NAVIGATION
42. Page
LAMA'AT KESEMBILAN
Tak setiap orang bisa mengetahui kesalahan-kesalahan detil wahdat al-wujud, sebab dia tidak membutuhkannya. Karena itu, hendaknya dia tidak membaca lamaat ini.
بِاسْمِه۪
Dengan nama-Nya
وَاِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
Saudaraku yang mulia, jujur, tulus dan ikhlas!
Sesungguhnya alasan saya tidak menulis surat tersendiri kepada saudara kita Abdul Majid, ialah karena saya menganggap bahwa surat-surat yang sudah saya tulis kepada kalian sudah cukup.
Abdul Majid adalah saudara saya dan murid saya yang mulia setelah Khulushi. Ia hadir dengan namanya dalam doa saya setiap pagi dan sore hari bersama Khulushi, dan terkadang sebelumnya. Demikian pula, surat-surat yang saya tulis untuk Anda telah diambil manfaatnya pertama-tama oleh Shabri, kemudian Hakki Effendi. Karena itu, sengaja saya tidak menulis surat tersendiri kepada keduanya. Allah S.w.t telah menjadikan Anda sebagai saudara tua yang diberkahi bagi keduanya, sehingga Anda bisa langsung berkomunikasi dengan Abdul Majid sebagai pengganti saya. Maka jangan risau, karena saya selalu memikirkannya setelah Khulushi. Namun dia tidak memenuhi hak murid secara sempurna, sehingga saya tidak berkomunikasi langsung dengannya.
Pertanyaan Anda yang Pertama:
Ialah pertanyaan khusus tentang tanda tangan salah seorang kakek kalian atas nama “Sayyid Muhammad.”[1]
Saudaraku! Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan ini berdasarkan ilmu, penelitian, dan kasyaf. Namun saya pernah mengatakan kepada kawan-kawan saya: "Khulusi tidak seperti orang-orang Turki atau Kurdi saat ini. Saya melihat ada keistimewaan lain pada dirinya. Kawan-kawan saya membenarkan saya. Tampak ada ketulusan, kemuliaan, dan kebaikan ilahi, pada dirinya, sesuai rahasia, “Kemampuan seseorang bukanlah syarat untuk mendapatkan karunia ilahi (دَادِحَقْ رَا قَابِلِيَّتْ شَرْطْ ن۪يسْتْ).”[2]
Ketahuilah seyakin-yakinnya, Rasul mulia S.a.w memiliki dua jenis keluarga:
Pertama, keluarganya menurut nasab keturunan. Kedua, keluarga sosok maknawi beliau yang penuh cahaya dari sisi risalah (nubuwah).
Anda sudah pasti termasuk dalam keluarga kedua. Dan saya yakin, meski tanpa bukti,
[1] Maksudnya berasal dari keturunan Rasulullah S.a.w.
[2] Ini ungkapan Persia: دَادِحَقْ رَا قَابِلِيَّتْ شَرْطْ ن۪يسْتْ (Dadi haq ra qabiliyyat syarth nist).
43. Page
Anda termasuk keluarga pertama, sebab tanda tangan kakek Anda (tentu dibuat) bukan tanpa sebab.
Ringkasan Pertanyaan Anda yang Kedua:
Saudaraku yang mulia, Muhyiddin ibnu Arabi pernah mengatakan, “Kemakhlukan ruh merupakan ungkapan dari ketersingkapannya (مخلوقية الروح عبارة عن انكشافها).”
Dengan pertanyaan ini, Anda memaksa saya yang lemah dan tiada berdaya ini untuk berhadapan dengan ahli pencari hakekat yang brilian, sang jenius ahli ilmu rahasia, Muhyiddin ibnu Arabi. Namun karena saya akan menyelami topik ini dengan bersandar pada nash-nash al-Qur'an al-Hakim, saya pun bisa terbang lebih tinggi dari elang tersebut, meskipun saya hanya seekor lalat.
Ketahuilah, Muhyiddin tidak menipu, tapi dia justru tertipu. Dia mendapat petunjuk, tapi dia tidak mampu memberikan petunjuk di semua buku karyanya. Apa yang dia saksikan itu betul dan benar, namun itu bukanlah hakikat. Hakikat yang menjadi inti pertanyaan Anda itu sudah dijelaskan dalam pembahasan mengenai ruh di “Kalimat ke-29.”
Ya. Ruh merupakan qanun perintah ilahi menurut esensinya. Ia merupakan ketentuan yang memiliki kehidupan yang dipakaikan wujud luar. Ia merupakan qanun yang memiliki wujud luar. Syaikh Muhyiddin memfokuskan pikirannya pada ruh menurut ensensinya semata, dan melihat wujud segala sesuatu sebagai khayalan sesuai faham wahdat al-wujud.
Dengan mukasyafah dan kesaksian batinnya yang luar biasa, Syaikh Muhyiddin sesungguhnya merupakan pendiri aliran penting, dan telah memilih jalannya tersendiri. Dengan paksa dan melalui penakwilan yang lemah, dia berusaha menyesuaikan sebagian ayat dengan faham alirannya dan kesaksian batinnya, sehingga dia menciderai kejelasan ayat.
Kami telah menjelaskan jalan al-Qur'an yang lempang dan manhaj Ahlussunnah yang lurus di dalam risalah-risalah lain.
Dan Syaikh Ibnu Arabi memiliki kedudukan khusus dengannya, serta termasuk orang-orang yang dapat diterima. Namun dia melampaui batas dalam mukasyafah-mukasyafahnya yang tak sesuai, serta berbeda dari jumhur ulama muhaqqiq di banyak permasalahan. Karena rahasia inilah, tarekatnya yang khas nyaris hanya (diikuti) terbatas oleh Shadruddin al-Qunawi[1] dalam waktu sangat singkat. Meskipun dia merupakan (wali) qutub yang luhur, sangat luar biasa, dan unik satu-satunya pada masanya, namun pemanfatan karya-karya peninggalannyanya tak bisa dilakukan dengan lempang, kecuali jarang-jarang saja. Sehingga banyak sarjana ahli yang masih murni tidak menyarankan (kita) membaca karya-karyanya yang bernilai, malah ada sebagian yang melarangnya.
Penjelasan mengenai perbedaan mendasar antara faham Syaikh Muhyiddin dan faham ahli tahqiq, serta penjelasan mengenai sumber keduanya, memerlukan pembahasan panjang sekali serta pandangan yang tinggi dan amat luas. Ya, perbedaan itu memang detil dan mendalam. Sumbernya juga tinggi dan luas, sampai-sampai Syaikh Muhyiddin tak bisa dipersalahkan atas kesalahan-kesalahannya, bahkan dia masih tetap diterima. Jika tidak, seandainya perbedaan dan sumber tersebut dapat diketahui dengan jelas dari sisi keilmuan,
[1] Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Qunawi al-Rumi Shadruddin (w. 673), seorang sufi, salah satu tokoh murid Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi, juga anak tirinya, bermadzhab Syafi’i. Ia pernah berkorespondensi dengan Nashiruddin al-Thusi terkait sebagian masalah hikmah.
44. Page
pemikiran dan mukasyafah, tentu itu akan menjadi (sumber) kejatuhan yang besar dan kesalahan yang berat sekali baginya.
Mengingat perbedaan tersebut begitu dalam hingga batas ini, maka kami akan berusaha menjelaskan perbedaan dan sumber tersebut, serta kekeliruan Syaikh Muhyidin dalam masalah itu, melalui sebuah perumpamaan sebagai berikut:
Misalnya: Matahari tampak di suatu cermin. Cermin ini merupakan wadah bagi matahari itu, dan pada saat bersamaan merupakan objek sifat baginya. Yakni, matahari itu berada di cermin itu pada satu sisi, namun pada sisi lain ia menghiasi cermin tersebut serta menjadi ciri dan sifat yang bercahaya baginya. Jika cermin tersebut berupa cermin kamera, maka ia akan memindahkan gambar matahari ke atas kertas fotografi menjadi sebuah gambar yang tetap. Dalam kondisi seperti ini, matahari yang tampak di cermin, dan esensinya yang tampak di atas kertas fotografi, bukanlah matahari yang sebenarnya dilihat dari (keberadaan matahari) menghiasi cermin itu dan keberadaannya sebagai sifat baginya, serta ia bukanlah matahari, tapi hanya manifestasi (tajalli) matahari di wujud lainnya.
Adapun matahari yang tampak di cermin, meskipun bukan sosok matahari itu sendiri yang tampak di luar, namun ia tetap dikira matahari itu sendiri karena keterikatannya dengan (cermin) tersebut dan isyaratnya padanya.
Berdasarkan perumpamaan ini, bisa dikatakan bahwa, tidak ada sesuatu pun di cermin itu selain matahari hakiki, dengan anggapan cermin itu merupakan tempat baginya, dan dengan maksud (sebagai) wujud eksternal bagi matahari yang ada di dalamnya. Namun jika dikatakan mengenai sebaliknya yang terpencar, yang menjadi sifat bagi cermin itu, dan mengenai gambarnya yang berpindah ke kertas fotografi (lalu dikatakan) bahwa itu merupakan matahari (yang sebenarnya), tentu itu merupakan suatu kesalahan. Dan adalah salah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun selain matahari itu di dalam keduanya. Sebab, di permukaan cermin yang bercahaya terdapat pantulan, dan di balik kertas kamera terdapat gambar, dan untuk masing-masing dari keduanya terdapat wujud khas yang tersendiri. Meskipun kedua wujud merupakan bagian dari tajalli-tajalli matahari, namun keduanya bukanlah matahari itu sendiri.
Otak manusia dan khayalannya menyerupai permisalan cermin tadi. Hal itu (dapat dijelaskan) sebagai berikut:
Informasi yang ada di cermin pemikiran manusia memiliki dua sisi, yaitu dari sisi pengetahuan (‘ilm), dan dari sisi lain objek pengetahuan (ma’lum). Jika kita menjadikan otak sebagai wadah bagi apa yang diketahui, maka objek pengetahuan tersebut seketika itu akan menjadi objek pengetahuan yang terwujud di dalam otak. Adapun organ objek pegetahuan, itu sesuatu lain. Jika kita menganggap otak sebagai objek yang disifati karena masuknya sesuatu tersebut sehingga ia menjadi sifat bagi otak, dan sesuatu tersebut seketika menjadi pengetahuan serta memiliki wujud eksternal bahkan meskipun objek pengetahuan tersebut memiliki suatu wujud dan esensi, maka ia akan tetap memiliki suatu wujud eksternal aksidental (wujud khariji ‘aradhi) seperti ini.
Jadi, berdasarkan kedua permisalan cermin di atas, jagad raya ini merupakan cermin. Esensi setiap wujud pun merupakan cermin yang lain. Keduanya dipertunjukkan Qudrat Azali dan Penciptaan Ilahi. Setiap wujud, di suatu sisi, merupakan cermin bagi salah satu di antara Nama-nama Matahari Azali S.w.t sedemikian rupa, yang menampakkan ukiran-Nya.
Mereka yang menganut faham Muhyiddin ibnu Arabi telah mengungkapkan bahwa jagad raya dari sisi kecerminan dan kewadahannya, dan dari sisi tiadanya wujud lahiriah di
45. Page
cermin, serta keberadaan pantulan sesuatu, itu adalah pemantul itu sendiri, dan mereka tidak memikirkan tentang tingkatan (martabat) yang lain. Mereka mengatakan “Tidak ada wujud selain Dia” (لاَمَوْجُودَ اِلَّأ هُوَ) sehingga mereka pun bersalah. Mereka jatuh ke derajat mengingkari kaidah dasar, “Hakikat segala sesuatu itu permanen” (حَقَٓائِقُ الْاَشْيَٓاءِ ثَابِتَةٌ).
Sementara ahli hakikat, melalui rahasia warisan nubuwah dan dengan nash-nash al-Qur'an yang qath’i, menganggap bahwa ukiran-ukiran yang tiba pada wujud di cermin-cermin semua wujud yang tercipta melalui Qudrat dan Kehendak Ilahi, tidak lain merupakan hasil karya-Nya S.w.t. Ia merupakan “semua dari Dia” (هَمَه اَزْاُوسْتْ), bukan “semua itu Dia” (هَمَه اُوسْتْ). Yakni, tiap sesuatu berasal dari-Nya, dan bukan tiap sesuatu adalah Dia. Segala sesuatu memiliki wujud, dan wujud tersebut permanen hingga batas tertentu. Meskipun wujud itu lemah dibanding wujud Zat Yang Wajib (Ada) S.w.t hingga seakan-akan hanya ilusi dan khayalan belaka, namun ia tetap ada melalui penciptaan oleh Zat Yang Maha Kuasa Maha Azali, serta (melalui) kehendak dan kuasa-Nya.
Sebagaimana matahari yang di cermin memiliki wujud ideal (mitsali) selain wujud eksternalnya yang hakiki seperti dalam perumpamaan, serta pantulannya yang terpencar yang mewarnai cermin dengan suatu hiasan merupakan hal lain yang memiliki wujud eksternal aksidental yang berbeda, serta gambar matahari yang tercetak di kertas fotografi di balik cermin juga memiliki wujud eksternal aksidental yang berbeda, yakni suatu wujud yang permanen hingga batas tertentu, maka demikian pulalah ukiran-ukiran dari seluruh ciptaan yang tampak di cermin jagad raya dan cermin-cermin esensi segala sesuatu, juga memiliki -- melalui tajalli Nama-nama Ilahi Suci yang terbentuk atas Kehendak, Ikhtiar, dan Kuasa-Nya -- suatu wujud baru yang bukan wujud Zat Yang Wajib Ada (Wajib al-Wujud). Wujud tersebut diberi kepermanenan melalui Qudrat Azali. Namun, begitu ikatan dan hubungan terputus, maka segala sesuatu langsung lenyap seketika menuju ketiadaan. Karena itu, demi kekekalan wujudnya, segala sesuatu setiap saat membutuhkan pengekalan dari Sang Penciptanya. Maka “hakikat segala sesuatu itu tetap (tsabit),” namun ia hanya bisa tetap permanen melalui pemberian kepermanenan itu dan penetapannya baginya dari (Allah) 'Azza wa Jalla.
Demikianlah, maka pendapat Syaikh Muhyiddin bahwa “Ruh bukan makhluk, tapi suatu hakikat yang muncul dari alam perintah dan dari sifat kehendak” itu bertentangan dengan banyak teks eksplisit nash (al-Qur’an). Ia dikacaukan oleh hal itu, dan tertipu berdasarkan penyelidikan tersebut di atas, serta tak memperhatikan jenis-jenis wujud yang lemah.
Mustahil tempat-tempat penampakan Nama-nama Ilahi, seperti “al-Khallaq” (Maha Pencipta) “dan al-Razzaq” (Maha Pemberi Rizki), hanyalah suatu ilusi dan khayalan belaka. Mengingat Nama-nama tersebut memiliki hakikat, maka tempat-tempat penampakannya tentu memiliki hakikat eksternal pula.
Pertanyaan Anda yang Ketiga:
Itulah yang mereka minta dari saya ada pelajaran di dalamnya sebagai kunci ilmu jafr (tulisan rahasia).
Jawaban: Dalam dakwah dan khidmah ini, kita (melakukannya) bukan atas ikhtiar dan perencanaan pribadi kita sendiri. Tapi di sana terdapat ikhtiar, dan itu baik bagi kita, yang berada di atas kehendak kita, yang mengusai segala urusan dan perbuatan kita.
46. Page
Ilmu jafr sesungguhnya melalaikan dan melengahkan orang dari menjalankan tugas-tugasnya yang hakiki, karena di dalamnya terdapat cita rasa (dzawq) dan kenikmatan (tersendiri). Bahkan sebagian rahasia al-Qur'an dapat diungkap berkali-kali dengan kunci ini. Setiap kali saya menyibukkan diri dengannya sepenuh kerinduan dan cita rasa, ternyata ia tertutup dan terkunci rapat.
Saya pun bisa mendapatkan dua hikmah di dalamnya:
Pertama: Kemungkinan terjadinya sesuatu menurut kebalikan adab larangan, “Tiada yang mengetahui hal gaib selain Allah” (لاَيَعْلَمُ الْغَيْبَ اِلَّأ اللّٰهُ).
Kedua: Sesungguhnya berkhidmah mengajarkan umat tentang hakekat keimanan dan al-Qur'an yang fundamental melalui bukti-bukti qath’i, memiliki keistimewaan dan nilai seratus kali lebih tinggi ketimbang ilmu-ilmu rahasia seperti ilmu jafr.
Hujah-hujah qath’i dan bukti-bukti pasti di dalam tugas suci ini tidaklah memberi ruang bagi pemanfatan tugas ini untuk hal-hal yang tidak baik. Hanya saja penggunaan ilmu-ilmu rahasia terkadang diperburuk dengan tidak dibangun berdasarkan kaidah-kaedah baku, seperti ilmu jafr, dan terkadang pula dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai rencana jahat. Diketahui bahwa, ketika timbul kebutuhan menggunakan hal itu untuk khidmah mengajarkan hakikat-hakikat tersebut, diberikan sedikit saja darinya sesuai kebutuhan.
Di antara kunci-kunci yang ada, kunci yang paling mudah ilmu jafr, bahkan yang paling bersih, jernih, dan indah, adalah jenis-jenis tawafuq (keselarasan) yang muncul dari Nama al-Badi’ (Maha Pencipta), dan yang memperlihatkan tajalli lafadz Jalalahdi dalam al-Qur'an Karim, serta menghiasi karya-karya yang telah kami terbitkan. Sebagian di antaranya sudah dijelaskan dalam Risalah tentang Karamah Ghautsiyah. Sebagai contoh, antara lain:
Ketika tawafuq memperlihatkan sesuatu dari sejumlah aspek, maka iitu merupakan isyarat setingkat indikasi (dilalah). Kadang-kadang satu tawafuq saja sudah setingkat indikasi melalui sejumlah konteks.
Pada pokoknya, sekarang cukup sekian saja (pembahasan tentang ilmu jafr). Jika memang sangat diperlukan, informasinya nanti akan disampaikan kepada kalian.
Pertanyaan Anda yang Keempat:
Ini pertanyaan Umar Effendi, bukan pertanyaan Anda.
Ada seorang dokter celaka beranggapan bahwa Isa a.s memiliki ayah. Seolah-olah dia hendak memberikan bukti melalui suatu ayat dengan menggunakan takwil gila. Orang malang ini sebelumnya pernah berupaya menciptakan kaligrafi dengan ‘huruf terputus’ (huruf muqattha’ah). Ia bekerja dengan penuh semangat. Saya akhirnya menyadari bahwa orang ini merasakan dari sebagian gerakan kaum atheis (zindiq) bahwa mereka sedang berupaya menyingkirkan dan menghapus huruf-huruf Islam. Maka dia pun melakukan banyak usaha keras, meski tanpa hasil, agar bisa menghentikan air bah yang menghanyutkan itu.
Dalam masalah ini, juga persoalan lain, dia kini sudah menyadari adanya serangan-serangan hebat kaum zindiq terhadap sendi-sendi Islam(ususul ıslam). Saya kira ia ingin membuka pintu untuk berdamai dengan penakwilan-penakwilan rusak, sia-sia, dan tak berarti semacam itu.
Terdapat nash-nash pasti yang qath’i, seperti: اِنَّ مَثَلَ ع۪يسٰي عِنْدَاللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ (“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam”) (Qs. Ali ‘Imran [3]: 59), yang
47. Page
menjelaskan dengan penjelasan qath’i bahwa Isa a.s tidak memiliki ayah. Karena itu, tak patut dipertimbangkan perkataan siapa pun yang mengupayakan, melalui penakwilan-penakwilan lemah, pengubahan hakekat yang kokoh dan asli ini sesuai anggapan mereka bahwa menentang hukum reproduksi itu tidak mungkin. Dia pun tidak berhak diperhatikan. Sebab, tak ada hukum kecuali memiliki keanehan dan keunikannya, serta individu-individu yang keluar darinya. Dan tidak ada kaedah universal kecuali dicirikan secara khas dengan individu-individu luar biasa. Serta tidak mungkin seseorang menyimpang dari satu ketentuan hukum, dan tidak mungkin dia keluar darinya sejak zaman Adam a.s hingga hari kita sekarang ini. Hukum reproduksi itu sendiri sudah menyimpang pertama-tama secara prinsip melalui prinsip-prinsip duaratus ribu jenis species binatang dan pecahan ikutannya. Yakni, nenek moyangnya yang duaratus ribu pertama, yang sama posisinya seperti Adam-Adam baginya, telah keluar dari hukum reproduksi. Yakni, mereka tidak berasal dari seorang ayah dan ibu, tapi diberi suatu wujud yang keluar dari hukum tersebut.
Kemudian, apa yang kita saksikan dengan mata kepala kita setiap musim semi berupa makhluk-makhluk tak terbatas dari bagian terbesar dari seratus ribu spesies, diciptakan dan diberi wujud di luar hukum reproduksi di atas permukaan dedaunan dan di atas bahan-bahan yang telah membusuk.
Wahai, lihatlah, betapa bodohnya orang yang, dengan akalnya, tidak mampu memahami adanya penyimpangan satu individu saja selama 1.900 tahun dari hukum yang telah dilanggar dan dilukai pada prinsipnya, bahkan setiap tahun hingga batas penyimpangan demikian, serta dia pun masih berpegangan dengan penakwilan-penakwilan terhadap nash al-Qur'an?! Silahkan berikan penilaian!
Apa yang dinyatakan oleh orang-orang celaka tersebut sebagai hukum-hukum alam adalah hukum-hukum kebiasaan dari Allah yang merupakan tajalli universal Perintah Ilahi dan Kehendak Rabbani. Maka Allah S.w.t pun mengubah kebiasaan dan ketentuan-Nya ini untuk beberapa hikmah, sehingga dengannya Dia pun menampakkan dan memperlihatkan Kuasa Kehendak dan Ikhtiar-Nya terhadap segala sesuatu dan terhadap segala hukum apa pun. Allah menyimpangkan kebiasaan-Nya pada sebagian individu-individu luar biasa, dan menjelaskan hakikat ini melalui suatu keterangan dan pengumuman: اِنَّ مَثَلَ ع۪يسٰي عِنْدَاللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ (“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam”) (Qs. Ali ‘Imran [3]: 59).
Pertanyaan Kedua dari Umar Effendi khusus terkait dokter itu:
Dokter tersebut bersikap bodoh dan dungu dalam masalah tadi. Karena itu, dia terlalu hina untuk didengar kata-katanya atau diberikan pertimbangan atasnya sehingga layak untuk dibantah. Si malang ini ingin menemukan jalan tengah antara keimanan dan kekafiran.
Maka saya berikan jawaban berikut atas permintaan tafsir dari Umar Edfendi saja, bukan bantahan terhadap kata-kata si dokter yang sia-sia dan tak penting tersebut.
Illat (hukum) dalam perintah dan larangan syar’i adalah Perintah Ilahi dan Larangan Ilahi. Sementara kemaslahatan dan hikmah, itu merupakan faktor penguat yang memungkinkan dijadikan sebab untuk pengaitan perintah dan larangan dilihat dari sisi nama Allah “Al-Hakim” (Yang Maha Bijaksana).
Misalnya, orang musafir mengqashar shalatnya. Untuk mengqashar shalat harus ada illat hukum dan hikmah. Adapun illat hukumnya adalah perjalanan (safar), sedangkan
48. Page
hikmahnya adalah adanya kesulitan (masyaqqah). Maka, kapan pun safar dilakukan, shalat boleh diqashar meskipun tidak ada kesulitan. Sebaliknya, jika tidak dilakukan safar, dan (seseorang) mengalami seratus kesulitan di rumahnya, maka shalat tidak boleh diqashar. Jadi, adanya kesulitan dalam perjalanan terkadang sudah cukup agar kesulitan itu menjadi hikmah untuk mengqashar shalat. Dan kesulitan itu sendiri menjadikan perjalanan sebagai illat hukum untuk mengqashar.
Demikianlah, berdasarkan kaidah syar’i di atas, hukum-hukum syar’i tidak berubah berdasarkan hikmah, tapi bergantung pada illat-illat hukum yang hakiki.
Sebagai contoh, daging babi tidak boleh dimakan sebagaimana daging seluruh hewan piaraan dengan tanpa (adanya alasan) bahaya dan genting, sesuai kaidah, “Siapa memakan daging babi, ia memiliki sifat-sifat (babi itu) di satu sisi,”[1] selain bahaya dan penyakit di dalamnya yang diketahui dokter seperti dikatakannya. Lebih dari itu, bahaya daging (babi) jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya. Lemak dan minyak kuat yang terkandung dalam dagingnya membahayakan kesehatan. Juga terbukti, daging dan lemaknya sangat berbahaya secara maknawi dan hakiki di luar negara-negara Eropa yang sangat dingin.
Hikmah-hikmah semacam ini telah menjadi hikmah bagi pengharaman (makan daging babi), selain karena terkaitnya Larangan Ilahi dengannya. Bukanlah keharusan untuk mesti terdapat hikmah pada setiap individu di setiap waktu, sementara illat hukum tidak bisa berubah seiring perubahan hikmah, dan hukum tidak berubah selama illatnya tidak berubah. Berdasarkan kaidah ini, hendaknya difahami sejauh mana kata-kata (si dokter) malang tersebut menyimpang dari spirit syariat. Kata-katanya tidak layak dipertimbangkan dan tidak perlu diperhatikan atas nama syariat. Tuhan Pencipta S.w.t memiliki banyak sekali hewan berbentuk para filosuf bodoh yang tak berakal!
Jawaban Tambahan atas Pertanyaan Sebelumnya Seputar Muhyiddin Ibnu Arabi
Pertanyaan:
Muhyiddin ibnu Arabi menganggap bahwa masalah wahdat al-wujud berada di tingkatan martabat paling atas. Sampai-sampai, sebagian wali agung ahli ‘isyq (cinta ilahi) telah mengikutinya. Adapun Anda, justeru menganggapnya bukan tingkatan martabat teratas dan bukan hakiki, tapi hanya sebatas faham orang-orang yang mabuk dan tenggelam dalam zikir (ahl al-sukr wa al-istighraq), faham para pecinta (syauq) dan perindu (‘isyq) hingga batas tertentu. Karena itu, tolong jelaskan pada kami secara pasti, apa tingkatan tauhid teratas yang dijelaskan melalui rahasia warisan kenabian dan dengan ketegasan dalil al-Qur'an?
Jawaban:
Menilai tingkatan-tingkatan luhur ini dengan pemikiran terbatas dari orang lemah seperti saya yang tak bernilai dan tak patut dipertimbangkan, tentu terlalu jauh melampaui
[1] Franka (Eropa) telah mengalami kemajuan menakjubkan dalam perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan hingga begitu jauh. Namun saya bertanya pada kalian: Tidakkah dengan memakan daging babi membuat bangsa Eropa terjatuh seperti babi ke dalam kegelapan materi dana lam yang sama sekali menafikan kemajuan, kesempurnaan, dan ilmu pengetahuan ini? Dalil bahwa tabiat manusia dipengaruhi oleh apa yang dimakannya termaktub dalam peribahasa: “Barang siapa makan daging empat puluh hari terus-menerus dia akan mengalami kekerasan hati.” (Penulis)
49. Page
batasnya. Namun saya akan menjelaskan dua nuktah sangat singkat yang berasal dari luapan al-Qur'an al-Hakim. Semoga keduanya berguna dalam masalah ini.
Nuktah Pertama: Terdapat banyak penyebab yang membuat mereka terlibat dalam faham wahdat al-wujud. Saya akan menjelaskan sebagiannya secara ringkas.
Penyebab Pertama: Mereka tak mampu memahami, dengan otak mereka, penciptaan (khallaqiyyah) tingkatan martabat Rububiyyah dalam derajatnya yang maha besar. Dan mereka tak mampu memahami, dengan hati mereka, bahwa Sang Pencipta S.w.t memegang segala sesuatu dalam genggaman Rububiyyah-Nya melalui rahasia al-Ahadiyyah (Keesaan Tuhan). Segala sesuatu hadir di alam wujud atas Qudrat, Ikhtiar dan Kehendak-Nya. Karena itu, mereka terpaksa menyatakan bahwa: segala sesuatu yang ada adalah “Dia” Ta’ala, atau tidak ada mawjud, atau segala sesuatu itu khayalan, atau segala sesuatu tidak lain hanyalah penampilan-Nya atau tajalli-Nya Ta’ala.
Penyebab Kedua: Sesungguhnya mereka (bersikap demikian) disebabkan karena ‘isyq (cinta rindu dendam yang mendalam) – yang tak menginginkan perpisahan selamanya, tidak menjauh dari-Nya dengan sekuat-kuatnya, gemetar dan takut jika menjauh dan pergi (dari-Nya) laksana takutnya terhadap neraka jahanam, membenci kelenyapan dengan kebencian yang sangat, suka untuk selalu berhubungan (dengan-Nya) sebagaimana mencintai ruh dan kehidupannya, ingin selalu dekat dengan sepenuh kerinduan tak terbatas laksana keinginannya menggapai surga. Juga, dengan berpegang pada tajalli Kedekatan Ilahi (aqrabiyyah ilahiyyah) di segala sesuatu, mereka tidak mengakui adanya perpisahan dan kejauhan (dari-Nya) selamanya. Mereka mengira, perjumpaan (liqa’) dan ketersampaian (wishal) itu permanen, sehingga mereka menyatakan, “Tidak ada mawjud kecuali Dia” (لاَمَوْجُودَ اِلَّأهُوَ); dengan mabuk ‘isyq dan melalui tuntutan rindu pada kebakaan (baqa’), perjumpaan dan ketersampaian, mereka membayangkan bahwa dalam wahdat al-wujud terdapat cara pemenuhan hasrat seketika di puncak cita rasa (dzawq). Mereka pun kemudian menjadikan masalah wahdat al-wujud sebagai pelarian bagi mereka agar mereka bisa terlepas dari jenis-jenis perpisahan yang sangat memilukan.
Dengan demikian, sumber penyebab pertama adalah:
Tiadanya (kemampuan) akal mencapai sebagian hakikat keimanan yang maha luas dan tinggi sekali; ketidak-mampunya menguasai (hakikat) tersebut; dan tiadanya kemajuan akal secara sempurna dalam hal keimanan.
Sementara sumber penyebab kedua:
Itu berasal dari terasuknya hati ke dalam ‘isyq begitu tinggi, dan meregangnya (hati dalam ‘isyq) secara luar biasa.
Namun, tingkatan tauhid paling agung yang diakui oleh para awliya’ besar pewaris nubuwah dan para ashfiya’ (orang-orang suci) yang merupakan orang-orang selalu sadar waspada, adalah tinggi sekali. Ia memperjelas tingkatan agung Rububiyah dan Khallaqiyyah (Penciptaan) Ilahi. Ia menerangkan bahwa seluruh al-asma’ al-husna itu hakiki. Ia memelihara sendi-sendi dan prinsip-prinsip yang ada, dan tidak merusak keseimbangan hukum Rububiyah. Sebab, para awliya’ dan ashfiya’ tersebut mengatakan bahwa, segala sesuatu dengan seluruh urusannya telah dikuasai, dicirikan, dan ditetapkan melalui pengetahuan Allah S.w.t, serta dipilih dan diistimewakan melalui kehendak-Nya, juga ditetapkan, diciptakan, dan diadakan dengan Qudrat-Nya secara langsung bersama Keesaan Dzatiyah-Nya dan bersama kesucian-Nya dari tempat.
50. Page
Dia (Allah) S.w.t mengadakan dan mengatur semua alam laksana Dia mengadakan dan mengatur satu benda. Dia menciptakan musim semi yang begitu besar dengan mudahnya seperti Dia menciptakan satu bunga dengan kemudahan yang sama. Tak ada sesuatu yang menghalangi-Nya dari sesuatu pun. Tidak ada pembagian dan perpecahan dalam perhatian-Nya. Dia ada setiap saat dan di setiap tempat dalam hal perintah-Nya, tindakan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengetahuan-Nya. Tidak ada keterpisahan dan keterbagian dalam tindakan-Nya. Rahasia ini sudah dijelaskan secara lengkap dan telah dimantapkan dengan sempurna di dalam “Kalimat ke-16,” serta pada “Maksud Kedua” dari “Mauqif Kedua” di “Kalimat ke-32.”
Saya akan mengemukakan di sini satu contoh yang menunjukkan banyaknya kekurangan -- karena perhatian tak perlu diberikan pada perumpamaan dan kiasan sesuai kaidah “Perumpamaan tak dapat diperbandingkan” (لاَمَشَاحَةَ فِي التَّمْث۪يلِ) -- agar perbedaan antara kedua faham di atas dapat diperjelas hingga batas tertentu.
Kita bayangkan ada seekor burung merak yang sangat besar, luar biasa, tiada tara dalam hiasan dan keindahannya. Ia dihiasi ribuan ukiran indah, bisa terbang dari timur ke barat dalam sekejap, membentangkan kedua sayapnya yang mencapai ujung utara hingga selatan, dan bisa menutup keduanya bersamaan. Pada setiap bulu kedua sayapnya dipasangi beragam seni yang sangat indah.
Dan sekarang, kita bayangkan ada dua orang yang terpikat padanya. Mereka ingin terbang dengan sayap akal dan hati menuju tingkatan-tingkatan tinggi burung tadi, menuju hiasannya yang luar biasa menawan dan memperhatikannya.
Orang pertama melihat ke bentuk burung itu dan posturnya, serta ke ukiran-ukiran kodrat sangat indah yang terdapat pada setiap helai bulunya. Dia pun mencintainya begitu besar, dan merindukannya secara mendalam. Dia tidak berfikir lebih detail hingga batas tertentu, dan hanya berpegang pada ‘isyq semata. Namun, dia melihat bahwa ukiran-ukiran yang dicintainya itu berubah dan berganti terus setiap hari, serta bahwa semua yang sangat dicintainya berangsur lenyap dan hilang. Sebagai ganti dari menghibur dirinya dan menyenangkannya, serta mengatakan bahwa ukiran-ukiran tersebut adalah hasil kreasi Sang Pengukir Penguasa, karena dia merasa tak dapat memahaminya dengan akalnya terkait Rububiyyah mutlak bersama Keesaan hakiki dan Kreativitas universal bersama Keesaan dzatiyah, dia berkata sebagai ganti dari kepercayaan itu bahwa ruh yang ada dalam burung merak itu luhur dan mulia karena Penciptanya ada di dalamnya, atau (Penciptanya) adalah dia sendiri. Kemudian, ruh ini menyatu dengan jasadnya, sementara jasadnya menyatu dengan wujud lahiriahnya. Maka, kesempurnaan ruh ini dan keluhuran jasad ini menampakkan tajalli-tajalliini pada gambar, sehingga setiap menit ia memperlihatkan ukiran lain dan keindahan yang berbeda. Dan ini bukan penciptaan berdasarkan ikhtiar hakiki, tapi semata tajalli dan penampakan.
Sementara orang kedua mengatakan: Ukiran-ukiran yang selaras, tertata rapi, dan indah ini, dengan pasti menuntut adanya suatu kehendak, ikhtiar, tujuan, dan kehendak. Tidak mungkin itu hanya tajalli yang tanpa kehendak atau sekadar penampakan yang tanpa ikhtiar.
Ya, esensi burung merak itu memang indah dan mulia. Hanya saja esensinya mustahil menciptakan dirinya sendiri, tapi ia sungguh diciptakan. Tidak mungkin jika ia menyatu dengan Penciptanya selamanya. Ruhnya memang tinggi dan baik, namun bukan berarti ia menciptakan dan mengatur dirinya; ia hanya sebagai tampilan dan bentuk lahiriah semata,
51. Page
bukan yang lain. Sebab pada setiap bulunya tampak adanya keindahan yang terwujud dengan hikmah tak terbatas, serta ukiran riasan yang tercipta dengan kekuasaan yang tak terbatas pula. Hal itu tidak mungkin tanpa kehendak dan tanpa ikhtiar. Semua jenis keindahan ini yang menunjukkan sempurnanya hikmah dalam lingkup kesempurnaan kekuasaan serta (menunjukkan) sempurnnya rububiyah dan rahmat dalam lingkup kesempurnaan ikhtiar, sama sekali bukan termasuk hasil kerja tajalli atau yang semacamnya. Si penulis yang menulis catatan penuh hiasan ini tidak mungkin berada di dalam buku itu, juga sama sekali tidak mungkin menyatu dengannya. Sungguh, itu hanya suatu sentuhan antara kertas dengan ujung pena si penulis.
Dengan demikian, berbagai jenis keindahan yang luar biasa dan menawan dari burung merak ideal yang disebut jagad raya ini tidak lain adalah surat hiasan indah dari si Pencipta burung merak tersebut.
Sekarang, perhatikanlah burung merak jagad raya, bacalah surat tersebut, dan katakan kepada penulisnya, “Masya Allah, barakallah, dan subhanallah!”
Orang yang mengira surat itu seorang penulis, atau mengira si penulis berada di dalam surat, atau mengira surat itu hanya khayalan belaka, pasti dia telah menyembunyikan akalnya di balik tabir cinta, dan tak mampu melihat gambar hakikat yang sebenarnya.
Aspek paling penting di antara jenis-jenis ‘isyq (cinta) yang menyebabkan munculnya faham wahdat al-wujud, adalah cinta dunia. Ketika cinta dunia, yang merupakan cinta majazi, berubah menjadi cinta hakiki, pasti ia akan berubah menjadi wahdat al-wujud.
Sebagaimana halnya ketika pecinta mencintai seseorang dengan cinta majazi, kemudian ia tak mampu menanamkan dalam hatinya bahwa kekasihnya suatu ketika akan lenyap dan hilang, maka ia pun menghibur diri dan berpegangan pada suatu hakikat tertentu dengan menyatakan bahwa (kekasihnya) adalah cermin keindahan sang pencipta dan kekasih hakiki; sehingga pada sang kekasih tertanam keabadian melalui ‘isyq hakiki, demikian pula halnya dengan orang yang menjadikan dunia yang besar dan alam raya yang luas ini seluruhnya sebagai sesuatu yang dicintai. Ketika cinta ajaib ini berubah menjadi cinta hakiki karena keengganan kehilangan dan perpisahan abadi, akhirnya si pecinta harus bersandar pada faham wahdat al-wujud demi menyelamatkan kekasihnya yang agung dari kelenyapan dan perpisahan. Adapun jika dia memiliki keimanan yang kuat, mengakar, luhur dan tinggi, maka cinta ini baginya akan menjadi tingkatan bercahaya yang diterima, memiliki dzauq laksana tingkatan sosok-sosok seperti Muhyiddin ibnu Arabi. Jika tidak, mungkin saja (ia) terjatuh ke dalam dilema dan (kubangan) materi, serta tenggelam dalam rangkaian sebab-akibat.
Mengenai wahdat al-syuhud, tidak ada bahaya di dalamnya. Ia merupakan faham luhur para (wali ahl al-shahwah) yang sadar dan waspada.
اَللّٰهُمَّ اَرِنَاالْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ
Ya Allah, perlihatkan kebenaran sebagai kebenaran bagi kami, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 23)