NAVIGATION
193. Page
LAMA’AT KEDUA PULUH SATU
Khusus tentang Keikhlasan
Lama’at ini merupakan “Masalah Keempat” di antara tujuh masalah yang terdapat di Catatan Ketujuhbelas pada “Lama’at Ketujuhbelas.” Namun, karena masih terkait dengan keikhlasan, ia pun dimasukkan menjadi “poin kedua” di Lama’at Keduapuluh. Lalu, didasarkan atas pancaran cahayanya, ia kemudian dijadikan “Lama’at Keduapuluh Satu” sehingga masuk “al-Lama’at.”
Lama’at ini harus dibaca minimal satu kali setiap lima belas hari.
بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ ريحُكُمْ
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Qs. al-Anfal [8]: 46)
وَقُومُوا لِلّٰهِ قَانِتينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (Qs. al-Baqarah [2]: 238)
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰيهاَ{ وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰيهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. al-Syams [91]: 9-10)
وَلاَ تَشْتَرُوا بِاٰيَاتي ثَمَنًا قَليلاً
“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (Qs. al-Baqarah [2]: 41)
Wahai saudara-saudaraku dalam (urusan) akhirat dan para sahabatku dalam khidmat al-Qur’an. Ketahuilah –dan kalian sudah mengetahui– bahwa asas terpenting, kekuatan terbesar, penolong paling bisa diharapkan, titik sandaran paling kokoh, jalan paling singkat menuju hakikat, doa maknawi paling dekat diterima, sarana paling mulia untuk mencapai tujuan, budi pekerti tertinggi, dan ubudiyah paling tulus di dunia ini terutama dalam khidmat-khidmat ukhrawi, adalah keikhlasan.
Mengingat di dalam keikhlasan terdapat banyak cahaya, dan banyak kekuatan seperti ciri-ciri yang telah disebutkan, mengingat ke atas pundak kita telah diletakkan oleh ihsan ilahi sebuah tugas keimanan dan khidmat Qur’ani yang bebannya begitu berat, besar, umum, dan suci sekali, meskipun kita berjumlah sedikit, lemah, dan fakir pada zaman kritis sekarang ini,
194. Page
di hadapan musuh dahsyat, di depan tekanan amat kuat, serta di bawah serangan bid‘ah dan kesesatan yang tersebar luas, maka tak ragu lagi kita dipaksa dan diberi beban tanggung jawab untuk berhasil melalui keikhlasan dengan segenap tenaga kita lebih banyak dari orang-orang lain, dan kita sangat perlu memantapkan rahasia keikhlasan di dalam diri kita. Jika tidak, sebagian khidmat suci yang kita peroleh sampai sekarang akan hilang, dan pasti tidak akan bertahan. Lebih dari itu, kita pun akan dihisab dengan berat sekali. Kita terkena larangan ilahi yang diancamkan dengan dahsyatnya di ayat:
وَلاَ تَشْتَرُوا بِاٰيَاتي ثَمَنًا قَليلاً
“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. Al-Baqarah: 41)
Dengan kita merusak keikhlasan, menurut hitungan kebahagiaan abadi, yang demi sebagian hasrat hina dan manfaat parsial, yang di baliknya tanpa guna, tanpa faedah, berbahaya, kotor, dan sangat takabur penuh riya, kita telah melampaui hak semua saudara yang bekerja dalam khidmat ini, kita menerjang kehormatan khidmat al-Qur’an, dan kita berlaku buruk terhadap penghormatan kesucian hakikat keimanan.
Wahai saudara-saudaraku! Urusan-urusan kebajikan yang penting dan besar punya banyak rintangan berbahaya. Setan banyak mengganggu para penggerak khidmat tersebut. Untuk menghadapi rintangan ini dan setan-setan tersebut, kita perlu bersandar kepada kekuatan keikhlasan.
Hindarkan sebab-sebab yang bisa merusak keikhlasan sebagaimana kalian menghindarkan diri dari ular dan kalajengking. Tak boleh ada ikatan dengan nafsu amarah atau bergantung padanya, sebagaimana dikatakan Nabi Yusuf a.s:
اِنَّ النَّفْسَ لَاَ مَّارَةٌ بِالسّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبّي
“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Qs. Yusuf [12]: 53)
Maka, janganlah sekali-kali kalian tertipu oleh sikap egoisme dan nafsu amarah yang senantiasa menyeru pada keburukan.
Untuk memperoleh keikhlasan, memeliharanya, dan untuk menghindari segala penghalangnya, jadikanlah beberapa prinsip berikut ini sebagai pedoman kalian.
Prinsip Pertama Kalian: Mencari keridhaan Allah dalam amal-amal kalian. Jika Dia sudah ridha, tak penting seluruh dunia berpaling. Jika Dia sudah menerima, tidak berpengaruh penolakan masyarakat seluruhnya. Jika Dia menghendaki dan hikmah-Nya menentukan, sesudah Dia ridha dan menerima, Dia pasti akan menjadikan masyarakat juga menerima dan meridhai meskipun kalian tidak meminta. Karena itu, jadikanlah keridhaan Allah satu-satunya bukan yang lain-Nya sebagai tujuan utama dalam khidmat ini.
Prinsip Kedua Kalian: Tidak mengkritik saudara-saudara kalian yang bekerja dalam khidmat al-Qur’an ini, dan tidak membangkitkan perasaan hasad dengan cara memamerkan kebanggaan dan kelebihan diri. Sebab, tangan sebelah manusia tidak pernah bersaing dengan tangan sebelahnya lagi, salah satu matanya tidak pernah mengkritik matanya yang lain, lidahnya tidak pernah menyangkal telinganya, dan hatinya tidak pernah melihat aib jiwanya, tapi masing-masing melengkapi kekurangan lainnya, menutup kekurangannya, menolongnya sesuai keperluannya, dan membantunya dalam menjalankan tugasnya. Jika tidak, kehidupan tubuh manusia pasti sudah padam, ruhnya melayang, dan tubuhnya bercerai-berai.
195. Page
Begitu juga roda di pabrik dan gigi-giginya tidak pernah bersaing saling menyerobot pekerjaan satu sama lain, tidak pernah saling mendahului dan menguasai satu sama lain, tidak pernah saling melumpuhkan satu sama lain dengan mematahkan semangat usahanya dengan mengkritik, mencari-cari kekurangan dan kesalahannya; tapi, masing-masing saling membantu satu sama lain dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengarahkan gerakan-gerakannya satu sama lain menuju tujuan yang dicita-citakan, sehingga ia berputar menuju tujuan penciptaannya dengan saling tolong-menolong hakiki dan melalui kesepakatan hakiki. Sekiranya ada bantahan dan penguasaan sebesar atom saja di dalamnya, pasti itu akan merusak pabrik tersebut sehingga membuatnya sia-sia dan tanpa hasil apa pun. Si pemilik pabrik pun pasti akan menghancurkan dan merusak pabrik itu secara keseluruhan.
Karena itu, wahai thullab (murid-murid) Risalah al-Nur dan para khadim (pengabdi) al-Qur’an, kami dan kalian semua adalah anggota-anggota tubuh sosok maknawi[1] yang layak dinamakan sebagai: Insan kamil (manusia sempurna). Kita adalah roda di pabrik yang memproduksi kebahagiaan abadi dalam kehidupan yang abadi. Kita juga para pengabdi yang bekerja dalam Kapal Rabbani yang membawa umat Muhammad menuju Darussalam (surga) yang merupakan pantai keselamatan. Maka, tak ragu lagi bahwa kita memerlukan bahkan menghajatkan sandaran dan persatuan yang hakiki yang diperoleh melalui rahasia keikhlasan yang menjamin kekuatan maknawi sebesar seribu seratus sebelas (1111) orang yang dihasilkan dari empat orang saja.
Ya, jika tiga huruf Alif tidak bersatu, nilainya hanyalah tiga. Namun jika ia bersatu dengan rahasia bilangan, ia akan bernilai seratus sebelas (111). Sebagaimana jika empat kali empat terpisah-pisah maka nilainya enam belas; sementara jika angka-angka ini berkesesuaian dan duduk sejajar bahu ke bahu di atas satu garis dengan rahasia ukhuwah, kesatuan tujuan, dan kesepakatan tugas, saat itu ia memperoleh kekuatan dan nilai sebesar empat ribu empat ratus empat puluh empat (4444); demikian pula, banyak sekali peristiwa bersejarah membuktikan bahwa nilai dan kekuatan maknawi enam belas orang saudara yang sanggup berkorban melebihi empat ribu orang, melalui rahasia keikhlasan hakiki.
Rahasia dari rahasia ini ialah setiap orang dapat memandang melalui mata semua saudaranya yang lain dan dapat mendengar dengan telinga mereka juga dalam suatu kesepakatan yang hakiki dan sejati. Seolah-olah setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar bersatu memiliki kekuatan maknawi dan nilai dalam bentuk seolah-olah melihat melalui duapuluh biji mata, berfikir dengan sepuluh akal, mendengar melalui duapuluh telinga, dan bekerja dengan duapuluh tangan.[2]
Prinsip Ketiga Kalian: Kalian hendaknya mengetahui bahwa kekuatan kalian adalah seluruh kekuatan kalian dalam keikhlasan dan kebenaran. Ya, kekuatan terletak di dalam
[1] Sosok maknawi adalah istilah yang banyak digunakan ustadz Badiuzzaman Said Nursi untuk menunjukkan jamaah dalam suatu organisasi yang memiliki tujuan bersama, bukan sosok dalam pengertian perorangan.
[2] Ya, sebagaimana dengan rahasia keikhlasan, persandaran dan kesatuan yang sejati menjadi penyebab kepada manfaat yang tiada batasan, ia juga merupakan perisai dan noktah sandaran yang paling penting untuk menghadapi ketakutan hatta kematian sekali pun. Karena jika kematian datang, ia akan mengambil hanya satu roh. Namun karena dengan rahasia ukhuwah yang hakiki, pada kerja-kerja yang bersangkut-paut dengan Akhirat dan di jalan keridhaan Allah, dia memiliki roh sebanyak saudara-saudaranya. Dengan berkata: “Jika salah satunya mati biarlah roh-rohku yang lain kekal sihat. Aku tidak mati, karena roh-roh itu senantiasa mendapatkan pahala lalu meneruskan kehidupan maknawi bagi pihakku.” Maka, dia akan menghadapi kematian sambil tersenyum dan dia akan berkata: “Dengan perantaraan roh-roh itu aku masih hidup dalam sudut pahala. Aku cuma mati dalam sudut dosa.” Lalu dia bersemadi dengan tenang.
196. Page
kebenaran dan keikhlasan. Bahkan kekuatan para tiran juga demikian, sebab mereka mendapat kekuatan dari keikhlasan dan kesungguhan yang mereka tunjukkan dalam kezaliman dan kebatilan mereka.
Ya, bukti yang menunjukkan bahwa kekuatan itu terletak di dalam kebenaran dan keikhlasan adalah khidmat pengabdian kita ini. Keikhlasan kecil saja di dalam khidmat ini akan memperkuat masalah ini, dan menjadi bukti tadi dengan sendirinya. Itu karena, (capaian) khidmat keagamaan dan keilmuan yang telah kami lakukan selama lebih duapuluh tahun di daerah saya sendiri dan di Istanbul, cukup kami lakukan di sini[1] bersama kalian (dengan capaian) berlipat-lipat hingga seratus kali lebih banyak darinya selama tujuh atau delapan tahun.
Padahal, orang-orang yang membantu saya di daerah saya sendiri dan di Istanbul lebih banyak dari mereka seratus kali bahkan seribu kali lipat dari di sini. Maka tidak sedikit pun tersisa keraguan pada diri saya bahwa kekuatan maknawi yang memperlihatkan keberhasilan dalam khidmat yang saya lakukan bersama kalian selama tujuh atau delapan tahun di sini –yaitu seratus kali lipat lebih banyak dari khidmat-khidmat kami terdahulu– tak lain berasal dari keikhlasan kalian semua. Padahal, saya di sini dalam kondisi sebatang kara, asing, separuh buta huruf, dan berada di bawah pengawasan petugas yang tidak adil, serta berada di bawah tekanan mereka.
Saya sungguh mengakui bahwa kalian telah menyelamatkan saya sedemikian rupa, dengan keikhlasan kalian yang suci, dari sifat riya yang membelai nafsu saya di bawah tabir popularitas dan kenamaan. Insya Allah kalian akan berhasil mencapai keikhlasan yang sempurna dan akan turut memasukkan saya ke dalamnya.
Kalian mengetahui, masing-masing Sayyidina Ali r.a melalui karamahnya yang menyerupai mukjizat, maupun al-Ghauts al-A’dham (Syaikh Abdul Qadir Jailani) –semoga Allah menyucikannya– melalui karamah ghaibnya yang luar biasa, telah memberi berkah dan perhatian kepada kalian berdasarkan rahasia keikhlasan ini. Mereka menenteramkan kalian melalui perlindungan mereka berdua, lalu bertepuk tangan memuji khidmat kalian secara maknawi.
Ya, janganlah kalian dirasuki keragu-raguan selamanya bahwa berkah dan perhatian mereka berdua datang karena keikhlasan kalian. Jika kalian merusak keikhlasan ini secara sengaja, kalian akan mendapatkan tamparan dari mereka berdua. Ingatlah “tamparan-tamparan sayang” yang sudah disebutkan dalam “Lama’at Kesepuluh”!
Jika kalian ingin menemukan pahlawan-pahlawan maknawi seperti ini tampil di belakang kalian,[2] sekaligus menjadi guru di hadapan kalian, maka raihlah keikhlasan yang sempurna melalui rahasia,
وَ يُؤْثِرُونَ عَلي اَنْفُسِهِمْ
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan.” (Qs. al-Hasyr [59]: 9)
[1] “Di sini”, maksudnya kota Isparta.
[2] Mendukung kalian.
197. Page
Kalian hendaknya lebih mengutamakan saudara-saudara kalian ketimbang diri sendiri dalam hal-hal yang biasanya disukai nafsu seperti penghormatan, kedudukan, perhatian orang, hingga dalam hal keuntungan materiil, bahkan dalam taklim (pengajaran) suatu hakikat iman yang paling lembut dan paling indah pada seorang mukmin yang memerlukannya, dan itu pada hakikatnya merupakan manfaat yang tanpa ragu-ragu di dalamnya dan tidak merugikan. Kalian hendaknya membuat diri merasa gembira sebisa mungkin, dan membiasakan diri untuk menyerahkan tugas penting seperti ini kepada sahabat lain yang selama ini tidak mempedulikannya, agar sifat egoisme tidak menguasai diri kalian.
Jika kalian memiliki keinginan memperoleh pahala sendirian tanpa orang lain, dan lebih suka menerangkan suatu permasalahan kecil sendiri, tentu itu tidak berdosa dan tidak berbahaya, namun hal itu kadangkala bisa menyebabkan rusaknya rahasia keikhlasan yang ada di antara kalian.
Prinsip Kalian yang Keempat: Merasa bangga –dengan penuh rasa syukur–terhadap kemuliaan saudara-saudara kalian, dengan menganggap keistimewaan mereka ada pada diri kalian, dan kelebihan mereka ada dalam diri kalian.
Terdapat istilah-istilah yang beredar di kalangan ahli tasawuf, seperti al-fana’ fi al-syeikh dan al-fana’ fi al-rasul (meluruhkan diri dalam diri syaikh dan meluruhkan diri dalam diri rasul). Saya bukanlah seorang sufi. Namun istilah mereka ini merupakan prinsip yang indah di aliran (maslak) kita, dalam bentuk al-fana’ fi al-ikhwan (meluruhkan diri dalam diri saudara-saudara). Di kalangan para saudara (ikhwan), prinsip ini disebut “tafani,” yaitu masing-masing menjadi fana di dalam diri yang lain. Yakni, hendaknya masing-masing saudara melupakan hasrat-hasrat nafsu (hissiyyat nafsaniyyah) lalu hidup dalam pemikiran bersama keistimewaan saudara-saudaranya dan kemuliaan mereka.
Asas aliran (maslak) kita ialah ukhuwah murni. (Asas kita) bukan hubungan antara ayah dengan anak atau antara syaikh dengan murid, yang ada di antara kita, tetapi hubungan-hubungan ukhuwah yang hakiki. Paling tidak, ada hubungan keustadzan (ustadziyah) saja di antara kita. Dan karena aliran kita ialah khaliliyyah (kesahabatan), maka faham kita ialah khullah (persahabatan).
Adapun khullah, maka ia menuntut Anda menjadi teman dekat terpercaya, sobat yang rela berkorban, kawan yang menghargai dan mendukung kerja-kerja kawannya, dan saudara yang budiman dermawan. Asas utama khullah ini ialah “keikhlasan sempurna.” Orang yang merusak keikhlasan sempurna akan jatuh dari puncak tertinggi menara khullah, dan mungkin saja ia akan terjatuh ke dalam lubang yang amat dalam dan tidak akan menemui tempat untuk berpegangan.
Ya, tampak bahwa jalan ada dua. Orang-orang yang sekarang ini memisahkan diri dari aliran (maslak) kita ini, yang merupakan jalan lurus Qur’ani terbesar, bisa jadi mungkin akan membantu kekuatan anti-agama tanpa mereka sadari. Sementara orang-orang yang memasuki wilayah suci al-Qur’an, yang bayannya penuh mukjizat, melalui perantara Risalah al-Nur, akan senantiasa memberi kekuatan kepada nur cahaya, keikhlasan, dan keimanan, dan tidak akan jatuh ke dalam lubang-lubang seperti ini, insya Allah.
Wahai teman-temanku dalam khidmat al-Qur’an! Salah satu di antara banyak penyebab paling berpengaruh untuk menanamkan keikhlasan dan untuk menjaganya ialah rabithat al-maut (ikatan kematian).
Ya, sebagaimana hal yang mencederai keikhlasan dan menggiring ke arah riya dan ke dunia ialah thul al-amal (panjang angan-angan), maka hal yang akan melahirkan kebencian
198. Page
kepada sifat riya dan akan mendatangkan keikhlasan ialah rabithat al-maut. Yakni, seseorang menghindarkan dari gangguan-gangguan nafsu dengan mengingat kematiannya dan memperhatikan bahwa dunia itu fana.
Ya, para ahli tarekat dan para ahli hakikat telah menjadikan rabithat al-maut sebagai asas dalam aliran-aliran (maslak) mereka, melalui pelajaran yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’anal-Hakim seperti كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” Qs. Ali ‘Imran [3]: 185), انَّكَ مَيِّتٌ وَاِنَّهُمْ مَيِّتُونَ (“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” Qs. al-Zumar [39]: 30), serta melalui rabithah itu mereka menghilangkan tawahhum al-abad (asumsi keabadian) yang merupakan sumber thul al-amal.
Ketika mereka membayangkan dan mengkhayalkan bahwa diri mereka telah mati dalam bentuk khayalan dan asumsi, serta menganggap bahwa mereka dimandikan dan diletakkan di dalam kubur, maka nafsu amarah terpengaruh oleh khayalan dan persepsi itu, sehingga ia pun bisa melepaskan diri dari angan-angannya yang panjang sedemikian rupa.
Rabithah ini memiliki banyak sekali manfaat. Hadits mulia mengajarkan kita tentang rabithah ini melalui kata-kata, “Perbanyaklah mengingat hal yang dapat membunuh segala kelezatan” (فاَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ), atau seperti yang disabdakan.
Namun, karena aliran (maslak) kita bukanlah tarekat namun hakikat, kita tidak dituntut harus menjalankan rabithah dalam bentuk asumsi dan khayalan seperti ahli tarekat. Di samping itu, hal demikian juga tidak sesuai dengan aliran hakikat. Jadi, rabithah haqiqi bukan dengan menghadirkan masa depan ke masa sekarang dengan cara memikirkan akibat, tetapi bertolak dalam hal pemikiran dari masa sekarang menuju masa depan menurut sudut pandang hakikat, dan melihat ke masa depan melalui visi.
Ya, manusia bisa melihat jenazahnya sendiri yang merupakan buah satu-satunya di pohon usianya yang singkat tanpa perlu sama sekali pada khayalan dan asumsi. Dengan itu dia melihat kematiannya sendiri, bahkan jika dia beranjak dengan pandangannya sedikit demi sedikit hingga yang lebih jauh dari itu, maka dia akan melihat kematian zamannya.
Setiap kali pikirannya bekerja lebih jauh, dia akan menyaksikan kematian dunia juga, maka terbukalah jalan menuju keikhlasan yang lebih sempurna.
Penyebab Kedua: Melalui kekuatan keimanan tahqiqi dan melalui kilauan-kilauan yang berasal dari tafakkur imani pada ciptaan-ciptaan yang menghasilkan makrifat Sang Pencipta, seseorang dapat menghadirkan kedekatan dengan Allah sedemikian rupa, kemudian berpikir bahwa Sang Pencipta Yang Maha Penyayang senantiasa hadir dan melihat. Maka dia tidak boleh menghadap kepada selain Dia S.w.t, serta menyadari bahwa beralih kepada yang selain Dia dan meminta bantuan dari selain Dia dalam kehadiran-Nya adalah bertentangan dengan adab kehadiran (Tuhan) tersebut. Dengan demikian, dia akan terhindar dari riya, dan dia pun memperoleh keikhlasan.
Bagaimana pun, di dalam hal ini terdapat banyak tingkatan dan martabat. Keuntungan masing-masing orang adalah apa yang diperolehnya sesuai kadar nasibnya. Maka kami batasi di sini membahas kadar ini dengan mengacu pada banyak sekali hakikat yang disebutkan dalam Risalah al-Nur, yang membebaskan seseorang dari riya dan mendatangkan keikhlasan. Kami akan menerangkan secara ringkas dua atau tiga dari banyak sekali sebab yang merusak keikhlasan dan menggiring kepada riya:
Pertama: Persaingan yang berasal dari keuntungan materiil akan merusak keikhlasan sedikit demi sedikit, merusak hasil-hasil kerja dakwah, dan melenyapkan keuntungan materiil
199. Page
juga.
Ya, umat ini telah biasa selalu menghormati orang-orang yang bekerja demi hakikat dan akhirat. Umat ini telah membantu mereka, dan memberikan perasaan dan kepedulian kepada mereka. Umat ini juga menolong mereka dengan bantuan-bantuan materiil seperti sedekah dan berbagai hadiah, sehingga waktu mereka tidak terbuang oleh kesibukan memenuhi kebutuhan materiil. Hal itu didasarkan atas niat ikut berpartisipasi –aktif– dalam keikhlasan mereka yang sejati dan khidmat mereka yang tulus di satu sisi.
Namun, keuntungan, bantuan, dan pertolongan ini tidak boleh diminta, tetapi diberikan dan diserahkan. Bahkan itu tidak boleh diminta sama sekali meski dengan bahasa kondisional (lisan al-hal) sekali pun, seolah-olah manusia menginginkannya di hati lalu terus menunggunya.
(Keuntungan, bantuan, dan pertolongan itu dibolehkan), tetapi harus diberikan melalui cara yang tidak diduga-duga. Jika tidak, keikhlasannya akan rusak, sehingga dia sudah mendekati larangan ayat mulia: وَلاَ تَشْتَرُوا بِاٰيَاتي ثَمَنًا قَليلاً (“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah” Qs. al-Baqarah [2]: 41) sehingga membuat sebagian amalnya gugur.
Keinginan untuk memperoleh keuntungan materiil ini, menunggu-nunggunya dan mengharapkannya, akan membangkitkan rasa persaingan di diri seseorang terhadap saudaranya yang hakiki dan terhadap teman dekatnya yang berada dalam khidmat khusus tersebut. Hal itu karena, nafsu amarahnya dengan rasa egonya cenderung tidak akan membiarkan keuntungan itu diambil orang lain. Akibatnya, keikhlasannya pun terkena kontaminasi. Kerja-kerja dakwahnya juga kehilangan kesuciannya. Dia pun akan dipandang berat oleh para ahli hekekat. Lebih dari itu, dia juga kehilangan manfaat materiil tersebut.
Bagaimana pun, “adonan ini memerlukan banyak air.”[1] Karena itu, saya akan meringkas di sini dan akan menyebutkan dua contoh saja yang dapat memperkuat rahasia keikhlasan dan kesepakatan sejati di antara saudara-saudara saya yang hakiki.
Contoh Pertama: Para pecinta dunia, bahkan sebagian politisi serta sosok individu dan organisasi perkumpulan yang memainkan peran penting dalam kehidupan sosial manusia, telah menjadikan prinsip partisipasi (isytirak) harta sebagai pedoman bagi mereka untuk memperoleh kekayaan besar dan kekuatan luar biasa. Dengan itu, mereka bisa mendapatkan kekuatan hebat dan keuntungan sangat besar meskipun (harus menghadapi) segala bahaya dan praktek buruk. Walaupun di dalam prinsip partisipasi terdapat banyak potensi bahaya, namun ia tidak mengubah esensi Anda sebagai pemilik harta melalui partisipasi. Setiap orang dilihat dari sisi pengawasan atas (harta) dan dari aspek lain dianggap sebagai pemilik semua harta, hanya saja dia tidak bisa mempergunakan semua harta itu sepenuhnya.
Bagaimana pun, prinsip partisipasi dalam harta itu jika diaplikasikan dalam kerja-kerja ukhrawi, tentu akan menjadi sumber manfaat yang besar tanpa menimbulkan bahaya dan kerugian. Ini karena semua harta yang disertakan merupakan milik setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya.
Sebagaimana jika ada empat atau lima orang, maka dengan niat bekerjasama orang pertama membawa minyak, yang kedua sumbu, yang ketiga lampu, yang keempat gelas kaca, dan yang terakhir membawa korek api. Lalu mereka menyalakan lampu itu, maka masing-masing dari mereka menjadi pemilik seluruh lampu tadi. Jika setiap orang yang berpartisipasi ini memiliki sebuah cermin besar yang digantung di dinding, maka lampu tersebut seluruhnya
[1] Perumpamaan Turki yang bermakna urusannya panjang.
200. Page
akan terpantul di ruang itu dan di cerminnya tanpa berkurang atau terbagi-bagi.
Sebagaimana persis dengan perumpamaan ini, maka partisipasi bersama di dalam kerja-kerja ukhrawi dengan rahasia keikhlasan, dan saling mendukung di dalamnya dengan rahasia ukhuwah, serta usaha kerjasama di dalamnya dengan rahasia persatuan, akan menyebabkan masuknya semua hasil dan semua nur cahaya yang diperoleh dari kerjasama dalam amal-amal tersebut seutuhnya ke dalam catatan amal masing-masing partisipan. Hal ini tampak jelas dan nyata di kalangan ahli hakikat, dan ia termasuk bagian dari kemutlakan luasnya rahmat Allah S.w.t dan kemurahan-Nya.
Karena itu, wahai saudara-saudaraku! Keuntungan materiil pasti tidak akan pernah membawa kalian kepada persaingan, Insya Allah. Hanya saja kalian terkadang tertipu dalam hal keuntungan ukhrawi, sebagaimana sebagian ahli tarekat tertipu. Namun, di manakah gerangan pahala pribadi parsial dilihat dari pahala dan cahaya yang timbul dari partisipasi kerjasama dalam kerja-kerja seperti dalam contoh tersebut?!
Contoh Kedua: Para seniman dan produsen, agar bisa memperoleh hasil seni yang banyak, memperoleh kekayaan yang banyak karena mereka melakukan kerjasama dalam produksi dan kesenian. Sehingga jika terdapat sepuluh orang yang membuat jarum jahit, dan masing-masing mereka berusaha membuat jarum secara sendiri-sendiri, maka hasil yang didapatkan dari kerja personal, dan buah dari produksi sendirian, itu hanya tiga batang jarum saja setiap hari.
Kemudian, kesepuluh orang ini bersatu sesuai prinsip berbagi tugas tadi. Maka salah seorang dari mereka ada yang membawa besi, yang lainnya menyalakan tungku api, yang ketiga bertugas melubangi jarum, yang keempat meletakkannya di atas api, yang kelima menajamkannya, dan begitulah seterusnya...
Karena masing-masing dari mereka hanya sibuk dengan suatu kerja parsial dalam produksi jarum, dan karena kerja yang dilaksanakannya mudah dan sederhana, maka tak ada waktu terbuang. Masing-masing mereka pun mendapatkan kemahiran, sehingga mereka dapat melaksanakan pekerjaan mereka dengan cepat di dalam produksi tersebut. Kemudian di antara mereka berbagi buah hasil produksi yang mereka peroleh melalui prinsip kerjasama dan pembagian tugas itu. Mereka mendapati masing-masing mendapat bagian tiga ratus batang jarum dalam sehari, bukannya tiga batang jarum. Peristiwa ini pun menjadi sebuah contoh yang diperbincangkan para pelaku industri pecinta dunia demi menggalakkan kerjasama.
Karena itu, wahai saudara-saudaraku! Mengingat hasil yang diperoleh dari persatuan dan kesepakatan dalam urusan duniawi dan materi-materi yang melimpah bisa membuahkan hasil yang begitu besar seperti ini, maka sudah tentu kalian bisa menganalogikan, betapa besar keuntungan pantulan seluruh pahala akhirat dan cahaya – berkat karunia ilahi, tanpa harus dibagi-bagi – di cermin setiap individu, dan masing-masing individu bisa memiliki pahala yang diperoleh seluruh jamaah! Tentu tidak patut keuntungan besar ini lepas begitu saja disebabkan adanya persaingan dan hasad, dan disebabkan tiadanya keikhlasan.
Halangan kedua yang merusak keikhlasan:
Yaitu, ambisi meraih perhatian umum di bawah tirai kehormatan dan pujian atas dorongan cinta popularitas, yang timbul dari cinta kedudukan, memanjakan ego diri dengan cara menarik pandangan orang dan penerimaan mereka pada dirinya, juga memberi posisi dan kedudukan pada nafsu amarahnya. Sikap-sikap ini merupakan penyakit rohani amat parah,
201. Page
yang membuka jalan menuju riya yang merupakan syirik samar (syirk khafi), serta membuka jalan menuju sikap bangga diri dan suka memuji diri, sehingga keikhlasan pun pergi dan rusak.
Wahai saudara-saudaraku! Mengingat jalan (maslak) kita dalam khidmat al-Qur’an ialah hakikat dan ukhuwah, dan mengingat rahasia ukhuwah adalah seseorang melenyapkan kepribadiannya di antara saudara-saudaranya dan mengutamakan mereka di atas diri sendiri, maka hendaknya hasad dan persaingan yang muncul dari jenis cinta kedudukan ini tidak berpengaruh pada kita. Sebab, sikap tersebut menafikan jalan kita secara keseluruhan.
Mengingat kemuliaan apa pun yang dimiliki semua saudara (ikhwan) mungkin merujuk kembali kepada setiap orang dari anggota jamaah, maka saya menginginkan dan berharap mudah-mudahan sikap mengorbankan kehormatan dan keutamaan maknawi yang besar itu demi kehormatan dan kemasyhuran yang bersifat parsial dan pribadi, yang diliputi egoisme, hasad, dan persaingan, dijauhkan sama sekali dari murid-murid Risalah al-Nur.
Ya, hati murid-murid Risalah al-Nur, serta akal dan jiwa mereka, tidak akan jatuh ke hal-hal hina, berbahaya, dan rendahan seperti itu. Namun pada setiap orang terdapat nafsu amarah buruk, yang kadang kecenderungan-kecenderungan nafsu mempengaruhi urat perasaan sehingga hukum-hukumnya –sebatas tertentu– mengalirkan semangat yang bertentangan dengan hati, akal dan, jiwa.
Saya tidak menuduh hati, jiwa, dan akal kalian. Bahkan, saya percaya pada kalian berdasarkan pengaruh yang telah diberikan oleh Risalah al-Nur dalam diri kalian. Tetapi, jiwa, nafsu, perasaan, dan waham, kadang-kadang menipu. Sebab itulah kadang-kadang kalian diberi teguran dan peringatan keras. Kekerasan ini bergantung pada jiwa, nafsu, perasaan, dan waham itu. Maka, kalian hendaknya selalu bertindak dengan waspada selamanya.
Ya, andai aliran (maslak) kita merupakan maslak kesyeikhan (tarekat), niscaya akan terdapat satu maqam, atau mungkin akan terdapat maqam-maqam dalam jumlah terbatas, dan niscaya terdapat persiapan-persiapan banyak sekali yang akan mengincar kedudukan (maqam) itu. Bisa saja di dalam jiwa akan muncul sikap egoisme yang dipenuhi rasa iri.[1] Namun, maslak kita ialah maslak ukhuwah. Maka seorang saudara tidak mungkin menjadi ayah bagi saudaranya, dan tidak mungkin baginya membentuk peran sebagai mursyid. Sebab, maqam-maqam di dalam ukhuwah begitu lapang dan luas, yang tak mungkin dijadikan tempat (persaingan) yang dipenuhi rasa iri. Ya Allah, malah diharap hendaknya seorang saudara menjadi penolong dan pendukung bagi saudaranya yang akan menyempurnakan khidmat dakwah dan menguatkannya.[2]
Bukti bahwa di berbagai aliran yang menerapkan maqam keayahan atau kemursyidan terdapat dampak-dampak sangat berbahaya dan memprihatinkan, seperti sikap tamak pada pahala dan tingginya semangat yang dikotori sikap iri hati, ialah dampak-dampak buruk yang muncul dari perselisihan dan persaingan intern di tengah-tengah kesempurnaan dan manfaat-manfaat penting nan mulia bagi para pengikut tarekat, karena kekuatan-kekuatan suci mereka yang besar tak lagi mampu berdiri tegak di hadapan gelombang-gelombang bid’ah.
Halangan ketiga: Rasa takut dan tamak. Karena halangan ini telah diterangkan secara memadai dalam Risalah “Enam Serangan” bersama halangan-halangan lain, maka penjelasannya bisa dirujuk ke sana.
[1] Harapan dan cita-cita memiliki nikmat yang ada pada orang lain, disertai harapan tidak kehilangan miliknya.
[2] Membantu, mendukung, dan menguatkannya.
202. Page
Kita memohon kepada Allah, Yang Maha Penyayang di antara para penyayang, yang memberi syafaat semua nama indah-Nya, semoga Dia berkenan memberi kita keikhlasan yang sempurna. Amin.
اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ سُورَةِ الْأِخْلاَصِ اِجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْمُخْلَصينَ الْمُخْلِصينَ اٰمينَ اٰمينَ اٰمينَ
Ya Allah! Dengan perantara kebenaran surah al-Ikhlash, jadikanlah kami sebagai golongan hamba-hamba-Mu yang diberi keikhlasan, dan yang berbuat ikhlas.
Amin … amin … amin.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ
Maha Suci Engkau. Tiadalah ilmu pada kami kecuali yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
203. Page
Risalah Khusus untuk Sebagian Saudaraku
Saya akan sampaikan satu nuktah dari dua hadits mulia kepada saudara-saudara saya yang bosan menulis dan mencatat Risalah al-Nur, dan lebih mengutamakan melakukan wirid di tiga bulan (Rajab, Sya’ban, Ramadhan) ketimbang menulis dan mencatat Risalah al-Nur yang dianggap sebagai ibadah dilihat dari lima arah. [1]
Hadits Pertama:
يُوزَنُ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ بِدِمَاءِ الشُّهَدَاءِ
“Tinta-tinta ulama ditimbang setara dengan darah para syuhada.”[2] Atau seperti disabdakan.
Yakni, tinta yang telah digunakan oleh para ulama hakikat akan ditimbang di padang Mahsyar setara dengan darah para syuhada, dan menyamainya.
Hadits Kedua:
مَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّتي عِنْدَ فَسَادِ اُمَّتي فَلَهُ اَجْرُ مِائَةِ شَهيدٍ
“Siapa yang berpegang teguh pada sunnahku ketika umatku mengalami kerusakan, maka ia mendapat pahala seratus syahid.”[3] Atau seperti disabdakan.
Yakni, siapa yang berpegang teguh pada sunnah saniyyah,[4] hakikat-hakikat al-Qur’an, dan mengabdikan keduanya pada waktu bid‘ah dan kesesatan menyebar luas, dimungkinkan baginya memperoleh pahala seratus syahid.
Wahai saudara-saudaraku yang merasa jemu menulis karena malas, dan wahai saudara-saudaraku yang masih memiliki kecenderungan tasawuf! Kumpulan kedua hadits ini menerangkan bahwa satu dirham tetesan yang mengalir dari cahaya hitam, dan dari tinta pembangkit kehidupan yang mengalir dari pena-pena murni penuh berkah yang diabdikan untuk hakikat keimanan, rahasia syariat, dan sunnah saniyyah, di zaman seperti sekarang ini, mungkin akan dapat memberi kepada kalian manfaat seberat seratus dirham darah syuhada di hari Perhimpunan kelak. Karena itu, berusahalah untuk meraihnya.
Jika kalian berkata: Yang disebut dalam hadits tersebut adalah ulama, sementara sebagian kami ini hanyalah penulis dan pencatat biasa.
Jawaban: Orang yang membaca Risalah al-Nur ini, juga semua pelajaran ini, dengan penuh pemahaman dan penerimaan selama satu tahun penuh, mungkin akan menjadi seorang ulama penting yang menguasai hakikat di zaman ini.
Jika dia tidak memahami keduanya sekali pun, karena murid-murid Risalah al-Nur mempunyai kepribadian maknawi, maka tak diragukan lagi bahwa pribadi maknawi itu adalah seorang ulama besar dan penting di zaman ini.
[1] Kami telah meminta penjelasan lima jenis ibadah yang diisyaratkan oleh guru kami dalam surat bernilai ini. Beliau kemudian menjelaskan seperti berikut:
(Rusdi, Husrau dan Rafat).
[2] Kanz al-‘Ummal (X/141).
[3] Lihat Majma’ al-Zaaid 1/172, Kanz al-‘Ummal 1/101, dan Misykat al-Mashabih 1/62.
[4] Saniyyah: Bercahaya tinggi.
204. Page
Adapun pena-pena kalian merupakan jari-jari dari pribadi maknawi tersebut. Anggaplah kalian telah mengikatkan diri dengan sang fakir ini (Sa’id Nursi). Sebab, kalian juga telah memberinya posisi sebagai seorang ustadz dan ulama dari sudut pandang keikutan (tab’iyyah), didasarkan atas prasangka baik kalian padanya, meskipun saya melihat diri saya tidak berhak mendapatkan posisi ini. Dan karena saya ini buta huruf, yang tak bisa menulis dengan baik, maka pena-pena kalian dianggap sebagai pena-pena saya, dan kalian akan mendapatkan pahala seperti yang disebutkan dalam hadits mulia di atas.
Said Nursi