LAMA'AT KETUJUH BELAS

138. Page

LAMA'AT KETUJUH BELAS

 

بِسْـــــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحيمِ

 

Mengungkap “Tujuh Belas Catatan” dari Risalah Zühre (Venus)

 

Mukadimah

 

Di masa lalu saya telah menulis sebagian dari lama’at tauhidiyah yang muncul berkat pertolongan rabbani di sela gerakan pemikiran, wisata hati, dan singkapan-singkapan ruhani dalam makrifat ilahiah. Saya menulisnya dengan bahasa Arab dalam bentuk catatan di sejumlah risalah, seperti risalah Zühre (Venus), Su’le (Obor), Habbe (Benih), Semme (Penciuman), Zerre (Atom), dan Katre (Tetesan).


Risalah-risalah ini ditulis untuk menampakkan satu sisi hakikat yang panjang, dan memperlihatkan satu obor dari cahaya yang terang. Itu dalam bentuk lintasan-lintasan fikiran dan catatan-catatan pribadi saya saja, dan pemanfaatannya bagi orang lain sangat terbatas, khususnya karena mayoritas saudara saya yang mulia dan khawas tidak pernah mempelajari Bahasa Arab. Atas permintaan dan desakan mereka, akhirnya saya terpaksa harus menulis ulang makna catatan-catatan dan lama’at-lama’at tersebut dalam Bahasa Turki; sebagian di antaranya dilengkapi sejumlah penjelasan, dan sebagian lainnya hanya berupa penjelasan singkat dan kutipan.


Catatan-catatan dan risalah-risalah dalam Bahasa Arab ini saya tulis maknanya tanpa perubahan. Hal itu karena ia merupakan hakikat-hakikat yang disaksikan Sa’id “Baru” bersumber pertama-tama dari ilmu hakikat dalam bentuk musyahadah hingga batas tertentu. Karena itu, di sini akan diulang sebagian ringkasannya meskipun juga sudah disebutkan di semua Risalah al-Nur. Sebagian di antaranya sengaja tidak diberi penjelasan lebih lanjut agar tidak menghilangkan kelembutan aslinya, meski kata-katanya betul-betul sangat singkat.

 

 

Catatan Pertama

dari Catatan-catatan “Zühre

 

Saya pernah berbicara pada diri sendiri dengan berkata:

Ketahuilah wahai Sa’id yang lalai! Apa yang tidak akan menemanimu setelah alam ini lenyap, dan bahkan meninggalkanmu saat dunia ini runtuh, dan tak patut bagimu untuk mengikat hatimu dengannya. Lantas bagaimana dengan apa yang pasti meninggalkanmu dan memalingkan punggung darimu saat umurmu habis? Bahkan bagaimana pula dengan apa yang tidak akan menemanimu dalam Perjalanan Barzakh? Bahkan bagaimana dengan apa yang tidak akan mengantarmu ke pintu kubur? Bahkan bagaimana dengan apa yang pasti meninggalkanmu setahun atau dua tahun dalam perpisahan abadi dengan meninggalkan dosanya dalam tanggunganmu, terikat padanya di lehermu? Bahkan bagaimana pula dengan apa yang pasti meninggalkanmu di saat kau gembira karena berhasil meraihnya? Tentu tidak

139. Page

masuk akal jika engkau mengikatkan hatimu dengan hal-hal fana.


Kalau engkau punya akal, segera tinggalkan apa pun yang tidak akan mampu mendampingimu dalam perjalanan abadi, bahkan yang akan redup dan lenyap di bawah hantaman perubahan-perubahan duniawi, fase-fase alam Barzakh, dan pergolakan-pergolakan ukhrawi. Jangan kau perduli dengannya, dan jangan kau sedih atas kehilangannya.


Tidakkah kau tahu bahwa dalam dirimu ada suatu lathifah (indera lembut) yang tidak merelakan apa pun selain yang kekal dan abadi, yang hanya mengarah kepada-Nya, dan yang tidak mau mengalah untuk apa pun selain Dia? Bahkan andai pun kau berikan dunia seluruhnya kepadanya, itu tetap tak akan bisa memuaskan kebutuhan fitrah tersebut. Itulah dia penguasa lathifahmu. Taatilah penguasamu yang patuh pada perintah Sang Penciptanya Yang Maha Bijaksana Maha Agung, niscaya engkau akan selamat.

 

 

Catatan Kedua

 

Saya melihat dalam mimpi yang mengandung hakekat bahwa saya berbicara dengan orang-orang, mengatakan:


Wahai manusia! Di antara dustur al-Qur’an menyebutkan, jangan sampai ada sesuatu pun selain Allah yang dianggap lebih besar dari jiwamu sampai melakukan ubudiyah padanya. Jangan sampai kau anggap jiwamu lebih tinggi dari segala sesuatu hingga kau bersikap sombong terhadap dia, karena semua makhluk sama saja dalam hal jauhnya dari ma’budiyah (sembahan), sebagaimana ia sama pula dalam posisinya sebagai makhluk.

 

 

Catatan Ketiga

 

Ketahuilah wahai Sa’id yang lalai! Engkau memandang dunia temporal ini kekal abadi karena perasaan yang keliru, dan seakan-akan ia tak akan mati. Saat engkau melihat ke sekelilingmu dan ke dunia, kau melihatnya tetap tak berubah dalam jumlah dan jenisnya, maka kau mengira dirimu yang fana ini juga akan tetap selamanya, hingga kau tak merasa khawatir kecuali terhadap kiamat, kau tidak takut kecuali pada terjadinya (kiamat), seakan-akan kau akan hidup selamanya hingga (kiamat) terjadi.


Sadarlah! Kau dan duniamu pasti terkena serangan-serangan kelenyapan dan kefanaan di setiap saat. Orang yang keliru sepertimu ini laksana orang memegang cermin yang ia arahkan ke rumah, kampung, atau tamannya. Gambar rumah, kampung, atau taman itu tergambar di dalamnya. Namun dengan sedikit saja terjadi gerakan pada cermin dan perubahannya, akan terjadi kekacau-balauan pada gambar ketiganya. Adapun kebakaan rumah, kampung, atau taman dalam wujud eksternalnya, itu tidak akan berguna bagimu, karena yang kau dapat dari rumah, kampung, atau taman itu hanya seperti yang diberikan oleh cerminmu tersebut sesuai ukuran dan takarannya.


Kehidupan dan usiamu adalah cermin. Tiang duniamu, cermin dan pusatnya, adalah usia dan kehidupanmu. Bisa saja rumahmu mati (hancur), taman atau kotamu mati dan hancur setiap menit, seakan-akan saat ini kiamatmu telah terjadi pula.


Karena halnya demikian, maka jangan kau bebani kehidupan dan duniamu dengan apa pun yang tak mampu ditanggung oleh keduanya.


140. Page

Catatan Keempat

 

Ketahuilah wahai Sa’id! Salah satu sunnah Sang Pencipta dan di antara kebiasaan-Nya adalah mengulang-ulang sesuatu yang punya urgensi dan nilai mahal dengan dirinya, tapi bukan dengan yang serupa, dalam hal daur dan musim yang terus berulang-ulang melalui pembaruan hal-hal yang serupa pada sebagian besarnya. Yakni, dalam pergantian musim dan perubahan masa, Dia S.w.t mengulang hal-hal yang berharga dan bernilai tersebut dengan pembaruan sebagian besarnya dengan hal yang serupa.


Kaedah – yakni sunnatullah – ini tampak berlaku pada umumnya di seluruh kebangkitan kembali (hasyr) yang terjadi harian, tahunan, dan abad. Berdasarkan kaidah baku ini kami nyatakan: lantaran manusia merupakan buah pohon penciptaan yang paling sempurna menurut kesepakatan berbagai disiplin ilmu dan kesaksian ilmu-ilmu pengetahuan, dan dia mempunyai urgensi besar dan nilai mahal di antara makhluk, serta tiap dirinya seperti spesies makhluk-makhluk yang lain, maka tentu dapat dipastikan bahwa setiap individu manusia akan dihidupkan kembali di hari perhimpunan dan kebangkitan terbesar, lengkap dengan wujud, jasad, nama, dan sosoknya.

 

 

Catatan Kelima

 

Kala Sa’id Baru berkelana menyusuri lorong-lorong pemikiran, ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa –yang tertanam dalam pikiran Sa’id Lama[1] hingga batas tertentu– berubah menjadi penyakit hati dalam wisata kalbu tersebut, sehingga menyebabkan banyak sekali persoalan. Karena itu, ia terpaksa harus membersihkan otaknya untuk membuang filsafat palsu dan kotoran peradaban yang penuh hura-hura itu darinya. Maka dalam catatan ini, ia terpaksa harus mengadakan dialog singkat di satu sisi, dan panjang lebar di sisi lain, bersama sosok maknawi Eropa, demi membungkam, menekan, dan membisukan segala kecenderungan nafsu yang menjadi saksi bagi kebaikan Eropa.


Saya berharap tidak terjadi salah faham terhadap kata-kata saya ini, karena Eropa ada dua. Salah satunya adalah Eropa yang menciptakan industri-industri yang berguna bagi kehidupan sosial umat manusia, ilmu-ilmu pengetahuan yang melayani keadilan dan kebenaran yang bersumber dari ajaran-ajaran Nasrani yang benar. Saya tidak mengajak bicara bagian Eropa ini. Tapi yang saya ajak bicara adalah Eropa kedua yang rusak. Disebabkan oleh kegelapan-kegelapan filsafat naturalisme, mereka mengira keburukan-keburukan peradaban sebagai kebaikan, hingga menggiring umat manusia menuju kebodohan dan kesesatan.


Saya berbincang ketika itu dalam wisata spiritual tersebut dengan sosok maknawi Eropa yang dengan tangannya mengambil filsafat berbahaya yang tak berguna itu, peradaban berbahaya lagi bodoh yang enggan meraih sisi-sisi baik peradaban dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Saya katakan:


[1] Disebut perjalanan hidupnya sebelum berumur 40 tahun sebagai Sa’id Lama, dan yang setelah berumur 40 tahun sebagai Sa’id Baru, di mana dia mengalami pergolakan ruhiyah dan pemikiran serta menempuh arah baru.



141. Page

“Ketahuilah, wahai Eropa kedua! Dengan tangan kananmu, kau mengambil filsafat sakit yang menyesatkan, sementara dengan tangan kirimu kau memegang peradaban bodoh yang membahayakan. Kemudian kau mengklaim bahwa kebahagiaan umat manusia tergantung pada keduanya. Semoga tanganmu itu lumpuh! Amat buruk sekali petunjuk yang kau berikan. Semoga filsafat dan peradaban itu menjadi petaka bagimu. Itu pasti akan terjadi.


Wahai jiwa sakit yang menyebarkan kekafiran dan menebarkan pengingkaran! Aduhai, mungkinkah terwujud kebahagiaan orang yang tersiksa dan tertimpa berbagai macam musibah di dalam jiwa, perasaan, nurani, akal, dan hatinya, hanya karena wujud jasmaninya berada dalam balutan perhiasan dan kekayaan lahiriah yang memperdaya?! Mungkinkah orang seperti ini bisa dibilang bahagia?! Tidakkah Anda melihat orang yang khayalannya hancur atau dugaannya gagal dalam angan-angan yang penuh waham, atau harapannya atas hal parsial terputus, bagaimana kenikmatan dia bisa dirasakannya, sementara kenikmatan lezat sendiri membuatnya tersiksa, dunia terasa sempit dan menjadi seperti penjara?! Bagaimana bisa kau menjamin bahagia orang yang terkena kesialanmu di lubuk hati dan nuraninya karena serangan-serangan kesesatan yang karenanya segala harapan menjadi pupus, serta darinya terkuak dan lahir segala derita?!


Mungkinkah orang yang ruh dan kalbunya berada di dalam neraka, sementara jasadnya berada dalam surga palsu dan semu, dibilang orang bahagia?!


Kau telah memperdaya dan menggoda manusia malang demikian ini, kau tenggakkan siksa ke dalam diri mereka di surga palsu yang menipu.


Maka, wahai nafsu amarah yang senantiasa menyuruh keburukan kepada umat manusia, perhatikan perumpamaan ini, dan ketahuilah hendak kemana kau giring umat manusia?!


Sebagai contoh: Di depan kita ada dua jalan, lalu kita menyusuri salah satunya. Dalam perjalanan kita, sejauh mata memandang, selama perjalanan, pada setiap langkah, kita melihat seorang yang lemah diserang oleh orang-orang jahat. Mereka merampas harta benda dan kendaraannya, meruntuhkan gubuknya, dan kadang pula mereka melukainya sehinga membuat langit menangis. Kemana pun kita memandang, kita selalu melihat kondisi yang sama seperti ini, karena yang kita dengar hanyalah teriakan orang-orang lalim dan ratapan mereka yang teraniaya, hingga duka cita publik menimpa mereka sesuai rahasia: “Manusia menderita karena derita orang lain.”


Tapi nyatanya, hati nurani tak mampu menanggung beban derita sedemikian berat, sehingga orang yang menempuh jalan ini terpaksa harus melepaskan diri dari kemanusiaan, dan harus bersikap sangat liar, serta terpaksa harus memiliki hati keras yang tak terpengaruh oleh kehancuran orang lain, atau ia harus menanggalkan apa yang menjadi tuntutan kalbu maupun akal.


Wahai Eropa kedua yang rusak dalam kebodohan dan kesesatan, serta yang menjauh dari agama Nasrani! Engkau telah mempersembahkan kondisi bak neraka ini kepada jiwa umat manusia karena kecerdikan mata satumu yang laksana Dajjal itu, lalu kau menyadari adanya penyakit kronis ini, dan bahwa ia melemparkan manusia dari tingkatan paling tinggi menuju tingkatan paling rendah, menurunkannya ke tingkatan hewan-hewan paling celaka. Satu-satunya obat yang kau dapati untuk mengobati penyakit ini adalah permainan fantasimu, fitnah dan perdayamu yang menyeret, yang menjalankan tugas mematikan rasa untuk sesaat.


Celakalah kau dan juga obatmu! Itu pasti menimpamu, dan akan mencelakakanmu. Maka jalan yang kau buat untuk umat manusia dan kebahagiaan yang kau persembahkan 

142. Page

untuk mereka, mirip perumpamaan ini.


Sementara jalan kedua adalah hidayah yang diberikan al-Qur’an Hakim untuk umat manusia, sehingga di setiap rumah, tempat, dan di setiap negeri, kita bisa melihat pasukan-pasukan yang bertakwa dan amanah milik seorang penguasa yang adil. Mereka menyebar dan berjalan di segala penjuru. Kemudian, sesekali ada sebagian petugas datang lalu membebas-tugaskan sebagian di antara mereka atas perintah sang sultan. Akhirnya mereka menyerahkan senjata, kuda, dan segala fasilitas milik negara lainnya. Mereka diberi surat resmi pemberhentian tugas.


Meski pasukan-pasukan yang mendapat surat ini secara lahiriah merasa sedih karena harus menyerahkan segala fasilitas yang sudah biasa dan selalu mereka kenakan, namun pada hakikatnya mereka senang karena sudah dibebas-tugaskan. Mereka betul-betul suka dan gembira bisa kembali ke raja, berkunjung padanya, dan bertemu dengannya.


Kita lihat, para petugas terkadang bertemu dengan prajurit asing yang tidak mengenal mereka. Mereka lalu bilang padanya, “Serahkan sejantamu!” Si prajurit itu menjawab, “Saya prajurit sang sultan, sedang bertugas untuknya, dan saya pasti kembali kepadanya. Lalu kalian ini siapa? Kalau kalian datang atas izin dan perkenannya, maka akan saya terima secara bulat dan tanpa pikir panjang. Perlihatkan surat perintahnya sebagai mandat bagi kalian. Jika tidak, maka menyingkirlah dariku, dan menjauhlah, atau saya seorang diri ini akan memerangi kalian meski jumlah kalian beribu-ribu kali, bukannya demi membela diri, karena jiwa ini bukan milik saya, tapi milik sang sultan. Bahkan, jiwa yang ada di dalam diri saya ini, dan persenjataan yang saya bawa ini, semata merupakan amanat milik sang sultan. Saya tidak akan tunduk demi menjaga amanat ini dan bisa menjaga keagungan sultan saya, kemuliaan dan kehormatannya.”


Kondisi ini hanyalah satu contoh di antara ribuan kondisi lain yang menjadi pusat kesenangan dan kebahagiaan di jalan yang kedua. Silahkan Anda analogikan sendiri seluruh kondisi lainnya.


Di perjalanan di rute kedua ini terdapat rasa senang dan suka cita bersamaan dengan adanya sejumlah besar tentara baru yang disebut mawalid (kelahiran baru). Juga terdapat pembebasan tugas ketentaraan yang bercampur suka cita dan diiringi lantunan musik bernama wafayat (kematian).


Al-Qur’an Hakim telah menghadiahkan jalan ini bagi umat manusia. Siapa yang mau menerima jalan kedua ini dengan sepenuhnya, berarti ia menempuh jalan yang menuju kebahagiaan dunia-akhirat ini, tidak sedih atas apa pun yang telah lewat, juga tidak takut atas apa yang akan datang.


وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

 “Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. al-Baqarah [2]: 112)


Maka, wahai Eropa kedua yang rusak! Salah satu prinsip (pemikiranmu) yang rusak, kacau dan lemah mengklaim bahwa setiap makhluk hidup, mulai dari ikan yang paling kecil hingga malaikat yang paling besar, berkuasa penuh atas diri sendiri, bekerja untuk diri sendiri, berusaha untuk mewujudkan kesenangannya diri. Dia mempunyai hak hidup. Sasaran cita-citanya, tujuannya dan maksudnya, adalah kehidupan dan mempertahankan keabadian. Kemudian kau menganggap, tajalli mulia penuh kasih sayang yang ada pada “hukum kerjasama” -- yang termasuk salah satu hukum umum untuk kemuliaan Sang Pencipta Maha 

143. Page

Mulia, di mana segala sesuatu bekerja dengan penuh kepatuhan di seluruh sudut jagad raya ini atas perintah-Nya, seperti tumbuhnya tanaman-tanaman sebagai bantuan untuk hewan, dan tumbuhnya hewan-hewan sebagai bantuan bagi umat manusia -- sebagai “hukum persaingan.” Bahkan kau memvonis dengan bodohnya bahwa “kehidupan ini persaingan.”


Wahai Subhanallah! Maha suci Allah. Bagaimana mungkin usaha atom-atom makanan yang bekerja dengan sepenuh cinta agar bisa memberikan makanan bagi sel-sel tubuh disebut sebagai persaingan dan permusuhan, padahal semua ini merupakan tajalli dari hukum kerjasama?! Bagaimana ini bisa disebut sebagai persaingan?! Bahkan usaha dan bantuan itu sejatinya adalah kerjasama atas perintah Rabb Mulia.


Lalu, kau bilang sesuai salah satu prinsip (pemikiranmu) yang rusak, “Segala sesuatu berkuasa atas dirinya.” Bukti paling valid bahwa tak ada sesuatu pun yang berkuasa penuh atas diri sendiri adalah: di antara sebab-sebab yang paling mulia dan paling luas kehendaknya adalah manusia. Padahal, di antara tindakan-tindakan ikhtiarnya yang paling nyata, seperti makan, minum, berbicara, berfikir, dan lainnya, sebetulnya bukan berada di tangan ikhtiarnya dan bukan dalam lingkup kuasanya. Di antara seratus persen, hanya ada satu persennya saja, itu pun masih diragukan (apakah sepenuhnya dilakukan oleh kuasa dirinya). Jika makhluk yang sama sekali tidak punya kuasa untuk satu persen pun dari tindakan-tindakannya yang paling nyata sedemikian rupa, lalu bagaimana ia bisa berkuasa atas dirinya?!


Jika manusia saja, yang merupakan makhluk paling mulia dengan ikhtiar dan kehendak paling luas, masih terbelenggu dan tak bisa bertindak secara hakiki sampai sedemikian ini, maka siapa pun yang mengklaim bahwa seluruh hewan dan benda mati berkuasa penuh atas dirinya, berarti dia paling sesatnya hewan, paling rendah kesadaran dan perasaannya dari seluruh benda-benda mati, dan bahkan lebih jumud dari benda mati itu sendiri.


Wahai Eropa kedua yang rusak, hal yang membuatmu terjerumus ke dalam kesalahan itu tak lain adalah kecerdasanmu yang sangat memalukan, yakni kecerdasanmu yang tinggi tapi buruk, yang justru dengannya kau melupakan Tuhanmu yang merupakan Pencipta segala sesuatu. Engkau bersandar pada naturalisme palsu, kau sandarkan jejak-jejak Penciptamu pada sebab-akibat, kau bagi-bagikan kekuasaan Allah kepada para taghut yang merupakan sembahan-sembahan batil.


Maka dilihat dari sisi ini, dan dari sudut pandang kecerdikanmu, setiap manusia dan setiap makhluk hidup harus melawan musuh-musuh tak terhingga seorang diri, harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak terhingga, terpaksa harus menghadapi musuh-musuh dan segala kebutuhan tak terhingga itu dengan kemampuan yang hanya sebesar atom, dengan ikhtiar seperti rambut tipis, dengan perasaan seperti kilas cahaya yang cepat berlalu, dengan kehidupan yang hanya ibarat obor yang cepat padam, dengan usia laksana menit yang cepat habis, padahal segala modal yang dimilikinya tak cukup untuk memenuhi satu pun di antara sekian banyak kebutuhannya. Ketika musibah datang mendera, ia hanya bergantung pada sebab-akibat yang tuli dan buta, tepat seperti rahasia firman:


وَمَا دُعَٓاءُ الْكَافِرينَ اِلَّأ في ضَلاَلٍ

“Dan doa orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Qs. al-Ra’d [13]: 14)


Kecerdasanmu yang sesat itu telah mengubah siang umat manusia menjadi malam. Hanya saja kau sinari malam yang gelap gulita itu dengan lampu-lampu temporal dan bohong untuk menghangatkan diri. Lampu-lampu ini tak tersenyum di hadapan manusia dengan penuh keceriaan dan suka cita, justru mengolok-olok dengan tertawaan mereka yang dilepaskan secara bodoh, meski kondisi mereka begitu menyedihkan mengundang tangis.


144. Page

Lalu, seluruh makhluk hidup di mata murid-muridmu laksana orang-orang malang yang ditimpa serangan-serangan kegelapan. Dunia adalah tempat ratapan bersama. Suara-suara yang ada di sana adalah ratapan kematian dan tangis pilu anak-anak yatim.


Lalu, murid istimewamu yang tulus yang menimba ilmu darimu, ia menjadi Fir’aun, namun dia Fir’aun hina yang menyembah sesuatu paling hina, mengira segala sesuatu yang berguna sebagai tuhan baginya. Demikian pula dia itu muridmu yang congkak, hanya saja congkak yang hina dan malang, mau menerima kehinaan puncak demi satu kenikmatan dan kesenangan, menampakkan kehinaan buruk sampai-sampai mencium kaki setan demi manfaat hina. Ia juga lalim, hanya saja lalim yang kagum pada diri sendiri namun lemah secara esensi, karena tidak memiliki titik sandaran dalam hatinya.


Puncak perhatian muridmu tidak lain adalah memenuhi keinginan-keinginan nafsu. Dia adalah setan penyusup yang mencari segala kepentingan diri di balik topeng fanatisme dan pengorbanan, berusaha untuk meredakan ambisi dan sikap terpedayanya, tidak mencintai apa pun secara tulus selain dirinya sendiri, rela memberikan dan berkorban apa pun juga demi kepentingan pribadi.


Adapun murid al-Qur’an hakiki yang tulus, dia adalah sosok “hamba” (‘abdun), tapi jauh di atas penghambaan makhluk-makhluk paling agung. Dia adalah hamba mulia, tidak mengincar manfaat atau tujuan apa pun yang lebih besar seperti surga sebagai tujuan ibadahnya. Meski lemah-lembut dan penyantun, namun dia punya idealisme tinggi, tidak merendahkan diri selain kepada Sang Pencipta, kecuali atas izin-Nya. Dia miskin, namun dia merasa kaya dengan pahala dan balasan yang disimpan Sang Raja untuknya di masa depan. Dia lemah, namun lemah yang kuat karena bersandar pada kekuatan Tuannya yang tak terhingga qudrat-Nya. Al-Qur’an saja tidak menjadikan surga abadi sebagai sasaran dan tujuan bagi murid hakikinya, lantas apakah ia harus menjadikan dunia fana ini sebagai sasaran dan tujuan baginya?! Maka pahamilah dari ini sejauh mana perbedaan idealisme kedua murid di atas.


Anda bisa membedakan antara murid-murid filsafat yang sakit dengan murid-murid al-Qur’an Hakim dalam hal pengorbanan, fanatisme, dan idealisme sebagai berikut:


Murid filsafat menjauhi saudara demi kepentingan diri sendiri, dan justru melayangkan tuduhan padanya.


Sementara murid al-Qur’an menilai seluruh hamba shalih di langit dan bumi sebagai saudara, berdoa untuk mereka secara tulus dari lubuk hati paling dalam. Ia bahagia jika mereka bahagia. Ia merasakan dalam hatinya memiliki cinta dan hubungan yang kuat dengan mereka. Ia menilai benda-benda paling besar seperti Arsy dan matahari sebagai makhluk penghamba yang diperintahkan tunduk seperti dia.


Silahkan Anda bandingkan pula dalam hal keluhuran jiwa dan keluasannya antara kedua murid sebagai berikut:


Al-Qur’an membuat jiwa murid-muridnya luas, lapang, dan luhur. Sebagai ganti dari tasbih yang memiliki sembilan puluh sembilan butiran, sebagai butiran tasbih atom sembilan puluh sembilan, ia memberikan ke tangan mereka suatu alam yang memperlihatkan tajalli sembilan puluh sembilan nama-nama-Nya yang mulia seraya berkata, “Bacalah wirid kalian dengannya!”


145. Page

Lihatlah murid-murid al-Qur’an dari kalangan wali, seperti Abdul Qadir al-Jailani,[1] al-Rifa’i,[2] al-Syadzili,[3] dan dengarkan kala mereka membaca wirid. Perhatikanlah rangkaian tasbih yang ada di tangan mereka, jumlah tetesan air, dan jumlah nafas seluruh makhluk, yang dengan semua itu mereka membaca wirid, menyebut nama Allah dan memahasucikan-Nya dengannya.


Renungkanlah pendidikan yang disampaikan al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat, bagaimana sosok manusia kerdil yang kehilangan kontrol diri, menundukkan kepala atas musibah dan kesusahan yang tak seberapa, tersungkur hanya karena bakteri paling kecil, dan bisa memiliki jiwa yang luhur karena sentuhan pendidikan al-Qur’an. Indera-indera halusnya membentang, hingga wujud-wujud alam yang begitu besar terasa kecil dan menjadi tasbih untuk menghitung bacaan wirid. Baginya, surga terlalu kecil untuk dijadikan tujuannya berzikir. Meski demikian, ia menganggap dirinya tidak lebih baik dari makhluk Allah yang paling rendah, dan dalam dirinya menyatu sikap rendah hati dan puncak kemuliaan. Dengan demikian, Anda bisa menilai seberapa rendah dan hinanya murid-murid filsafat berdasarkan analogi di atas.


Hakikat-hakikat yang dilihat oleh para tokoh filsafat Eropa nan sakit dan bermata satu, tidak benar menurut petunjuk al-Qur’an yang memandang kebahagiaan dunia-akhirat dengan dua matanya yang berkilau tajam, yang menelisik alam gaib, yang menatap dua alam sekaligus, dan menunjuk dengan dua tangan ke arah dua alam demi umat manusia seraya mengatakan:


“Wahai manusia! Jiwa dan harta yang ada padamu bukanlah milikmu, hanya sebagai titipan amanat di sisimu. Sang Pemilik amanah itu Maha Penyayang lagi Mulia, Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Maha mengetahui segala sesuatu. Dia ingin meminta milik-Nya dari genggamanmu agar Dia simpan untukmu, supaya tidak hilang dari tanganmu. Dan sebagai imbalannya, Dia akan memberikan harga tinggi di kemudian hari.

Kau adalah prajurit yang ditugaskan dan diperintahkan. Maka bekerjalah atas nama-Nya dan demi kepentingan-Nya. Pemilikmu mengirim rizki yang kau perlukan kepadamu, menjagamu dari apa pun yang tak mampu kau lakukan, dan bahwa puncak kehidupanmu dan hasilnya adalah engkau menjadi tempat menampakkan Nama-nama Sang Raja tersebut dan segala urusan-Nya.


[1] Ibnu Abi Shalih Abu Muhammad al-Jailani, lahir tahun 470 H. Nasabnya terhubung hingga Husain bin Ali. Ia pergi ke Baghdad lalu belajar hadits, berguru di hadapan Abu Sa’id al-Makhzumi al-Hanbali. Ia membangun sebuah perguruan lalu ia serahkan kepada Syaikh Abdul Qadir, ia pun berbicara atas nama perguruan ini, hingga banyak orang memetik manfaat darinya. Ia menyusun sejumlah tulisan, di antaranya; Kitab Al-Ghaibah, Futuh al-Ghaib, dan lainnya. Ia termasuk tokoh para syaikh, meninggal dunia dalam usia 90 tahun, dan dimakamkan di perguruan miliknya.

[2] Abu Abbas Ahmad bin Abu Hasan Ali Rifa’i, nasabnya terhubung hingga Imam Ali bin Abi Thalib, berasal dari Maroko, hidup antara tahun 500 hingga 578 H. Ia pendiri tarekat Rifa’iyah.

[3] Abu Hasan Syadzali, dinisbahkan kepada Syadzal, sebuah perkampungan di Afrika, lahir tahun 591 H. dan meninggal tahun 656 H., singgah di Alexandria. Ia adalah syaikh kelompok Syadzali, nasabnya terhubung hingga Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dia adalah pendiri tarekat Syadziliyah.




146. Page

Ketika musibah datang menderamu, katakanlah:


اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّٓا اِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” (Qs. al-Baqarah [2]: 156)


Artinya, wahai musibah, aku ini sedang melayani Rajaku. Jika kau datang atas izin dan ridha-Nya, maka silahkan selamat datang padamu, karena kami semua pasti akan kembali kepada-Nya suatu hari nanti, kami pasti kembali pada-Nya, dan kami rindu untuk melihat-Nya. Mengingat suatu hari nanti Dia tak diragukan pasti akan melepaskanku dan membebaskanku dari beban-beban hidup, maka semoga saja pelepasan dan pembebasan tugas itu melalui tanganmu, wahai musibah. Aku terima sepenuh hati jika memang Dia memerintahkan dan menghendakimu untuk menguji cinta dan ketekunanku dalam menjaga amanat ini. Namun jika Dia tidak ridha dan tidak mengizinkan untuk kuserahkan amanat ini kepadamu, maka aku takkan pernah menyerahkan amanat milik Rajaku ini semampuku ke tangan lain yang tidak amanat.”


Anda bisa melihat -- melalui salah satu contoh di antara ribuan contoh lainnya ini -- sejauh mana perbedaan pelajaran yang disampaikan para tokoh filsafat pandai dan petunjuk yang diajarkan al-Qur’an.


Ya, hakikat kondisi kedua kubu ini berlalu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja tingkatan manusia berbeda-beda dalam hal petunjuk dan kesesatan, tingkat kelalaian juga tidak sama, sehingga tak seorang pun merasakan hakikat ini di setiap tingkatannya secara utuh, karena kelalaian merusak fungsi perasaan dan nurani. Pada zaman sekarang ini, kelalaian telah merusak fungsi perasaan secara total, hingga orang-orang yang berperadaban tak lagi merasakan derita mendalam yang amat pedih ini.


Namun tirai kelalaian mulai terkoyak berkat kesadaran ilmiah yang kian tumbuh, dan berkat ancaman-ancaman kematian yang menghampiri tiga puluh ribu jenazah setiap harinya.


Celaka, celaka sekali orang yang menempuh kesesatan bersamaan dengan para taghut asing dan ilmu-ilmu alam mereka, juga bagi siapa pun yang mengikuti dan meniru mereka secara buta!


Untuk itu, wahai kaum muda pertiwi ini! Jangan pernah berusaha untuk mengikuti Eropa. Dengan akal apa kalian mengikuti mereka dalam kebodohan dan pemikiran-pemikiran batil mereka, setelah kalian lihat sendiri semua kezaliman dan permusuhan Eropa terhadap kalian?!


Bagaimana kalian bisa percaya pada orang-orang seperti itu dan merasa tenteram dengan mereka?!


Tidak. Di antara kalian yang meniru orang-orang Eropa secara bodoh sejatinya tidak mengikuti mereka, tapi hanya bergabung dalam barisan mereka tanpa disadari dan dirasakan. Sesunguhnya kalian bukan hanya membunuh diri sendiri, tapi juga membunuh sesama saudara.


Sadar dan waspadalah! Kalian berbohong dalam klaim pengamanan selama kalian masih mengikuti mereka tanpa akhlak. Sebab, ikut-ikutan seperti ini merupakan pelecehan terhadap agama kalian dan cemoohan terhadap bangsa kalian sendiri.


هَدٰينَا اللّٰهُ وَ اِيَاكُمْ اِلٰي صِرَاطٍ مُسْتَقيمٍ

Semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepada kita semua menuju jalan yang lurus.


147. Page

Catatan Keenam

 

Wahai manusia malang, wahai yang resah karena banyaknya jumlah orang kafir, yang terguncang karena kesepakatan mereka untuk mengingkari sebagian hakikat iman!


Ketahuilah, nilai dan urgensi bukan terletak pada kuantitas dan jumlah yang banyak, sebab ketika manusia tidak menjadi seorang manusia, ia berubah menjadi hewan yang kesetanan. Semakin dia merasuk dalam dorongan-dorongan hewani, semakin bertambah pula kehewanannya seperti sebagian orang asing dan orang yang menempuh aliran mereka dan yang mengikuti manhaj mereka.


Anda tahu, manusia telah menjadi khalifah di bumi, menjadi penguasa atas seluruh hewan, dan menjadi hakim atasnya, meski jumlah dan kuantitas manusia jauh lebih kecil jika dibanding hitungan hewan-hewan yang tak terbatas kuantitas dan jumlahnya.


Orang-orang kafir yang berbahaya dan siapa pun orang bodoh yang mengikuti jalan hidup mereka, adalah sejenis hewan-hewan Allah yang keji. Sang Pencipta Maha Bijaksana telah menciptakan mereka untuk memakmurkan dunia, dan menjadikan mereka sebagai salah satu ukuran agar hamba-hamba-Nya yang beriman bisa merasakan sejauh mana tingkatan nikmat-Nya yang Dia limpahkan kepada mereka. Pada akhirnya, mereka akan dijebloskan ke neraka Jahanam yang memang patut bagi mereka.


Maka tak ada kekuatan bagi orang-orang kafir dan para pengikut kesesatan untuk mengingkari dan menafikan salah satu saja dari hakikat iman. Sebab, kesepakatan mereka lemah berdasarkan rahasia penafian (nafy). Karena seribu orang penafi (pengingkar) pada hakikatnya sama dengan satu orang penafi. Sebagai contoh, ketika seluruh penduduk Istanbul menafikan rukyat hilal karena memang mereka tidak melihatnya pada permulaan bulan Ramadhan, maka penafian (dan pengingkaran) dari masyarakat yang amat banyak ini dan kesepakatan mereka tidak berlaku lagi ketika ada dua saksi membuktikan secara pasti (adanya hilal Ramadhan).


Mengingat esensi kekafiran dan kesesatan adalah penafian, pengingkaran, kebodohan, dan ketiadaan, maka kesepakatan orang-orang kafir sebanyak apa pun tak ada nilainya. Pengakuan dua orang mukmin yang bersandar pada kesaksian dalam masalah-masalah iman yang benar, kuat, dan kokoh, masih lebih kuat dari kesepakatan para pengikut kesesatan yang tak terbatas, dan (pengakuan keduanya) mampu mengalahkan mereka.


Rahasia hakikat ini adalah:

Pengakuan-pengakuan kalangan yang menafikan itu banyak, padahal tampak satu secara lahiriah. Masing-masing tidak saling menyatu hingga tidak bisa menguat. Adapun pengakuan-pengakuan kalangan yang membuktikan (adanya hilal) secara pasti, itu saling menyatu dan memperkuat satu sama lain. Sebab, orang yang tidak melihat hilal Ramadhan di langit mengatakan, “Menurut pengamatan saya, hilal tidak ada, dan menurutku ia tidak terlihat.” Orang lain juga mengatakan bahwa hilal tidak ada menurut penglihatan saya. Orang yang lain lagi mengatakan hal sama. Masing-masing berkata: hilal tidak ada menurut pendapat saya. Akibatnya, pengakuan mereka pun berbeda-beda, karena pandangan mereka berbeda, dan sebab-sebab yang menghalangi rukyat juga berbeda-beda, sehingga satu sama lain tidak saling menguatkan.


148. Page

Sementara kalangan yang memastikan hilal ada, mereka tidak mengatakan, “Hilal itu ada menurut pandangan dan pendapat saya.” Tapi mereka mengatakan, “Hilal ada, benar-benar terlihat di langit.” Maka mereka yang melihatnya mengatakan, “Hilal itu ada menurut hekaketnya dan menurut apa adanya.”


Dengan demikian, seluruh pengakuan kalangan yang menyatakan ada tadi satu, menyatu, dan sepakat. Karena pandangan kalangan yang menafikan itu berbeda-beda, maka pengakuan mereka juga tidak sama. Mereka tak bisa memastikan secara bersamaan, karena penafian tidak mungkin dilakukan penegasannya secara bersamaan, seperti disebutkan dalam kaidah ushul: “Ketiadaan mutlak tidak dapat ditegaskan kecuali dengan kemuskilan-kemuskilan yang besar.”


Ya, ketika Anda mengatakan sesuatu ada di alam, maka untuk membuktikannya, Anda cukup melihatnya saja. Lain soal ketika Anda meniadakan keberadaannya, ketika itu Anda perlu menyaring dan menyisir seluruh alam, kemudian Anda melihatnya sehingga dapat dipastikan ketiadaannya.


Berdasarkan rahasia ini, penafian orang-orang kafir atas salah satu hakikat (iman) laksana mengurai sesuatu yang sulit, atau berjalan di celah sempit, atau meloncat di atas parit besar, di mana tingkat kesulitannya seribu berbanding satu, karena satu sama lain tidak saling mendukung. Namun pengakuan kalangan yang menyatakan “ada” itu menyatu, karena mereka hanya memandang hakikat sesuatu seperti apa adanya pada dirinya, sehingga pernyataan mereka saling memperkuat satu sama lain. Itu serupa dengan mengangkat bongkahan batu besar, semakin banyak tangan yang membantu, maka semakin mudah mengangkatnya, dan satu sama lain saling memperkuat.

 

 

Catatan Ketujuh

 

Wahai orang yang mengaku bahwa dia memikul beban derita negara dan umat, wahai orang yang mendorong kaum muslimin untuk mencintai dunia dengan keras dan penuh semangat, serta menggiring mereka secara paksa ke industri dan kemajuan bangsa-bangsa asing, memukul mereka dengan tongkat kecintaan (pada dunia). Ingat dan waspadalah wahai orang celaka, jangan sampai ikatan-ikatan agama yang menjadi pegangan sebagian umat terputus. Karena ketika ikatan-ikatan sebagian mereka dengan agama terputus di bawah hantaman-hantaman martil yang kau layangkan di kepala mereka secara bodoh dan buta, saat itulah orang-orang atheis membahayakan kehidupan sosial bak racun mematikan, sebab nurani orang murtad rusak, hati nuraninya juga rusak secara keseluruhan, sehingga ia menjadi racun bagi kehidupan sosial. Itulah mengapa “orang murtad tak punya hak hidup” sesuai ilmu ushul. Adapun orang kafir, jika ia berstatus dzimmi atau mu’ahid, ia tetap memiliki hak hidup. Ini termasuk bagian dari dustur dasar-dasar syariat.


Lalu, kesaksian orang kafir ahli dzimmah bisa diterima seperti disebutkan dalam madzhab Hanafi. Namun kesaksian orang fasik tidak diterima, karena orang fasik adalah pengkhianat.


Wahai orang fasik celaka! Jangan terpedaya oleh banyaknya berlaku fasik, jangan pula kau katakan bahwa pemikiran kalangan mayoritas mendukung saya, karena orang fasik sejatinya tidak mencari kefasikan, melakukan kefasikan pun bukan karena kemauan. Bahkan dia jatuh dalam kefasikan namun tak bisa keluar darinya. Setiap orang fasik pasti 

149. Page

mengharapkan menjadi orang shalih. Ingin melihat tuan dan pemimpinnya taat beragama, kecuali bagi orang yang murtad, na’udzu billah. Ketika sudah murtad, perasaan nurani dan hati nuraninya rusak, dia merasa senang kala meracuni orang lain layaknya ular.


Wahai kepala yang dungu, gila, dan hati yang rusak! Apa kau fikir kaum muslimin tidak mencintai dunia, atau karena tidak memikirkan dunia lantas mereka akan jatuh dalam kemiskinan, sehingg perlu disadarkan dan diingatkan agar mereka tidak melupakan bagian dari dunia?! Tentu tidak. Dugaanmu itu salah. Asesmen dan perkiraanmu salah. Bahkan sifat tamak bertambah, sehingga kaum muslimin jatuh dalam kondisi miskin. Sebab, tamak bagi orang mukmin adalah faktor penyebab kekecewaan, kerugian dan kesengsaraan. Itulah mengapa istilah “orang tamak itu kecewa dan rugi” menjadi perumpamaan.


Ya, faktor penyebab yang mendorong orang untuk menyeru kepada dunia dan mencintainya banyak. Di antaranya yang paling utama adalah nafsu, gelora jiwa, kebutuhan, indera, perasaan, dan setannya, serta kenikmatan sesaat dunia yang semu, teman-teman tidak baik sepertimu, dan masih banyak lagi faktor lain. Sementara itu, orang-orang yang menyeru kepada akhirat yang kekal dan kehidupan yang langgeng abadi jumlahnya sedikit. Jika memang kau masih punya fanatisme sekecil atom sekali pun terhadap umat yang malang ini, jika pembicaraanmu tentang tingginya idealisme dan seruanmu untuk itu tulus dan bukan bualan, maka kau harus membantu para penyeru kepada kehidupan kekal abadi yang jumlahnya sedikit ini. Karena bila tidak, jika kau membungkam para da’i yang jumlahnya sedikit itu serta membantu kalangan mayoritas, berarti kau termasuk kawan setan.


Apa kau kira kondisi miskin umat ini disebabkan karena zuhud yang muncul dari agama, dan karena rasa malas yang muncul karena meninggalkan dunia?! Sama sekali tidak. Salah jika kau berfikir seperti itu. Tidakkah kau lihat kaum Majusi dan Brahma di China dan India, orang-orang negro di Afrika, juga umat dan bangsa-bangsa lain yang tunduk pada penguasa Eropa, bukankah mereka lebih miskin dari kita?! Apakah kau buta sehingga tak melihat bahwa kaum muslimin tidak diizinkan memiliki makanan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok, mungkin karena kekayaan alam mereka dirampas dan diambil begitu saja orang-orang kafir Eropa yang lalim, atau pun oleh orang-orang munafik Asia melalui penyusupan dan cara-cara kotor yang mereka lakukan?!


Jika maksud kalian menggiring kaum ahli iman secara paksa menuju peradaban saat ini yang hina, dengan harapan dapat mewujudkan rasa aman, damai, dan kemudahan mengatur di dalam negeri, maka ketahuilah seyakin-yakinnya bahwa kalian salah. Kalian menggiring ahli iman menuju jalan yang salah. Sebab, mengatur seratus orang fasik yang akidahnya goyah dan yang akhlaknya rusak, maka memelihara keamanan mereka jauh lebih sulit dari mengatur ribuan orang shalih.


Berdasarkan prinsip tersebut, kaum muslimin tak perlu digiring ke arah dunia, berambisi padanya atau pun dorongan untuk bergantung padanya. Kemajuan, pembangunan, dan keamanan tak akan terwujud dengan cara ini. Tapi, yang mereka perlukan adalah penataan usaha mereka, pembangunan kepercayaan, keamanan, dan permudahan peraturan kerjasama di antara mereka. Kebutuhan ini tidak mungkin bisa dipenuhi tanpa perintah suci agama serta ketaqwaan dan keteguhan dalam beragama.

 


150. Page

Catatan Kedelapan

 

Wahai insan pemalas yang tidak mengetahui sejauh mana kelezatan dan kebahagiaan dalam berusaha dan bekerja. Ketahuilah, Tuhan Al-Haqq S.w.t dengan sepenuh kemuliaan-Nya telah menyelipkan sebagian dari balasan atas khidmat (pengabdian) di dalam khidmat itu sendiri, dan menyelipkan upah pekerjaan dalam pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan rahasia ini, semua wujud yang ada bahkan benda-benda mati –menurut sudut pandang tertentu- menjalankan perintah-perintah rabbani dengan sepenuh kerinduan cinta, dan merasakan semacam kenikmatan dalam menjalankan tugas-tugas khususnya yang disebut perintah takwiniyah (penciptaan). Maka segala sesuatu, mulai dari lebah, lalat, ayam, bahkan hingga matahari dan bulan, berusaha menjalankan tugas dengan sepenuh kenikmatan dan kelezatan. Yakni, di dalam khidmat-khidmat yang dijalankan wujud-wujud yang ada itu terdapat kelezatan, di mana ia menjalankan tugasnya dengan tekun dan sebaik-baiknya tanpa memikirkan hasil dan konsekuensinya karena tak terjangkau akal.


Jika Anda mengatakan: Dimungkinkan adanya kelezatan dan kenikmatan yang dirasakan makhluk hidup. Tapi bagaimana mungkin ada kerinduan cinta dan kelezatan bagi benda-benda tak bernyawa?


Jawaban: Benda-benda tak bernyawa menginginkan kemuliaan, kedudukan, kesempurnaan, keindahan, dan keteraturan, serta mencarinya dengan maksud agar nama-nama ilahi yang indah (al-asma’ al-husna) tampak terlihat di sana, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Maka ia menjadi berfungsi seperti pemantul dan cermin bagi nama-nama cahaya semua cahaya dalam menjalankan tugas-tugas fitrah dana alaminya, serta menerangi, menanjak naik, dan meninggi.


Contohnya, ketika tetesan air dan potongan kaca kecil seperti atom mengarahkan wajahnya ke matahari dengan sepenuh hatinya yang suci meski keduanya tak bernilai dan gelap secara esensi, saat itulah tetesan air dan potongan kaca yang tak bernilai dan gelap ini menjadi singgasana bagi matahari hingga batas tertentu, dan tersenyum di hadapan wajah Anda.


Sebagaimana dalam contoh ini, wujud yang ada secara keseluruhan dan juga atom-atom, nilainya bisa terangkat dan naik dari tingkatan rendah ke tingkatan penampakan dan sinaran yang luhur dan tinggi sekali, sama seperti tetesan air dan potongan kaca tersebut, karena keduanya berkedudukan sebagai cermin bagi nama-nama al-Haq Maha Agung yang merupakan Pemilik keindahan mutlak dan kesempurnaan mutlak, untuk menjalankan segala perannya.


Mengingat benda-benda mati mendapatkan kedudukan bercahaya yang tinggi dan luhur sekali dari sisi peran yang dijalankan, maka andaikata kenikmatan mungkin dirasakan (oleh benda-benda mati), maksudnya ia memiliki bagian dari kehidupan umum yang menyeluruh, maka bisa dikatakan bahwa (benda-benda tersebut) menjalankan tugas-tugasnya dengan sepenuh kelezatan dan kesenangan.


Bukti paling nyata atas adanya kelezatan dan kesenangan dalam menjalankan tugas adalah sebagai berikut:


Perhatikan peran-peran pelayanan yang dijalankan anggota-anggota tubuh dan indera-indera Anda. Anda pasti dapatkan bahwa (semua organ tersebut) memiliki kesenangan dan kelezatan tersendiri dalam setiap pelayanan dan tugas yang dijalankannya demi keberlangsungan esensi dan spesiesnya, sehingga pelayanan dan tugas itu sendiri menjadi 

151. Page

kesenangan dan kelezatan baginya. Bahkan, ketika ada bagian tubuh yang tidak menjalankan fungsinya, itu akan menjadi semacam siksa bagi organ tersebut.


Di antara bukti paling nyata lain adanya kelezatan dan kenikmatan dalam menjalankan tugas adalah pengorbanan dan harga diri yang ditampilkan hewan dalam tugas-tugasnya, seperti ayam jantan dan betina yang memiliki anak. Ayam jantan rela mendahulukan kepentingan ayam-ayam betina dari kepentingan dirinya, meskipun ia sendiri lapar. Ia mengajak si betina ke rizki (makanan) yang didapatnya, tidak ia makan, justru ia berikan kepadanya. Terlihat bahwa si ayam jantan melakukan peran ini dengan cinta, kebanggaan, kelezatan, dan kenikmatan. Dengan demikian, ia lebih menikmati pelayanan dan tugas tersebut daripada kelezatan makan.


Demikian pula halnya ayam-ayam betina yang merawat anak-anaknya yang kecil. Ia rela mengorbankan nyawa demi kehidupan anak-anaknya, berani menyerang anjing, tetap menahan lapar demi memberi makan anak-anaknya yang kecil. Dengan demikian, ia menikmati pelayanan ini dengan penuh kelezatan dan kesenangan melebihi getirnya rasa lapar dan derita kematian.


Induk-induk hewan juga berusaha menjaga anak-anaknya dengan penuh kelezatan dan kenikmatan. Ketika anak-anaknya mulai beranjak dewasa, tugas tersebut pergi darinya, dan kelezatan itu pun lenyap. Bahkan induknya kadang memukul anaknya dan merebut biji-bijian makanan darinya, lalu memakannya.


Namun tugas-tugas para ibu dari spesies manusia tetap bertahan hingga batas tertentu, karena manusia lemah dan tak berdaya, sehingga ada semacam sikap kekanak-kanakan yang masih tetap melekat padanya, dan karenanya manusia memerlukan kasih sayang setiap saat.


Perhatikan hewan-hewan jantan penjaga piaraan seperti ayam jantan, dan perhatikan pula hewan-hewan betina piaraan, seperti ayam betina, lalu fahamilah bahwa mereka menjalankan tugas-tugas ini bukan karena kepentingan diri sendiri, bukan atas nama mereka, atau pun demi kesempurnaan mereka sendiri, sebab mereka rela mengorbankan nyawa mereka dalam menjalankan tugas mereka jika diperlukan. Tapi mereka menjalankan semua tugas dan peran tersebut demi Sang Pemberi nikmat dan Sang Pencipta Maha Agung yang melimpahkan tugas-tugas tersebut pada mereka, dan yang menyelipkan kelezatan dan kenikmatan di dalamnya berkat rahmat-Nya.


Bukti adanya upah di balik pelayanan itu sendiri adalah:

Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan menjalankan perintah Sang Pencipta Maha Agung melalui suatu kondisi yang membuatnya merasakan semacam kerinduan cinta dan kelezatan, karena bau-bau harum yang ditebarnya, pembentukan bulir-bulirnya dan pemberian beragam jenis hiasan padanya yang menarik perhatian para pembeli dan pengepul, dan pengorbanan dirinya sehingga terbuka kelopak demi munculnya buah. Semua fenomena ini tampak bagi orang-orang yang ahli merenungkan dan berfikir bahwa tanaman dan pepohonan mendapatkan kenikmatan dan kelezatan dalam menjalankan perintah ilahi, sehingga rela membinasakan dan mengorbankan dirinya.


Perhatikan pohon kelapa yang menanggung beban banyak sekali bungkus susu di kepalanya, perhatikan pula pohon tin dan pohon-pohon lain yang berbuah, bagaimana pohon-pohon tersebut memohon makanan seperti susu dari khazanah rahmat ilahi dengan bahasa kondisonalnya, lalu ia menerima darinya dan memberikannya sebagai makanan ke buah-buah yang ada, sementara ia sendiri cukup dengan mengonsumsi makanannya dari tanah. Juga pohon delima, yang menerima minuman segar dan bersih dari khazanah rahmat, lalu memberi 

152. Page

makan pada buahnya dengannya, sementara ia merasa puas dengan air keruh bercampur lumpur. Bahkan biji-bijian pun pada dirinya memperlihatkan keinginan lahiriah untuk menjalankan tugas pembuahan. Seperti halnya seorang tahanan di tempat sempit ingin keluar menuju taman dan ke tempat lapang yang luas, demikian juga terlihat pada biji-bijian adanya kesenangan dan kerinduan dalam tugas pembuahan.


Berdasarkan dustur umum yang memiliki rahasia-rahasia di jagad raya yang disebut sunnatullah ini, maka para pengangguran dan pemalas, serta orang yang hidup dalam kenyamanan dan tidur di atas kasur empuk, pada umumnya adalah orang-orang yang lebih banyak menanggung beban berat dan kesulitan ketimbang orang-orang yang giat berusaha dan bekerja. Sebab, para pengangguran selalu mengeluhkan usia mereka dan menginginkan usia mereka cepat berlalu melalui permainan dan kesenangan yang melenakan.


Adapun orang-orang yang bekerja, berusaha, dan bersungguh-sungguh, mereka selalu bersyukur dan memuji Allah. Mereka tak ingin hidup mereka berlalu dengan cepat. Kaidah yang menyebut, “Penganggur yang hidup nyaman mengeluhkan usianya, sementara pengusaha pekerja senantiasa bersyukur,” merupakan sebuah dustur universal. Berdasarkan rahasia ini, “Kenyamanan menjadi beban berat, dan beban berat menjadi kenyamanan,” menjadi salah satu pepatah perumpamaan.


Ya, jika pandangan diarahkan secara seksama ke benda-benda mati, pasti terlihat bahwa benda-benda yang tidak menampakkan dan tidak membentangkan kemampuannya, yang tetap berada dalam lingkup “potensi” saja serta selalu kekurangan dari sisi kesiapan dan kecenderungannya, akan terus berusaha tanpa kenal lelah untuk beralih dari fase “potensi” menuju fase “aksi.” Ini termasuk yang mengisyaratkan bahwa ketentuan sunnah ilahiah tersebut juga berlaku untuk masalah ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa di dalam tugas fitrah ini terdapat kerinduan, serta di dalam masalah tersebut terdapat kelezatan dan kenikmatan. Jika suatu benda mati memiliki porsi bagian dari kehidupan umum yang menyeluruh, maka kerinduan itu akan kembali padanya. Jika tidak, maka (kerinduan) itu kembali ke siapa yang menjalankan dan mengawasinya.


Berdasarkan rahasia ini dapat dikatakan:

Air yang lembut dan halus (cair) akan sabar menerima perintah untuk membeku, menjalankan perintah itu dengan penuh kerinduan hingga mampu merobek dan menghancurkan besi. Yakni, ketika air ditempatkan dalam wadah dari besi yang tertutup rapat atas perintah rabbani agar memperluas diri melalui bahasa udara dingin di bawah nol derajat, maka ia mampu menghancurkan wadah besi tersebut dengan perasaan rindunya, merobek besi sementara ia membekukan diri.


Demikianlah, silahkan Anda analogikan sendiri segala sesuatu dengannya. Sebab, setiap gerak dan usaha di alam raya ini, mulai dari perputaran matahari, perputaran dan gerakannya di ruang angkasa, hingga perputaran atom seperti (tari) Maulawi dan guncangannya, semuanya berjalan sesuai kanun takdir ilahi dan keluar melalui perintah takwini yang berasal dari tangan qudrat ilahi serta mencakup kehendak, perintah, dan ilmu. Bahkan setiap atom, setiap wujud, dan setiap makhluk hidup, semuanya mirip prajurit yang punya hubungan, kaitan dan tugas yang berbeda-beda dalam lingkup yang berbeda-beda di militer. Demikian pula halnya dengan setiap atom dan setiap makhluk hidup.


 Sebagai contoh: Satu atom di mata Anda memiliki banyak sekali hubungan dan kaitan di sel-sel mata Anda, di saraf-saraf wajah Anda, dan di seluruh aliran darah tubuh Anda. Ia memiliki tugas-tugas sesuai hubungan dan kaitan tersebut, dan mempunyai banyak manfaat 

153. Page

berdasarkan tugas-tugas tersebut. Demikianlah, silahkan Anda analogikan segala sesuatu dengannya.


Demikianlah, berdasarkan hal tersebut, tiap sesuatu bersaksi akan wajibnya keberadaan Sang Maha Kuasa Maha Azali melalui dua hal:


Pertama, tiap sesuatu bersaksi akan keberadaan Sang Maha Kuasa Maha Azali melalui bahasa ketidak-mampuan mutlak dalam menjalankan tugas-tugasnya yang ribuan kali berada di luar batas kemampuannya.


Kedua, tiap sesuatu bersaksi akan keberadaan Sang Maha Mengetahui Maha Kuasa melalui pergerakannya sesuai dustur yang menata hukum alam (sunnatullah), dan aturan-aturan yang memelihara keseimbangan wujud yang ada.


Karena benda mati seperti atom, dan hewan kecil seperti lebah, sama sekali tidak mengerti aturan dan neraca yang menjadi bagian dari permasalahan penting yang tertulis dalam Kitab Yang Jelas (kitab mubin), bisakah benda mati seperti atom, dan hewan kecil seperti lebah, membaca permasalahan penting dan halus yang tertera dalam Kitab Yang Jelas, yang berada di tangan Zat yang membuka dan menutup lapisan-lapisan langit, dan yang melipatnya layaknya lembaran-lembaran buku?!


Jika Anda secara gila menyangka bahwa di atom terdapat kuasa dan mata yang dengannya ia mampu membaca huruf-huruf halus dalam Kitab Yang Jelas, saat itulah Anda baru bisa menolak dan menyangkal kesaksian atom tersebut.


Ya. Sang Pencipta Maha Bijaksana memperindah dan menyematkan, dengan ketelitian dan ringkas, di tiap suatu dustur Kitab Yang Jelas, kenikmatan khusus dan kebutuhan khusus untuk sesuatu tersebut. Ketika sesuatu bekerja dengan kelezatan dan kenikmatan khusus serta kebutuhan khusus, saat itu ia tengah menjalankan dustur Kitab Yang Jelas tanpa ia sadari.


Sebagai contoh, seekor nyamuk langsung terbang dari sarangnya sesaat setelah kelahirannya, lalu menyerang wajah manusia tanpa henti, memukulkan tongkatnya yang panjang sehingga terpancar air kehidupan lalu meminumnya. Timbul kemahirannya yang tinggi dalam menyerang dan mundur laksana komandan pasukan perang. Wahai, siapa gerangan yang mengajari kemahiran demikian ini kepada makhluk kecil yang baru saja lahir dan tanpa pengalaman, (yang mengajari) seni peperangan mematikan ini, dan yang mengajarinya untuk memancarkan air (menghisap darah)?! Dari mana gerangan ia mempelajari semua ini?!


Saya, Sa’id yang malang ini, mengakui seandainya saya berada di posisi nyamuk itu, tentu saya tak akan bisa mempelajari kemahiran itu, mempelajari seni perang dengan menyerang dan mundur serta cara menghisap air (darah) seperti itu, kecuali melalui pelajaran-pelajaran yang panjang dan pengalaman berulang kali.


Silahkan Anda analogikan lebah dan laba-laba yang mendapat ilham, juga burung Bulbul yang merangkai sarangnya seperti kaos kaki, serta hewan-hewan serupa lainnya dengan nyamuk tersebut. Bahkan Anda juga bisa menganalogikan tumbuh-tumbuhan dengan hewan.


Ya, Zat Yang Mutlak Maha Pemurah Maha Agung telah menyerahkan suatu dokumen yang ditulis dengan tinta kelezatan dan kenikmatan serta dawat kebutuhan, kepada setiap individu makhluk hidup. Dalam dokumen tersebut Dia menetapkan program-program perintah takwiniyah, serta indeks program kerja dan pelayanan bagi si individu tersebut.


Perhatikanlah bagaimana Zat Yang Maha Bijaksana Maha Agung Maha Suci ini mencatat apa-apa yang berhubungan dengan tugas lebah yang berasal dari dustur Kitab Yang 

154. Page

Jelas di dalam sebuah dokumen, lalu Dia menyematkannya dalam kotak supermikro di kepala si lebah, dan menjadikan kelezatan sebagai kunci kotak kecil tersebut, yang khusus untuk si lebah yang menguasai tugasnya. Dengan kunci inilah lebah membuka kotak kecil tersebut, membaca program-programnya, memahami perintahnya, bergerak sesuai dengannya, dan menampakkan rahasia ayat:


وَ اَوْحٰي رَبُّكَ اِلي النَّحْلِ

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah,” (Qs. al-Nahl [16]: 68)

Jika Anda membaca catatan kedelapan ini secara utuh dan Anda memahaminya dengan sempurna, Anda dengan intuisi keimanan pasti mengerti sebagian rahasia ayat:


وَرَحْمَتي وَسِعَتْ كُلَّ شَئٍ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Qs. al-A’raf [7]: 156)


Pasti memahami salah satu hakikat ayat:


وَ اِنْ مِنْ شَئٍ اِلَّأ يُسَبِّحُ بِحَمْدِه

 “Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (Qs. al-Isra’ [17]: 44)


Pasti memahami salah satu dustur ayat:


اِنَّمَٓا اَمْرُهُٓ اِذَٓا اَرَادَ شَيْئًا اَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia’.” (Qs. Yasin [36]: 82)


Dan pasti memahami salah satu nuktah ayat:


فَسُبْحَانَ الَّذي بِيَدِه مَلَكُوتُ كُلِّ شيئ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

 “Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Qs. Yasin [36]: 83)

 

 

Catatan Kesembilan

 

Wahai manusia! Ketahuilah bahwa nubuwah pada umat manusia merupakan suatu rangkuman dan asas dari segala kebaikan dan kesempurnaan yang ada pada manusia, bahwa agama yang benar adalah katalog kebahagiaan, dan bahwa iman adalah kebaikan suci murni. Mengingat di alam ini tampak keindahan terang berkilau, kebaikan terbentang luas tinggi, kebenaran amat jelas sekali, dan kesempurnaan unggul di atas segalanya, maka tentu sudah sepatutnya kebenaran dan hakikat berada di dalam nubuwah dan di tangan para nabi, sementara kesesatan, keburukan, dan kerugian ada pada kebalikan itu. Maka, lihat saja contoh-contoh ini di antara banyak contoh kebaikan ubudiyah yang mencapai ribuan:


 Nabi S.a.w menyatukan hati para ahli tauhid dalam shalat ‘id, shalat Jum’at, dan shalat jamaah dengan ubudiyah, serta mengumpulkan lisan-lisan mereka menjadi satu kata, di mana manusia membalas keagungan khitab Tuhan Sembahan (Ma’bud) Maha Azali dengan suara-suara, doa-doa, dan zikir-zikir yang muncul tak terbatas, dari hati dan lisan. Suara-suara, zikir dan doa ini saling mendukung dan saling sepakat satu sama lain, menampakkan ubudiyah luas dari uluhiyah Tuhan Sembahan Maha Azali, hingga seakan bola bumi inilah yang dengan seluruh penjurunya berzikir, berdoa, dan melaksanakan shalat, serta yang dengan seluruh 

155. Page

ujungnya menjalankan perintah “Dan dirikanlah shalat” (اَقيمُوا الصَّلٰوة) yang turun dengan keperkasaan dan keagungan dari atas langit. Maka dengan rahasia persatuan ini, manusia yang adalah makhluk lemah dan kecil seperti atom di jagad raya ini, melalui keagungan ubudiyah, bisa menjadi seorang hamba yang dicintai Sang Pencipta langit dan bumi, menjadi khalifah dan penguasa bumi, pemimpin bagi seluruh hewan, serta menjadi tujuan dan hasil penciptaan semua wujud yang ada.


Ya, sebagaimana kalau suara ratusan juta penyeru takbir “Allahu akbar” (الله أكبر) di alam nyata ini –seperti juga di alam gaib– bisa bergema bersamaan serentak di saat sama seusai banyak shalat, apalagi di shalat ‘id, tentu itu akan menyamai gema takbir bumi seandainya bumi bertakbir seperti manusia. Ucapan para ahli tauhid melalui takbir “Allahu akbar” secara serentak di satu waktu tentu akan menyamai ucapan bola bumi dengan suara tingginya “Allahu akbar,” hingga seakan-akan bumi ini berguncang dengan hebatnya seiring guncangan dunia Islam melalui zikir dan tasbihnya dalam shalat-shalat ‘id. Seluruh penjuru dan ujung bumi akan mengumandangkan “Allahu akbar” dan mengarah ke kiblatnya, ke jantung hati Makkah Mukaramah, sehingga ia pun bertakbir “Allahu akbar” dengan lisan Makkah dan lisan Arafah. Satu kalimat tersebut akan membahana di gua-gua mulut kaum mukminin yang tersebar di segala penjuru bumi. Seperti halnya gema takbir berlangsung dengan kalimat “Allahu akbar,” kalimat takbir dan zikir yang dikabulkan itu pun mengguncang di langit, membahana di alam Barzakh, dan menggema di sana.


Kami mengucapkan puji bagi Allah S.w.t yang menjadikan bumi ini sebagai hamba yang bersujud kepada-Nya, menjadikan bumi ini sebagai masjid bagi hamba-hamba-Nya, tempat bernaung bagi para makhluk-Nya, menjadikannya tempat bertasbih dan bertakbir untuk-Nya. Tasbih dan takbir kita kumandangkan untuk Allah S.w.t sebanyak bilangan atom bumi. Kita baca tahmid sebanyak bilangan wujud yang ada. Semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai umat Rasul mulia S.a.w yang telah mengajarkan ubudiyah ini dalam bentuk seperti ini kepada kita.

 

 

Catatan Kesepuluh

 

Ketahuilah wahai Sa’id yang lengah dan bingung, bahwa untuk mencapai nur cahaya makrifat al-Haqq S.w.t, untuk bisa melihat-Nya, untuk menyaksikan tajalli-Nya di cermin-cermin ayat dan kesaksian nyata, serta untuk bisa melihat-Nya melalui celah-celah argumen dan dalil, itu semua menuntutmu untuk tidak meraba-raba setiap nur cahaya yang melintas di hadapanmu, yang muncul di hatimu, dan yang tampil di akalmu, dengan jari-jari kritikan. (Itu menuntutmu) agar tidak mengkritiknya dengan tangan keraguan, dan agar tidak menjulurkan tanganmu untuk menggenggam nur cahaya yang menyinarimu. Tapi, yang harus kau lakukan adalah melepaskan diri dari faktor-faktor penyebab kelalaian, dan berdiri dengan menghadap ke arah cahaya itu, karena saya telah menyaksikan bahwa saksi-sakti dan bukti-bukti makrifatullah ada tiga bagian:


Bagian (pertama) darinya: Laksana air, yang bisa dilihat dan dirasakan, namun tak bisa dipegang dengan jari-jemari. Pada bagian ini, kau harus melepaskan diri dari segala khayalan, cukup mencelupkan diri ke dalam air itu secara total. Jangan kau raba-raba air itu dengan jari-jari kritikan, karena jika kau coba-coba mengkritik, air itu akan mengalir dan lari menjauh.

156. Page

Air kehidupan itu mengalir dan tidak akan rela menetap pada jemari tadi.


Bagian kedua: Laksana udara, yang bisa dirasakan namun tak terlihat dan tak bisa dipegang. Maka, mengarahlah dengan wajahmu, mulutmu, dan ruhmu kepada hembusan-hembusan angin rahmat itu. Jangan pernah kau julurkan tangan kritikan padanya. Kau tak akan pernah bisa memegang (angin) ini. Maka, bernafaslah dengan ruhmu, karena jika kau memandangnya dengan penuh keraguan dan kau julurkan tangan kritikan padanya, ia akan pergi dan lenyap, tidak mau menjadikan tanganmu sebagai tempat tinggal baginya, dan tidak akan rela dengannya.


Bagian ketiga: Laksana nur cahaya, yang bisa dilihat namun tak bisa dirasakan atau pun dipegang. Maka, mengarahlah padanya dengan pandangan hatimu dan tatapan ruhmu, arahkan kedua matamu kepadanya dan lihatlah, semoga nur cahaya itu datang dengan sendirinya. Cahaya itu tak bisa dipegang dengan tangan, tak bisa diraih jari-jemari, tapi bisa diraih dengan cahaya mata hati. Jika kau julurkan padanya tangan fisikmu yang tamak, dan kau ukur dengan standar materi, cahaya itu akan lenyap meski tidak padam. Sebab, nur cahaya seperti ini tidak mau diikat dan dikekang dengan materi, dan tidak mau dikuasai dan dimiliki oleh benda yang buram.

 

 

Catatan Kesebelas

 

Di dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang bayannya penuh mukjizat terdapat kasih sayang yang besar dan rahmat yang luas, karena yang menjadi lawan bicaranya pada umumnya adalah kalangan awam yang tingkat pemikiran mereka itu sederhana dan pandangan mereka tak bisa memperhatikan hal-hal rumit. Maka al-Qur’an mengulang-ulang ayat-ayat yang tertulis di wajah langit dan bumi hingga selaras dengan kesederhanaan fikiran mereka, serta membacakan untuk mereka huruf-huruf besar dengan mudah.


Sebagai contoh, al-Qur’an mengajarkan ayat-ayat yang bisa dibaca dan disaksikan secara pasti, seperti penciptaan langit dan bumi, turunnya hujan dari langit, pemakmuran bumi dan semacamnya. Al-Qur’an tidak mengalihkan pandangan ke ayat-ayat subtil yang tertulis dengan huruf-huruf kecil di antara huruf-huruf besar, kecuali jarang sekali, agar tidak menyulitkan bagi (kalangan awam) dan mereka tidak kelelahan (memahaminya).


Kemudian, dalam gaya bahasa al-Qur’an terdapat kefasihan, kelancaran, dan sifat fitriah. Bahkan seolah-olah al-Qur’an adalah penghafal pembaca yang membaca ayat-ayat yang ditulis dengan pena qudrat di lembaran-lembaran jagad raya. Seakan-akan ia bacaan bagi kitab jagad raya, bacaan untuk aturan-aturannya, yang membaca hal-ihwal Sang Pengukir Azali S.w.t, dan menulis perbuatan-perbuatan-Nya.


Jika Anda ingin melihat kefasihan yang penuh bayan ini, silahkan Anda dengarkan dengan hati saksi yang sepenuhnya menyimak penjelasan-penjelasan atas “Surat ‘Amm” (al-Naba’ [78]) dan ayat قُلِ اللّٰهُمَّ مَالِكَ الْمُلْك (“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan’” [Alu Imran 3: 26]).

 


157. Page

Catatan Keduabelas

 

Saudara-saudaraku tercinta yang mendengarkan catatan-catatan ini, perlu kalian ketahui bahwa -- kadang-kadang dan bertentangan dengan kebiasaan -- motif saya menulis catatan ini adalah sebagai ketundukan hati saya kepada Rabb serta munajat saya kepada-Nya, meskipun hal ini seharusnya disimpan dan tak ditulis. Ia adalah harapan kepada rahmat-Nya S.w.t agar Dia berkenan menerima ucapan tulisan saya ini sebagai ganti dari saya jika suatu saat nanti kematian membungkam lisan saya.


Ya, taubat yang diucapkan lisan saya dan penyesalannya tentu tak cukup untuk menghapus dosa-dosa saya yang tak terbatas dalam usia yang relatif singkat. Untuk itu, lisan tulisanku yang tetap dan bertahan ini -- hingga batas tertentu -- akan lebih bermanfaat untuk hal itu.


Kala tawa-tawa Sa’id “Lama” sepuluh tahun sebelumnya berubah menjadi tangisan Sa’id “Baru” akibat badai spiritual yang bergolak mengguncang, saat saya terbangun dari tidur kelalaian masa muda pada pagi hari masa tua, ditulislah “munajat berbahasa Arab” ini sebagai berikut:

 

يا ربي الرحيم و يا إلهي الكريم

Ya Rabb Yang Maha Penyayang, ya Ilahi Yang Maha Mulia

 

Berlalu sudah usia dan masa mudaku karena ikhtiarku yang tidak baik, dan yang tersisa dari buahnya di tanganku kini hanyalah dosa-dosa yang menyakitkan dan menghinakan, derita-derita yang berbahaya dan menyesatkan, was-was yang mengusik dan melemahkan. Dengan memikul beban berat, kalbu yang cacat, dan dengan wajah malu ini, aku mendekatkan diri melalui musyahadah, dengan sepenuh kecepatan, tanpa menyimpang, dan tanpa ikhtiar, laksana yang dialami para orang tua, orang-orang tercinta, kerabat dan rekan sejawatku, bertolak menuju pintu kuburan.


Kuburan ini adalah rumah dan pintu pertama yang didirikan dan dibuka menuju jalan keabadian selamanya, melalui perpisahan abadi dengan dunia fana ini. Dengan yakin aku tahu, hunian dunia yang membuatku terpesona dan tergoda ini pasti binasa dan lenyap. Aku tahu, berdasarkan musyahadah, semua wujud yang ada di dunia masing-masing pasti pergi meninggalkannya, satu kafilah demi satu kafilah.


Dunia ini penuh pengkhianatan dan makar, terlebih terhadap diriku ini yang memikul nafsu amarah. Jika pun dunia memberimu kesenangan satu kali, ia pasti membebani dan menanggungkan seribu kali derita padamu. Jika pun dunia memberimu anggur, ia pasti akan menamparmu seribu kali.

 

فيا ربي الرحيم و يا إلهي الكريم

Ya Rabb Yang Maha Penyayang, ya Ilahi Yang Maha Mulia

 

Berdasarkan rahasia “Setiap yang akan datang itu dekat,” aku melihat dari dekat seakan diriku sudah dibungkus kain kafanku, diusung di atas kerandaku, berpisah dengan orang-orang yang kucintai, mengarah ke pintu kuburanku, maka aku menyeru di depan pintu rahmat-Mu melalui bahasa kondisional buat janazahku, dan melalui bahasa lisan buat ruhku:


158. Page

الأمان الأمان يا حنّان يا منّان، نجني من خجالة العصيان

Berilah aku rasa aman, berilah aku rasa aman, wahai Yang Maha Penyayang, Maha Pemberi, selamatkan aku dari rasa malu akibat kemaksiatan.


Kini aku sudah tiba di kuburku!

Aduh! Kain kafanku melekat di leherku sementara aku berdiri di mulut kuburan, kuangkat kepala ini ke arah pintu rahmat-Mu, berteriak merintih sepenuh tenaga:


الأمان الأمان يا رحمن يا حنّان، خلصني من ثقل حمل العصيان

Berilah aku rasa aman, berilah aku rasa aman, wahai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, lepaskanlah aku dari beban berat kemaksiatan.


Aduh! Aku terbungkus kain kafanku, berada di kuburan dan ditinggal pergi oleh para pengantar. Kini aku menantikan ampunan dan rahmat-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tempat berlindung dan tempat menyelamatkan diri selain hanya kepada-Mu, seraya aku berseru:


الأمان الأمان من ضيق المكان، ومن وحشة العصيان، ومن قبح وجه الآثام، يا رحمن يا حنان يا منان يا ديان، نجني من رفاقة الذنوب والعصيان، و وسع مكاني

Berilah aku rasa aman, berilah aku rasa aman dari sempitnya kubur, dari buasnya kemaksiatan, dan dari buruknya wajah dosa-dosa. Wahai Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, wahai Yang Maha Pemberi lagi membalas, selamatkanlah aku dari segala beban dosa dan kemaksiatan, serta lapangkanlah kuburku!


Ya Ilahi! Rahmat-Mu jua yang menjadi tempatku berlindung. Kekasih-Mu yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, menjadi perantara bagiku untuk menggapai rahmat-Mu. Bukan Kau yang kuadukan, tapi akulah yang mengadukan jiwa dan kondisiku kepada-Mu.

 

يا خالقي الكريم، ويا ربي الرحيم، ويا سيدي، ويا مولاي

Wahai Penciptaku Yang Maha Mulia, Wahai Rabbku Yang Maha Penyayang, Wahai Penolongku!

 

Makhluk-Mu, ciptaan-Mu, hamba-Mu yang durhaka, lemah, lalai, jahil, sakit, hina, suka berbuat keburukan, tua renta, sengsara, dan melarikan diri dari ketaatan ini selama empatpuluh tahun silam, kini telah kembali menuju pintu-Mu, berlindung kepada rahmat-Mu, seraya mengakui segala dosa dan kesalahan, tertimpa berbagai prasangka dan penyakit, memohon sepenuh hati kepada-Mu.


Jika Kau bersedia menerima, mengampuni dan memberi rahmat, Kau memang pantas seperti itu, dan Kau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Jika tidak, lalu pintu mana lagi yang bisa dituju selain pintu-Mu, sementara Kau adalah Rabb yang dituju dan disembah, tiada ilah selain Engkau semata, tiada sekutu bagi-Mu.

Akhir kata-kata di dunia, awal kata-kata di akhirat dan di dalam kubur:

 

أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah

 

صلى الله تعالى عليه و سلم آمين

Ya Allah! limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepadanya

Amin …


159. Page

Catatan Ketigabelas

 

Catatan ini terdiri dari lima permasalahan yang menjadi sumber kerancuan.

 

Masalah pertama: Ketika mereka yang bekerja di jalan kebenaran dan berjihad di dalamnya harus fokus dan memikirkan tugas serta kewajiban, mereka memikirkan segala urusan dan rencana yang dikhususkan Allah S.w.t. Dan mereka menjadikan hal itu sebagai landasan segala gerakan dan amal perbuatan mereka, sehingga mereka bersalah.


Disebutkan dalam Adab al-Dunya wa al-Din, suatu ketika Iblis menghampiri Isa putra Maryam a.s lalu berkata, “Bukankah kau mengatakan bahwa tak akan ada apa pun yang menimpamu selain yang telah Allah tuliskan untukmu?” “Betul,” jawab Isa. Iblis kemudian berkata, “Maka lemparkan dirimu dari puncak gunung ini, karena jika kau ditakdirkan selamat, kau pasti selamat.” Isa menyahut, “Wahai (makhluk) laknat! Allah yang berhak menguji hamba-Nya, bukan hamba yang menguji Rabbnya.”[1]


Yakni, Allah S.w.t akan menguji hamba-Nya, seraya bertitah padanya, “Wahai hamba-Ku, jika kau melakukan begini, Aku akan melakukan begini padamu. Mari, bisakah kau perlihatkan kau mampu melakukannya?!” Sementara hamba sama sekali tak berhak menguji Allah dan mengatakan, “Ya Rabb! Jika aku melakukan begini, apakah Kau melakukan begini padaku?!” Kata-kata seperti ini tidak sopan di hadapan Allah S.w.t dan menafikan ubudiyah.


Mengingat hakikatnya demikian, maka manusia wajib menjalankan tugasnya, dan hendaknya tidak ikut campur dalam urusan Allah S.w.t.


Sudah masyhur diketahui, Jalaluddin Khawarizmi Syah, salah seorang pahlawan Islam yang berkali-kali mampu mengalahkan pasukan Jengis Khan dari Mongol. Para menteri dan pengikutnya berkata padanya saat dia hendak pergi berperang, “Kau akan meraih kemenangan, dan Allah akan membantumu untuk mengalahkan musuhmu.” Dia menjawab, “Aku ini diperintahkan berjihad atas perintah Allah S.w.t, dan aku tak mau ikut campur urusan Allah S.w.t. Kemenangan atau pun kekalahan itu urusan Allah S.w.t semata.” Pahlawan ini mengetahui rahasia berserah diri kepada urusan, takdir, dan rencana Allah S.w.t, hingga ia berkali-kali meraih kemenangan gilang-gemilang tiada tara.


Ya, manusia hendaknya tidak memikirkan hasil, karena hasil segala sesuatu kembali kepada Allah S.w.t melalui apa yang akan terjadi sesuai kehendak parsial yang dimiliki-Nya.


Sebagai contoh, ketika banyak orang bergabung mempelajari Risalah al-Nur, gairah sebagian teman-teman kian meningkat dan menyemangati mereka di dalamnya. Sementara ketika orang-orang tak mau mendengarkan Risalah al-Nur, semangat maknawi meluntur di kalangan orang-orang lemah, kerinduan mereka juga padam sedemikian rupa. Padahal Rasul mulia S.a.w -- yang merupakan guru mutlak, teladan sempurna dan pembimbing paling lengkap -- menjadikan firman ilahi berikut ini sebagai panduan dan tuntunan bagi beliau:


[1]  Adab al-Dunya wa al-Din karya al-Mawardi. Kisah ini disebutkan pada bab keutamaan akal dan celaan terhadap hawa nafsu.




160. Page

وَمَا عَلَي الرَّسُولِ اِلَّأ الْبَلاَغُ

“Dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Qs. al-’Ankabut [29]: 18)


Setiap kali orang-orang menjauh darinya dan tidak mau mendengarkannya, beliau melakukan tabligh dengan semakin bersemangat dan bertekad lebih kuat, karena beliau tahu pasti rahasia firman:


اِنَّكَ لاَتَهْدي مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدي مَنْ يَشَاءُ

 “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. al-Qashash [28]: 56)


Khusus hanya Allah S.w.t jua yang berwenang menjadikan orang-orang mau mendengar dan mendapat petunjuk. Beliau S.a.w tidak ikut campur dalam pengaturan Allah S.w.t dan urusan-Nya sedikit pun.


Karena itu, wahai saudara-saudaraku! Janganlah kalian memaksa ikut campur dalam suatu tugas di luar wewenang kalian. Jangan menjadikan hal ini sebagai pijakan amal perbuatan dan segala tindakan kalian, jangan memposisikan diri sebagai penguji terhadap Pencipta kalian S.w.t.

 

Masalah kedua: Sesungguhnya ibadah (‘ubudiyyah) itu harus ditujukan sepenuhnya pada (pelaksanaan) perintah Allah dan (pencapaian) ridha-Nya. Yang menyeru kepada ibadah adalah perintah ilahi, hasilnya adalah pencapaian ridha ilahi, serta buah dan manfaatnya bersifat ukhrawi. Meski demikian, manfaat-manfaat yang kembali pada dunia dan buh-buahnya yang terbentuk dengan sendirinya dan diberikan tanpa diminta, tidaklah menafikan ibadah, dengan catatan hendaknya alasannya tidak bersifat sebagai tujuan atau pun dimintakan dengan sengaja, tapi hanya diposisikan sebagai perangsang dan pendorong saja bagi orang-orang lemah. Namun ketika faedah dan manfaat duniawi dijadikan sebagai alasan, atau menjadi sebagian dari alasan ibadah, atau wirid, atau zikir, maka hal itu akan membatalkan sebagian dari ibadah tersebut, bahkan membuat wirid tersebut memiliki ciri khas mandul yang sama sekali tak berguna.


Mereka yang tidak memahami rahasia ini, saat membaca misalnya wirid al-Awrad al-Bahaiyah yang memiliki seratus keistimewaan dan manfaat, atau wirid al-Jausyan al-Kabir yang memiliki seribu keistimewaan, mereka membacanya dengan niat untuk mendapatkan manfaat tersebut secara esensial. Hanya saja mereka tidak bisa menemukan manfaat tersebut, dan tak akan menemukannya, serta mereka tak berhak menemukannya. Sebab, manfaat tersebut tidak mungkin bisa dijadikan motif alasan membaca wirid tersebut. Maka, janganlah manfaat itu diminta darinya dengan disengaja atau secara esensial, karena hal itu semata timbul dari wirid-wirid ikhlas melalui karunia ilahi dan bukan dari permintaan. Ketika seseorang (membaca wirid) dengan berniat untuk mendapatkan manfaat itu, (niat) ini akan merusak keikhlasannya sedemikian rupa, bahkan bisa jadi membuatnya keluar dari wilayah ibadah, dan runtuhlah nilainya.


Namun ada hal lain, yaitu orang-orang lemah memerlukan rangsangan dan dorongan agar mau membaca wirid-wirid yang memiliki banyak keistimewaan seperti ini. Ketika ia membaca wirid tersebut dengan ikhlas demi ridha ilahi dan (mengharapkan) akhirat, serta memikirkan tentang manfaat wirid tersebut sehingga semangat dan kerinduannya semakin

161. Page

bertambah, maka hal itu tidaklah membahayakannya, bahkan justru dikabulkan.


Dikarenakan tidak memahami hikmah ini, banyak orang tidak mendapatkan manfaat yang diriwayatkan dari para wali quthub dan salaf shalih, sehingga mereka jatuh dalam syubhat, bahkan mengingkari (manfaat) tersebut.

 

Masalah ketiga:

طُوبٰي لِمَنْ عَرَفَ حَدَّهُ وَلَمْ يَتَجَاوَز طَوْرَهُ

“Beruntunglah bagi orang yang mengetahui batas kemampuan dirinya dan tidak melampaui perannya.


Sebagaimana matahari memiliki tajalli atas segala hal, mulai dari atom kaca, tetesan air, telaga besar, lautan, bulan, hingga berakhir ke planet, setiap benda ini bisa menangkap pantulan matahari dan gambarnya menurut kemampuan penerimaannya, serta mengetahui batasnya. Tetes air, misalnya, bisa mengatakan sesuai kemampuan penerimaannya, “Aku memiliki pantulan matahari.” Namun ia tidak bisa mengatakan, “Aku pun cermin seperti lautan.” Demikian pula halnya tingkatan maqam para wali juga berbeda-beda sesuai dengan keragaman tajalli nama-nama ilahi. Setiap nama ilahi memiliki tajalli-tajalli seperti matahari, dimulai dari hati sampai berakhir ke Arsy. Hati juga suatu Arsy, namun ia tidak bisa mengatakan, “Aku juga seperti Arsy yang agung.”


Maka, asas ubudiyah adalah hendaknya seseorang mengenali kelemahan, ketidak-mampuan, keterbatasan, dan kekurangan dirinya, serta bersujud di hadapan diwan uluhiyah dengan tunduk sepenuhnya. Jika tidak, maka orang yang berjalan di jalur ubudiyah dengan dalil-dalil dan kebanggaan diri, akan membuat hatinya yang kecil laksana atom itu sama dengan Arsy. Maka, padanya terjadi kerancuan antara maqamnya yang laksana tetesan air itu dengan maqam para wali yang laksana lautan, hingga ia jatuh sia-sia dalam kepura-puraan, beban tugas, ujub, dan banyak kemusykilan demi menjadikan dirinya berhak menempati maqam-maqam besar tersebut dan berusaha menjaga dirinya tetap berada di sana.


Kesimpulan:

Disebutkan dalam hadits mulia:


هَلَكَ النَّاسُ اِلَّأ الْعَالِمُونَ وَهَلَكَ الْعَالِمُونَ اِلَّأ الْعَامِلُونَ وَهَلَكَ الْعَامِلُونَ اِلَّأ الْمُخْلِصُونَ وَالْمُخْلِصُونَ عَلٰي خَطَرٍ عَظيم

 “Manusia binasa selain mereka yang berilmu. Orang-orang yang berilmu binasa melainkan mereka yang mengamalkan (ilmunya).


Mereka yang mengamalkan (ilmunya) binasa melainkan mereka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas berada dalam bahaya besar.”[1] Atau sebagaimana yang diucapkan Rasul S.a.w.


Artinya, penyebab keselamatan tidak lain adalah keikhlasan. Maka, meraih keikhlasan penting sekali. Amal yang ikhlas seukuran atom jauh lebih baik dari amal ribuan rithel yang tidak ikhlas. Maka perlu dipikirkan bahwa suluk yang bisa mendatangkan keikhlasan penyebabnya adalah perintah ilahi murni, dan bahwa hasilnya adalah ridha ilahi, serta bahwa

[1] Diriwayatkan dengan teks, “Seluruh manusia itu binasa melainkan orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu binasa melainkan mereka yang mengamalkan (ilmunya). Mereka yang mengamalkan (ilmunya) binasa melainkan mereka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas berada di atas bahaya besar.” Baca: Syu’ab al-Iman, Al-Baihaqi, hadits nomor 6868. Al-Shan’ani menyatakan, “Hadits ini salah dan keliru dari sisi i’rab. Menurut i’rab yang benar seharusnya العالمين العاملين المخلصين.” 




162. Page

hendaknya tidak ada ikut campur dalam urusan yang hukumnya khusus ditentukan oleh Allah.


Di dalam tiap sesuatu terdapat keikhlasan. Bahkan atom cinta yang tulus murni jauh lebih baik dari cinta hampa dingin dan resmi yang meminta upah dan imbalan. Seorang pujangga mengungkapkan hal tersebut:

 

وَ مَٓا اَنَا بِالْبَاغي عَلَي الْحُبِّ رِشْوَةً  ضَعيف هوي يبْغي عَلَيْهِ ثَوَابُ

Bukan suap yang kucari dalam cinta

Karena orang dengan cinta yang lemah perlu dicarikan balasan.[1]


Yakni, aku tidak mencari upah, suap, imbalan atau pun balasan, atas cinta, karena cinta yang di baliknya mengharapkan balasan adalah cinta lemah yang tak akan bertahan lama.


Bahkan cinta tulus sudah disematkan dalam fitrah manusia, apalagi bagi para ibu. Kasih sayang para ibu menampakkan cinta tulus ini dengan seluruh makna kata. Bukti bahwa para ibu tidak meminta upah dan suap atas cinta yang mereka berikan kepada anak melalui rahasia kasih sayang adalah mereka rela mengorbankan nyawa mereka bahkan kebahagiaan akhirat mereka demi anak. Sebagai contoh, ayam rela kehilangan kepalanya demi menyelamatkan anaknya dari mulut anjing –seperti yang disaksikan oleh Ahmad Hasrau Efendi– meski satu-satunya modal si ayam adalah kehidupannya.

 

Masalah keempat: Nikmat-nikmat yang datang melalui sebab-sebab lahiriah hendaknya tidak diambil atas pertimbangan sebab-sebab tersebut. Jika sebab tersebut tidak punya ikhtiar, seperti hewan dan pohon misalnya, berarti (nikmat) tersebut semata diberikan atas pertimbangan Allah S.w.t secara langsung. Mengingat ia mengucapkan bismillah dengan bahasa kondisionalnya, lalu ia memberikan (nikmat) itu kepada Anda, maka Anda juga harus mengatakan bismillah untuk Allah S.w.t, lalu silahkan Anda mengambilnya.


Sementara jika sebab tersebut adalah pemilik ikhtiar dan kehendak, maka selayaknya ia mengucapkan bismillah, selanjutnya silahkan Anda ambil nikmat tersebut darinya. Jika tidak, jangan Anda ambil, sebab makna isyarat yang tertera dalam ayat berikut ini berbeda dari makna tekstualnya:

وَلاَ تَاْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya” (Qs. al-An’am [6]: 121).

Jelasnya, janganlah kalian memakan nikmat yang tidak mengingatkan pada Tuhan Pemberi nikmat hakiki dan yang tidak diberikan dengan nama-Nya. Jadi, si pemberi harus mengucapkan bismillah, demikian pula halnya si penerima juga harus mengucapkan bismillah. Jika si pemberi tidak mengucapkan bismillah, sementara Anda perlu mengambilnya, maka ucapkanlah bismillah, dan saksikan tangan rahmat ilahi dari atas kepala si pemberi, lalu ciumlah tangan rahmat tersebut dengan rasa syukur dan ambillah darinya. Yakni, lihatlah pemberian nikmat di balik nikmat (yang diberi), dan fikirkan tentang si pemberi nikmat hakiki di balik pemberian nikmat tersebut. Fikiran inilah (yang disebut) syukur. Selanjutnya jika Anda berkenan, silahkan Anda doakan perantara lahiriah tersebut, karena nikmat (yang Anda


[1]     Bait syiar karya Abu al-Thayyib al-Mutanabbi.



163. Page

terima) itu dikirim kepada Anda melalui kedua tangan (si perantara).


Faktor yang menipu para penyembah sebab-akibat lahiriah (hukum kausalitas) adalah kedatangan dua hal sekaligus atau keberadaannya. Kondisi seperti ini disebut dengan istilah iqtiran (konjugasi, keterkaitan). Maksudnya, anggapan mereka bahwa salah satu di antara dua hal tersebut menjadi penyebab bagi lainnya.


Mengingat ketiadaan sesuatu menjadi alasan ketiadaan nikmat tertentu, maka karenanya mereka mengira bahwa keberadaan sesuatu merupakan penyebab adanya nikmat tersebut. Mereka pun menyampaikan syukur dan terima kasih mereka kepada sesuatu tadi. Maka tentu saja mereka jatuh dalam kesalahan. Sebab, adanya sesuatu nikmat tertentu tergantung pada banyak faktor pendahuluan nikmat itu dan syarat-syaratnya. Sementara ketiadaan nikmat tersebut terjadi hanya karena ketiadaan satu syarat saja.


Sebagai contoh, seseorang yang tidak membuka penutup saluran air untuk keperluan irigasi ladang akan menjadi sebab dan alasan ladang tersebut kering serta (menyebabkan) ketiadaan nikmat di dalamnya. Namun, keberadaan nikmat di ladang tersebut tak akan tercapai kecuali melalui qudrat rabbani dan kehendaknya yang merupakan illat hakiki, selain bergantung pada kesesuaiannya dengan keberadaan ratusan syarat lain di luar pelayanan orang tersebut.


Fahamilah dari sini, betapa nyata kesalahan pertanyaan yang membingungkan ini, dan ketahuilah betapa keliru perbuatan mereka yang menghamba pada hukum kausalitas.


Ya, (hukum) iqtiran dan sebab-akibat merupakan dua hal yang berbeda. Jika suatu nikmat datang menghampiri Anda, dan bersamaan dengan itu ada niat seseorang yang hendak berbuat baik pada Anda, niat ini sama sekali bukan penyebab nikmat tadi. Penyebabnya yang hakiki adalah rahmat ilahi.


Ya, kalau orang ini tidak berniat akan berbuat baik kepada Anda, tentu nikmat tersebut tidak datang menghampiri Anda, dan tentu ketiadaan niatnya menjadi penyebab tiadanya nikmat. Hanya saja, kecenderungan untuk berbuat baik tersebut tidak serta merta menjadi penyebab adanya nikmat tersebut sesuai kaidah di atas. Tapi, niat itu hanya merupakan satu di antara ratusan syarat lain.


Sebagai contoh: (Hukum) iqtiran terasa campur-aduk dengan sebab-akibat bagi sebagian murid Risalah al-Nur yang secara khusus diberi nikmat oleh Allah S.w.t, seperti Ahmad Husrau dan Ra’fat. Mereka terlalu berlebihan memberi hormat dan penghargaan pada ustadz mereka. Padahal hakikatnya, Allah S.w.t telah mengaitkan antara nikmat perolehan faedah dan manfaat dari mempelajari al-Qur’an dengan nikmat pemberikan faedah dan manfaat yang diterima oleh ustadz mereka. Yakni, Allah telah meletakkan keterkaitan (iqtiran) di antara kedua hal tersebut, sehingga mereka mengatakan, “Andai ustadz kami tidak hadir di sini, tentu kami tidak menerima pelajaran ini.” Dengan kata lain, pemberikan manfaat (pelajaran) olehnya kepada kami adalah penyebab kami bisa mendapatkan manfaat.


 Saya sampaikan, “Wahai saudaraku! Nikmat yang Allah S.w.t berikan kepada saya dan juga nikmat yang Dia berikan kepada kalian, telah datang secara bersamaan dan berkaitan. Penyebab kedua nikmat ini adalah rahmat ilahi. Saya pun demikian pula, pernah menghadapi ketidakjelasan antara (hukum) iqtiran dan sebab-akibat seperti yang kalian alami. Saya merasa mendapat anugerah luar biasa dengan ratusan murid Risalah al-Nur yang memiliki “pena-pena emas” seperti kalian, hingga saya berkata, ‘Andai tidak ada mereka, bagaimana seorang malang dan separuh buta huruf seperti saya bisa melaksanakan amal dakwah ini?’ Kemudian saya sadar bahwa Allah S.w.t telah menganugerahkan taufiq kepada saya untuk menjalankan 

164. Page

dakwah ini setelah memberikan nikmat kepada kalian berupa khidmat suci melalui perantara pena. Dan Dia mengaitkan antara kedua hal secara bersamaan, namun kedua hal ini tidak mungkin salah satunya menjadi penyebab bagi yang lain. Karena itulah saya tidak berterima kasih kepada kalian, tapi hanya memberikan ucapan selamat. Kalian pun mendoakan saya dan memberikan ucapan selamat kepada saya, bukannya menyebut-nyebut jasa saya.”


Melalui masalah keempat di atas, terlihat jelas seberapa banyak tingkat kelalaian manusia.

 

Masalah kelima: Sebagaimana sewenang-wenang ketika harta milik jamaah hanya diberikan kepada satu orang saja atau ketika seseorang menguasai harta wakaf milik jamaah, demikian pula halnya jika keberhasilan yang dicapai melalui usaha bersama jamaah atau jika kemuliaan dan kehormatan yang dicapai melalui kebaikan kolektif jamaah hanya disandarkan pada pemimpin jamaah itu atau syaikhnya, maka hal itu merupakan kezaliman terhadap jamaah, juga terhadap si pemimpin dan syaikh mereka. Sebab, hal itu membangkitkan dan menumbuhkan egoisme, mendorong orang lupa diri, mengira dirinya penguasa padahal dia hanya penjaga pintu (bagi jamaahnya). Lebih dari itu, dia telah menzalimi diri sendiri. Bahkan, hal itu bisa menimbulkan semacam syirik tersembunyi.


Ya, seorang komandan batalion yang berhasil membebaskan suatu benteng tak berhak memonopoli hasil rampasan perang yang dicapai batalion tersebut, tak berhak memonopoli kemenangan yang dicapai dan kemuliaan yang diraih.


Ya, hendaknya seorang syaikh atau mursyid tidak dianggap sebagai mata air dan sumber, malah harus diketahui bahwa dia hanya sebatas tempat pantulan dan penampakan.


Sebagai contoh, panas dan cahaya matahari sampai kepada Anda melalui perantara cermin, hingga Anda mengira bahwa cermin itulah sumbernya. Sementara Anda melupakan matahari, Anda memuji-muji dan berterima kasih kepada cermin, sebagai ganti dari penghargaan Anda kepada matahari. Ini namanya dungu dan gila.


Ya, cermin selayaknya dipelihara sebab ia merupakan tempat tajalli dan penampakan. Demikian pula halnya dengan seorang mursyid, jiwa dan hatinya laksana cermin yang memantulkan luapan-luapan yang bersumber dari al-Haq Ta’ala, sementara mursyid menjadi perantara bagi pemantulannya kepada para murid spiritualnya. Karena itu, seorang mursyid tidak sepatutnya diberi kedudukan melebihi kapasitasnya sebagai perantara bagi luapan-luapan tersebut.


Terkadang bisa jadi seorang syeikh yang diyakini sebagai sumber itu bukan merupakan tempat penampakan maupun sumber. Bahkan si murid bisa melihat luapan-luapan yang didapatkannya melalui jalur lain, seakan-akan ia datang dari cermin ruh syeikhnya karena keikhlasannya yang suci murni, dan karena sangat dekatnya dia dengan syeikhnya, serta karena begitu fokus pandangannya pada syeikhnya. Ini laksana orang yang menatapkan pandangan ke arah cermin secara seksama melalui perantara magnet, sehingga di hadapannya terbuka jendela menuju alam mitsal di dalam khayalannya, menyaksikan di dalam cermin itu banyak hal aneh. Padahal, dia tidak melihat hal-hal ini di cermin itu sendiri, tapi melihatnya melalui perantara pandangan seksama di cermin dan tatapan ke dalamnya sebagai jendela yang terbuka menuju khayalannya di luar cermin. Karena itu, murid spiritual yang tulus dari seorang syeikh minus yang tidak sempurna terkadang memiliki kesempurnaan lebih dibanding syeikhnya, kembali membimbing syeikhnya, dan menjadi syeikh bagi syeikhnya.

 


165. Page

Catatan Keempatbelas

 

Mengungkap tentang “empat rumus” kecil seputar tauhid.

 

Rumus pertama: Ketahuilah, wahai orang yang bersandar pada sebab-akibat, engkau “meniup sesuatu yang sama sekali bukan api, dan menganggap bengkak sebagai kegemukan.”


Jika Anda melihat sebuah istana menakjubkan dibangun dari batu-batu mulia yang unik, sementara pada saat pembangunan berlangsung, sebagian dari batu-batu tersebut hanya ada di Cina, sebagian lainnya hanya ada di Andalusia, yang lain hanya ada di Yaman, dan sebagian lainnya hanya ada di Siberia, lalu Anda melihat batu-batu mulia tersebut didatangkan dengan mudah pada hari yang sama dari belahan timur, utara, barat, dan selatan, kemudian istana ajaib itu dibangun, maka masihkah Anda ragu bahwa Zat Pembangun istana ini adalah seorang penguasa yang memiliki mukjizat yang menguasai bola bumi seluruhnya?!


Demikian pula halnya seluruh makhluk hidup istana ilahi, apalagi manusia yang merupakan bagian istana yang paling indah dan paling menakjubkan. Sebagian bebatuan istana yang bernama manusia ini berasal dari alam arwah, sebagian lainnya berasal dari alam mitsal, yang lain berasal dari Lauh al-Mahfudz, ada juga yang berasal dari alam udara, sebagian lagi berasal dari alam cahaya, dan ada juga yang berasal dari alam udara, alam cahaya, dan alam unsur, sehingga kebutuhan-kebutuhannya terus membentang ke keabadian, serta cita harapannya menyebar ke segala penjuru langit dan bumi. Dialah istana menakjubkan dan ajaib yang ikatan-ikatan dan hubungannya menyebar di fase-fase dunia dan akhirat.


Maka, wahai manusia yang merasa dirinya manusia karena memang esensi Anda demikian itu. Tidak mungkin yang menciptakanmu kecuali Zat yang mengatur dunia dan akhirat laksana dua rumah, mengatur bumi dan langit laksana dua lembar kertas, mengurus keazalian dan kekekalan laksana hari ini dan kemarin. Karena itu, sembahan manusia, tempat berlindung, penyelamat dan pembebasnya tidak lain adalah Zat yang mengatur langit dan bumi, yang menguasai kendali dunia dan akhirat.

 

Rumus kedua: Ada sebagian orang bodoh yang jika melihat matahari di cermin, mulai mencintai cermin itu karena tidak mengetahui matahari. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga cermin itu agar matahari yang ada di dalamnya tidak tenggelam. Namun saat si bodoh ini mengetahui bahwa matahari tak mati dengan matinya cermin, dan tak lenyap dengan pecahnya cermin, maka seketika ia mengarahkan seluruh cintanya kepada matahari yang ada di langit. Ia mengerti bahwa matahari yang terlihat di cermin itu bukan ikutan dari cermin, dan bahwa kebakaan matahari juga tidak bergantung pada kebakaan cermin. Justru matahari itulah yang menjadikan cermin demikian, dan yang membuatnya semakin berkilau dan bercahaya. Maka, kebakaan matahari bukan dikarenakannya, tapi kebakaan vitalitas cermin dan kilauannya tak lain bergantung pada kebakaan tajalli matahari.


 Wahai manusia! Hati, identitas, dan esensimu adalah suatu cermin. Cinta kuat untuk hidup abadi yang ada di dalam fitrah dan hatimu bukanlah demi cermin itu, juga bukan karena hati dan esensimu, tapi itu merupakan cinta terhadap tajalli Sang Maha Kekal Maha Agung yang memiliki tajalli sesuai kesiapan cermin. Hanya saja wajah cinta ini beralih ke sisi lain disebabkan kebodohan. Karena kondisinya demikian, maka ucapkanlah, “Wahai Yang Abadi, 

166. Page

Engkaulah yang Abadi” (يَا بَاقٓي اَنْتَ الْبَاقي). Karena Engkau Abadi, maka silahkan kefanaan memperlakukan kami seperti yang Dia kehendaki. Kami tak perduli apa pun yang akan kami hadapi.

 

Rumus ketiga: Ketahuilah wahai manusia! Salah satu hal unik yang disematkan Sang Pencipta Maha Bijaksana dalam esensimu adalah, bisa saja dunia ini tidak muat bagimu hingga kau bilang “Uh uh!” seperti orang terpenjara dan tercekik. Kau meminta tempat yang lebih luas dari dunia. Padahal sudah muat bagimu materi terkecil, memori, dan momen, hingga kau lenyap di dalamnya. Hati dan pikiranmu malah muat bagimu, meski dunia yang begitu besar tak cukup luas bagi keduanya. Engkau berkelana dengan emosimu yang paling intens dalam momen sesaat itu, dalam memori kecil itu.


Dia juga telah memberikan sejumlah indera lembut dan perangkat maknawi di dalam esensimu, sebagiannya bahkan mampu menelan dunia namun tak membuatnya kenyang, sebagiannya yang lain lebih sempit dari atom, dan tak mampu menahan bulu kecil yang tipis. Indera lembut tersebut tak bisa memikul beberapa bulu layaknya kelopak mata memikul alis. Di saat bersamaan, kepala mungkin saja mengangkat batu berat. Yakni, indera lembut tersebut tak mampu memikul kondisi sekecil apa pun yang muncul dari kelalaian dan kesesatan, bahkan mungkin ia padam dan mati.


Mengingat halnya demikian, maka waspadalah, pelankan langkah, jangan sampai kau tenggelam, sehingga bersama Anda akan turut tenggelam pula segala indera lembut Anda yang mampu menelan dunia dalam satu tegukan, satu kata, satu benih, satu kilauan, satu isyarat, atau satu ciuman. Karena di luar sana ada banyak sekali benda kecil parsial yang mampu menelan dan mencakup hal-hal besar sekali dari beberapa sisi, maka pandanglah cermin Anda, bagaimana langit dengan bintang-bintangnya bisa tenggelam di dalamnya. Perhatikanlah lembaran kecil catatan Anda, bagaimana al-Haq Ta’ala mencatat di dalamnya segala amal perbuatan Anda dan sebagian besar yang terjadi dalam lembaran-lembaran umur Anda!

فسُبحَانه مِن قادرٍ قيوم

Maha Suci Zat Yang Maha Kuasa lagi tiada pernah berhenti mengurus makhluk.

 

Rumus keempat: Perhatikanlah wahai manusia yang menyembah dunia. Dunia yang kau bayangkan amat luas itu sejatinya sempit laksana kuburan. Namun karena dinding rumahmu yang sempit laksana kuburan itu terbuat dari kaca, maka kaca-kaca ini saling memantul, sehingga serasa luas sejauh mata memandang. Ia terlihat seluas satu kota, padahal sebenarnya ia sesempit kuburan. Sebab, masa lalu yang merupakan dinding sisi kanan dunia, dan masa depan yang merupakan dinding sebelah kirinya, meski keduanya sebenarnya tidak ada dan tidak berwujud, tapi keduanya laksana dua kaca yang saling berhadapan dan saling memantul satu sama lain. Keduanya membentangkan sayap masa kini yang pendek dan sempit, hingga hakikat bercampur dengan khayalan, sehingga engkau mengira dunia yang tiada ini ada.


 Seperti halnya garis kecil ketika digerakkan dengan cepat terlihat luas laksana permukaan, padahal hakikatnya hanya sebuah garis kecil, seperti itu pula duniamu yang sejatinya sempit, namun dinding-dindingnya melebar banyak karena kelalaian, dugaan, dan khayalanmu. Saat kau bergerak sedikit saja karena musibah yang datang menimpamu di dunia 

167. Page

yang sempit ini, pasti kepalamu akan terbentur dinding yang kau kira jauh sekali, sehingga khayalan yang ada di kepalamu sesaat itu juga lenyap, kantukmu hilang. Ketika itulah kau baru melihat bahwa dunia yang seluas ini pada hakikatnya lebih sempit dari kuburan, lebih lemah dan lebih sempit dari jembatan, usia dan umurmu berlalu lebih cepat dari kilat, dan hidupmu berlalu lebih cepat dari sungai.


Mengingat kehidupan duniawi, jasmani dan hewani seperti ini, maka lepaskan sisi kehewanan dari dirimu, tinggalkan kejasmanianmu, masuklah ke derajat kehidupan hati dan ruhani, maka kau pasti akan menemukan lingkup kehidupan dan alam nur cahaya yang lebih luas dari dunia yang kau duga luas. Kunci alam ini adalah mendorong hati untuk berbicara dan mengoptimalkan fungsi ruhani dengan kalimat suci لآَ اِلٰهَ اِلَّأ اللّٰه “la ilaha illallah

” yang menjelaskan rahasia-rahasia makrifatullah dan wahdaniyah.

 

 

Catatan Kelimabelas

 

Ini terdiri dari tiga permasalahan:

 

Masalah pertama:

 فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. al-Zalzalah [99]: 7-8)


Kedua ayat ini mengisyaratkan tajalli paling sempurna dan paling lengkap dari nama al-Hafidz (Maha Menjaga) di antara al-Asma’ al-Husna.


Jika Anda menginginkan bukti atas hakikat al-Qur’an Hakim ini, lihatlah lembaran-lembaran kitab jagad raya yang tertulis di atas lembaram Kitab Yang Jelas (al-Kitab al-Mubin), niscaya Anda akan melihat tajalli besar nama al-Hafidz dan bandingan hakikat besar ayat ini melalui banyak sisi.


 Sebagai contoh, silahkan Anda mengambil biji benih berbagai pepohonan, bunga dan rerumputan, kemudian tanamlah benih sekepalan tangan yang menyerupai kotak-kotak kecil bagi bunga, pepohonan, dan rerumputan yang beda-beda beragam benihnya dan yang berbeda-beda jenisnya tersebut, di dalam kegelapan tanah yang sederhana, tak bergerak, dan terbatas. Taburkan benih-benih itu di atas tanah, kemudian siramilah dengan air yang tak ada timbangannya dan tak mampu membedakan apa pun. Kemana pun air kau arahkan, ke sanalah ia pergi. Setelah itu perhatikan kala musim semi tiba yang menjadi medan penghimpunan kebangkitan tahunan. Renungkan seruan malaikat guntur yang memanggil hujan di musim semi laksana tiupan sangkakala Israfil a.s, dan kala ia memberi kabar gembira kepada biji-bijian dan benih yang terpendam di dalam tanah untuk ditiupkan ruh. Setelah itu perhatikan, bagaimana benih-benih dan biji-bijian yang sepenuhnya bercampur menjadi satu dan mirip satu sama lain itu secara sempurna melaksanakan perintah-perintah takwiniyah yang datang dari Sang Penciptanya Yang Maha Bijaksana tanpa kesalahan sedikit pun di bawah tajalli nama Al-Hafidz. Semuanya bergerak dengan keselarasan sempurna sesuai 

168. Page

perintah-perintah tersebut. Dari gerakan-gerakannya terpancar kesempurnaan hikmah, ilmu, kehendak, maksud, penglihatan, dan perasaan, karena Anda melihat sendiri benih-benih yang memiliki kesamaan dan kemiripan itu saling membedakan diri satu sama lain. Benih yang ini, misalnya, berubah menjadi pohon tin, dan mulai menyebarkan nikmat-nikmat Sang Pencipta Maha Penyayang di atas kepala kita, menjulurkannya kepada kita dengan tangan ranting-rantingnya. Adapun dua benih ini yang memiliki kemiripan bentuk dengan benih tadi menjadi bunga matahari dan bunga pensy, lalu kedua bunga ini berhias untuk kita, tersenyum di hadapan kita, dan menyukai kita. Biji-bijian lainnya yang di sini menghasilkan buah-buahan yang baik dan lezat, mengeluarkan tunas dan menjadi pepohonan, memenuhi keinginan kita akan rasa buahnya yang manis, baunya yang harum, dan bentuknya yang indah. Ia memanggil kita datang pada dirinya, rela mengorbankan dirinya demi orang yang memungut buahnya, hingga ia naik dari tingkatan tumbuh-tumbuhan ke tingkatan hewani. Selanjutnya silahkan Anda analogikan (lainnya) dengan ini.

Benih-benih dan biji-bijian ini membelah diri, sehingga biji yang hanya satu genggaman tangan tersebut atas izin Sang Penciptanya menjadi kebun penuh dengan aneka ragam bunga dan bermacam pepohonan, tanpa ada kekeliruan, cacat atau pun kekurangan, memperlihatkan rahasia:

فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرٰي مِنْ فُطُورٍ

Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Qs. al-Mulk [67]: 3)

 

Masing-masing benih mempertahankan, tanpa cacat dan kebingungan melalui tajalli nama al-Hafidz (Pemelihara) dan kebaikannya, apa yang diwarisi dari harta induknya dan asal-usulnya, serta menampaknnya. Ini secara pasti mengisyaratkan bahwa Tuhan al-Hafidz Maha Agung yang melakukan kerja penjagaan yang menakjubkan ini, memperlihatkan tajalli penjagaan-Nya yang terbesar pada hari kiamat dan pada hari kebangkitan.


Ya. Penampakan penjagaan yang sempurna di sini dalam hal-hal yang remeh dan lenyap dengan tanpa cela dan kekeliruan hingga sedemikian rupa ini, tidak lain merupakan hujjah pasti bahwa Dia menjaga sesuatu yang mempunyai nilai kepentingan besar dan pengaruh kekal, seperti perbuatan para khalifah bumi dan dan jejak-jejak mereka, karya-karya para pengemban amanat besar dan tutur kata mereka, juga segala kebaikan pada hamba Yang Maha Esa lagi Tunggal serta keburukan mereka.


أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Qs. al-Qiyamah [75]: 36)


Tentu tidak. Manusia pasti dibangkitkan untuk kehidupan abadi. Manusia adalah calon bahagia selamanya atau celaka selamanya. Selanjutnya, dia akan dipanggil untuk dihisab semua tindakannya, kecil dan besar, banyak dan sedikit. Dia mungkin akan menerima balasan baik, atau mungkin hukuman.


Demikianlah. Masih banyak lagi bukti-bukti tak terbatas atas tajalli terbesar penjagaan amal perbuatan, dan atas bukti-bukti hakikat ayat tersebut. Bukti-bukti yang kami jelaskan di sini dalam masalah ini tidak lain hanyalah setetes air laut, satu titik kecil di tengah padang pasir yang luas, dan butir pasir di tengah padang yang luas.


169. Page

Catatan Keenambelas

 

Ini adalah Risalah Alam yang tertera dalam “Lama’at ke-23.”

 

 

Catatan Ketujuhbelas

 

Tiga masalah dalam catatan ini sudah tertera dalam “Lama’at ke-20,” “Lama’at ke-21,” dan “Lama’at ke-22.”


سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا اِلَّأ مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَليمُ الْحَكيمُ

Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)