NAVIGATION
96. Page
SURAT KEDELAPAN BELAS
باسمه
وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ
Dengan Nama-Nya
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)
Surat ini terdiri dari tiga permasalahan penting.
Masalah Penting Pertama
Wali-wali terkenal seperti Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi penulis buku al-Futuhat al-Makkiyyah dan Sayyid Abdul Karim (al-Jili) penulis buku ternama berjudul al-Insan al-Kamil, membahas tentang tujuh lapisan bumi dan bumi putih di balik Pegunungan ‘Kaf.’ Dalam al-Futuhat al-Makkiyyah, mereka membicarakan tentang serangkaian keajaiban yang disebut sebagai bumi masymasyiyah. Mereka mengaku melihat bumi itu. Apakah kata-kata mereka ini benar? Bagaimana bisa dikatakan benar, sementara bumi seperti itu tidak ada di tempat mana pun di muka bumi ini?!
Di saat yang bersamaan, ilmu geografi dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya tidak bisa menerima kata-kata mereka ini! Jika tidak benar, bagaimana bisa mereka menjadi wali? Bagaimana orang yang mengeluarkan kata-kata yang berseberangan dengan kenyataan dan kebenaran seperti ini disebut sebagai ahli hakikat?
Jawab: Mereka adalah ahli kebenaran dan hakikat, di samping mereka juga wali dan ahli musyahadah. Apa yang mereka lihat adalah benar adanya. Hanya saja, sebagian di antaranya salah, karena mereka tidak berhak menyebut hukum-hukum seputar kondisi syuhud yang mustahil mereka kuasai, dan seputar tafsir atas apa yang mereka saksikan seperti mimpi.
Seperti halnya orang yang tengah bermimpi tidak bisa menafsirkan mimpinya, demikian pula ahli mukasyafah dan syuhud seperti mereka ini tidak bisa menafsirkan apa yang mereka lihat selama mereka masih berada dalam kondisi tersebut. Yang bisa menafsirkan hanyalah para muhaqqiq, para pewaris nubuwah yang disebut sebagai orang-orang pilihan. Ketika para ahli syuhud seperti mereka ini mencapai tingkatan orang-orang pilihan, mereka pasti mengetahui kesalahan-kesalahan mereka melalui tuntunan Kitab dan Sunnah, lalu mereka ralat kesalahan-kesalahan itu. Dan mereka benar-benar melakukan peralatan itu.
97. Page
Silahkan Anda dengarkan cerita perumpamaan yang menjelaskan hakikat di atas:
Dulu kala, ada dua penggembala yang sama-sama orang sufi. Suatu ketika, keduanya memerah susu dengan wadah kayu. Setelah itu mereka letakkan susu tersebut di dekat mereka berdua. Keduanya meletakkan flute (alat musik tiup) di atas wadah susu tadi. Salah satunya mengantuk lalu tidur sesaat. Yang satunya lagi selalu mengawasi temannya yang tidur. Ia kemudian melihat seekor serangga seperti lalat keluar dari hidungnya. Hewan tersebut kemudian menatap ke wadah susu tadi, setelah itu masuk ke dalam salah satu lubang flute dan keluar dari sisi lubang lainnya. Setelah itu ia masuk di balik celah sejenis tanaman berduri dan bersembunyi. Tidak lama setelah itu hewan tersebut kembali dan masuk ke dalam flute lagi, setelah itu masuk ke dalam lubang hidung temannya yang terlelap itu.
Saat temannya bangun, ia berkata, “Kawan, saya bermimpi aneh.”
“Semoga mimpi baik, apa itu?” tanya temannya.
Ia menuturkan, “Saya memimpikan sebuah lautan susu, di atasnya ada jembatan luar biasa, jembatannya beratap dan tertutup, dan memiliki beberapa jendela. Aku kemudian melintasi jembatan itu. Aku melihat hutan pepohonan ek yang bagian atasnya tajam, di bawahnya ada gua, lalu saya masuk ke dalam gua itu. Di sana saya melihat harta simpanan besar berupa emas. Apa gerangan tafsir mimpi ini?”
Temannya yang sedari tadi terjaga itu menjawab, “Lautan susu yang kau impikan itu adalah wadah kayu ini, jembatan itu adalah flute kita ini, hutan pepohonan ek dengan bagian ujung tajam itu adalah tanaman-tanaman berduri ini, gua itu adalah jendela ini. Berikan saya cangkul, akan saya perlihatkan harta simpanan itu.”
Ia kemudian mengambil cangkul, lalu keduanya menggali di bawah tanaman-tanaman berduri itu, lalu keduanya menemukan harta simpanan emas yang membuat keduanya senang di dunia.
Impian temannya yang tidur ini benar adanya, dan ia memimpikan sesuatu yang benar. Hanya saja karena ia tidak mengetahui dan tidak menguasai alam mimpi, ia tidak berhak menafsirkan mimpinya itu. Karena ia juga tidak bisa membedakan antara alam materi dan alam maknawi, sehingga ada di antara sebagian hukum yang disebut salah, karena itulah si pemimpi itu berkata, “Aku memimpikan lautan materi hakiki.” Namun temannya yang sedari tadi tidak tidur itu memberikan penjelasan karena ia bisa membedakan mana alam perumpamaan dan alam materi, karena ia berhak untuk menafsirkan mimpi tersebut, “Lautan yang kau impikan itu benar adanya, tapi bukan lautan sebenarnya. Karena khayalan, wadah susu ini menjadi seperti lautan, flute ini menjadi seperti jembatan,” dan seterusnya.
98. Page
Karena itu, alam materi dan alam spiritual harus dibedakan. Ketika keduanya disatukan, pasti ada kesalahan hukum.
Contoh:
Anggap saja Anda memiliki ruangan sempit, namun di setiap sisi dinding ruangan Anda dipasang cermin-cermin besar. Saat Anda memasuki ruangan sempit ini, Anda melihatnya luas sekali seluas lapangan. Jika Anda mengatakan, “Menurut saya, ruangan saya ini luas, selebar lapangan yang luas,” kata-kata Anda benar. Namun jika Anda bilang, “Ruangan saya ini luas seperti lapangan,” Anda salah, karena dalam kondisi ini Anda mencampur aduk antara alam perumpamaan dengan alam nyata.
Karena itu, penjelasan sebagian ahli mukasyafah terkait tujuh lapis bumi tanpa mereka takar dengan neraca al-Qur’an dan sunnah, tidak sebatas pada posisi materi bumi menurut ilmu geografi.
Sebagai contoh, mereka menyatakan bahwa salah satu tingkatan bumi dihuni para jin dan Ifrit, luasnya sejauh perjalanan ribuan tahun. Padahal bumi kita ini mungkin bisa dikelilingi dalam jangka waktu satu atau dua tahun, tidak mungkin jika di dalamnya ada tingkatan-tingkatan bumi yang seaneh itu. Namun jika kita anggap bumi kita ini seperti biji pohon cemara di alam maknawi, alam perumpamaan, alam barzakh, dan alam ruhani, maka pohon perumpamaan yang terbentuk dari biji kecil itu akan berubah seperti pohon cemara besar.
Karena itulah sebagian ahli musyahadah saat melakukan perjalanan ruhani melihat sebagian tingkatan bumi yang luas sekali di alam perumpamaan, seakan dalam pandangan mereka seluas perjalanan ribuan tahun. Apa yang mereka lihat ini benar adanya. Hanya saja karena alam perumpamaan mirip dengan alam materi secara lahiriah, mereka melihat kedua alam ini bercampur menjadi satu, lalu mereka tafsirkan sesuai penyatuan kedua alam ini. Begitu kembali ke alam sadar, mereka menulis apa yang mereka saksikan apa adanya. Mengingat kesaksian-kesaksian mereka ini disampaikan tanpa standar dan ukuran, tidak heran jika dikira berseberangan dengan kenyataan dan kebenaran. Seperti halnya keberadaan sebuah istana besar atau taman besar di alam perumpamaan tercakup dalam sebuah cermin kecil, seperti itu juga perjalanan setahun di alam materi mencakup perjalanan alam perumpamaan dan hakikat-hakikat maknawi seluas ribuan tahun.
Penutup:
Melalui penjelasan ini, jelas bahwa tingkatan musyahadah jauh di bawah tingkatan keimanan kepada hal gaib. Artinya, musyahadah-musyahadah terbatas yang dialami sebagian wali yang hanya bertumpu pada musyahadah-musyahadah saja, mereka ini tidak mencapai tingkatan orang-orang pilihan dan ahli tahqiq –para pewaris nubuwah- yang bersandar pada al-Qur’an dan wahyu, bukan pada
99. Page
musyahadah dalam mencapai hakikat-hakikat keimanan kepada alam gaib yang jernih, benar dan meliputi.
Dengan demikian, ukuran seluruh ahwal, mukasyafah, dzauq dan musyahadah adalah ukuran al-Qur’an dan sunnah. Undang-undang suci al-Qur’an dan sunnah, serta aturan-aturan intuisi orang-orang pilihan dan para ahli tahqiq, menjadi barometer dan standar untuk semua itu.
Masalah Penting Kedua:
Pertanyaan:Wihdat al-wujud (panteisme) dinilai sebagai maqam paling tinggi dan paling mulia oleh kebanyakan orang, padahal faham ini tidak terlihat dengan jelas di kalangan para sahabat yang berada di tingkatan wali terbesar, khususnya empat khalifah Rasulullah S.a.w, juga para imam ahlul bait khususnya lima anggota Alu al-Abba,[1] serta para ahli ijtihad dan tabi’in, khususnya empat imam madzhab. Apakah gerangan mereka ini didahului oleh orang-orang yang datang berikutnya, lalu generasi yang datang berikutnya ini menemukan jalan lain yang lebih baik dari jalan mereka?
Jawab: Mustahil! Tidak mungkin ada seorang pun yang bisa mendahului orang-orang pilihan di mana mereka adalah bintang-bintang yang paling dekat dengan matahari risalah itu. Mereka adalah pewaris risalah paling dekat. Yang benar, jalan terbesar itulah jalan mereka.
Wihdat al-wujud (panteisme) adalah manhaj, kondisi, dan tingkatan yang tidak sempurna, namun memiliki kenikmatan tersendiri. Mereka yang memasuki tingkatan ini di tengah perjalanan spiritual, akan tetap berada di sana dan tidak akan mau keluar karena dikiranya sudah berada di tingkatan paling puncak.
Apabila penganut faham ini memiliki ruhani yang terlepas dari segala materi dan perantara, merobek tirai-tirai segala sebab, ia akan meraih syuhud mirip kondisi orang yang tenggelam dalam cinta, hingga mungkin saja wihdat al-wujud sesaat tercapai, bukannya wihdat al-wujud secara ilmu, juga meraih kesempurnaan dan maqam tinggi dari wihdat al- syuhud, bukannya wihdat al-wujud. Atau mungkin juga sampai pada tingkat mengingkari jagad raya karena Allah.
Namun jika ruhani orang yang tenggelam dalam sebab-sebab, merasuk ke dalam materi hingga dalam, maka faham wihdat al-wujud yang ia nyatakan itu bisa menjurus pada pengingkaran terhadap keberadaan Allah demi jagad raya.
[1]Alu al-Abba` adalah Ali, Fathimah al-Zahrah, Hasan dan Husain yang diselimuti Nabi S.a.w dengan pakaian beliau, sehingga lima orang ini disebut Alu al-Abba`.
100. Page
Ya, jalan terbesar adalah jalan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang pilihan. “Hakikat segala sesuatu benar adanya” (حقائق الأشياء ثابتة)adalah kaidah umum bagi mereka. Allah tidak memiliki padanan sesuai kandungan ayat:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Qs. al-Syura [42]: 11)
Allah Maha Suci dari tempat, tidak terbagi, hubungan-Nya dengan semua wujud adalah hubungan penciptaan. Semua wujud yang ada bukanlah waham ataupun hayalan seperti yang diklaim para penganut faham wihdat al-wujud. Lebih dari itu, segala sesuatu yang terlihat adalah atsar (karya-karya) Allah. Segala sesuatu bukanlah ‘Dia’,[1] tapi segala sesuatu adalah ‘dari Dia’.[2]
Permasalahan ini akan kami permudah dengan dua perumpamaan berikut ini:
Perumpamaan pertama: Misalkan ada seorang raja. Melalui namanya sebagai “Penguasa Adil,” dia memiliki Kementerian Keadilan yang menampakkan manifestasi nama yang disandangnya. Ia juga menyandang nama Khalifah, dan Kantor Syeikh al-Islam dan lembaga ilmiah merupakan manifestasi nama tersebut. Ia juga menyandang nama Panglima Besar. Dengan nama ini, ia bekerja dalam lingkup militer, di mana pasukan yang ada merupakan perwujudan dari nama ini.
Misalkan ada seseorang menentang sambil berkata, “Si raja itu hanya seorang penguasa adil saja, dan tidak ada lingkup lain selain lingkup keadilan,” otomatis para pejabat dan pegawai di KementerianKeadilan dalam kapasitas mereka sebagai ulama hanya nominal belaka dan tidak nyata, Kantor Syeikh yang ada di dalam Kementerian Keadilan hakiki hanya sebagai bayangan semata, kondisi-kondisi dan protekoler-protekoler dalam lingkup militer hanya sebatas asumsi belaka di antara para pegawai dalam lingkup keadilan tersebut. Ada lingkup militer yang tidak nyata, dan begitu seterusnya.
Dalam kondisi seperti ini, nama hakiki sang raja ini adalah “Penguasa Adil.” Kekuasaan hakiki adalah kekuasaannya dalam lingkup keadilan. Sementara nama khalifah, panglima besar, raja, sultan, dan nama-nama lainnya, tidak nyata. Bahkan iktibariyyah. Nama-nama hakiki menuntut adanya lingkup-lingkup hakiki pula. Dengan demikian, kuasa uluhiyah mengharuskan banyaknya nama-nama suci, seperti al-Rahman (Maha Pengasih), al-Razzaq (Maha Pemberi rizki), al-Wahhab (Maha Pemberi), al-Khallaq (Maha Pencipta), al-Fa’’al (Maha Berbuat), al-Karim (Maha Mulia), al-Rahim (Maha
[1]Hamah ausat(Segala sesuatu bukanlah Dia).
[2]Hamah az ausat (Segala sesuatu berasal dari-Nya).
101. Page
Penyayang), dalam bentuk yang sebenarnya. Nama-nama hakiki ini juga mengharuskan adanya cermin-cermin hakiki.
Mengingat para penganut faham wihdat al-wujud menyatakan, “Tidak ada wujud selain Dia,” dan meruntuhkan hakikat segala sesuatu hingga sampai pada titik khayalan, maka nama-nama Allah seperti Wajib al-Wujud (kausa prima), Maujud (Maha Wujud), al-Wahid (Maha Esa), dan al-Ahad (Maha Tunggal), adalah manifestasi dan lingkup hakiki. Jika lingkup dan manifestasinya tidak hakiki, berarti nama-nama tersebut hanya hayalan belaka dan tidak ada, sehingga sama sekali tidak merugikan ada nama-nama hakiki. Lebih dari itu, jika dalam cermin wujud hakiki tidak ada warna wujud, tentu cermin akan lebih bersih dan lebih berkilau. Menurut faham wihdat al-wujud, manifestasi Nama-nama Allah, seperti al-Rahman (Maha Pengasih), al-Qahhar (Maha Perkasa), al-Khallaq (Maha Pencipta), hanya bersifat nominal belaka dan bukan hakiki. Namun Nama-nama itu yang seperti al-Maujud (Maha Ada) tidak mungkin bayangan, karena nama ini asli.
Karena itu, para sahabat, orang-orang pilihan, para ahli ijtihad, dan para imam ahlul bait menyatakan, “Hakikat segala sesuatu adalah tetap” (حقائق الأشياء ثابتة). Artinya, Allah memiliki manifestasi-menifestasi hakiki dengan seluruh Nama-Nya, dan seluruh Nama memiliki wujud non-esensi melalui penciptaan Allah. Meski wujud tersebut hanya bayangan yang tidak konstan jika dibandingkan dengan keberadaan Zat yang Wajib Ada, namun bukan hayalan ataupun waham. Allah memberikan wujud untuk segala sesuatu atas Nama al-Khallaq (Maha Pencipta) dan mengabadikan keberadaannya.
Perumpamaan kedua: Ada empat cermin besar di empat dinding rumah. Bentuk rumah tergambar melalui setiap cermin, juga melalui tiga cermin lain. Hanya saja setiap cermin memantulkan obyek-obyek sesuai kondisi dan warnanya, dan setiap cermin laksana rumah perumpamaan khusus bagi setiap cermin. Misalkan ada dua orang memasuki ruangan ini, lalu masing-masing melihat ke arah cermin berbeda dan berkata, “Segala sesuatu ada di dalam cermin ini.” Selanjutnya ketika ia mendengar adanya cermin lain dan adanya obyek-obyek berbeda yang memantul dalam cermin tersebut, segala obyek yang ia dengar sebelumnya sama seperti bagian kecil dari cermin tersebut yang menjadi bayangan dua kali lebih kecil, hakikatnya juga mengecil dan berubah, lalu ia berkata, “Saya melihat seperti ini, dengan demikian hakikatnya seperti ini.”
Orang yang satunya lagi berkata, “Ya, kau melihat, dan apa yang kau lihat benar adanya. Namun gambaran hakikat sebenarnya tidak seperti itu, karena di luar sana ada cermin-cermin lain, bukan cermin yang kau lihat, juga bukan bayangan untuk bayangan kecil seukuran yang kau lihat!”
102. Page
Karena itu, setiap nama-nama Ilahi mengharuskan adanya cermin tersendiri, seperti nama al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Razzaq (Maha Pemberi rizki). Karena kedua nama ini hakiki dan asli, keduanya mengharuskan adanya wujud-wujud yang patut bagi keduanya yang memerlukan rizki dan rahmat.
Seperti halnya nama al-Rahman (Maha Pengasih) mengharuskan adanya makhluk-makhluk bernyawa yang memerlukan rizki, juga mengharuskan siapa pun yang memiliki wujud hakiki di dunia hakiki, seperti itu juga nama al-Rahim (Maha Penyayang), yang mengharuskan adanya surga hakiki.
Jika nama-nama hakiki hanyalah nama-nama Wajib al-Wujud (kausa prima), Maujud (Maha Wujud), al-Wahid (Maha Esa), dan al-Ahad (Maha Tunggal) saja, kemudian nama-nama lain disertakan sebagai bayangan bagi nama-nama ini, tentu saja anggapan ini menzalimi nama-nama tersebut.
Berdasarkan rahasia ini, jalan terbesar adalah jalan para pemilik kewalian terbesar. Mereka adalah para sahabat, orang-orang pilihan, para tabi’in, para imam ahlul bait, para imam ahli ijtihad yang berada di tingkatan pertama, juga termasuk murid-murid al-Qur’an secara langsung.
سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia). (Qs. Ali ‘Imran [3]: 8)
اللهم صل و سلم على من أرسلته رحمة للعالمين و على آله و صحبه أجمعين
Ya Allah! Limpahkanlah rahmat kepada rasul yang Engkau utus sebagai rahmat bagi seluruh alam, keluarga, dan para sahabatnya.
Masalah Ketiga:
Masalah penting yang tak mungkin dibahas dengan akal dan filsafat:
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Setiap waktu dia dalam kesibukan. (Qs. al-Rahman [55]: 29)
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (Qs. al-Buruj [85]: 16)
103. Page
Pertanyaan: Apa rahasia kesibukan tiada henti di jagad raya yang mencengangkan akal ini, dan apa hikmahnya? Mengapa makhluk-makhluk yang terus bergerak ini tidak bisa diam, dan mengapa selalu berputar dan muncul silih berganti?
Jawab: Untuk menjelaskan hikmah ini diperlukan seribu halaman. Karena itu, kami tidak akan menjelaskannya secara panjang lebar, hanya akan menjelaskan ringkasannya yang pendek dalam dua halaman berikut:
Ketika seseorang menjalankan tugas fitrah atau tugas sosial dengan penuh idealisme, semangat dan kerinduan, siapa pun yang menyaksikan orang tersebut dengan penuh perhatian pasti mengetahui ada dua hal yang mendorong untuk menjalankan tugas yang dijalaninya tersebut:
Pertama, kepentingan dan manfaat yang ada di balik pekerjaan tersebut. Inilah yang disebut ‘illah ghayah (alasan tujuan).
Kedua, cinta, kerinduan dan kenikmatan yang mendorong orang tadi menjalankan tugas tersebut dengan penuh semangat dan idealisme. Inilah yang disebut sebagai da’i dan muqtadhi (motivasi dan dorongan).
Contoh: Makan adalah kenikmatan dan keinginan yang muncul karena selera, di mana kedua rasa ini mendorong orang untuk makan. Hasil makan selanjutnya adalah untuk memberikan asupan gizi tubuh dan meneruskan kehidupan. Demikian halnya dengan Allah –dan milik Allah jua perumpamaan nan tinggi- kesibukan tiada henti yang mencengangkan akal di jagad raya ini bersandar pada dua nama Ilahi demi dua hikmah luas tanpa batas sebagai berikut:
Pertama, nama-nama Allah yang indah memiliki banyak manifestasi beragam tak terbatas. Variasi makhluk-makhluk semata muncul berdasarkan variasi manifestasi - manifestasi ini. Nama-nama ini terus menuntut untuk terlihat, maksudnya ingin menampakkan ukiran-ukirannya. Dengan kata lain, nama-nama Ilahi ingin melihat dan memperlihatkan manifestasi keindahannya di cermin-cermin ukirannya, ingin memperbarui buku jagad raya dan tulisan-tulisan wujud setiap waktu. Artinya, nama-nama Ilahi mengharuskan untuk menulis buku jagad raya secara silih berganti, penuh dengan makna, ingin menampakkan dan memperlihatkan seluruh tulisan di hadapan Zat Suci yang disebut Maha Suci, juga di hadapan pandangan siapa pun di antara makhluk pemilik perasaan yang menatap.
Sebab dan hikmah kedua: Seperti halnya kesibukan yang ada di dalam semua wujud muncul karena selera, kerinduan, dan kenikmatan, bahkan setiap kesibukan itu sendiri adalah bagian dari kenikmatan, demikian pula halnya dengan Zat yang wajib ada, Ia memiliki kerinduan dan cinta suci tanpa batas, kerinduan dan cinta yang patut bagi-Nya, selaras bagi Zat dan kekayaan mutlak-Nya. Ia memiliki kerinduan suci tak terbatas yang muncul dari kasih sayang dan cinta suci. Ia memiliki
104. Page
kebahagiaan suci tak terbatas yang muncul dari kerinduan suci. Ia memiliki –kalau boleh dibilang- kenikmatan suci tak terbatas yang muncul dari kesenangan suci itu.
Selain itu, Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang juga memiliki –kalau boleh dibilang- keridhaan dan kebanggaan suci yang muncul dari kasih sayang tak terbatas, yang berasal dari Zat suci, muncul dari keridhaan dan kesempurnaan seluruh makhluk yang berasal dari kekuatan yang mereka miliki dari lingkup kekuatan terpendam ke lingkup kekuatan nyata yang menyempurnakan keridhaan dan kesempurnaan di balik kuasa. Semua ini mengharuskan kesibukan tak terbatas dalam bentuk tak terbatas pula.
Karena filsafat, ilmu pengetahuan, dan hikmah tidak mengetahui dua hikmah ini, mereka mencampur-aduk alam yang tidak memiliki perasaan dan pemahaman, kebetulan buta, dan sebab-sebab mati, dengan kesibukan yang mengisyaratkan ilmu, hikmah, dan pandangan tanpa batas, hingga mereka jatuh dalam gelapnya kesesatan tanpa mendapat petunjuk menuju cahaya hakikat.
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Katakanlah, “Allah-lah (yang menurunkannya).” Kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (Qs. al-An’am [6]: 91)
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia). (Qs. Ali ‘Imran [3]: 8)
اللهم على كاشف طلسم الكائنات بعدد ذرات الموجودات و على آله ما دامت الأرض و السماوات
Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada pengungkap teka-teki seluruh wujud sebanyak bilangan atom-atom seluruh wujud, limpahkan pula kepada keluarga dan para sahabatnya selama langit dan bumi masih ada.
الباقي هو الباقي
س.ع.