LAMA'AT KEEMPAT

20. Page

LAMAAT KEEMPAT

Manhaj as-Sunnah

Kami berpendapat untuk menyebut lama’at ini sebagai “Manhaj Sunnah.”

Meskipun persoalan “imamah” merupakan masalah furu’iyah, namun perhatian yang diberikan padanya besar sekali, yang membuatnya (dimasukkan) ke dalam lingkup persoalan keimanan. Maka, ia pun menjadi topik kajian Ilmu kalam dan Ushuluddin, dan ia juga berkorelasi dengan dakwah utama kita terkait al-Qur’an dan keimanan. Karena itu, kita perlu membahasnya secara singkat.


لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (Qs. al-Taubah [9]: 128-129)

قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ ۗ وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُۥ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ شَكُور

“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Qs. al-Syura )23 :]42


Ayat-ayat di atas memiliki banyak sekali hakikat dan di sini kami akan menunjukkan hakikat itu dengan dua makam. 


Maqam Pertama

Ia terdiri dari empat nuktah.


Nuktah Pertama:

Ayat di atas menggambarkan kesempurnaan sifat kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya. Ya, ada beberapa riwayat sahih yang menjelaskan kemurahan hati danJkasih sayang beliau yang sempurna kepada umatnya. Contohnya ketika seluruh manusia dibangkitkan nanti, beliau menyeru dan berkata; “Umatku, umatku,”[1] ketika itu setiap orang, bahkan para Nabi sekalipun berkata, “Diriku, diriku” karena begitu mengerikannya (kondisi) Padang Mahsyar. Demikian pula ibunda beliau juga telah mendengar di saat kelahiran beliau bahwa beliau berkata dalam munajat-munajatnya, “Umatku, umatku,” sebagaimana dibenarkan oleh para ahli mukasyafah (para waliyullah).


[1] Tentang hal ini disebutkan dalam sejumlah hadits. Di antaranya, riwayat al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, hadits nomor 6956; Shahih Muslim, hadits nomor 301, 286, 287; dan Shahih Ahmad, hadits nomor 2415, 2560, 9250.




21. Page

Kemudian, sejarah hidup mulia beliau secara keseluruhan, serta akhlak-akhlak mulia yang beliau sebarkan, itu memperlihatkan kesempurnaan kemurahan hati dan kasih sayang beliau. Selain itu beliau memperlihatkan kasih sayang yang begitu besar terhadap ummatnya dengan menampakkan rasa butuh beliau yang tak terhingga terhadap kiriman sholawat dari ummatnya. Maka, sikap berpaling dari sunnah beliau yang mulia betul-betul merupakan satu bentuk kekufuran yang sangat besar, bahkan hal itu menjadi indikasi atas matinya hati nurani seseorang.

 

Nuktah Kedua:

Rasulullah SAW telah memperlihatkan kasih sayang beliau yang besar terhadap sebagian sosok istimewa yang (jumlahnya) sedikit dalam tugas nubuwah yang umum menyeluruh. Pemberian kasih sayang yang besar dari beliau kepada sosok tertentu sebagai wakilnya bertujuan untuk melanjutkan tugas besar yang terkait dengan misi kenabian. Karena itu, beliau memberikan perhatian besar terhadap para wakil ini dalam rangkaian misinya. Meskipun tidak sesuai dengan urgensi besar tugas nubuwah menurut pandangan lahiriah, namun para sosok tersebut pada hakikatnya merupakan sisi bagian dari rangkaian yang mungkin bisa menjadi inti tugas nubuwah yang menyeluruh, serta menjadi para wakil pelaksananya.


Sebagai contoh: Sesungguhnya apa yang diperlihatkan Rasul mulia SAW, yang berupa kasih sayang dan perhatian besar kepada Hasan dan Husain saat mereka masih kecil, bukan semata cinta yang tumbuh dari kasih sayang secara naluri dan dari perasaan kekerabatan saja, namun karena keduanya merupakan sisi bagian dari benang cahaya tugas nubuwah, sumber bagi pewarisan nubuwah dan bagi jamaah yang penting sekali, serta sebagai pelaksana dan indeks bagi (nubuwah).


Ya, Rasulullah telah meletakkan Hasan di pelukan beliau dengan penuh kasih sayang, dan mencium kepalanya, demi kepentingan yang banyak sebagai sosok yang merupakan pewaris nubuwah, pemikul syariat Muhammad, dan orang-orang yang menyerupai (Imam) Mahdi seperti Ghauts A’dzam Syaikh (Abd al-Qadir) Jailani, yang termasuk bagian dari keturunan penuh berkah dan bersinar yang berasal dari Hasan a.s Dengan pandangan nubuwah, beliau menyaksikan dan memberikan penghargaan karena orang-orang ini akan menunaikan tugas yang suci di masa depan.  Maka beliau pun berbaik hati dan memuliakan mereka. Beliau mencium kepala Hasan sebagai pertanda penghormatan dan dorongan untuk itu. Beliau juga mencium leher Husain r.a, dengan menunjukkan kasih sayang yang sempurna dan perhatian penuh kepadanya demi kepentingan Islam dan tugas risalah, juga demi kepentingan banyak sosok seperti (Imam) Mahdi, seperti Zain al-Abidin, Ja’far al-Shadiq a, yang berasal dari ahlul bait, serta para pewaris nubuwah yang hakiki.


Ya, sungguh hati Rasulullah bisa menembus ke alam gaib. Pandangan beliau yang bercahaya, juga penglihatan beliau bisa melihat masa depan dari masa kehidupannya sampai padang mahsyar. Dari bumi, beliau juga bisa melihat surga dan menyaksikan malaikat yang ada di langit. (Pandangan) beliau bisa melihat kejadian-kejadian yang tersembunyi di kegelapan masa lalu, sejak Adam a.s. bahkan penglihaan beliau bisa menyaksikan Allah taala.


Karena itu semua, tentu saja bahwa pandangan bersinar dan mendalam Rasulullah juga pasti sudah menerawan para imam dan pemimpin, para pewaris nubuwah, dan imam mahdi dari keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husain a. Karena itulah Beliau mencium kepala Hasan dan Husain atas nama mereka semua. Ya, dalam ciuman beliau terhadap Hasan r.a terdapat peran besar untuk Syaikh (Abdul Qadir) Jailani.


22. Page

Nuktah Ketiga

(kecuali kasih sayang terhadap keluarga) اِلَّأ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبٰي menurut suatu pendapat makna dari firman Allah di atas adalah bahwa Rasulullah SAW tidak meminta upah dalam misi menunaikan tugas risalah kecuali (pemberian) kasih sayang (mawaddah) dan kecintaan (mahabbah) terhadap ahlul bait.


Jika dikatakan: Tampaknya bahwa diperbolehkan pemberian upah yang bersumber dari kedekatan keturunan, sesuai makna ayat tersebut. Tugas risalah tegak atas kedekatan seorang hamba kepada Allah, bukan atas kedekatan keluarga berdasarkan ayat dibawah:


إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa dari kamu (Qs. al-Hujurat [49]: 13).


Jawabannya adalah dengan pandangan beliau yang dapat menembus (alam) gaib, Rasulullah telah melihat bahwa ahlul bait beliau kelak akan menjadi seperti pohon yang bercahaya di dunia Islam, dzat dzat yang akan menunaikan tugas sebagai mursyid dan petunjuk untuk kesempurnaan manusia di seluruh dunia islam, kebanyakan berasal dari ahlul bait.


Beliau mengungkapkan bahwa doa umat untuk ahlul bait (yang dibaca) dalam tasyahhud adalah mustajab:


للَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ


Ya Allah! Limpahkanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.


Yakni, sebagaimana kebanyakan besar para mursyid dalam ummat İbrahim itu terdiri dari para Nabi yang berasal dari keturunan dan keluarga nabi İbrahim. Maka demikian pula dalam ummat muhammad pun kebanyakan besar para pemimpin dari tarikat dan aliran, mereka menunaikan tugas-tugas besar keislaman seperti tugas-tugas nabi bani İsrail.


قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ


“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga.” (Qs. al-Syura: 23)


Beliau meminta dari umat beliau untuk ber-kasih sayang kepada ahlul bait. Beliau bersabda dalam banyak riwayat, yang menegaskan hakikat ini:



يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا: كتاب الله وعترتي أهل بيتي


 “Wahai seluruh umat manusia! Sungguh, aku tinggalkan sesuatu di antara kalian, jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu: Kitab Allah dan keturunanku, ahlul baitku.”[1]


[1] Hadits dengan lafazh ini diriwayatkan al-Tirmidzi, nomor 3718; Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 2614; dan al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 4913. Dengan lafazh yang berbeda, hadits itu diriwayatkan Abu Ya’la dalam Musnadnya, hadits nomor 1102; Hakim dalam al-Mustadrak, hadits nomor 4553;al-Nasa`i dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 8464; Imam Ahmad dalam Musnad, hadits nomor 10779 dan 11135; serta Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 4789, 4780.



23. Page

Sebab, ahlul bait adalah mereka yang merupakan sumber sunnah saniyyah (mulia), yang menjaganya, dan yang dibebani tugas untuk sepenuhnya berkomitmen padanya secara total. Maka berdasarkan rahasia ini, telah dijelaskan (adanya kewajiban) mengikuti Kitab (al-Qur’an) dan Sunnah, melalui hakikat hadits ini. Jadi, yang beliau maksud dengan ahlul bait dari sisi tugas risalah adalah (mengikuti) sunnah Nabi. Maka, orang yang meninggalkan sunnah saniyyah tidak diakui sebagai ahlul bait dan bukan termasuk sahabatnya.


Rahasia di balik keinginan Rasulullah SAW untuk mengumpulkan seluruh umatnya di sekitar ahlul bait ialah bahwa: Atas izin Allah, beliau mengetahui bahwa ahlul bait akan menjadi banyak sekali jumlahnya seiring perjalanan waktu dan menyadari, kelemahan kelak akan menimpa kaum muslimin. Jadi, dia memikirkan perlu ada jamaah yang saling membantu, kuat, dan (jumlah mereka) banyak sekali, sehingga ia menjadi wasilah dan pusat bagi kemajuan dunia Islam secara maknawi. Maka beliau berkeinginan menyatukan umat beliau di sekitar ahlul bait.


Ahlul bait dari segi akidah dan keimanan tidak lebih maju dari orang-orang beriman lainnya, tapi dari segi penyerahan, berkomitmen dan loyalitas mereka sangat unggul. Ya. Individu-individu ahlul bait, meskipun tidak lebih maju dari selain mereka dalam hal akidah dan keimanan, namun mereka adalah orang-orang yang lebih dulu dalam penyerahan diri (istislam), komitmen (iltizam) dan loyalitas (wala’) pada kebenaran Islam dan keimanan. Sebab, mereka bersikap loyal terhadap Islam secara fitrah karena watak bawaan mereka. Dan loyalitas alamiah ini, tidak pernah hilang walaupun lemah, tidak populer dan bathil.


Lantas bagaimana dengan orang yang secara otomatis merasakan kokohnya loyalitas hakiki yang, dengan (loyalitas) ini, seluruh silsilah nenek moyangnya menjadi terikat (dengan ikatan) yang begitu kuat, kokoh, mulia, dan yang dengannya membuat mereka terhormat, (bahkan) mereka rela mengorbankan nyawa dan kehormatan mereka demi (loyalitas) ini, apakah loyalitas mereka ini patut ditinggalkan begitu saja? 


Karena adanya komitmen yang sangat kuat terhadap islam, ahlul bait secara fitrah menerima petunjuk-petunjuk sekecil apa pun sebagai bukti paling kuat. Sebab, mereka memang sudah memiliki loyalitas terhadap islam berdasarkan fitrah. Adapun orang selain mereka, itu baru mau berkomitmen setelah mendapatkan suatu bukti yang kuat.


Nuktah Keempat:

Terkait dengan nuktas ke-tiga Kami akan menyinggung dengan petunjuk singkat tentang masalah yang menjadi inti perselisihan antara Syiah dan Ahlussunnah wal Jamaah, yang dibesar-besarkan hingga sampai dimasukkan ke buku-buku akidah dan diperhitungkan sebagai dasar keimanan. 


Masalah tersebut adalah sebagai berikut:


Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat: Bahwa Sayidina Ali r.a adalah khalifah ke-empat dari Khulafa’ Rasyidun, dan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq adalah khalifah yang paling utama di antara mereka dan paling berhak atas khilafah, sehingga dialah yang pertama menjabatnya.


24. Page

Adapun Syiah, mereka berpendapat: “Bahwa hak (khilafah) itu) milik Sayidina Ali r.a, hanya saja ia didzalimi. Dialah (Ali r.a) yang paling utama di antara semua khalifah yang ada”. Berikut ringkasan apa yang mereka jadikan argumen atas klaim mereka:


Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits Nabi yang terkait Sayidina Ali r.a, kedudukannya sebagai rujukan bagi sebagian besar wali dan tarekat, kedudukannya sebagai Sultan Kewalian, sifat-sifatnya yang luar biasa dalam ilmu, keberanian, dan ibadah, serta kuatnya perhatian nabi kepadanya dan dengan ahlul bait yang berasal dari keturunannya, semua itu menunjukkan bahwa Ali adalah yang paling utama, dan bahwa khilafah termasuk haknya, namun kemudian dirampas darinya.


Jawaban: Pernyataan Sayidina Ali r.a yang disampaikannya berkali-kali mengenai keutamaan para Khalifah Rasyidun yang tiga, kepatuhannya terhadap tiga khalifah selama lebih dua puluh tahun, serta pengangkatan dirinya menjabat sebagai Syaikhul Islam pada masa mereka, semua itu membantah klaim kalangan Syiah tersebut.


Selanjutnya, penaklukan dan jihad melawan musuh di masa kekhilafahan ketiga khalifah, serta kejadian-kejadian yang berlangsung pada masa Sayyidina Ali r.a, juga membantah klaim Syiah mengenai khilafah Islamiyah. Artinya, klaim Ahlussunnah wal Jamaah adalah benar.


Jika dikatakan, Syiah terbagi dua golongan, pertama Syiah Wilayah (Syi’ah al-Wilayah, Kewalian) dan kedua Syiah Khilafah (Syi’ah al-Khilafah, Kekhilafahan), maka kita akui bahwa golongan yang kedua, tidak benar disebabkan kedengkian, kebencian, dan politik. Tetapi pada golongan pertama tidak ada politik, kedengkian atau kebencian, namun pada hakikatnya Syiah Wilayah telah bergabung dengan Syiah Khilafah. Yakni, sebagian wali di tarekat-tarekat sufi yang berpendapat bahwa Sayidina Ali r.a adalah yang paling mulia. Mereka membenarkan klaim Syiah Khilafah yang memasuki wilayah politik


Jawaban: Pandangan terhadap Sayidina Ali r.a hendaknya dilihat dari dua aspek.


Aspek pertama, Sisi kepribadian beliau yang sempurna dan kedudukannya yang tinggi.


Aspek kedua, Sisi keberadaan beliau sebagai perwakilan sosok ahlul bait. Tentu saja sebagai sosok ahlul bait, maka dia menunjukkan substansi Rasulullah. 


(Dilihat) dari aspek pertama, sesungguhnya seluruh ahli hakikat termasuk Sayidina Ali r.a sendiri yang berada di barisan depan, lebih mengutamakan Sayidina Abu Bakar r.a dan Sayidina Umar a. Mereka memandang kedudukan keduanya lebih tinggi dan lebih luhur dalam pengabdian mereka terhadap Islam dan kedekatan mereka kepada Allah.



Sementara (dilihat) dari aspek kedua, Sayidina Ali r.a merupakan perwakilan dari ahlul bait. Dan ahlul bait adalah mencerminkan hakikat Nabi Muhammad SAW dari segi ini tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Dan terdapat Hadits-hadits Nabi yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Sayidina Ali a disertai pujian, sanjungan, dan penghargaan tinggi, merujuk pada aspek kedua ini. Terdapat sebuah (hadits) riwayat shahih yang menegaskan hakikat ini, yaitu bahwa Rasulullah bersabda: “Keturunan setiap nabi berasal darinya, sementara keturunanku berasal dari Ali.”[1]


[1] HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir:

ان نسل كل نبي منه ،و أنا نسلي من علي

 Teks hadits seperti ini, “Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan keturunan setiap nabi dari tulang punggungnya (Adam), namun Allah menjadikan keturunanku dari tulang punggung Ali bin Abi Thalib” (hadits nomor 2564). Terdapat sejumlah riwayat lain yang memperkuat hadits ini. Di antaranya, riwayat Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, “Setiap nabi itu (seperti) wanita, karena keturunan lelaki (nasabnya dihubungan pada) ayah mereka, kecuali anak-anak Fathimah, karena akulah ‘ashabah mereka, akulah ayah mereka.”




25. Page

Rahasia di balik penyebaran hadits-hadits terkait Sayidina Ali r.a dan pujian padanya, jumlahnya lebih banyak dari para khalifah yang lain adalah: ahlul haq –mereka ini adalah Ahlussunnah wal Jamaah– menyebarluaskan riwayat- riwayat (hadits) terkait Sayidina Ali a yang jumlahnya banyak untuk menghadapi serangan dan kedzaliman dari kalangan Bani Umayah dan kaum Khawarij. Sedangkan selain Khalifah ar-Rasyidun, mereka tidak banyak mendapat celaan dan hinaan seperti Ali. Karena itu, tidak ada urgensi untuk menyebarkan hadits-hadits tentang mereka.


Kemudian, melalui pandangan kenabian, Rasulullah telah mengetahui bahwa Sayidina Ali akan mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan dan fitnah internal di masa mendatang. Maka beliau menghiburnya dan membimbing umat melalui hadits- hadits penting, seperti hadits:

 مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ

“Siapa yang menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali juga wa- linya.”


Hal ini untuk menolong Ali dari keputusasaan serta menyelamatkan ummat ini supaya jangan sampai memiliki prasangka buruk terhadapnya. 


Sesungguhnya kecintaan berlebihan Syiah Wilayah terhadap Sayidina Ali r.a dan sikap mereka yang mengutamakan Ali dari orang lain dari sisi tarekat, tidak membuat mereka bertanggung jawab seperti Syiah Khilafah. Sebab, para pengikut (Syiah) Wilayah selalu memandang guru mursyid mereka dengan pandangan cinta murni sesuai aliran mereka. Dan tanda-tanda cinta, ialah melebih-lebihkan. Orang yang mencintai cenderung melihat kekasihnya lebih tinggi dari posisinya sebenarnya, dan dia pun tentu melihatnya demikian. Kadang-kadang ahl al-hal (para sufi) dapat ditolerir dalam cinta dan sikap ekstrem (cinta mereka), namun dengan syarat hendaknya pengutamaan mereka yang timbul dari cinta itu tidak mendorong mereka untuk mencela dan memusuhi Khulafa’ Rasyidun, serta hendaknya engkau tidak keluar dari lingkup rukun Islam.


Adapun Syiah Khilafah, tujuan-tujuan politis telah merasuk ke diri mereka. Karena itulah mereka tidak bisa menghindari diri dari kedengkian, kebencian dan mereka pun tidak berhak untuk dimaafkan. Karena, orang-orang Persia merasa disakiti dengan kekhilafahan Umar r.a, mereka memperlihatkan pembalasan dendam terhadap Umar dalam bentuk “cinta terhadap Ali” dengan membenarkan ungkapan,


لاَلِحُبِّ عَلِيٍّ بَلْ لِبُغْضِ عُمَرَ

 (Bukan untuk mencintai Ali, tapi semata untuk membenci Umar).


Demikian pula halnya, pemberontakan ‘Amr bin Ash terhadap Sayidina Ali a, dan perang (yang dilancarkan) Umar bin Sa’ad terhadap Sayidina Husain secara mengerikan, telah melahirkan kebencian dan permusuhan hebat dari Syiah terhadap nama yang berbau “Umar.”


26. Page

Adapun Syiah Wilayah, mereka tak punya hak untuk mengkritik Ahlussunnah wal Jamaah, karena Ahlussunnah sama sekali tidak mencela Sayidina Ali r.a atau pun merendahkannya. Mereka justru mencintainya dengan semestinya, namun mereka pun menghindari diri dari cinta berlebihan yang dianggap berbahaya oleh hadits. Pujian Nabi yang muncul dalam sejumlah hadits mengenai pengikut Ali sesungguhnya merujuk pada Ahlussunnah. Sebab, pengikut Ali yang benar adalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang merupakan ahl al-Haq dan mencintainya dengan cinta yang istiqamah. Disebutkan dalam hadits shahih bahwa cinta berlebihan terhadap Sayidina Ali r.a itu berbahaya, seperti bahaya yang menimpa kaum Nasrani[1] ketika mereka berlebihan dalam mencintai nabi Isa a.s. 

Apabila Syiah Wilayah berpendapat: “Sesudah menerima keutamaan Ali r.a yang luar biasa dan agung, serta mengakuinya, maka tidak mungkin bagi kita untuk lebih mengutamakan Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq r.a.”


Maka jawabannya: Jika keutamaan pribadi Sayidina Abu Bakar dan Umar juga kesempurnaan mereka selama menjabat khalifah untuk menjalankan tugas sebagai pewaris nubuwah diletakkan dalam sebuah sisi timbangan, selanjutnya di sisi timbangan yang lain diletakkan keutamaan pribadi Sayidina Ali r.a yang luar biasa, termasuk ketika beliau menjabat khalifah, perjuangannya menghadapi peperangan internal dan fitnah yang menimbulkan banyak prasangka buruk, maka tak diragukan lagi bahwa sisi timbangan Sayidina (Abu Bakar) al-Shiddiq, Umar, atau Sayidina Utsman, pasti akan lebih berat. Dan Ahlussunnah telah berpandangan demikian, dan mereka pun lebih mengutamakan mereka dari Ali.


Selanjutnya, derajat nubuwah lebih tinggi dan lebih luhur dari derajat kewalian (wilayah), sampai-sampai satu dirham nubuwah lebih mulia dari satu rithel kewalian, seperti sudah ditegaskan dalam “Kalimat ke-12” dan “Kalimat ke- 24.” Berdasarkan sudut pandang ini, bagian yang diterima oleh abu bakar dan umar r.a sebagai pewaris kenabian dan pembangunan basis hukum-hukum risalah, lebih besar dan menjadi bukti keutaman mereka ketika menjabat sebagai khalifah.  Keutamaan pribadi Sayidina Ali tak dapat menjatuhkan keutamaan mereka sebagai pewaris nubuwah. Oleh karena itu, dia telah menjadi Syaikh al-Islam di era kekhilafahan kedua Syeikh yang dimuliakan (Abu bakar dan Umar), serta menghormati keduanya.


Ahl al-haq dan Ahlussunnah wal Jamaah mencintai Sayidina Ali r.a, serta menghormati dan menghargainya, bagaimana mungkin mereka tidak mencintai dan menghargai kedua Syeikh yang dicintai dan dihormati oleh Sayidina Ali ?


Kami akan memperjelas hakikat ini dengan sebuah contoh:



Dari warisan seorang (ayah) yang kaya, duapuluh kilo perak dan empat kilo emas diberikan kepada salah seorang anaknya. Anak kedua diberi lima kilo perak dan lima kilo emas. Anak ketiga diberi tiga kilo perak dan lima kilo emas. Meski kedua anak terakhir mengambil bagian

[1] Hadits yang dimaksud diriwayatkan dari Ali, ia berkata, “Nabi S.a.w ber­sabda kepadaku, ‘Dalam dirimu ada contoh seperti Isa yang dibenci Yahudi, hingga mereka mengatakan kebohongan pada ibunya, namun dicintai kaum Nasrani, hingga mereka tempatkan di kedudukan yang tidak sebenarnya.’ Setelah itu Ali berkata, ‘Ada dua orang (golongan) yang binasa karenaku; orang yang memujiku secara tidak benar, dan membenciku (dengan kebencian yang) mendorongnya untuk berdusta terhadapku’.” HR. Imam Ahmad, hadits nomor 1305, 1306, juga diriwayatkan Abu Ya’la dengan teks hadits berbeda dalam musnadnya, hadits nomor 511.

عن علي رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلعم: يا علي فيك مثل من عيسي ابغضته اليهود حتي بهتوا أمه واحبته النصاري حتي أنزلوه المنزل الذي ليس له .وقال علي: يهلك في رجلان مفرط في حبي و مفرط في بغضي




27. Page

yang lebih kecil dari sisi kuantitas, namun keduanya mendapatkan bagian lebih banyak dari sisi kualitas.


Sebagaimana contoh di atas, maka meskipun sedikit kelebihan bagian yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar yang berupa emas hakikat kedekatan İlahi yang termanifestasi dari pewarisan nubuwah dan penegakan hukum-hukum risalah, itu lebih berat bahkan mengalahkan banyak kesempurnaan, kewalian, dan kedekatan yang dimiliki oleh Ali. Maka hendaknya poin-poin ini harus diperhatikan saat membuat perbandingan. Namun jika perbandingan itu hanya mengacu pada sisi keberanian, ilmu, dan kewalian pribadi, tentu gambaran hakikat tersebut akan berubah.


Selanjutnya, sebagai cerminan sosok ahlul bait yang terlihat dalam kepribadiannya, dari aspek pewarisan nubuwah, makam Ali tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Sebab rahasia agung yang dimiliki oleh Rasulullah ada pada sisi ini. 


Adapun Syiah Khilafah, mereka seharusnya malu di hadapan Ahlussunnah wal Jamaah. Sebab, meskipun mereka mengklaim berlebihan dalam mencintai Sayyidina Ali r.a, sebenarnya mereka merendahkannya. Menurut madzhab mereka bahwa (Ali) digambarkan dengan akhlak buruk. mereka mengatakan bahwa Sayidina Ali r.a selalu mendampingi Abu Bakar al- Shiddiq dan Sayidina Umar r.a meskipun keduanya salah. Ali selalu menjaga diri dari sesuatu yang ia takuti dari keduanya. Sikap inilah yang menurut istilah syiah “ Taqiyah”. Artinya, dia takut pada keduanya ( Abu Bakar dan Umar), serta senantiasa bersikap riya terhadap keduanya.


Sesungguhnya penjelasan tentang pahlawan Islam yang mendapat gelar “Singa Allah” seperti Ali ini, yang merupakan pemimpin para shiddiqun dan mursyid mereka, penjelasan bahwa Ali adalah seorang penakut, berpura-pura mencintai yang tak dicintainya, bergaul dengan mereka secara taqiyyah di bawah pengaruh rasa takut selama lebih dari dua puluh tahun, serta rela mengikuti orang-orang zalim, maka perlu saya katakan bahwa penjelasan dan deskripsi tentang Ali ini bukanlah bagian dari cinta. Malah Sayyidina Ali r.a sendiri bebas dari kecintaan yang seperti ini. 


Madzhab ahl al-haq  sama sekali tidak pernah merendahkan perihal Sayyidina Ali dari aspek mana pun. Tinidak pernah menuduhnya berakhlak buruk, serta tidak pernah menggambarkan sang pahlawan pemberani itu sebagai penakut.. Mereka mengatakan ”seandainya (Ali) tidak melihat kebenaran pada Khalifah Rasyidun, tentu dia tidak akan mematuhi mereka semenit pun. Artinya, (Ali) memandang bahwa mereka berada dalam kebenaran, dan bahwa mereka lebih mulia, sehingga dia mau menyerahkan ghirah dan keberaniannya di jalan kebenaran.


Kesimpulan: Sesungguhnya bersikap ekstrem dan berlebihan dalam hal apapun tidaklah baik. Dan istiqamah (sikap moderasi) adalah sikap pertengahan yang dipilih oleh ahlusunnnah wal jamaah. Tetapi, sangat disayangkan, beberapa pemikiran seperti Khawarij dan wahabi atas nama Ahlussunnah wal Jamaah, serta para politis dan sebagian kalangan atheis mengkritik Sayidina Ali a. Mereka mengatakan bahwa Sayidina Ali tidak bisa layak sepenuhnya untuk menunaikan tugas kekhilafahan, dan tidak mampu memerintah, karena tidak mengerti politik. Tuduhan bathil semacam ini memunculkan kemarahan dan kebencian kalangan syiah terhadap ahlu sunnah wal jamaah.



Padahal, sebenarnya prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dan asas-asas madzhab mereka tidak menuntut pemikiran tersebut, malah justru menegaskan yang sebaliknya. Karena itu, tak mungkin Ahlussunnah dituduh memiliki pemikiran-pemikiran yang bersumber dari Khawarij dan orang-orang atheis seperti ini. Bahkan, Ahlussunnah justru membela Sayidina Ali r.a lebih banyak dari Syiah. Mereka menyebut-nyebut Ali r.a dalam semua khutbah dan doa mereka 

28. Page

disertai pujian yang memang layak baginya. Apalagi para wali dan sufi yang mayoritas mutlak menganut madzhab Ahlussunnah wal Jamaah, mereka menganggapnya sebagai mursyid dan pemimpin bagi para wali.


Syiah tidak sepatutnya menciptakan sikap permusuhan terhadap ahl al-haq, dengan meninggalkan Khawarij dan kaum atheis yang berhak dimusuhi oleh Syiah dan Ahlussunnah secara bersama-sama. Sampai-sampai ada sebagian kalangan Alawiyah meninggalkan sunnah karena memusuhi Ahlussunnah. Bagaimanapun, masalah ini sudah banyak kami bahas, sebab hal itu merupakan tema bahasan yang luas di antara para ulama.


Wahai Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ahl al-haq; wahai kaum Alawiyah yang menjadikan kecintaan terhadap ahlul bait sebagai aliran kalian! Hilangkan segera pertikaian batil yang berbahaya, sia-sia, dan tak berarti ini. Jika tidak, kaum kafir yang berkuasa di masa sekarang akan memanfaatkan salah satu dari kalian berdua dan menggunakannya sebagai alat untuk melawan yang lain hingga berhasil menghancurkannya. Setelah salah satu dari kalian kalah, maka pihak yang diperalat itu pun akan binasa. 


Hendaknya kalian tinggalkan masalah-masalah parsial yang mendorong pada perpecahan, karena kalian adalah ahli tauhid, dan di antara kalian terdapat ratusan ikatan suci dan kokoh yang mengharuskan adanya persaudaraan (ukhuwwah) dan persatuan (ittihad).


Maqam Kedua

Makam ini menjadi lemaat ke sebelas dengan membahas hakikat kedua dari ayat berikut:


فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cu- kuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (Qs. al-Taubah [9]: 129).

 


10 Maqam ini merupakan isi “Kilauan Kesebelas,” yang sudah ditulis secara tersendiri. (Penulis)