LAMA'AT KEENAM BELAS

125. Page

LAMA'AT KEENAM BELAS

 

بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ

وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه

Dengan Nama-Nya Yang Maha Suci

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

 

Saudara-saudaraku yang mulia dan tulus: Syeikh Shabri, Hafidz Ali, Mas’ud, para Musthafa, Husrau, Ra’fat, Sayid Bekir, Rusydi, para Luthfi, Hafidz Ahmad, Syeikh Musthafa, dan lain-lain! Telah terasa selintas di benak saya untuk menjelaskan “empat masalah kecil” yang akan menggugah rasa penasaran dan tanda-tanya bagi kalian, sebagai penjelasan singkat yang perlu diketahui.

 

Pertanyaan pertama yang menggugah:

Sebagian saudara kami seperti Sayid Abdullah Çaprazzâde menyampaikan suatu pertanyaan pada saya, yaitu: Dikabarkan dari ahli kasyaf bahwa akan terjadi penyelesaian dan kemenangan-kemenangan bagi Ahlussunnah wal Jamaah pada Ramadhan yang lalu, hanya saja tak pernah terjadi sesuatu pun dalam hal ini. Mengapa wali dan ahli kasyaf bisa memberitahukan sesuatu yang bertentangan dengan kejadian sebenarnya?


Saya dapat menjawab mereka langsung berdasarkan lintasan hati, ringkasnya demikian:

Disebutkan dalam hadits mulia, yang artinya begini: “Musibah kadang turun, namun dihadang oleh sedekah, dan ditangkalnya.”[1] Rahasia hadits ini mengisyaratkan bahwa hal-hal yang sudah ditakdirkan ketika terjadi dimundurkan karena sebagian syarat tertentu. Yakni, hal-hal yang sudah ditakdirkan yang dilihat oleh ahli kasyaf tidak bersifat mutlak, tapi diikat oleh beberapa syarat. Peristiwa (yang dikabarkan) tersebut tidak terjadi karena syarat-syarat pemberlakuannya tidak terpenuhi. Namun, peristiwa tersebut sudah tertulis sebagai ajal yang digantungkan dalam lingkup hal-hal lain yang ditakdirkan di Lauh al-Mahwi wa al-Itsbat (lembaran berisi takdir-takdir yang dihapus dan yang ditetapkan) yang merupakan semacam catatan Lauh Azali. Maka kasyaf jarang sekali naik sampai pada Lauh Azali, dan sebagian besarnya tidak bisa sampai naik ke sana. Berdasarkan rahasia ini, berita-berita yang banyak beredar berdasarkan kesimpulan-kesimpulan atau semacam kasyaf akan terjadi pada bulan Ramadhan mubarak yang lalu, pada ‘Idul Adha kali ini, atau pada waktu-waktu lainnya, belum terjadi karena syarat-syarat yang terkait dengannya tidak terpenuhi. Karena itu, para pemberi kabar itu tidaklah berbohong, karena (peristiwanya) memang sudah ditakdirkan, hanya saja belum terjadi karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi.


[1]  Diriwayatkan dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Kewaspadaan tidak berguna (untuk menangkal) takdir. Doa bermanfaat untuk (menolak musibah) yang turun dan yang belum turun. Sungguh, musibah turun lalu ia dihadang doa, keduanya terus berperang hingga hari kiamat’.” HR. Hakim, hadits nomor 1813, ia menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih, hanya saja tidak ditakhrij al-Bukhari dan Muslim. Juga diriwayatkan Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, hadits nomor 2486; Musnad Syihab, hadits nomor 59. 




126. Page

Ya, sebagian besar doa-doa tulus yang dipanjatkan Ahlussunnah wal Jamaah memang merupakan syarat dan sebab penting untuk menangkal bid’ah-bid’ah di bulan Ramadhan mubarak. Namun sayang, bid’ah-bid’ah justru masuk ke masjid-masjid di bulan Ramadhan mubarak, sehingga berhenti di depan pengabulan doa, dan penyelesaian (yang diharapkan) tidak kunjung tiba.


Sebagaimana sedekah mengangkat bala sesuai rahasia hadits mulia di atas, maka demikian pula doa-doa tulus yang dipanjatkan banyak orang juga dapat menarik penyelesaian umum, hanya saja daya tariknya tidak terwujud, sehingga penyelesaian dan kemenangan-kemenangan (yang diharapkan) tidak diberikan.

 

Pertanyaan kedua yang menggugah:

Ketika seharusnya dilakukan upaya yang bisa memberikan jalan keluar bagi saya dan saudara-saudara saya yang memiliki banyak hubungan dengan saya dengan kemungkinan kuat di tengah situasi politik yang sangat menentukan dalam dua bulan terakhir, mengapa saya tidak menaruh sedikit pun perhatian terhadap situasi tersebut. Bahkan saya memikirkan hal-hal demi kepentingan ahli dunia yang mempersulit saya. Sebagian orang pun merasa sangat heran dengan sikap saya ini. Mereka bilang, “Bagaimana Anda memandang politik yang dianut para pemimpin pro-bid’ah yang menyiksa Anda, dan sebagian mereka munafik, hingga Anda tidak berurusan dengan mereka?”


Kesimpulan jawaban saya pada mereka sebagai berikut:

Bahaya paling besar yang menimpa kaum muslimin di zaman sekarang adalah rusaknya hati dan terkoyaknya iman karena kesesatan yang timbul dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Satu-satunya solusi untuk mengatasi hal ini adalah nur (cahaya), dan menampakkan nur, sehingga hati dapat diperbaiki dan iman bisa diselamatkan.

Andai saja (kita bisa) bekerja dan bergerak dengan gada politik, yang dengannya bisa diperoleh kemenangan, tentu orang-orang kafir itu sudah jatuh ke tingkatan paling bawah kaum munafik. Orang munafik lebih berbahaya dari orang kafir.


Jadi, gada (politik) tidak lagi bisa membenahi hati di zaman seperti sekarang. Saat itulah kekafiran merasuk ke dalam hati dan bersarang di sana, selanjutnya berubah menjadi kemunafikan.


Orang lemah seperti saya ini tidak bisa menggunakan nur dan gada (politik) secara bersamaan di zaman sekarang. Karena itu, saya terpaksa harus berpegang teguh dan bertumpu pada nur sebatas kemampuan saya. Sehingga saya tidak perlu melirik pada gada politik, apa pun bentuk dan formatnya. Sementara segala yang dibutuhkan untuk tugas jihad materi, itu pun tidak kami miliki saat ini.


Ya. Adalah wajib menggunakan gada (politik) untuk menghentikan kesewenang-wenangan dan serangan orang kafir atau murtad bagi orang yang memang ahli menggunakannya. Namun kami hanya mempunyai dua tangan. Kalau pun kami memiliki seratus tangan, tetap saja itu tidak cukup kecuali hanya digunakan untuk nur. Kami tidak punya tangan agar bisa memegang gada (politik).

 

Pertanyaan ketiga yang menggugah:

Serangan pasukan asing seperti Inggris dan Italia belum lama ini terhadap pemerintah, memicu kebangkitan kembali syiar-syiar Islam dan upaya pelenyapan bid’ah hingga batas tertentu melalui semangat menjaga (hamiyyah) Islam yang merupakan titik sandaran hakiki 

127. Page

bagi pemerintah dan sumber kekuatan maknawinya di negeri ini sejak dulu kala. Tapi, mengapa Anda menentang keras peperangan ini, dan berdoa kepada Allah untuk mengatasi masalah ini dengan aman dan sentosa. Anda justru dengan keras mendukung pemerintahan pro-bid’ah, padahal ini secara tidak langsung memperkuat bid’ah?


Jawaban: Sesungguhnya, kita sedang mencari dan mengimpikan penyelesaian, kegembiraan, suka cita, dan kemenangan, tapi bukan dengan pedang orang-orang kafir. Semoga saja pedang mereka memenggal kepala mereka sendiri. Kita tidak perlu memanfaatkan pedang-pedang mereka. Orang-orang asing keras kepala itulah yang mempengaruhi orang-orang munafik agar menguasai orang-orang mukmin. Mereka juga yang mendidik orang-orang atheis.


Adapun musibah perang, itu merupakan bahaya besar bagi khidmat kita terhadap al-Qur’an, karena sebagian besar ikhwan andalan kita rata-rata berusia di bawah 45 tahun. Mereka akan terpaksa meninggalkan tugas al-Qur’an dan harus bergabung dalam militer disebabkan perang. Seandainya saya mempunyai uang, tentu akan saya serahkan semuanya dengan rela hati sepenuhnya, meskipun uang gantinya seribu dinar sekali pun, agar saya bisa membebaskan setiap ikhwan andalan terbaik saya bisa bebas dari wajib militer. Saya merasakan kerugian kita bisa seratus ribu dinar ketika membiarkan seratus ikhwan andalan saya harus meninggalkan khidmat al-Qur’an yang bercahaya lalu bergabung dalam jihad fisik. Bahkan bergabungnya Zekai[1] di militer selama satu atau dua tahun ini telah membuat kami harus kehilangan banyak manfaat dan keuntungan maknawi senilai seribu dinar.


Namun bagaimana pun, sebagaimana Sang Maha Kuasa atas segalanya mampu membersihkan udara berawan tebal dalam satu detik, dan mampu menyingkap matahari yang bersinar cerah di wajah langit yang jernih, demikian pula Dia berkuasa untuk melenyapkan awan-awan yang hitam pekat ini, menampakkan hakikat-hakikat syariat bak mentari, dan menganugerahkannya kepada umat manusia dengan harga tak berarti, tanpa beban, tanpa gangguan, dan tanpa kesulitan.


Kita berharap dari rahmah-Nya S.w.t semoga kita tidak dibebani biaya besar tersebut. Mudah-mudahan Dia berkenan memberikan akal pikiran di kepala para pemimpin, dan menghunjamkan iman ke dalam hati mereka. Ini sudah cukup, sehingga saat itu segala sesuatunya otomatis menjadi lurus.

 

Pertanyaan keempat yang menggugah:

Mereka mengatakan, karena yang ada di tangan kalian adalah nur, bukan gada (politik), sementara nur sendiri tidak bisa ditentang dan tidak ditakuti, serta menampakkannya pun tidak akan mendatangkan bahaya, lantas mengapa Anda mengingatkan teman-teman Anda agar hati-hati dan waspada, serta melarang mereka menyebarkan banyak Risalah al-Nur untuk kalangan luas?


Inti ringkasan jawaban atas pertanyaan ini demikian:

Kepala sebagian besar penguasa itu teler, sehingga mereka tidak membaca. Bahkan jika pun mereka membaca, mereka tidak faham. Mereka menafsir secara keliru, sehingga pasti menentangnya. Karena itu, (risalah-risalah) ini mesti jangan disebarluaskan dulu hingga mereka sadar kembali, agar mereka tidak menentang.


Selanjutnya, banyak sekali orang yang tidak punya hati nurani dan tidak bersikap adil,





[1]  Salah seorang murid Ustadz Badiuzzaman Sa’id Nursi.



128. Page

mengingkari nur atau menutup mata mereka karena dengki, tamak, atau takut. Karena itu, saya mengingatkan saudara-saudara saya untuk berhati-hati dan waspada, jangan menyerahkan hakikat kepada yang orang tidak berhak, serta jangan bertindak apa pun yang bisa memancing waham dan kecurigaan ahli dunia.[1]

 

Penutup

 

Saya menerima hari ini sepucuk surat dari Sayid Ra’fat. Saya berharap, pertanyaan-pertanyaan itu ditangguhkan dulu untuk sementara waktu, namun dia bertanya lagi. Saya sendiri menemukan kesulitan untuk mendekte. Tapi bagaimana pun juga, saya akan berikan jawaban seputar jenggot luhur Nabi.


Sudah dipastikan melalui hadits bahwa rambut yang rontok dari jenggot luhur Rasul mulia S.a.w mungkin hanya mencapai tigapuluh, empatpuluh, limapuluh atau enampuluh helai saja, dan itu jumlah tidak banyak. Namun adanya rambut-rambut dari jenggot penuh berkah di ribuan tempat mendorong saya berfikir suatu saat, lalu terlintas dalam benak saya bahwa jenggot mulia Nabi bukan hanya ungkapan tentang rambut-rambut jenggot mulia Nabi. Tapi para sahabat sendiri yang tidak mau kehilangan apa pun yang berasal dari beliau S.a.w, telah menjaga rambut-rambut beliau yang bercahaya penuh berkah selamanya setiap kali beliau mencukur kepala beliau yang diberkahi. Rambut-rambut ini jumlahnya ribuan, dan mungkin saja jumlahnya sama banyaknya dengan yang ada sekarang.


Terlintas juga dalam fikiran saya saat itu, gerangan bisakah dipastikan rambut-rambut yang ada di setiap masjid Jami’ ini berdasarkan sanad yang shahih benar-benar rambut Rasul mulia S.a.w, sehingga ziarah-ziarah ke tempat-tempat tersebut bisa diterima?


Tiba-tiba terlintas dalam fikiran saya bahwa ziarah rambut-rambut tersebut hanya wasilah saja. Karena, itu menjadi sebab untuk membaca shalawat pada Rasul mulia S.a.w, wasilah untuk memuliakan, mengagungkan, dan mencintai beliau. Maka keberadaan rambut-rambut tersebut sebagai wasilah bukan berarti merujuk pada dzatnya, tapi semata merujuk pada keberadaannya sebagai wasilah saja. Karena itu, jika ada salah satu di antara rambut-rambut tersebut tidak benar (asli), tetap saja ia menjalankan peran sebagai wasilah selama dianggap demikian secara lahiriah, serta menjadi wasilah untuk mencintai beliau S.a.w, mengagungkan, memuliakan, dan mendoakan shalawat pada beliau. Bukan keharusan (bagi kita) untuk menentukan benar-tidaknya rambut tersebut, memeriksanya dengan sanad yang shahih dan qath’i. Namun dengan tidak adanya dalil yang bertentangan dengannya, itu sudah cukup. Sebab, apa yang diperoleh orang-orang, serta apa yang diterima oleh umat, itu sudah


[1] Ada sebuah aneknot yang bisa menjadi penyebab timbulnya masalah serius. Kemarin pagi, Muhammad, ipar salah seorang saudara kita, datang menemui saya dengan membawa kabar gembira. "Orang-orang di Isparta mencetak salah satu bukumu. Banyak pula yang membacanya," katanya. Saya jawab, "Penerbitan tersebut tidaklah dilarang. Bahkan itu diambil dari salinan yang ada. Pemerintah juga tidak melarang atau berkeberatan." Selanjutnya saya berkata kepadanya, "Tapi, janganlah hal ini engkau beritahukan kepada dua temanmu yang munafik itu, sebab mereka akan menjadikan hal semacam ini sebagai alasan." Demikianlah wahai saudara-saudara saya, meskipun orang ini ipar salah seorang sahabat kita, sehingga dengan hubungan tersebut ia termasuk orang yang kucintai, namun sebagai tukang cukur, ia adalah sahabat bagi seorang guru yang tidak punya hati nurani dan seorang pemimpin munafik. Salah seorang saudara kita di sana telah memberikan berita tersebut kepadanya tanpa mengetahui posisinya. Untung saja dia memberitahukan kepada saya sehingga saya bisa segera mengingatkan. Dalam hal ini saya juga mengingatkan saudara-saudara saya yang lain sehingga dampak negatifnya bisa dihindarkan. Akhirnya mesin cetak mencetak ribuan salinan naskah di bawah tabir ini.

 




129. Page

sejenis hujjah. Bahkan, kalau pun sebagian orang bertakwa mengkritik hal-hal seperti ini karena ketakwaan, kehati-hatian, atau keteguhan hati, maka kritikan mereka ini bersifat khusus. Malah kalau pun mereka menyatakannya sebagai bid’ah, maka ia termasuk bid’ah hasanah, karena ia merupakan wasilah bershalawat kepada Rasul mulia S.a.w


Sayid Ra’fat menulis dalam suratnya:

“Masalah ini sekarang menjadi bahan perdebatan di antara saudara-saudara kita.”

Maka saya berpesan kepada saudara-saudara saya itu agar mereka tidak memasuki perdebatan yang bisa menimbulkan keretakan dan perpecahan. Tapi hendaknya mereka kembali ke diskusi yang tanpa perdebatan, seperti bertukar fikiran dan pandangan.

 

 

بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ

وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه

Dengan Nama-Nya Yang Maha Suci

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya

 

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

 

Saudara-saudaraku yang mulia dan tulus dari Senirkent:[1] Ibrahim, Hafidz Husain, dan Hafidz Rajab! Para atheis sejak dulu selalu menentang “tiga permasalahan” yang kalian kirimkan kepada saya melalui Hafidz Taufik.


Pertama: Ayat (al-Qur’an) menyatakan, Dzul Qarnain melihat matahari terbenam di antara mata air yang berlumpur dan panas, sesuai makna tekstual yang disebutkan dalam ayat:


حَتّٰٓي اِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ ف۪ي عَيْنٍ حَمِئَةٍ

“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam.” (Qs. al-Kahfi [18]: 86)


Kedua: Di mana tembok Dzul Qarnain?

Ketiga: Seputar turunnya Sayidina Isa a.s pada akhir zaman dan perangnya melawan Dajjal saat itu.


Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini panjang. Namun bisa kami katakan melalui isyarat singkat:


Ayat-ayat al-Qur’an diungkapkan sesuai gaya Bahasa Arab, selaras dengan pandangan lahiriah, dan melalui sisi yang bisa difahami semua orang. Karena itu, ia sering kali menjelaskan sesuatu dalam bentuk kiasan (tasybih) dan perumpamaan (tamtsil). Ayat “Matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam” (تَغْرُبُ في عَيْنٍ حَمِئَةٍ), maksudnya, Dzul Qarnain telah melihat matahari terbenam di antara pesisir Samudera Atlantik yang terlihat seperti mata air yang panas dan berlumpur, atau di kawah gunung berapi yang mengeluarkan asap tebal. Yakni, Dzul Qarnain telah melihat terbenamnya matahari secara lahiriah di bagian Samudera

[1]  Sebuah perkampungan di bilangan Isparta.



130. Page

Atlantik yang tampak olehnya dari jauh laksana danau besar di balik uapan air ketika panas air danau yang ada di dekat pesisir Samudera Atlantik memanas dan beruap akibat pengaruh panas musim panas yang hebat. Atau dia melihat terbenamnya matahari yang merupakan mata air langit di antara magma gunung berapi yang baru dimuntahkan di atas puncak gunung kawah yang menyala-nyala dan bergejolak, bercampur-aduk dengan bebatuan, tanah, dan air mineral.


Ya, ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang penuh balaghah melalui kalimat ini memberitahukan banyak sekali permasalahan. Pertama, ia menjelaskan perjalanan Dzul Qarnain ke arah barat, saat itu udara sangat terik, mengarah ke rawa-rawa, ketika matahari terbit, di saat terjadi letusan gunung berapi. Karena itulah (ungkapan-ungkapan al-Qur’an) memberi isyarat pada permasalahan-permasalahan besar dengan ungkapan-ungkapan yang besar pula, seperti penguasaan (Dzul Qarnain) sepenuhnya atas benua Afrika. Sudah umum diketahui, pergerakan matahari seperti yang terlihat adalah tampak nyata, menunjukkan pergerakan bumi yang tak tampak, dan mengabarkan tentangnya, tapi bukan mengabarkan tentang hakikat tenggelamnya (matahari).


Selanjutnya, kata ”mata air” (عَيْنٍ) adalah kiasan (tasybih), karena lautan luas itu terlihat dari kejauhan seperti telaga kecil. Al-Qur’an mengkiaskan lautan yang terlihat di balik uap udara dan awan tipis yang membubung tinggi yang muncul disebabkan karena hawa panas dan di balik rawa-rawa, sama seperti mata air di dalam tanah. Penggunaan kata ”mata air” (عَيْنٍ) – yang dalam Bahasa Arab memiliki makna mata air, matahari, dan penglihatan – sangat tepat sekali dilihat dari sisi rahasia Balaghah.[1]


Seperti halnya matahari tampak dalam pandangan Dzul Qarnain dalam bentuk tersebut disebabkan karena jauhnya, maka penjelasan khitab samawi al-Qur’an yang turun dari Arsy Agung dan Pemimpin benda-benda angkasa bahwa matahari yang dihamparkan yang bertugas memberi penerangan di ruang tamu rahmaniyah itu tenggelam dan bersembunyi di mata air rabbaniyah, yaitu Samudera Atlantik, sangat layak dengan keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan ketinggian-Nya. (Al-Qur’an), dengan gaya bahasanya yang penuh mukjizat, menyebut lautan sebagai mata air yang berlumpur, dan mata air yang berasap. Demikianlah (lautan) tampak bagi mata samawi.


Kesimpulan: Deskripsi Samudera Atlantik dan penggambarannya sebagai “mata air yang berlumpur” berarti bahwa Dzul Qarnain telah melihat lautan luas tersebut seperti mata air disebabkan ia begitu jauhnya darinya.


Adapun pandangan al-Qur’an, karena ia dekat dengan segala sesuatu, maka tidak mungkin ia melihat seperti penglihatan Dzul Qarnain yang termasuk semacam tipuan perasaan. Bahkan, karena (al-Qur’an) turun menyaksikan langsung dari langit, maka kadang ia melihat bumi seperti lapangan, atau kadang istana, atau buaian, dan terkadang pula seperti lembaran kertas. Maka deskripsi dan penggambarannya bahwa Samudera Atlantik yang luas itu diselimuti awan tipis dan uap, dan pengkiasannya dengan mata air, itu tidak lain

[1]Penggunaan kata "'ain" (mata atau mata air) dalam ayat di atas secara simbolis menunjukkan satu makna mendalam yang halus dilihat dari rahasia Balaghah. Yaitu: dengan mata matahari, muka langit bisa melihat keindahan rahmat Allah yang ada di permukaan bumi. Kemudian, dengan mata air berupa laut, bumi bisa menyaksikan keagungan Ilahi di langit. Jadi, hanya dengan satu kata dan dengan sangat singkat, ketika keduanya (mata langit dan mata bumi) bekerja, maka seluruh mata yang ada di permukaan bumi berfungsi. Ayat al-Quran di atas menjelaskan makna halus tersebut seraya menegaskan berakhirnya tugas mata.



131. Page

menunjukkan keagungan, kebesaran, dan keluhurannya.

 

Pertanyaan Anda yang Kedua:

Di mana tembok Dzul Qarnain? Dan siapa itu Ya’juj Ma’juj?

Jawaban: Saya sudah pernah menulis sebuah risalah seputar masalah ini. Orang-orang atheis yang ada di masa itu dibuat tertekan dan tak berkutik olehnya. Namun sekarang risalah tersebut tidak ada pada saya, terlebih ingatan saya juga tidak membantu saya untuk menyebutkannya kembali. Lalu, kami pun pernah membahas masalah ini secara singkat dalam “Dahan Ketiga” dari “Kalimat ke-24.” Karena itu, kami akan menjelaskan dua atau tiga nuktah saja secara singkat terkait masalah ini:


Menurut penjelasan para ahli tahqiq, raja-raja Yaman memiliki nama-nama yang diawali dengan kata Dzu, seperti “Dzu Yazan.” Menurut yang disyaratkan nama “Dzul Qarnain,” maka Dzul Qarnain bukanlah Alexander (Iskandar) asal Romawi, tapi salah seorang raja Yaman. Ia hidup semasa dengan Sayidina Ibrahim a.s, dan menyerap ilmu dari Sayyidina Khidir a.s. Alexander asal Romawi hidup sekitar tiga ratus tahun Sebelum Masehi, dan menyerap ilmu dari Aristoteles. Sejarah umat manusia menjangkau peristiwa-peristiwa tiga ribu tahun Sebelum Masehi secara teratur. Karena itu, pandangan sejarah yang penuh kekurangan dan keterbatasan ini tentu tidak bisa menilai secara sahih dan valid terkait kejadian-kejadian sebelum era Ibrahim a.s. Bisa jadi ia penuh khurafat, atau menolaknya, atau jangkauannya terlalu singkat.


Adapun penyebab dikenalnya Dzul Qarnain asal Yaman itu di sejumlah tafsir dengan nama “Iskandar” (Alexander) mungkin karena salah satu nama Dzul Qarnain memang “Iskandar.” Dialah Iskandar Agung, yaitu Iskandar Kuno. Atau mungkin karena kejadian-kejadian parsial yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an itu merupakan bagian ujung dari kejadian-kejadian yang sifatnya umum. Iskandar Agung, yang adalah Dzul Qarnain, sebagimana membangun tembok Cina yang terkenal itu sebagai sekat penghalang antara kaumnya dan bangsa-bangsa lalim, serta sebagai pencegah dari serangan siapa pun yang bertindak semena-mena sesuai dengan petunjuk-petunjuk kenabiannya, demikian pula halnya sejumlah raja kuat dan penguasa besar yang memimpin dunia, seperti Alexander dari Romawi telah mengikuti jejak Dzul Qarnain dalam aspek fisik. Demikian pula halnya para nabi dan wali quthub yang merupakan raja-raja maknawi bagi alam maknawi manusia, sebagian mereka mengikuti jejak Dzul Qarnain pula dari sisi maknawi dan irsyadi. Mereka membangun dinding-dinding[1] di antara gunung-gunung, lalu mendirikan benteng-benteng di atas gunung-gunung sebagai sarana penting untuk menyelamatkan kaum tertindas dari tangan para tiran.


Mereka membangun dinding-dinding dan benteng-benteng tersebut mungkin dengan kekuatan fisik mereka sendiri, atau melalui arahan dan perencanaan mereka. Kemudian mereka membangun pagar-pagar di sekeliling kota, dan mendirikan tembok penghalang dan benteng di tengah-tengah kota tersebut. Lalu, sebagai pertahanan akhir, mereka membuat senjata-senjata cerdas dan kapal-kapal perang besar yang mirip benteng bergerak.


Dzul Qarnain membangun tembok Cina yang panjang – di antara dua pegunungan dekat gugusan Pegunungan Himalaya – yang merupakan benteng paling terkenal di muka



[1] Terdapat banyak dinding yang dibangun di atas bumi yang sudah berubah sesuai perjalanan waktu menjadi berbentuk gunung, dan sudah berubah hingga tak dikenal lagi sebagai dinding. (Penulis)



132. Page

bumi. Panjangnya bisa dicapai dalam beberapa hari perjalanan. Ia (dibangun) untuk menangkal serangan dan gempuran dari suku-suku liar dan bangsa-bangsa lalim yang suka menyerang suku-suku tertindas di India dan Cina. Merekalah kaum dan bangsa yang dalam al-Qur’an disebut Ya’juj dan Ma’juj, atau dalam sejarah umat manusia – melalui ungkapan lain – disebut sebagai bangsa Manchuria dan Mongol yang tampil dari balik Pegunungan Himalaya. Mereka memporak-porandakan alam kemanusiaan berkali-kali dari belahan Timur hingga Barat. Tembok besar ini mampu menghadang serangan bangsa-bangsa liar tersebut dan banyak gempuran mereka di berbagai kesempatan. Telah dibangun pula sejumlah tembok lain atas prakarsa raja-raja Persia kuno yang mirip dengan Dzul Qarnain untuk menghadang serangan bangsa Tartar yang suka menyerang, menggempur, dan bertindak semena-mena di celah sempit Pegunungan Kaukasia.


Terdapat banyak sekali tembok pertahanan semacam itu yang pernah dibuat orang. Al-Qur’an Hakim, karena menyampaikan pesan kepada seluruh umat manusia, maka ia hanya menyebut apa yang secara kasat mata terlihat sebagai kejadian parsial. Ia menyampaikan pesan kepada mereka, seraya mengingatkan pada seluruh kejadian yang menyerupai peristiwa tersebut. Dari sudut inilah terjadi banyak sekali perbedaan riwayat seputar tembok pertahanan, juga tentang Ya’juj dan Ma’juj. Pendapat para ahli tafsir juga berbeda-beda dalam hal ini, dan jumlahnya banyak.


Selain itu, al-Qur’an Hakim biasa beralih menurut konteks pembicaraan dari satu kejadian ke kejadian lainnya yang rentang waktunya jauh. Orang yang tidak memperhatikan konteks ini pasti mengira rentang waktu kedua kejadian berdekatan.


Demikianlah, pemberitahuan al-Qur’an tentang hancurnya tembok penghalang dan terjadinya kiamat bukan menurut kedekatan waktu (kejadian keduanya), tapi untuk dua nuktah halus dilihat dari konteks pembicaraan. Yakni, sebagaimana halnya tembok ini akan hancur suatu hari nanti, maka dunia ini pun pasti akan dihancurkan kelak.


Sebagaimana gunung-gunung – benteng-benteng ilahi yang alami – itu kokoh dan hanya akan dihancurkan nanti saat kiamat terjadi, demikian pula tembok penghalang itu kokoh bak gunung, yang tidak akan hancur dan lenyap kecuali dengan kehancuran dunia dan keruntuhannya. Artinya, sebagian besar tembok penghalang tersebut akan bertahan lama, kokoh, dan kuat, bahkan meski tertimpa peristiwa bencana sepanjang masa.


Ya. Itulah tembok Cina yang unik satu-satunya di antara keseluruhan tembok buatan Dzul Qarnain yang hingga kini masih berdiri kokoh meski telah melewati masa ribuan tahun. Ia bisa dibaca seakan garis panjang benda membatu, yang menyimpan segudang pelajaran dan makna yang ditulis oleh tangan manusia di atas lembaran bumi, di antara baris-baris sejarah masa lampau.

 

Pertanyaan Anda yang Ketiga:

Yaitu tentang Sayidina Isa a.s yang akan membunuh Dajjal. Hal ini sudah dijelaskan dalam “Maktub Pertama” dan “Maktub Kelimabelas” secara singkat sekali. Di keduanya sudah terdapat jawaban memadai untuk kalian.


133. Page

بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ

وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه۪

Dengan Nama-Nya Yang Maha Suci

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ

 

Dua saudaraku yang mulia, tulus, dan rela berkorban, Syeikh Shabri dan Hafidz Ali.

Pertanyaan penting yang kalian ajukan tentang lima hal gaib yang disebut di akhir ayat pada surat Luqman memang menuntut jawaban penting sekali. Namun, kondisi jiwa dan fisik saya saat ini sayangnya tidak memungkinkan untuk menulis jawaban tersebut. Kami hanya akan menyampaikan suatu isyarat singkat sangat global berisi satu atau dua poin yang berhubungan dengan pertanyaan kalian.


Inti pertanyaan kalian menunjukkan bahwa kalangan atheis membantah soal waktu turunnya hujan dan jenis kelamin janin yang ada di dalam rahim. Kedua masalah ini termasuk bagian dari lima hal gaib yang mereka tentang melalui kata-kata mereka: Waktu turunnya hujan bisa diketahui melalui alat pemantau cuaca. Artinya, hal itu diketahui oleh selain Allah juga. Lalu, jenis kelamin bayi yang ada di dalam rahim ibu, lelaki ataukah perempuan, juga bisa diketahui melalui alat USG. Dengan kata lain, kelima hal gaib sangat mungkin untuk diketahui.

 

Jawaban:

Karena waktu turunnya hujan tidak terkait dengan kaidah tertentu, maka ia terkait secara langsung dengan kemauan ilahi (masyiah ilahiyyah). Ia berada di dalam khazanah rahmat, mengikuti kehendak ilahi (iradah ilahiyyah). Rahasia hikmahnya adalah:


Hakikat paling penting di jagad raya ini dan esensi paling berharga di dalamnya adalah wujud (eksistensi), kehidupan, nur (cahaya), dan rahmat. Keempat hal ini secara langsung kembali kepada kuasa ilahi (qudrah ilahiyyah) dan kehendak khusus ilahi, tanpa hijab (tirai penutup) dan tanpa perantara.


Adapun seluruh ciptaan, maka di dalamnya terdapat sebab-sebab lahiriah sebagai hijab bagi perbuatan qudrat ilahi. Kanun-kanun dan kaidah-kaidah yang berlaku menjadi hijab bagi kehendak dan ikhtiar dalam batas tertentu. Hanya saja sebab-sebab ini tidak ditaruh sebagai hijab di hadapan wujud, rahmat, nur, dan kehidupan, karena rahasia hikmah hijab tak berlaku pada keempat hal ini.


Karena hakikat paling utama dalam wujud adalah kehidupan dan rahmat, dan karena hujan merupakan sumber kehidupan serta sarana rahmat, bahkan rahmat itu sendiri, maka tak syak lagi bahwa hendaknya perantara tidak menjadi hijab di hadapannya, dan hendaknya kaidah dan aturan tidak menghalangi kehendak khusus ilahi, sehingga semuanya dipaksa harus bersyukur, beribadah, memohon, dan berdoa setiap saat dan dalam segala hal. Jika (turunnya hujan) berada dalam lingkup kaidah tertentu, tentu semua orang bergantung pada kaidah tersebut, dan tentu kita tutup rapat-rapat pintu syukur dan harapan.


Sudah diketahui sejauh mana manfaat di balik terbitnya matahari. Namun karena (terbitnya matahari) mengikuti kaidah yang berlaku, akhirnya tak ada seorang pun yang 

134. Page

berdoa agar ia terbit, juga tak ada yang bersyukur atas nikmat terbitnya (matahari), serta itu juga tidak dianggap sebagai hal gaib, karena ilmu manusia melalui perantara kaidah tersebut mengetahui waktu terbitnya matahari besok.


Namun hal-hal parsial dari hujan tidak mengikuti kaidah tertentu, karena itulah manusia terpaksa harus memohon kepada Allah S.w.t setiap saat melalui doa dan harapan. Karena ilmu manusia tidak bisa memastikan waktu turunnya hujan, maka mereka meyakini bahwa hujan adalah nikmat khusus bagi mereka yang berasal dari simpanan rahmat semata, dan mereka bersyukur kepada Allah atasnya dengan sebenar-benarnya. Ayat ini menjadikan waktu turunnya hujan termasuk dalam lima hal gaib berdasarkan sudut pandang ini.


Adapun firasat dan perasaan tanda-tanda turunnya hujan yang diketahui melalui alat-alat pamantau cuaca, sehingga waktu turunnya hujan bisa ditentukan, ini bukan berarti mengetahui hal gaib itu, tapi hanya sebatas mengetahui sebagian tanda-tandanya saat sudah mendekati alam nyata setelah keluar dari (alam) gaib. Sebagaimana hal-hal gaib yang paling tersembunyi bisa diketahui melalui semacam firasat bakal terjadinya sesuatu saat ia terjadi atau saat dekat akan terjadi, ini juga bukan berarti mengetahui hal gaib, tapi hanya sebatas mengetahui sesuatu yang terwujud atau mengetahui sesuatu yang hampir terwujud. Bahkan saya pun kadang bisa merasakan di saraf saya bakal datangnya hujan dua puluh empat jam sebelumnya. Hujan pun memiliki pertanda dan permulaan. Permulaan ini menampakkan diri dalam bentuk kelembaban udara, dan mengirim informasi akan turun hujan setelah itu. Kondisi seperti ini sama persis seperti kaidah yang berlaku sebagai sarana untuk mengantarkan pengetahuan manusia pada hal-hal yang keluar dari alam gaib tapi belum memasuki alam nyata. Namun pengetahuan tentang waktu turun hujan yang sama sekali belum muncul di alam nyata dan belum keluar dari rahmat khusus berdasarkan kehendak khusus, ini hanya khusus dimiliki Dzat Yang Maha Mengetahui hal gaib satu-satunya.


Sisa pertanyaan kedua:

Pengetahuan tentang jenis kelamin janin yang ada dalam rahim ibu melalui alat USG, apakah lelaki atau perempuan, tidak mungkin menyalahi kandungan gaib dari ayat: وَ يَعْلَمُ مَا فِي الْاَرْحَامِ (“Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam rahim” Qs. Luqman [31]: 34).


Hal itu karena, yang dimaksud ayat ini bukan sekedar jenis kelamin laki-laki atau perempuan semata, tapi yang dimaksud adalah kesiapan menakjubkan yang khusus dimiliki si anak, serta prinsip-prinsip takdir kehidupannya yang merupakan poros dari posisi dan kondisi yang akan terjadi padanya di kemudian hari. Bahkan stempel shamadiyah yang sangat menakjubkan pada raut muka si anak, itu juga yang dimaksud (ayat ini). Sebab, pengetahuan tentang si anak dalam bentuk seperti ini hanya khusus merupakan pengetahuan Tuhan Yang Maha Mengetahui hal gaib. Biar pun seratus ribu pemikiran manusia yang serupa USG disatukan, pasti tidak akan bisa mengungkap raut-raut muka hakiki si anak yang memiliki hubungan terpisah di wajahnya yang membedakannya dengan seluruh manusia yang ada, apalagi bisa mengungkap potensi-potensinya dari raut muka maknawi si anak yang seratus kali lebih indah dari stempel shamadiyah yang ada di raut mukanya.


Telah kami sebutkan di pendahuluan bahwa kehidupan dan rahmat merupakan hakikat paling penting di jagad raya ini. Keduanya juga memiliki maqam paling penting dan tingkatan paling agung. Karena itu, salah satu rahasia mengapa hakikat kehidupan dengan seluruh bagian-bagian detailnya semata mengarah pada kehendak khusus dan rahmat khusus, yaitu agar kehidupan dengan seluruh perangkat dan sisinya menjadi sumber dan poros rasa syukur, 

135. Page

ubudiyah, dan tasbih. Karena alasan inilah tidak diberlakukan adanya keharusan dan kaidah apa pun yang menghalangi kehendak khusus, serta adanya perantara-perantara lahiriah yang menghalangi rahmat khusus.


Allah S.w.t memiliki dua tajalli pada raut-raut muka maknawi dan fisik si janin yang di perut ibu:


Pertama: Dia memperlihatkan wahdah, ahadiyah dan shamadiyah-Nya S.w.t, karena si janin menyaksikan keesaan Sang Pencipta dan Kreatornya dari sisi kesesuaian dan keselarasan antara bagian-bagian tubuh vital dan berbagai macam organ insani dengan seluruh manusia. Si janin melalui bahasa ini meneriakkan kata-kata, “Dzat yang memberiku raut muka dan bagian-bagian tubuh seperti ini adalah Pencipta seluruh manusia yang memiliki kesamaan di semua bagian tubuh vital, Dia adalah Pencipta seluruh makhluk hidup.” Bahasa janin yang ada dalam rahim ibu bukanlah lisan gaib, namun diketahui, dan dimungkinkan untuk diketahui karena ia mengikuti kaidah, aturan, dan jenis yang berlaku. Janin merupakan ranting dan lisan yang membentang dari alam gaib ke alam nyata.


Kedua: Melalui bahasa raut muka potensi-potensi khusus dan raut wajahnya yang bersifat personal, si janin secara lantang mengumumkan ikhtiar Sang Penciptanya, kehendak-Nya, kemauan-Nya, dan rahmat khusus-Nya, memperlihatkan dengan jelas bahwa (ikhtiar dan rahmat ilahi) tak terbatasi oleh apa pun. Hanya saja bahasa ini muncul dari balik kegaiban alam gaib, sehingga tak seorang pun bisa melihat sebelum (si bayi) terwujud, dan tak ada pihak lain yang bisa mengetahuinya selain ilmu azali. Bahasa ini – yakni bahasa raut muka potensi-potensi khususnya dan raut wajahnya yang bersifat personal – tak bisa dilihat dengan teropong alat apa pun di antara ribuan alat pindai raut muka yang ada, saat janin masih berada di dalam rahim ibu.

 

Kesimpulan

Pada raut muka potensi janin dan pada raut wajahnya terdapat bukti yang menunjukkan wahdaniyah (keesaan), hujjah atas ikhtiar ilahi dan kehendak-Nya.


Jika Allah S.w.t berkenan memberi taufik, insya Allah akan ditulis sebagian nuktah-nuktah lain seputar lima hal gaib. Hanya saja kondisi dan waktu saya saat ini tak bisa memberikan penjelasan lebih banyak dari sekadar ini. Saya tutup pembicaraan saya sampai di sini saja.

 

اَلْبَاق۪ي هُوَ الْبَاق۪ي

Yang Abadi adalah Abadi

 

Sa’id Nursi 

136. Page

بِاسْمِه۪ سُبْحَانَهُ

وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه۪

Dengan Nama-Nya Yang Maha Suci

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ

 

Saudaraku yang mulia, tulus, dan haus akan pengetahuan, Sayid Ra’fat!

Anda bertanya di dalam surat yang Anda layangkan, tentang indera halus (lathifah) yang sepuluh. Hanya saja zaman sekarang bukan waktu untuk mengajarkan tarekat sufi. Para ulama muhaqqiq di tarekat Naqsabandiyah memiliki sejumlah karya tulis tentang kesepuluh indera halus. Dan tugas kita pada masa kini adalah menyimpulkan makna dan rahasia al-Qur’an, bukan menukil masalah-masalah yang ada di dalam kandungan kitab-kitab itu. Saya tidak bisa mengajukan penjelasan rinci, maka jangan anda berkecil hati. Hanya saja saya katakan hal berikut:


Imam al-Rabbani telah menyebut kesepuluh indera halus itu dengan kalbu, ruh, sirr, khafi, akhfa, dan dengan indera halus insani yang selaras dengan masing-masing dari keempat unsur yang ada dalam diri manusia. Dia menyebutkan secara singkat kenaikan setiap indera halus tersebut dan kondisinya di setiap tingkatan dalam perjalanan spiritual (sayr) dan praktek sufi (suluk).


Saya pribadi berpendapat, dalam esensi manusia yang menyeluruh dan potensi kehidupannya terdapat banyak sekali indera halus, tapi hanya sepuluh di antaranya yang dikenal. Hingga para ahli hikmah dan para ulama syariat menjadikan kesepuluh indera halus itu sebagai asas bagi hikmah mereka dengan cara lain; yakni bersama lima indera lahiriah dan lima indera batin yang merupakan jendela bagi kesepuluh indera halus atau model baginya. Bahkan hingga sepuluh indera halus manusia yang dikenal di kalangan kalangan awam maupun khawas memiliki kaitan dengan sepuluh indera halus yang dikenal oleh para ahli tarekat.


Sebagai contoh, jika indera-indera halus seperti emosi, saraf, perasaan, akal, hawa nafsu, potensi syahwat, dan potensi marah digabungkan dengan hati, ruhani, dan batin (sirr), maka kesepuluh indera halus akan terlihat dalam bentuk berbeda. Masih banyak lagi indera-indera halus selain indera halus ini, seperti intuisi penuntun, intuisi kerinduan, firasat terhadap suatu kejadian sebelum terjadi. Jika hakikat seputar masalah ini ditulis secara tuntas tentu akan panjang sekali. Karena itu terpaksa saya potong pembicaraan mengingat keterbatasan waktu.


Adapun pertanyaan anda kedua yang merupakan masalah makna ismi (kata) dan makna harfi (huruf), maka sebagaimana ia telah dijelaskan di bagian-bagian awal semua kita nahwu (tata bahasa Arab), ia sudah dijelaskan pula secara memadai berikut contoh-contohnya dalam risalah-risalah ilmu hakikat seperti al-Kalimat dan al-Maktubat.


Orang cerdas dan jeli seperti Anda tentu tidak memerlukan banyak penjelasan. Saat Anda berkaca di depan cermin demi karena ia kaca, Anda tentu akan melihatnya benar-benar kaca dengan sengaja, dan Ra’fat tampak terlihat di dalamnya sebagai ikutan (bayangan) sekunder. 


137. Page

Sementara jika Anda menatap ke cermin dengan niat melihat ke wajahnya yang diberkahi, maka Anda akan melihat sosok Ra’fat tercinta tersayang seraya mengucapkan: فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقينَ (“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik” Qs. al-Mukminun [23]: 14), dan kaca cermin tetaplah (sarana) untuk melihat sebagai ikutan sekunder.


Kaca cermin dalam contoh pertama itulah makna ismi, sementara Ra’fat adalah makna harfi.


Sementara dalam contoh kedua, kaca cermin itulah makna harfi, yaitu tidak dilihat padanya demi karenanya menurut dzatnya, tapi dilihat demi karena makna lain, yaitu gambar yang dipantulkan padanya. Gambar inilah yang disebut makna ismi. Yakni, sesuatu yang ada berdasarkan definisi kata, yaitu: “Sesuatu yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri.” Dalam hal ini, cermin menjadi pembenar bagi definisi huruf yang ada: “Sesuatu yang menunjukkan makna pada yang lain.”


Seluruh wujud yang ada di jagad raya ini, menurut pandangan al-Qur’an, adalah huruf-huruf yang menunjukkan makna pada yang lainnya dengan makna harfi. Yakni, ia menjelaskan nama-nama Sang Pencipta alam dan sifat-sifat-Nya.


Sementara filsafat yang mati beku dan tidak memiliki jiwa pada umumnya melihat jagad raya dengan makna ismi, hingga jatuh dalam lumpur naturalisme.


Bagaimana pun juga, saya tidak punya waktu untuk berbicara panjang lebar, sampai-sampai saya tidak sempat menulis bagian yang paling penting, paling mudah, dan bagian akhir untuk Indeks.

 

 

Sa’id Nursi