LAMA'AT KESEBELAS

63. Page

LAMA'AT KESEBELAS


Tangga Sunnah dan Penangkal Penyakit Bid’ah

بسم الله الرحمن الرحيم

لَقَدْ جَٓائَكُمْ رَسُولٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَز۪يزٌ عَلَيْهِ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu.” (Qs. al-Taubah [9]: 128)

Maqam pertama ayat ini adalah “metode sunnah” (minhaj al- sunnah) dan maqam keduanya adalah “tangga sunnah” (mirqat al- sunnah).

فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لآَ اِلٰهَ اِلَّأ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظ۪يمِ


“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada- Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung’.” (Qs. al-Taubah [9]: 129)

اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُون۪ي يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ

“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 31)

Akan dijelaskan secara umum sebelas nuktah di antara ratusan nuktah untuk kedua ayat agung ini.



Nuktah Pertama


Rasulullah bersabda:

مَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّت۪ي عِنْدَ فَسَادِ اُمَّت۪ي فَلَهُٓ اَجْرُ مِائَةِ شَه۪يدٍ

“Siapa berpegang teguh pada sunnahku di saat kerusakan umatku, maka ia akan mendapat pahala seratus syahid.”[1]


Ya, tak dapat diragukan lagi bahwa ittiba’ al-sunnah (mengikuti sunnah luhur) itu penting sekali. Apalagi di masa merajalelanya dan tersebar luasnya bid’ah. Nilainya ketika itu lebih tinggi dan lebih luhur. Dan menerapkan adab-adab sunnah, yang paling sederhana sekali pun, khususnya di saat kerusakan umat, pasti akan menimbulkan rasa ketakwaan yang besar dan keimanan yang kokoh.



[1] Silahkan baca hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ini dalam al-Zuhd al-Kabir, al-Baihaqi (hadits nomor 118), al-Targhib waal-Tarhib, al-Mundziri (I/41), Misykat al-Mashabih (I/62), al-Mu’jam al-Awsath, ath-Thabrani dari Abu Hurairah dengan riwayat, “Orang yang berperang teguh pada sunnahku saat umatku mengalami kerusakan, ia mendapat pahala syahid.” (V/315)




64. Page

Sesungguhnya ittiba’ sunnah akan secara langsung mengingatkan kepada Rasulullah SAW, dan Ingatan ini akan menyadarkan kita terhadap pengawasan Allah. Orang yang mengikuti sunnah, bahkan dalam bentuk muamalat paling sederhana sekali pun, dan bahkan dalam beradab makan, minum, dan tidur, maka amalnya yang sederhana dan ke- biasaan rutin, serta amalnya yang fitri, akan menjadi ibadah yang diberi pahala serta menjadi amal syar’i. Sebabnya, karena dalam amalnya yang rutin ini, pikirannya selalu mengingatkannya kepada rasulullah dan dia selalu membayangkan bahwa dia tengah menjalankan salah satu di antara adab-adab syariat, sehingga datang ke dalam hatinya (pikiran) bahwa beliau adalah pembawa syariat (shahib al-syari’ah), kemudian hatinya akan tertuju kepada Tuhan al-Haq Ta’ala yang merupakan Pemilik Syariat yang Hakiki (al-syari’ al- haqiqi), sehingga dia akan selalu merasakan pengawasan ilahi dan ibadah setulusnya.

Berdasarkan rahasia ini, maka siapa pun yang menjadikan ittiba’ sunnah sebagai kebiasaan rutin bagi dirinya, berarti dia telah mengubah seluruh kebiasaannya menjadi ibadah-ibadah, dan memungkinkannya pula menjadikan seluruh usianya menjadi sesuatu yang membuahkan hasil dan diberi pahala.


Nuktah Kedua

Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi[1] berkata, “Saya melihat saat menempuh tingkatan-tingkatan (maratib) dalam perjalanan ruhani bahwa golongan (thabaqat) para wali yang paling bersinar, paling tinggi, paling lembut, dan paling selamat, adalah golongan yang menjadikan ittiba’ sunnah sebagai asas bagi tarekat. Bahkan para wali awam yang berada dalam golongan ini tampak lebih agung dan lebih menawan dari pada para wali khawas di lain golongan.


Ya, sungguh benar apa yang disampaikan mujaddid Imam Rabbani. Maka, orang yang menjadikan sunnah sebagai asas, dia akan meraih maqam kecintaan (mahbubiyyah) di bawah naungan Nabi SAW.


Nuktah Ketiga

Ketika Said yang fakir ini berusaha keluar dari kondisi “Said Lama,”[2] akal dan hatinya mencari di antara hakikat-hakikat yang mulia, menghadapi terpaan badai maknawi yang menakutkan, disebabkan karena tiadanya pedoman yang membimbingnya, juga karena tipu daya nafsu ammarah bi al-su’ (jiwa yang senantiasa memerintahkan keburukan). Akal dan hatinya terombang-ambing, terkadang turun dari gugus Lintang Kartika ke bumi, dan sebaliknya.. Pada saat itulah aku menyaksikan bahwa masalah-masalah sunnah saniyyah –bahkan adab-adabnya yang sederhana seolah- olah seperti kompas yang menuntun arah laju kapal, juga sebagai rambu- rambu di jalanan yang gelap tak terbatas jumlahnya



[1] Syaikh Ahmad bin Abdul Ahad Zainul Abidin al-Faruqi as-Sirhindi, dikenal sebagai reformis abad XX. Beliau adalah seorang alim, arif, sosok yang gigih mengamalkan dan menyebarkan ilmu. Beliau memiliki salah satu karya berjudul al-Maktubat dalam tiga jilid. Beliau lahir pada tahun 971 H. di India, dan meninggal pada tahun 1034 H.


[2] Syaikh Badiuzzaman Sa’id Nursi menyebut periode usia sebelum 40 tahun sebagai “Sa’id lama,” dan untuk periode usia setelah 40 tahun sebagai “Sa’id baru,” karena saat itu beliau mengalami revolusi spiritual dan pemikiran, serta mengarah para orientasi baru.




65. Page

Ketika aku, dalam pengembaraan ruhani itu, menyadari diriku berada dalam kesulitan besar, tekanan dan beban berat berada di pundak, lalu aku mengikuti ajaran-ajaran sunnah saniyyah yang berhubungan dengan kondisi tersebut, maka aku pun mendapatkan perasaan enteng.


Ya, aku mengerti bahwa makna ayat ini secara implisit (isyari) –di samping maknanya yang tegas (sharih)– telah menghibur, sehingga aku mendapatkan ketenangan dan kebahagian.

Ya, sebagaimana ayat itu dengan makna tegasnya berkata kepada Rasulullah, “Jika orang-orang sesat memalingkan punggung mereka dan berpaling dari syariat dan sunnahmu, serta tidak mau mendengarkan al-Qur’an, maka jangan kau resah dan bersedih hati, tapi katakan saja, ‘Cukuplah Allah bagiku, aku berserah diri kepada- Nya; Dia-lah yang akan menciptakan dan merawat orang-orang yang mengikuti syariat dan sunnahku sebagai ganti kalian; singgasana kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu; sehingga para pendosa tidak akan mampu melarikan diri dari-Nya, orang yang meminta pertolongan pasti akan dibalas.,” maka demikian pula (ayat) itu juga berkata dengan makna implisitnya, “Wahai manusia! wahai sayid dan mursyid mereka! Jika semua maujud yang ada meninggalkanmu dan pergi menuju ketiadaan di jalan kefanaan, serta jika mereka yang hidup berpisah darimu dan berlarian di jalan kematian, dan jika manusia meninggalkanmu dan memasuki kuburan, begitu pula meskipun orang-orang yang lalai dan sesat tidak mau mendengarkanmu dan lebih memilih jatuh dalam kegelapan, maka tidak usah kau bersedih dan risau. Tapi ucapkanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Karena Allah ada, maka tiap sesuatu tentu ada . Jadi, mereka yang telah pergi bukanlah pergi menuju ketiadaan, tapi mereka pergi menuju negeri lain milik Sang Pemilik ‘arsy yang agung. Sebagai pengganti mereka, Dia akan mengirim pihak lain dari bala tentara-Nya yang tak terbatas. Orang- orang yang memasuki kuburan tidaklah lenyap, tapi hanya pergi ke alam lain. Dia akan mengirim para petugas lain sebagai pengganti mereka. Allah Maha Kuasa untuk mengirim hamba-hamba-Nya yang taat, yang mengikuti jalan kebenaran sebagai pengganti dari mereka yang jatuh dalam kesesatan. Karena demikian itu, berarti Allah pengganti segala sesuatu. Dan segala sesuatu tak mungkin menggantikannya serta tak mungkin menggantikan salah satu bagian dari kelembutan dan kasih sayang-Nya terhadap para makhluk dan hamba. 


Melalui perantara makna implisit ini, ketiga jenazah yang menakutkan, yang menggentarkanku, itu berubah menjadi bentuk lain, yaitu bahwa seluruh entitas saling mengisi. Mereka datang dan pergi dalam sebuah perjalanan mulia. Sebuah pengabdian yang terus-menerus, penuh dengan hikmah, perjalanan yang penuh dengan pelajaran, wisata penting dalam naungan aturan sang Mahabijak, sang Maha Pengasih, sang Maha Adil yang Maha Kuasa dan maha Memiliki keagungan, serta dalam lingkup pemeliharaan Tuhan yang agung, kebijaksanaan-Nya yang mendalam dan rahmat-Nya yang luas. 

Nuktah Kelima


Allah berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُون۪ي يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ

 “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu’” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 31).


Sesungguhnya ayat agung ini memberitahukan tentang betapa pentingnya ittiba’ sunnah.Ya, ayat mulia ini termasuk jenis qiyas pengecualian (qiyas istitsna’i) yang paling kuat dan kepastiaannya yang tinggi di antara qiyas-qiyas logika yang ada. Itu sebagai berikut:


66. Page

Sebagaimana dalam ilmu logika disebutkan contoh untuk qiyas istitsna’i: “Apabila matahari terbit, maka siang ada.” Disebutkan contoh untuk kesimpulan positif: “matahari terbit, maka kesimpulannya siang ada.”


Dan disebutkan contoh untuk kesimpulan negatif: “ bukan siang, berarti matahari tidak terbit.”


Kedua kesimpulan ini –positif dan negatif– bersifat pasti menurut ilmu logika. Sebagaimana dalam qiyas ini, persis ayat mulia di atas menyatakan:


“Jika kalian mencintai Allah, maka kalian wajib ittiba’ (mengikuti) sang kekasih Allah. Jika beliau tidak diikuti, maka kesimpulannya: kalian tidak mencintai Allah. Dan jika kalian memiliki cinta (mahabbah) Allah, maka cinta ini akan membuahkan ittiba’ sunnah saniyyah bagi sang kekasih Allah.”


Ya, orang yang beriman kepada Allah tentu akan taat kepada-Nya. Tidak diragukan lagi, jalan yang paling diharapkan, paling singkat, dan paling lurus di antara semua jalan ketaatan adalah jalan yang ditunjukkan dan yang ditempuh oleh sang kekasih Allah SWT.

Ya, tentu Tuhan Yang Maha Mulia dan Pemilik keindahan –yang memenuhi jagad raya dengan kadar nikmat sedemikian ini– sudah pasti akan menuntut syukur dari orang yang memiliki akal dan pemahaman di hadapan nikmat-nikmat itu.


Tentu Tuhan Yang Maha Mulia dan Pemilik keluhuran –yang menghiasi jagad raya dengan kadar mukjizat karya-Nya sedemikian ini– tak diragukan lagi pasti akan menjadikan seorang sosok terbaik di antara mereka yang memiliki kesadaran dan pemahaman, sebagai juru bicara dan penerjemah bagi diri-Nya, sekaligus sebagai penyampai bagi hamba-Nya.


Tentu Tuhan Yang Maha Indah dan maha kesempurnaan– yang menjadikan jagad raya ini sebagai tempat penampakan sebagian tajalli keindahan dan kesempurnaan-Nya yang tak terhingga tentu saja akan menganugerahkan kepada sosok yang paling menghimpun segala keindahan yang diciptakannya dan paling bisa menampilkan estetika, kesempurnaan dan nama-namanya yang mulia; dia akan memberikan kepadanya sebegai teladan terbaik bagi orang lain dan mendorong mereka untuk mengikutinya. Hal itu dimaksudkan agar kelembutan dan keindahan-Nya tampak bagi mereka.


Kesimpulan: Sesungguhnya cinta kepada Allah (mahabbah) menuntut dan mengharuskan mengikuti ittiba’ sunnah Nabi SAW. Sungguh beruntung orang yang nasibnya dipenuhi dengan ittiba’ sunnah, dan sungguh celaka bagi orang yang tidak menghormati sunnah serta tenggelam dalam bid’ah. 


Nuktah Keenam

Rasulullah SWT telah bersabda:


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

 “Semua bid’ah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka.”[1]



[1] Baca; al-Sunan al-Kubra, al-Nasai, hadits nomor 449, Shahih Ibnu Khuzaimah (III/143) dan al-Mu’jam al-Kabir (IX/98).




67. Page

Artinya, sesudah kaidah-kaidah syariat yang mengagumkan dan prinsip-prinsip sunnah yang suci itu terwujud dalam bentuk yang sempurna seperti yang disebutkan dalam firmannya;


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

 “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,” (Qs. al-Ma`idah: 3)


Maka, menyepelekan prinsip-prinsip sunnah dengan melakukan sesuatu yang baru atau menciptakan berbagai bid’ah yang mengisyaratkan kekurangan kaidah tadi merupakan sebuah kesesatan yang termpatnya adalah neraka. 


Sunnah Nabi memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan Pertama, sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Bagian ini sudah dijelaskan secara rinci di dalam syariat luhur. Ia termasuk muhkamat yang tidak mungkin diubah melalui sisi mana pun. Tingkatan yang ke-dua adalah nafilah, yang terdiri dari dua bagian:


  1. Sunnah-sunnah Nabi yang khusus mengenai ibadah. Ini juga sudah dijelaskan di dalam kitab-kitab syariat; mengubahnya termasuk perbuatan bid’ah.
  2. Sunah Nabi yang lain disebut “Adab,” dan ini dijelaskan dalam kitab-kitab sirah. Sikap yang bertentangan dengan adab tersebut tidak disebut bid’ah, namun itu menyalahi adab Nabi. Serta tidak mendapatkan cahayanya dan dari adab yang hakiki. Bagian ini merupakan ittiba’ atas perbuatan-perbuatan Rasul mulia SAW yang dikenal dengan mutawatir dalam hal tradisi, dan hubungan alamiah kemanusiaan. Terdapat banyak sekali sunnah saniyyah yang menjelaskan adab berbicara, misalnya, “ adab tingkah laku seperti makan, minum, tidur, dan yang terkait dengan pergaulan”. Sunnah semacam ini disebut “Adab.” Maka siapa pun yang mengikuti adab ini berarti ia telah mengubah kebiasaannya menjadi ibadah, dan ia akan meraih limpahan karunia dari adab tersebut. Sebab, menjaga adab paling sederhana sekali pun akan mengingatkan (kita) pada Rasulullah SAW serta akan mengalirkan cahaya ke hati.

Di antara sunnah-sunnah Nabi yang paling penting adalah yang berkenaan dengan syiar-syiar Islam. Maka syiar-syiar tersebut –seperti ibadah– termasuk jenis hak umum yang berhubungan dengan masyarakat. Jika diterapkan oleh seseorang semua masyarakat akan mendapatkan manfaatnya, dan jika ditinggalkan semua masyarakat akan bertanggung jawab terhadap sunnah. Jenis syiar semacam ini harus diumumkan, dan tidak termasuk riya. Ini lebih penting dari kewajiban-kewajiban yang bersifat personal, meskipun syiar-syiar ini termasuk jenis perbuatan nafilah.


Nuktah Ketujuh

Sunnah Nabi merupakan sebuah adab. Di setiap persoalan dan masalahnya kecuali pasti mengandung cahaya dan adab di dalamnya. Rasulullah bersabda:


اَدَّبَن۪ي رَبّ۪ي فَاَحْسَنَ تَاْد۪يب۪ي

 “Rabbku telah mengajarkan adab padaku, dan Dia telah memperindah akhlakku.”[1]




[1] Baca hadits ini dalam al-Imta’ bil Arba’in al-Mutabayinatus Sima’, Ibnu Hajar. Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Diriwayatkan al-Askari, hadits ini dhaif.” Baca juga; Kanzal-‘Ummal (XI/186), Asnaal-Mathalib, hal: 35. Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi dhaif, namun maknanya shahih.




68. Page

Ya, siapa pun yang memperhatikan sejarah kehidupan Nabi dan memahami sunnahnya pasti mengetahui dengan yakin bahwa Allah telah mengumpulkan seluruh jenis adab pada kekasih-Nya. Maka, orang yang meninggalkan sunnah sesungguhnya dia meninggalkan adab, dan kondisinya tepat seperti kaedah, “Orang yang tidak memiliki adab pantang mendapatkan nikmat ilahi.”[1] Ia pasti terperosok ke dalam adab yang buruk dan merugi.


Pertanyaan:

Bagaimana adab bersama dengan Dzat Yang Maha mengetahui hal gaib, Yang Maha Mengetahui lagi Melihat segala sesuatu, di mana tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya? Padahal, tidak mungkin bagi kita menyembunyikan hal-hal yang memalukan dari- Nya, sementara termasuk jenis adab adalah menyembunyikan dan menutupi aib atau kesalahan, sedangkan menyembunyikan hal tertentu mengharuskan kita merasa enggan dan tidak suka, dan tidak mungkin menutup-nutupi sesuatu dari Yang Maha Mengetahui hal gaib?


Jawaban:

Pertama, sebagaimana Allah sang maha pencipta yang agung ingin memperlihatkan ciptaan-Nya dengan bentuk yang indah dalam pandangan makhluk-Nya, Dia meletakkan hal-hal yang tidak disukai dalam tirai hijabnya, serta menghiasi nikmat-nikmat-Nya agar dicintai oleh penglihatan manusia, maka Allah juga meminta kepada para makhluk dan hamba-Nya untuk tampil dalam bentuk terbaik. Sebab, jika mereka tampil dalam kondisi yang buruk, maka hal itu akan bertentangan dengan abad yang indah serta bertentangan dengan kesucian asmaul husna, seperti Yang Maha İndah, Yang Maha Menghiasi, Yang Maha Lembut, dan Maha Bijaksana. Demikianlah adab-adab yang terdapat dalam sunnah Nabi merupakan ekspresi adab yang suci seperti terkandung dalam nama-nama Tuhan yang mulia. 


Kedua, sebagaimana dokter tentu boleh melihat sebagian besar bagian tubuh pasien wanita yang haram demi keperluan pengobatan, dan hanya boleh dibuka olehnya dalam kondisi darurat. Dan itu tidak dikatakan adab buruk, bahkan dikatakan bahwa adab kedokteran mengharuskan itu. Di saat lain, dokter tersebut tidak boleh melihat tempat terlarang wanita asing dalam kapasitasnya sebagai lelaki, guru dan dai. Adab pun tidak membolehkan wanita asing untuk membuka (aurat) di hadapannya. Bahkan, membukanya (di hadapan dokter) dari sisi ini merupakan perbuatan memalukan dan tidak ada rasa malu.

Demikian pula halnya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi, Dia memiliki banyak nama, dan masing-masing nama memiliki manifestasi khas tersendiri. Contohnya, sebagaimana nama al-Ghaffar (Maha Pengampun) menuntut adanya dosa, nama al-Sattar (Maha Menutupi) menuntut adanya kekurangan-kekurangan, demikian pula nama al-Jamil (Maha Indah) tidak ingin melihat keburukan, serta nama-nama keindahan dan kesempurnaan seperti al-Lathif (Maha Lembut), al-Karim (Maha Mulia), al-Hakim (Maha Bijaksana), al-Rahim (Maha Pengasih), menuntut bahwa semua maujud hendaknya dalam bentuk terbaik dan dalam kondisi sesempurna mungkin.


Nama-nama keindahan dan kesempurnaan tersebut ingin melihat keindahannya menurut pandangan para malaikat, makhluk spiritual, jin, dan manusia, dengan (memberikan) atribut-atribut indah bagi semua maujud, serta kebaikan adabnya.



[1] Kata-kata dalam bahasa Persia, artinya: Siapa yang tidak punya adab, ia terhalang dari karunia dan kebaikan Allah.




69. Page

Demikianlah, adab-adab yang di dalam sunnah saniyyah merupakan isyarat ke adab-adab yang tinggi dan luhur tersebut, sekaligus sebagai prinsip dan teladannya.


Nuktah Kedelapan

لَقَدْ جَٓائَكُمْ رَسُولٌ  

Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul” (Qs. al-Taubah)


Ayat itu disebutkan sebelum ayat:

فَاِنْ تَوَلَّوْا

           (“Jika mereka berpaling [dari keimanan]”) (Qs. al-Taubah[9]: 129) 


Sesungguhnya ayat ini menjelaskan kesempurnaan kasih sayang Rasulullah dan puncak belas kasihnya terhadap umatnya. َKemudian ia berkata dengan ayat ini, (فَاِنْ تَوَلَّوْا) “Jika mereka berpaling.


Wahai manusia dan wahai kaum muslimin! ketahuilah, betapa zalim dan kasar, betapa bodoh dan dungu, penolakan kalian terhadap Sunnah dan hukum-hukum yang disampaikan Rasulullah sebagai seoang yang penyayang, yang menuntun kalian dengan penuh kasih tak terhingga, yang rela mencurahkan segenap tenaga, kekuatan, dan segala upayanya demi kemaslahatan kalian, yang mengobati luka-luka maknawi kalian, lalu dia mengobati dan menyembuhkannya dengan obat hukum-hukum yang dibawanya, juga dengan sunnah saniyyah. Namun kalian seolah-olah mengingkari kasih sayang yang lumrah itu, dan kalian menuduh cinta kasih yang nyata itu dengan yang bukan-bukan.”


“Wahai Rasul yang penyayang, wahai Nabi yang pengasih! Jika mereka tidak mengenal kasih sayangmu yang agung, cinta kasihmu yang besar, serta tidak menghormati keduanya, jika mereka berpaling dan menjauh darimu, serta tidak mau mendengar kata- katamu disebabkan kedunguan dan kebodohan mereka, maka janganlah engkau risau dan bersedih hati. Sebab Tuhan yang maha agung di mana seluruh pasukan langit dan bumi berada di bawah perintah-Nya, yang kekuasaan rububiyah-Nya di atas ‘arsy yang agung meliputi segala sesuatu, Dia itu sudah cukup bagimu. Dialah yang akan mengumpulkan kelompok-kelompok yang taat pada kebenaran di sekitarmu, membuat mereka mendengar dan serta menerima hukum-hukummu.”


Ya, tidak satu pun permasalahan yang terdapat di dalam Syariat dan Sunnah Muhammad melainkan pasti mengandung banyak sekali hikmah. Saya yang faqir ini mengakui demikian dengan segala kelemahan dan kekuranganku, serta siap untuk membuktikan klaim ini. Selanjutnya, apa yang sudah ditulis dan dikarang hingga sekarang, yang mencapai sekitar tujuh puluh atau delapan puluh risalah dari Risalah al-Nur, itu kedudukannya sama seperti tujuh puluh atau delapan puluh saksi jujur bahwa masalah- masalah syariat dan sunnah Muhammad SAW banyak mengandung hikmah dan hakikat. Seandainya mampu ditulis seputar topik ini, tentu tujuh puluh risalah –bahkan tujuh ribu risalah– tidak akan bisa memuat hikmah-hikmah tersebut.


Aku telah menyaksikan secara langsung dan merasakan dalam batin (dzauq), bahkan melalui ribuan pengalaman, bahwa masalah-masalah syariat dan prinsip sunnah Nabi adalah obat yang sangat manjur untuk penyakit-penyakit ruhani, akal dan hati, apalagi penyakit-penyakit sosial. 

70. Page

Saya merasakan sendiri melalui musyahadah, dan juga membuat orang lain ikut merasakan hingga batas tertentu di dalam Risalah al-Nur, bahwa masalah-masalah filsafat dan hikmah tidak mungkin bisa menggantikan maqam dustur sunnah tersebut atau menggantikan posisinya. Orang-orang yang meragukan klaimku, maka seharusnya mereka melihat bagian- bagian dari Risalah al-Nur.


Demikianlah, mengikuti sunnah nabi SAW dengan segenap kemampuan, akan menghasilkan keuntungan yang besar, baik kebahagiaan di akhirat, maupun manfaat yang sangat besar di dunia ini.


Nuktah Kesembilan

Mengikuti setiap jenis sunnah Nabi secara praktis dan keseluruhan, sangatlah sulit kecuali bagi orang-orang yang sangat istimewa. Meskipun semua orang tidak bisa mempraktekan sunnah nabi secara keseluruhan, tetapi mereka bisa berniat, berkomitmen dan menerima di dalam hati.


Mengikuti sunnah Nabi yang fardhu ada kewajiban untuk mengikutinya. Sementara sunnah-sunnah yang terkait dengan ibadah (mustahab), maka meninggalkannya tentu merupakan kehilangan pahala yang besar, meskipun tak ada dosa ketika meninggalkannya, sedangkan mengubahnya tentu merupakan suatu kesalahan besar.


Adapun sunnah Nabi dalam adat kebiasaan dan mualamat, jika mengikutinya dengan tekun, maka ia akan mengubah adat tersebut menjadi ibadah. Namun jika seseorang tidak mengikutinya, memang tak ada cela baginya, hanya saja yang didapatnya dari cahaya adab kehidupan kekasih Allah, sedikit sekali.


Membuat-buat hal baru dalam hukum ibadah adalah bid’ah, dan bid’ah itu tertolak karena menafikan rahasia, 


ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (Qs. al-Ma’idah [5]: 3). 


Namun jika wirid dan dzikir yang terdapat dalam tarikat sufi, maka itu bukanlah bid’ah, dengan syarat ushul dan asasnya diambil dari al-Quran dan Sunnah, hendaknya ia tidak bertentangan dengan ushul dan asas sunnah Nabi. 


Tapi sebagian ulama menganggap masalah ini termasuk kategori bid’ah, hanya saja mereka menyebutnya “bid’ah hasanah” (bid’ah yang baik). Tapi, mujaddid Imam Rabbani berpendapat, “Aku melihat dalam perjalanan suluk spiritual, bahwa kalimat-kalimat (zikir) yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW itu bersinar terang dengan lentera sunnah. Sementara wirid-wirid yang tidak bersumber dari Rasulullah SAW, sama sekali tak memiliki cahaya. Dan (cahaya) yang paling terang pada bagian ini tidaklah seterang cahaya pada bagian pertama. Maka dari sini aku memahami bahwa cahaya sunnah Nabi merupakan obat yang manjur, dan bahwa sunnah itu sudah cukup bagi orang yang menginginkan cahaya, tidak perlu lagi mencari cahaya di luar itu.”


Pernyataan sikap dari pahlawan hakikat dan syariat seperti ini menunjukkan bahwa sunnah Nabi merupakan pilar utama bagi kebahagiaan dunia-akhirat, sekaligus asas kesempurnaan dan sumbernya.


71. Page

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا اتِّبَاعَ السُّنَّةِ السَّنِيَّةِ اٰمي۪نَ

“ Ya Allah! berilah kami rezeki untuk mengikuti sunnah saniyyah. Amin.”


رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلْتَ وَٱتَّبَعْنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ


Wahai Tuhan, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan. Kami juga telah mengikuti Rasul. Karena itu, masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 53)


Nuktah Kesepuluh

Allah berfirman:


قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُون۪ي يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ

 “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi’.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 31)


Sesungguhnya pada ayat ini terdapat makna yang penuh mukjizat. Sebab banyak sekali kalimat telah terangkum dalam tiga kalimat ini. Hal itu sebagai berikut:


Ayat ini menyatakan: Jika kalian beriman kepada Allah, kalian pasti mencintai-Nya. Dan karena kalian mencintai Allah, maka kalian tentu akan berbuat dan bertindak seperti yang Dia cintai, yaitu dengan menyerupai orang yang Allah cinta. Dan menyerupainya berarti mengikutinya. Kapan pun kalian mengikutinya, Allah akan mencintai kalian. Maka, kalian mencintai Allah agar Dia mencintai kalian.


Semua kalimat ini tidak lain adalah makna singkat ayat tersebut. Artinya, tujuan paling utama manusia adalah meraih cinta (mahabbah) Allah al-Haq Ta’ala. Ayat ini menunjukkan bahwa jalan untuk meraih tujuan tersebut adalah dengan mengikuti kekasih Allah dan meneladani sunnahnya. Dalam maqam ini jika dibuktikan dengan tiga poin, maka hakikat-hakikat tersebut secara keseluruhan akan terlihat.


Poin Pertama, manusia, secara fitrahnya diciptakan memiliki potensi kecintaan tanpa batas terhadap sang Pencipta jagad raya ini. Sebab, dalam fitrah manusia terdapat rasa cinta terhadap keindahan, rasa rindu pada kesempurnaan, dan rasa suka terhadap kebaikan. Bertambahnya cinta itu tergantung kepada keindahan, kesempurnaan dan kebaikan, dan kadang hingga mencapai puncak cinta yang begitu mendalam(‘isyiq). Sesungguhnya di hati kecil manusia terdapat perasaan cinta seluas jagad raya.


Kemampuan manusia untuk menyimpan isi berbagai buku di sebuah perpustakaan besar ke dalam kekuatan hafalan yang merupakan bagian dari hatinya yang hanya sebesar biji adas, membuktikan bahwa kalbu kecil manusia bisa memuat jagad raya dan memiliki cinta seluas alam semesta. 


Karena pada fitrah manusia terdapat potensi cinta tanpa batas terhadap kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan, serta karena Sang Pencipta jagad raya memiliki “keindahan” suci tanpa batas yang bisa dipastikan kenyataannya secara alami melalui jejak-jejaknya yang terlihat dijagad raya, juga Dia Memiliki “kesempurnaan” suci tak terhingga yang bisa dibuktikkan kepastiannya melalui ukiran-ukiran ciptaan-Nya yang terlihat di semua maujud , dan juga Dia 

72. Page

pun mempunyai “kebaikan” tak terhingga yang bisa dibuktikan wujudnya melalui keyakinan, bahkan melalui musyahadah tak terhingga berupa beragam kebaikan dan nikmat- Nya yang memantulkan pada semua makhluk hidup. Karena itu, Allah pun meminta kecintaan yang tak terbatas dari makhluk ( Bashar) yang memiliki kesadaran, secara alamiahnya luas, yang berfikir, paling membutuhkan, dan paling rindu kepada-Nya.


Ya, sebagaimana setiap manusia memiliki potensi kecintaan tak terbatas kepada Sang Pencipta Maha Agung, demikian pula Dia Yang Maha Agung layak untuk dicintai lebih besar dari siapa pun, sebagai balasan atas keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan-Nya. Bahkan apa yang ada pada manusia beriman yang berupa kecintaan yang beragam dan ikatan-ikatan yang kuat terhadap kehidupannya, keabadiaanya, raganya, dunianya, dan dirinya, serta terhadap semua maujud yang ada, semua ini merupakan pantulan potensi cinta dari Allah. Bahkan perasaan-perasaan manusia yang beragam dan kuat, bersumber dari potensi cinta tersebut, dan dalam bentuk yang berbeda.


Sebagaimana diketahui bahwa manusia, sebagaimana ia suka menikmati kebahagiaan pribadinya, ia juga suka menikmati kebahagiaan orang-orang yang memiliki ikatan dan hubungan dengannya. Selain itu, sebagaimana ia mencintai orang yang menyelamatkannya dari musibah, ia juga mencintai orang yang menyelamatkan orang-orang tercintanya dari berbagai musibah.


Ketika ia memikirkan –berdasarkan pada rahasia ini– tentang satu kenikmatan saja di antara berbagai macam kebaikan ilahi yang dikaruniakan kepada setiap insan, maka ia akan berkata: “Sebagaimana Penciptaku telah menyelamatkanku dari ketiadaan yang merupakan kegelapan abadi, menganugerahkan kepadaku dunia yang begitu indah di alam ini, demikian pula kelak Dia akan menyelamatkanku dari ketiadaan dan kefanaan yang keduanya merupakan ketiadaan abadi ketika ajalku tiba. Dia akan memberiku suatu alam abadi yang indah di alam yang kekal abadi. Selain itu dia akan menganugerahkan kepadaku indera dan perasaan yang bersifat lahiriah maupun batiniyah agar aku bisa menikmati dan merasakan perpindahan di antara berbagai jenis kenikmatan yang terdapat di alam yang indah dan suci itu.


Demikian pula, Dia juga akan memberikan beragam nikmat dan kebaikan yang tak terhingga kepada kerabatku, orang-orang tercinta, dan anak-anakku yang sangat kucintai dan memiliki ikatan kuat denganku. Pemberian kenikmatan dan kebaikan ini akan kembali padaku dari sisi mana pun, sebab aku bahagia dan bersenang-senang menikmati dengan kebahagiaan mereka.”


Mengingat di setiap insan terdapat rasa cinta terhadap kebaikan sesuai rahasia, “Manusia itu hamba untuk kebaikan,” maka tidak dapat diragukan lagi bahwa ia akan membalas kebaikan abadi yang tak terbatas ini seraya mengatakan:


“Andai saja aku memiliki hati seluas jagad raya, tentu ia akan dipenuhi rasa cinta terhadap kebaikan itu, dan tentu aku ingin mengisi hati itu dengan cinta. Namun meskipun aku tidak mencintainya secara benar dan kenyataan, tapi secara potensi, iman, niat, penerimaan, penghormatan, kerinduan, loyalitas, dan kemauan, aku mencintainya. 


Demikianlah, silahkan masing-masing menganalogikan sendiri cinta yang ditunjukkan manusia terhadap keindahan dan kesempurnaan, dengan cinta terhadap kebaikan seperti yang telah kami isyaratkan secara umum. Adapun orang kafir, dari segi kekufurannya ia memiliki permusuhan terhadap Allah. Bahkan dia membawa rasa permusuhan secara zalim dan hina terhadap semua makhluk dan jagad raya.


73. Page

Poin Kedua, cinta kepada Allah mengharuskan ittiba’ sunnah Nabi Muhammad. Karena cinta kepada Allah adalah melakukan apa yang diridha-Nya. Maka segala keridhaan Allah tercermin dalam bentuk paling sempurna dalam sosok Nabi Muhammad. Adapun menyerupai sosok Muhammad dari segi gerak-gerik dan perbuatannya terbagi menjadi “dua aspek”:


  1. Aspek kecintaan kepada Allah SWT, sebab mentaati perintah-Nya dan bertindak dalam lingkup keridhaan-Nya menuntut ittiba’ tersebut, karena imam terbaik dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW.
  2. Sisi pribadi Nabi Muhammad SAW merupakan wasilah paling penting bagi karunia İlahi tak terhingga yang diberikan kepada manusia, maka pastilah dia patut mendapatkan kecintaan tanpa batas atas nama Allah al-Haq Ta’ala. Manusia secara fitrah ingin menyerupai kepada dzat yang mencintainya semaksimal mungkin.
  3.  

Demikian hal itu menuntut secara pasti, orang - orang yang mencintai Nabi SAW, hendaknya berusaha untuk menyerupainya dengan cara mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.


Poin Ketiga, sebagaimana Allah memiliki rahmat tak terbatas, Dia pun memiliki cinta yang tak terhingga. Sebagaimana Allah membuat diri-Nya dicintai melalui keindahan yang terdapat di alam semesata, maka Dia pun mencintai seluruh makhluk-Nya, terutama mereka yang memiliki perasaan menerima cinta-Nya. Karena itu, tujuan tertinggi manusia terdapat pada sesuatu yang diridhoi Tuhan, serta usaha termulia manusia adalah bagaimana caranya agar ia dicintai oleh-Nya; dzat yang telah menciptakan surga dengan segala kelembutan, kebaikan, kenikmatan dan karunia-Nya melalui manifestasi rahmat-Nya. Karena cinta-nya hanya bisa didapatkan dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya di atas. Maka mengikuti sunnah Nabi Muhammad merupakan tujuan termulia dan tugas terpenting manusia. 


Nuktah Kesebelas

Ia terdiri dari “tiga persoalan”:


Persoalan Pertama, sunnah memiliki tiga sumber, yaitu “ Perkataan, Perbuatan, dan Kondisi beliau.” Ketiga bagian ini, masing-masingnya juga terdiri dari tiga bagian, yaitu: “Fardhu, Nafilah, dan Adat kebiasaannya.“


Mengikuti sunah yang wajib ( Fardhu) merupakan suatu kewajiban. Dalam meninggalkannya, terdapat azab dan hukuman. Semua orang diberi beban kewajiban untuk mengikuti dan melaksanakannya secara konsisten.


Adapun bagian Nafilah, maka orang-orang beriman diberi beban untuk mengikutinya juga perintah anjuran (amr istihbabi). Hanya saja, dalam meninggalkannya tidak ada azab dan hukuman. Namun dalam mengamalkan dan mengikutinya akan ada pahala besar. Adapun mengubah atau menggantinya, maka itu merupakan bid’ah, kesesatan, dan kesalahan besar. 


Adapun Adat Kebiasaan luhurnya dan gerak-geriknya yang baik, maka taqlidnya dan ittiba’nya termasuk akhlak yang baik menurut hikmah dan kemaslahatannya dilihat dari sisi kehidupan pribadi, maupun sosial. Sebab, di setiap gerak-gerik kebiasaan Nabi SAW terdapat banyak sekali manfaat bagi kehidupan. Maka, dengan mengikutinya, adab dan kebiasaan itu akan berubah hukumnya menjadi ibadah.


74. Page

Demikianlah, mengingat Rasulullah SAW memiliki tingkatan akhlak paling mulia seperti yang disepakai oleh kawan maupun lawan. Beliau merupakan sosok paling terkenal dan paling besar di antara seluruh manusia, beliau juga merupakan manusia paling sempurna dan mursyid terbaik jika dilihat dari ribuan mukjizat beliau dan berdasarkan kesaksian kesempurnaan dunia Islam yang beliau bentuk, juga berdasarkan hakikat-hakikat al-Qur’an yang disampaikannya. Jutaan manusia sempurna berhasil memperoleh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan meraih kebahagiaan dunia-akhirat melalui buah dari mengikutinya, tentu saja bahwa sunnah (Rasul) mulia ini dan semua tingkah lakunya adalah teladan paling indah untuk diikuti dan tuntunan paling aman dan kuat untuk diteladani dan aturan paling kokoh untuk dijadikan prinsip. Orang bahagia adalah dia yang punya nasib besar dan kesempatan berlimpah dalam ittiba’ sunnah.


Adapun orang yang tidak mengikuti sunnah karena kemalasannya, maka ini merupakan kerugian yang besar. Dan jika dia tidak peduli padanya dan meremehkan perannya, maka ini merupakan kejahatan besar. Sedangkan mengkritik dan membohonginya, maka ini merupakan kesesatan yang besar.


Persoalan Kedua, Tuhan al-Haq Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Hakim:


وَاِنَّكَ لَعَلٰي خُلُقٍ عَظ۪يمٍ


Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. al-Qalam [68]: 4)


Telah disebutkan dalam riwayat shahih bahwa seorang sahabat wanita yang agung, Aisyah al-Shiddiqah –demikian pula semua sahabat– jika menggambarkan Nabi, dia menyifati beliau dengan berkata, “Akhlaknya adalah al-Qur’an”  ُخُلُقُه اْلُقْراُٰن [1]Yakni, contoh model dan teladan untuk akhlak yang baik yang dijelaskan al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Beliaulah orang pertama yang menerapkan akhlak itu, dan beliau sendiri telah diciptakan dan dibentuk di atas akhlak tersebut secara fitrah.


Karena setiap perbuatan, ucapan, keadaan, dan tingkah laku Nabi SAW seharusnya menjadi teladan bagi umat manusia, maka sangat disayangkan umatnya yang beriman ketika mereka melalaikan sunnah beliau, tidak memperdulikan bahkan menggantikan dengan yang lain. Betapa menderita dan malangnya mereka. 


Persoalan Ketiga, karena Rasulullah telah diciptakan dalam perawakan paling sempurna maka seluruh tingkah laku dan diamnya beliau berjalan sesuai dengan sikap moderasi dan istiqamah. Biografi Nabi memperlihatkan secara pasti bahwa beliau menerapkan sikap moderat dan istiqamah dalam setiap tingkah lakunya, jauh dari sikap berlebihan (ifrath) atau kurang (tafrith).


Ya, Rasulullah telah menjalankan perintah berikut dengan sempurna:


فَاسْتَقِمْ كَمَٓا اُمِرْتَ

 “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hud [11]: 112).



[1] Lihat Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 6/91; al-Mu’jam al-Ausath 1/31; dan al-Adab al-Mufrad: 115



75. Page

Karena itu, keistiqamahan terlihat secara pasti di seluruh tindakan, perkataan, dan keadaan beliau. Misalnya, sebagaimana “kekuatan akalnya” selalu berjalan dalam tingkat “hikmah” yang merupakan keistiqamahan, sekaligus dua sikap ekstrim yaitu kebodohan dan penipuan. demikian pula “kekuatan amarahnya” selalu berjalan dengan keberanian yang mulia, yang merupakan keistiqamahan dan sikap pertengahan. Beliau terbebas dari dua sikap ekstrim yang merusak; yaitu sikap pengecut (jabn) dan tidak takut apapun (Tahawwur)


“Kekuatan syahwatnya” beliau juga selalu berada dalam garis istiqamah yaitu sikap menjaga kehormatan (iffah), secara konsisten kekuatan syahwat beliau berada dalam koridor sikap tersebut dalam tingkatan ishmah (yang paling mulia). Sehingga beliau jauh dari dua hal ekstrim; yaitu tidak bergairah kepada wanita dan berbuat zina. 


Demikianlah, beliau memilih batasan sikap istiqamah dalam semua sunnah, dalam kebiasaan fitriah, dan dalam hukum-hukum syar’iyah beliau. Beliau menghindari sikap berlebihan, sikap boros dan melampaui batas, yang merupakan kezaliman dan kegelapan. Beliau menjadikan sikap berhemat (iqtishad) sebagai penuntun bagi dirinya bahkan dalam hal bertutur kata, dalam makan dan minum beliau, serta sama sekali menjauhi sikap berlebihan.


Telah ditulis ribuan jilid secara terperinci tentang hakikat ini. Kami simpulkan satu tetes saja dari lautan yang ada, sebab “orang arif cukup dengan diberi isyarat saja  (اَلْعَارِفُ تَكْف۪يهِ الْأِشَارَةُ). 

Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada (sosok) yang menyatukan seluruh akhlak mulia, (sosok) yang memperlihatkan rahasia.


وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيم

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” QS. al-Qalam [68]: 4), serta (sosok) yang telah bersabda, “Siapa berpegang teguh pada sunnahku di saat kerusakan umatku, maka baginya pahala seratus syahid.”


وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ ۖ لَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِٱلْحَقِّ   

Dan mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran.” (Qs. al- A’raf [7]: 43)

 

قَالُوا۟ سُبْحَٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ

Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: )32