NAVIGATION
52. Page
LAMA'AT KESEPULUH
Seputar Tamparan Sayang
بِسْــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُٓوءٍ تَوَدُّ لَوْ اَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُٓ اَمَدًا بَع۪يدًا وَ يُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهُ وَاللّٰهُ رَؤُفٌ بِالْعِبَادِ
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 30)
Lama’at ini menafsirkan salah satu di antara rahasia-rahasia ayat di atas, melalui penjelasannya tentang pengalaman kawan-kawan saya yang bekerja dalam khidmat al-Qur'an, berupa tamparan-tamparan kasih sayang Ilahi, akibat kekhilafan dan kesalahan mereka sesuai tuntutan kemanusiaan mereka.
Akan dijelaskan rangkaian karamah bagi khidmat al-Qur'an, serta sejenis karamah Ghauts A’dzam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang selalu menjaga khidmat suci ini, dan membantunya, melalui himmahnya dan doanya atas izin Allah, sehingga orang-orang yang bekerja dalam khidmat suci ini meneguhkan kesungguhan kerja mereka.
Karamah khidmat suci ini ada tiga jenis:
Jenis pertama, penyiapan khidmat tersebut dan penyajiannya, serta perekrutan orang-orang yang akan bekerja diri di dalamnya dan mengabdikan padanya.
Jenis kedua, penangkalan segala penghalang, serta penepisan segala kejahatan orang-orang yang membahayakan dan dan penyingkiran mereka. Terdapat banyak kejadian terkait kedua jenis (karamah) ini, yang akan panjang sekali penyebutannya. Karena itu, kami menunda pembahasan keduanya di lain waktu. Kami akan menyebutkan jenis karamah ketiga yang lebih ringan dari keduanya.
Bagian ketiga, adalah:
Ketika kelesuan mendera orang-orang yang bekerja dalam khidmat (al-Qur’an) dengan ikhlas, mereka langsung mendapatkan tamparan kasih sayang sehingga bisa sadar dan memberikan pengabdian kembali. Jenis ini kejadiannya lebih dari seratus kasus. Namun, dari duapuluh orang hanya tigabelas atau empatbelas saja yang mendapatkan tamparan kasih sayang, sementara enam atau tujuh orang mendapatkan peringatan keras.
Yang pertama dari mereka adalah Sa’id yang malang ini. Setiap kali saya merasa lesu dan bosan memberikan khidmat, dan sibuk dengan urusan khusus yang merujuk pada pribadi dengan mengatakan, “Apa urusan saya dengan orang lain,” saya pasti menerima tamparan. Perasaan rela sepenuhnya menguasai saya (sehingga saya sadar) bahwa saya harus menerima tamparan itu disebabkan kelalaian saya. Karena apa pun tujuan yang membawa saya pada kelalaian, saya selalu selalu menerima tamparan sebaliknya. Setiap kali kami mengamati tamparan-tamparan sayang yang dialami semua kawan saya yang tulus, kami dapatkan mereka seperti saya. Ketika mereka lalai untuk memberikan khidmat keimanan, mereka selalu menerima tamparan sayang, kebalikan dari maksud dan tujuan mereka. Perasaan puas pun
53. Page
kami rasakan (setelah menyadari) bahwa kejadian-kejadian ini termasuk karamah dalam khidmat pengabdian al-Qur'an.
Contohnya, ketika saya –Sa’id yang malang ini– sibuk mengajarkan pelajaran hakikat al-Qur'an di kota Van,[1] pemerintah yang biasanya selalu sibuk mencurigai kesalahan sama sekali tidak mengusik saya. Sedikit pun mereka tidak mengusik saya ketika terjadi peristiwa Syaikh Sa’id.[2]
Namun ketika saya bilang, “Apa urusan saya dengan orang lain,” di saat saya mulai berfikir untuk kepentingan diri saja, menyendiri di sebuah tempat tak berpenghuni seperti di dalam goa di gunung Erek[3] demi menyelamatkan akhirat saya, saat itulah mereka menangkap saya tanpa alasan, lalu membuang saya. Mereka membawa saya ke Burdur.[4] Namun di sana mereka juga belum mengusik saya dengan buruk, karena saat itu saya masih sibuk dengan khidmat al-Qur'an.
Ketika itu orang-orang buangan diawasi secara ketat. Mereka harus memastikan keberadaan mereka kepada sipir polisi setiap sore. Namun saya bersama murid-murid saya yang tulus diperlakukan berbeda dari itu. Saya sama sekali tidak diwajibkan melapor untuk memastikan keberadaan saya, padahal saya tak mau mengakui pemerintahan.
Ketika Fauzi Pasha datang ke kota ini, walikota mengadukan kondisi kami kepadanya. Namun, Fauzi Pasha malah berkata, “Hormati dia dan jangan diusik, karena kata-kata yang disampaikannya semata kesucian khidmat al-Qur'an.”
Namun ketika fikiran untuk menyelamatkan diri sendiri dan menyelamatkan akhirat saya semata mulai menguasai diri saya, saya mengalami kemalasan sesaat dalam khidmat al-Qur'an, saya langsung mendapatkan tamparan sayang kebalikan dari maksud saya. Saya diasingkan ke tempat lain, lalu saya dikirim ke Isparta.[5]
Di sana, saya pun mulai menjalankan aktivitas dakwah. Setelah berlalu duapuluh hari, saya diingatkan oleh sebagian orang penakut, dengan mengatakan pada saya, “Sepertinya situasi pemerintahan sekarang tidak menguntungkan. Sebaiknya Anda menunggu sebentar.” Ketika itu, fikiran untuk mementingkan diri saja kembali menguat. Saya meminta kawan-kawan agar tak ada orang yang menemui saya. Tapi sekali lagi, saya dibuang dari tempat ini ke tempat ketiga, yaitu Barla.[6]
Saat saya merasakan letih di Barla, dan fikiran untuk hanya mementingkan diri sendiri pun kian menguat, salah satu ‘ular ahli dunia’ dan salah seorang munafiknya mencengkeram
[1] Sebuah kota di ujung timur Turki.
[2] Pemimpin sebuah kabilah di kawasan timur Turki. Ia memberontak terhadap pemerintah pasca penghapusan khilafah, selanjutnya ditangkap dan dieksekusi mati.
[3] Sebuah gunung di kawasan timur Turki.
[4] Sebuah kota di kawasan barat Turki.
[5] Sebuah kota di kawasan barat Turki.
[6] Sebuah perkampungan jauh, masih berada di kawasan Isparta.
54. Page
saya. Akibatnya, selama waktu delapan tahun yang saya habiskan di Barla, saya mengalami delapan puluh kejadian. Saya bisa saja mengisahkan semuanya, namun saya singkat saja karena khawatir membosankan dan menjemukan.
Saudara-saudaraku! Saya sudah pernah menceritakan sebagian tamparan-tamparan sayang yang menerpa saya. Sekarang, saya juga ingin menceritakan tamparan kasih yang pernah kalian terima, jika kalian berkenan dan membolehkan saya. Saya harap kalian tidak keberatan. Dan jika ada yang keberatan, saya tidak akan menyebut namanya dengan jelas.
Contoh kedua dari mereka adalah saudara saya sekandung Abdul Majid yang termasuk murid saya yang paling tulus dan paling banyak berkorban. Dia punya rumah indah di kota Van. Dia seorang guru dan dalam kondisi dimudahkan. Pendapatnya tidak sepakat dengan pendapat orang-orang yang menginginkan – bukan atas kemauan saya - kepergian saya ke daerah-daerah perbatasan yang menjadi kawasan paling banyak kegiatannya dalam khidmat al-Qur'an, karena dikiranya ini demi kemaslahatan saya. Dia tidak menyetujui itu. Dia fikir bahwa jika saya pergi ke kawasan-kawasan perbatasan, pasti khidmat pengabdian al-Qur'an bakal dikotori oleh politik, sehingga tidak ikhlas. Justru mereka mengeluarkannya dari kota Van. Dia mendapat tamparan kasih sayang kebalikan dari maksudnya. Dia pun akhirnya meninggalkan Van, kampung halaman dan rumah indahnya, serta terpaksa harus pergi ke Argani.[1]
Contoh ketiga dari mereka, Sayid Khulusi yang merupakan seorang anggota penting dan paling menonjol dalam khidmat al-Qur'an. Saat pergi meninggalkan Egirdir[2] menuju kampung halamannya, dia mendapatkan sebab-sebab kebahagiaan duniawi secara sempurna. Segala faktor penyebab yang hingga batas tertentu menjurus pada kelesuan khidmat al-Qur'an yang bersifat ukhrawi dan tulus, tersedia di sana, sebab dia bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang sudah lama tidak dijumpainya. Dia menikmati pemandangan kampung halamannya, di samping karena dia sudah lama pergi meninggalkan kampung halaman serta dia meraih kemuliaan dan kedudukan, hingga dunia terlihat nikmat baginya dan tampak pula manisnya hijau-hijauan. Padahal siapa pun yang memberikan khidmat al-Qur’an, dia harus berpaling dari dunia atau dunia harus berpaling darinya, agar bisa memberikan khidmat al-Qur'an secara tulus ikhlas dan sungguh-sungguh.
Meski hati Khulusi tidak goyah dan tidak guncang, namun situasi yang ada ini mendorongnya pada kelesuan dalam berkhidmat. Akhirnya dia pun mendapat tamparan kasih sayang, ketika sebagian orang munafik menguasainya selama dua tahun penuh. Mereka menyingkirkan kenikmatan dan kelezatan dunia darinya, dan menyebabkan dunia berpaling darinya dan dia juga berpaling darinya. Saat itulah Khulusi memegang kembali tugas maknawi itu sekuat-kuatnya, dan dia menjalankan tugas tersebut secara sempurna sepenuh makna kata.
Contoh keempat dari mereka, Hafidz Ahmad Muhajir. Dia menuturkan sendiri kisahnya sebagai berikut:
[1] Sebuah wilayah yang masih termasuk bilangan kota Diyar Bakar. Jarak dari kota ini ke kota Van kurang lebih 500 km, tepatnya di sisi barat.
[2] Sebuah wilayah di bilangan kota Isparta.
55. Page
Ya. Saya mengakui bahw saya bersalah dalam ijtihadnya dalam khidmat al-Qur'an dikarenakan akhirat saya, juga keinginan saya terhadap sesuatu yang membuat saya lesu memberikan khidmat. Akhirnya saya menerima tamparan sayang, namun keras sekali dan menjadi penebus kesalahan saya. Berikut kisahnya:
Guru saya, Badiuzzaman Sa’id Nursi, tidak menolelir hal-hal baru dalam agama –maksudnya bid’ah-bid’ah yang menyalahi syiar-syiar Islam, seperti adzan dengan bahasa Turki. Beliau tak pernah menyetujuinya. Saya pun berkata dalam hati, “Ustadz saya bertetangga dengan masjid di mana saya biasa shalat bersama jamaah yang lain. Ketiga bulan yang penuh berkah –Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan– sudah dekat. Jika saya meninggalkan masjid, tentu saya akan kehilangan banyak pahala, dan penduduk setempat akan terbiasa meninggalkan shalat. Jika saya tidak mengikuti aturan baru, tentu orang-orang akan menolak saya (shalat bersama mereka).
Saya menginginkan, berdasarkan ijtihad ini, kepergian guru saya yang lebih saya cintai melebihi diri saya sendiri dan nyawa saya, ke wilayah lain untuk sementara waktu. Saya tidak menyadari jika beliau pergi ke tempat lain, khidmat al-Qur'an akan mengalami kelesuan sementara waktu. Dan benar saja, di sela waktu ini, saya menerima tamparan sayang, namun keras sekali, hingga saya tidak sadarkan diri selama tiga bulan lamanya.
Namun alhamdulillah, guru saya mendapatkan ilham sebagaimana diberitahukannya kepada saya melalui informasi pasti bahwa setiap menit dari musibah itu nilainya sama dengan ibadah sehari penuh. Dan kami menginginkan dan mengharapkan hal demikian dalam rahmat Allah, sebab kesalahan saya ini bukan didasarkan atas niat buruk dan tujuan tidak baik, tapi muncul karena saya memikirkan akhirat saya saja.
Contoh kelima dari mereka, Haqqi Effendi. Namun karena ia tidak hadir di sini saat ini, biar saya wakili saja, seperti halnya saya mewakili Khulusi. Berikut kisahnya:
Ketika Haqqi Effendi menjalankan tugasnya dengan baik, salah seorang berakhlak buruk ditunjuk untuk menjadi kepala daerah yang baru. Dia kemudian menyembunyikan salinan-salinan Risalah al-Nur agar dia dan juga gurunya tidak menerima hal-hal buruk. Dia akhirnya menghentikan khidmat al-Qur'an yang bercahaya untuk sementara waktu. Namun datanglah suatu dakwaan padanya laksana tamparan sayang yang mengharuskannya membayar denda sebesar seribu lira. Dia terus berada dalam ancaman ini selama setahun penuh. Setelah itu dia datang menemui saya, kami pun bertemu di sini, kemudian dia kembali lagi menjalankan tugasnya sebagai murid untuk khidmat al-Qur'an, hingga akhirnya hukuman tamparan sayang hilang, dan dakwaan yang dituduhkan padanya dicabut.
Berikutnya, ketika murid-murid (thullab al-Nur) diberi tugas baru untuk menulis al-Qur'an dengan tulisan bagus, yakni dalam bentuk yang memperlihatkan mukjizat tawafuq (keselarasan) di antara ayat-ayat al-Qur'an, dia mendapat porsi dan bagian untuk pekerjaan ini. Sungguh, dia menguasai tugasnya, dan dia menulis satu juz dengan kaligrafi indah. Hanya saja dia melihat dirinya dalam kondisi terdesak karena butuh penghidupan dan mencari rizki, hingga dia akhirnya masuk kantor pengacara tanpa sepengetahuan kami. Tiba-tiba dia pun mendapat tamparan sayang sekali lagi, saat jari-jari tangannya yang biasa ia gunakan untuk memegang pena melintir untuk sementara waktu. Kemudian dia mendapat peringatan melalui lisan maknawi bahwa mustahil dia menggunakan jari-jari tangan untuk tugas kantor pengacara dan menulis al-Qur'an secara bersamaan. Kami bingung terkait jari-jari tangannya karena kami tidak tahu bahwa dia masuk kantor pengacara. Setelah itu menjadi jelas bagi kami
56. Page
bahwa khidmat suci murni untuk al-Qur'an tidak menginginkan jika jari-jari suci dan khusus tersebut sibuk dengan urusan-urusan lain.
Bagaimana pun juga, saya sudah menempatkan Sayid Khulusi di posisi saya, dan saya sudah bertutur menggantikannya, serta Sayid Haqqi juga seperti dia. Jika tidak puas dengan penuturan yang saya wakili ini, silahkan dia mengisahkan sendiri tamparan sayang yang diterimanya.
Contoh keenam dari mereka, Sayid Bekir. Saya mewakilinya untuk menuturkan kisahnya sekarang karena dia tidak ada di tempat, seperti halnya saya mewakili saudara saya Abdul Majid, bersandar atas kepercayaan saya pada kejujuran dan kepercayaannya pada saya, juga atas kata-kata semua orang-orang tercinta dan terhormat yang dekat dengan saya, seperti Hafidz Syami dan Sayid Sulaiman.
Bekir sudah pernah mencetak “Kalimat ke-10.” Setelah itu kami kirimi lagi “Kalimat ke-25” yang secara khusus membahas tentang mukjizat al-Qur'an agar dia cetak sebelum munculnya huruf-huruf baru.[1]
Kami menulis surat padanya bahwa kami akan mengirimkan biaya pencetakan risalah ini, seperti ongkos cetak Kalimat ke-10 yang kami kirimkan sebelumnya. Namun dia menduga kuat saya tidak punya uang. Setelah dihitung ongkos cetaknya empat ratus Lira, ia tertipu oleh dirinya sendiri dengan anggapan bahwa barangkali saya tidak sudi dia membayar dengan uang dari sakunya sendiri. Akhirnya risalah itu pun tidak dicetak, sehingga khidmat al-Qur'an mengalami kerugian besar. Dua bulan kemudian, pencuri menggasak uang miliknya sebesar Sembilan ratus Lira. Dengan ini dia mendapat tamparan sayang yang mencengangkan. Mudah-mudahan uang yang hilang ini menjadi sedekah, atas izin Allah.
Contoh ketujuh dari mereka, Hafidz Taufiq Syami. Ia sendiri yang menuturkan kisahnya:
Ya. Saya akui mendapat tamparan sayang atas tindakan-tindakan yang membuat khidmat al-Qur'an mengalami kelesuan. Saya tak punya keraguan bahwa dua tamparan berikut ini terjadi disebabkan hal tersebut.
Pertama, Allah S.w.t mengaruniai saya, alhamdulillah, memiliki tulisan kaligrafi yang bagus, cocok hingga batas tertentu untuk penulisan al-Qur'an Karim. Guru saya menyerahkan kepada saya tiga juz pertama mushaf untuk saya tulis. Beliau juga membagikan (tugas yang sama) ke semua kawan saya. Namun semangat saya untuk menulis mushaf al-Qur’an mengendurkan semangat saya untuk menulis Risalah al-Nur dan mencatatnya. Saya juga merasa tertipu karena saya fikir dapat mengalahkan semua kawan yang kurang bagus menulis kaligrafi Arab. Bahkan ketika guru saya memberitahu saya hal khusus terkait penulisan (mushaf), dengan terpedaya saya katakan bahwa ini memang sudah pekerjaan saya dan merujuk ke saya. Saya cukup handal untuk pekerjaan ini, berpengalaman, dan tidak perlu belajar untuk pekerjaan ini.
Di antara balasan atas kesalahan ini, saya mendapat tamparan sayang tanpa saya duga. Entah mengapa, saya tidak mampu mencapai tingkat kemampuan kawan yang paling rendah
[1] Maksudnya huruf Latin. Imam Nursi menyebutnya sebagai huruf ladin (tak memiliki agama).
57. Page
pengetahuannya mengenai tulisan kaligrafi Arab, yaitu Husrau.[1] Kami pun semua merasa heran. Namun, kini kami mengerti bahwa kegagalan saya dalam pekerjaan ini tidak lain merupakan tamparan sayang bagi saya.
Kejadian lainnya, saya akui, ada dua kondisi yang menghalangi saya memberikan khidmat al-Qur'an yang merupakan khidmat tulus ikhlas untuk Allah dan di jalan-Nya semata. Disebabkan hal tersebut akhirnya saya mendapat tamparan sayang yang keras. Karena, di negeri ini saya bisa dibilang orang setengah asing, atau bahkan benar-benar asing. Di samping itu, saya tidak pernah menghiraukan aturan untuk berhemat dan bersikap qana’ah (menerima apa adanya), yang merupakan aturan paling penting dari syaikh dan guru saya. Akhirnya saya dihadapkan pada kondisi miskin. Namun –alhamdulillah- saya tak pernah mengeluhkan hal ini. Kondisi memaksa saya bergaul dengan orang-orang terpedaya yang takjub pada diri sendiri. Saya terpaksa berbuat riya’ dan mencari muka karena saya fikir bisa memperlakukan mereka dengan mulia dan terhormat. Sayangnya, saya tidak mampu menyelamatkan diri saya dari situasi ini, meski guru saya sudah sering mengingatkan, menyebut, dan menegur saya. Semoga Allah memaafkan saya.
Kondisi saya seperti ini yang menafikan spirit khidmat al-Qur'an dimanfaatkan oleh setan-setan dari golongan jin dan manusia. Itu juga menyebabkan saya malas, jumud, dan bosan dalam kerja dan dakwah kita ini. Atas kelalaian ini, saya mendapat tamparan keras, namun semoga atas izin Allah itu menjadi tamparan sayang dan kasih. Tak tersisa sedikit pun keraguan pada saya bahwa tamparan ini terjadi disebabkan kelalaian saya ini. Tamparan tersebut adalah:
Saya selama delapan tahun selalu menerima wejangan guru saya, menulis dan mencatat risalah-risalah beliau. Namun saya tidak bisa memetik manfaat dari cahaya Risalah al-Nur selama delapan bulan. Kami sering merasa heran kenapa bisa seperti itu. Kami, saya bersama guru saya, berusaha mencari tahu apa sebabnya. Kini kami mengtahuinya dengan yakin bahwa hakikat-hakikat al-Qur'an adalah cahaya dan sinar, yang tak akan menyatu dengan kegelapan sikap berpura-pura, mencari muka, dan merendahkan diri. Karena itulah makna hakikat cahaya-cahaya ini serasa asing bagi saya, menjadi begitu kering, seolah-olah ia menjauh dari saya. Saya pun memohon kepada Allah agar setelah kejadian ini Dia berkenan memberikan keikhlasan yang patut untuk khidmat ini, serta menyelamatkan saya dari riya dan mencari-cari muka di hadapan para pecinta dunia.
Saya memohon doa dari kawan-kawan saya, terlebih-lebih dari guru saya.
Hafizh Taufiq Syami
Contoh kedelapan dari mereka, Sairani. Dia salah seorang murid saya, yang merindukan cahaya, dan punya pengetahuan seperti Husrau. Saya ingin mengetahui pendapat murid-murid saya di Isparta terkait tawafuq al-Qur'an yang merupakan kunci penting untuk mengungkap rahasia al-Qur'an dan ilmu jafr. Mereka hadir semua dengan penuh semangat, kecuali dia. Karena dia memiliki pendapat lain, perhatiannya lebih tertarik pada hal-hal lain. Bersamaan dengan itu, dia ingin mengalihkan saya dari hakikat yang saya ketahui secara
[1] Salah satu tokoh murid-murid Imam Nursi. Dialah yang menulis “mushaf tawaqqufi” meski tulisan Arabnya tidak bagus.
58. Page
meyakinkan ini. Dia akhirnya mengirim sebuah surat kepada saya. Surat ini sangat melukai perasaan saya, hingga saya mengatakan, “Aduh, rugi sekali! Aduh, kasihan sekali!” Saya sudah kehilangan murid saya yang satu ini. Saat saya ingin mencerahkan pemikirannya, ternyata ada hal lain yang turut berperan. Dia pun mendapat tamparan sayang karena hampir setahun lamanya dia harus berada di pengasingan, yakni di penjara.
Contoh kesembilan dari mereka, Hafidz Buyuk Zuhdi. Saudara ini, saat jadi pembimbing murid-murid Risalah al-Nur di Aghrus,[1] ia tidak hanya membimbing secara maknawi murid-murid yang menjadikan ittiba’ sunnah dan menjauhi bid’ah sebagai jalan hidup semata, tapi juga memberi pengajaran tentang bid’ah berbahaya[2] dengan harapan meraih kedudukan tinggi dalam pandangan para pecinta dunia, hingga melakukan kesalahan yang sama sekali menafikan jalan kami. Dia pun mendapat tamparan sayang yang menakutkan. Dia tertimpa suatu kejadian yang nyaris menyebabkan keruntuhan kehormatan diri dan keluarganya. Namun peristiwa memilukan ini juga sayangnya menimpa Hafidz Kucuk Zuhdu meski sebenarnya ia tidak pantas menerima tamparan sayang seperti ini. Semoga kejadian ini bisa menyelamatkan hatinya dari dunia, atas izin Allah, juga bersungsi sebagai operasi yang bermanfaat, agar hatinya berpaling pada al-Qur'an semata.
Contoh kesepuluh dari mereka, seseorang bernama Hafidz Ahmad. Orang ini dengan penuh semangat sibuk menggandakan Risalah al-Nur selama dua atau tiga tahun. Dia juga memetik manfaat darinya. Namun kemudian ahli dunia memanfaatkan titik lemahnya, hingga semangatnya mengendur kala bergaul dengan ahli dunia, karena dikiranya dia tidak akan terkena pengaruh bahaya dari mereka, dan agar mereka mau mendengar kata-katanya sehingga dengan begitu dia bisa meraih kedudukan di mata mereka. Dia ingin sekali mengatasi kesulitan penghidupannya. Namun, dia justru mendapat dua tamparan sekaligus akibat kelesuan dan bahaya yang menimpa khidmat al-Qur'an akibat tindakannya ini:
Pertama, bersamaan dengan kesulitan penghidupannya, dia juga harus menanggung lima orang tambahan di keluarganya, sehingga kesulitannya semakin berlipat.
Adapun tamparan kedua, orang ini terbilang sensitif dalam persoalan harga diri. Dia tidak tahan dengan kritik dan penentangan dari seseorang. Dia dijadikan sebagai salah seorang penyusup untuk menutupi aksi-aksi mereka, tanpa dia sadari, sampai kemuliaan dan harga dirinya hancur, serta kehilangan sebagian besar darinya, bahkan sampai banyak orang menjadi musuhnya.
Bagaimana pun juga, kami memohon semoga Allah memberikan ampunan baginya. Semoga dia bisa sadar, pulih, dan kembali pada tugasnya, insya Allah.
Contoh kesebelas, belum ditulis, mungkin beliau tidak suka padanya.
[1] Sebuah wilayah di bilangan kota Isparta, sekarang bernama Atabak.
[2] Maksudnya mengajarkan huruf-huruf latin yang diwajibkan untuk seluruh bangsa Turki pasca dihapusnya khilafah Islam. Imam Nursi menyebut huruf-huruf Arab sebagai huruf-huruf al-Qur'an, sementara huruf-huruf latin ia sebut sebagai huruf ladin (tak punya agama).
59. Page
Contoh keduabelas, adalah Muallim Ghalib. Ya, saudara ini sudah banyak memberikan khidmat secara tulus, luar biasa, dan layak mendapat penghormatan dalam penulisan Risalah al-Nur. Dia tidak pernah memperlihatkan kelemahan dalam menghadapi kesulitan apa pun. Dia mendengarkan pelajaran-pelajaran dengan penuh semangat dan kerinduan. Dia selanjutnya menggandakan sebagian Risalah al-Nur, kemudian memberikan kumpulan “al-Kalimat” dan “al-Maktubat” selengkapnya kepada pihak lain agar menuliskannya untuknya dengan bayaran tiga puluh Lira. Dia berniat menyebarkan Risalah al-Nur ini di kampungnya, dengan harapan kalangan keluarganya yang tinggal di sana tercerahkan olehnya. Namun, kemudian dia tidak menyebarkan Risalah al-Nur seperti dibayangkan dkibat sebagian pemikiran dan pendapat yang menyerangnya. Dia pun membiarkan Risalah al-Nur di dalam kotak. Dia didera kerisauan dan kebimbangan yang berlangsung selama satu tahun penuh disebabkan sebuah insiden sangat pedih yang terjadi tiba-tiba. Dia pun menemukan banyak sekali musuh zalim yang ekstrem di hadapannya, sebagai ganti dari segelintir pegawai yang memusuhinya disebabkan menyebarluaskan Risalah al-Nur, sebagaimana dia kehilangan beberapa teman dan kecintaannya.
Contoh ketigabelas, adalah Hafidz Khalid. Dia menceritakan sendiri apa yang terjadi padanya:
Ya. Saya akui, ketika saya aktif bekerja menulis risalah-risalah yang disebarkan oleh guru saya dengan penuh semangat dan cinta, tugas menjadi imam masjid di kampung saya sedang kosong. Kemudian saya merasa bosan melakukan khidmat al-Qur'an untuk waktu sesaat dengan niat saya akan memakai toga akademis lama, dan mengenakan surban saya. Saya pun meninggalkan khidmat tersebut tanpa sengaja. Namun saya menerima tamparan yang penuh kasih dan sayang, kebalikan dari tujuan dan niat saya. Saya tidak bisa mengenakan surban tersebut, meskipun mufti sudah berjanji berkali-kali, padahal saya sudah melakukan tugas mengimami shalat di masjid selama hampir sembilan bulan.
Tidak kami ragukan sama sekali bahwa tamparan penuh kasih dan sayang ini timbul dari kekurangan ini. Saya sebelumnya aktif berbicara dengan guru saya dan menulis untuknya. Namun, karena kepergian saya dari khidmat tersebut, akhirnya kerja penulisan (Risalah al-Nur) banyak mengalami hambatan.
Namun bagaimana pun, alhamdulillah (akhirnya) kami menyadari kesalahan dan kekurangan kami. Kami mengetahui sejauh mana kesucian khidmat ini. Semakin bertambah kepercayaan kami pada keberadaan seorang ustadz dan syaikh di belakang kami, seperti Syaikh al-Jailani, laksana para malaikat penjaga.
Hafizh Khalid
Contoh keempatbelas, tiga tamparan kecil untuk tiga orang bernama Musthafa.
Yang pertama adalah Musthafa Cavus. Saudara ini bertugas merawat masjid kami yang kecil dan khusus untuk kami selama delapan tahun. Dia mengurus masjid itu hingga penyediaan alat penghangat ruangan, minyak lampunya, dan korek api. Baru kemudian kami ketahui bahwa minyak dan korek api itu dibiayainya dari uangnya sendiri. Dia pun tak pernah absen shalat berjamaah, apalagi pada malam-malam Jum’at, kecuali ada urusan sangat terpaksa.
60. Page
Suatu ketika para ahli dunia menyampaikan pesan pada Musthafa Cavus dengan memanfaatkan kebaikannya, “Mereka akan meminta Hafidz —salah seorang penulis al-Kalimat— supaya melepaskan jubahnya, serta azan rahasia[1] harus ditinggalkan untuk sementara waktu. Maka beritahukan kepada sang penulis agar ia melepas surbannya sebelum dia dipaksa untuk itu.”
(Musthafa Cavus) tidak mengetahui bahwa menyampaikan pesan pada seseorang yang berkhidmat pada al-Qur'an agar melepas surbannya merupakan hal sangat berat bagi orang yang memiliki jiwa luhur seperti dirinya. Namun, dia sudah menyampaikan juga kata-kata mereka sebagaimana yang mereka katakan ini kepada (Hafidz).
Pada malam harinya saya bermimpi, Musthafa Cavus masuk ke kamar saya dengan kedua tangannya yang kotor, berjalan di belakang pejabat setempat. Pada hari berikutnya, saya bertanya padanya, “Musthafa Cavus! Siapa yang kau temui hari ini? Saya melihatmu dalam mimpi saya, kedua tanganmu kotor, berada di belakang pejabat.” Dia kemudian berkata, “Aduh, rugi sekali! Aduh, sayang sekali! Pak kepala desa menyampaikan pesan kepada saya, lalu kata-kata itu saya sampaikan kepada si penulis (Hafidz). Saya tidak mengerti apa maksud di balik itu.”
Kemudian, dia datang ke masjid membawa satu rithel minyak pada hari yang sama, dan terjadilah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pintu masjid tetap terbuka, lalu seekor kambing betina kecil masuk ke dalamnya hingga mengotori dekat sajadah saya. Setelah itu datanglah seseorang bertubuh besar untuk membersihkan tempat. Dikiranya minyak yang ada di teko itu air, ia kemudian menyiram masjid dengan minyak itu seluruhnya. Anehnya, dia sama sekali tidak mencium baunya. Itu artinya, seakan-akan masjid itu hendak berkata pada Musthafa Cavus dengan bahasa kondisinya, “Kami tidak membutuhkan minyakmu, dan kami tidak menerimanya karena kesalahan yang telah engkau lakukan.” Isyarat untuk itu, orang tersebut sama sekali tidak mencium bau minyak. Sehingga Musthafa Cavus tidak bisa menghadiri shalat berjamaah pada malam Jum’at dan pada sebagian shalat selama satu pecan tersebut, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga. Lalu, setelah dia menyesali dengan jujur dan memohon ampunan dengan tulus, dia kembali pada kejernihan dirinya yang semula.
Kedua, kisah dua orang bernama Musthafa. Pertama, Musthafa yang berasal dari Kuleonu.[2] Dia termasuk salah seorang murid saya yang sudah jadi tokoh, rajin dan terkemuka. Kedua, Hafidz Musthafa, temannya yang jujur, setia, dan suka berkorban.
Saya sudah mengirim surat kepada mereka berdua agar tidak datang menemui saya untuk sementara waktu setelah shalat ‘Id agar para ahli dunia tidak mempersulit kami, dan agar kelesuan tidak menimpa khidmat keimanan. Saya katakan, “Jika kalian berdua ingin datang ke tempat saya, harus datang sendiri-sendiri.”
Namun, keduanya datang pada suatu malam, dan membawa serta seseorang lagi. Sedianya, mereka akan pulang sebelum fajar jika cuaca cocok. Tak seorang pun di antara kami, baik saya sendiri, Musthafa Cavus, atau pun Sulaiman Effendi yang berpikir untuk
[1] Maksudnya, mereka tetap diizinkan untuk mengumandangkan adzan dengan bahasa Arab asal tidak sampai terdengar para petugas pemerintahan, pasca pemerintahan sekuler mengubah adzan ke bahasa Turki kala itu.
[2] Sebuah perkampungan di bilangan Isparta.
61. Page
menerapkan prosedur yang semestinya. Kami semua lupa, sebab masing-masing satu sama lain meninggalkan prosedur yang lazim, sehingga kami bertindak tanpa hati-hati dan waspada. Mereka pun pergi sebelum fajar tiba. Namun badai angin kencang menerpa mereka selama dua jam tanpa henti. Saya begitu mengkhawatirkan mereka, mengira mereka tidak akan selamat dari badai ini. Sebab, hingga sekarang belum pernah terjadi badai topan sedemikian hebatnya selama musim dingin. Saya pun belum pernah merasa mengkhawatirkan siapa pun hingga tingkat ini.
Saya bermaksud mengutus Sulaiman menyusul mereka agar saya bisa tenang dengan kesehatan dan keselamatan mereka sebagai hukuman karena dia tidak menerapkan prosedur dan tanpa kewaspadaan. Namun Musthafa Cavus berkata pada saya, “Kalau dia pergi, dia juga pasti terkena badai topan.” Atas tuntutan kondisi, saya memutuskan harus pergi sesudahnya, untuk mengecek dia, sehingga Abdullah Cavus mesti keluar menyusul di belakang saya. Maka kami pun mengucapkan, ‘Tawakkalna ‘ala Allah’ (تَوَكَّلْنَا عَلَي اللّٰهِ). Setelah itu kami menunggu.
Pertanyaan: Anda mengatakan bahwa musibah-musibah yang menimpa kawan-kawan dekat Anda yang tulus hanya sebagai tamparan, serta menganggapnya sebagai teguran atas kelesuan mereka dalam memberikan khidmat terhadap al-Qur'an, sementara orang-orang yang memusuhi khidmat al-Qur'an dan melakukan perlawanan keras terhadap kalian tetap damai dan aman-aman saja. Kenapa tamparan-tamparan diperuntukkan kawan, bukan lawan?
Jawaban: Itu karena kesalahan kawan-kawan kami berlaku sebagai hukum kezaliman dalam dakwah kami sedemikian rupa, sehingga mereka terkena cepatnya hukuman, menerima tamparan sayang berdasarkan rahasia “kezaliman tidak bertahan lama, sementara kekafiran bisa bertahan lama” (اَلظُّلْمُ لاَيَدُومُ وَالْكُفْرُ يَدُومُ). Kalau mereka punya akal sehat, tentu mereka sadar.
Adapun para musuh, sesungguhnya sikap mereka menghalangi dan memusuhi khidmat al-Qur'an tidak lain demi kalkulasi kesesatan. Permusuhan mereka terhadap dakwah kami, disengaja atau pun tidak, itu dilakukan demi kalkulasi kekafiran. Karena kekafiran biasanya bertahan lama, maka mereka pada umumnya tidak mendapat tamparan yang disegerakan.
Seperti halnya orang-orang yang melakukan kejahatan kecil hanya dihukum di pengadilan langsung atau tingkat bawah, sementara orang-orang yang melakukan kejahatan besar harus dibawa ke mahkamah besar, demikian pula orang-orang beriman dan kawan-kawan yang murni dan tulus. Ketika mereka melakukan kesalahan-kesalahan kecil, sebagai hukuman, mereka diberi balasan atas sebagian kesalahan mereka di dunia dan dengan cepat untuk membersihkan mereka darinya dengan segera.
Adapun kejahatan orang-orang sesat, karena nilainya besar hingga kehidupan dunia yang pendek ini tidak cukup luas untuk hukuman mereka, maka mereka harus dibawa ke mahkamah terbesar di alam baqa sesuai tuntutan keadilan. Itulah mengapa seringkali mereka tidak menerima hukuman di (dunia) ini.
Hadits “Dunia adalah penjara orang mukmin dan surga orang kafir” (اَلدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ)[1] mengisyaratkan hakikat yang disebutkan ini. Yakni, karena orang mukmin menerima
[1] Riwayat Muslim hadits nomor 5256, al-Tirmidzi hadits nomor 2246, Ibnu Majah hadits nomor 4103, Ahmad hadits nomor 6560 dan lainnya, Hakim hadits nomor 6622, 7995, Thabrani hadits nomor 5965, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman hadits nomor 10072, dan Ibnu Hibban hadits nomor 689, 690.
62. Page
hukuman atas kesalahan dan kekurangannya di dunia hingga batas tertentu, maka (dunia) laksana penjara baginya, serta sel penjara dan neraka jika dibanding kehidupan mereka yang bahagia di akhirat. Adapun orang-orang kafir, karena mereka tidak akan dikeluarkan dari neraka jahanam, juga karena mereka menerima balasan atas amalan-amalan baik mereka di dunia, sementara hukuman atas keburukan-keburukan besar mereka ditunda, maka dunia ini adalah surga jika dibanding kehidupan mereka di akhirat.
Pada hakekatnya, orang mukmin lebih banyak bahagianya ketimbang orang kafir di dunia ini secara maknawi maupun hakiki. Seakan-akan keimanan orang mukmin posisinya menjadi surga maknawi di dalam jiwanya, sementara kekafiran orang-orang kafir menyulut api neraka jahanam secara maknawi di dalam esensi mereka.
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)