NAVIGATION
171. Page
LAMA'AT KESEMBILAN BELAS
Risalah Kesederhanaan
Seputar
Kesederhanaan, Qanaah, dan Pemborosan
بِسْــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
كُلُوا وَ اشْرَبُوا وَ لاَتُسْرِفُوا
“Makan dan minumlah, dan janganlah boros.” (Qs. al-A’raf [7]: 31)
Ayat mulia ini menyampaikan pelajaran hikmah amat penting melalui perintahnya yang qath’i untuk hidup sederhana (iqtishad), dan larangannya yang tegas untuk berlaku boros (israf). Masalah ini terdiri dari tujuh nuktah.
Nuktah Pertama: Sang Pencipta Yang Maha Penyayang menginginkan syukur, sebagai balasan atas nikmat-nikmat yang Dia berikan kepada umat manusia. Pemborosan menafikan rasa syukur, dan peremehan terhadap nikmat, yang merugikan. Adapun kesederhanaan, itu merupakan penghormatan terhadap nikmat, yang menguntungkan.
Ya, kesederhanaan merupakan syukur maknawi, penghormatan terhadap rahmat ilahi yang terdapat di dalam nikmat. Kesederhanaan merupakan penyebab turunnya berkah secara pasti, penyebab kesehatan badan laksana pencegahan, penyebab kemuliaan yang akan melepaskan dan menyelamatkan manusia dari kehinaan mengemis maknawi, penyebab kuat untuk bisa merasakan kelezatan yang terdapat dalam nikmat, dan (penyebab) untuk bisa merasakan kelezatan yang ada pada nikmat yang secara lahiriah tidak tampak lezat. Adapun sikap boros –karena menyalahi hikmah-hikmah tersebut– pasti memiliki dampak berbahaya.
Nuktah Kedua: Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana telah menciptakan tubuh manusia bagai istana menawan dan kota yang teratur rapi. Indera perasa yang di mulut berfungsi sebagai penjaga pintu, urat-urat syaraf dan pembuluh darah berfungsi sebagai perangkat spionase laksana kabel telepon dan telegrap penghubung antara indera perasa dengan lambung yang berada di pusat tubuh. Indera perasa memberikan informasi melalui sel-sel syaraf itu tentang makanan yang masuk ke dalam mulut. Jika (makanan) itu tidak penting bagi tubuh dan lambung, indera perasa mengatakan, “Tidak boleh masuk!” lalu dimuntahkan ke luar. Adapun jika makanan itu berbahaya dan pahit, padahal kadang tidak berguna bagi tubuh, indera perasa akan langsung melemparkan dan memuntahkannya saat itu juga dan seketika ke luar, serta meludahkannya.
Mengingat indera perasa yang di mulut berfungsi sebagai penjaga pintu, sementara lambung sebagai tuan dan penguasa yang mengatur seluruh tubuh, maka jika nilai hadiah yang dibawa ke istana atau kota tersebut serta diserahkan ke penguasa istana setara dengan seratus kali, maka bagian tips yang sesuai untuk diberikan kepada penjaga pintu cukup lima kali, tidak boleh lebih, agar jangan sampai si penjaga pintu menjadi sombong dan rusak,
172. Page
melupakan tugasnya, dan membiarkan masuk para penyusup yang menyuap lebih banyak.
Berdasarkan rahasia ini, kita asumsikan di hadapan kita sekarang ada dua makanan, salah satunya sumber gizi, seperti keju dan telur, harganya 40 pound, sementara yang lain berupa manisan paling mewah dan harganya 400 pound. Kedua makanan ini nilainya sama, tidak ada bedanya bagi tubuh sebelum masuk ke dalam mulut. Kedua makanan ini juga sama dari sisi gizi tubuh setelah melalui tenggorokan. Bahkan bisa jadi keju yang seharga 40 pound memberikan nilai gizi lebih. Kedua makanan ini tidak ada bedanya selain dalam rentang waktu setengah menit saja saat melalui indera perasa yang di mulut. Hitunglah! Berapa banyak pemborosan yang berbahaya tanpa makna yang terjadi dalam pembayaran 400 pound, ketimbang 40 pound, hanya untuk setengah menit saja!
Meskipun hadiah yang diberikan kepada si penguasa harganya 40 pound, tapi jika pemberian uang tips kepada penjaga pintu banyaknya sembilan kali nilai hadiah tersebut, itu akan menyesatkan dan mendorongnya mengatakan, “Akulah yang berkuasa.”
Siapa yang mau memberi uang tips dan kelezatan lebih banyak, dia akan dibolehkan masuk, menyebabkan penyusupan, bisa mengobarkan panas (di perut), dan memaksa si pemiliknya berteriak, “Tolong! Panggilkan dokter untuk meredakan panas dalam tubuhku dan memadamkannya.”
Kesederhanaan (iqtishad) dan qanaah merupakan sikap yang padu dengan hikmah ilahi, karena keduanya bersinergi dengan indera perasa selaku penjaga pintu, dan berdasarkan itu keduanya memberikan kepadanya tips. Sementara pemborosan, karena tindakan ini menyalahi hikmah tersebut, pasti akan memberikan tamparan dengan cepat dan merusak lambung, menghilangkan nafsu makan yang sesungguhnya, membuat orang makan dengan nafsu makan palsu dan dibuat-buat yang timbul karena keragaman jenis makanan, terus menimbulkan buruknya pencernaan dan dispepsia (salah cerna), dan akhirnya menimbulkan penyakit.
Nuktah Ketiga: Telah kami sampaikan pada nuktah kedua sebelumnya, indera perasa laksana penjaga pintu. Ya, indera tersebut laksana penjaga pintu bagi mereka yang lalai, juga bagi mereka yang tidak meningkat secara spiritual dan tidak maju di jalan syukur. Maka wajib tidak berlaku boros. Harga yang dibayarkan juga tidak boleh ditambah dari satu menjadi sepuluh demi mengenakkan si penjaga pintu itu. Tapi, indera perasa bagi para ahli syukur hakiki, ahli hakikat, dan ahli kalbu –seperti telah dijelaskan melalui perbandingan yang dibuatkan di “Kalimat Keenam”– berkedudukan sebagai pengawas dan supervisor bagi dapur-dapur rahmat ilahi. Tugasnya adalah menimbang dan mengetahui berbagai jenis nikmat ilahi melalui neraca-neraca mikro sebanyak jumlah makanan yang dirasakan indera perasa, serta mengantarkan makanan-makanan tersebut ke tubuh dan lambung, sebagai syukur maknawi. Maka indera perasa dengan fungsi dan bentuk seperti ini bukan hanya mengarah kepada jasad materi semata, namun juga mengarah bersamanya ke kalbu, ruhani, dan akal. Karena itu, ia memiliki hukum dan memiliki kedudukan di atas lambung.
Boleh saja manusia menikmati makanan lezatnya, tapi tidak boleh boros, dan itu dilakukan hanya demi menunaikan tugas syukur saja. Boleh saja manusia merasakan dan mengetahui berbagai macam nikmat ilahi, namun hendaknya makanan lezatnya yang dibolehkan syariat, dan bukan yang menjadi sarana untuk menjadi hina dan mengemis. Boleh saja manusia mengutamakan makanan-makanan lezat demi menggunakan lidah yang ditempati indera perasa dalam rasa syukurnya.
Kejadian dan karamah Sayyidina Abdul Qadir al-Jailani –semoga Allah mensucikan
173. Page
ruhaninya– mengisyaratkan hakikat di atas:
Seorang perempuan tua renta memiliki anak semata wayang yang berada di bawah didikan al-Ghauts A’dzam Sayyidina Abdul Qadir al-Jailani –semoga Allah mensucikan ruhaninya. Suatu hari, ibu terhormat ini masuk ke kamar anaknya. Ditemui anaknya sedang makan potongan roti kering hitam. Anaknya kurus karena latihan spiritual tersebut. Kondisinya membangkitkan rasa kasih sayang ibu, sehingga ia merasa iba padanya. Lalu si ibu pergi menemui Hadratus Sayid al-Ghauts untuk mengadukan hal tersebut. Ia mendapatkan Sayid al-Ghauts tengah makan ayam bakar. Karena ibanya, si ibu lantas berkata padanya, “Wahai Syaikh! Anakku hampir mati karena kelaparan, sementara tuan makan ayam.” Hadratus Syaikh kemudian berkata kepada ayam, “Bangkitlah dengan izin Allah.” Tulang-tulang ayam yang sudah dimasak itu pun kemudian menyatu hingga menjadi seekor ayam utuh, lalu meloncat keluar dari wadah.
Kejadian ini dinukil secara mutawatir maknawi oleh para perawi terpercaya yang menjadi acuan banyak orang sebagai satu karamah bagi Hadratus al-Ghauts yang terkenal di seluruh dunia karena perolehan karamahnya yang luar biasa.
Hadrat al-Ghauts kemudian berkata kepada ibu tua tadi, “Jika anakmu sudah mencapai tingkatan ini, baru dia boleh makan ayam juga.”
Makna kata-kata Hadrat al-Ghauts ini ialah, ketika ruhani anakmu sudah menguasai jasadnya, kala hati telah menguasai jiwanya, kala akal telah menguasai lambungnya, dan ia mencari kelezatan agar bisa bersyukur, saat itulah ia dibolehkan memakan makanan lezat.
Nuktah Keempat: Orang sederhana tidak terlalu menanggung beban berat kemiskinan, atau pun beban berat kehidupan, berdasarkan rahasia hadits mulia, “Orang yang hidup sederhana tidak akan memikul beban berat” (لاَ يَعُولُ مَنِ اقْتَصَدَ).[1] Yang berarti, orang sederhana tidak menanggung beban kesulitan dalam penghidupan.
Ya, tak terhitung banyaknya dalil yang menunjukkan bahwa kesederhanaan merupakan sebab utama turunnya berkah dan nikmatnya penghidupan.
Berikut akan saya sampaikan salah satu bukti berdasarkan pengalaman pribadi, juga berdasarkan kesaksian sejumlah murid yang melayani dan menemani saya:
Saya dan juga rekan-rekan saya kadang mendapatkan sepuluh kali lipat berkah melalui perantara sikap hidup sederhana. Bahkan sembilan tahun sebelumnya, beberapa pemimpin kabilah yang diasingkan bersama saya di Burdur mendorong saya untuk menerima zakat mereka, agar saya tidak jatuh dalam kehinaan, kefakiran, dan kesengsaraan karena tidak punya uang. Maka saya katakan kepada para pemimpin kaya tersebut, “Sebenarnya, uang saya memang sangat sedikit, tapi saya hemat, saya sudah terbiasa hidup qanaah apa adanya, sehingga saya lebih kaya dari kalian.” Saya menolak tawaran yang mereka ajukan pada saya dengan cara mendesak dan berulang kali. Menariknya, sebagian dari mereka yang menawarkan zakat mereka kepada saya tadi ternyata terlibat hutang dua tahun kemudian karena tidak bisa hidup sederhana. Alhamdulillah, uang yang sedikit itu mencukupi kebutuhan saya karena berkah sikap hidup sederhana, bahkan hingga tujuh tahun setelah itu tanpa harus mencoreng wajah saya, juga tidak membuat saya terpaksa mengutarakan kebutuhan saya pada sesama manusia, tidak membuat saya menyimpang dari prinsip “tak perlu meminta bantuan orang lain” (الاستغناء عن الناس) yang merupakan salah satu di antara sekian
[1] Silahkan baca hadits ini dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Thabrani (X/108).
174. Page
prinsip hidup saya.
Ya, siapa yang tidak bisa hidup sederhana kemungkinan besar akan jatuh dalam kehinaan, meminta-minta secara maknawi, berada dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Uang yang menyebabkan orang boros adalah uang yang sangat mahal nilainya pada saat sekarang ini, karena kadang untuk mendapatkannya orang harus rela menggadaikan kehormatan dan kemuliaan sebagai suapnya. Terkadang pula harus menggadaikan kesucian agama, selanjutnya uang-uang tanpa berkah tersebut dipergunakan membeli dua barang seharga dua kurusy namun dengan kerugian maknawi mencapai seratus lira.
Andai saja manusia bisa membatasi diri sesuai kebutuhan pokoknya, mencukupkan diri dengannya dan batasannya, tentu dia akan mendapatkan rizkinya yang cukup untuk hidup menurut standar dasar dari arah yang tidak dia duga-duga berdasarkan rahasia:
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُوالْقُوَّةِ الْمَتينُ
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Qs. al-Dzariyat [51]: 58)
Juga berdasarkan nash tegas:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْاَرْضِ اِلَّأ عَلَي اللّٰهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Qs. Hud [11]: 6)
Ayat ini menjamin (kecukupan rizki) baginya.
Ya, rizki ada dua:
Pertama, rizki hakiki, yang dengannya manusia bisa hidup (cukup). Rizki jenis ini berada dalam jaminan Allah berdasar ketentuan ayat di atas. Jika tidak ada campur tangan ikhtiar buruk dari si manusia, ia pasti akan menemukan rizki pokok ini dalam segala kondisi, tanpa perlu mengorbankan agama, kehormatan, atau kemuliaannya.
Kedua, rizki kiasan (majazi). Itu jika kebutuhan bukan pokok sudah berubah menjadi penting karena praktek yang buruk. Orang sudah menjadi kecanduan dengan (kebutuhan sekunder) disebabkan musibah trend yang berlaku, sehingga dia tak bisa meninggalkannya.
Rizki jenis ini, karena bukan yang berada di bawah jaminan rabbani, maka untuk mendapatkannya tentu diperlukan banyak beban, apalagi pada zaman sekarang. Bahkan untuk mendapatkan uang yang sial dan tidak mengandung berkah itu, orang terkadang rela mengorbankan kemuliaannya, sudi menerima hinaan, dan terkadang mau menjatuhkan harga dirinya dalam posisi sebagai peminta-minta, dengan mencium kaki orang hina, dan kadang mengorbankan kesucian agamanya yang merupakan nur cahaya kehidupan abadi baginya.
Lalu, kepedihan yang dirasakan orang-orang yang punya hati nurani akibat ikut merasakan derita orang-orang kelaparan disebabkan kasih sayang terhadap sesamanya di zaman ini –zaman kemiskinan dan kesengsaraan– membuat kelezatan yang didapatkan dengan cara tidak sesuai syariat itu terasa getir, jika pun orang masih punya nurani. Maka, wajib seseorang untuk cukup menggunakan uang syubhat itu sebatas kebutuhan darurat saja di zaman ajaib ini. Sebab, dimungkinkan mengambil uang haram sebatas darurat saja karena kondisi darurat, sesuai rahasia “kondisi darurat ditentukan sesuai kadarnya” (اِنَّ الضَّرُورَةَ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا), tak boleh lebih dari itu.
175. Page
Ya, orang yang berada dalam kondisi terpaksa tidak boleh memakan daging bangkai hingga kenyang. Tapi dia bisa memakannya sebatas agar dia tidak mati saja dengan memakannya.
Lalu, banyak makan tentu tidak selaras dengan sempurnanya kelezatan di hadapan ratusan orang yang kelaparan.
Berikut sebuah kejadian nyata yang menunjukkan bahwa kesederhanaan merupakan penyebab kemuliaan dan kesempurnaan.
Hatim al-Tha’i yang dikenal dengan kedermawanan dan kemurahan hatinya di dunia, suatu ketika mengadakan jamuan makan mewah. Dia memberi banyak sekali hadiah kepada para tamunya yang hadir. Lalu, dia pergi berjalan-jalan di padang pasir. Di sana ia melihat seorang lelaki tua miskin sedang memanggul rumput berduri dan suket di pundaknya, hingga melukai tubuhnya dan menyebabkan keluar darah darinya. Hatim kemudian berkata padanya, “Hatim sekarang sedang mengadakan jamuan makan mewah dan membagi-bagikan hadiah, silahkan bapak datang ke sana untuk mendapatkan lima ratus kurusy ketimbang harus susah-susah memanggul rerumputan yang harganya hanya lima kurusy itu.” Pak tua yang sederhana itu kemudian menjawab, “Saya mampu memikul dan mengangkat beban kasar ini dengan sepenuh harga diri, namun saya tidak mampu memikul jasa Hatim al-Tha’i.”
Setelah itu Hatim al-Tha’i ditanya, “Pernahkah Anda mendapati orang yang lebih mulia dan lebih terhormat dari Anda?”
Hatim menjawab, “Saya mendapatkan pak tua sederhana yang saya temukan di tengah padang pasir lebih terhormat, lebih luhur, dan lebih mulia dari saya.”
Nuktah Kelima: Sesungguhnya al-Haq Ta’ala, melalui kemuliaan-Nya yang sempurna, membuat orang paling miskin ikut merasakan kelezatan segala nikmat-Nya seolah-olah dia orang yang paling kaya, serta pengemis seolah-olah dia sultan.
Ya, kelezatan yang didapatkan orang fakir pada sepotong roti kering hitam karena perasaan lapar dan kesederhanaannya, jauh melebihi kelezatan yang didapatkan seorang penguasa atau orang kaya pada berbagai jenis hidangan mewah yang dimakannya namun disertai perasaan jemu dan tanpa nafsu makan yang timbul akibat sikap boros.
Hal lain yang menarik perhatian adalah, sebagian orang yang hidup berlebihan dan boros menuduh orang-orang yang bersikap sederhana sebagai kikir. Itu tidak benar. Justru, sikap sederhana adalah suatu kemuliaan dan kemurahan hati. Sementara sifat bakhil dan hina pada hakikatnya merupakan kemuliaan lahiriah yang diklaim oleh mereka yang hidup berlebihan dan boros.
Sebuah peristiwa terjadi di rumah saya tahun ini, yang menguatkan hakikat tadi. Yaitu:
Salah seorang murid saya mendesak saya untuk menerima hadiah madu sekitar dua setengah okka.[1] Ini bertentangan dengan apa yang saya jadikan prinsip dan aturan hidup. Meski saya sudah menjelaskan dengan keras pentingnya kandungan prinsip ini padanya, namun dia tetap merasa tak puas. Akhirnya saya terpaksa katakan kepada tiga rekan saya yang saat itu bersama saya, “Ambillah hadiah itu, dan hendaknya kalian meminum madu itu dengan sederhana tiga puluh atau empat puluh hari selama bulan Sya’ban dan Ramadhan yang penuh berkah,” sehingga orang yang memberi hadiah bisa mendapatkan pahala, di samping agar mereka yang menerima madu tetap punya sesuatu yang manis.
[1] Satu okka kurang lebih 5,1 kg.
176. Page
Saya sendiri juga sudah memiliki satu okka madu. Meski ketiga rekan saya tadi terbilang istiqamah dan menghargai sikap sederhana, namun mereka melupakan prinsip tersebut karena sikap luhur mereka di satu sisi, yaitu saling memuliakan satu sama lain, saling menghargai perasaan satu sama lain, dan lebih mendahulukan kepentingan saudara ketimbang diri sendiri.
Mereka bertiga kemudian mengonsumsi dan menghabiskan madu tersebut hanya dalam waktu tiga malam. Akhirnya, dengan tersenyum saya katakan:
“Tadinya saya ingin memberi kalian makan selama tiga puluh atau empat puluh hari, tapi kalian menjadikan tiga puluh hari itu sebagai tiga hari. Selamat untuk kalian.”
Namun, saya menggunakan madu yang ada pada saya dengan sederhana. Saya memakannya sepanjang bulan Sya’ban dan Ramadhan. Alhamdulillah, saya bisa menyuguhkan satu sendok teh besar berisi madu kepada masing-masing rekan saya tadi pada saat berbuka, sehingga mendatangkan pahala besar. Mungkin saja orang yang melihat kondisi saya ini menganggapnya sebagai sifat bakhil, dan mengira kondisi rekan-rekan saya yang menghabiskan madu mereka dalam tiga malam sebagai sifat mulia. Namun kami memandang dari sisi hakikat, bahwa di balik sikap bakhil lahiriah tersebut terkandung kemuliaan yang tinggi, berkah yang luas, dan pahala yang besar. Dan bahwa jika sifat mulia dan boros tersebut tidak ditinggalkan, tentu itu akan menimbulkan suatu kondisi yang jauh lebih hina dari sifat bakhil, seperti melirik dan sangat menginginkan barang yang ada di tangan orang lain.
Nuktah Keenam: Terdapat perbedaan besar antara kesederhanaan dan sikap bakhil. Sebagaimana tawadhu merupakan karakter terpuji yang maknanya berbeda dari sikap rendah diri yang merupakan akhlak buruk dan sama bentuknya, dan sebagaimana wibawa (terhormat) merupakan karakter terpuji yang maknanya berbeda dari sikap sombong yang merupakan karakter buruk dan sama bentuknya; maka begitu juga kesederhanaan yang termasuk akhlak luhur Nabi S.a.w. Bahkan, kesederhanaan termasuk salah satu aturan hikmah ilahi yang berlaku di alam semesta ini, yang sama sekali tidak terkait dengan sifat bakhil yang merupakan perpaduan antara sifat lemah, tamak, dan rakus. Antara kedua sifat ini tidak ada kesamaan apa pun selain bentuk lahiriahnya saja.
Berikut sebuah kejadian yang mendukung hakikat tersebut:
Sahabat agung, Abdullah ibnu Umar r.a, salah seorang putera paling besar dan mulia al-Faruq al-A’dham (Umar bin Khatthab), khalifah Rasulullah S.a.w, dan satu di antara tujuh pemilik nama Abdullah yang masyhur dan menonjol di antara para ulama sahabat. Suatu ketika dia terlibat adu mulut saat tengah berjual-beli di pasar untuk suatu barang yang harganya hanya beberapa kurusy saja demi hidup sederhana serta demi menjaga amanat dan sikap istiqamah yang menjadi prinsip penopang perdagangan. Salah seorang sahabat melihatnya, lalu ia mengira bahwa adu mulut yang dilakukan Ibnu Umar, putra khalifah bumi yang agung, hanya karena suatu barang yang harganya hanya beberapa kurusy itu sebagai sikap bakhil yang aneh. Sahabat tadi kemudian mengikuti imam tersebut untuk mengetahui duduk perkaranya. Ia melihat Sayidina Abdullah masuk ke rumahnya yang diberkahi, lalu dia melihat seorang fakir di pintu rumahnya. Setelah itu (Abdullah) menghabiskan beberapa waktu bersama si fakir, kemudian pergi. Dia lalu keluar melalui pintu kedua rumahnya, menemui seorang fakir lainnya di sana. Dia menghabiskan beberapa waktu lagi bersamanya, setelah itu ia pun pergi. Semua itu membuat penasaran si sahabat yang dari tadi membuntutinya dari jauh. Sahabat ini kemudian menghampiri kedua
177. Page
orang fakir tersebut dan bertanya, “Apa yang dilakukan Imam ketika berdiri di depan kalian?”
Masing-masing si fakir menjawab, “Dia memberiku sepotong emas.”
Si sahabat tadi akhirnya bergumam sambil berfikir, “Subhanallah! Tadi di pasar dia terlibat adu mulut sedemikian rupa hanya demi barang yang harganya tak lebih dari satu kurusy, kemudian saat tiba di rumahnya dia memberikan dua ratus kurusy tanpa merasakan seseorang dengan sepenuh kerelaan hati.” Dia kemudian menemui Sayidina Abdullah ibnu Umar r.a dan berkata padanya, “Tolong jelaskan hal yang sulit saya fahami ini! Di pasar Anda berbuat ini dan itu, sementara aku mendengar info bahwa kau melakukan ini dan itu saat berada di rumah.”
Dia menjawab, “Yang tadi terjadi di pasar itu demi kesederhanaan, kesempurnaan akal, juga demi menjaga amanat dan kejujuran yang menjadi asas dan ruh jual beli, bukan merupakan sifat bakhil. Sementara yang terjadi di rumahku, itu murni timbul dari kasih sayang dan kesempurnaan ruhani. Kejadian di pasar bukan bakhil, dan yang di rumah bukan boros.”
Imam A’dzam r.a[1] berkata, mengisyaratkan rahasia di atas, “Tidak ada istilah boros dalam kebaikan, sebagaimana tidak ada istilah baik dalam pemborosan”( لاَ اِسْرَافَ فِي الْخَيْرِ كَمَا لاَخَيْرَ فِي الْأِسْرَافِ). Yakni, tidak ada istilah boros dalam berbuat baik dan ihsan, namun bagi orang yang berhak. Sementara dalam sikap boros sama sekali tidak ada kebaikan.
Nuktah Ketujuh: Sikap boros akan menimbulkan ketamakan, sementara sikap tamak akan menimbulkan tiga dampak:
Pertama: Tiadanya qanaah (rasa puas). Tiadanya qanaah akan menghancurkan kerinduan orang untuk berusaha dan bekerja, mendorong orang untuk menggerutu ketimbang bersyukur, membuat orang bermalas-malasan, mengabaikan uang sedikit namun halal sesuai syariat,[2] membuat orang lebih suka mencari uang haram yang tak sesuai syariat tanpa letih dan susah payah, dan membuatnya mengorbankan kemuliaannya demi mendapatkan hal itu, bahkan terkadang harus menggadaikan harga dirinya.
Kedua: Gagal dan rugi, kehilangan apa yang dituju, menghadapi rasa berat dan halangan mendapatkan kemudahan serta bantuan. Kondisi orang tamak sesuai dengan perumpamaan, “Orang tamak adalah orang yang gagal dan merugi” (اَلْحَريصُ خَائِبٌ خَاسِرٌ).
Pengaruh sikap tamak dan qanaah berlaku di dunia kehidupan sesuai hukum menyeluruh yang begitu luas. Misalkan, sebagaimana perasaan qanaah fitri mendatangkan rizki bagi pepohonan yang membutuhkannya, maka perburuan yang dilakukan hewan dengan tamak untuk mengejar rizki dalam keadaan kekurangan dan kesulitan, itu menunjukkan besarnya bahaya yang timbul akibat sikap tamak, sekaligus menunjukkan manfaat besar qanaah.
Lalu, mengalirnya cairan makanan lembut seperti susu ke semua anak kecil yang lemah sebagai rizki yang datang dari arah yang tidak diduganya disebabkan sikap qanaah mereka
[1] Imam Abu Hanifah.
[2] Karena tidak adanya sikap kesederhanaan, jumlah konsumen kian meningkat sementara jumlah produsen kian berkurang, hingga semuanya menantikan putusan pemerintah. Saat itulah pabrik, perdagangan, dan pertanian kian menurun, di mana semua aspek tersebut menjadi penopang kehidupan bermasyarakat, hingga bangsa pun menjadi hina, terbelakang, dan miskin.
178. Page
melalui bahasa kondisonal mereka, serta perburuan yang dilakukan binatang buas dengan tamak untuk mencari rizkinya yang selalu kurang dan kotor, itu semua secara tegas memperkuat pandangan kami ini.
Adanya kondisi qanaah penuh pada ikan menyebabkan rizki yang baik datang menghampirinya. Di sisi lain, lemahnya hewan-hewan cerdik, seperti musang dan monyet, dan kurusnya mereka karena tidak mampu mendapatkan rizki yang mencukupi, meski hewan-hewan ini selalu mencari rizki dengan tamaknya, sekali lagi ini menunjukkan betapa sikap tamak memicu kesulitan, dan betapa qanaah menimbulkan ketenangan.
Lalu, pencapaian rizki orang-orang Yahudi yang nyaris tidak mencukupi keperluan selain untuk kebutuhan hidup saja melalui cara tidak sesuai syariat, dengan hina dan rendah, karena mereka menggeluti praktek riba dan cara licik yang timbul akibat sifat rakus, serta sikap qanaah orang-orang badui padang pasir, yang hidup dengan kehormatan mereka dan mendapatkan rizki yang mencukupi, itu semua secara pasti dan qat’i memperkuat pernyataan kami tersebut di atas.
Lalu, banyaknya ulama[1] dan sastrawan[2] yang berada dalam kondisi miskin tidak lain disebabkan oleh sifat tamak yang timbul dari kecerdasan mereka, sementara banyak orang bodoh dan lemah justru kaya karena qanaah fitri mereka. Ini secara pasti memperkuat pendapat bahwa rizki halal datang sebatas kelemahan dan kekurangan, bukan karena kemampuan atau pun ikhtiar. Bahkan rizki halal berkesesuaian secara terbalik dengan kemampuan dan ikhtiar, karena ketika kemampuan dan keinginan anak-anak semakin bertambah, rizki mereka semakin menipis dan menjauh, serta menjadi sulit untuk mendapatkannya. Qanaah adalah harta simpanan untuk kenikmatan penghidupan dan ketenteraman hidup, berdasarkan rahasia hadits mulia, “Qanaah adalah harta simpanan yang tak akan habis” (اَلْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَيَفْنٰي).[3] Sementara tamak adalah tambang kerugian dan kemiskinan.
Ketiga: Ketamakan merusak keikhlasan dan mencederai amal ukhrawi. Sebab, jika salah seorang yang bertakwa memiliki sifat tamak, tentu dia akan selalu menginginkan perhatian orang lain kepadanya. Orang yang suka berharap agar orang lain memperhatikannya pasti tidak akan bisa menemukan keikhlasan yang sempurna. Hasil ini memiliki urgensi besar sekali, menarik atensi, dan layak diperhatikan.
Kesimpulan: Sikap boros melahirkan tiadanya qanaah. Tidak adanya qanaah menghancurkan semangat untuk berusaha dan bekerja, membuat orang menjadi malas,
[1] Buzurh-Mihr, seorang bijak ternama, menteri Anusyirwan yang adil, salah seorang raja Iran yang adil, ditanya, “Mengapa ulama terlihat berada di pintu-pintu penguasa sementara para penguasa tidak terlihat berada di pintu-pintu ulama, padahal ilmu lebih tinggi dari kekuasaan?” Buzurh-Mihr menjawab, “Ini karena ilmu yang dimiliki ulama dan kebodohan pada penguasa. Maksudnya, para penguasa tidak menghormati ilmu karena kebodohan mereka lalu mendatangi pintu-pintu ulama dan mencari ilmu. Sementara ulama mengetahui nilai harta benda yang mereka miliki karena ilmu yang mereka miliki, karena itulah mereka mencari uang di pintu-pintu para penguasa.” Demikian jawaban yang disampaikan Buzurh-Mihr atas pernyataan yang disampaikan. Dia memberikan penjelasan cerdas bahwa sifat tamak para ulama menyebabkan mereka miskin dan hina, dan yang merupakan konsekuensi dari kecerdasan mereka.
[2] Ada sebuah kejadian yang menguatkan hakikat ini, yaitu bahwa para sastrawan di Perancis diberi piagam pengemis karena mahirnya mereka dalam pengemisan itu (Sulaiman Rusydi).
[3] Disebutkan dalam al-Mu’jam al-Awsath, diriwayatkan dari Yusuf bin Muhammad bin Munkadir, dari ayahnya, dari Jabir, ia mengatakan, “Rasulullah S.a.w bersabda, ‘Hendaklah kalian bersifat qanaah, karena qanaah adalah harta yang tiada akan pernah habis.” Baca; al-Mu’jam al-Awsath (VII/84) hadits nomor 6922.
179. Page
membuka pintu keluh-kesah atas hidupnya sehingga membuatnya selalu saja mengadu,[1] merusak keikhlasan, membuka pintu riya, menghancurkan kemuliaannya, dan memperlihatkan jalan untuk jadi peminta-minta.
Adapun kesederhanaan, sikap ini akan melahirkan qanaah, sedangkan qanaah akan melahirkan kemuliaan berdasarkan rahasia hadits, “Orang qanaah akan mulia, dan orang tamak akan hina” (عَزَّ مَنْ قَنَعَ ذَلَّ مَنْ طَمَعَ).[2] Qanaah mendorong orang untuk berusaha dan bekerja, serta membuat cita-cita dan kerinduannya bertambah, seraya mendorongnya bekerja. Karena, ketika seseorang bekerja sehari misalnya, dia akan terdorong untuk bekerja pada hari berikutnya karena rahasia sifat qanaah dengan upah sebagian yang diperolehnya pada hari kemarinnya.
Adapun orang boros, dia tidak akan bekerja pada hari berikutnya karena sifat qanaahnya tidak ada. Bahkan meskipun bekerja, dia akan bekerja tanpa kerinduan atau pun gairah.
Lalu, qanaah yang muncul dari kesederhanaan membuka pintu syukur dan menutup pintu keluh-kesah. Maka, seseorang akan senantiasa bersyukur dalam hidupnya. Lalu, dia tidak berharap perhatian orang lain padanya, karena dia memang sudah tidak memerlukan mereka disebabkan qanaah. Dengan demikian qanaah akan membuka pintu ikhlas dan menutup pintu riya.
Saya telah menyaksikan banyak sekali bahaya besar terjadi karena tiadanya kesederhanaan dan karena pemborosan dalam skala besar, sebagai berikut:
Saya datang ke sebuah kota yang diberkahi sembilan tahun lalu. Saat itu sedang musim dingin, sehingga saya tidak bisa melihat sumber-sumber kekayaan kota tersebut. Mufti setempat berkali-kali mengatakan pada saya, “Penduduk kami miskin-miskin.” Kata-kata itu menyentuh perasaan saya. Perasaan iba atas penduduk kota tersebut terus membayangi saya hingga enam tahun setelah itu. Delapan tahun kemudian, saya kembali lagi ke kota tersebut pada musim panas. Kini saya pandangi kebun-kebunnya. Saya jadi teringat kata-kata mufti yang dirahmati Allah. Maka saya pun berucap, “Subhanallah! Produksi kebun-kebun ini banyak melebihi kebutuhan kota, seharusnya penduduknya kaya sekali.” Saya merasa heran. Lalu sempat terlintas sebuah hakikat di benak saya –inilah pembimbing saya untuk mengetahui banyak sekali hakikat, dan tidak pernah menipu saya– bahwa berkah sudah dicabut dari kota ini disebabkan sikap boros warganya dan tiadanya kesederhanaan. Maka pantas mufti yang dirahmati Allah mengatakan, “Penduduk kami miskin,” meskipun mereka memiliki banyak sekali sumber kekayaan!
Ya, banyak kenyataan tak terhingga yang menunjukkan bahwa, berdasarkan pengalaman yang terjadi, kesederhanaan dan kesudian membayar zakat merupakan faktor penyebab keberkahan pada harta benda, sementara pemborosan dan keengganan membayar zakat menyebabkan diangkatnya berkah.
Ibnu Sina Abu Ali, sosok jenius yang tenar itu –Plato-nya para filosof kaum muslimin, sekaligus guru bagi para dokter dan filosof– menjelaskan ayat ini melalui bait-bait syair berikut:
[1] Ya, jika engkau menjumpai seorang boros, kau pasti akan mendengar banyak keluhan darinya. Meskipun kaya, pasti lisannya selalu mengeluh dan mengadu. Sementara jika engkau menjumpai orang miskin yang qanaah, kau tidak akan mendengar keluhannya. Yang ada, hanyalah pujian dan rasa syukur.
[2] An-Nihayah fi Gharibil Atsar (IV/114).
180. Page
كُلُوا وَ اشْرَبُوا وَ لاَتُسْرِفُوا
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihanan” (Qs. Al-A’raf [7]: 31)
جَمَعْتُ الطِّبَّ في بَيْتَيْنِ جَمْعًا{ وَ حُسْنُ الْقَوْلِ في قِصَرِ الْكَلاَمِ
فَقَلِّلْ اِنْ اَكَلْتَ وَ بَعْدَ اَكْلٍ تَجَنَّبْ{ وَ الشِّفَاءُ فِي الْأِنْهِضَامِ
وَ لَيْسَ عَلَي النُّفُوسِ اَشَدُّ حَالاً{ مِنْ اِدْخَالِ الطَّعَامِ عَلَي الطَّعَامِ
Aku menyatukan asas pengobatan dalam dua bait syair
dan kata indah didapat melalui tutur singkat
Jangan makan terlalu banyak, kemudian setelah makan …
jauhilah makanan (lain), karena kesembuhan ada pada pencernaan
Tidak ada kondisi yang lebih menyulitkan bagi jiwa
selain memasukkan makanan di atas makanan yang sudah ada
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
Kesesuaian (tawafuq) yang menarik perhatian dan topik yang menjadi pelajaran
Risalah Kesederhanaan ini ditulis oleh lima atau enam penyain, tiga di antaranya tidak pandai menulis. Anehnya, setiap 51 alif di antara huruf-huruf alif yang terdapat pada salinan masing-masing mereka yang tanpa mencantumkan doa, letaknya berkesesuaian dengan 53 alif pada masing-masing1gvty6 salinan yang mencantumkan doa. Padahal, tempat para penyalin berbeda-beda, naskah yang mereka salin juga berbeda-beda, tempat tinggal masing-masing berjauhan satu sama lain, dan metode penulisan yang digunakan juga tidak sama. Mereka sama sekali tidak pernah memikirkan tentang alif-alif tersebut. Jumlah alif yang ada juga sesuai dengan tanggal penulisan Risalah Kesederhanaan yang, menurut kalender Romawi, berjumlah 51, atau sesuai dengan kalender Hijriyah yang berjumlah 53. Tidak mungkin jika kesesuaian ini terjadi kebetulan semata. Tapi, ini merupakan isyarat meningkatnya derajat keberkahan di sikap kesederhanaan hingga mencapai derajat karamah. Tahun ini layak untuk kita sebut sebagai tahun kesederhanaan.
Ya, zaman telah menunjukkan karamahnya kesederhanaan –tepatnya setelah dua tahun– semasa Perang Dunia II yang penuh kelaparan, kehancuran, dan beragam sikap boros yang tersebar di seluruh tempat, hingga memaksa umat manusia dan semuanya untuk hidup sederhana.