LAMA'AT KEDUA PULUH TIGA

214. Page

LAMA’AT KEDUA PULUH TIGA

 

Risalah Alam

 

Karena kepentingannya yang besar, risalah ini dijadikan “Lama’at Keduapuluh Tiga.” Tadinya ia merupakan Catatan Keenambelas dari “Lama’at Ketujuhbelas.”

Risalah ini membunuh pemikiran kufur yang muncul dari (filsafat) alam hingga mati dan tak ada lagi kehidupan sesudahnya, sekaligus menghancur-leburkan batu asas kekufuran dan mencerai-beraikan fondasinya.

 

Peringatan!

Di dalam catatan ini telah dijelaskan sejauh mana esensi jalan yang ditempuh kalangan naturalis melenceng dari akal, sejauh mana keburukan dan khurafat (dari esensi) itu terjadi, melalui sembilan kemustahilan yang mencakup minimal Sembilan puluh kemustahilan.


Sebagian dari penjelasan-penjelasan tambahan sengaja dilepaskan dari risalah ini demi keringkasan, sebab kemustahilan-kemustahilan tersebut sudah dijelaskan sedemikian rupa di risalah-risalah lain. Karena itu, tiba-tiba terbersit dalam fikiran, “Bagaimana bisa para filosof cerdas itu menerima khurafat yang benar-benar tampak aneh seperti ini, dan bagaimana mereka bisa menempuh jalannya?”


Ya, sesungguhnya mereka tidak mengetahui secara persis esensi dan hakikat faham mereka itu. Namun, di sini akan dijelaskan hakikat faham mereka, apa saja konsekuensi dan tuntutannya.


Saya sudah benar-benar siap menegaskan bahwa kesimpulan mazhab mereka yang buruk, dibenci, dan tidak masuk akal, yang dijelaskan di tengah-tengan setiap kemustahilan, merupakan sebagian dari konsekuensi dan tuntutan utama faham mereka, dan hal itu dibuktikan melalui bukti-bukti pasti dan qath’i, serta dengan rinci, bagi siapa pun yang masih ragu.[1]

 

بِسْــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 قَالَتْ رُسُلُهُمْ اَفِي اللّٰهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ

“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Qs. Ibrahim [14]: 10)


Ayat mulia ini menjelaskan bahwa keberadaan Allah dan keesaan-Nya sungguh qath’i hingga derajat pasti, dan itu melalui pertanyaan bernada pengingkaran, “Apakah ada keraguan terhadap Allah?!”Padahal sepatutnya Dia tidak perlu diragukan.



[1] Risalah ini ditulis karena banyaknya serangan terhadap al-Qur'an dengan berbagai cara yang amat melampaui batas dan jahat, dengan memalsukan hakikat-hakikat iman melalui pernyataan mereka terkait segala sesuatu yang tak terjangkau oleh akal dungu mereka sebagai khurafat, serta dengan menyandarkan kekafiran dan atheisme kepada alam. Adapun serangan-serangan tersebut, itu telah membuat hati saya marah sekali hingga mendorong saya untuk menimpakan tamparan-tamparan keras dan kasar kepada para atheis itu, kepada para penganut faham-faham batil yang berpaling dari kebenaran, meski langkah Risalah al-Nur terbiasa menggunakan tutur kata lembut.




215. Page

Peringatan sebelum penjelasan rahasia ini:

Saya pergi ke Ankara dua belas tahun lalu, pada 1338 H (1922 M). Saya melihat pemikiran atheisme (zindiq) yang sangat mengkhawatirkan sedang berusaha menyusup dengan makar dan penuh siasat jahat ke dalam pemikiran tangguh orang-orang beriman – dengan harapan dapat merusak dan meracuninya – yang kala itu sedang bangga atas kemenangan pasukan Islam terhadap Yunani. Saya pun merintih sembari berkata, “Ular-ular ini akan menyerang sendi-sendi keimanan.” Akhirnya, saya menulis saat itu di salah satu dari sebelas risalah saya yang berbahasa Arab, dengan bersumberkan dari al-Qur'an Hakim, suatu bukti kokoh pada tingkat benar-benar mampu merontokkan dan menghancurkan kepala atheisme ini, sebab ayat mulia di atas menunjukkan keberadaan Allah dan keesaan-Nya pada derajat pasti. Risalah tersebut saya cetak di Yeni Gün Press, Ankara.


Hanya saja, orang-orang yang mempelajari Bahasa Arab atau mereka yang memperhatikannya –yakni, risalah ini– hanya sedikit. Risalah itu juga terlalu singkat dan global, sehingga sangat disayangkan bukti kokoh tersebut tak dapat memberikan pengaruh nyata. Di sisi lain, disayangkan pula, pemikiran kaum kafir atheis itu semakin menyebar dan menguat.


Karena itulah saya terpaksa harus menjelaskan bukti nyata itu dalam bahasa Turki. Mengingat sebagian dari bukti-bukti yang dimaksud sudah dijelaskan secara memadai di sebagian risalah lainnya, maka di sini akan disampaikan secara global saja. Bukti-bukti nyata yang disebutkan banyak sekali dan tersebar di sejumlah risalah lain, menyatu dengan bukti nyata pada bagian ini sedemikian rupa, dan masing-masing darinya sama fungsinya seperti bagian-bagian yang tertera dalam risalah ini.

 

Mukadimah

 

Wahai manusia! Ketahuilah dengan seyakin-yakinnya bahwa terdapat sejumlah kata-kata mengkhawatirkan yang keluar dari mulut orang, kata-kata yang mengeluarkan aroma kekufuran dan atheisme (ilhad), yang digunakan oleh orang-orang beriman tanpa mereka sadari. Berikut akan kami jelaskan tiga di antaranya yang terpenting;


Pertama: “Sebab-musabab itu telah menciptakannya,” yakni sebab-sebab itulah yang menciptakan sesuatu.


Kedua: “Terbentuk dengan sendirinya,” yakni sesuatu muncul mewujud di alam nyata, mencipta, dan membentuk dengan sendirinya.


Ketiga: “Alam mengharuskannya,” yakni sesuatu itu hal alami, dan alam jua yang mengharuskan dan mengadakannya.


Ya. Mengingat semua maujud ada di alam nyata dan tidak mungkin diingkari, mengingat setiap maujud datang ke dalam wujud yang sangat menawan dan penuh hikmah, dan mengingat masing-masing tidak bersifat qadim, tapi baru, maka kalian wahai orang atheis, mungkin akan menyatakan bahwa: (1) maujud ini –hewan misalnya- diadakan oleh sebab-musabab alam; yakni, maujud tersebut datang ke alam nyata dengan terkumpulnya sebab-musabab tersebut; (2) atau mungkin maujud tersebut membentuk dengan sendirinya; (3) atau ia muncul ke alam nyata ini melalui tuntutan alam dan muncul karena pengaruhnya; (4) atau ia diadakan dengan qudrat Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Agung.


216. Page

Mengingat tidak ada cara lain – menurut akal – selain keempat kemungkinan di atas, dan mengingat sudah terbukti secara pasti dan qath’i bahwa ketiga cara pertama mustahil dan batil, tidak masuk akal dan tidak mungkin, maka sudah seharusnya, pasti, tanpa syak dan tanpa ragu, bahwa cara satu-satunya yang berlaku adalah cara keempat.


Adapun cara pertama, yaitu segala sesuatu dan keberadaan makhluk terbentuk karena bersatunya sebab-musabab alam, akan kami sampaikan di sini tiga kemustahilan saja di antara banyak sekali kemustahilan yang lain.


Kemustahilan Pertama: Di suatu apotik terdapat ratusan wadah yang berisi aneka ragam bahan (obat-obatan). Suatu obat racikan hidup diminta agar dibuatkan dari bahan-bahan tersebut. Segala sesuatunya pun diproses dengan semestinya dalam peracikan obat penawar luar biasa yang mengandung kehidupan (mujarab) itu, yang dikomposisi dari (bahan-bahan) tersebut.


Kita pun memasuki apotik tadi. Di sana kita lantas melihat banyak sekali wadah besar berupa botol ramuan hidup dan obat yang mengandung kehidupan itu. Kita perhatikan dengan seksama setiap botol obat makjun itu. Kita melihat sejumlah bahan kimia yang sudah diambil dari botol-botol tersebut dalam jumlah takaran dan ukuran tertentu; satu atau dua gram dari bahan A, tiga atau empat gram dari bahan B, enam atau tujuh gram dari bahan C, dan seterusnya. Seandainya di antara bahan-bahan ini ada yang diambil kurang atau lebih satu gram, tentu khasiat khusus obat racikan tersebut akan hilang, dan tidak lagi mengandung kehidupan (atau mujarab). Lantas, kita pun memeriksa obat penawar yang mengandung kehidupan itu. Kita kemudian mengetahui bahwa bahan tertentu telah diambil dengan takaran tertentu pula dari masing-masing wadah botol. Jika takarannya dilebihkan atau dikurangi sedikit saja, khasiat obat penawar tersebut tentu akan hilang. Diketahui pula bahwa bahan-bahan itu diambil masing-masing dengan takaran yang berbeda-beda dari wadah-wadah tersebut, dan itu lebih dari 50 botol.


Adakah kemungkinan dan asumsi melalui cara apa pun bahwa bahan-bahan yang diambil dengan takaran berbeda-beda itu, dari botol-botol dan wadah-wadah dengan ukurannya sesuai yang diminta, tidak lebih dan kurang, bisa mengalir karena pengaruh gerakan-gerakan botol, yang terjadi karena kebetulan yang aneh, atau karena pengaruh hempasan angin kencang, sehingga seluruh botol tergiring secara bersamaan, kemudian menyatu dan membentuk obat makjun?!


Adakah khurafat, kemustahilan, dan kebatilan yang lebih parah dari itu?! Seadainya seekor keledai tiba-tiba berubah menjadi beberapa ekor keledai, lalu setelah itu berubah menjadi manusia, tentu manusia ini akan lari tunggang-langgang sembari berteriak, “Saya tidak menerima pemikiran ini!”


Sebagaimana dalam contoh ini, setiap makhluk hidup adalah obat racikan yang memiliki kehidupan. Dan tak syak lagi, setiap tanaman mirip obat penawar hidup karena dibentuk dari bahan-bahan kimia yang beragam, juga dari bahan-bahan yang berbeda-beda sekali, bahkan dari bahan-bahan yang diambil dengan takaran-takaran yang super sensitif. Sebab, jika (seluruh proses) ini disandarkan kepada sebab-musabab dan unsur-unsur, lalu dikatakan bahwa sebab-musabab itulah yang menciptakannya, tentu ini jauh sekali dari akal sehat, jelas mustahil dan batil, persis sebagaimana kebatilan diperolehnya obat makjun yang terdapat di apotik dari sekedar pergerakan botol-botol.


217. Page

Kesimpulan

Bahan-bahan kehidupan yang diambil dengan neraca qadha dan qadar Allah Yang Maha Bijak Maha Azali di apotik besar alam raya, tidak mungkin terwujud kecuali melalui hikmah tak terbatas, dengan pengetahuan tak terhingga, juga dengan kehendak yang mencakup segala sesuatu.


Orang malang yang mengklaim bahwa bahan-bahan inilah yang menciptakan dan mengadakan alam dan sebab-musabab yang buta tuli tanpa batas, serta yang mengalir laksana sungai, dia lebih tolol dari orang yang berbicara tak karuan seperti orang gila, bagaikan orang paling bodoh pemabuk yang mengatakan bahwa obat penawar yang luar biasa tersebut terbentuk akibat gerakan botol-botol dan wadah-wadah bahan obat yang terjadi dengan sendirinya.


Ya, kekufuran itu merupakan igauan karena ketololan, mabuk, dan sinting.

 

Kemustahilan Kedua: Jika tiap sesuatu tidak disandarkan kepada Tuhan Maha Kuasa, Maha Agung, Yang Maha Esa lagi Tunggal, tapi disandarkan kepada sebab-musabab, hal itu akan berkonsekuensi saat itu sebab-musabab alam dan segala unsurnya ikut intervensi dalam tubuh setiap individu makhluk hidup. Padahal, menyatunya sejumlah sebab yang beragam, berbeda-beda, dan saling berlawanan dalam tubuh makhluk kecil seperti lalat dengan keteraturan yang sempurna, takaran yang amat sensitif, dan dengan keselarasan yang utuh, jelas sekali mustahil, karena siapa pun (orang berakal) yang memiliki perasaan dan pengetahuan meski hanya seukuran sayap lalat, pasti akan berkata, “Itu mustahil, tidak mungkin!”


Ya, tubuh lalat yang sangat kecil itu memiliki kaitan dengan sebagian besar unsur alam dan sebab-musababnya, bahkan ia merupakan inti ringkasnya. Sehingga jika (penciptaan lalat) tidak disandarkan kepada qudrat azali, maka konsekuensinya sebab-musabab materiil itu muncul dengan segala esensinya di dalam tubuhnya. Bahkan ia ikut intervensi di tubuhnya yang mikro, dan bahkan ikut intervensi di satu sel saja di antara sekian banyak sel matanya yang merupakan model kecil bagi tubuhnya. Karena, ketika sebab-musabab bersifat materiil, konsekwensinya ia harus ada ketika penyebab ada di dalamnya.


Dari sini, sebagai konsekuensinya, keberadaan sendi-sendi alam, unsur-unsur, dan tabiat-tabiat harus diterima sebagai keberadaan materi yang berada di dalam sel kecil yang tak cukup untuk jari-jari dua lalat yang seperti jarum itu, sekaligus bekerja di dalam sel tersebut layaknya tukang bangunan.


Siapa pun, bahkan orang-orang penganut sophisme idiot yang paling bodoh sekali pun, tentu akan merasa malu terhadap faham seperti ini.


 Kemustahilan Ketiga: Jika wujud yang ada (maujud) memiliki kesatuan, maka tak diragukan lagi bahwa maujud itu berasal dari sesuatu yang esa dan dari satu tangan sesuai kaidah, “Sesuatu yang esa hanya berasal dari sesuatu yang esa.” Apalagi maujud tersebut memiliki keteraturan sangat sempurna, neraca sangat sensitif, dan kehidupan yang komplit. Dengan demikian, menyandarkan maujud yang indah menawan, seimbang, dan teliti tersebut kepada tangan-tangan kacau sebab-musabab alami yang tak terhingga, jumud, bodoh, tak punya kesadaran dan pengetahuan, buta dan tuli, yang merupakan suatu kekacauan dahsyat luar biasa – padahal kebutaan dan ketulian sebab-musabab kian bertambah disebabkan perpaduan dan pencampuran pada cara-cara kemungkinan yang tak terhingga – ini semua 

218. Page

jauh sekali (dari pemahaman) akal laksana menerima seratus kemustahilan di saat bersamaan. Padahal, maujud tersebut secara pasti memperlihatkan bahwa ia tidak berasal dari tangan-tangan begitu beragam yang menjadi penyebab perbedaan dan kekacuan, tapi ia berasal dari satu tangan yang berkuasa dan amat bijak.


Dengan memalingkan pandangan dari kemustahilan ini, tak diragukan lagi bahwa pengaruh sebab-musabab materiil hanya akan terjadi langsung seketika dan karena adanya sentuhan, padahal sentuhan sebab-musabab alami tersebut hanya terjadi karena adanya fenomena maujud yang memiliki kehidupan. Sementara pada saat yang sama, kita melihat bahwa bagian dalam makhluk hidup yang tak terjangkau dan tak tersentuh oleh tangan sebab-musabab materiil, justru jauh lebih teliti, lebih menawan, lebih lembut, dan ciptaannya sepuluh kali lebih sempurna dari bentuk luarnya.


Karena itu, tidaklah mungkin menyandarkan makhluk hidup yang amat kecil dan hewan-hewan kecil – yang sama sekali tak terjangkau tangan-tangan sebab-musabab materiil dan segala pirantinya, bahkan tak tersentuh meski hanya wujud luarnya sekali pun- kepada sebab-musabab yang tuli, buta, jumud, bodoh dungu, serta saling menjauh dan bertentangan. Padahal, (makhluk amat kecil) tersebut lebih menakjubkan dari makhluk yang ciptaannya lebih besar, dan yang penciptaannya lebih indah darinya. Kecuali jika orang yang menyandarkannya (kepada sebab-musabab alami) itu adalah orang yang paling buta dan paling tuli tak terhingga.

 

Cara Kedua: “Sesuatu terbentuk dengan sendirinya.” Yakni, semua wujud yang ada (maujud) terbentuk dengan sendirinya. Kata-kata ini juga mengandung banyak sekali kemustahilan. Kalimat ini juga mengandung banyak kemustahilan, sehingga ia batil dan mustahil dilihat dari banyak sisi. Kami akan menjelaskan tiga di antara banyak kemustahilan itu, sebagai contoh saja:

 

Kemustahilan Pertama: Wahai pengingkar yang angkuh! Egoisme dalam dirimu telah membuatmu bodoh hingga kau memutuskan mau menerima seratus kemustahilan sekaligus. Karena engkau adalah maujud, bukan materi sederhana, dan engkau bukan benda mati tanpa perubahan, akan tetapi engkau adalah alat yang amat sempurna, dalam pembaruan selamanya, serta laksana sebuah istana menawan yang selalu dalam perubahan selamanya, lagi pula atom-atom dalam dirimu selalu bekerja setiap saat, maka tubuhmu memiliki banyak hubungan dengan wujud-wujud yang ada, khususnya dalam hal rizki, dan lebih khusus lagi dalam hal keberlangsungan spesies. Tubuhmu selalu memberi dan menerima dengan (wujud-wujud lain yang ada). Maka atom-atom yang bekerja dalam tubuhmu bekerja secara jeli dan sensitif agar tidak menghancurkan hubungan-hubungan tersebut dan tidak merusak kaitan-kaitan itu. (Atom-atom) itu melangkahkan seluruh langkahnya dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan seakan ia melihat dan menatap ke arah seluruh ciptaan, sehingga ia pun menyaksikan berbagai hubungan dan kaitanmu, lalu setelah itu ia membuat sebuah kondisi yang sesuai dengannya, lantas engkau pun dengan indera lahir dan batinmu bisa mendapatkan manfaat sesuai kondisi menawan dari atom-atom tersebut.


 Jika engkau tidak menerima (pendapat) bahwa atom-atom yang terdapat di tubuhmu merupakan para suruhan dan pekerja kecil yang mendapat perintah dari Zat Yang Maha Kuasa Maha Azali, yang bekerja sesuai aturan-aturan-Nya, atau bahwa (atom-atom) itu merupakan tentara-Nya, atau mata pena takdir, yakni setiap atom laksana gigi pena, atau bahwa ia (atom-

219. Page

atom) itu merupakan titik-titik pena takdir, yakni setiap atom titik, maka konsekuensinya setiap atom di tubuhmu mempunyai mata yang melihat seluruh bagian di seluruh tubuhmu, selain juga melihat seluruh wujud yang terkait denganmu, dan tentu konsekuensinya juga (setiap atom) diberi akal sekuat seratus akal jenius yang bisa mengetahui dan mengerti masa lalumu dan masa depanmu, keturunanmu dan asal-usulmu, serta sumber unsur-unsurmu dan tambang rizkimu.


Dengan demikian, menyandarkan ilmu dan pengetahuan seukuran ilmu seribu Plato kepada salah satu atom di antara banyak sekali atom yang sama sekali tidak memiliki sedikit pun akal sepertimu, dalam permasalahan seperti ini, itu merupakan suatu khurafat dan kegilaan tak terhingga.

 

Kemustahilan Kedua: Tubuhmu mirip sebuah istana indah menawan dengan seribu kubah. Batu-batu sudah dipasang di setiap kubahnya, masing-masing saling menopang dan saling mendukung tanpa tiang. Padahal, sebenarnya tubuhmu seribu kali lebih menakjubkan dari istana ini, karena istana tubuhmu selalu memperbarui diri secara terus-menerus dan dengan keteraturan yang sempurna. Setiap organ tubuhmu, tanpa memandang ruh, hati, dan kelembutan-kelembutan (lathaif) maknawi yang masing-masingnya indah luar biasa, laksana rumah yang memiliki kubah, karena atom-atom saling menopang satu sama lain secara sangat teratur dan tertata rapi seperti saling menopangnya batu-batu kubah tersebut, sehingga ia menampakkan sebuah bangunan luar biasa, seni indah, dan mukjizat qudrat menakjubkan, seperti mata dan lisan.


Jika atom-atom tubuh ini bukan merupakan suruhan dan pekerja yang mengikuti perintah Sang Pembangun dan Pencipta alam raya ini, maka mestinya saat itu setiap atom yang ada di tubuh memiliki kekuasaan mutlak terhadap seluruh atom yang terdapat di dalam tubuh, dan pada saat bersamaan juga dikuasai secara mutlak, menjadi pelaksana masing-masing darinya, sekaligus bermusuhan dengannya dalam hal kekuasaan, juga sebagai asal dan sumber dari sebagian besar sifat khusus yang hanya dimiliki Sang Wajib Ada satu-satunya. Di samping itu, (setiap atom) tersebut mestinya berada dalam posisi terbatas dan benar-benar mutlak. Dengan demikian, maka menyandarkan ciptaan yang sempurna dan menawan yang tidak mungkin muncul ke alam nyata ini selain dari hasil karya Dzat Yang Maha Esa lagi Tunggal sesuai “rahasia kesatuan” (sirr al-wahdah), kepada atom-atom yang tak terbatas, itu jelas sekali mustahil secara pasti, bahkan seratus kali mustahil. Siapa pun yang masih mempunyai akal meski hanya seberat biji sawi, mengetahui hal itu.

 

Kemustahilan Ketiga: Jika tubuhmu bukan ditulis dengan pena Sang Maha Kuasa yang tidak lain adalah Zat Yang Maha Esa lagi Tunggal, tapi disandarkan kepada alam dan sebab-musabab, serta ia dicelup, maka konsekwensinya setiap sel tubuhmu tentu merupakan hasil cetakan alam, bahkan dengan ribuan jaringan yang terdapat dalam tubuhmu laksana kumparan-kumparan ruwet yang saling merasuki.


 Sebagai contoh, karena buku yang ada di hadapanmu ini “ditulis,” maka tentu ada pena seseorang yang telah menuliskan segala yang ada di dalamnya dengan bersandar pada pengetahuan penulisnya. Jika buku ini bukan “ditulis” dan bukan disandarkan kepada pena seorang penulis, serta diyakini terbentuk dengan sendirinya, atau disandarkan kepada alam, konsekwensinya setiap hurufnya merupakan pena (yang terbuat) dari besi – seperti halnya suatu buku cetakan – hingga ia tercetak, sebagaimana di percetakan huruf-huruf yang terbuat 

220. Page

dari besi (harus tersedia) dalam jumlah sebanyak jumlah huruf, hingga kemudian terwujudlah huruf-huruf yang terdapat di buku itu. Dengan kata lain, mesti terdapat pena-pena sebanyak bilangan huruf-huruf (yang ada di buku), bukan hanya satu pena. Bahkan, setiap satu hurufnya mesti memiliki ribuan pena, jika memang ada satu halamannya ditulis dalam huruf besar dengan pena kecil, seperti kadang terjadi pada saat tertentu. Bahkan, ketika huruf-huruf tersebut saling merasuk satu sama lain dan memperlihatkan situasi-situasi yang tertata rapi, saling rekat, dan membentuk suatu gestur seperti tubuhmu. Saat itulah setiap bagian dan setiap lingkup tubuh memiliki cetakan-cetakan sebanyak bilangan komposisi tersebut.


Anggaplah engkau mengatakan bahwa kondisi –yang mengandung seratus kemustahilan– ini mungkin! Jika pembuatan huruf-huruf besi yang akurat serta pembuatan cetakan-cetakan dan pena-pena menawan tersebut tidak disandarkan kepada satu pena, maka untuk pembuatan pena, cetakan, dan huruf-huruf besi tersebut pasti diperlukan pena-pena, cetakan, dan huruf-huruf dengan jumlah yang sama. Sebab, semua ini juga merupakan “hasil ciptaan” dengan segala kandungan maknanya, selain juga disebabkan semua itu indah menawan dan akurat. Demikianlah hal itu berangkai setiap kali engkau teruskan.


Maka hendaknya engkau fahami demikian pula bahwa pemikiran (naturalisme) ini mengandung begitu banyak kemustahilan dan khurafat sebanyak bilangan atommu!

Wahai orang yang angkuh dan ingkar! Hendaknya engkau malu pula, dan lepaskan saja dirimu dari kesesatan ini!

 

Kata-kata Ketiga: “Alam mengharuskan demikian.” Yakni, alam jualah yang mengharuskan, menciptakan, dan membuat sesuatu. Hukum ini memiliki banyak sekali kemustahilan.


Kami akan menyebutkan tiga di antaranya sebagai contoh:

Kemustahilan Pertama: Penciptaan dan pengadaan, yang disebut sebagai hati nurani dan hikmah, yang keduanya tampak di sebagian besar maujud (wujud yang ada), apalagi pada makhluk hidup, jika tidak disandarkan kepada pena takdir dan qudrat matahari azali, tapi disandarkan kepada alam dan kekuatan yang sama-sama buta dan tuli, serta tidak memiliki kesadaran, maka tentulah alam ini harus menghadirkan banyak sekali alat dan percetakan maknawi tak terhingga segalanya agar bisa mengadakan (apa saja), atau alam harus menyematkan hikmah dan qudrat ke dalam segala sesuatu, yang mampu menciptakan semua wujud yang ada dan mampu mengaturnya. Sebab, sebagaimana tajalli-tajalli matahari dan pantulannya terlihat di potongan-potongan cermin kecil sekecil atom, juga terlihat pada tetesan-tetesan air di bumi, maka jika matahari-matahari perumpamaan yang terpantul ini tidak disandarkan kepada satu-satunya matahari yang ada di langit, tentulah mesti diterima adanya suatu matahari alami, fitri, dan berkuasa atas ciri-ciri matahari, serta kecil secara lahiriah tapi pada hakekatnya besar sekali dalam wujud eksternalnya di kedalaman potongan cermin-cermin kecil sekecil atom yang tak cukup untuk memuat kepala korek api, selain itu semua tentulah mesti diterima adanya matahari-matahari alami dalam jumlah sebanyak bilangan atom cermin.


Sebagaimana contoh ini persis, jika maujud-maujud dan makhluk hidup tidak disandarkan secara langsung kepada tajalli nama-nama matahari azali, tentu mesti diterima (adanya) suatu kekuatan alami di setiap maujud, apalagi pada makhluk hidup, yang memiliki qudrat dan kehendak tanpa batas, yang memiliki ilmu dan hikmah tak terhingga. Dengan kata lain, seakan terdapat tuhan di setiap maujud dan di setiap makhluk hidup.


221. Page

Berfikir dengan cara seperti ini merupakan kemustahilan dan khurafat yang paling batil di alam raya ini. Manusia yang menyandarkan ciptaan Sang Pencipta jagad raya – ciptaan yang diarahkan pada nyamuk– kepada alam yang tak bernilai dan tidak memiliki kesadaran, tampak sekali bahwa dia adalah seekor hewan, bahkan kehewanannya seratus kali lebih dari hewan itu sendiri, dan seratus kali lebih tidak berakal dibanding hewan.

 

Kemustahilan Kedua: Jika wujud-wujud yang tertata rapi, selaras, menawan, penuh dengan hikmah, tidak disandarkan kepada Sang Maha Kuasa lagi Bijaksana tak terhingga, tapi disandarkan kepada alam, tentu alam harus menghadirkan, di setiap genggam tanah, banyak sekali pabrik dan percetakan sebanyak percetakan dan pabrik-pabrik Eropa, agar setiap tanah tersebut bisa menjadi sebab pertumbuhan, perkembangan, dan pembentukan bunga serta buah-buahan, yang tak terbatas sekaligus merupakan tempat pertumbuhannya dan laboratorium baginya.


Sebab, tampak dan kelihatan secara nyata adanya kemampuan segenggam tanah yang di atasnya ditaruh benih sehingga melaksanakan proses penumbuhan dan pembentukan bunga, untuk membentuk dan merangkai bentuk-bentuk dan corak-corak semua bunga yang sangat berbeda satu sama lain.


Jika kemampuan ini tidak disandarkan kepada Sang Maha Kuasa Maha Agung, maka kala itu setiap satu bunga harus memiliki alat-alat alami khusus di dalam tanah yang terdapat di vas bunga. Jika tidak, hal tersebut tak akan terjadi.


Mengingat bahan dasar biji-bijian sama, persis seperti halnya sel sperma dan sel telur, yakni padahal ia sama seperti campuran sumber air, sumber zat asam, karbon, dan nitrogen yang tercampur tak teratur dan tanpa bentuk laksana adonan, serta mengingat masing-masing dari udara, air, suhu panas, dan udara itu (bersifat) sederhana, tanpa pikiran dan tanpa perasaan, juga mengalir seperti sungai saat berinteraksi dengan apa pun; maka munculnya bunga-bunga yang tanpa batas tersebut dari dalam tanah yang memiliki bentuk dan ragam yang berbeda tadi, bunga-bunga yang amat tertata rapi dan ciptaan yang sangat indah, secara pasti dan niscaya mengharuskan adanya sejumlah alat percetakan dan pabrik-pabrik kecil maknawi seukuran yang ada di Eropa, yang harus ada di dalam tanah yang terdapat di vas bunga tersebut, agar tanah tersebut mampu menenun sebanyak kain-kain yang memiliki kehidupan dan mampu membuat ribuan tenunan dengan ragam yang berbeda-beda.


Silahkan engkau membuat analogi (dari perumpamaan di atas), sejauh mana pemikiran-pemikiran kafir kaum naturalis menyimpang begitu jauh dari lingkup akal sehat. Lihatlah sejauh mana orang-orang mabuk lagi bodoh ini – yang hidup dalam bentuk manusia dan yang mengira alam jua yang menciptakan segala sesuatu – menyimpang jauh dari akal sehat dan ilmu pengetahuan. Mereka mengklaim sebagai spesialis di bidang ilmu pengetahuan, mengaku diri mereka berakal, lalu bagaimana mereka bisa menjadikan suatu khurafat yang tertolak dan tidak mungkin dari sudut mana pun itu sebagai faham yang mereka anut. Fahamilah semua ini, tertawailah mereka, dan ludahi.


Apabila engkau mengatakan: “Jika maujud (wujud yang ada) disandarkan kepada alam, tentu akan muncul kemustahilan-kemustahilan yang mengherankan seperti ini, juga akan muncul kerumitan-kerumitan hingga tingkat tak bisa diterima. Bisakah gerangan kerumitan-kerumitan ini hilang ketika disandarkan kepada Sang Maha Esa, selanjutnya kemustahilan yang memiliki banyak sekali kerumitan ini berubah kepada keharusan dengan mudah?”


222. Page

Jawaban: Sebagaimana disebutkan dalam kemustahilan pertama, tajalli pantulan matahari serta limpahan dan pengaruhnya terlihat di setiap benda transparan berkilau, dimulai dari potongan terkecil kaca sekecil atom hingga berakhir pada permukaan lautan terluas dengan segala kemudahannya laksana matahari-matahari perumpamaan dengan tanpa kesulitan dan kesukaran. Maksudnya, semuanya memperlihatkan pantulan, limpahan, dan pengaruh tersebut. Jika nisbahnya dengan matahari diputus, maka saat itulah mesti akan sulit diterima kemungkinan adanya matahari alami esensial dalam wujud eksternalnya di setiap atom paling kecil, hingga derajat tertolak sama sekali.


Demikian pula halnya jika setiap maujud di antara wujud-wujud yang ada disandarkan secara langsung kepada Sang Maha Esa Tempat Bergantung, barulah tiap kebutuhan setiap maujud bisa dengan mudah dan gampang disampaikan hingga pada tingkatan wajib, juga pada (derajat) penisbahan dan tajalli.


Sementara jika penisbahan (intisab) tersebut diputus, dan perintah-perintah (ilahi) berubah menjadi kerancuan, teraduk-aduk, dan kekacauan, serta setiap maujud dibiarkan bebas lepas begitu saja dan disandarkan kepada alam, maka saat itu harus dibayangkan, dengan seratus ribu kali kemuskilan dan kesulitan hingga derajat tertolak, bahwa alam buta yang ada di seekor lalat –yang menciptakan mesin tubuh organik seperti lalat yang bentuknya sangat rapi, menawan, dan menjadi katalog kecil jagad raya- memiliki hikmah dan qudrat yang mampu menciptakan dan mengatur jagad raya. Ini namanya bukan hanya satu kemustahilan saja, tapi beribu-ribu kemustahilan.

 

Kesimpulan

Seperti halnya keberadaan sekutu dan tandingan bagi Zat Yang Wajib Ada itu tertolak dan mustahil, demikian pula intervensi pihak lain dalam rububiyah-Nya dan dalam penciptaan-Nya segala sesuatu juga tertolak dan mustahil, seperti tertolaknya keberadaan sekutu bagi-Nya.

 

Adapun kerumitan dalam kemustahilan kedua ialah:

Sudah terbukti bahwa, berdasarkan banyak bukti qath’i –seperti disebutkan di sejumlah risalah– ketika tiap sesuatu disandarkan kepada Sang Maha Esa, maka penciptaan tiap sesuatu menjadi mudah laksana kemudahan menciptakan satu wujud saja.


Adapun ketika penciptaan tiap sesuatu disandarkan kepada sebab-musabab dan alam, maka penciptaan satu wujud saja akan menimbulkan banyak sekali kerumitan, sama seperti penciptaan setiap sesuatu.


Ringkasan salah satu bukti itu sebagai berikut:

Ketika seseorang menisbahkan diri (intisab) kepada sultan dalam kapasitasnya sebagai prajurit atau penerima perintah, itu memungkinkan si prajurit dan si petugas tersebut melalui kekuatan penisbahan tadi bisa melaksanakan pekerjaan seratus kali melebihi kemampuan pribadinya. Bahkan bisa saja dia menangkap seorang raja atas nama sultan, bahkan meskipun dia tidak mendapatkan peralatan dan persenjataan yang diperlukan, juga meskipun dia tidak memiliki kekuatan penuh untuk melakukan tindakan dan program kegiatan, karena dia memang tidak dipaksa untuk itu.


Simpanan-simpanan kekayaan sultan dan militer yang merupakan titik sandaran bagi si prajurit tersebut, memberikan kekuatan dan perlengkapan tadi melalui perantara penisbahan di atas.


223. Page

Jadi, capaian-capaian kerja hebat yang dilaksanakan si prajurit tersebut dapat menjadi capaian-capaian sultan, serta kerja-kerja dan capaian luar biasa yang dilaksanakannya bagaikan kerja dan capaian prajurit (secara keseluruhan). Seperti halnya semut mampu menghancurkan istana Fir’aun melalui perintah ilahi, lalat bisa menghancurkan Namrud melalui perantara penisbahan tersebut, dan dengan penisbahan itu pula benih pohon cemara yang kecil sekecil biji gandum menumbuhkan[1] seluruh bagian pohon cemara yang besar.


Namun ketika penisbahan itu terputus dan dilepaskan dari perintah tersebut, ia pun terpaksa harus mengumpulkan segenap kekuatannya, harus memikul seluruh perangkat kerja yang akan dilakukannya di atas punggungnya dan ditenteng dengan tangan kanannya. Saat itulah, si bibit yang kecil itu hanya bisa melakukan kerja sebatas kekuatan tenaganya yang kecil dan sesuai jumlah peralatan yang tersedia di punggungnya.


Jika dalam kondisi seperti ini ia diperintahkan untuk melakukan pekerjaan dengan mudah semudah kondisi pertama sebelumnya, maka di tangan kanannya ia harus menanggung beban kekuatan seprajurit, dan di atas punggungnya ia harus memikul peralatan perang milik sang sultan.


Maka, ini merupakan suatu khayalan yang tentu membuat malu bahkan para pelawak yang menuturkan cerita-cerita khurafat dan dongeng-dongeng menakjubkan untuk membuat orang tertawa.

 

Kesimpulan

Sesungguhnya dalam penyandaran setiap maujud kepada Zat Yang Wajib Ada terdapat kemudahan hingga derajat wajib, sementara dalam penyandaran semua wujud kepada alam dari sisi penciptaan terdapat banyak sekali kerumitan hingga derajat tertolak, dan itu berada di luar lingkup akal.

 

Kemustahilan Ketiga:

Ini mengungkap dua contoh yang menjelaskan kemustahilan ini. Hal ini sudah dijelaskan di sebagian risalah.

Contoh Pertama: Seseorang yang sangat kampungan dan primitif memasuki sebuah istana yang dibangun dan didirikan di tengah-tengah sebuah padang pasir tak berpenghuni. Istana itu dihiasi dan dilengkapi dengan semua benda peninggalan peradaban. Ia memandang sekitar lalu melihat di sana terdapat banyak hal yang indah sekali dan menawan. Ia kemudian mulai mencari-cari siapa yang membangun (istana ini). Lalu dengan primitif dan bodohnya, ia mengatakan, “Salah satu bagian dari istana inilah yang menciptakan istana ini lengkap dengan seluruh isinya, tanpa intervensi seorang pun dari luar.”


Setiap kali melihat sesuatu, akalnya yang primitif selalu menganggap sesuatu itulah yang menciptakan segala sesuatu ini. Selanjutnya ia melihat sebuah buku berisi catatan rancangan pembangunan istana, katalog seluruh kandungannya, dan berbagai aturan terkait



[1] Jika penisbahan (intisab) itu ada, maka benih tersebut akan menerima perintah dari takdir ilahi dan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan hebat. Namun ketika penisbahan itu terputus, penciptaan benih itu mengharuskan adanya berbagai perangkat, qudrat, kemampuan, dan kreasi yang jauh lebih besar dari apa yang dibutuhkan dalam penciptaan pohon pinus besar tersebut. Sebab, semua bagian pohon pinus yang merupakan bentuk hasil karya qudrat-Nya di gunung harus ada dengan seluruh organ dan peralatannya, pada pohon maknawi yang merupakan karya takdir di benih tersebut. Sebab, pabrik untuk mencipta pohon besar itu adalah benih itu sendiri. Lalu pohon yang sudah ditakdirkan – yang ada di benih - tampak secara konkret di luar melalui perantara qudrat ilahi untuk kemudian membentuk pohon pinus besar. (Penulis)




224. Page

istana. Meskipun buku ini tak punya tangan, kaki, atau pun martil, juga tak memiliki potensi dan kemampuan sedikit pun untuk membangun dan menghias istana, sebagaimana itu juga tidak mungkin untuk semua hal yang ada di dalam istana, namun dia tetap saja mengatakan bahwa buku itulah yang membangun istana, mengatur dan menghiasinya, menciptakan semua benda yang ada, lalu meletakkan dan menggantungkannya di tempat masing-masing, sebab dia melihat adanya ikatan antara buku catatan tersebut dengan istana dan seluruh bagiannya, mengingat buku tersebut merupakan simbol aturan-aturan ilmiah terkait hal-hal yang lain.


Dengan begitu, kondisi primitif orang kampungan tersebut berubah menjadi kata-kata ngelantur orang gila dan mabuk.


Seperti halnya persis contoh di atas, seorang primitif dengan membawa pemikiran kaum naturalis yang menggiring pada pengingkaran ketuhanan (uluhiyyah), masuk ke istana jagad raya ini yang seluruh belahannya dipenuhi beragam hikmah yang mirip mukjizat, yang jauh lebih teratur dan indah tak terhingga melebihi istana dalam contoh di atas. Ia tidak memikirkan istana jagad raya ini sebagai hasil ciptaan Zat Yang Wajib Ada yang berada di luar lingkup segala kemungkinan, dan berpaling darinya.


Dia melihat – dalam lingkup segala kemungkinan – kumpulan undang-undang kebiasaan ilahi (sunnatullah) dan katalog ciptaan rabbani yang berfungsi sebagai papan penghapus dan penetap takdir ilahi, juga yang memungkinkannya menjadi catatan yang bisa berubah-ubah dan berganti sesuai aturan prosedural qudrat ilahi dan yang secara salah disebut sebagai (hukum) “alam.” Selanjutnya dia mengatakan, “Segala sesuatu mengharuskan adanya sebab, dan tidak ada sebab yang lebih tepat melebihi buku catatan ini.” Nyatanya, akal sama sekali tidak bisa menerima anggapan bahwa buku catatan yang tak memiliki mata, perasaan maupun kemampuan itu bisa menciptakan sesuatu yang mutlak menjadi pekerjaan rububiyah, dan yang mengharuskan adanya kuasa takterhingga. Karena saya tidak menerima adanya pencipta azali, maka lebih baik saya mengatakan bahwa buku catatan inilah yang telah dan tetap menciptakan segala sesuatu.


Tanggapan kami: Wahai orang bodoh lagi mabuk yang lebih dungu dari semua orang dungu, keluarkan kepalamu dari kubangan lumpur. Lihatlah dan tataplah Sang Pencipta yang seluruh wujud dengan beragam lisan bersaksi akan keberadaan-Nya dan menunjuk-Nya dengan jari-jemari yang mereka punya, dari atom hingga bintang-bintang yang berotasi. Tataplah tajalli-tajalli Sang Pengukir yang membangun istana jagad raya, menulis aturan-aturan istana jagad raya dalam lembaran buku catatan tersebut. Perhatikan perintah-perintah malakiyah, dengarkan al-Qur'annya, dan lepaskan dirimu dari kata-kata ngelantur semacam itu.


Contoh Kedua: Seorang yang amat kampungan dan primitif memasuki barak militer yang amat menakutkan. Ia melihat latihan-latihan dan serangkaian gerakan-gerakan militer yang terorganisir, di mana batalion dan seorang mayor jenderal melakukan manuver secara bersamaan dan selaras laksana gerakan seorang prajurit, berhenti secara serentak dan bergerak pun secara serentak, semuanya menembak dengan sekali perintah.


Mengingat akalnya primitif, ia tidak mengetahui adanya seorang komandan yang memimpin melalui undang-undang negara dan sultan. Ia bahkan mengingkari adanya aturan dan undang-undang tersebut, sehingga ia membayangkan bahwa para prajurit tersebut saling terkait satu sama lain. Ia memikirkan bagaimana tali tak tampak yang luar biasa itu membuatnya terpesona dan kagum.


225. Page

Setelah itu ia pulang, lalu memasuki sebuah masjid besar seperti masjid Ayasofia pada hari Jum’at. Ia melihat jamaah berdiri, rukuk, sujud dan duduk mengikuti suara seseorang. Karena si orang primitif ini tidak mengetahui syariat yang berisi serangkaian undang-undang maknawi samawi dan tak mengenal aturan-aturan maknawi yang berasal dari perintah sang pemangku syariat, ia pun membayangkan bahwa jamaah tersebut saling terkait dengan tali-tali hakiki. Tali luar biasa tersebut menggerakkan mereka. Setelah itu ia keluar meninggalkan masjid dan terus berfikir secara dangkal dan menggelikan bahkan bagi orang-orang yang amat liar dan lebih buas dari hewan paling buas sekali pun.


Tepat seperti dalam contoh ini, seseorang dengan pemikiran naturalisme-atheisme yang murni primitif dan liar, memasuki alam laksana barak militer mencekam milik prajurit-prajurit tanpa batas milik penguasa azali. Jagad raya ini adalah masjid besar yang indah milik Zat azali yang disembah. Ia membayangkan bahwa undang-undang maknawi jagad raya yang bersumber dari hikmah sultan azali bersifat materi. Ia membayangkan bahwa setiap undang-undang kuasa rububiyah, hukum, dan aturan-aturan maknawi –yang hanya memiliki wujud dalam bentuk pengetahuan- syariat fitrah yang besar, memiliki wujud nyata dan bersifat materi. Aturan-aturan yang bersumber dari ilmu dan firman yang tiada memiliki wujud apa pun selain yang bersifat pengetahuan itu anggap sebagai kuasa ilahi, ia anggap bisa menciptakan apa pun, lalu ia sebut sebagai “alam.” Untuk itulah ia menilai kekuatan yang tidak lain hanya merupakan tajalli kuasa rabbani, sebagai kekuasaan independen. Pemikiran semacam ini adalah bagian dari pemikiran primitif dan liar yang seribu kali lebih hina dari contoh tersebut.


Kesimpulan

Apa yang disebut kalangan naturalis sebagai “alam” yang hanya merupakan khayalan dan tanpa hakekat, tidak mungkin lain kecuali ciptaan. Ia tidak lebih dari itu. Jika pun memiliki hakekat eksternal, tidak mungkin ia menjadi pencipta. Ia hanyalah ukiran, tidak mungkin menjadi pengukir. Ia adalah serangkaian hukum, tidak mungkin menjadi hakim. Ia adalah syariat fitri, tidak mungkin menjadi pembuat syariat. Ia adalah tirai yang diciptakan bagi keagungan (ilahi), tidak mungkin menjadi pencipta. Ia adalah fitrah yang diatur, tidak mungkin ia menjadi pelaku pencipta. Ia adalah aturan, bukan kuasa, dan tidak mungkin menjadi penguasa. Ia adalah garis, tidak mungkin menjadi sumber.


Kesimpulan: Mengingat semua maujud benar-benar ada dan nyata, dan mengingat tidak mungkin membayangkan adanya cara lain selain empat cara mengenai keberadaan maujud menurut cara “pembagian akal” seperti telah disebut di bagian awal “Catatan Keenambelas,” maka sudah terbukti kesalahan masing-masing ketiga aspek dari keempat aspeknya melalui tiga kemustahilan yang jelas, pasti, dan qath’i, sehingga tak dapat diragukan lagi bahwa perlu ditetapkan secara wajib dan pasti penetapan cara kesatuan (wihdah), yaitu cara keempat. Hal itu ditegaskan ayat mulia yang disebutkan di permulaan risalah ini, قَالَتْ رُسُلُهُمْ اَفِي اللّٰهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ  (“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” Qs. Ibrahim [14]: 10), yang mengisyaratkan bahwa uluhiyah (ketuhanan) Zat Yang Wajib Ada sudah pasti dan berada dalam tingkatan yang tak lagi menyisakan keraguan dan syubhat. Ayat ini memperlihatkan bahwa setiap sesuatu timbul secara langsung dari tangan qudrat-Nya, serta bahwa langit dan bumi berada dalam genggaman tindakan-Nya.


226. Page

Wahai penyembah sebab-musabab! Wahai orang malang yang terperosok dalam lumpur (filsafat) alam!


Mengingat alam tiap sesuatu merupakan suatu ciptaan seperti tiap sesuatu yang lain, sebab di dalamnya terdapat kreasi, penciptaan dan pembuatan, serta penyebab lahiriahnya juga diciptakan seperti semua musabab (akibat), serta mengingat keberadaan tiap sesuatu memerlukan piranti dan peralatan yang amat banyak, maka bisa dipastikan terdapat Zat yang berkuasa mutlak yang mengadakan alam dan menciptakan sebab tersebut. Ada keperluan apa Zat Maha Kuasa Mutlak tersebut dengan perantara-perantara yang lemah itu hingga Dia harus menyertakannya dalam rububiyah dan penciptaan-Nya? Itu sama sekali mustahil! Dia menciptakan sebab dan musabab (akibat) secara bersamaan dan secara langsung demi menampakkan tajalli nama-nama dan hikmah-Nya. Dia menyusun dan menata keduanya, serta meletakkan kaitan kausalitas lahiriah di antara keduanya, mengaitkan antara keduanya secara lahiriah, menjadikan sebab-musabab dan alam sebagai tirai bagi tangan qudrat-Nya, agar (sebab-musabab) menjadi sasaran rujukan untuk segala yang tampak pada sesuatu, berupa keterbatasan, tiadanya rahmat, dan berbagai kekurangan lahiriah lain. Dengan demikian, Dia menjaga kemuliaan-Nya dan pencipta (segala sesuatu).


Gerangan mana yang lebih mudah dalam pembuatan jam? Menciptakan gigi-gigi roda jam kemudian menata dan mengatur (jam) dengan gigi-giri itu, ataukah menciptakan alat luar biasa di dalam gigi-gigi roda tersebut kemudian menyerahkannya ke pabrik jam melalui tangan-tangan (mesinnya) yang kaku, agar ia membuatkannya?


Bukankah kondisi kedua ini berada di luar lingkup kemungkinan? Silahkan jawab dengan akal Anda yang tidak obyektif itu, selanjutnya silahkan engkau menjadi hakim dan hukum.


Atau misalkan seorang penulis datang membawa pena, tinta dan kertas, lalu dia sendiri menulis buku dengannya. Mana yang lebih mudah, apakah yang ini ataukah dengan mengadakan alat tulis khusus untuk membuat buku tersebut satu-satunya di atas kertas tersebut, dengan tinta dan pena yang lebih canggih dari kitab itu, lebih sulit dan lebih rumit darinya. Lalu, dia berkata kepada alat tulis yang tak punya perasaan dan kesadaran tersebut, “Tulislah sendiri,” sementara dia sama sekali tak ikut campur? Perhatikan, bukankah ini seratus kali lebih sulit dari penulisan (yang pertama)?


Jika engkau mengatakan: “Ya, menciptakan alat yang dapat menulis buku memang seratus kali lebih sulit dari buku itu. Hanya saja, terdapat kemudahan padanya karena alat tersebut akan menjadi sarana untuk menggandakan tulisan dan mencetaknya sebagai naskah yang banyak dari buku yang sama.”


 Jawaban: Sang Pengukir Azali telah menciptakan ciri-ciri dan tanda-tanda khusus pada tiap sesuatu dengan qudrat-Nya yang mutlak dengan memperbarui tajalli nama-nama-Nya yang tak terhingga setiap saat, agar masing-masing di antaranya terlihat dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda sehingga suatu tulisan shamadani dan kitab rabbani mana pun tak menyamai kitab-kitab lainnya dengan dirinya sama sekali. Intinya, setiap kitab akan memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan yang lain agar bisa mengungkapkan makna-makna khusus yang berbeda-beda. Jika engkau mempunyai mata, maka lihatlah tanda-tanda khas manusia, engkau pasti akan melihat di semua wajah kecil ini banyak sekali tanda pembeda yang membedakannya dengan wajah-wajah lain semuanya, sejak masa Nabi Adam a.s hingga saat sekarang ini, bahkan hingga selamanya, meski tetap selaras dengan bagian-bagian inti tubuh. Fenomena ini jelas pasti. Karena itu, setiap wajah adalah suatu kitab terpisah 

227. Page

sendirinya. Hanya saja kitab ini memerlukan alat tulis khusus, mengharuskan pengaturan khusus dan cara penulisan khusus untuk membentuknya dan mengkreasinya, di samping memerlukan laboratorium khusus yang berbeda sama sekali dari lainnya agar bisa mendatangkan segala bahan yang semestinya lalu meletakkannya di tempatnya yang sesuai, dan untuk memasukkan segala apa pun yang diperlukan bagi keberadaannya.


Mari kita anggap alam sebagai percetakan secara asumtif. Namun, dalam kondisi ini, ia memerlukan pengaturan dan cetakan khusus untuk percetakan, yakni memasang sistemnya yang sudah ditentukan di bagian dalam alatnya. Selain itu, untuk pengadaan pengaturan ini ia memerlukan kehendak Zat Yang Maha Kuasa Mutlak dan qudrat-Nya yang mengadakan percetakan tersebut demi pengadaan bahan-bahan –yang pengadaannya seratus persen lebih sulit dari pengadaan bahan-bahan lain– yang terdapat dalam tubuh makhluk hidup dengan takaran dan aturan khusus, serta mendatangkan bahan-bahan itu dari segala penjuru alam, untuk selanjutnya menyerahkannya kepada tangan percetakan tersebut. Karena itu, membayangkan dan mengasumsikan alam seperti percetakan merupakan suatu khurafat yang tak berarti sama sekali.


Sebagaimana di contoh jam dan kitab di atas, Sang Pencipta Yang Maha Agung Maha Kuasa atas segala sesuatu telah menciptakan sebab, Dia juga menciptakan musabbab (akibat). Dia mengaitkan akibat dengan sebab melalui hikmah-Nya. Dia menentukan dan menetapkan, menurut kehendak-Nya, satu tajalli di antara tajalli-tajalli syariat fitrah ilahi terbesar –yang tidak lain merupakan undang-undang kebiasaan Allah (sunnatullah) untuk mengatur pergerakan jagad raya ini. (Dia juga menentukan dan menetapkan) tabiat segala sesuatu tidak lain merupakan cermin dan pantulan tajalli-Nya di balik segala sesuatu. Dengan qudrat-Nya, Dia mengadakan wajah alam yang memiliki wujud eksternal. Dia pun menciptakan segala sesuatu berdasarkan alam tersebut dan mencampurkannya satu sama lain.


Wahai, lihatlah. Apakah penerimaan hakikat –yang sangat masuk akal, dan yang merupakan hasil dari bukti nyata tak terbatas– ini mudah? Bukankah penerimaannya penting sekali hingga derajat wajib?


Ataukah lebih mudah menyandarkan segala perangkat dan peralatan yang diperlukan tubuh tiap sesuatu kepada bahan-bahan yang kalian sebut sebagai “sebab-musabab” atau “alam” yang hanyalah benda mati, makhluk, ciptaan, sederhana, yang tak memiliki perasaan dan kesadaran?


Selanjutnya menyatakan bahwa segala hal yang terjadi menurut hikmah dan hati nurani, berlangsung dengan sendirinya?


Tidakkah ini tertolak dan keluar dari wilayah kemungkinan?

Silahkan dijawab oleh akalmu sendiri yang tidak objektif itu!


Si pengingkar penyembah alam pun berkata: “Karena Anda mengajak saya untuk bersikap obyektif, maka saya katakan bahwa saya mengakui bahwa jalan yang kami tempuh salah hingga sekarang, seratus kali mustahil, sangat berbahaya, dan benar-benar amat buruk. Siapa saja yang memiliki perasaan seberat atom pun pasti akan memahami penjelasan pembuktian Anda di atas bahwa menyandarkan pengadaan kepada sebab-musabab dan kepada alam itu tertolak dan mustahil, dan bahwa menyandarkan tiap sesuatu kepada Zat Yang Wajib Ada secara langsung adalah wajib seharusnya. Saya mengumumkan keimanan saya, dan saya menyatakan puji bagi Allah atas nikmat iman.


 Namun masih ada satu keraguan yang mengganjal dalam diri saya. Saya menerima Allah adalah Pencipta. Namun, apa bahayanya bagi dan kekuasaan rububiyah-Nya jika ada 

228. Page

sebab-sebab kecil yang intervensi dalam pengadaan (penciptaan) dan dalam hal-hal tak berharga, lalu diberi sedikit pujian dan penghargaan? Apakah hal itu akan mengurangi kekuasaan-Nya?


Jawaban: Seperti telah kami tegaskan secara pasti dan qath’i di sebagian Risalah al-Nur bahwa sudah merupakan ciri kekuasaan untuk menolak intervensi. Bahkan penguasa dan pejabat paling rendah sekali pun tak menerima intervensi anaknya dalam lingkup kekuasaannya. Pembunuhan yang dilakukan sebagian sultan yang taat beragama terhadap anaknya sendiri yang tak berdosa karena tuduhan ikut campur dalam urusan kekuasaan mereka, jelas menunjukkan sejauh mana orisinalitas hukum penolakan campur tangan dalam kekuasaan. “Aturan larangan persekutuan” (isytirak) yang dituntut oleh independensi hukum menunjukkan kekuatannya sepanjang sejarah umat manusia –dimulai dari adanya dua gubernur dalam satu wilayah, hingga dua sultan dalam satu kerajaan– melalui kekacauan, guncangan, dan pergolakan-pergolakan yang sangat luar biasa.


Lihatlah dan perhatikan bagaimana satu bayang-bayang di antara banyak bayang-bayang kekuasaan dan perintah milik sejumlah manusia lemah yang memerlukan kerjasama pihak lain, menolak intervensi hingga sedemikian ini, mencegah campur tangan orang lain, menentang persekutuan dalam kekuasaan mereka, dan berusaha untuk menjaga independensinya dalam jabatannya sepenuh fanatisme tanpa batas.


Selanjutnya, jika engkau bisa, silahkan engkau menganalogikan antara mereka ini dengan Zat Yang Maha Agung yang memiliki kekuasaan mutlak setingkat rububiyah, perintah mutlak setingkat uluhiyah, independensi mutlak setingkat keesaan, kekayaan mutlak setingkat qadiriyah mutlak. Perhatikan, seberapa besar untuk kekuasaan tersebut dan segala kemestiannya yang wajib, Dia lazim dan mesti menolak intervensi, mencegah persekutuan, dan menolak sekutu. Silahkan engkau analogikan sendiri!


 

Adapun bagian kedua dari keraguan Anda adalah: Jika sebagian sebab menjadi rujukan bagi sebagian ubudiyah hal-hal parsial (juz-iyyat), apakah hal itu akan mengurangi ubudiyah para makhluk dimulai dari atom hingga berakhir pada bintang-bintang yang beredar, suatu ubudiyah yang diarahkan kepada Zat Yang Wajib Ada sebagai sembahan mutlak?


Jawaban: Sang Pencipta alam ini telah menciptakan alam raya laksana menciptakan sebuah pohon, menciptakan makhluk yang mempunyai perasaan sebagai buah paling sempurna dari pohon ini, dan menciptakan manusia sebagai buahnya yang paling menyeluruh.


Lantas apakah Sang Penguasa mutlak, Pemberi perintah independen, Yang Maha Esa Maha Tunggal, yang menciptakan seluruh jagad raya ini, agar Dia dicintai dan dikenal, akan menyerahkan manusia yang merupakan buah seluruh jagad raya, menyerahkan rasa syukur dan ibadah manusia yang keduanya merupakan hal penting baginya, bahkan merupakan hasil ciptaan, puncak fitrah, dan buah kehidupannya –itulah syukur dan itulah ibadah yang merupakan buah paling mulia baginya– kepada pihak-pihak lain?


Apakah Dia akan menjadikan hasil ciptaan dan buah jagad raya ini sia-sia dan menentang hikmah-Nya secara total?! Tidak. Itu mustahil!


Relakah Dia menyerahkan ibadah-ibadah para makhluk ke pihak-pihak lain dalam bentuk yang membuat mereka mengingkari hikmah dan rububiyah-Nya. Apakah Dia memperkenankan hal itu?


Apakah Dia melupakan diri-Nya dan membuat para makhluk mengingkari tujuan-

229. Page

tujuan-Nya yang luhur dalam penciptaan alam raya ini, dengan menyerahkan rasa syukur indah para makhluk-Nya, serta rasa terima kasih, kecintaan dan ibadah mereka, kepada sebab-musabab! Padahal Dia menampakkan melalui perbuatan-Nya bahwa Dia mencintai dan mempekenalkan diri-Nya hingga derajat tak terhingga.


Wahai kawan yang masih menyembah alam, ayo jawab!

Dia pun berkata, “Alhamdulillah, kedua syubhat itu sudah hilang dari diri saya karena Anda telah menunjukkan kepada saya dua dalil yang kuat dan jelas tentang keesaan Tuhan (wahdaniyyah ilahiyyah), telah menunjukkan bahwa Dia adalah sembahan yang benar, bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Dia, karena mengingkari hakikat-hakikat ini merupakan sikap sombong, layaknya mengingkari keberadaan matahari dan siang.”

 

 

Penutup Kilauan Keduapuluh Tiga

 

Seseorang yang telah meninggalkan faham naturalisme kafir dan memasuki keimanan berkata, “Alhamdulillah, keragu-raguan saya sudah hilang. Namun saya masih mempunyai beberapa pertanyaan yang mendorong saya lebih banyak menyimak untuk menambah pengetahuan.”

 

Pertanyaan Pertama:

Kami sering kali mendengar orang-orang malas dan mereka yang meninggalkan shalat berkata, “Apa perlu Rabb S.w.t dengan ibadah kita sampai-sampai dalam al-Qur'an Dia menegur dengan keras dan paksa orang-orang yang meninggalkan ibadah, mengancam mereka dengan siksa yang keras seperti neraka Jahanam? Bagaimana cara ini patut bagi gaya bahasa al-Qur'an yang imbang, lurus, dan adil, sehingga ia bersikap begitu kerasnya sampai melampaui ambang batas terhadap kesalahan kecil yang tidak begitu penting bagi-Nya?”

 

Jawaban: Ya, Allah S.w.t memang tidak memerlukan ibadah Anda, juga tidak membutuhkan apa pun juga. Justru Anda yang perlu beribadah kepada-Nya, karena secara maknawi Anda sakit, dan ibadah adalah antidot (penangkal) luka-luka maknawi Anda, seperti yang telah kami tegaskan di banyak risalah.


Ketika orang sakit berkata kepada dokter yang sangat menyayanginya dan berkali-kali memintanya untuk meminum obat yang manjur, “Dokter, apa keperluan Anda hingga memaksa saya melakukan ini?” Maka Anda tentu akan mengetahui sejauh mana bodoh dan dungunya kata-kata ini.


Adapun ancaman keras al-Qur’an dan hukumannya yang menakutkan sebagai balasan atas sikap meninggalkan ibadah, hal itu demikian:


Sebagaimana sultan menghukum orang biasa sesuai kesalahannya yang membahayakan hak-hak rakyatnya dengan hukuman keras demi menjaga hak-hak tersebut, demikian pula halnya orang yang meninggalkan ibadah dan shalat. Dia melanggar hak-hak seluruh maujud (makhluk) yang laksana rakyat bagi Sang Penguasa Azali Abadi melalui suatu pelanggaran yang berbahaya, selan itu dia juga melakukan kezaliman maknawi terhadap hak rakyat.


 Hal itu karena kesempurnaan seluruh maujud tampak melalui tasbih dan ibadah di sisinya yang mengarah kepada Sang Pencipta S.w.t. Maka, orang yang meninggalkan ibadah 

230. Page

tidak menggubris ibadah seluruh maujud dan tidak bisa melihatnya, bahkan mungkin mengingkarinya. Dia ketika itu meruntuhkan kondisi seluruh maujud yang berada pada maqam tinggi ibadah dan tasbih, yang masing-masing darinya merupakan catatan shamadani dan cermin yang memantulkan nama-nama rabbani. Namun dianggapnya, itu hanya benda-benda mati, tak berguna, tak bernilai, dan tak punya peran apa pun. Dengan sikap seperti ini, dia melecehkan seluruh maujud, mengingkari kesempurnaan mereka, dan melanggar hak-hak mereka.


Ya, setiap orang melihat jagad raya ini sesuai cermin pribadinya. Al-Haq Ta’ala sendiri menciptakan manusia dalam bentuk ukuran dan neraca bagi jagad raya. Dia memberikan alam khusus kepada setiap insan dari alam ini, dan menampakkan nuansa alam tersebut sesuai yang diyakini hati si manusia.


Sebagai contoh: Orang yang menangis putus asa dan sangat sedih akan melihat segala maujud (makhluk yang ada) juga menangis sedih. Orang yang bahagia, ceria, suka cita, dan tersenyum, karena begitu senangnya, akan melihat seluruh alam raya ini tersenyum ceria. Demikian pula halnya ahli ibadah yang bertasbih dengan ikhlas, penuh kesungguhan dan pemikiran akan menyingkap dan melihat – hingga batasan tertentu – ibadah dan tasbih segala wujud yang ada sebagai kebenaran. Berbeda dengan orang yang meninggalkan ibadah, karena lalai atau ingkar, akan mengira semua maujud dengan caranya sebagai sesuatu yang salah, bertentangan, dan menafikan hakikat kesempurnaannya sehingga ia menerjang hak-haknya secara maknawi.


Demikian pula halnya orang yang meninggalkan shalat, menganiaya diri sendiri yang merupakan hamba bagi Sang Pemiliknya. Dia bukanlah pemilik dirinya. Karena itulah, Si Pemilik mengancamnya dengan siksaan keras, agar dia bisa mendapatkan hak-haknya dari nafsu amarahnya.


Demikian pula, meninggalkan ibadah yang merupakan buah penciptaannya dan tujuan fitrahnya, sama saja seperti pelanggaran dan penerjangan terhadap hikmah ilahi dan kehendak rabbani, sehingga ia patut mendapatkan siksaan keras.


Kesimpulan

Orang yang meninggalkan ibadah adalah orang yang menganiaya diri sendiri, sedangkan dirinya adalah hamba sekaligus milik Allah S.w.t. Dia juga melanggar hak-hak kesempurnaan seluruh maujud, serta menzaliminya.


Ya, seperti halnya kekafiran merendahkan dan menghina seluruh maujud, maka meninggalkan ibadah juga mengingkari kesempurnaan seluruh makhluk dan melanggar hikmah ilahi. Karena itu, orang yang meninggalkan ibadah patut mendapat ancaman keras dan siksaan pedih.


Dengan demikian, al-Qur'an yang bayannya mengandung mukjizat, dengan memilih gaya bahasa ancaman keras sebagai pilihan mengandung mukjizat, hendak bermaksud mengungkap hak untuk mendapatkan ancaman tersebut dan hakekat yang disebutkan ini. Dengan demikian, al-Qur'an sudah menjaga kelayakan sempurna sesuai tuntutan kondisi, yang merupakan hakikat balaghah.

 

Pertanyaan kedua

 Seseorang yang meninggalkan pemikiran filsafat “alam” (naturalisme) dan memasuki keimanan menyatakan: “Tunduknya semua maujud kepada kehendak ilahi dan qudrat rabbani dalam segala hal, urusan, dan tindakannya, merupakan hakikat besar yang dari sudut 

231. Page

keagungannya tak terjangkau oleh akal kita yang sempit ini. Sementara yang kita lihat di depan mata kita berupa begitu banyaknya makhluk yang sangat beragam tak terbatas, berupa kemudahan mutlak dalam penciptaan dan pengadaan segala sesuatu, berupa kemudahan dan kegampangan tak terhingga dalam pengadaan segala sesuatu melalui cara keesaan yang terbukti keberadaannya melalui sejumlah dalil yang Anda tunjukkan sebelumnya, juga berupa kemudahan tak terhingga seperti yang dijelaskan dalam nash al-Qur'an dan diisyaratkan melalui sejumlah ayat secara tegas, seperti مَا خَلْقُكُمْ وَلاَ بَعْثُكُمْ اِلَّأ كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ (“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti menciptakan dan membangkitkan satu jiwa saja” Qs. Luqman [31]: 28), dan وَمَا اَمْرُ السَّاعَةِ اِلَّأ كَلَمْحِ الْبَصَرِ اَوْ هُوَ اَقْرَبُ  (“Kejadian kiamat itu hanyalah seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi.” (Qs. al-Nahl [16]: 77); itu semua menunjukkan bahwa hakikat besar tersebut adalah masalah yang sangat maasuk akal dan rasional sekali. Lantas apa rahasia dan hikmah dari kemudahan ini?


Jawaban: Rahasia tersebut sudah dijelaskan di “Kalimat Kesepuluh” dari “Maktub Keduapuluh”, yang adalah “Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (وَهُوَ عَلٰي كُلِّ شَئٍ قَديرٌ). Rahasia tersebut sudah dijelaskan secara jelas sekali dan penu kepastian, dan dalam bentuk meyakinkan. Pada bagian tambahan Maktub tersebut juga dibuktikan dengan lebih jelas lagi. Ringkasannya:


Jika penciptaan seluruh maujud disandarkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa, tentu penciptaannya mudah sekali laksana penciptaan satu maujud. Namun jika itu tidak disandarkan kepada Sang Esa lagi Tunggal, maka penciptaan satu wujud saja akan sulit dan rumit sama seperti kesulitan menciptakan seluruh maujud. Maka penciptaan satu biji saja sulitnya sama seperti kesulitan menciptakan satu pohon. Namun ketika penciptaannya disandarkan kepada Sang Pencipta Hakiki, maka penciptaan jagad raya menjadi mudah laksana menciptakan satu pohon saja. Menciptakan pohon juga mudah laksana menciptakan satu biji. Surga laksana musim semi, dan musim semi laksana sekuntum bunga.


Di sini akan kami tunjukkan secara singkat dua dalil di antara ratusan lainnya, juga di antara ratusan hujjah yang disebutkan secara rinci di risalah-risalah lain, yang menunjukkan hikmah dan rahasia yang kami lihat melalui musyahadah berupa melimpahnya dan murahnya makhluk tak terbatas, juga mudahnya keberadaan individu-individu setiap spesies yang jumlahnya tak terbatas, serta pengadaan maujud-maujud dalam bentuk yang sempurna, menawan, dan bernilai tinggi, dalam jumlah sangat banyak, secara mudah dan cepat.

 

Dalil Pertama:

Misalkan, sebagaimana jika urusan seratus prajurit diserahkan manajemennya ke seorang perwira, maka itu akan lebih mudah seratus kali ketimbang ketika urusan seorang prajurit diserahkan manajemennya ke seratus perwira. Demikian pula halnya ketika pembuatan peralatan perang suatu pasukan lengkap diserahkan ke salah satu markas, satu aturan, satu pabrik, dan berdasarkan perintah seorang sultan, tentu itu akan mudah sekali laksana membuat peralatan perang seorang prajurit saja. Namun, ketika pembuatan alat-alat perang seorang prajurit diserahkan kepada sejumlah markas, sejumlah pabrik ,dan sejumlah perwira, tentu itu akan sulit laksana membuat alat-alat perang suatu pasukan lengkap. Sebab, untuk membuat peralatan perang untuk seorang prajurit diperlukan adanya pabrik-pabrik yang semestinya untuk membuat perlengkapan perang pasukan seluruhnya.


232. Page

Demikian pula ketika sebuah pohon dibekali sejumlah perlengkapan yang semestinya untuk hidupnya, yang berasal dari satu bibit dan dari satu markas, sesuai satu aturan, dan menurut rahasia kesatuan (wahdah), maka pasti akan terlihat melalui musyahadah bahwa penciptaan pohon yang menghasilkan ribuan buah tersebut tentu mudah laksana penciptaan satu buah. Sementara jika kita memilih jalan banyak sebagai ganti jalan kesatuan, yakni jika setiap buah diberi bekal berupa bahan-bahan pokok untuk hidupnya, yang berasal dari sejumlah pusat yang berbeda-beda, maka penciptaan satu buah saja akan sulit laksana menciptakan sebuah pohon. Bahkan, akan sulit juga untuk menciptakan satu biji saja yang merupakan sumber pohon dan indeksnya, seperti sulitnya menciptakan sebuah pohon tersebut, karena seluruh bahan pokok yang penting bagi kehidupan sebuah pohon juga penting bagi sebuah biji.


Masih ada lagi ribuan contoh lain seperti dua contoh ini, yang menjelaskan bahwa ribuan maujud yang muncul ke alam nyata ini dengan mudah sekali melalui jalan kesatuan adalah jauh lebih mudah dari pengadaan satu maujud melalui jalan syarikat dan banyak.


Hakikat ini sudah dijelaskan di dalam risalah-risalah lain secara pasti dan qath’i seperti kepastian dua dikali dua sama dengan empat. Untuk itu, kita bisa merujuk penjelasannya ke (risalah-risalah dimaksud). Di sini kami akan menjelaskan suatu rahasia saja yang sangat penting terkait kemudahan ini dari sisi pengetahuan ilahi, takdir ilahi, dan qudrat rabbani. Itu sebagai berikut:


Anda adalah satu maujud di antara maujud-maujud yang ada. Jika Anda menyerahkan permasalahan Anda kepada Sang Maha Kuasa Maha Azali, maka Dia telah menciptakan Anda dari ketiadaan dengan mudah semudah menyalakan korek api berdasarkan satu perintah dalam waktu sekejap atas qudrat-Nya yang tak terbatas. Namun jika Anda tidak menyerahkan urusan Anda kepada-Nya, dan Anda menyerahkan urusan Anda kepada sebab-musabab materiil dan alam, maka saat itu untuk penciptaan Anda harus dikumpulkan bahan-bahan yang ada di dalam diri Anda dari berbagai penjuru alam, dengan takaran-takaran sangat sensitif dan jeli setelah jagad raya dan unsur-unsur disaring dengan saringan yang halus, karena Anda adalah intisari sempurna, buah menawan, dan katalog kecil jagad raya. Hal itu karena, sebab-musabab materiil hanya disusun dan disatukan, dan ia tidak ditakdirkan untuk mengadakan dan menciptakan sesuatu yang tidak ada dari ketiadaan, seperti yang bisa dibenarkan oleh seluruh orang yang berakal. Artinya, sebab-musabab ini akan dipaksa untuk menyatukan tubuh makhluk hidup kecil dari seluruh penjuru alam. Perhatikanlah sejauh mana mudahnya penciptaan seperti ini melalui cara kesatuan (wahdah) dan penyatuan (tauhid), dan sejauh mana kesulitan dan kemusykilan (penciptaan maujud) melalui cara kesyirikan dan kesesatan.

 

Dalil Kedua:

Di balik persatuan (wahdah) dan kesatuan (tauhid) terdapat kemudahan tanpa batas dari sisi ilmu pengetahuan. Jelasnya demikian:


 Takdir adalah semacam ilmu pengetahuan ilahi yang membantu untuk menentukan ukuran (miqdar) tiap sesuatu, seakan-akan ia inti maknawi khusus dengannya. Dan ukuran ketentuan (miqdar qadari) ini laksana garis keberadaan sesuatu itu dan model baginya. Ketika sesuatu diadakan oleh qudrat ilahi, (qudrat ilahi) mengadakannya sesuai ukuran ketentuan dengan kemudahan mutlak. Namun jika pengadaan sesuatu tersebut tidak disandarkan kepada Sang Maha Kuasa Maha Agung yang memiliki ilmu yang meliputi tanpa batas secara 

233. Page

azali, ia bukan hanya mengalami ribuan kerumitan seperti telah dijelaskan sebelumnya, tapi juga mengalami ratusan kemustahilan. Hal itu karena, jika tidak ada ukuran ketentuan dan ukuran ilmu (miqdar ‘ilmi), tentu saat itu harus digunakan ribuan inti eksternal materiil di dalam tubuh hewan terkecil sekali pun. Maka fahamilah salah satu dari sekian rahasia kemudahan tak terbatas dalam persatuan ini, fahamilah kesulitan-kesulitan tak terbatas di balik kesyirikan dan kesesatan, dan ketahuilah sejauh mana kebenaran hakikat yang dijelaskan dalam ayat, وَمَا اَمْرُ السَّاعَةِ اِلَّأ كَلَمْحِ الْبَصَرِ اَوْ هُوَ اَقْرَبُ (“Kejadian kiamat itu hanyalah seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi” Qs. al-Nahl [16]: 77), serta fahamilah sejauh mana keluhuran dan kebenaran hakikat ini.

 

Pertanyaan Ketiga:

Orang yang mendapat petunjuk, yang sebelumnya lawan namun kini menjadi kawan, berkata: Para filosof yang melampaui batas pada masa ini mengatakan, “Tak ada sesuatu pun yang diciptakan dari ketiadaan, dan tak ada sesuatu pun yang pergi menuju ketiadaan. Tapi hanya komposisi (tarkib) dan dekomposisi (tahlil) satu-satunya yang mengatur pabrik jagad raya ini!”


Jawaban:

Para filosof yang benar-benar melampaui batas tersebut tidak memandang maujudat (wujud-wujud yang ada) berdasarkan cahaya al-Qur'an. Mereka memandang alam raya ini, lalu mereka berpendapat bahwa penciptaan dan pengadaan maujudat ini melalui sebab-musabab dan alam pasti rumit dan sulit hingga derajat mustahil, seperti yang telah kami buktikan sebelumnya. Karena itu, para filosof terbagi menjadi dua golongan.


Golongan pertama: Menganut sophisme, yang berusaha melepaskan diri dari akal yang merupakan salah satu keistimewaan manusia. Mereka pun runtuh ke tingkatan paling rendah dari hewan bodoh. Itu karena mereka memandang bahwa mengingkari adanya semua wujud yang ada, bahkan mengingkari keberadaan mereka sendiri, lebih mudah dari anggapan bahwa alam dan sebab-musabab menciptakan wujud melalui cara kesesatan. Dengan demikian, mereka mengingkari keberadaan mereka sendiri, keberadaan semua wujud yang ada, dan jatuh dalam kebodohan mutlak.


Golongan kedua: Menganggap bahwa penciptaan seekor lalat atau satu biji tanaman oleh sebab-musabab dan alam melalui cara kesesatan, teramat sulit sekali, dan bahwa itu mengharuskan adanya qudrat besar di luar standar akal. Karena itu, mereka mesti mengingkari penciptaan. Mereka mengatakan bahwa “tak ada sesuatu pun yang diciptakan dari ketiadaan.” Mereka juga menganggap bahwa ketiadaan itu mustahil. Mereka menilai bahwa wujud tidaklah ditiadakan dan dilenyapkan. Hanya saja mereka membayangkan kondisi yang bersifat tituler, yaitu adanya komposisi, dekomposisi, pemecahan dan komposisi, yang terjadi karena pergerakan atom dan faktor kebetulan saja.



Perhatikanlah sekarang orang-orang yang mengira dirinya sebagai orang paling berakal dan cerdas, ternyata mereka jatuh ke tingkat kebodohan dan ketololan paling rendah. Perhatikanlah bagaimana kesesatan menjadikan manusia bahan ejekan. Perhatikanlah bagaimana harga dirinya runtuh dan membuatnya menjadi manusia paling bodoh dan hina. Silahkan Anda jadikan pelajaran!


 Kita menyaksikan, qudrat azali setiap tahun menciptakan empat ratus ribu jenis makhluk hidup di bumi ini secara bersamaan, menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, 

234. Page

menciptakan makhluk hidup paling menawan di antara jagad raya dan paling banyak hikmahnya selama enam pekan di setiap musim semi. Gerangan, apakah mustahil bagi qudrat azali memberikan wujud eksternal kepada maujud-maujud ilmiah yang adalah ketiadaan eksternal, dan yang menentukan perencanaan, program, dan ukuran-ukurannya dalam lingkup ilmu azali, serta menciptakannya dengan mudah semudah memperlihatkan tulisan yang ditulis dengan suatu bahan kimia yang tak bisa dilihat melalui mata telanjang kecuali setelah dialiri dengan suatu bahan kimia? Bukankah mengingkari penciptaan dan pengadaan dari qudrat azali itu lebih bodoh dari kebodohan kelompok pertama, penganut sophisme, serta lebih tolol dari ketololan mereka?!


Jiwa mereka yang celaka, sengsara, dan kefiraunan itu benar-benar lemah secara mutlak. Jiwa mereka tak memiliki apa pun selain kehendak parsial karena tidak mampu meniadakan dan melenyapkan segala sesuatu, tak mampu untuk menciptakan atom atau materi apa pun dari ketiadaan. Sebab-musabab dan alam yang mereka jadikan tumpuan pun tak mampu menciptakan apa pun dari ketiadaan. Dengan dungunya mereka mengatakan: “Tidak ada penciptaan dari ketiadaan, dan wujud yang ada tidak akan lenyap.” Melalui pernyataan ini, mereka ingin juga memberlakukan dustur batil dan keliru tersebut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Mutlak.


Ya, Sang Maha Kuasa Maha Agung memiliki dua jenis penciptaan:

Pertama, ikhtira’ dan ibda’, yakni Allah Maha Agung memberikan wujud kepada sesuatu dari ketiadaan, dan mengadakan apa pun yang diperlukan oleh sesuatu tersebut dari ketiadaan, serta memberikannya kepadanya.


Kedua, insya’ dan shan’ah, serta ibda’, yaitu Allah Maha Agung menciptakan sebagian maujudat dari unsur-unsur jagad raya karena hikmah tertentu yang amat jeli –seperti untuk memperlihatkan kesempurnaan hikmah-Nya dan tajalli sebagian besar nama-nama-Nya yang indah. Dia mengirim atom-atom dan bahan-bahan yang tunduk pada perintah-Nya kepada wujud tersebut melalui hukum tentang pemberian rizki, serta Dia menjadikan atom dan bahan tersebut bekerja di dalam maujudat yang dimaksud.


Ya, Sang Maha Kuasa Maha Mutlak memiliki dua jenis pengadaan (ijad), yaitu ibda’ (menciptakan sesuatu dari ketiadaan) dan insya’ (menciptakan sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada). Karena itu, meniadakan sesuatu yang ada dan menciptakan sesuatu yang tidak ada merupakan salah satu hukum-Nya yang paling mudah dan paling gampang. Bahkan itulah hukum-Nya yang bersifat umum dan selalu berlaku.


Karena itu, orang yang mengatakan pada qudrat Tuhan yang dalam satu kali musim semi menciptakan tiga ratus ribu spesies makhluk hidup dengan berbagai bentuk dan ciri dari ketiadaan, bahkan menciptakan seluruh kondisi dan posisinya, selain bagian-bagiannya yang paling kecil, seraya berkata, “Barangkali Dia tak mampu menciptakan sesuatu pun yang tidak ada,” tentu telah menjerumuskan dirinya sendiri ke ketiadaan.


Berbeda halnya dengan orang yang melepaskan diri dari faham naturalisme dan beralih kepada hakikat, tentu dia akan mengatakan, “Saya bersyukur kepada Allah Yang Maha Suci dan memuji-Nya sebanyak-banyaknya, saya menyanjung-Nya sebanyak bilangan atom, karena saya telah meraih kesempurnaan iman, telah terlepas dari dugaan-dugaan waham dan kesesatan, dan sudah tak tersisa satu pun keraguan dalam diri saya.”


235. Page

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰي دينِ الْأِسْلاَمِ وَ كَمَالِ الْأيمَانِ

Segala puji bagi Allah atas karunia agama Islam dan kesempurnaan iman

 

سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ

“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)