LAMA'AT KETIGA

14. Page

LAMA'AT KETIGA

Nuktah Pertama

 

Sesungguhnya pengulangan kata Ya Baqi Anta al-Baqi (يَا بَاق۪ٓي اَنْتَ الْبَاق۪) bagian pertama menyerupai sebuah operasi bedah, dimana hati dikosongkan dari apa pun selain Allah SWT. 

 

Jelasnya sebagai berikut: Sesungguhnya manusia, dengan memperhatikan seluruh sifat dasarnya,memiliki hubungan dengan banyak maujudat. Dalam sifat dasarnya yang universal itu telah ditanamkan kesiapan cinta yang tak terbatas. Karena itu, maka manusia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap seluruh maujudat. Dia mencintai dunia yang besar ini seperti kecintaannya terhadap rumahnya. Dia mencintai surga abadi laksana cintanya terhadap tamannya. Namun, makhluk-makhluk yang dia cintai tidak kekal dan tidak abadi, tapi berlalu dan pergi. Disebabkan perpisahan, manusia merasakan pedihnya penderitaan dan siksaan tanpa putus. Kecintaannya yang tak terbatas menyebabkan siksaan maknawi yang tak terbatas pula. Kesalahan yang menyebabkan dia menanggung beban siksa itu kembali kepadanya sendiri. Sebab, kesiapan cinta tak terbatas yang ada dalam hati manusia sesungguhnya dianugerahkan padanya untuk mengarahkannya kepada Sang Pemilik keindahan yang kekal abadi. Tapi, manusia bersalah ketika keliru menggunakan cinta dan mengarahkannya kepada wujud-wujud yang fana. Dia pun mengalami derita kesalahanya melalui siksa perpisahan. Maka, kalimat pertama “Ya Baqi Anta al-Baqi” yang menunjukkan lepasnya diri dari kesalahan, putusnya hubungan dengan kecintaan yang fana itu, dan terpisahnya manusia dengan kecintaan itu sebelum ia meninggalkannya, serta dibatasinya cinta hanya untuk Sang Kekasih Abadi, itu bermakna: Yang kekal hakiki hanya Engkau satu-satunya. Apa pun selain Engkau adalah fana. Dan yang fana tidak berhak memiliki cinta abadi, tidak pula kerinduan abadi, serta tidaklah patut ia memiliki hubungan dengan hati yang diciptakan untuk abadi. Mengingat kecintaan-kecintaan yang tak terbatas itu bersifat fana, juga akan meninggalkanku dan lenyap dariku, maka aku pun meninggalkannya dan membebaskan diri darinya sebelum ia meninggalkanku dan lenyap dariku dengan mengucapkan: 

 

يَا بَاق۪ٓي اَنْتَ الْبَاق۪ي

Ya Baqi Anta al-Baqi 

 

Yang kekal hanya Engkau satu-satunya. Aku tahu, yakin, dan percaya bahwa maujudat akan mendapatkan kekekalan dengan mengekalkan Engkau. Dengan demikian, maujudat ini (hendaknya) dicintai demi cinta-Mu. Jika tidak, mereka tidak layak untuk dicintai. Maka, hati dalam kondisi ini meninggalkan diri dari semua kecintaannya yang tak terbatas. Ia melihat bahwa pada kecantikan dan keindahannya terdapat stempel kefanaan. Ia memutuskan hubungannya dengannya. Dari sini akan timbul luka-luka maknawi sebanyak bilangan kecintaannya. Maka, kalimat kedua 

15. Page

(yang berbunyi sama)َ ۪ يَا بَاق۪ٓي اَنْتَ الْبَاق۪ي Ya Baqi Anta al-Baqi menjadi balsem dan obat penyembuh bagi luka-luka tak terbatas tersebut. (Kalimat) tersebut bermakna: Wahai Tuhan Yang Maha kekal, karena Engkau kekal, maka cukuplah Engkau sebagai pengganti segala sesuatu. Karena Engkau ada (maujud), maka segalanya juga ada (maujud). Ya. Sesungguhnya apa yang terdapat pada maujudat berupa keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan –yang merupakan penyebab kecintaan– tidak lain merupakan isyarat-isyarat penunjuk pada keindahan Tuhan Yang Maha Kekal Hakiki, serta kebaikan dan kesempurnaan-Nya sepenuhnya. (Itu semua tak lain merupakan) bayang-bayang lembut dari-Nya yang melewati dari banyak tirai. Bahkan itu merupakan bayangan dari manifestasi nama-nama-Nya yang indah (al-asma’ al-husna). 

 

Nuktah Kedua: Sesungguhnya pada fitrah manusia terdapat kerinduan sangat kuat terhadap kekekalan dan keabadian. Sampai-sampai, disebabkan daya khayal, manusia mengira bahwa pada segala sesuatu terdapat semacam keabadian, kemudian dia mencintainya. Namun, ketika dia menyadari bahwa ini fana, atau dia menyaksikannya (musnah), dia pun merasakan sakit dan penyesalan begitu mendalam. Semua rasa sakit dan penderitaan yang datang dari perpisahan adalah terjemahan dari rasa tangis dan ratapan yang timbul dari kerinduan yang kuat terhadap keabadian. Jika tidak mengkhayalkan (hidup) kekal, tentu manusia tidak akan mencintai apa pun. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu di antara sebab keberadaan alam kekekalan dan surga abadi adalah hasrat terhadap kekekalan sangat kuat yang timbul dari kerinduan kuat untuk keabadian yang bersembunyi di dalam sifat dasar manusia, serta (timbul) dari doa fitri yang lazim untuk (mengharapkan) kekekalan.


Tuhan Yang Maha Kekal dan Maha Agung pun mengabulkan kerinduan fitrah alami yang kuat tak tergoyahkan itu, serta (mengabulkan) doa lazim yang berpengaruh kuat tersebut. Untuk itu, Allah telah menciptakan suatu alam yang kekal abadi bagi umat manusia yang fana. Mungkinkah Sang Pencipta Maha Mulia dan Sang Khaliq Maha Pengasih mengabulkan hasrat keinginan perut yang kecil saja dan doanya (yang dimohonkan) dengan lisan fisiknya demi kehidupan yang terbatas dengan menciptakan beragam jenis makanan lezat tak terhingga, sementara Dia tidak mengabulkan hasrat keinginan sangat kuat seluruh umat manusia dan yang timbul dari dorongan fitriah yang besar serta doa mereka yang kuat, universal, terus-menerus, tulus, dan kokoh melalui bahasa fisik dan ucapan mereka demi memperoleh kekekalan dan keabadian? Tentu, seratus ribu kali itu tidak mungkin! Tidak mungkin Dia tidak akan mengabulkan mereka, dan itu tidak sesuai dengan hikmah, rahmat dan kuasa-Nya, melalui aspek apa pun di antara aspek-aspek (yang ada). Karena manusia merupakan pecinta kekekalan, maka seluruh kesempurnaan, kesenangan dan kenikmatannya mesti tergantung pada kekekalan. Namun, karena kekekalan hanya dimiliki Tuhan Yang Maha Kekal lagi Maha Agung, karena nama-nama Allah Yang Maha Kekal itu kekal, dan karena cerminan-cerminan Tuhan Yang Maha Kekal akan mendapatkan sifat kekekalan dan keabadian, maka tak diragukan lagi bahwa tugas manusia yang paling wajib dan penting adalah membuat hubungan dengan Tuhan 

16. Page

Yang Maha Kekal, serta berpegang teguh dan menggenggam nama-nama-Nya. Sebab, setiap apa pun yang dihabiskan di jalan Allah akan mendapatkan sifat kekekalan. Untuk itu, kalimat kedua, “Ya Baqi Anta al Baqi” menunjukkan hakekat ini, mengenyangkan dan memuaskan hasrat keinginan kuat akan kekekalan di dalam fitrah manusia. Lebih dari itu, ia mengobati luka-luka maknawi manusia yang tak terbatas. 

 

Nuktah Ketiga Sesungguhnya pengaruh waktu terhadap kefanaan dan kesirnaan segala sesuatu berbeda-beda . Adapun semua maujud, ketentuannya berbeda-beda dari sisi kesirnaannya, meski ia saling terkait laksana lingkaran-lingkaran konsentris. Sebagaimana jarum jam yang menunjukkan detik, menit, dan jam meskipun bentuk lahiriahnya sama tapi berbeda kecepatannya. Demikian pula pengaruh waktu terhadap tubuh, jiwa, hati, dan ruh yang terdapat dalam diri manusia juga beragam. Sebagai contoh, keabadian, kehidupan dan keberadaan wujud jasmani hanya ada ketika seorang itu hidup. Meskipun masa lalunya dan masa depannya sirna dan mati, keberadaan hati dan kehidupannya sangatlah luas seluas masa lalu dan masa depannya yang tak terjangkau. Adapun ruh, maka lingkup edar kehidupannya dan keberadaannya merupakan lingkup edar kehidupan yang besar dan sangat luas. Berdasarkan potensi ini, usia fana di dunia ini (sebenarnya) mengandung kekekalan jika dilihat dari sisi ma’rifah ilahiyah, mahabbah rabbaniyah, ‘ubudiyyah subhaniyah, dan keridhaan rahmaniyah yang merupakan penyebab bagi kehidupan hati dan ruh, serta yang menghasilkan usia yang kekal abadi, sehingga (usia manusia) seakan usia yang kekal tidak mati. Ya, sesungguhnya satu detik (yang dihabiskan manusia) di jalan Allah untuk makrifat, keridhoan dan cinta-Nya adalah seperti satu tahun. Namun jika dihabiskan bukan di jalan-Nya, maka satu tahun penuh laksana satu detik saja. Bahkan, satu detik di jalan-Nya merupakan suatu kehidupan yang abadi. Bagi kaum lalai, (usia) seratus tahun laksana satu detik di kehidupan dunia. Di situ terdapat pepatah masyhur: 

 

سِنَةُ الْفِرَاقِ سَنَةٌ وَ سَنَةُ الْوِصَالِ سِنَةٌ

“Sedetik karena perpisahan laksana satu tahun, dan satu tahun karena perjumpaan laksana sedetik.” 

 

Yakni, satu detik saja karena perpisahan (terasa) lama seperti lamanya (waktu satu) tahun. Sedangkan satu tahun penuh karena perjumpaan (terasa) pendek sependek satu detik. Namun, saya berpendapat yang sama sekali berbeda dari pepatah ini: bahwa satu detik karena perjumpaan dengan keridhaan Tuhan Yang Maha Kekal Maha Agung dan demi Wajah-Nya, (lamanya) bukan hanya satu tahun saja, tapi itu merupakan jendela perjumpaan yang abadi; dan bahwa satu tahun perpisahan (akibat) kelalaian dan kesesatan, bahkan seribu tahun darinya, itu terhitung laksana satu detik saja. Di situ terdapat pepatah yang lebih dikenal dari pepatah di atas, sekaligus memperkuat pandangan kami, yaitu


17. Page

سَمُّ الْخِيَاطِ مَعَ الْاَحْبَابِ مَيْدَانٌ

Saat bersama musuh, padang luas serasa seperti satu cangkir 

 

اَرْضُ الْفَلاَةِ مَعَ الْاَعْدَٓاءِ فِنْجَانٌ

Saat bersama kekasih, lubang jarum serasa medan luas 

 

Salah satu dari aspek-aspek makna yang benar dari pepatah masyhur pertama di atas –yakni, “waktu karena perpisahan” – adalah sebagai berikut: Karena perjumpaan segala maujud yang fana adalah fana, maka betapa pun lama (waktu perjumpaan itu), ia tetap diangap pendek. Satu tahun penuh darinya akan berlalu dengan cepat laksana satu detik saja, menjadi khayalan dan mimpi yang mendatangkan kesedihan. 

 

Sesungguhnya hati manusia yang sangat merindukan kekekalan tidak mungkin dapat menikmati kesenangan satu tahun perjumpaan seperti atom dalam satu detik saja. Adapun perpisahan, maka satu detik darinya bukan hanya (terasa) satu tahun, tapi bertahun-tahun. Sebab medan perpisahan itu luas terbentang. Bahkan, walaupun perpisahan itu hanya menghabiskan satu detik di hati yang merindukan kekekalan tadi, (perpisahan) itu akan menyakitkannya dengan keras (hingga) seolah-olah ia menanggung perpisahan bertahun-tahun yang lama. Sebab, perpisahan ini mengingatkannya pada berbagai macam perpisahan yang tak terbatas, dan semua masa lalu dan masa depan kecintaan materiil yang fana dipenuhi dengan perpisahan. Berkenaan dengan masalah ini, perlu kami sampaikan:


“Wahai manusia! Maukah kalian menjadikan usia kalian yang fana, pendek, dan tidak berguna, menjadi umur yang kekal, panjang, berguna, dan berbuah?” keinginan ini adalah tuntutan kemanusiaan, maka gunakanlah usia kalian di jalan Tuhan Yang Maha Kekal Hakiki, karena yang mengarah kepada Tuhan Yang Maha Kekal pasti akan mendapatkan tajalli keabadian. Mengingat setiap manusia menginginkan umur panjang dengan keinginan yang kuat, serta merindukan keabadian, dan mengingat di situ terdapat wasilah yang dapat mengubah usia yang fana ini menjadi usia yang kekal dan memungkinkan untuk mengubahnya menjadi usia yang panjang, maka tak dapat diragukan lagi bahwa manusia yang tidak menyangka kemanusiannya tentu akan mencari wasilah tersebut, dan berusaha untuk mengubah kemungkinan ini menjadi kenyataan yang bisa diraba serta akan bergerak sesuai dengannya.


Adapun wasilah yang dimaksud adalah: Bekerjalah untuk Allah. Bertemulah dan saling berhubunganlah demi Allah. Berusahalah untuk Allah. Bergeraklah untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk Allah, demi Allah, dan karena Allah. Lillah (لِلّٰهِ) li wajhillah (لِوَجْهِ اللّٰهِ), dan li ajlillah (لِاَجْلِ اللّٰهِ). Maka saat itulah menit menit usia kalian akan berubah menjadi seperti tahun-tahun. Apa yang dijelaskan al-Qur’an bahwa satu malam seperti malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan dan setara dengan 80 sekian tahun, menunjukkan hakikat ini. Kemudian mi’raj (Nabi Muhammad ) –yang berlangsung beberapa menit saja namun seperti bertahun-tahun lamanya– menegaskan wujud hakikat ini. Ia menunjukkan peristiwanya secara nyata melalui 

18. Page

rahasia pelipatan waktu yang merupakan suatu prinsip yang diakui di kalangan para wali dan ahli hakikat, sekaligus mengisyaratkan hakikat ini. Durasi waktu isra mi’raj memiliki lingkup, cakupan dan lama waktu laksana ribuan tahun. Sebab, dengan İsra Mi’raj, (Nabi Muhammad) memasuki alam baqa (kekekalan), sementara beberapa menit saja dari alam baqa mengandung ribuan tahun dari tahun-tahun dunia ini. Lalu, terdapat kejadian-kejadian dan fakta-fakta yang dibangun berdasarkan hakikat ini, yaitu pembentangan waktu[1] yang banyak terjadi di kalangan para wali. Banyak kabar mengisahkan bahwa sebagian wali melakukan suatu pekerjaan seharian hanya dalam beberapa menit saja. Sebagian lainnya melaksanakan tugas satu tahun hanya dalam satu jam saja. Sebagian lagi ada yang mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu menit. Maka, tak diragukan lagi bahwa para ahli hakikat dan kejujuran seperti mereka tentu menghindarkan diri dari kebohongan dan tidak pernah terperosok ke dalamnya dengan sengaja. (Dikabarkan) bahwa mereka telah menyaksikan hakikat pembentangan waktu secara kasat mata, sebagaimana disebutkan di dalam banyak sekali kabar mutawatir yang sama sekali tidak menyisakan keragu-raguan dari sisi mana pun. Ada semacam pembentangan waktu yang bisa dibenarkan oleh semua orang, yaitu fenomena mimpi. Orang memerlukan, di alam sadar, waktu selama sehari atau bahkan beberapa hari agar dapat melihat apa yang disaksikannya dalam mimpi selama satu menit, apa saja yang terjadi padanya, apa saja yang dibicarakannya, apa yang dinikmatinya, atau apa derita yang dirasakannya di dalamnya. Kesimpulan: Sesungguhnya manusia, meskipun dia fana, tapi diciptakan untuk kekekalan. Ia diciptakan laksana cermin bagi Dia Yang Maha Kekal, ditugaskan untuk melaksanakan berbagai tugas yang akan menghasilkan buah kekekalan. Dia diberi bentuk yang merupakan pusat tajalli dan ukiran nama-nama Tuhan Yang Maha Kekal. Dengan demikian, maka tugas asli dan kebahagiaan hakiki bagi manusia seperti ini adalah hendaknya dia berpegangan, dengan segenap perangkatnya dan potensi yang dimilikinya, pada nama-nama Tuhan Yang Maha Kekal Abadi dalam bingkai ridha-Nya, dan hendaknya dia berjalan di jalan keabadian dengan mengarah pada Dia Yang Maha Kekal. Sebagaimana lisannya mengucapkan:

 

Ya Baqi Anta al-Baqi يَا بَاق۪ٓي اَنْتَ الْبَاق۪ي, maka hatinya, ruhnya, akalnya, dan seluruh organ lembutnya harus mengucapkan:

 

هُوَالْبَاق۪ي، هُوَالْاَزَلِيُّ الْاَبَدُ، هُوَالسَّرْمَدِيُّ، هُوَالدَّٓائِمُ، هُوَالْمَطْلُوبُ، هُوَالْمَحْبُوبُ، هُوَالْمَقْصُودُ، هُوَالْمَعْبُودُ

 

Dialah Yang Maha Kekal, Yang Azali, Yang Abadi selamanya, Yang Selalu ada. Dialah Yang dicari, Yang dicintai, Yang dituju, dan Dialah Yang disembah.


[1] Ayat: قَالَ قَٓائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ “Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?).’ Mereka menjawab, ‘Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (Qs. al-Kahfi: 19). وَلَبِثُوا ف۪ي كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِن۪ينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Qs. al-Kahfi: 25). Kedua ayat ini menunjukkan pelipatan waktu. Sementara ayat: وَ اِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَاَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (Qs. al-Hajj: 47), menunjukkan pembentangan waktu.




19. Page

سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَٓا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَٓا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ

Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)

 

رَبَّنَا لاَتُؤاَخِذْنَٓا اِنْ نَس۪ينَٓا اَوْ اَخْطَاْنَ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. (Qs. al-Baqarah [2]: 286)