membuat saya bertahan. Namun setelah itu muncul rasa jemu dan bosan terhadap kehidupan perkotaan di sana. Saya merasa tidak suka terhadap kehidupan sosial yang gemerlap dan berkilau di sana. Akhirnya dengan tuntunan al-Qur'an Hakim dan semangat Syaikh Abdul Qadir Jailani, di samping juga diingatkan oleh masa tua, kerinduan terhadap kampung halaman yang disebut “penyakit silaturahim” mendorong saya untuk pulang ke tanah kelahiran. Saya bergumam dalam hati, “Karena pasti menghadapi kematian, saya memilih mati di kampung halaman saja.”
Akhirnya saya pulang ke kota Van, dan tempat pertama yang saya kunjungi adalah sekolah saya, bernama Madrasah Khorkhor. Ternyata saya lihat madrasah tersebut telah dibakar oleh pasukan Armenia, bersama rumah-rumah lain di Van, selama penjajahan Rusia. Saya naik ke atap benteng Van yang terkenal, yang berupa satu tumpukan batu besar laksana gunung. Madrasah saya tepat berada di bahwa benteng ini dan bahkan menempel. Di hadapan mata ini, melintas baying-bayang para teman, saudara, murid-murid saya, dan orang-orang tercinta yang dulu selalu bersama saya di madrasah ini yang sudah saya tinggalkan selama tujuh atau sembilan tahun lamanya. Sebagian di antara teman-teman saya yang berkorban, ada yang gugur sebagai syuhada hakiki, dan sebagian lain meninggal dunia sebagai syuhada maknawi akibat musibah yang mendera, hingga saya tak bisa menahan tangisan.
Saat berada dalam kondisi seperti ini, saya naik ke puncak benteng yang lebih tinggi dari madrasah saya seukuran dua kali menara masjid, dan saya duduk di sana. Angan-angan saya membawa saya hanyut pada kenangan-kenangan delapan tahun silam. Angan membawa saya berkelana cukup lama kala itu karena memang khayalan saya masih kuat-kuatnya, dan tak seorang pun yang ada di sekitar saya yang membuyarkan khayalan saya ini, karena saat itu saya hanya seorang diri. Setiap kali membuka mata, saya melihat banyak sekali perubahan telah terjadi. Delapan tahun berlalu seakan sudah berabad-abad. Saya melihat pusat kota yang mengelilingi madrasah saya. Bagian bawah benteng sudah dibakar dan dihancurkan sepenuhnya dari ujung ke ujung. Kali ini saya menatap sedih sekali, lebih sedih dari yang saya lihat pertama kali. Saya serasa datang ke tempat ini setelah 200 tahun saya tinggalkan. Dulu, saya adalah teman dan sahabat bagi sebagian besar orang yang pernah menghuni rumah-rumah di sana. Sebagian besar dari mereka sudah wafat, semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka, selama saya hijrah meninggalkan kampung halaman ini. Mereka memikul beban berat dalam keterasingan. Saya melihat seluruh rumah orang muslim di Van dihancurkan, kecuali perkampungan orang Armenia.
[1] Ada sebuah ketepatan yang halus bahwa peristiwa di madrasah yang disebutkan di harapan ketiga belas ini terjadi pada tiga belas tahun yang silam (penulis)
296. Page
Relung hati saya yang paling dalam serasa teriris. Saya dirundung kesedihan mendalam. Andai saya punya seribu mata, tentu semuanya menangis bersama-sama. Saya mengira, dengan pulang ke kampung halaman saya bisa selamat dari keterasingan, namun menyesal sekali! Saya justru melihat suasana asing lebih berat di kampung halaman saya sendiri.
Saya melihat ratusan murid dan teman saya yang amat saya cintai, seperti Abdurrahman –yang telah disinggung dalam harapan kedua belas sebelumnya– sudah berada di dalam kuburan. Saya lihat rumah dan tempat-tempat tinggal mereka sudah rata dengan tanah.
Dalam ingatan, tersimpan sebuah bait syair yang sudah lama tidak saya ketahui maknanya. Namun di hadapan lembaran yang menyedihkan ini, saya benar-benar melihat makna bait syair ini secara jelas. Berikut bait syairnya:
لَوْلاَ مُفَارَقَةُ الْاَحْبَابِ مَا وَجَدَتْ لَهَا الْمَنَايَا اِلي اَرْوَاحِنَا سُبُلاً
Andai bukan karena perpisahan dengan orang-orang tercinta
Tentu kematian tak akan menemukan jalan menghampiri ruh-ruh kami.
Artinya, faktor yang paling sering membunuh orang adalah berpisah dengan orang-orang tercinta. Ya. Sungguh, tak ada sesuatu pun yang menyakiti, membakar, dan membuat saya menangis melebihi kondisi ini. Andai tidak ada bantuan dari al-Qur'an dan iman yang datang menghampiri, niscaya duka, rasa pilu, dan kesedihan ini sangat membekas dalam ruhani dan seakan membawanya terbang.
Para pujangga sudah biasa menangis melalui syair atas runtuhnya rumah-rumah yang dulunya jadi tempat mereka menemui orang-orang tercinta, seiring perjalanan waktu. Dan kini saya sendiri dengan mata kepala menyaksikan lembar-lembar perpisahan yang jauh lebih menyakitkan, hingga jiwa dan hati ini membantu mata, lantas menangis semua dengan sedihnya seperti orang yang melintasi makam orang yang dicintanya setelah dua ratus tahun.
Bayangan-bayangan waktu dan masa melintas di depan kedua mata ini tepat di tempat-tempat yang kini telah runtuh, padahal dulunya ramai, menyenangkan, dan menggembirakan. Itulah lembaran-lembaran terindah kehidupan yang saya lalui bersama murid-murid tercinta selama hampir duapuluh tahun mengajar, dalam kehidupan yang paling manis. Semuanya berlalu dalam wujud seakan dibangkitkan kembali, hidup, dan diperagakan, setelah itu mati dan pergi, laksana berlalunya gambar-gambar film dokumenter di depan mata.
Saat itulah saya merasa heran sekali terkait kondisi para pecinta dunia, bagaimana mereka menipu diri sendiri, karena kondisi yang saya lihat ini secara pasti menampakkan bahwa dunia ini benar-benar fana, dan manusia hanya tamu di sana. Dengan mata kepala, saya melihat sejauh mana kebenaran tutur kata para ahli hakikat, “Jangan sampai Anda tertipu dunia, karena dunia suka menipu, makar, menggoda, dan buruk.”
Di dunia saya yang khas untuk saya, saya melihat bahwa setiap orang memiliki hubungan dengan kampung halaman dan negeri asalnya, bahkan dengan dunianya, seperti halnya dia juga memiliki hubungan dengan jasmaninya dan rumahnya. Hal itu karena, saat saya menangis dengan mata ini karena lemahnya masa tua, itu juga karena fisik dan keberadaan saya. Saya ingin menangis dengan sepuluh mata, namun bukan hanya karena masa tua madrasah saya saja, tapi juga karena kematiannya. Saya perlu menangis dengan seratus mata untuk menangisi kampung halaman saya yang indah namun sudah separuh mati. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa seorang malaikat menyeru dan memanggil setiap
297. Page
pagi hari, “Lahirkan (anak) untuk kematian, dan dirikan (bagunan) untuk ditinggalkan.”[1] Saya mendengar hakikat ini dengan kedua telinga saya dan melihatnya dengan kedua mata saya.
Ya. Sebagaimana kondisi saya ini sudah membuat saya menangis, demikian pula khayalan saya pun menangis setiap kali membayangkan kondisi tersebut sejak sepuluh tahun silam.
Betul. Runtuhnya rumah-rumah di atas benteng tua yang sudah hidup ribuan tahun, penuaan kota yang berada di bawah benteng selama 800 tahun dalam rentang waktu delapan tahun, kematian madrasah saya yang tepat berada di bawah benteng yang dulu mendenyutkan kehidupan dan aktivitas, yang dulu menjadi tempat kumpul orang-orang tercinta namun kin berubah menjadi bongkahan batu besar benteng Van, menjadi saksi kubur sekaligus mengisyaratkan keagungan maknawi jenazah yang juga mengisyaratkan kematian seluruh madrasah yang berada di bawah Daulah Utsmaniyah. Hal itu membuat saya sekan melihat murid-murid yang sudah tiada yang dulu pernah berada di madrasah ini delapan tahun silam turut menangis bersama saya di dalam kuburan mereka. Bahkan dinding-dinding runtuh dan bebatuan yang berserakan di kota ini, semuanya terlihat seakan ikut menangis bersama saya!
Saat itulah saya tahu bahwa saya tidak bisa menanggung rasa terasing di tengah kampung halaman sendiri. Saya berfikir mungkin pergi menyusul mereka ke kuburan mereka, atau menjauh dari pergaulan manusia dan tinggal di dalam gua di gunung seraya menantikan ajal tiba. Saya berkata, “Mengingat di dunia terdapat perpisahan-perpisahan yang menyayat hati dan memilukan yang melemahkan kesabaran dan tak akan mungkin ditanggung serta dihadapi ini, maka lebih baik mati ketimbang hidup.” Kondisi hidup yang berat seperti ini bukan termasuk kesulitan yang bisa ditanggung. Akhirnya saya menatap ke arah enam jurus mata angin, ternyata saya dapatkan semuanya gelap. Kelalaian yang muncul akibat duka dan kesedihan mendalam, menyingkap dunia ini begitu menakutkan, mengkhawatirkan, dan kosong sama sekali. Dunia serasa hendak runtuh menimpa kepala saya.
Adapun ruh saya, saat ia mencari titik sandaran untuk menghadap berbagai bencana tak terbatas yang bersikap memusuhi saya, saat ia berusaha menemukan titik sandaran yang bisa memenuhi keinginan-keinginan ruhani saya yang tak terbatas yang membentang hingga selamanya, saat menantikan dan mengharapkan adanya hiburan atas duka dan kesedihan yang timbul akibat perpisahan, kehancuran, dan kematian tak terbatas, tiba-tiba muncul hakikat dua ayat al-Qur'an:
[1] Hadits diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Hurairah dan Zubair secara marfu’, hadits nomor 10324, 10325, dengan lafazh: Seorang malaikat berada di salah satu pintu langit, dan seterusnya. Di antara isi hadits: Seorang malaikat di pintu lainnya berkata, “Wahai manusia! kemarilah menuju Rabb kalian, karena sedikit namun mencukupi, lebih baik dari banyak namun melalaikan.” Seorang malaikat di pintu lain menyerukan, “Wahai anak Adam! Lahirkan (anak) untuk kematian, dan dirikan (bangunan) untuk ditinggalkan.” Juga diriwayatkan Ahmad dan al-Nasa`i dalam Al-Kabir tanpa riwayat penguat. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Juga diriwayatkan al-Baihaqi dari Abu Hakim, maula Zubair, secara marfu’: Setiap pagi yang dilalui semua hamba, ada seorang (malaikat) meneriakkan, “Lahirkan (anak) untuk kematian, kumpulkan (harta benda dan apa saja) untuk kefanaan, dan dirikan (bangunan) untuk ditinggalkan.” Juga diriwayatkan Abu Nu’aim dari Abu Dzar secara mauquf dan muqathi’, ia berkata, “Kalian melahirkan (anak) untuk kematian, mendirikan (bangunan) untuk ditinggalkan, lebih mementingkan yang fana dan meninggalkan yang abadi.” Juga diriwayatkan Ahmad dalam az-Zuhd dari Abdul Wahid bin Ziyad. (Baca: Kasyf al-Khafa’, hadits nomor 2041)
298. Page
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِي السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ وَهُوَ الْعَزيزُ الْحَكيمُ{ لَهُ مُلْكُ السَّمٰوَاتِ وَ الْاَرْضِ يُحْيي وَ يُميتُ وَ هُوَ عَلٰي كُلِّ شَئٍ قَديرٌ
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. al-Hadid [57]: 1-2)
Hakikat kedua ayat ini tampak dan menyelamatkan saya dari khayalan yang menakutkan, menyedihkan, penuh dengan kekalutan, dan perpisahan tersebut. Hakikat ini membuka kedua mata saya. Saya bisa melihat buah di atas pohon menatap ke arah saya dengan senyum mengembang, seraya berkata, “Pandanglah saya juga, jangan melulu menatap tempat-tempat yang hancur itu.” Hakikat ayat mulia ini mengingatkan dan menasehati sebagai berikut:
Mengapa jatuhnya sebuah surat yang ditulis oleh tangan para tamu di atas lembaran gurun Van dan menciptakan bentuk kota, lalu kota ini jatuh dalam musibah banjir dahsyat menakutkan yang bernama penjajahan Rusia dan sapuannya atasnya, membuatmu sedih dan duka sampai seperti ini?
Sebagai ganti dari itu, perhatikanlah Sang Pengukir Azali yang merupakan Pemilik dan Rabb hakiki segala sesuatu, agar kau bisa melihat bahwa tulisan-tulisan-Nya di atas lembaran kota Van tetap berlangsung dan ditulis sekali lagi dengan keagungan dan wibawa paling sempurna seperti yang pernah kau lihat sebelumnya.
Tangisan dan ratapanmu atas keruntuhan dan kosongnya tempat-tempat tersebut dari penduduk dan warga, muncul karena kau melalaikan Sang Pemilik Hakiki, juga karena tidak membayangkan bahwa manusia adalah tamu. Bahkan muncul pula dari kesalahan dugaanmu yang mengesankan bahwa mereka adalah pemilik hakiki tempat ini.
Namun, akhirnya pintu hakikat terbuka dari kesalahan itu, serta dari kondisi yang memilukan dan menyayat hati itu. Jiwa ini kemudian mempersiapkan diri secara sempurna untuk menerima hakikat tersebut.
Ya. Sebagaimana besi dimasukkan ke dalam api agar melunak, selanjutnya ditempa menjadi bentuk yang berguna dan bermanfaat, demikian pula kondisi yang menyedihkan dan situasi yang menakutkan tersebut berubah menjadi api sehingga melunakkan jiwa saya. Al-Qur'an yang bayannya penuh mukjizat itu memperlihatkan secara sempurna luapan hakikat-hakikat iman melalui hakikat ayat tersebut di atas, hingga menjadikan jiwa ini mampu menerimanya dengan baik.
Ya. Sebagaimana telah kami sebutkan dalam “Maktub Keduapuluh” dan di bagian risalah-risalah lainnya, alhamdulillah, hakikat ayat ini telah memberikan titik sandaran kepada jiwa dan hati saya melalui luapan iman. Ia juga menyingkap titik sandaran tersebut sebatas kekuatan iman yang dimiliki setiap orang, karena hakikat ini merupakan kekuatan yang muncul dari keimanan kepada Allah, mampu menghadapi berbagai macam musibah yang seratus kali lebih menakutkan dan lebih membahayakan dari kondisi-kondisi menakutkan yang saya hadapi di atas, sekaligus mengingatkan saya sebagai berikut:
Segala sesuatu tunduk pada perintah Sang Pemilik Hakiki negeri dan kampung halaman ini, yang Dia adalah Penciptamu. Kendali tiap sesuatu berada di tangan-Nya, maka kau cukup mengandalkan intisab pada-Nya.
299. Page
Setelah saya bersandar pada Pencipta saya dan mengenal-Nya, segala sesuatu yang tadinya memusuhi saya telah meninggalkan permusuhannya, dan segala kondisi menyedihkan yang sebelumnya membuat saya menangis mulai membuat saya merasa senang dan bahagia.
Seperti yang telah kami tegaskan melalui sejumlah bukti qath’i di banyak bagian Risalah al-Nur, hakikat ayat mulia tersebut selain memberi saya cahaya yang muncul dari keimanan terhadap akhirat sesuai keinginan-keinginan tak terbatas, juga memberikan titik sandaran yang bukan hanya memenuhi segala keinginan, hubungan, dan kaitan duniawi yang pendek, kecil, dan sesaat dengan orang-orang saya tercinta saja di dunia, tapi juga memenuhi segala keinginan tak terbatas untuk kebahagiaan abadi, di alam baqa, dan dalam keabadian selamanya.
Hal itu karena, siapa pun yang dengan keimanan bersandar pada rahmat al-Rahman al-Rahim yang berkenan memberikan kenikmatan kepada para tamu melalui sebagian di antara tajalli-tajalli rahmat setiap kali musim semi berupa berbagai nikmat yang indah dan menawan tak terbatas di atas jamuan musim semi di muka bumi yang merupakan salah satu kediaman sesaat di dunia, untuk membuat mereka senang beberapa saat, memasukkan kesenangan di hati mereka, memberikan nikmat itu kepada mereka seakan sebagai sarapan pagi saja bagi mereka, setelah itu Dia memenuhi delapan surga dengan kenikmatan-kenikmatan tak terhingga dan dalam waktu yang tak terbatas pula. Dia menyediakan semua itu bagi para hamba-Nya di tempat tinggal mereka yang abadi … Ya, siapa pun yang bersandar kepada rahmat al-Rahman dan al-Rahim tersebut melalui iman dan mengetahui intisabnya pada-Nya, tak diragukan lagi dia pasti menemukan titik sandaran, di mana tingkatan paling rendah sandaran ini akan memperkuat harapan-harapan abadi tak terbatas dan melanggengkannya.
Lalu, cahaya yang muncul dari sinar keimanan terhadap hakikat ayat tersebut tampak berkilau terang benderang menerangi enam jurus mata angin yang gelap dan menyinarinya laksana siang hari, karena cahaya ini menyinari kondisi yang membuat saya terpaku di sini dan menangisi para murid dan teman-teman saya di madrasah dan di kota ini. Hal itu mengingatkan saya bahwa alam yang telah didatangi oleh orang-orang tercinta tidaklah gelap. Mereka hanya pindah tempat saja. Itu juga mengingatkan saya bahwa kami akan bertemu sekali lagi.
Cahaya itu memahamkan saya bahwa saya akan menemukan orang yang akan menggantikan posisi mereka dan menyerupai mereka di dunia, lantas membuat tangisan saya benar-benar berhenti sama sekali.
Ya. Alhamdulillah, Allah S.w.t telah menghidupkan kembali madrasah Van yang sudah mati itu dengan madrasah “Isparta.” Bahkan Allah juga menghidupkan kembali madrasah Van secara maknawi melalui keberadaan para murid dan orang-orang tercinta yang jauh lebih banyak dan lebih baik dari murid-murid dan orang-orang tercinta di Van. Allah memberitahu saya bahwa dunia ini tidaklah sepi dan kosong. Saya telah membuat persepsi keliru dengan mengira dunia sebagai negeri runtuh, namun Pemilik Hakiki tempat tersebut mengganti lembaran-lembaran ciptaan manusia sesuai tuntutan hikmah-Nya dan memperbarui tulisan-tulisan-Nya. Peristiwa kepergian dan perpisahan tak lain hanyalah sebagai pembaruan semata, seperti datangnya buah baru yang menggantikan buah lama yang sudah dipetik dari suatu pohon. Kepergian dan perpisahan bukanlah kesedihan yang timbul dari lenyapnya orang-orang tercinta, tapi pembaruan yang membangkitkan rasa sedih yang nikmat yang timbul dari perpisahan demi pertemuan kembali di suatu tempat lain yang indah dilihat dari sudut
300. Page
pandang iman. Lalu ia menerangi wajah seluruh wujud yang ada di jagad raya yang terlihat gelap karena kondisi mengerikan tersebut. Di kala itu, saya merasa ingin sekali memanjatkan rasa syukur atas kondisi yang terjadi, hingga kata-kata dalam bahasa Arab ini melintas dalam fikiran saya, lalu menggambarkan hakikat di atas dengan sendirinya. Saya katakan:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي نُورِ الْأيمَانِ الْمُصَوِّرِ مَا يُتَوَهَّمُ اَجَانِبُ اَعْدَاءً اَمْوَاتًا مُوَحِّشينَ اَيْتَامًا بَاكينَ اَوِدَّاءَ اِخْوَانًا اَحْيَاءً مُونِسينَ مُرَخَّصينَ مَسْرُورينَ ذَاكِرينَ مُسَبِّحينَ
Artinya, saya memuji Sang Pencipta dengan pujian tak terbatas atas karunia cahaya iman. Sebab, ketika dulu –disebabkan anggapan jiwa saya yang lalai yang timbul dari pengaruh kondisi yang mengerikan dan menakutkan itu– saya memandang sebagian wujud yang ada di jagad raya ini sebagai musuh dan makhluk asing,[1] sebagian lainnya lagi sebagai jenazah-jenazah menakutkan, sebagian lainnya pula sebagai anak-anak yatim yang menangis karena tidak adanya penolong dan pembela. Namun berkat cahaya iman melalui ‘ainul yaqin, saya melihat pemandangan yang menakutkan itu, yakni orang-orang yang terlihat seakan musuh dan asing itu tak lain adalah orang-orang tercinta dan para saudara. Bahwa jenazah-jenazah yang menakutkan itu, sebagian di antara mereka hidup dan menemani, sebagian lagi adalah orang-orang yang dibebas-tugaskan dan dilepaskan dari tugas-tugas mereka. Bahwa tangisan dan jeritan anak-anak yatim yang menangis itu tidak lain adalah golongan zikir dan tasbih. Karena itu, saya memanjatkan pujian tak terbatas kepada Sang Pencipta Maha Agung yang telah memberi saya karunia iman yang merupakan sumber nikmat yang tak terbatas.
Karena saya berhak menggunakan semua maujudat– wujud yang ada di dunia saya yang khusus dan sangat besar sebesar dunia– untuk bertahmid dan bertasbih dalam persepsi fikiran dan niat, maka kita mengatakan bersama-sama melalui bahasa kondisonal setiap satunya dan bahasa kondisonal keseluruhannya, “Segala puji bagi Allah atas karunia cahaya iman” (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي نُورِ الْأيمَانِ).
Selanjutnya, segala kenikmatan hidup yang sirna akibat kondisi mencekam yang muncul lantaran kelalaian, juga segala harapan yang lenyap secara keseluruhan dan yang sirna sama sekali, bahkan segala kenikmatan dan kelezatan yang terbatas untuk diri saya yang terhimpit bahkan lenyap dan hilang di daerah yang paling sempit, semuanya tiba-tiba melalui cahaya iman memperluas lingkup yang amat sempit yang hanya mencakup hati hingga memuat jagad raya secara keseluruhan, sebagaimana telah kami tegaskan secara pasti di dalam risalah-risalah lain. Semua itu menjadikan alam dunia dan alam akhirat laksana dua hidangan kenikmatan dan hidangan rahmat, menggantikan kenikmatan-kenikmatan kering tanpa kelezatan yang ada di taman Madrasah Khorkhor. Semua itu memperlihatkan bahwa setiap bagian perangkat tubuh manusia yang mencapai sepuluh bahkan seratus, seperti mata, telinga, dan hati, laksana tangan panjang yang menjulur ke kedua hidangan al-Rahman itu sesuai tingkatan setiap mukmin, dan mengumpulkan kenikmatan dari segala penjuru kedua hidangan tersebut.
Karena itu, sebagai ungkapan atas hakikat luhur ini, dan sebagai rasa syukur tak terhingga atas beragam nikmat yang diberi, ketika itu saya mengucapkan:
[1] Maksudnya berbagai musibah, seperti gempa bumi, badai topan, wabah penyakit, kebakaran dan lainnya (penulis).
301. Page
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي نُورِ الْأيمَانِ الْمُصَوِّرِ للِدَّارَيْنِ مَمْلُوئَتَيْنِ مِنَ النِّعْمَةِ وَ الرَّحْمَةِ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ حَقٌّ اَنْ يَسْتَفيدَ مِنْهُمَا بِحَوَاسِّهِ الْكَثيرَةِ الْمُنْكَشِفَةِ بِاِذْنِ خَالِقِه
Artinya, saya memuji Sang Pencipta atas nikmat cahaya iman yang memperlihatkan dunia dan akhirat laksana dua hidangan yang dipenuhi kenikmatan dan rahmat. Dia memberikan manfaat bagi semua orang mukmin hakiki dari dua hidangan besar ini melalui tangan semua indera mereka yang terungkap dan terbentang karena cahaya iman dan Islam.
Andaikan saya memiliki kemampuan bersyukur kepada Pencipta saya yang telah memberikan karunia iman, dan memuji-Nya dengan seluruh atom yang ada dalam tubuh saya sepenuh dunia dan akhirat, pasti saya lakukan.
Karena iman memberikan pengaruh sebesar ini di dunia, tentu ia akan memberikan buah dan luapan-luapan pula di alam baka nanti yang tak mungkin digambarkan dan dibayangkan oleh akal di dunia ini.
Maka, wahai para orang tua yang banyak menanggung beban derita perpisahan dengan orang-orang tercinta seperti saya ini karena masa tua!
Anda mungkin secara usia lahiriah lebih tua dari saya, namun saya yakin saya lebih tua dari Anda secara maknawi. Hal itu karena dalam fitrah saya ada rasa kasih sayang dan belas kasih yang besar terhadap sesama bangsa saya. Melalui rasa kasih sayang dan belas kasih inilah, saya merasakan derita yang dialami oleh ribuan saudara saya lainnya, jauh lebih besar dari derita pribadi saya. Itu sebabnya, saya ini sudah tua renta seakan sudah berusia ratusan tahun!!
Betapa pun berat derita perpisahan yang Anda alami, Anda belum menghadapi derita yang pernah saya hadapi. Meski saya tidak punya anak untuk saya fikirkan dan saya risaukan, namun saya merasa iba dan derita terhadap ribuan anak-anak kaum muslimin. Bahkan saya juga merasakan derita yang dialami hewan-hewan tak berdosa melalui rahasia kasih sayang dan belas kasih fitri kuat yang terpendalam di dalam diri saya. Saya memang tidak memiliki rumah pribadi untuk saya fikirkan, namun saya punya ikatan kuat dengan negeri ini dari sisi fanatisme Islam, bahkan dengan dunia Islam yang semuanya serasa seakan rumah bagi saya. Saya juga menanggung derita yang dirasakan kaum muslimin di dua rumah besar ini (Turki dan seluruh dunia Islam). Saya sedih berpisah dengan mereka.
Demikianlah, cahaya iman sangat cukup bagi saya untuk menghadapi segala kesedihan yang muncul dari masa tua secara keseluruhan, juga dari cobaan perpisahan. Cahaya iman memberikan harapan yang tak pernah akan pupus dan lenyap, cita-cita yang tidak akan terputus, cahaya yang tak akan pernah padam, hiburan yang tak akan pernah hilang.
Tak dapat diragukan lagi, iman sudah cukup dan memadai bagi Anda untuk menghadapi segala kegelapan, kelalaian, kesedihan, dan duka derita yang muncul akibat masa tua. Masa tua yang paling gelap dan paling pekat, juga yang paling minim hiburan, pada hakikatnya adalah masa tua para pengikut kesesatan dan orang-orang bodoh. Dan jenis perpisahan yang sangat menyakitkan dan menakutkan adalah perpisahan mereka ini. Mustahil merasakan kenikmatan iman yang memberikan harapan, cahaya, dan hiburan tersebut, juga mustahil merasakan pengaruhnya, kecuali dengan menjalankan ibadah yang selaras dengan masa tua, dan yang sejalan dengan Islam, yang dilakukan dengan sepenuh pengertian dan kesadaran, bukan dengan berusaha menyerupai kaum muda, dan bukan pula dengan melupakan masa tua dengan tenggelam dalam kelalaian mereka melalui mabuk.
302. Page
Renungkan hadits ini:
خَيْرُ شُبَّانِكُمْ مَنْ تَشَبَّهَ بِكُهُولِكُمْ وَشَرُّ كُهُولِكُمْ مَنْ تَشَبَّهَ بِشُبَّانِكُمْ
“Sebaik-baik pemuda adalah yang menyerupai orang tua di antara kalian, dan seburuk-buruk orang tua adalah yang menyerupai pemuda di antara kalian,”[1] atau seperti yang beliau sampaikan. Artinya, sebaik-baik pemuda adalah yang mirip orang tua dalam hal kematangan berfikir, bersabar, hati-hati, dan menjauhi tindakan bodoh. Dan seburuk-buruk orang tua dan jompo adalah orang yang menyerupai pemuda dalam hal bertindak bodoh dan tenggelam dalam kelalaian.
Wahai saudara-saudara sesama orang tua! Disebutkan dalam sebuah hadits yang maknanya demikian: “Rahmat ilahi malu untuk menolak tangan seorang tua mukmin atau mukminah yang berdoa kepada Allah dengan mengangkat kedua tangan ke hadirat ilahi.” [2]
Karena rahmat ilahi memuliakan dan menghargai Anda hingga sedemikian rupa, maka Anda juga harus memuliakan layaknya kemuliaan dan pengharaan yang diberikan rahmat terhadap ubudiyah Anda.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
Harapan Keempatbelas
Indeks “Sinar Keempat”
Disertakan di sini karena konteksnya sama
Kesimpulan bagian awal ayat nuriyah hasbiyah, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ), yang merupakan “Sinar Keempat.”
para pecinta dunia melepaskan saya dari segala sesuatu di masa lalu, saya jatuh dalam lima macam keterasingan. Selanjutnya, disebabkan kelalaian yang muncul dari kesempitan dan keluh kesah, saya menatap hati, mencari ruh saya secara langsung tanpa memandang cahaya Risalah al-Nur yang berfungsi sebagai hiburan dan bekal. Saya akhirnya melihat bahwa saya telah dikuasai dan didominasi dengan kuat oleh rasa cinta untuk hidup abadi, cinta kuat terhadap eksistensi, kerinduan besar terhadap kehidupan, kelemahan tanpa batas, dan kemiskinan tanpa akhir. Namun kefanaan yang menakutkan memadamkan
1] Baca: Al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 5904, Al-Mu’jam Al-Kabir, hadits nomor 202, Musnad Abu Ya’la, hadits nomor 7483, Musnad Asy-Syihab, hadits nomor 1255.
[2] Hadits diriwayatkan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath karya Muhammad bin Ahmad bin Barra, ia berkata, “Mu’afa bin Sulaiman bercerita kepada kami, ia berkata, ‘Musa bin A’yun bercerita kepada kami, dari Shalih bin Rasyid, dari seseorang dengan kuniah Abu Ubaid, dari Anas bin Malik, dari Nabi S.a.w, beliau bersabda, ‘Sungguh, Allah 'Azza wa Jalla malu kepada orang tua muslim –jika ia berpegang teguh pada sunnah- yang meminta kepada-Nya lalu tidak mengambulkannya’.” Baca: Al-Mu’jam al-Awsath (V/270), hadits nomor 5286.
303. Page
keabadian ini. Dalam kondisi demikian, lalu saya katakan seperti yang dituturkan seorang penyair[1] yang dirundung duka dan nestapa karena cinta:
Hati menginginkan hidup selamanya
Sementara Zat al-Haq telah menakdirkan kefanaan
Penyakit kronis telah menggerogoti
Namun tak mampu diobati orang bijak[2] paling berkilau itu.
Saya menundukkan kepala merasa putus asa. Lalu tiba-tiba datang ayat:
حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ
“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung,” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 173).
Ayat ini datang untuk memberikan pertolongan danbantuan kepada saya, dengan berkata, “Bacalah aku melalui perenungan dan pemahaman.” Saya kemudian membaca ayat ini sebanyak lima ratus kali sehari. Setiap kali saya membacanya, tampak ada sembilan tingkatan cahaya hasbiyah (kecukupan) di antara cahaya-cahayanya yang bernilai besar, bukan hanya melalui ‘ilmul yaqin, tapi juga melalui ‘ainul yaqin.
Tingkatan cahaya hasbiyah pertama:
Apa pun keinginan untuk abadi yang ada dalam diri saya bukan mengarah pada keabadian saya, tapi pada esensi saya terdapat salah satu bayangan tajalli di antara banyak tajalli nama dari nama-nama al-Haq S.w.t yang memiliki kesempurnaan, yang Dia adalah Pemilik kesempurnaan mutlak dan dicintai zat-Nya tanpa sebab dan motif. Cinta fitri yang ada dalam fitrah saya –yang mengarah kepada keberadaan Sang Maha Sempurna secara mutlak, serta kesempurnaan dan keabadian-Nya– tersesat jalan dan berpegangan pada bayangan serta mencintai kekekalan cermin karena kelalaian. Hingga datanglah ayat, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ). Saya kemudian menyingkap tirai, lalu saya melihat, merasakan, dan mengecap dengan haqqul yaqin bahwa kenikmatan keabadian saya dan kebahagiaannya ada dengan sendirinya dan lebih sempurna darinya dalam pengakuan saya, keimanan saya, dan ketundukan saya pada kekekalan Sang Maha Kekal pemilik kesempurnaan, serta kapasitas-Nya sebagai Rabb dan Tuhan saya. Dalil-dalilnya sudah dijelaskan dalam Risalah Hasbiyah (kecukupan) melalui penjelasan yang diawali dengan kata “kemudian, kemudian, kemudian,” sebanyak duabelas kali, juga berdasarkan perasaan-perasaan iman dalam bentuk yang amat jeli dan mendalam yang membingungkan siapa pun yang punya perasaan.
Tingkatan cahaya hasbiyah kedua:
Ketika para pecinta dunia menyerang saya dengan berbagai penyusupan dan mata-mata kala saya tengah menjalani masa tua, terasing, seorang diri, terlepas dari segalanya, bersama kelemahan tak terbatas yang ada dalam fitrah saya, saya bergumam dalam hati, “Sekelompok pasukan tentara menyerang seseorang yang lemah, sakit, dan terbelenggu.” Akhirnya saya merujuk ayat, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ) seraya berkata, “Bukankah saya memiliki titik sandaran untuk saya
[1] Maksudnya Niyazi Al-Mishri.
[2] Maksudnya Luqman Al-Hakim.
304. Page
jadikan pijakan?” Ayat ini kemudian memberitahu saya:
Engkau telah menisbahkan diri melalui dokumen intisab keimanan (intisab imani) kepada Sang Penguasa yang kekuasaan-Nya mutlak, yang dengan keteraturan sempurna memberikan seluruh peralatan pasukan hewan dan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari empat ratus ribu kelompok di setiap musim semi di permukaan bumi. Dia juga memberikan rizki kepada pasukan sangat besar makhluk hidup, khususnya manusia yang berada di garis depan, yang bukan hanya berupa intisari daging, gula dan seluruh makanan yang berhasil diciptakan oleh manusia-manusia berperadaban di masa-masa terakhir ini, tapi juga disematkan dalam berbagai intisari rahmani yang disebut sebagai biji-bijian dan bulir dari berbagai jenis makanan seluruhnya, yang seratus kali lebih menakjubkan dari temuan manusia. Intisari-intisari rizki ini dibungkus dalam pengetahuan-pengetahuan qadari khusus untuk mematangkan dan membentangkan rizki tersebut, untuk selanjutnya disimpan dalam kotak-kotak dan bungkus-bungkus kecil untuk menjaganya, di mana kotak-kotak kecil tersebut diciptakan dalam pabrik kaf dan nun yang terdapat dalam perintah kun (“Jadilah!”) dengan cepat, mudah, dan dalam jumlah besar. Al-Qur'an Karim sendiri menyebutkan, ketika Sang Pencipta memerintahkan sesuatu, maka terjadilah sesuatu itu.
Karena kondisinya demikian itu, maka dimungkinkan bagimu untuk bersandar pada suatu kekuatan dan qudrat tak terbatas, sehingga engkau dapat menemukan titik sandaran seperti ini melalui perantara dokumen intisab imani yang kuat.
Dan saya, dengan peran saya, menemukan suatu kekuatan maknawi setiap kali menerima pelajaran dari ayat ini, lalu dengan segenap jiwa saya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ) serta saya merasakan dan mengecap suatu qudrat iman yang mampu mengatasi tantangan dunia seluruhnya, bukan hanya tantangan musuh-musuh saya pada saat ini saja.
Tingkatan cahaya hasbiyah ketiga
Ketika iman memberitahu bahwa saya ini dicalonkan untuk kebahagiaan abadi di alam abadi di negeri abadi, di waktu saya dapatkan diri saya telah mulai putus hubungan dan ikatan dengan dunia karena berbagai kesulitan yang saya hadapi, seperti terasing, sakit, kezaliman yang memusuhi saya; saya membayangkan rintihan dan ratapan yang menunjukkan kerugian, saya menuturkan kata-kata dan ungkapan yang menampakkan keceriaan, kebahagiaan dan kesenangan. Namun saya mulai berfikir bahwa harapan, tujuan ruhani dan hasil fitrah ini tak akan terwujud tanpa bersandar pada qudrat tak terbatas Sang Maha Kuasa Mutlak yang mengetahui dan mencatat seluruh gerakan, diam, kondisi, perbuatan berupa tutur kata maupun tindakan seluruh makhluk, yang menjadikan manusia kecil dan lemah secara mutlak ini sebagai kekasih dan lawan bicara-Nya. Dia pun memberinya kedudukan melebihi kedudukan seluruh makhluk, di mana semua ini tak akan bisa tercapai kecuali dengan pertolongan dan perhatian-Nya yang tak terbatas terhadap manusia.
Ya, saat berfikir seperti ini, saya mencari penjelasan yang bisa menenangkan hati, mengungkap dan meningkatkan keimanan melalui dua poin berikut: seputar efektifitas qudrat yang seperti ini, dan urgensi hakiki manusia yang secara lahiriah tak memiliki nilai.
Sekali lagi, saya merujuk ayat di atas, lalu ayat tersebut berkata kepada saya, “Perhatikan huruf na (نَا) dari kata hasbuna (حَسْبُنَا), dan renungkan dengan baik.” Ayat ini menyuruh saya dengan mengatakan, “Dengarkan siapa yang secara bersama-sama denganmu
305. Page
mengucapkan kata hasbuna dengan bahasa kondisional dan tutur kata nyata.” Saya kemudian memandang ke sana-sini, lalu saya melihat burung-burung tak terhingga, lalat-lalat yang merupakan burung kecil tak terhitung, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan tak terbatas, berbagai pepohonan tak terbatas, mengingatkan pada orang seperti saya melalui bahasa kondisional tentang makna, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ). Ayat ini mengingatkan pada semuanya bahwa mereka mempunyai wakil yang menjamin mereka dengan seluruh persyaratan dan aspek pelaksanaannya. Ayat ini memperlihatkan lingkup keagungan dan kemuliaan suatu qudrat yang mengadakan dan menciptakan berbagai jenis burung yang jumlahnya mencapai seratus ribu spesies, jenis-jenis hewan yang jumlahnya mencapai seratus ribu spesies, berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu populasi, jenis-jenis pepohonan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu populasi, dari sel-sel telur yang memiliki materi hampir sama, dan tetesan-tetesan sel sperma yang juga memiliki bentuk hampir sama, dari biji-bijian yang sebagiannya seakan mata bagi sebagian lain, dari bulir-bulir yang memiliki bentuk seragam. Dia menciptakan makhluk-makhluk itu di hadapan mata kita, apalagi di setiap musim semi dalam jumlah yang begitu banyak, mudah dan luas, serta dalam bentuk yang indah, menawan, seimbang, sempurna, tertata rapi, dan berbeda satu sama lain tanpa adanya kesalahan, kekurangan, dan cela.
Ya, penciptaan seluruh wujud ini secara bersamaan, menyatu, mirip, dan merasuk satu sama lain dengan model yang sama, menunjukkan kesatuan dan keesaan wakil tersebut dalam lingkup keagungan qudrat, serta kemuliaan dan kehebatannya. Ini semua memberitahu dan memaklumkan bahwa mustahil adanya intervensi dan campur tangan dalam perbuatan rububiyah dan proses penciptaan yang menampakkan dan memperlihatkan serangkaian mukjizat yang tak terhingga seperti ini.
Ya, demikianlah yang saya fahami. Siapa pun yang ingin memahami hobi pribadi saya dan juga identitas saya sebagai manusia, sebagaimana halnya identitas setiap mukmin, dan ingin menjadi seperti saya, silahkan memperhatikan tafsir ana (أنا) dalam bentuk jamak dari kata na (نَا) dalam hasbuna (حَسْبُنَا), maksudnya penafsiran diri saya padanya. Selanjutnya silahkan memahami apa itu fisik saya yang terlihat kecil dan miskin seperti wujud setiap mukmin? Apa itu kehidupan? Apa itu kemanusiaan? Apa itu Islam? Apa itu keimanan hakiki? Apa itu makrifatullah? Dan bagaimana seharusnya cinta? Fahamilah semua ini, dan ambillah pelajaran darinya.
Tingkat cahaya hasbiyah keempat:
Suatu hari berbagai halangan yang mengguncang dan mengkhawatirkan eksistensi dan fisik saya sepakat menyatu, mulai dari masa tua, keterasingan, penyakiti, dan ketidakberdayaan yang datang saat diri saya berada dalam kelalaian. Saya mulai berfikir tentang kepergian wujud saya yang amat saya cintai dan membuat saya tergoda, juga keberadaan hewan-hewan, menuju ketiadaan. Fikiran ini sangat meresahkan saya. Akhirnya saya merujuk ayat hasbiyah itu lagi, lalu ayat ini berkata kepada saya: “Renungkanlah maknaku, fikirkan maknanya baik-baik, tataplah dengan pandangan iman.”
Saya kemudian memandang. Lalu dengan mata keimanan, saya melihat bahwa eksistensi saya yang amat kecil sekecil atom ini adalah cermin eksistensi tak terbatas seperti eksistensi setiap mukmin, sarana untuk mendapatkan eksistensi tak terbatas dengan hamparan
306. Page
tak terhingga, kata hikmah yang membuahkan eksistensi abadi beragam yang lebih penting, lebih baik, dan lebih berharga darinya. Kehidupannya yang sesaat dari sisi intisabnya memiliki nilai luhur seukuran eksistensi. Saat itulah saya mengetahui dengan ilmul yaqin, karena saya memahami dengan kesadaran iman, bahwa eksistensi saya ini jejak dan ciptaan Zat yang Wajib Ada, juga salah satu di antara tajalli-Nya, sehingga akhirnya saya terlepas dari dugaan-dugaan yang menakutkan, terlepas dari berbagai macam perpisahan tak terbatas, terlepas dari duka derita perpisahan dan kepergian tak terbatas tersebut. Saya tahu bahwa di luar sana ada pertemuan abadi dalam lingkup perpisahan sesaat antara saya dan seluruh wujud yang saya cintai. Saya mengikat hubungan dan kaitan melalui ikatan persaudaraan dengan wujud-wujud tersebut sebanyak bilangan perbuatan dan nama ilahi yang terkait dengan semua wujud, khususnya makhluk hidup.
Demikianlah eksistensi saya ini, sama seperti eksistensi setiap orang mukmin, memperoleh melalui keimanan dan intisab yang terdapat dalam keimanan, cahaya-cahaya tanpa pernah berpisah dengan seluruh jenis eksistensi yang tak terhingga. Bahkan meskipun eksistensi saya telah tiada, kekekalan jenis-jenis eksistensi lain di belakangnya membuatnya rela bahagia seolah-olah dialah yang abadi.
Singkat kata, kematian bukanlah perpisahan, tapi merupakan penghubungan, pergantian tempat, dan penumbuhan hasil buah yang abadi.
Tingkatan cahaya hasbiyah kelima:
Kehidupan saya penah goyah dan terguncang seraya memperbarui diri karena serangan lingkungan yang keras dan memaksa. Pandangan saya kemudian beralih ke usia dan kehidupan. Lalu saya melihat bahwa umur saya berlalu dengan cepat seolah-olah berlari, dan dekat dari akhirat. Kehidupan saya juga mulai padam karena serangan berbagai kesulitan.
Namun tugas-tugas penting kehidupan, berbagai keistimewaannya yang besar dan manfaatnya yang tak ternilai –seperti yang dijelaskan dalam risalah seputar nama Allah al-Hayyu (Maha Hidup)– tentu tak sepatutnya jika begitu cepat meredup seperti ini. Justru tugas-tugas ini patut untuk kehidupan panjang. Saat saya berfikir dan bertanya-tanya demikian mengenai masalah ini dengan perasaan terluka, sekali lagi saya merujuk guru dan ustadz saya, yaitu ayat, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكيلُ). Ayat ini kemudian berkata kepada saya, “Pandanglah kehidupan seperti yang diinginkan Sang Maha Hidup dan tak pernah berhenti mengurus makhluk, yang memberimu kehidupan.”
Saya kemudian menatap dan melihat bahwa, jika pun kehidupan ini memiliki satu wajah yang mengarah kepada saya, ia masih memiliki seratus wajah yang mengarah kepada Sang Maha Hidup dan tak pernah berhenti mengurus makhluk. Jika pun ada satu hasilnya yang kembali kepada saya, maka seribu hasil lainnya kembali kepada Sang Pencipta. Karena itu, cukuplah hidup sesaat saja dan dalam satu waktu saja dalam ridha Allah, tak perlu waktu lama.
Hakikat ini dijelaskan melalui empat masalah. Bagi mereka yang bukan mayit, atau mereka yang ingin hidup dengan sebenarnya, maka mereka harus mencari esensi kehidupan, hakikat kehidupan, dan hak-hak hakiki kehidupan dalam keempat masalah tersebut. Silahkan raih itu, dan jalani hidup.
307. Page
Ringkasnya: Selama kehidupan ini mengarah pada Dzat Yang Maha Hidup dan Kekal, serta selama iman menjadi nyawa dan ruh bagi kehidupan, maka kehidupan akan memperoleh kekekalan dan membuahkan hasil yang abadi, bahkan ia naik dan meningkat hingga memperoleh tajalli keabadian. Dan setelah itu, tak perlu lagi diperhatikan panjang-pendeknya umur.
Tingkatan cahaya hasbiyah keenam:
Ketika masa tua semakin bertambah, yang mengingatkan pada perpisahan khusus saya di balik serangkaian kejadian akhir zaman yang akan terjadi pada perpisahan menyeluruh, serta yang memberitahukan kehancuran dunia; ketika perasaan-perasaan tergoda oleh keindahan dan kecintaan pada kesempurnaan yang ada dalam fitrah saya kian bertambah begitu besar tak terkatakan di akhir-akhir usia saya; dengan penuh perasaan dan kesedihan tiada duanya saya melihat ketiadaan dan kefanaan yang selalu menghancurkan, kematian dan ketiadaan yang selalu memisahkan. Semuanya menyerang dunia yang indah ini, menimpa makhluk-makhluk indah dengan serangan kasar, serta mengoyak dan mengotori keindahannya.
Saat kerinduan majazi (isyiq majazi) yang ada dalam fitrah saya memberontak terhadap kondisi ini, melawan dan membangkang dengan kerasnya, saya sekali lagi kembali merujuk ini – ayat hasbiyah – hingga saya mendapatkan hiburan. Ayat ini kemudian berkata kepada saya:
“Bacalah aku baik-baik, renungkan maknaku, aku sendiri termasuk dalam pengawasan ayat:”
Segera saya masuk ke dalam tempat teropong ayat di surah al-Nur:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (Qs. al-Nur [24]: 35)
Dengan teropong iman, saya melihat ke tingkatan-tingkatan paling jauh dari ayat hasbiyah, menatap rahasia-rahasianya yang paling halus dengan mikroskop kesadaran iman. Lalu saya melihat bahwa, sebagaimana cermin, kaca, atau benda-benda transparan lain, bahkan gelembung-gelembung air dan buih, menampakkan keindahan cahaya matahari yang beragam dan tersembunyi, memperlihatkan beragam keindahan warna lembut cahaya tersebut, memperbarui keindahan dan kebagusannya seiring perubahan, pergerakan, pencahayaan dan pemencarannya yang beragam; semakin melemah cahaya matahari, maka ketujuh warnanya semakin terlihat indah; masing-masing memperlihatkan beragam keindahan yang terdapat pada tujuh warna lembut cahaya matahari; keindahan tersebut senantiasa tampak baru seiring dengan pembaharuan dan kemampuan penerimaan materi-materi tersebut, atau sebagaimana ia memperlihatkan keindahan matahari, cahayanya, dan berbagai warnanya yang tersembunyi dengan sangat indah dan menarik; maka demikian pula halnya dengan berbagai ciptaan yang indah, makhluk-makhluk yang dicintai, dan wujud-wujud yang indah ini, semuanya datang ke alam nyata ini dan pergi meninggalkannya secara terus-menerus tanpa henti. Mereka menjalankan peran cermin yang memantulkan keindahan Sang Maha Indah Maha Agung dan Suci yang tidak lain adalah matahari azali dan abadi, menampakkan keindahan abadi al-asma’ al-husna yang berada di puncak keindahan, demi memperbarui tajalli nama-nama tersebut, memberitahukan dan mengumumkan bahwa keindahan yang memantul pada dirinya bukanlah miliknya, tapi hanya sebagai isyarat,
308. Page
pertanda, dan tajalli keindahan Zat yang Kekal Abadi dan Suci yang ingin menampakkan diri, Zat yang murni indah, jauh dari segala kekurangan, yang senantiasa menampakkan diri, dan ingin selalu terlihat.
Dalil-dalil kuat hakikat ini sudah banyak dijelaskan secara rinci dalam Risalah al-Nur, terutama di “Tingkatan Cahaya Keenam” dari “Sinar Keempat” yang bagian awalnya, “Berikut ini akan kami sebutkan tiga dalil secara singkat dan dalam bentuk yang sangat masuk akal.” Silahkan merujuk Risalah al-Nur, karena siapa pun yang membaca risalah terkait masalah ini, apalagi jika ia memiliki daya rasa yang lurus, pasti akan sangat terpesona dan kagum sedemikian rupa, serta menilai perlu untuk berbagi manfaat pada orang lain, khususnya dia sendiri. Apalagi “Lima Poin” yang dijelaskan di “Dalil Kedua.” Siapa pun yang akal dan hatinya belum rusak, pasti akan menghargai, menilai baik, membenarkan, dan mengucapkan, “Masya’Allah,” dan, “Tabarakallah,” sehingga wujudnya yang terlihat fakir dan hina itu akan terangkat tinggi derajatnya. Ia pasti mengetahui dan percaya bahwa penjelasan tersebut merupakan mukjizat luar biasa yang menakjubkan.
309. Page
Harapan Kelimabelas[1]
Suatu ketika, saya dipaksa tinggal di Emirdag.[2] Di sana, saya tinggal seorang diri di sebuah ruangan. Para petugas menyiksa saya melalui pengintaian, pengawasan, dan interogasi yang amat berat saya rasakan, hingga saya merasa bosan hidup. Saya menyesal mengapa saya keluar dari penjara. Sepenuh hati saya pun berharap andai saja saya bisa tetap berada di penjara Denizli.[3] Bahkan saya ingin masuk kubur. Saat berfikir untuk memasuki penjara atau kuburan seraya berkata, “Penjara dan kuburan lebih baik dari kehidupan seperti ini,” ternyata pertolongan ilahi datang membantu. Sebuah mesin cetak yang muncul baru-baru ini[4] diperoleh murid-murid Madrasah al-Zahra di mana pena-pena mereka laksana mesin cetak ini. Dengan satu pena, muncullah 500 salinan dari setiap kumpulan di antara kumpulan-kumpulan Risalah al-Nur yang sangat bernilai. Saat itulah dimulai penaklukan-penaklukan dan penyebaran (Risalah al-Nur), sehingga kehidupan yang kacau dan membosankan ini membuat saya senang, dan berkata, “Segala puji dan syukur tak terhingga hanya untuk Allah.”
Selang berapa waktu, penaklukan-penaklukan Risalah al-Nur menggusarkan para musuhnya yang tak kelihatan. Mereka kemudian menghasut pemerintah untuk melawan kami. Kehidupan kembali terasa berat bagi saya. Selanjutnya, pertolongan rabbani muncul. Para pejabat terkait –mereka ini sangat memerlukan Risalah al-Nur- mulai mengkaji Risalah al-Nur sesuai putusan jabatan yang mereka emban. Mereka mengkaji dengan teliti dan seksama. Namun Risalah al-Nur justru menarik hati mereka, membuat mereka ikut bergabung bersama. Mereka mulai menghargai Risalah al-Nur, bukannya mengkritiknya, hingga Madrasah al-Nur kian meluas. Manfaatnya seratus kali lebih besar kami rasakan ketimbang kerugian-kerugian materi, dan menghilangkan keresahan kami.
Setelah itu, para musuh, orang-orang munafik terselubung, mengalihkan perhatian pemerintah kepada saya secara pribadi. Mereka menghasut pemerintah dengan mengungkit kehidupan politik saya pada masa lalu. Mereka menebarkan prasangka-prasangka tak berdasar ke sejumlah lembaga peradilan, kementerian pendidikan, pihak keamanan negara, dan kementerian dalam negeri. Prasangka-prasangka tak beralasan ini kian meluas melalui jalur partai-partai politik, dan menggerakkan para teroris yang bersembunyi di balik topeng komunisme. Mereka mempersulit dan menangkap kami.
Mereka mulai merampas Risalah al-Nur yang berhasil mereka dapatkan. Aktivitas murid-murid al-Nur terhenti. Para pejabat pemerintah menuduhkan kata-kata dan segala tindakan yang tak bisa dipercaya oleh siapa pun. Mereka berusaha menyebarkan kebohongan-kebohongan aneh dengan maksud membunuh karakter saya. Namun mereka tak mampu meyakinkan siapa pun. Mereka kemudian menangkap saya di hari-hari yang amat dingin dengan alasan-alasan yang amat hina. Mereka memenjarakan saya selama dua hari seorang diri di sebuah ruangan besar yang sangat dingin dan tanpa alat penghangat.
Saya kesulitan mengatasi udara dingin saat ini mengingat kondisi fisik saya yang lemah dan sakit. Biasanya saya berkali-kali menyalakan alat pemanas ruangan setiap hari di kamar kecil saya di rumah, sementara tungku apinya hidup serus. Namun sekarang ini, tubuh saya
[1] Harapan kelimabelas ini ditulis oleh salah seorang murid al-Nur sebagai rujukan, referensi, pengembangan, dan penyempurnaan penulisan risalah Syaikh Nursi, mengingat masa penulisan Risalah al-Nur sudah berakhir tiga tahun silam. (Penulis)
[2] Sebuah kawasan di bilangan Avion. Imam Nursi pernah dibuang di sana.
[3] Sebuah provinsi di sebelah barat Turki, dimana Imam Nursi pernah dipenjara di sana untuk berapa lama.
[4] Saat penulisan Risalahal-Nur (penerjemah).
310. Page
bergelut karena demam akibat kedinginan, juga karena kesulitan, jiwa sangat tertekan, dan kemarahan. Saat itu, hakikat dalam hati saya menyingkap pertolongan ilahi dan dikatakan kepada saya, “Kau sebut penjara sebagai Madrasah Yusuf. Kesenangan dan keuntungan maknawi di penjara Denizli seribu kali lipat lebih besar dari kesulitan dan beban berat yang kau hadapi, para tahanan di sana juga memetik manfaat dari Risalah al-Nur. Risalah-risalah tersebut juga menyebar di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Kau juga memetik hasil-hail lain yang membuatmu seribu kali bersyukur kepada Allah, bukannya mengeluh, serta mengubah setiap jam waktumu di penjara dan beban berat kesulitanmu menjadi sepuluh jam ibadah, dan menjadikan saat-saat yang fana itu menjadi saat-saat kekal abadi.
Adapun di sini, manfaat yang bisa dipetik dari Risalah al-Nur oleh orang yang mengalami musibah di balik Madrasah Yusuf ketiga ini adalah hiburan yang akan memberikan rasa panas dan kehangatan di balik beban berat suhu dingin, dan akan mengubahnya menjadi kesenangan dan kegembiraan atas izin Allah. Adapun orang-orang yang kau murkai itu, jika mereka terpedaya, tak berhak menerima amarah seperti ini, sebab mereka menzalimimu karena bodoh dan tidak tahu. Namun, jika mereka menyakiti dan menyiksamu karena mereka tahu, berniat jahat, dan demi kepentingan kesesatan, mereka akan memasuki eksekusi mati keabadian di balik penjara kuburan seorang diri dalam waktu yang tak akan lama lagi. Mereka akan menanggung dan merasakan beban berat abadi, juga siksa untuk selamanya. Dan engkau, karena kezaliman mereka, kau meraih pahala, menjadikan saat-saat fana tersebut sebagai saat-saat abadi. Kau akan meraih kenikmatan-kenikmatan maknawi. Kau bisa menjalankan tugas keilmuan dan agama dengan ikhlas.”
Demikianlah ilham yang disampaikan ke dalam hati saya. Lalu dengan sepenuh kekuatan yang saya miliki, saya mengucapkan, “Alhamdulillah.” Saya pun merasa iba kepada orang-orang zalim tersebut karena rasa kemanusiaan saya. Saya berdoa semoga Allah memperbaiki kondisi mereka.
Sebagaimana pula saya mengirim surat kepada kementerian dalam negeri untuk memberitahukan kejadian baru ini. Intinya, penangkapan saya ini ilegal berdasarkan sepuluh alasan. Orang-orang zalim yang menyalahi undang-undang dengan mengatas namakan undang-undang, mereka itulah yang sebenarnya bersalah. Mereka berusaha mencari-cari alasan, kebohongan, dan dusta, yang membuat siapa pun tertawa mendengarnya, dan membuat para pengikut kebenaran menangis. Mereka membuktikan diri di hadapan orang-orang obyektif bahwa mereka tak mampu menemukan celah atau pun alasan untuk mengusik Risalah al-Nur dan para murid Risalah al-Nur melalui undang-undang. Mereka pun terjatuh ke dalam kebodohan dan ketidakwarasan.
Sebagai contoh, para pejabat pemerintah yang memata-matai kami selama sebulan penuh tidak menemukan alasan apa pun untuk menangkap kami, hingga mereka menulis di sebuah surat, mereka menyebutkan, “Pelayan Sa’id membeli minuman keras di sebuah kedai, lalu membawanya ke tempat Sa’id.” Hanya saja mereka tak menemukan siapa pun yang mau menanda-tangani surat tersebut. Setelah itu mereka menangkap orang asing yang tengah mabuk. Mereka mengancam orang tersebut agar mau menanda-tangani surat itu, lalu ia bilang, “Astaghfirullah! Siapa yang mau menanda-tangani surat dusta yang aneh ini?!”
Mereka akhirnya terpaksa merobek surat tersebut.
Contoh kedua, seseorang yang tidak saya kenal dan hingga kini pun saya tidak tahu siapa dia, memberi saya sebuah delman untuk saya gunakan jalan-jalan berkeliling. Saya sering berjalan-jalan dengan delman ini selama satu hingga dua jam untuk istirahat dan menghirup
311. Page
udara segar mengingat kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Saya berjanji untuk memberikan si pemilik delman dan kuda ini sejumlah buku senilai 50 lira agar saya tidak melanggar prinsip,[1] juga tidak merasa berhutang budi.
Anehnya, apakah delman ini terkait dengan kemungkinan yang membahayakan? Namun, gubernur, pihak keamanan, dan polisi menanyakan kepada saya terkait delman ini sebanyak limapuluh kali, seakan-akan sebuah peristiwa politik besar, seakan ada sangkut pautnya dengan keamanan negara. Untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan tak ada gunanya ini, seorang simpatisan terhormat bilang, “Kuda itu milik saya,” yang lain, “Gerobak delman itu milik saya.” Mereka kemudian menangkap keduanya dan juga saya karena kata-kata tersebut.
Di balik contoh-contoh kejadian seperti ini, kami sering kali melihat permainan anak-anak. Kami dibuat menangis sekaligus tertawa, dan kami tahu bahwa siapa pun yang mengusik Risalah al-Nur dan murid-muridnya, mereka menjadi bahan hinaan dan ejekan.
Dialog lembut dari contoh tersebut:
Tentang penyebab penangkapan saya tertulis dalam surat resmi bahwa saya dituduh mengancam keamanan negara. Sebelum membaca surat tersebut, saya berkata kepada pihak penuntut umum, “Semalam saya membicarakan Anda saat saya bilang kepada salah seorang polisi yang bertanya kepada saya atas nama kepala keamanan, ‘Laknat Allah semoga menimpa saya –sebanyak tiga kali- jika saya tidak mendukung keamanan negara di kawasan ini seperti pelayanan yang diberikan seribu penuntut umum’.”
Saat saya sangat perlu untuk istirahat di tengah udara dingin ini, di saat menghangatkan diri, dan kala memikirkan dunia, saya merasa marah sekali kepada orang-orang yang membuang saya, melucuti saya, menangkap saya, dan mempersulit saya lebih dari batas kemampuan yang saya miliki. Itu karena saat itu saya juga merasa berniat tidak baik dan sangat marah kepada mereka. Namun pertolongan rabbani datang kepada saya, kemudian dalam hati saya diberi ilham:
Takdir ilahi, yang merupakan keadilan itu sendiri, mempunyai andil besar dalam kezaliman orang padamu. Di dalam penjara ini kau punya rizki yang kau makan. Rizki ini yang telah memanggilmu ke tempat ini! Kau harus menerima putusan takdir dengan rela hati dan berserah diri.
Hikmah dan rahmat rabbani juga punya andil besar dalam kejadian ini, yaitu: engkau hendaknya memberikan pencerahan kepada para tahanan di sini, memberikan hiburan di hati mereka, sehingga kau mendapat pahala. Untuk itu, kau wajib memanjatkan ribuan syukur kepada Allah S.w.t atas porsi kesabaran ini.
Engkau pun mempunyai andil dalam kejadian ini karena sejumlah kesalahan dan kekurangan yang tidak kau ketahui. Kau harus bilang dalam hati seraya membaca istighfar dan bertaubat, “Aku memang pantas mendapatkan tamparan ini.”
Musuh-musuh yang tak kelihatan itu pun punya andil karena mereka melalaikan dan menggiring sebagian aparat untuk berbuat lalim melalui penyusupan-penyusupan dan berbagai upaya jahat. Risalah al-Nur sudah menuntut balas secara sempurna pada orang-orang munafik seperti mereka melalui tamparan-tamparan maknawi yang amat kuat dan keras yang
[1] Maksudnya, beliau tidak menerima hadiah dari siapa pun tanpa beliau balas. Beliau secara rinci menyebutkan apa saja sebab dan alasan prinsip ini dalam “Maktub Kedua” di “al-Maktubat.”
312. Page
kau timpakan kepada mereka. Hukuman ini sudah cukup untuk mereka.
Bagian terakhir dimiliki para aparat resmi pemerintah yang terlibat langsung dalam kasus ini. Namun saat mereka membaca Risalah al-Nur dengan pandangan untuk mengoreksi dan mencari-cari kesalahan, mereka justru betul-betul memetik manfaat dari sisi iman. Karena itu, memaafkan orang-orang seperti ini adalah sebuah ahlak yang tinggi, karena manfaat yang mereka dapatkan, sesuai aturan:
وَالْكَاظِمينَ الْغَيْظَ وَالْعَافينَ عَنِ النَّاسِ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 134)
Setelah mendapat peringatan hakikat ini, saya akhirnya memutuskan dengan senang, bahagia, dan bersyukur untuk tetap bertahan di Madrasah Yusuf yang baru ini. Bahkan saya juga memutuskan untuk melakukan kesalahan yang tidak membahayakan agar mendapatkan hukuman, supaya bisa membantu orang-orang yang bersikap memusuhi saya. Di samping itu, 70 ribu eksemplar Risalah al-Nur kini berkelana dengan bebas. Risalah-risalah inilah yang menjalankan peran pencerahan menggantikan peran sosok seperti saya ini yang sudah menginjak 75 tahun usia, tak ada lagi hubungan dengan dunia, dan tak ada lagi orang-orang tercinta yang masih hidup, selain lima dari setiap tujuh puluh orang. Karena itu, kuburan seratus kali lebih baik dari penjara bagi orang seperti saya ini yang sudah memiliki banyak saudara dan pewaris yang memberikan pelayanan keimanan melalui seribu lisan, menggantikan satu lisan yang saya miliki. Penjara ini seratus kali lebih nyaman dari kebebasan di luar sana yang tidak lain adalah penawanan di bawah perlakuan semena-mena dan penguasaan. Penjara ini juga lebih bermanfaat darinya, karena jika seseorang harus menanggung beban berat perlakuan semena-mena ratusan aparat di luar sana seorang diri, maka di dalam penjara, ratusan tahanan menanggung bersama-sama perlakuan semena-mena tak seberapa dari satu atau dua sipir penjara dan kepala keamanan, itu pun demi kepentingan mereka. Di sela itu, ia menemukan hiburan dan perlakuan mulia dalam suasana persaudaraan dari teman-teman yang jumlahnya banyak di dalam penjara.
Selain itu, saya menerima ditempatkan dalam penjara dengan rela hati, karena kasih sayang Islam dan fitrah manusia merupakan terjemah nyata para guru mereka dalam kondisi seperti ini, sehingga kasih sayang dan fitrah tersebut mengubah beban berat penjara menjadi rahmat.
Ketika saya menghadiri pengadilan ketiga ini, saya kesulitan untuk berdiri karena kondisi lemah, sudah tua, seart masalah kesehatan dan penyakit. Akhirnya saya duduk di sebuah kursi di luar pintu pengadilan. Tiba-tiba seorang hakim datang dan marah-marah. Dengan nada menghina dan melecehkan, dia berkata, “Mengapa dia tidak menunggu dengan berdiri?” Saya juga marah atas sikap kasar tak kenal belas kasih pada kondisi saya yang sudah tua renta ini. Saya menoleh ke sekeliling, ternyata banyak sekali kaum muslimin yang ada di sekitar saya menatap penuh iba, kasih sayang dan persaudaraan. Tak seorang pun bisa mengalihkan sorot pandangan mereka. Lalu seketika itu juga “dua hakikat” diilhamkan kepada saya:
Hakikat pertama
Musuh-musuh saya dan juga para musuh Risalah al-Nur, yang tersembunyi dan mengenakan topeng, menipu dan mengibuli sejumlah aparat pemerintah yang lugu,
313. Page
mendorong mereka untuk memperlakukan tindakan yang menghinakan seperti ini dengan tujuan untuk melecehkan dan menghina pribadi saya di hadapan banyak orang. Mereka fikir cara ini bisa membendung penyebaran Risalah al-Nur dengan mengalihkan perhatikan orang kepada saya. Padahal, saya sendiri pun tidak menginginkan adanya perhatian seperti itu.
Namun pertolongan ilahi berkata kepada saya seraya memuliakan saya atas pengabdian yang diberikan Risalah al-Nur pada keimanan, seolah-olah Tuhan berkata, “Lihatlah ratusan orang itu, jangan hanya memandang satu orang dan sikapnya yang menghinakanmu. Lihatlah bagaimana mereka memuliakan pengabdianmu. Mereka iba padamu, menyambut kedatanganmu, dan melepaskan kepergianmu dengan penuh perhatian!”
Hingga saat saya menjawab pertanyaan-pertanyaan penuntut umum pada hari kedua persidangan, hampir seribu penduduk setempat datang menghadiri sidang. Mereka melongok di jendela-jendela peradilan di halaman bangunan pemerintah. Mereka seakan mengungkapkan segala kondisi dan situasi yang mereka hadapi. Dengan bahasa kondisional seakan mereka mengatakan, “Jangan kalian persulit orang-orang itu!” Hingga pihak kepolisian tidak mampu membubarkan kerumunan mereka. Saat itu, hati saya mendapat ilham, “Mereka, para penduduk setempat itu, mencari hiburan dan cahaya yang tak bisa dipadamkan di tengah-tengah masa sulit dan bahaya seperti ini. Mereka mencari iman yang kuat, kokoh, dan kabar gembira menuju kebahagiaan abadi serta mengharapkannya sesuai fitrah dalam diri mereka. Mereka sudah mendengar bahwa apa yang mereka cari-cari itu ada dalam Risalah al-Nur. Karena itulah mereka memperlihatkan penerimaan dan perhatian pada sosok saya yang sama sekali tidak punya nilai penting melebihi batasan yang saya miliki dan yang tak patut saya terima karena pelayanan tak seberapa yang saya berikan untuk iman.
Hakikat kedua
Hati saya mendapat ilham bahwa jumlah tak terhingga para pengikut kebenaran dan generasi berikutnya akan bertepuk tangan padamu, menyambut kedatanganmu dengan penuh penghormatan, bukan perlakuan buruk, menghinakan dan tindakan dosa yang dilakukan segelintir orang yang tertipu dengan maksud menghina kami, mengalihkan perhatian orang dari kami dengan menuduh kami membahayakan keamanan dan kedamaian.
Ya. Di saat teror berusaha merusak keamanan negara dan menguasainya secara menakutkan di balik tabir komunisme, Risalah al-Nur dan para muridnya membendung kerusakan yang begitu besar ini, yang tersebar di segala penjuru negara, melalui kekuatan iman yang praksis (iman tahqiqi). Mereka mematahkan kekuatan teror ini, berusaha sekuat tenaga mewujudkan rasa aman dan damai. Selama duapuluh tahun, tidak ada satu peradilan atau lembaga kepolisian pun di sepuluh provinsi yang menuduh murid-murid Risalah al-Nur di berbagai penjuru negeri ini terlibat dalam insiden yang mengancam keamanan negara. Bahkan, ada sejumlah polisi jujur di tiga provinsi mengatakan, “Murid-murid Risalah al-Nur adalah polisi-polisi maknawi. Mereka membantu kita menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan keimanan praksis, mereka meletakkan penangkal di kepala siapa pun yang membaca Risalah al-Nur. Mereka berusaha mewujudkan rasa aman.”
Salah satu contoh nyata adalah yang terjadi di penjara Denizli. Karena Risalah al-Nur masuk ke dalam penjara ini dan juga Risalah tentang Buah yang secara khusus ditylis untuk para tahanan, maka para tahanan penjara Denizli yang jumlahnya lebih dari dua ratus narapidana semakin patuh, baik dan bertakwa di atas rata-rata dalam jangka waktu tiga atau
314. Page
empat bulan. Bahkan, seseorang yang pernah membunuh tiga atau empat orang kini merasa takut untuk sekedar membunuh kutu alas tidur. Dia berubah menjadi bagian yang tak lagi berbahaya, penyayang dan berguna bagi negara.
Para pejabat resmi pemerintahan heran, kagum, sekaligus menaruh hormat melihat kondisi ini. Bahkan sebagian pemuda menyatakan sebelum putusan mereka dibacakan, “Jika murid-murid Risalah al-Nur masih berada di tahanan, kami akan berusaha untuk masuk penjara, agar bisa mendapat pelajaran dan nasehat dari orang-orang seperti mereka, sehingga kami bisa memperbaiki diri melalui pelajaran-pelajaran yang kami terima.”
Demkianlah, mereka yang menuduh murid-murid Risalah al-Nur yang seperti ini mengancam keamanan negara, jelas sekali mereka tertipu dan terkelabuhi secara nyata, atau berusaha melalaikan pemerintah baik disadari maupun tidak, demi kepentingan teror. Mereka berusaha melenyapkan kita dengan cara menyakiti dan menyiksa kita.
Kepada mereka, kami katakan:
“Mengingat kematian tidak dibunuh, kuburan tidak ditutup, para musafir di ruang tamu dunia ini dengan cepat akan masuk ke dalam tanah lalu menghilang, satu rombongan demi satu rombongan, dan dikubur di sana, maka kami jelas akan berpisah satu sama lain dalam waktu dekat. Anda akan mendapatkan siksa berat atas kezaliman yang Anda lakukan. Minimal Anda akan naik ke tiang gantungan sebagai eksekusi kematian abadi yang merupakan surat pembebasan tugas bagi orang-orang mukmin yang teraniaya. Seluruh kenikmatan fana yang Anda rasakan di dunia dan Anda fikir akan bertahan abadi, kelak akan berubah menjadi derita abadi.”
Sayangnya, musuh-musuh kita yang munafik, bersembunyi dan bertopeng, kadang menyebut tarekat sufi untuk hakikat Islam yang diraih dan dijaga dengan darah dan pedang ratusan juta syuhada anak bangsa yang berpegang teguh kepada agama, di mana mereka memiliki kedudukan setingkat para wali dan mujahid pemberani. Mereka memperlihatkan faham tarekat sufi yang merupakan satu di antara sekian banyak obor matahari di mana matahari hakiki sebagai intinya. Mereka menipu sebagian pegawai pemerintah yang tidak sadar. Mereka menyebut murid-murid Risalah al-Nur yang berusaha secara signifikan untuk mewujudkan hakikat-hakikat iman dan hakekat al-Qur'an sebagai orang-orang sufi atau organisasi politik. Melalui pernyataan dan usaha seperti ini, kaum munafik bermaksud menghasut pemerintahan melawan kita.
Untuk orang-orang seperti ini, dan siapa pun yang mendengar kata-kata mereka ini, kami sampaikan seperti yang pernah kami sampaikan di pengadilan Denizli:
Hendaknya kepala kami pun menjadi tebusan bagi hakikat suci yang telah ditebus oleh jutaan kepala itu. Seandainya Anda menjadikan dunia sebagai tempat api di atas kepala kami, maka kepala-kepala yang telah rela berkorban untuk hakikat al-Qur’an tersebut tidak akan tunduk kepada kaum zindik dan insya Allah tidak akan pernah meninggalkan tugasnya yang suci.
Demikianlah, saya tidak akan pernah mengganti satu tahun pun di antara tahun-tahun masa tua yang paling sulit dan berat –yang telah berlalu berkat karunia hiburan suci yang berasal dari keimanan dan al-Qur'an, menolong dan membantu saya hingga melenyapkan rasa sakit dan putus asa yang timbul dari guncangan-guncangan masa tua– dengan sepuluh tahun saat-saat paling bahagia di masa muda. Apalagi, setiap satu jam selama dalam penjara bagi orang yang bertaubat dan menjalankan shalat fardhu, akan berubah menjadi sepuluh jam ibadah. Satu hari fana yang dilalui selama sakit dan diperlakukan secara semena-mena, akan
315. Page
berubah menjadi sepuluh hari di antara umur keabadian dari sisi pahala. Karena itu, penjara dan perlakuan semena-mena sungguh merupakan media rasa syukur tak terhingga bagi orang seperti saya yang tengah menantikan perannya di depan pintu kuburan.”
Ya. Demikianlah yang saya pahami dari peringatan maknawi tersebut. Puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah. Saya senang dengan masa tua yang saya jalani ini. Saya menerima keberadaan saya di penjara dengan rela hati. Karena usia terus berlanjut tanpa henti, bahkan berlalu dengan cepat, maka jika usia dihabiskan dalam kesenangan dan kenikmatan, saat semua kenikmatan ini lenyap, ia pun akan meninggalkan kerugian dan beragam dosa karena kelalaian dan tiadanya rasa syukur, sehingga usia lenyap dan berlalu sia-sia tanpa guna. Namun jika usia berlalu dengan penuh beban berat, sulit, dan penjara, maka karena lenyapnya derita adalah kenikmatan maknawi, di samping juga merupakan bagian dari ibadah, maka usia seperti ini menjadi abadi di satu sisi, dan di sisi lain meraih usia kekal abadi melalui buah-buah kebaikannya yang bermanfaat, serta menjadi penebus dan penyuci segala dosa dan kesalahan yang menyebabkan seseorang dipenjara.
Dari sudut ini, para tahanan yang menjalankan shalat lima waktu harus bersyukur kepada Allah S.w.t dengan tetap bersabar.
Harapan keenam belas
Setelah melalui penyiksaan selama satu tahun penuh di penjara Ekisehir, akhirnya saya dikeluarkan pada masa-masa tua saya. Setelah itu mereka membuang saya ke Kastamonu.[1] Mereka menjadikan saya tamu selama kurang lebih tiga bulan lamanya dalam pos polisi setempat. Siapa pun tentu tahu seperti apa derita dan siksa di tempat-tempat seperti ini bagi orang seperti saya yang dipaksa menyendiri, tidak boleh bertemu dengan teman-temannya yang tulus dan setia, serta tak tahan mengganti pakaian dan bajunya.[2]
Di tengah keputusasaan ini, tanpa diduga pertolongan ilahi menghampiri saya dan datang untuk membantu masa tua saya, karena kepala kepolisian dan para anggota di pos ini menjadi seperti teman-teman yang jujur dan tulus pada saya. Mereka biasa membawa saya untuk jalan-jalan di sekitar kota kapan pun saya mau. Mereka seakan pelayan saya, terlebih mereka tidak mewajibkan saya untuk mengenakan topi setiap saat.
Tak lama setelah itu, saya masuk ke dalam Madrasah Yusuf Kastamonu tepat berada di seberang pos tersebut. Di sanalah saya mulai menulis Risalah al-Nur. Lalu tokoh murid-murid Risalah al-Nur, seperti Faidhi, Amin, Hilmi, Shadiq, Nazhif, dan Shalahuddin, sering datang ke penjara ini untuk mengambil, menyebarkan, dan memperbanyak salinan Risalah al-Nur. Mereka mengadakan diskusi-diskusi ilmiah berharga dalam bentuk yang lebih baik dari peran yang pernah saya jalani bersama murid-murid lama saat masih muda dulu.
Setelah itu, musuh-musuh kami yang tersembunyi menghasut sejumlah pejabat, sebagian syaikh dan ulama yang egois untuk memusuhi kami. Mereka inilah yang membuat kami dijebloskan ke penjara Denizli dan membuat para murid Risalah al-Nur yang datang dari beberapa daerah berkumpul di Madrasah Yusufiyah tersebut.
Rincian “Harapan Keenam belas” ini terdapat di risalah-risalah yang saya kirimkan dari Kastamonu dan yang dimasukkan ke dalam al-Malahiq, serta di risalah-risalah kecil yang saya kirimkan secara rahasia dari penjara Denizli untuk saudara-saudara saya di sana. Juga di
1] Sebuah provinsi dan kota di bagian utara Turki. Imam Nursi pernah dibuang ke sana.
[2] Sesuai putusan hukum untuk mengganti pakaian beliau dengan pakaian orang barat dan mengenakan topi.
316. Page
risalah pledoi di pengadilan Denizli, karena risalah ini mengungkap hakikat harapan keenambelas ini secara jelas. Karena itu, penjelasannya kami alihkan ke sejumlah lampiran dan risalah pledoi yang dimaksud.
Kami akan menjelaskannya secara singkat sekali di sini:
Di Kastamonu, saya menyembunyikan kumpulan-kumpulan risalah penting dan rahasia, apalagi risalah-risalah yang membahas tentang Sufyan (Dajjal) dan karamah-karamah Risalah al-Nur, di bawah tumpukan kayu dan arang, agar bisa menyebar sepeninggal saya nanti, atau setelah para penguasa mau mendengarkan kata-kata kebenaran dan kembali sadar.
Saat saya mengatakan seperti ini dengan harapan bisa meneruskan kehidupan saya dengan nyaman, tiba-tiba para petugas penggeledah dan wakil penuntut umum menerobos masuk ke dalam rumah saya. Mereka mengeluarkan risalah-risalah rahasia dan penting dari bawah tumpukan kayu dan arang itu. Mereka menangkap saya dan mengirim saya ke penjara Isparta, padahal saya tidak berada dalam kondisi sehat saat itu. Saat saya merasa sangat sedih sekali akibat serangan terhadap Risalah al-Nur, tanpa diduga pertolongan ilahi datang untuk memberikan bantuan dan pertolongan kepada kami. Para aparat pemerintah yang amat perlu untuk membaca risalah-risalah yang tersembunyi itu, mulai memeriksa risalah-risalah tersebut dan membacanya dengan sangat serius, hingga seakan lembaga-lembaga tinggi pemerintahan menjadi madrasah-madrasah al-Nur. Mereka ternyata menghargainya padahal mereka membacanya dengan niat untuk mengkirik dan menyelidiki, hingga mereka membaca Risalah tentang Ayat Besar yang dicetak secara rahasia tanpa sepengetahuan sebagian besar kalangan pejabat resmi maupun tidak resmi di Denizli dalam bentuk tiada duanya, sehingga keimanan mereka menguat karena risalah tersebut, dan menjadi sebab yang membuat musibah penahanan kami ini seakan tidak pernah terjadi.
Setelah itu mereka membawa saya dari penjara Isparta, ke penjara Denizli. Mereka memasukkan saya seorang diri di sebuah ruangan dingin, jorok dan lembab. Saat saya berada dalam kesulitan, kesedihan, derita-derita masa tua, sakit, dan beban berat yang dirasakan kawan-kawan saya yang tak bersalah yang harus menanggung beban berat karena saya, juga kesedihan-kesedihan lain karena Risalah al-Nur dicekal, tiba-tiba pertolongan ilahi datang membantu dan menolong kami. Seketika itu juga, pertolongan ini mengubah penjara besar menjadi madrasah al-Nur sekaligus membuktikan bahwa penjara adalah Madrasah Yusuf. Cahaya-cahaya Risalah al-Nur mulai menyebar melalui pena-pena emas milik para pahlawan Madrasah al-Zahra. Bahkan ada salah seorang pahlawan Risalah al-Nur menulis lebih dari dua puluh salinan risalah al-Tsamarah (Buah Keimanan) dan Pledoi dalam waktu kurang lebih empat bulan di tengah-tengah situasi yang amat sulit ini. Risalah al-Nur mulai menyebar dan berbagai kemenangannya (mulai tampak) di dalam dan luar penjara. Ini mengubah kerugian yang kami alami dalam musibah tersebut menjadi banyak sekali manfaat besar, serta mengubah berbagai beban berat menjadi kesenangan dan keceriaan. Ia sekali lagi menampakkan rahasia ayat:
عَسي اَنْ تَكْرَهُو اشَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 216)
Lalu, ketika para peneliti dan pengkaji di tahap pertama melayangkan kritikan tajam kepada kami didasarkan pernyataan dangkal dan keliru, lalu menteri pendidikan juga menyerang saya dengan keras dan mengeluarkan pernyataan yang melawan kami, hingga ada sebagian dari kami hendak dihukum mati karena desas-desus yang berkembang, saat itulah
317. Page
pertolongan ilahi datang menghampiri dan menolong kami. Ketika kami menantikan hasil kajian kritis dari panitia peneliti dan pengkaji di Ankara, putusan yang datang justru di luar dugaan. Mereka memberikan penghormatan dan ucapan kagum. Mereka tidak menemukan kecuali beberapa kesalahan saja karena kekeliruan di lima kotak dari Risalah al-Nur. Meski demikian, kami tegaskan di hadapan pengadilan bahwa bagian-bagian yang mereka sebut keliru, justru itulah inti hakikat sebenarnya. Salah jika mereka menganggap bagian-bagian tersebut keliru. Kami memperlihatkan hampir sepuluh kekeliruan mereka yang terdapat dalam putusan mereka yang terdiri dalam lima halaman.
Ketika kami tengah menunggu perintah-perintah berisi ancaman keras terhadap Risalah al-Tsamrah dan surat Pledoi yang kami kirim ke tujuh lembaga pemerintahan, juga seluruh Risalah al-Nur yang dikirim ke kementerian keadilan, khususnya tamparan-tamparan keras risalah-risalah rahasia yang amat berkesan, mereka justru tidak mengusik kami. Bahkan mereka seakan ingin berdamai, seperti yang tertera dalam surat perdana menteri yang dikirimkan kepada kami. Surat ini sangat lunak isinya, bahkan memberikan hiburan dan harapan. Ini semua secara pasti membuktikan bahwa hakikat-hakikat Risalah al-Nur, berkat karamah bantuan ilahi, mengalahkan mereka, membuat mereka membaca dan mendapat petunjuk dari Risalah al-Nur, mengubah lembaga-lembaga besar pemerintahan tersebut menjadi madrasah-madrasah al-Nur dalam batas tertentu, menyelamatkan keimanan sebagian besar kalangan yang ragu dan bimbang, sekaligus memberikan kebahagiaan dan keuntungan maknawi kepada kami, seratus kali lebih besar ketimbang beban berat dan kesulitan yang kami rasakan.
Selanjutnya, para musuh yang tak tampak dan bertopeng itu berusaha meracuni saya, hingga akhirnya pahlawan Risalah al-Nur al-Syahid almarhum Hafidz Ali datang ke rumah sakit menggantikan saya, kemudian setelah itu ia pergi ke alam barzakh menggantikan saya. Kejadian itu betul-betul membuat kami menangis dengan tangisan putus asa.
Sebelum musibah itu terjadi, saya sudah sering kali menegaskan saat berada di pegunungan Kastamonu, “Saudara-saudaraku sekalian! Jangan Anda memberi daging pada kuda, jangan memberi rerumputan pada singa.” Maksudnya, jangan Anda berikan Risalah al-Nur pada semua orang agar kita tidak terkena berbagai macam serangan.
Di saat bersamaan, Hafidz Ali rahimahullah, yang berada dalam radius tujuh hari perjalanan kaki, seakan mendengar melalui telepon maknawi, “Ya guruku, di antara karamah Risalah al-Nur menyebutkan, jangan memberi kuda daging, dan jangan memberi singa rumput. Tapi rumput diberikan pada kuda, dan daging diberikan kepada singa.” Hafidz Ali menyerahkan Risalah Keikhlasan kepada Syaikh Arsalan, lalu kami membaca suratnya tujuh hari berikutnya. Ternyata, Hafidz Ali menulis kata-kata yang sama dalam suratnya ketika saya menegaskan kata-kata tersebut di puncak gunung.
Ketika kami merasa sedih atas kematian seorang pahlawan maknawi Risalah al-Nur seperti Hafidz Ali ini, ketika orang-orang munafik yang terselubung berusaha menyusup untuk melawan kami, ketika perasaan resah mendera karena saya terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit dengan perintah resmi karena saya sakit akibat diracuni, tiba-tiba pertolongan ilahi datang menghampiri dan menolong kami.
Bahaya racun itu lenyap melalui doa-doa tulus para saudara saya. Ada petunjuk sangat kuat bahwa pahlawan yang telah mati syahid tersebut sibuk dengan Risalah al-Nur dan menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat dengan Risalah al-Nur. Juga melalui kegiatan dan pengabdian besar yang dilakukan secara rahasia oleh pahlawan Denizli, Hasan Faidhi dan
318. Page
kawan-kawan yang akan menggantikan posisi Hafidz Ali, yang akan menempuh jalan dan metode yang sama, yang akan menyebarkan Risalah al-Nur sebagai penggantinya. Bahkan juga melalui musuh-musuh kami yang sepakat bahwa kami semua harus dikeluarkan dari penjara lantaran keistiqamahan para tahanan dan kondisi mereka yang kian membaik berkat pengaruh Risalah al-Nur dalam waktu relatif singkat. Murid-murid al-Nur mengubah tempat-tempat penuh ujian dan beban berat menjadi seperti gua ashabul kahfi atau gua tempat latihan spiritual orang-orang zuhud pada masa lalu. Mereka berusaha menyebarluaskan dan menggandakan Risalah al-Nur dengan hati senang dan pikiran tenang. Ini semua membuktikan bahwa pertolongan rabbani senantiasa datang membantu dan menolong kami.
Terbersit dalam hati saya, “Para ahli ijtihad besar seperti Imam agung Abu Hanifah r.a menanggung beban derita penjara, mujahid besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal sering kali disiksa dalam penjara karena satu persoalan terkait al-Qur'an Karim, namun ia tak mengeluh, bahkan tetap teguh sepenuh kesabaran, dan tidak tinggal diam dalam menghadapi persoalan tersebut. Banyak imam dan ulama besar juga mendapat siksaan, jauh melebihi beban yang Anda alami, namun mereka tetap bersyukur kepada Allah S.w.t dengan sepenuh kesabaran, tanpa tergoyahkan. Karena itu, Anda harus mempersembahkan ribuan rasa syukur kepada Allah S.w.t sebagai hutang yang Anda tanggung, karena beban yang Anda lalui tidak seberapa, padahal Anda mendapat pahala dan keuntungan besar karena hakikat al-Qur'an yang begitu banyak.”
Ya. Saya akan sampaikan secara singkat salah satu tajalli pertolongan rabbani dalam kezaliman manusia:
Saat berusia duapuluh tahun, saya sering dan berulang kali mengatakan, “Di akhir usia nanti, saya akan menyendiri di gunung atau gua, saya akan menjauhi kehidupan sosial layaknya orang-orang yang meninggalkan hiruk-pikuk dunia dan menyendiri di dalam gua-gua di masa lalu.”
Saat menjadi tawanan Perang Dunia Pertama di timur laut Rusia, saya juga memutuskan untuk menghabiskan sisa usia di gua-gua setelah terlepas nanti. Saya akan menjauhi kehidupan politik dan sosial. Cukup sudah kiprah dan peran saya selama ini.
Saat mengatakan seperti ini, tiba-tiba pertolongan rabbani dan keadilan takdir ilahi datang, lalu mengubah gua-gua yang saya bayangkan itu menjadi penjara-penjara, tempat-tempat menyendiri dan iktikaf dalam kesatuan dan kesendirian, tempat-tempat khalwat mutlak, sebagai rahmat bagi masa tua saya, dalam bentuk yang lebih utama dari apa yang saya putuskan dan yang saya inginkan, serta lebih baik. Dia telah mengubah madrasah-masarah Yusufiyah (penjara) sebagai tempat khalwat dalam bentuk lebih utama dari banyak gua para ahli riyadhah (latihan spiritual) dan zawiyah di pegunungan agar kami tidak banyak membuang waktu kami. Dengan begitu, kami meraih keuntungan-keuntungan ukhrawi yang bisa didapatkan di dalam gua-gua, sekaligus memberi kami kesepakatan untuk berjihad di bidang hakikat iman dan al-Qur'an. Sampai-sampai saya sempat bertekad melakukan tindak kejahatan agar bisa bertahan lama di dalam penjara setelah kawan-kawan saya dibebaskan nanti, sementara Husrou, Faidhi dan para bujangan lain tetap bertahan bersama saya. Saya ingin membuat-buat suatu perkara yang akan menjebloskan saya tetap berada di dalam ruang seorang diri sehingga saya tidak perlu menemui siapa pun, tidak menghabiskan waktu saya dalam obrolan-obrolan tak penting, tak perlu berada dalam kondisi memiliki tugas, kagum pada diri sendiri, dan cinta ketenaran.
319. Page
Namun takdir ilahi menggiring kami ke tempat iktikaf yang lain, memberi kami rahmat masa tua kami dengan suatu tugas di madrasah Yusufiyah yang ketiga ini di luar kehendak dan kuasa kami, hingga kami bisa mengerjakan tugas dan aktivitas lebih banyak dari sebelumnya dalam khidmat iman berkat rahasia “kebaikan ada pada apa yang dipilih Allah” ( اَلْخَيْرُ فيمَا اخْتَارَهُ اللّٰهُ), dan rahasia:
عَسي اَنْ تَكْرَهُو اشَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 216)
Ya, di balik perubahan bantuan ilahi yang mengganti gua-gua saya yang dikhususkan bagi masa muda saya yang kuat dan tanpa musuh tersembunyi bertopeng, dengan tempat-tempat menyendiri dan terisolasi di penjara, terdapat “tiga hikmah” yang mengandung “tiga manfaat penting” bagi dakwah al-Nur:
Hikmah dan manfaat pertama
Tak akan berlangsung pertemuan murid-murid Risalah al-Nur dengan tanpa ancaman bahaya di masa sekarang ini kecuali di Madrasah Yusuf (penjara). Pertemuan, perbincangan, dan diskusi satu sama lain di luar penjara itu mahal dan akan menimbulkan curiga. Sampai-sampai ada di antara mereka yang rela merogoh kocek sekitar 50 lira agar bisa bertemu dengan saya, itu pun hanya menemui selama dua puluh menit, atau kadang kembali pulang tanpa berhasil menemui saya. Saya dengan senang hati rela menerima beban berat penjara demi bisa melihat sebagian saudara saya dari dekat. Dengan demikian, penjara adalah nikmat dan rahmat bagi kami.
Hikmah dan manfaat kedua
Khidmat iman melalui jalan Risalah al-Nur di zaman sekarang ini mestinya dilakukan melalui iklan dan propaganda di mana-mana, serta berusaha menarik perhatian mereka yang memerlukan Risalah al-Nur. Dengan kami ditahan, perhatian banyak orang kepada Risalah al-Nur otomatis bisa ditarik. Penjara telah menjadi iklan dan propaganda bagi Risalah al-Nur yang bisa didapatkan oleh orang yang paling memusuhi sekali pun, atau pun orang yang paling memerlukannya, sehingga bisa menyelamatkan imannya, melenyapkan permusuhan dalam dirinya, selamat dari kebinasaan, dan madrasah al-Nur juga kian luas.
Hikmah dan manfaat ketiga
Murid-murid al-Nur yang masuk penjara bisa memetik pelajaran satu sama lain dari kondisi yang dialami masing-masing, bisa mengenal sifat, keikhlasan, dan pengorbanan yang mereka lakukan, karena dalam dakwah al-Nur mereka sama sekali tidak bekerja demi manfaat-manfaat duniawi.
Ya. Murid-murid al-Nur melihat dengan mata kepala sendiri, melalui serangkaian pertanda, banyak sekali manfaat materi dan maknawi di balik setiap kesulitan, beban berat, dan keterbatasan (di penjara). Mereka juga merasakan hasil-hasilnya yang baik dan indah, khidmat-khidmat keimanan yang tulus dan luas hingga sepuluh kali lipat lebih banyak dari beban berat, manfaat, dan hasil-hasil tersebut, bahkan seratus kali lipatnya. Dengan demikian, mereka meraih keikhlasan penuh, tidak mau menerima manfaat-manfaat pribadi yang tak seberapa dan spesial, bahkan mereka menghindari hal itu.
320. Page
Penjara dan tempat-tempat menyendiri seperti ini, meski menyedihkan bagi saya, namun juga manis dan lezat. Itu karena, di Madrasah Yusuf ini saya bisa melihat berbagai kondisi seperti yang ada di kampung halaman saya saat masih remaja di madrasah saya dulu, karena makanan sebagian murid-murid madrasah dibawakan dari luar sesuai tradisi lama di sejumlah provinsi kawasan timur Turki, dan kadang juga dimasakkan di dalam lingkungan madrasah.
Ada beberapa titik kesamaan antara madrasah swasta lama dengan penjara. Setiap kali memandang kondisi ini di sini, khayalan saya terbang menikmati masa-masa remaja yang indah dan manis, dan sejenak saya melupakan masa tua.
Saat ini ada dua poin yang diilhamkan kepada saya:
Poin pertama: Meskipun saya menanggung sepuluh kali, bahkan tiga puluh kali beban yang dirasakan para tahanan lain, di mana saya ikut merasakan derita yang dialami saudara-saudara yang ikut menanggung beban berat karena saya, namun saya tidak mengeluh tapi malah bersyukur kepada Allah S.w.t dengan sabar. Karena itu, para tahanan yang pemberani, teguh, dan sabar, hendaknya tidak lebih lemah dari orang tua lemah seperti saya ini.
Poin kedua: Sebagian saudara sesama tahanan tidak mengeluh meski mereka berada di dalam penjara selama beberapa tahun hanya karena kenikmatan dan kesenangan sesaat. Mestinya, para murid Risalah al-Nur wajib tidak mengeluhkan dan tidak meratapi kesulitan penjara yang hanya berlangsung selama beberapa bulan, atau bahkan dipenjara seratus bulan disebabkan khidmat iman demi meraih kenikmatan dan kebahagiaan kekal selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Mereka juga tidak boleh kondisinya lebih rendah dari para tahanan lain yang merupakan saudara-saudara baru.
Sa’id al-Nursi
321. Page
TAMBAHAN LAMA’AT KEDUA PULUH ENAM
Maktub Keduapuluh Satu
Sengaja disertakan pada bagian ini karena memiliki kesamaan konteks
بِاسْمِه
وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه
Dengan Nama-Nya
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya
بِسْـــــــــــــــــــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ
اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَريمًا{ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَاني صَغيرًا{ رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا في نُفُوسِكُمْ اِنْ تَكُونُوا صَالِحينَ فَاِنَّهُ كَانَ لِلْاَوَّابينَ غَفُورًا
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yangbaik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat’.” (Qs. al-Isra’ [17]: 23-25)
Wahai orang lalai, yang di rumahnya tinggal bersamanya ibu atau ayahnya yang sudah tua, atau seseorang dari kerabatnya yang lumpuh, atau seorang saudaranya seagama, atau seorang musafir tua yang sakit-sakitan, lihat dan perhatikanlah ayat ini dengan seksama. Perhatikan bagaimana satu ayat di atas mengundang pemberian kasih sayang (syafaqah) kepada orang tua yang sudah lanjut usia dalam lima tingkatan yang berbeda-beda.
Ya. Hakikat paling luhur di dunia adalah kasih sayang ayah dan ibu terhadap anak-anak mereka serta cinta mereka. Hak paling luhur dan paling tinggi adalah hak orang tua untuk dihormati dan dihargai atas kasih sayang dan cinta yang mereka curahkan. Itu karena, mereka telah rela mengorbankan hidup dan memberikannya agar anak-anak bisa hidup dalam kenikmatan yang sempurna.
Karena itu, salah satu tugas wajib bagi anak yang belum runtuh sisi kemanusiaannya dan belum berubah menjadi liar, adalah secara tulus menghormati orang-orang tercinta, terhormat, tulus, dan rela berkorban tersebut. Dia hendaknya dengan tulus melayani mereka, berusaha meraih ridha mereka, dan membuat hati mereka senang.
322. Page
Paman laki-laki dan bibi perempuan kedudukannya sama seperti ayah dan ibu. Maka ketahuilah bahwa sikap merasa keberatan atas keberadaan orang-orang lemah, lanjut usia, dan diberkahi ini, serta mengharap mereka lekas mati, menunjukkan lenyapnya nurani, sikap hina dan rendah. Ketahuilah dan sadarilah hal ini!
Ya. Ketahuilah bahwa menginginkan kematian orang yang rela mengorbankan hidupnya demi kehidupan Anda, adalah sebuah kezaliman yang betapa beratnya! Betapa tidak adanya nurani yang amat buruk sekali!
Wahai siapa pun yang diuji oleh fikiran kalut karena penghidupan. Ketahuilah bahwa sendi berkah di dalam rumah Anda, perantara agar rahmat datang pada Anda, menangkal mara bahaya dan musibah dari Anda, adalah kedekatan Anda dengan orang tua atau orang buta yang kau anggap membebani. Jangan pernah bilang, “Kondisi ekonomi saya saja sulit, saya tentu terbebani dan tidak bisa mengurusnya.” Sebab, andai bukan karena berkah yang datang karena keberadaan orang-orang lemah ini, niscaya kesulitan dan keterbatasan ekonomi yang Anda hadapi akan lebih berat dan lebih sulit lagi.
Dengarkan hakikat yang akan saya sampaikan ini, dan percayalah. Saya mengetahui banyak sekali dalilnya yang qath’i, dan saya bisa membuat Anda puas. Namun saya akan meringkasnya, khawatir kepanjangan. Maka puaslah dengan ucapan saya ini, dan percayalah. Demi Allah saya bersumpah, hakikat ini begitu pasti dan qath’i, bahkan jiwa saya dan juga setan saya pun mengakui hakikat ini. Hakikat yang telah mengalahkan kekuatan jiwa saya dan membuat setan saya diam tak berkutik ini tentu akan membuat Anda juga puas.
Ya. Sang Pencipta Maha Agung Maha Mulia, yang adalah Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Lembut Maha Mulia melalui kesaksaian makhluk semesta, seperti halnya saat Dia mengirim anak-anak ke dunia, demikian juga Dia mengirim rizki mereka di belakang mereka dengan penuh kelembutan. Dia curahkan rizki itu melalui puting susu ibu ke mulut mereka. Maka seperti itu juga Dia mengirim rizki dalam bentuk berkah bagi para orang tua renta yang telah menjadi seperti anak-anak, yang berhak mendapatkan kasih sayang dan membutuhkan cinta lebih banyak dari anak-anak. Kebutuhan hidup mereka tidak dibebankan pada orang-orang tamak dan kikir.
Secara jelas suatu hakikat mulia dikemukakan oleh ayat-ayat ini:
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتينُ
“Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Qs. al-Dzariyat [51]: 58)
وَكَاَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لاَتَحْمِلُ رِزْقَهَاق اَللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-‘Ankabut [29]: 60)
Secara jelas ayat ini menunjukkan bahwa berbagai jenis makhluk hidup melalui bahasa kondisonal dan tutur katanya, bahkan bukan hanya rizki kerabat yang sudah tua renta saja yang dikirimkan dalam bentuk berkah, tapi rizki sebagian makhluk lain seperti kucing pun yang diberi karena menemani manusia, dan yang rizkinya dikirim dalam lingkup rizki manusia.
323. Page
Berikut saya sebutkan suatu kejadian pribadi sebagai contoh yang memperkuat hakikat ini:
Teman-teman dekat saya mengetahui bahwa sekitar tiga tahun silam saya memiliki makanan tertentu, yaitu separuh roti setiap harinya. Dan roti di perkampungan tersebut berukuran kecil, sering kali tidak cukup bagi saya. Setelah itu datanglah empat ekor kucing[1] sebagai tamu saya, akhirnya separuh roti itu cukup untuk saya, juga mereka ini, bahkan sering kali lebih. Kondisi seperti ini sering kali terulang hingga membuat saya puas bahwa saya mendapatkan berkah kucing-kucing itu. Karena itu, dengan lantang saya sampaikan secara pasti bahwa kucing-kucing tersebut sama sekali bukan beban dan tanggungan bagi saya. Saya pun tidak berjasa pada mereka, justru sayalah yang berada di bawah pemberian dan karunia mereka!!
Wahai manusia! Mengingat hewan liar saja bisa menjadi perantara berkah ketika datang sebagai tamu di rumah seseorang, maka manusia yang merupakan makhluk paling sempurna, orang beriman yang merupakan manusia paling sempurna, orang-orang tua renta dan sakit-sakitan yang lebih berhak mendapat kasih sayang dan rahmat di antara orang-orang beriman, sanak kerabat yang lebih berhak mendapatkan kasih sayang, pelayanan, dan cinta di antara para orang tua renta sakit-sakitan lainnya, ayah dan ibu yang merupakan teman paling tulus dan setia di antara para kerabat, ketika mereka berada pada usia lanjut di sebuah rumah, maka silahkan, Anda bisa menganalogikan sejauh mana mereka ini menjadi perantara berkah dan rahmat, menjadi sebab penangkal petaka dan musibah berdasarkan rahasia: لَوْلاَ الشُّيُوخُ الرُّكَّعُ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ الْبَلاَءُ صَبًّا (“Andai bukan karena orang-orang tua yang membungkuk, niscaya musibah sudah dituangkan ke kalian sedemikian rupa.”)[2]
Karena itu, wahai manusia! Anda harus kembali sadar, karena suatu hari nanti Anda pasti menjadi orang tua renta, jika pun Anda tidak mati. Jika Anda tidak memuliakan kedua orang tua Anda, maka anak-anak Anda tak akan mengurus Anda, karena balasan diberikan sesuai amalan (اَلْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ).
Jika Anda mencintai akhirat Anda, maka di dekat Anda terdapat harta karun dan simpanan besar. Layanilah keduanya, dan gapailah ridha mereka.
Jika Anda mencintai dunia, mintalah kerelaan keduanya, bahagiakan juga hati keduanya, dan buatlah keduanya senang agar usia Anda berlalu dengan senang dan rizki Anda penuh berkah karena keberadaan mereka berdua. Jika tidak, jika Anda merasa berat dibebani oleh keduanya, lalu Anda mengharapkan keduanya segera mati, sehingga hati mereka yang lembut dan sensitif itu terluka, maka ayat ini pun akan menimpa Anda:
خَسِرَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةَ
“Rugilah ia di dunia dan di akhirat” (Qs. Al-Hajj [22]: 11)
[1] Salah satu dari kucing-kucing itu bernama Abdul Rahim, karena ia berzikir pada Allah dengan melafazkan “Ya Rahim, ya Rahim, ya Rahim” secara fasih sebagai ganti bunyi miungannya. Ia memperdengarkan pada manusia zikir semua kucing. (Penulis)
[2] Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Allah menangguhkan (ujian dan musibah). Andai bukan karena pemuda yang khusyuk, orang tua yang membungkuk, anak-anak kecil yang menetek, dan hewan-hewan ternak yang makan, niscaya Dia akan menimpakan siksa kepada kalian sebanyak-banyaknya, dan menumbuk kalian hingga remuk.” Hr. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Wasith, hadits nomor 7085. Hadits ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat lain dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Thabrani, Musnad Abu Ya’la, hadits nomor 6402, dan al-Sunan al-Kubra, Al-Baihaqi, hadits nomor 6184.
324. Page
Jika Anda menginginkan rahmat al-Rahman, maka sayangilah titipan-titipan dan amanat al-Rahman yang ada di rumah Anda.
Saya mempunyai seorang saudara karena Allah. Namanya Musthafa Jawisy. Menurut saya, Musthafa ini sukses dalam urusan agama dan juga dunia. Sebelumnya, saya tidak tahu rahasianya bisa begitu. Namun berikutnya saya tahu bahwa sebab kesuksesannya ini adalah dia memenuhi hak-hak kedua orang tua yang sudah uzur. Dia menjaga hak-hak ini dengan sempurna, sehingga dia menemukan kenyamanan dan rahmat karena kedua orang tuanya. Dia pun telah memakmurkan akhiratnya, insya Allah dan atas izin Allah. Maka, bagi siapa pun yang ingin bahagia, silahkan mengikuti jejaknya.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰي مَنْ قَالَ ( اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ) وَ عَلي اٰلِه وَصَحْبِه اَجْمَعينَ
Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada sosok yang bersabda, “Surga berada di bawah kaki ibu,”[1] juga untuk keluarga dan para sahabatnya.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
[1] Hadits dengan lafaz ini disebutkan dalam Musnad al-Syihab, hadits nomor 119. Hadits ini dikuatkan oleh sejumlah riwayat lain dengan lafaz yang berbeda. Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahamah al-Sulami bahwa Jahamah datang kepada Nabi S.a.w, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin berperang, aku datang kemari untuk meminta pendapatmu.’ Beliau lalu bertanya, ‘Apa kau masih punya ibu?’ ‘Ya,’ jawabnya. Beliau kemudian bersabda, ‘Maka tetaplah berada di dekatnya, karena surga berada di kedua kakinya’.” Hr. al-Nasa`i dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 4312, al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 3104, Hakim dalam al-Mustadrak, hadits nomor 2502, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 1761, Ibnu Awanah dalam Musnadnya, hadits nomor 5553, riwayat lain menyebutkan; “Maka tetaplah berada di kakinya, karena di sana ada surga.” HR. Ibnu Majah, hadits nomor 2781, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 8162, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, hadits nomor 25411, Mushannaf Abdurrazzaq hadits nomor 9290, Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 15577, Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 2202.