NAVIGATION
110. Page
LAMA'AT KEEMPAT BELAS
Penjelasan tentang Dua Maqam
Maqam Pertama
Jawaban Atas Dua Pertanyaan
بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ
Dengan Nama-Nya Yang Maha Suci
Saudaraku yang tulus dan terhormat, Sayid Ra’fat!
Sudah disebutkan jawaban terhadap pertanyaan Anda tentang ‘sapi jantan’ dan ‘ikan paus’ di sebagian Risalah al-Nur. Sudah dijelaskan pula “dua belas kaidah” penting di bawah judul “Dua Belas Asas” yang ada dalam “Ranting Ketiga” dari “Kalimat ke-24” sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Kaidah-kaidah itu membantah berbagai penakwilan yang berbeda-beda seputar hadits-hadits Nabi, juga sebagai asas penting yang menangkal segala waham yang menimpa hadits-hadits mulia.
Namun, sayang sekali saat ini terdapat sejumlah hal yang menghalangi saya untuk menggeluti masalah-masalah ilmiah, terkecuali hanya lintasan-lintasan fikiran. Karena itu, saya tidak bisa menjawab pertanyaan Anda sebagaimana mestinya. Jika ada lintasan-lintasan kalbu, tentu saya akan memaksanakan diri untuk menggelutinya, dan akan diberikan jawaban terhadap sebagian pertanyaan karena kesesuaiannya dengan lintasan kalbu tersebut. Maka hendaknya Anda tidak berkecil hati dan tidak marah pada saya, sehingga saya tidak bisa menjawab seluruh pertanyaan Anda secara memuaskan. Namun, biarkan saya menjawab pertanyaan Anda kali ini secara singkat.
Anda menyebut dalam pertanyaan itu:
Bahwa para guru agama menyatakan, bumi ini ditopang oleh sapi jantan (tsaur) dan ikan paus (hout). Padahal, ilmu astronomi berpendapat, bumi ini beredar di angkasa laksana bintang. Tidak ada sapi atau pun ikan paus di sana?
Jawaban: Terdapat riwayat shahih yang sanadnya tersambung ke Ibnu Abbas r.a dan lainnya, yang menyebutkan bahwa (para sahabat) bertanya kepada Rasul S.a.w, “Bumi ini ditopang oleh apa?” Beliau menjawab, “Oleh sapi jantan dan ikan paus.”[1] Dalam riwayat lain beliau berkata sekali lagi, “Oleh sapi jantan,” dan di riwayat lain lagi beliau berkata, “Oleh ikan
[1] Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak, hadits nomor 8756; diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Sungguh, bumi ini (terdiri dari) beberapa tingkat. Setiap (lapis) bumi ke (lapis) bumi lainnya terbentang jarak (perjalanan) 500 tahun, bagian atasnya berada di atas punggung ikan paus dengan kedua ujung yang menyentuh langit. Ikan paus berada di punggung batu, dan batu berada di tangan seorang malaikat, sementara malaikat lainnya bertugas memegang angin. Saat Allah berkehendak untuk membinasakan kaum ‘Ad, Allah memerintahkan malaikat pemegang angin untuk mengirimkan angin yang membinasakan ‘Ad. Malaikat berkata, ‘Ya Rabb, aku akan mengirimkan angin seukuran hidung kerbau kepada mereka.’ Allah S.w.t Yang Maha Perkasa berfirman, ‘Kalau begitu kau akan menghancurkan bumi dan semua yang ada di atasnya. Tapi kirimkan seukuran cincin saja.’ Inilah yang Allah 'Azza wa Jalla firmankan dalam kitab-Nya, ‘Angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk.” (Qs. al-Dzariyat: 42) Baca: Kanzal-‘Ummal (VI/61), hadits nomor 15216, al-Targhib waal-Tarhib, Al-Mundziri (IV/257) hadits nomor 5578.
111. Page
paus.” Sebagian ahli hadits telah menjatuhkan hadits ini (ke klasifikasi) hikayat khurafat dari cerita-cerita Israiliyat dan telah dinukil sejak dulu kala, apalagi ketika banyak ulama Bani Israil masuk Islam. Mereka telah menyesuaikan apa yang mereka temukan dalam kitab-kitab kuno, yang berupa kisah tentang sapi jantan dan ikan paus, dengan hadits. Mereka pun mengubah makna hadits dengan suatu pengertian aneh.
Sekarang kami akan sebutkan “tiga asas” dan “tiga aspek” secara sangat global seputar pertanyaan Anda.
Asas pertama: Sekelompok ulama Bani Israil telah masuk Islam. Bersamaan dengan mereka, pengetahuan mereka sebelumnya juga ikut masuk Islam dan dikait-kaitkan dengan Islam. Hanya saja pengetahuan mereka terdahulu itu mengandung banyak kekeliruan. Kesalahan-kesalahan ini tak syak lagi mengacu pada mereka, bukan pada Islam.
Asas kedua: Ketika perumpamaan dan kiasan berpindah dari orang khawas ke orang awam, yakni setiap kali ia beralih dari tangan orang terpelajar ke tangan orang bodoh, seiring perjalanan waktu ia akan dianggap sebagai hakikat kebenaran.
Contohnya, terjadi gerhana bulan saat saya masih kecil. Saya bertanya pada ibu, “Mengapa bulan bisa begitu?” Ibu menjawab, bulan dimakan ular. “Tapi mengapa ia masih terlihat?” tanya saya. Beliau pun menjawab, “Ular-ular di langit itu seperti kaca, sehingga apa yang ada di perutnya bisa terlihat.” Saya lalu mengingat-ingat peristiwa yang sering terjadi pada masa kecil saya itu. Saya pun berkata dan berfikir, “Bagaimana khurafat salah yang tak berdasar itu bisa menyebar di mulut banyak orang seperti ibu saya yang bijak dan mulia?” Bahkan ketika saya mempelajari ilmu astronomi, saya melihat orang-orang yang berpendapat seperti apa yang dikatakan ibu itu telah menganggap perumpamaan sebagai realitas. Sebab, garis edar besar yang mereka sebut zodiak, yang tidak lain merupakan garis orbit matahari, serta garis edar bulan yang merupakan garis orbit bulan, telah bertumpuk satu sama lain, sehingga masing-masing dari kedua garis orbit ini memiliki bentuk seperti busur panah. Para ahli astronomi menyebut titik temu keduanya dengan bahasa kiasan lembut “dua ular naga.” Mereka menyebut salah satu titiknya sebagai kepala, sementara yang satunya lagi disebut ekor. Ketika bulan sampai ke kepala, sementara matahari sampai ke ekor, terjadilah “tumpukan bumi” seperti yang diistilahkan para ahli astronomi, yakni bumi tepat berada di tengah-tengah di antara keduanya, maka ketika itulah terjadi gerhana bulan, sehingga dikatakan bulan telah masuk ke mulut ular seperti pada perumpamaan sebelumnya. Perumpamaan ilmiah tingkat tinggi ini, ketika menyebar ke kalangan awam, seiring perjalanan waktu akan berubah bentuk menjadi dua ular naga yang mencapai bulan. Demikianlah, dua malaikat agung yang dinamai Sapi (الثَّوْرِ) dan Ikan Paus (الْحُوتِ), disebut dengan perumpamaan lembut suci, serta dengan isyarat yang memiliki tujuan dan makna atas nama sapi dan ikan paus. Namun ketika perumpamaan ini berpindah dari lisan nubuwah yang suci dan tinggi ke mulut kalangan awam, maka ia berubah menjadi realitas, sehingga menjadikan kedua malaikat tersebut memiliki bentuk sapi yang besar dan ikan paus yang dahsyat.
Asas ketiga: Sebagaimana al-Qur’an memiliki (ayat-ayat) mutasyabihat dan mengajarkan masalah-masalah yang mendalam sekali untuk kalangan awam melalui perumpamaan dan kiasan, demikian pula hadits memiliki banyak mutasyabihat, di mana ia mengungkap hakekat-hakikat yang sangat mendalam melalui perumpamaan yang lazim dikenal orang.
Contohnya, sebagaimana telah kami sebutkan di sebagian Risalah al-Nur, suatu ketika di majelis Nabi S.a.w terdengar suara gedebuk barang jatuh. Beliau bertanya, “Tahukah kalian
112. Page
(suara) apa ini?” Perawi hadits berkata, “Kami menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui’.” Beliau bersabda, “Ini adalah batu yang dilemparkan ke neraka sejak tujuh puluh musim semi lalu. Ia jatuh ke dalam neraka, sekarang baru sampai ke dasarnya.”[1] Tak lama kemudian, seseorang datang seraya berkata, “Si munafik terkenal yang berumur tujuh puluh tahun itu sudah mati.” Dia mengumumkan tentang sebuah hakikat perumpamaan yang tepat sekali dari Nabi S.a.w.
Kami akan sebutkan “tiga aspek” untuk pertanyaan Anda sekarang:
Aspek Pertama: Allah S.w.t telah menunjuk empat malaikat pemikul Arsy untuk mengawasi Arsy, langit, dan kekuasaan rububiyah-Nya S.w.t. Salah satu nama dari keempatnya adalah Nasr (Elang), dan kedua Tsaur (Sapi).[2] Dia menunjuk dari mereka juga dua malaikat yang bertugas memikul dan mengawasi bola bumi yang merupakan adik bagi langit dan teman bagi bintang-bintang, salah satu nama dari keduanya adalah Tsaur (Sapi), dan yang lainnya Hut (Ikan Paus).
Rahasia di balik penamaan keduanya dengan dua nama itu oleh Allah S.w.t adalah bahwa bumi terdiri dari dua bagian: air dan daratan. Maka (makhluk) yang memanfaatkan air adalah ikan, sementara yang mengolah tanah adalah sapi (tsaur), yang digunakan untuk pertanian yang merupakan sumber kehidupan manusia, serta yang berada di pundak sapi. Mengingat kedua malaikat yang bertugas mengawasi bola bumi merupakan pemimpin dan pengawasnya, tentu saja mereka mempunyai hubungan dengan kelompok ikan dan spesies sapi. Bahkan, Allah yang lebih mengetahui, kedua (malaikat) itu memiliki kesamaan dalam bentuk sapi dan ikan paus di alam malakut dan alam perumpamaan. Sebagai isyarat mengenai kesamaan dan tugas pengawasan (kedua malaikat itu), juga sebagai isyarat mengenai kedua makhluk yang mengawasi bola bumi,[3] maka lisan Nabi yang bayannya penuh mukjizat menyebutkan pada keduanya, “Bumi ditopang oleh sapi dan ikan paus.” Beliau menyampaikan sebuah hakikat yang mendalam dan luas, yang memuat banyak permasalahan (yang mestinya ditulis) sehalaman penuh, (tapi beliau ungkap) dalam satu kalimat yang global dan singkat sekali.
Aspek Kedua: Sebagaimana saat ditanya, “Daulah dan kekuasaan ini ditopang oleh apa?” maka akan dijawab, “Ditopang oleh pedang dan pena,” yakni ia mengandalkan kekuatan pedang tentara dan keberaniannya, pada keadilan dan kecerdasan para pegawainya, demikian pula halnya dengan bumi. Karena bumi merupakan tempat tinggal makhluk hidup, lalu pemuka makhluk hidup itu dan pemimpin mereka adalah manusia, serta karena sebagian besar dari masyarakat pesisir hidup mengandalkan ikan, sementara mereka yang tidak berada di kawasan pesisir hidup mengandalkan hasil tanaman yang mengandalkan sapi, dan salah satu komoditi perdagangan penting mereka adalah ikan, maka tak syak lagi dapat dikatakan.
[1] Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., yang menuturkan, “Suatu ketika, kami bersama Rasulullah S.a.w, tiba-tiba terdengar suara gedebuk. Nabi S.a.w kemudian bertanya, ‘Tahukah kalian (suara) apa ini?’ Ia (Abu Hurairah) berkata, ‘Kami menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Itu adalah sebongkah batu yang dilemparkan ke neraka sejak tujuhpuluh tahun silam. (Batu) itu terus jatuh ke neraka dan kini baru sampai ke dasarnya’.” Baca: Shahih Muslim, hadits nomor 2844; Ibnu Hibban, hadits nomor 7469; Abu Ya’la, hadits nomor 34248; Ibnu Abi Syaibah, hadits nomor 341478.
[2] Baca: Mafatih al-Ghaib (XXX/96), al-Qurthubi (XVII/166) dan al-Durr al-Mantsur (VII/276).
[3] Ya, bola bumi ini merupakan perahu rabbani, yang berlayar di lautan angkasa. Selain itu bumi ibarat ladang untuk negeri akhirat sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits. Yang memimpin dan mengendalikan perahu tersebut adalah malaikat yang bernama al-Huut (ikan). Dan yang mengawasi ladang tersebut dengan izin Tuhan adalah malaikat bernama al-Tsaur (sapi jantan). Dengan demikian, tampak sekali adanya korelasi yang sangat sesuai dalam penamaan tersebut.
113. Page
bahwa bola bumi tegak ditopang oleh ikan paus dan sapi, sebagaimana halnya daulah ditopang oleh pedang dan pena. Sebab, ketika sapi tidak berfungsi, dan ikan tidak mengeluarkan jutaan telur dalam sekali (proses reproduksi), tentu saat itu manusia tidak bisa hidup, kehidupan berakhir, dan Sang Pencipta Maha Bijak akan menghancurkan bumi.
Demikianlah Rasul mulia S.a.w menjawab melalui jawaban yang singkat, penuh mukjizat, luhur dan amat bijak dengan berkata, “Bumi ditopang oleh sapi dan ikan paus.” Dengan dua kata-kata ini, beliau mengajarkan sebuah hakikat luas yang berhubungan dengan sejauh mana kehidupan manusia terkait dengan kehidupan spesies hewan.
Aspek Ketiga: Menurut para ahli astronomi kuno, matahari beredar dan berotasi. Mereka menyebut setiap tigapuluh tingkatan peredaran matahari sebagai rasi (burj). Jika ditarik garis bidang di antara bintang-bintang yang ada dalam rasi-rasi ini, yang satu sama lain saling terkait, akan didapatkan suatu bentuk gambar tertentu. Maka gambar ini akan tampak kadang-kadang berbentuk singa, atau gambar neraca, atau gambar sapi, atau gambar ikan paus. Atas dasar kesamaan inilah, nama-nama itu diberikan kepada rasi tersebut.
Sementara menurut pandangan ilmu astronomi modern, matahari tidak beredar dan berotasi. Rasi-rasi tersebut hanya khayalan dan tanpa fungsi, karena bumilah yang berotasi, sebagai ganti dari matahari.
Jadi, mesti dibentuk garis-garis rotasi berskala kecil pada peredaran bumi setiap tahunnya, menggantikan rasi-rasi khayalan yang sama sekali tak berfungsi itu dan peredaran-peredaran yang tak berfungsi di langit. Dalam kondisi ini, rasi-rasi langit akan terlihat di balik garis edar tahunan bumi, sehingga bumi termasuk dalam cakupan rasi-rasi langit dalam bentuk rotasi bulanan. Garis edar tahunan bumi seakan cermin yang menampilkan rasi-rasi langit.
Karena alasan inilah, Rasul mulia S.a.w pernah sekali menyebut “Bumi ditopang oleh sapi,” dan di kali lain menyebut, “Ditopang oleh ikan paus,” seperti yang sudah kami sebutkan sebelumnya.
Ya, melalui gaya bahasa yang yang layak untuk lisan nabawi yang bayannya penuh mukjizat, beliau pernah sekali bersabda “Bumi ditopang oleh sapi,” sebagai isyarat tentang hakikat sangat mendalam, yang baru bisa difahami sesudah berabad-abad lamanya. Sebab, saat pertanyaan tersebut (dilontarkan oleh para sahabat), bumi berbentuk rasi sapi (Taurus). Rasul ditanya lagi sebulan kemudian, dan beliau menjawab, “Ditopang oleh ikan paus,” karena bumi saat itu berada di bawah bayangan rasi ikan paus (Pisces).
Demikianlah, beliau bersabda “Bumi ditopang oleh sapi dan ikan paus” sebagai isyarat terhadap hakikat tinggi ini, yang baru bisa difahami pada masa depan, serta sebagai indikasi mengenai pergerakan bola bumi dan perjalanannya dalam lingkup tugasnya, sekaligus sebagai simbol bahwa rasi-rasi langit tidak berfungsi dan hanya khayalan belaka, bagai tamu dilihat dari sisi matahari, dan bahwa rasi-rasi yang berfungsi dengan sebenarnya terdapat pada garis orbit tahunan bumi, serta bahwa bumi-lah yang beredar dan menjalankan tugas di rasi-rasi tersebut. Allah lebih mengetahui yang benar.
Adapun apa yang tertera dalam sebagian kitab-kitab Islam mengenai hikayat-hikayat aneh tidak masuk akal seputar sapi dan ikan paus, mungkin itu berasal dari kisah-kisah Israiliyat, atau dari perumpamaan, atau penakwilan sebagian ahli hadits, di mana hal itu dikira oleh sebagian kalangan yang tidak cermat sebagai bagian dari hadits, dan disanadkan kepada Rasul mulia S.a.w.
114. Page
رَبَّنَا لاَتُؤَاخِذْنَٓا اِنْ نَس۪ينَٓا اَوْ اَخْطَاْنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.”
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
Pertanyaan Kedua: Tentang Orang-orang Berselimut (Ahl al-’Aba’)
Saudaraku! Saya akan sebutkan satu di antara sekian banyak hikmah terkait pertanyaan Anda seputar masalah Ahl al-’Aba’, pertanyaan yang tetap tanpa jawaban itu. Yaitu: Suatu ketika Rasul mulia S.a.w menyelimuti Sayidinan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain r.a dengan jubah beliau yang penuh berkah yang biasa beliau kenakan,[1] seraya mendoakan mereka dengan ayat: لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهيرًا (“hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Qs. al-Ahzab [33]: 33)
(Ayat) ini memiliki banyak rahasia. Kami tidak akan menyebutkan semua rahasia tersebut di sini, tapi hanya satu hikmah saja, yang berkenaan dengan tugas risalah, yaitu:
Rasul mulia S.a.w telah melihat, melalui pandangan nubuwah beliau yang mampu memantau alam gaib dan masa depan, bahwa tiga puluh atau empat puluh tahun nanti akan terjadi bencana-bencana besar di antara para sahabat dan tabi’in, darah akan tertumpah, dan bahwa yang terbaik di antara mereka saat itu adalah tiga sosok yang berada di balik selimut (’aba’) beliau. Beliau menutupi mereka dengan selimut yang memberi mereka berempat bersama beliau kemuliaan sebagai ahlul ‘aba’ yang lima, demi menyucikan Sayidina Ali r.a dan membersihkannya di mata umat, menghibur Sayidina Husain r.a dan menggembirakannya, memberkahi Sayidina Hasan r.a dan mengumumkan kemuliaannya karena keberhasilannya menghapus fitnah berbahaya melalui perdamaiannya dengan Sayidina Mu’awiyah, kemudian menjaganya demi kemaslahatan umat. Sekaligus beliau memberitahukan bahwa keturunan Fathimah r.a itu suci dan mulia, serta patut mendapat julukan ahlul bait yang luhur.
Ya, memang benar Sayidina Ali r.a adalah seorang khalifah sebenarnya. Hanya saja darah yang tertumpah sangat mahal harganya. Pembersihan nama Sayidina Ali r.a dan pembebasannya (dari segala kekeliruan), penting di mata umat dari sisi tugas risalah. Maka Rasul S.a.w sendiri yang membebaskannya dengan cara sedemikian. Beliau mengajak orang-orang dari kalangan Khawarij dan pembela ekstrem Umawiyah, yang mencela, menyalahkan, dan menuduh (Ali) sesat, agar diam.
[1] Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah, Nabi S.a.w menyelimuti Hasan, Husain, Ali dan Fathimah dengan kain selimut lalu beliau berdoa, “Ya Allah! Mereka ini adalah ahlul bait-ku dan orang-orang terdekatku, (ya Allah!) hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah kemudian bertanya, ‘Apakah saya termasuk mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Kau termasuk yang menuju kebaikan’.” Tirmidzi menyebuthadits ini hasan,“Inilah hadits terbaik yang diriwayatkan terkait masalah ini.” Baca juga: Sunan al-Tirmidzi, hadits nomor 3971, juga diriwayatkan dengan teks-teks hadits yang hampir mirip oleh Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 5514, dan lainnya; Al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 2669 dan lainnya; Abu Ya’la, hadits nomor 6951 dan lainnya; Hakim dalam al-Mustadrak, hadits nomor 3559 dan lainnya; Imam Ahmad dalam Musnad, hadits nomor 3062 dan lainnya.
115. Page
Ya, sesungguhnya sikap ekstrem kaum Khawarij dan para pengikut Umawiyah terhadap hak Sayidina Ali r.a, tuduhan sesat yang mereka arahkan padanya, serta sikap Syiah yang berlebihan terkait haknya, sikap mereka membid’ahkan dan melepaskan diri dari kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar) terkait insiden tak terduga yang amat membakar hati yang dialami Sayidina Husain r.a, semua ini telah betul-betul sangat membahayakan kaum muslimin.
Dengan selimut dan doa ini, Rasul mulia S.a.w telah menyelamatkan Sayidina Ali dan Sayidina Husain dari segala tanggung jawab dan tuduhan, menyelamatkan umat beliau dari sikap buruk sangka pada keduanya, memberkahi dari sisi tugas risalah kebaikan Sayidina Hasan r.a untuk umatnya melalui perdamaian yang ditempuhnya, mengumumkan bahwa keturunan Fathimah r.a dan anak-cucunya yang penuh berkah akan meraih kemuliaan luhur di dunia Islam dengan memperoleh julukan “ahlul bait,” dan bahwa Sayidah Fathimah r.a akan menjadi wanita sangat mulia melalui keturunannya sebagaimana ibu Sayidah Maryam a.s yang mengatakan:
اِنّ۪ٓي اُع۪يذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّج۪يمِ
”Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu dari (gangguan) setan yang terkutuk.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 36)
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰٓي اٰلِهِ الطَّيِّب۪ينَ الطَّاهِر۪ينَ الْاَبْرَارِ وَعَلٰٓي اَصْحَابِهِ الْمُجَاهِد۪ينَ الْمُكْرَم۪ينَ الْاَخْيَارِ اٰم۪ينَ
Ya Allah! limpahkanlah rahmat kepada junjungan kita, Muhammad, keluarganya yang suci dan berbakti, para sahabatnya yang berjihad, mulia dan terbaik. Amin
116. Page
Maqam Kedua
Dari “Lama’at Keempat Belas”
Seputar “enam rahasia” di antara ribuan rahasia: بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ
Perhatian!
Telah terlihat oleh akal saya yang redup, dari kejauhan, satu di antara cahaya-cahaya basmalah dari sisi rahmat (Allah). Saya ingin sekali mencatatnya untuk diri sendiri dalam bentuk catatan pribadi. Saya ingin memburu dan menangkapnya dengan mengikat daerah sekitarnya, berikut rahasia-rahasianya yang mencapai dua puluh atau tiga puluh rahasia. Namun sayang sekali, saya tidak mendapatkan taufiq secara penuh untuk memenuhi keinginan ini di waktu sekarang. Sehingga (rahasianya yang terungkap) turun menjadi lima atau enam rahasia saja.
Saat saya bilang, “Wahai manusia!,” maka yang saya maksud adalah diri saya sendiri. Meski pelajaran ini khusus untuk saya pribadi, namun saya perlu mencantumkannya pula di “maqam kedua” pada “Lama’at Keempat Belas” ditujukan kepada pendapat yang benar dari saudara-saudara saya yang cermat. Semoga (pelajaran) ini bisa jadi bahan untuk dimanfaatkan oleh siapa pun yang memiliki ikatan spiritual dengan saya, juga siapa pun yang jiwanya lebih waspada dan sadar dari jiwa saya.
Pelajaran ini lebih banyak tertuju pada hati ketimbang pada akal, dan lebih memperhatikan rasa spiritual dari dalil (rasional).
بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
قَالَتْ يَٓا اَيُّهَا الْمَلَؤُا اِنّ۪ٓي اُلْقِيَ اِلَيَّ كِتَابٌ كَر۪يمٌ{ اِنَّهُ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَ اِنَّهُ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Ia (Balqis) berkata, ‘Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya, ‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Naml [27]: 29-30)
Di maqam ini akan dijelaskan “sejumlah rahasia.”
Rahasia Pertama: Saya yang lemah dan miskin telah melihat sebagian dari tajalli bismillah al-Rahman al-Rahim (بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ) sebagai berikut:
Terdapat “tiga stempel Rububiyah” di wajah alam raya, di wajah bumi, dan di wajah manusia, yang saling berintervensi satu sama lain, dan sebagian menjadi contoh model bagi yang lain.
Pertama: Stempel Uluhiyah terbesar yang tampak pada alam semesta seluruhnya, berupa kerjasama, tolong-menolong, dan saling komunikasi, sebab kata “bismillah” (بِسْمِ اللّٰهِ) mengarah ke sana.
Kedua: Stempel Rahmaniyah terbesar yang tampak pada kesamaan, keserasian, keteraturan, kelembutan, dan rahmat yang terdapat dalam manajemen tumbuh-tumbuhan dan hewan, terutama bumi, serta pengembangan dan pengaturannya.
Ketiga: Stempel Rahimiyah yang tinggi dan luhur yang tampak pada apa yang terdapat
117. Page
dalam sifat manusia yang komprehensif berupa kelembutan-kelembutan belas kasih, kehalusan kasih sayang, dan pancaran rahmat Allah, sebab kata الرَّحيمِ yang ada dalam بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ mengarah ke sana.
Jadi, بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ adalah simbol suci, benang kuat, dan garis bersinar terang karena dalam al-ahadiyyah (keesaan) terdapat tiga stempel yang membentuk garis cahaya pada lembaran alam. Yakni bahwa, بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ turun dari atas, yang bagian ujungnya terhubung dengan manusia yang merupakan buah alam raya dan lembaran miniatur jagad raya, yang menghubungkan alas dengan Arasy, dan yang menjadi wasilah bagi manusia untuk naik menuju Arasy.
Rahasia Kedua: Al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat senantiasa memperlihatkan dan menjelaskan tajalli al-ahadiyyah di dalam lingkup al-wahidiyah. yang tampak di banyak makhluk tak terhingga, agar akal tidak hanyut dalam al-wahidiyah. Yakni, sebagaimana matahari, misalnya, dengan cahayanya mencakup segala sesuatu yang tak terbatas; sebab, perlu ada persepsi yang luas sekali dan pandangan yang menyeluruh untuk memperhatikan esensi matahari di dalam cahaya (matahari) seluruhnya; maka untuk itu, matahari menampakkan dirinya dalam segala benda berkilau melalui perantara pantulannya, agar ia tidak lupa dirinya, dan segala benda berkilau memantulkan keistimewaan-keistimewaan matahari, seperti cahaya, kehangatan dan tajalli esensial matahari sesuai potensi yang dimiliki benda tersebut; serta sebagaimana halnya segala benda berkilau menampakkan matahari dengan segala keistimewaannya sesuai potensi yang dimiliki; maka demikian pulalah setiap sifat dari sifat-sifat matahari, seperti panas, cahaya, dan tujuh warnanya dalam cahayanya, juga mencakup segala sesuatu yang dihadapinya.
“Milik Allah jua perumpamaan tertinggi,” dan perumpamaan tak perlu dipermasalahkan. Sebagaimana halnya Allah Ta’ala Yang Maha Esa Tempat Bergantung memiliki tajalli (manifestasi) dengan asma’ husna-Nya di segala sesuatu, apalagi makhluk hidup, dan khususnya pada cermin esensi manusia, demikian juga setiap nama di antara nama-nama-Nya yang terkait dengan maujud-maujud yang ada, meliputi maujud-maujud yang ada dari sisi wahdah dan wahidiyah.
Demikianlah, Dia senantiasa menarik perhatian kepada stempel ahadiyah dalam lingkup wahidiyah agar akal tidak hanyut dalam wahidiyah, dan agar hati tidak melupakan Zat Maha Suci S.w.t. Maka, بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ memperlihatkan dan menjelaskan tiga ikatan penting stempel ini.
Rahasia Ketiga: Sesungguhnya, yang membuat jagad raya yang luas terbentang tanpa batas ini menjadi indah dan makmur adalah Rahmat (Ilahi) sebagaimana disaksikan mata (musyahadah). Yang menyinari seluruh maujud yang tenggelam dalam kegelapan secara pasti adalah Rahmat (Ilahi). Yang menumbuh-kembangkan seluruh makhluk yang berubah-ubah dengan segala kebutuhannya yang tanpa batas, secara pasti adalah Rahmat (Ilahi). Yang menjadikan semua wujud mengarah pada manusia di seluruh jagad raya ini dan berusaha membantunya laksana pohon yang mengarah pada buah secara total, pastinya adalah Rahmat (Ilahi). Yang mengisi ruang angkasa yang besar tak terbatas dan alam yang kosong ini, serta yang menyinari dan memakmurkannya, adalah Rahmat (Ilahi) sebagaimana disaksikan mata. Dan yang menjadikan manusia fana sebagai calon untuk hidup abadi, serta membuatnya menjadi lawan bicara dan kekasih Dzat Azali Abadi secara pasti adalah Rahmat (Ilahi).
118. Page
Maka, wahai manusia!
Mengingat Rahmat itu merupakan hakikat yang dicintai, kuat, berdaya tarik, serta bisa menolong dan membantu hingga sebatas demikian, maka ucapkanlah: بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ. Berpeganglah pada hakikat ini, dan ikatkan diri padanya. Lepaskan diri dari cengkeraman kesendirian mutlak, dari derita kebutuhan tanpa batas, dan mendekatlah kepada Arsy Kekuasaan Azali dan Abadi. Jadilah lawan bicara, teman dekat, dan kekasih Sang Penguasa itu dengan berbekal kasih sayang Rahmat ini serta syafaat, dan cahayanya.
Ya, menyatunya spesies-spesies (makhluk) di alam semesta di sekitar manusia dalam lingkup wilayah hikmah, dan dorongan untuk membuatnya berusaha mewujudkan segala keperluan manusia dengan keteraturan dan bantuan yang sempurna, itu akan berlangsung melalui salah satu dari dua hal berikut:
Mungkin setiap spesies dari spesies-spesies yang ada di alam semesta mengenali manusia dengan dzatnya, dan tunduk padanya, serta berusaha untuk membantunya. Ini sungguh jauh dari logika, jauh sekali. Di samping menimbulkan banyak kemustahilan lain, ia mengharuskan bahwa pada manusia yang lemah dan tiada daya secara mutlak ini mesti terdapat suatu kuasa yang lebih kuat dari Sang Penguasa kekuasaan mutlak.
Atau mungkin kerjasama ini berlangsung dengan pengetahuan Tuhan Yang Maha Berkuasa Mutlak di balik tabir wujud-wujud yang ada ini.
Dengan demikian, spesies-spesies di alam semesta tidak mengenal manusia, tapi merupakan bukti tentang pengetahuan Dzat yang mengenal manusia dan menyayanginya.
Wahai manusia! Kembalilah ke petunjukmu, apakah mungkin Tuhan Yang Maha Penyayang Maha Agung, yang menjadikan semua spesies makhluk mengulurkan tangan bantuan padamu dan memenuhi keperluanmu, tidak mengenalimu dan tidak pula melihatmu?
Karena Dia mengenalmu, dan membuatmu merasakan melalui perantara Rahmat-Nya bahwa Dia mengenalmu, maka engkau pun harus mengenal-Nya juga. Umumkan dengan hormat bahwa engkau mengenal-Nya. Ketahuilah secara yakin bahwa hakikat yang menundukkan jagad raya yang besar ini untuk makhluk amat kecil dan fana sepertimu, makhluk lemah secara mutlak, tiada berdaya secara mutlak, miskin secara mutlak, dan (hakikat) yang mengirim (jagad raya) untuk membantu dan menolongmu, tidak lain ia adalah Rahmat yang meliput hikmah, inayah, pengetahuan, dan qudrat. Tak syak lagi bahwa Rahmat seperti ini tentu menuntutmu untuk bersyukur secara total dan ikhlas, untuk mengagungkan dan memuliakan secara sungguh-sungguh dan tulus. Maka, ucapkan بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ yang merupakan terjemah rasa syukur yang murni dan pengagungan yang tulus, serta sebagai tandanya. Jadikan (بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ) sebagai perantara menuju Rahmat itu dan pemberi syafaat di gerbang al-Rahman.
Ya, keberadaan Rahmat itu dan kebenarannya amat nyata sejelas matahari. Sebab, sebagaimana tenunan yang terajut di pusat dihasilkan dari keselarasan jalur dan benang yang memanjang di sekujur sisi dan arahnya, begitu juga jalur dan benang cahaya yang membentang dari tajalli seribu satu Asma’ Ilahi di lingkup jagad raya yang besar ini mengisyaratkan ekspresi jagad raya di lingkup stempel Rahmat Khatam (Stempel) Rahimiyah, goresan Belas Kasih, serta rajutan Khatam Inayah melalui rajutan yang menampakkan dirinya pada akal dalam bentuk yang lebih jelas dari matahari.
119. Page
Ya, al-Rahman Maha Indah itulah yang mengatur matahari, bulan, unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan dengan obor seribu satu nama di antara Asma’-Nya laksana rajutan benang bagi ukiran-Nya yang agung, yang menundukkan semuanya bagi kehidupan, yang menampakkan kasih sayang-Nya bersamaan dengan kasih sayang penuh pengorbanan dan perjuangan seluruh induk hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang menundukkan makhluk hidup demi kehidupan umat manusia, yang menampakkan dengannya ukiran agung yang indah di antara ukiran-ukiran rububiyah ilahi, yang menjelaskan pentingnya manusia, dan yang menampakkan jenis rahmat-Nya yang paling berkilau terang, maka tentu tak syak lagi bahwa al-Rahman Maha Indah itulah yang telah menjadikan rahmat-Nya sebagai syafaat yang diterima di tengah pemenuhan mutlak-Nya atas kebutuhan makhluk hidup dan manusia yang sangat memerlukannya secara mutlak.
Wahai manusia! Jika engkau memang manusia hakiki, maka ucapkan بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ dan carilah syafaat penolongmu itu.
Ya, sesungguhnya yang menumbuh-kembangkan dan mengatur empat ratus ribu spesies tanaman dan hewan yang beragam dan berbeda-beda di muka bumi pada waktu yang tepat dengan pengaturan yang sempurna, hikmah dan inayah tanpa lupa atau keliru dalam mengatur satu pun di antara seluruh spesies tersebut, dan yang membubuhkan stempel ahadiyah di muka bumi ini, tak lain adalah Rahmat Ilahi itu melalui kesaksian dan secara pasti. Maka, keberadaan Rahmat ini bersifat pasti dan qath’i sebagaimana kepastian keberadaan semua wujud yang terdapat di muka bola bumi. Begitu pula halnya, terdapat banyak sekali bukti keberadaannya sebanyak bilangan wujud yang ada.
Ya, seperti halnya di muka bumi terdapat stempel rahmat dan ahadiyah, demikian pula pada roman esensi maknawi manusia juga terdapat stempel rahmat, yang tidak lebih kecil dari stempel rahmat yang terlihat di muka bumi, juga tidak lebih kecil dari stempel rahmat terbesar yang tampak pada wajah alam semesta. Seolah-olah stempel rahmat ini memiliki universalitas, yang posisinya seperti titik pusat dan poros bagi tajalli-tajalli seribu satu nama Allah S.w.t.
Wahai manusia! Apakah mungkin bagi Dzat yang memberimu roman muka ini dan membubuhkan padanya stempel rahmat dan ahadiyah, untuk membiarkanmu sia-sia, tidak memperdulikanmu, acuh tak acuh, dan tak mengawasi segala gerak-gerikmu?! (Mungkinkah) Dia menjadikan seluruh jagad raya yang mengarah kepadamu ini sia-sia belaka, dan menjadikan pohon ciptaan sebagai pohon tanpa guna dan busuk buahnya?! Mungkinkah Dia menjadikan rahmat-Nya yang sama sekali tak dapat diragukan, yang sama sekali tidak memiliki kekurangan, dan yang jelas laksana matahari, juga hikmah-Nya yang bisa disaksikan laksana cahaya, menjadi sasaran pengingkaran?! Sama sekali tak mungkin.
Wahai manusia! Ketahuilah, terdapat tangga untuk menggapai Arasy Rahmat tersebut. Tangga itu adalah بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ. Jika engkau ingin mengetahui seberapa penting tangga itu, maka lihatlah setiap bagian awal surat-surat al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat, yang jumlah (suratnya) mencapai 114. Lihatlah pula bagian awal seluruh kitab yang diberkahi itu, dan bagian awal dari semua hal yang diberkahi itu.
Selanjutnya, hujjah pasti keagungan nilai basmalah ialah apa yang dinyatakan oleh para ahli ijtihad besar seperti Imam al-Syafi’i bahwa, “Basmalah turun 114 kali dalam al-Qur’an, padahal ia hanya satu ayat.”
Rahasia Keempat: Tajalli wahidiyah di sekian banyak makhluk tak terhingga ini tidak cukup hanya (dibalas) oleh semua orang dengan ucapan إياك نعبد , sebab fikiran terpecah. Karena
120. Page
itu diperlukan adanya hati seluas bola bumi agar ia bisa mengingat Tuhan Yang Maha Ahad S.w.t di balik kesatuan kumpulan makhluk seluruhnya, seraya mengucapkan اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعينُ.
Berdasarkan rahasia ini, maka seperti halnya Allah S.w.t menampakkan stempel ahadiyah pada juz’iyyat (bagian-bagian parsial) secara jelas, Dia juga menampakkan stempel ahadiyah di balik stempel rahmaniyyah demi menampakkan stempel ahadiyah di setiap spesies, juga demi mengingatkan hamba kepada Tuhan Yang Maha Ahad S.w.t, sehingga setiap orang di setiap tingkatan mengatakan اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعينُ tanpa sulit dan susah payah, serta bisa menghadap kepada Dzat Maha Suci seraya berbincang dengan-Nya secara langsung.
Untuk menjelaskan rahasia besar ini, al-Qur’an Hakim ketika membahas tentang penciptaan langit dan bumi di dalam lingkup jagad raya yang besar, misalnya, ia tiba-tiba membahas lingkup paling kecil di antara lingkup-lingkup jagad raya serta hal-hal juz’iyyat yang paling dalam, hingga stempel ahadiyah tampak dengan jelas sekali. Sebagai contoh, saat membahas tentang penciptaan langit dan bumi, (al-Qur’an selanjutnya) membahas tentang penciptaan manusia, suaranya, detil-detil nikmat dan hikmah di hadapannya, agar fikiran tidak terpecah, dan agar hati tidak tenggelam, sehingga ruh mampu menemukan sembahannya secara langsung. Ayat ini, misalnya, menjelaskan hakekat tersebut dengan penuh mukjizat:
وَمِنْ اٰيَاتِه۪ خَلْقُ السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلاَفُ اَلْسِنَتِكُمْ وَ اَلْوَانِكُمْ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.” (Qs. al-Rum [30]: 22)
Ya, stempel-stempel wahdah (jumlah satu) pada makhluk yang tak terbatas dan pada katsrah (jumlah banyak) yang tak terhingga itu memiliki beragam jenis dan tingkatan stempel mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil bagaikan lingkaran-lingkaran yang saling bersinggungan. Namun bagaimana pun kondisi wahdah ini, pada akhirnya ia tetap wahdah dalam katsrah. Hanya saja ia tidak bisa menjalankan pembicaraan hakiki sebagaimana mestinya. Jadi, diperlukan adanya stempel ahadiyah di balik wahdah sehingga fikiran manusia tidak mengingat katsrah, lalu ia pun membuka jalan di hadapan hati menuju Dzat Yang Maha Suci secara langsung.
Untuk mengalihkan pandangan dan menarik hati pada stempel ahadiyah, Allah S.w.t membubuhkan stempel rahmat dan stempel rahimiyah pada stempel ahadiyah, di mana keduanya merupakan ukiran yang sangat menarik, cahaya yang sangat terang, rasa manis yang lembut sekali, keindahan yang sangat disukai, dan hakikat yang kuat sekali.
Ya, kekuatan Rahmat itulah yang menarik perhatian makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran dan daya nalar kepadanya, mengantarkan dan menyebabkannya sampai ke stempel ahadiyah, membuatnya merasakan keberadaan Sang Maha Ahad. Karena itulah manusia mendapatkan khitab hakiki di dalam اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعينُ. Dan mengingat بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ adalah indeks al-Fatihah serta ringkasan garis besar al-Qur’an, maka ia menjadi suatu penanda bagi rahasia besar tersebut sekaligus sebagai terjemah baginya.
Siapa pun yang memiliki penanda ini, ia akan mampu berkelana di tingkatan-tingkatan Rahmat. Dan siapa pun yang menuturkan terjemah ini, ia akan mengetahui rahasia-rahasia Rahmat, serta melihat cahaya-cahaya rahimiyah dan kasih sayang.
Rahasia Kelima: Telah disebutkan dalam hadits mulia atau seperti yang beliau sampaikan:
121. Page
اِنَّ اللّٰهَ خَلَقَ الْأِنْسَانَ عَلٰي صُورَةِ الرَّحْمٰنِ
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam gambaran al-Rahman.[1]
Sebagian ahli tarekat sufi menafsirkan hadits ini dengan sejumlah penafsiran aneh yang tidak sesuai akidah keimanan. Bahkan sebagian ahli isyq (pedamba) di antara mereka memandang roman muka maknawi manusia seakan bentuk al-Rahman. Karena kondisi umum yang dialami kebanyakan ahli tarekat adalah mabuk spiritual (sukr), dan kondisi kebanyakan ahli isyq adalah hanyut spiritual dan ketidakjelasan, maka mungkin saja kekeliruan pemahaman mereka yang menyalahi hakikat itu bisa ditolelir. Namun, seorang pembela agama tentu saja tidak bisa menerima secara logis makna-makna yang menyalahi asas akidah tersebut. Jika mereka menerima hal itu, pasti mereka salah.
Ya, Dzat Suci Ilahi yang mengatur seluruh jagad raya dengan teliti dan teratur laksana mengatur sebuah istana atau rumah, menjalankan dan mengedarkan bintang laksana atom dengan penuh hikmah dan mudah, menggunakan atom-atom laksana pegawai yang tertata rapi, sebagaimana tiada sekutu, padanan, lawanan atau pun persamaan bagi-Nya, demikian pula tidak mungkin Dia memiliki bentuk, perumpamaan, misal, atau keserupaan sesuai rahasia: لَيْسَ كَمِثْلِه شَئٌ وَهُوَ السَّميعُ الْبَصيرُ (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat” Qs. al-Syura [42]: 11)
Namun keadaan, sifat-sifat, dan nama-nama-Nya, bisa dilihat melalui perumpamaan berdasarkan rahasia di balik ayat: وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰي فِي السَّمٰوَاتِ وَالْاَرْضِ وَهُوَ الْعَزيزُ الْحَكيمُ (“Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” Qs. al-Rum [30]: 27), maka dengan demikian, misal dan perumpamaan mesti dipandang dari aspek keadaannya saja.
Salah satu di antara banyak maksud hadits mulia tersebut ialah bahwa manusia berada pada bentuk yang menampakkan nama “al-Rahman” secara sempurna.
Ya, sebagaimana pada roman jagad raya mencuat dan tampak nama al-Rahman dari obor seribu satu nama seperti telah kami jelaskan terdahulu, dan sebagaimana terlihat juga nama al-Rahman di wajah bumi melalui tajali-tajalli rububiyah-ilahiyah mutlak yang tak terbatas, maka demikian pula tajalli paling sempurna dari nama al-Rahman tampak dalam bentuk manusia universal melalui ukuran kecil seperti tampak pada roman jagat raya dan bumi.
Pada hadits mulia tersebut terdapat isyarat bahwa petunjuk makhluk-makhluk hidup yang merupakan dalil dan cermin keberadaan al-Rahman al-Rahim, bahwa petunjuk berbagai fenomena seperti manusia atas keberadaan Dzat Yang Wajib Ada; merupakan petunjuk qath’i, jelas dan nyata, sebab seperti dikatakan tentang cermin berkilau yang memantulkan bentuk matahari bahwa itu adalah matahari sebagai isyarat tentang permukaannya dan kejelasan petunjuknya mengenai matahari, maka demikian pula dikatakan dalam hadits bahwa “Dalam diri manusia terdapat gambaran al-Rahman” sebagai isyarat tentang kejelasan petunjuk-Nya.
[1] Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Janganlah kalian memburukkan wajah, karena anak Adam diciptakan sesuai gambaranal-Rahman Ta’ala.” HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 13.580, Harits dalam Musnadnya, hadits nomor 872. Ada riwayat-riwayat lain yang memperkuat hadits ini, baca di Shahih al-Bukhari, hadits nomor 5873, Shahih Muslim, hadits nomor 2612, Shahih Ibnu Hibban, hadits nomor 5605, Musnad Abu Awanah, hadits nomor 464, Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 7.319, 7.414, 7.414, dan lainnya, Musnad Abdurrazzaq, hadits nomor 7.414, Musnad Al-Humaidi, hadits nomor 1120.
122. Page
S.w.t padanya serta kesempurnaan kesesuaiannya. Serta dapat dikatakan demikian pula. Dan berdasarkan rahasia ini, maka sebagian penganut moderat dari faham wahdat al-wujud menyatakan bahwa “tidak ada wujud selain Dia,” sebagai penanda kejelasan petunjuk ini, juga kesempurnaan kesesuaian ini.
اَللّٰهُمَّ يَا رَحْمٰنُ يَا رَح۪يمُ بِحَقِّ (بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ) اِرْحَمْنَا كَمَا يَل۪يقُ بِرَح۪يمِيَّتِكَ وَ فَهِّمْنَٓا اَسْرَارَ(بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ) كَمَا
يَل۪يقُ بِرَحْمَانِيَّتِكَ اٰم۪ينَ
Ya Allah! Ya Rahman ya Rahim, dengan hak بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ rahmatilah kami secara layak sesuai kasih sayang-Mu
Buatlah kami bisa memahami rahasia-rahasia بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ secara layak sesuai kasih sayang-Mu. Amin
Rahasia Keenam: Wahai manusia malang, yang berkutat dalam ketidak-berdayaan tak terbatas dan kefakiran yang tiada akhir!
Ketahuilah penjelasan berikut, bagaimana Rahmat adalah perantara paling berharga, penolong paling langka, dan pemberi syafaat yang paling diharapkan!
Rahmat tersebut adalah perantara untuk mencapai Sang Penguasa Maha Agung, melayani bintang-bintang dalam tentara-Nya bersama atom-atom dengan keteraturan dan kepatuhan yang sempurna. Penguasa Yang Maha Agung itu adalah Penguasa Azali dan Abadi yang memiliki kekayaan dzati, Dia dalam kekayaan mutlak, dan Dia kaya raya sepenuhnya, tidak memerlukan makhluk atau maujudat dalam bentuk apa pun. Sementara jagad raya dalam keadaan patuh sepenuhnya kepada-Nya, berada di bawah perintah, kehendak, kekuasaan, dan keagungan-Nya, berada dalam ketundukan dan kerendahan di depan keluhuran-Nya.
Rahmat itu, wahai manusia, mengangkatmu ke hadirat Sang Maha Kaya secara mutlak dan Sang Penguasa Abadi, menjadikanmu sebagai kekasih dan lawan bicara-Nya, dan menjadikanmu sebagai pengabdi yang dicintai-Nya. Sebagaimana halnya engkau tidak bisa menggapai matahari, dan jauh darinya jauh sekali, dan engkau tak bisa mendekatinya selamanya, namun cahaya matahari meletakkan di dalam tanganmu pantulan matahari dan tajallinya melalui perantara cerminmu, maka demikian pulalah cahaya rahmat Dzat Suci dan Matahari Kekal Abadi, membuat-Nya S.w.t dekat dengan kita meskipun kita secara mutlak jauh dari-Nya dan kita tidak akan bisa mendekati-Nya.
Wahai manusia!
Siapa pun yang menemukan rahmat ini, ia pasti menemukan simpanan cahaya abadi yang tiada fana. Adapun wasilah untuk berhasil mendapatkan simpanan ini adalah (mengukuti) sunnah Rasul mulia S.a.w yang disebut dalam al-Qur’an sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (rahmatan li al-‘alamin), di mana beliau adalah contoh sekaligus pengejewantah rahmat, lisan paling fasih dan da’i yang menyeru kepadanya, dan juga (wasilahnya) adalah ittiba’ (sunnah beliau). Sementara wasilah menuju rahmat terwujud (mujassamah) yang merupakan rahmat bagi seluruh alam ini adalah membaca shalawat untuk beliau.
Ya, makna shalawat pada beliau adalah rahmat. Shalawat yang merupakan doa agar rahmat yang terwujud dan yang hidup itu mendapat rahmat, itulah wasilah untuk bertemu dengan sosok yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, jadikanlah shalawat sebagai
123. Page
wasilah untuk mencapai beliau yang adalah rahmat bagi sekalian alam, dan jadikanlah beliau S.a.w sebagai wasilah untuk menggapai rahmat al-Rahman. Maka shalawat seluruh umat untuk Rasul mulia S.a.w, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam – salawat dalam jumlah banyak tanpa batas, dalam arti: doa untuk beliau – menegaskan secara pasti, jelas, dan terang sejauh mana rahmat menjadi hadiah ilahi yang begitu agung dan tak ternilai, serta (menegaskan) seluas apa cakupannya.
Kesimpulan
Sebagaimana mutiara terbesar dalam simpanan rahmat, dan (sebagaimana) pengawasnya yang paling agung, adalah Rasul mulia S.a.w, maka kunci pertama (memperoleh mutiara itu) adalah بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ dan kunci paling mudah untuk (memperoleh mutiara itu) adalah shalawat bagi Rasul mulia S.a.w
اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ اَسْرَارِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلٰي مَنْ اَرْسَلْتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَم۪ينَ كَمَا يَل۪يقُ بِرَحْمَتِكَ وَ بِحُرْمَتِه۪ وَ عَلٰٓي اٰلِه۪ وَ اَصْحَابِه۪ٓ اَجْمَع۪ينَ وَ ارْحَمْنَا رَحْمَةً تُغْن۪ينَا بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ مِنْ خَلْقِكَ اٰم۪ينَ اٰم۪ينَ اٰم۪ينَ
Ya Allah! Dengan hak rahasia-rahasia بِسْـــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada sosok yang Engkau utus sebagai rahmat bagi seluruh alam, seperti yang patut bagi rahmat dan kesucian-Mu
Limpahkah pula hal itu kepada keluarga dan para sahabatnya. Rahmatilah kami dengan rahmat yang membuat kami tak lagi memerlukan kasih siapa pun selain-Mu. Amin, amin, amin
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)