Surat Kedua Puluh Delapan

238. Page

SURAT KEDUA PULUH DELAPAN

 

Catatan ini terdiri dari “delapan permasalahan”

 

Permasalahan Pertama

Risalah Pertama

 

بسم الله الرحمن الرحيم

إِن كُنتُمْ لِلرُّؤْيَا تَعْبُرُونَ

Jika kamu dapat mena'birkan mimpi. (Qs. Yusuf [12]: 43)

 

 Yang Kedua: Saat ini, kau meminta saya untuk menafsirkan mimpimu yang dulu, yang tafsirnya terlihat nyata tiga hari setelah kau menemuiku tiga tahun silam. Bukankah saat ini saya punya hak untuk menuturkan kata-kata selepas mimpi indah penuh berkah yang memberikan pertanda baik yang sudah lama berlalu dan menampakkan maknanya:


نه شبم نه شب يرستم من غلام شمشم أز شمس مي مويم خبر

آن خيالاتي كه دام أولياست عكس مهرويان بوستان خداست

Aku bukan malam hari, juga bukan budak malam hari

Tapi aku adalah pelayan matahari, dan dari sanalah aku datang membawakan berita untuk kalian.[1]

Hayalan-hayalan ini menjadi jerat bagi para wali,

Padahal ia adalah manifestasi bunga taman Allah[2]

Ya. Saudaraku! Kita telah terbiasa untuk sama-sama mengingat-ingat tentang hakikat kebenaran murni. Karena pembahasan hakikat dalam bentuk tafsir mimpi –yang pintunya terbuka untuk khayalan– tidak selaras secara sempurna dengan manhaj tahqiq, berikut akan kami jelaskan “Enam Nuktah Hakikat” dalam kaitannya dengan tidur secara khusus yang merupakan saudara kematian. Kami akan menjelaskan nuktah-nuktah ini secara ilmiah berdasarkan sejumlah aturan dan pengetahuan dengan cara seperti yang diisyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Pada nuktah ketujuh, kami akan menjelaskan tentang tafsir mimpi secara singkat.


[1]Nah syabam syab yerestam man ghulam, Syamsam az syams mi kuwaim khabar.

[2]An khayalati kih dam waliyast ‘aks, Mahrawayan bustan khadast.




239. Page

Pertama: Seperti halnya asas penting surat Yusuf adalah mimpi Yusuf, demikian juga dengan sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, seperti:


وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. (Qs. al-Naba` [78]: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa di dalam mimpi dan tidur terdapat sejumlah hakikat besar yang terpendam di balik tabir.

Kedua: Para ahli hakikat tidak menyetujui tafaul(ramalan)dengan al-Qur’an atau bersandar pada mimpi, karena al-Qur’an sering kali melarang dengan keras orang-orang kafir yang mencari ramalan ituuntuk sesuatu. Ketika larangan keras al-Qur’an ini berlaku bagi orang yang demikian, hal itu karena hal tersebut akan menimbulkan keputusasaan dan mengganggu hati.

Selain itu, mimpi kadang dikira orang sebagai mimpi buruk, padahal sebenarnya mimpi baik, sehingga menimbulkan rasa putus asa, menghancurkan kekuatan maknawi, dan mendorong untuk berburuk sangka. Ada banyak sekali mimpi yang bentuknya menakutkan, membahayakan, dan keruh, namun tafsir dan maknanya sangat bagus sekali.

Tak semua orang bisa menemukan hubungan antara mimpi dengan kenyataan maknanya, sehingga ia merasa resah tanpa alasan, merasa putus asa dan bersedih.

Karena alasan inilah, di bagian awal risalah ini saya katakan, “Aku bukan malam hari,” seperti yang dikatakan ahli hakikat dan Imam Rabbani.

Ketiga: Satu di antara empatpuluh bagian nubuwah tampak dalam bentuk mimpi yang benar, seperti disebutkan dalam hadits shahih.[1] Dengan demikian, mimpi yang benar adalah hakikat, sekaligus memiliki hubungan dengan tugas-tugas nubuwah.

Mengingat masalah ketiga ini penting, panjang lebar, mendalam, dan terkait dengan nubuwah, kami akan membahas poin ini di lain waktu, dan tidak bisa kami bahas sekarang.

Keempat: Mimpi ada tiga macam, dua di antaranya termasuk mimpi hampa (أضغاث أحلام) seperti yang disampaikan al-Qur’an, dan tidak patut untuk ditafsirkan, juga tidak penting. Bahkan, meskipun mempunyai makna, karena mimpi seperti ini mungkin disebabkan oleh daya imajinasi yang menciptakan gambaran-gambaran sesuai penyakit yang disebabkan penyimpangan watak seseorang,

[1] Hadits “Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian di antara empatpuluh bagian nubuwah” diriwayatkan al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, hadits nomor 2278; al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 462; Abu Ya’la, hadits nomor 6706; Imam Ahmad dalam al-Musnad, hadits nomor 12668 dan 16242. Riwayat al-Thabrani dengan lafazh; “Mimpi adalah satu bagian di antara empatpuluh bagian nubuwah, dan mimpi berada di kaki burung. Ketika ditafsirkan, ia pasti terjadi.” Baca; al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 461.




240. Page

atau karena hayalan mengingatkan seseorang pada kejadian-kejadian yang mengesankan yang dialami pada siang hari, atau sehari sebelumnya, atau bahkan dua tahun sebelumnya. Kejadian-kejadian tersebut diubah dan diberi bentuk lain. Kedua jenis mimpi ini adalah mimpi hampa tanpa makna yang tak patut ditafsirkan.

Jenis ketiga adalah mimpi yang benar, kala kelembutan rabbani yang ada dalam esensi manusia menemukan saluran dan hubungan dengan alam gaib secara langsung, sementara perasaan dan emosi tetap terkait dengan alam nyata. Mimpi membuka celah menuju alam gaib dan menatap dari sela-sela serangkaian kejadian yang siap terjadi, dan melihat sebagian manifestasi Lauhul Mahfuzh, atau sebagian contoh catatan-catatan takdir, melihat sebagian kejadian-kejadian hakiki. Hanya saja khayalan kadang terlibat di sana dan mengemas kejadian-kejadian tersebut berbentuk bayangan.

Mimpi ini memiliki banyak jenis dan tingkatan. Kadang suatu peristiwa terjadi tepat seperti yang dimimpikan seseorang, kadang terjadi di balik tirai tipis, kadang tertutup tirai yang amat tebal.

Disebutkan dalam hadits, mimpi Rasulullah S.a.w di awal-awal wahyu terwujud nyata dengan jelas, sejelas tersingkapnya pagi.[1]

Kelima: Mimpi yang benar meningkatkan firasat terhadap suatu kejadian sebelum terjadi. Firasat akan sesuatu dimiliki setiap orang, baik dalam kapasitas kecil maupun menyeluruh, bahkan juga dimiliki hewan.

Bahkan suatu ketika, saya menerawang –melalui ilmu– ada dua indera lain dalam diri manusia dan hewan tak ubahnya seperti indera penglihatan dan pendengaran. Kedua indera ini bernama sa`iqah (indera penuntun) dan sya`iqah (indera pembangkit rasa cinta), di samping indera-indera lahir-batin yang sudah ada, juga firasat akan sesuatu sebelum terjadi. Hanya saja orang-orang sesat dan para filosof menyebut indera ini secara keliru, juga disebabkan karena ketidaktahuan sebagai dorongan naluri. Mustahil jika indera ini adalah dorongan naluri. Yang benar, takdir Ilahi menuntun manusia dan hewan dengan semacam ilham fitrah.

Contohnya, kucing dan hewan-hewan lainnya ketika mengalami kebutaan, melakukan tindakan-tindakan tertentu atas dorongan takdir, lalu menemukan tanaman yang menjadi obat mata, lalu ia usap-usapkan tanaman tersebut ke mata, akhirnya matanya sembuh.

Demikian pula burung-burung pemakan daging seperti elang yang laksana petugas-petugas kesehatan yang ditugaskan untuk menghilangkan bangkai-bangkai hewan darat karena dorongan takdir

[1] Hr. Al-Bukhari, hadits nomor 3, 4670, 6581; Muslim, hadits nomor 160; Hakim, hadits nomor 4843; Ibnu Hibban, hadits nomor 33; al-Baihaqi, hadits nomor 17499; al-Tirmidzi, hadits nomor 3632; Abu Awanah, hadits nomor 328; Abdurrazzaq, hadits nomor 9719; Imam Ahmad bin Hanbal, hadits nomor 25243.




241. Page

dan ilham perasaan, juga berdasarkan dorongan Ilahi akan keberadaan bangkai hewan sejauh perjalanan satu hari, dan ia pun menemukan bangkai itu.

Tidak berbeda dengan anak lebah yang baru dilahirkan yang belum genap berusia sehari, ia langsung terbang ke udara dan menempuh jarak sejauh perjalanan satu hari penuh, kemudian pulang berdasarkan dorongan takdir dan ilham yang menuntun kembali ke rumahnya tanpa tersesat di udara, lalu masuk ke dalam sarang.

Bahkan tidak jarang orang membicarakan tentang seseorang misalnya, kemudian tanpa diduga ketika pintu dibuka, orang yang dibicarakan ada di depan pintu, sampai-sampai ada pepatah dalam bahasa Kurdi menyatakan: Nawikribinah yalandarali warin (نَاوِكَرِبينَه بالاندَارلِي ورِين), artinya saat kau menyebut-nyebut serigala, persiapkan tongkat untuk memukul, karena si serigala itu pasti datang.

Dengan demikian, kelembutan rabbani merasakan kedatangan orang tersebut melalui firasat secara garis besar. Hanya saja, kesadaran akal tak bisa menjangkaunya, karena itulah akal mendorong yang bersangkutan untuk menyebut-nyebut orang tadi secara tidak sengaja dan tanpa disadari. Ahli firasat sesekali mengartikan kejadian ini sebagai karamah.

Bahkan, perasaan seperti ini terasa kuat dalam diri saya selang berapa lama. Saya bermaksud mengikat kondisi ini dengan kaidah dan aturan tertentu, hanya saja saya tidak menemukan kaidah yang tepat. Firasat seperti ini akan semakin kuat dan tersingkap bagi orang-orang shalih, khususnya para wali. Firasat ini bisa memperlihatkan jejak-jejaknya seperti karamah. Kalangan awam juga memiliki semacam kewalian, karena mereka melihat hal gaib dan kejadian-kejadian masa depan dalam mimpi yang benar, seperti yang dimimpikan para wali.

Seperti halnya tidur memiliki tingkatan laksana kewalian bagi orang-orang awam dari sisi mimpi yang benar, mimpi juga laksana layar film rabbani yang indah dan menawan. Orang yang berakhlak baik tentu memikirkan hal-hal baik, dan siapa yang memikirkan hal-hal baik, ia akan memimpikan kejadian-kejadian yang indah menawan.

Sebaliknya, karena orang yang berakhlak tidak baik hanya memikirkan hal-hal buruk, otomatis yang ia mimpikan juga kejadian-kejadian buruk.

Bagi setiap orang, mimpi adalah jendela dari alam nyata menuju alam gaib.

Mimpi juga merupakan ruang manusia yang terikat dan fana ini untuk terlepas bebas, mimpi adalah ruang musyahadah yang meraih semacam keabadian. Masa lalu dan masa depan dalam mimpi laksana masa sekarang.

Selain itu, mimpi juga merupakan istirahat bagi para pemilik ruhani yang lemah dalam menghadapi beban hidup dan mengalami beban berat.


242. Page

Berdasarkan semua rahasia ini dan juga rahasia-rahasia lain, al-Qur’an mengajarkan hakikat tidur dengan penuh perhatian melalui sejumlah ayat, seperti ayat berikut:

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. (Qs. al-Naba` [78]: 9)

Yang keenam dan yang paling penting: Terbukti bagi saya secara haqqul yaqin dan juga melalui banyak sekali pengalaman, bahwa mimpi yang benar adalah hujah pasti bahwa takdir Ilahi meliputi segala sesuatu.

Mimpi yang saya alami, khususnya beberapa tahun ini, sampai membuat saya memimpikan kejadian-kejadian kecil, dan perilaku-perilaku yang tak seberapa, bahkan juga percakapan-percakapan sederhana yang akan terjadi keesokan harinya sudah tertulis dan ditentukan sebelum terjadi. Saya yakin dengan pasti bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi sudah saya baca melalui mimpi yang saya lihat pada malam hari sebelumnya dengan mata kepala saya, bukan saya baca dengan lisan.

Sudah terjadi seribu kali, bukannya sekali atau seratus kali, bahwa orang-orang yang saya mimpikan tanpa saya fikirkan sebelumnya, juga permasalahan-permasalahan yang saya sampaikan tanpa saya fikirkan pada malam hari sebelumnya, saya alami pada siang harinya. Semua yang saya alami dalam mimpi itu terjadi dengan sedikit penakwilan. Ini berarti bahwa kejadian-kejadian sekecil apa pun sudah terikat dan tertulis sebelum terjadi. Artinya, tidak ada yang namanya kebetulan, berbagai peristiwa tidak terjadi secara sia-sia tanpa guna, juga tidak terjadi secara acak tanpa aturan.

Ketujuh: Tafsir mimpimu yang diberkahi itu indah sekali untuk kita dan juga untuk para pengabdi al-Qur’an. Perjalanan waktu telah dan akan senantiasa menafsirkan mimpimu itu, tidak lagi memerlukan penafsiran kami. Sebagian di antara tafsir mimpimu sudah terlihat nyata dan indah. Andai kau fikirkan dengan jeli, tentu kau faham. Berikut ini akan kami isyaratkan sebagian poin. Artinya, kami akan menjelaskan sebuah hakikat di antara sekian banyak hakikat, di mana kejadian-kejadian yang merupakan bagian dari hakikat mimpimu itu merupakan contoh dari hakikat yang saya maksudkan. Berikut jelasnya:

Lapangan luas itu adalah dunia Islam, masjid yang ada di ujung lapangan itu adalah provinsi Isparta, air yang bercampur dengan tanah itu adalah kubangan lumpur kefasikan, kekejian, bid’ah, pengangguran yang ada pada saat ini. Adanya kau dengan cepat sampai ke dalam masjid itu dengan selamat tanpa terkena lumpur, ini mengisyaratkan bahwa kau akan terlebih dulu membangun cahaya-cahaya al-Qur’an ini sebelum siapa pun, dan kau akan tetap selamat tanpa mengalami kerusakan hati.

Jamaah kecil yang ada di dalam masjid itu adalah para pengemban al-Kalimat ini, seperti Haqqi, Khalushi, Shabri, Sulaiman, Rusydi, Bakar, Musthafa, Ali, Zuhdi, Luthfi, Husrau, dan Ra’fat.

243. Page

Kursi kecil itu adalah perkampungan kecil seperti Barla. Suara tinggi itu adalah isyarat akan kekuatan al-Kalimat dan penyebarannya yang cepat. Tempat khusus untukmu di barisan paling depan itu adalah tempat kosong yang ditinggalkan Abdurrahman.

Isyarat dan hakikat bahwa kelompok tersebut ingin menyampaikan pelajaran ke seluruh dunia melalui saluran-saluran tanpa kabel, mimpi ini akan terwujud pada masa depan secara sempurna, insya Allah. Meski individu-individu kelompok ini laksana biji-bijian kecil saat ini, namun masing-masing akan menjadi pohon tinggi menjulang berdasarkan taufiq Ilahi dan pusat jaringan kilat tanpa kabel.

Seorang pemuda belia yang mengenakan surban itu mengisyaratkan adanya seseorang yang akan masuk ke dalam barisan para penyebar dan murid-murid Risalah-al-Nur, ia akan bahu-membahu dengan Khalushi, bahkan akan mendahuluinya. Saya kira dia ini adalah sebagian di antara mereka, tapi tidak bisa saya pastikan. Pemuda itu akan tampil di depan karena dorongan kekuatan wali.

Untuk poin-poin lain, silahkan kau tafsirkan sendiri.

Berbicara dengan orang-orang tercinta sepertimu memang sangat menyenangkan dan bisa diterima. Tidak heran kalau permasalahan singkat seperti ini bisa menjadi panjang lebar, atau bahkan mungkin saya berlebihan. Namun saat memulai pembicaraan, saya berniat untuk menjelaskan sejenis tafsir ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan tidur. Karena itu, tolong dimaafkan penjelasan yang terasa berlebihan ini, dan menurut hemat saya penjelasan ini tidak berlebihan. 

244. Page

Risalah Kedua

Permasalahan Kedua

 

Permasalahan ini ditulis untuk menghilangkan perdebatan penting seputar hadits yang menunjukkan bahwa Musa a.s menampar mata malaikat maut, Izrail.[1]

Di Egirdir,[2] saya mendengar sebuah perdebatan ilmiah, dan perdebatan ini keliru khususnya di zaman sekarang. Saya sama sekali tidak mendengar adanya perdebatan ini, tapi saya ditanya ketika saya diperlihatkan kepada sebuah hadits dalam kitab terpercaya yang diberi tanda qaf yang menunjukkan hadits tersebut disepakati shahih oleh al-Bukhari dan Muslim. Mereka bertanya kepada saya, apakah ini hadits atau bukan?

Saya menjawab, siapa pun yang menilai hadits yang disepakati shahih oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab terpercaya seperti ini, wajib dijadikan acuan. Dengan demikian, ini hadits. Namun seperti halnya al-Qur’an, hadits juga memiliki sisi mutasyabihat. Kalangan khusus (ulama)-lah yang mengetahui makna-maknanya. Saya sampaikan kepada mereka, teks hadits ini mungkin termasuk bagian dari mutasyabihat dan hadits-hadits yang sulit dimengerti. Andai saja saya mengetahui hadits ini memicu perdebatan, tentu akan saya sampaikan jawaban panjang lebar. Namun saya hanya ingin memberikan jawaban berikut:

Pertama, syarat pertama memperdebatkan masalah seperti ini adalah:

Membahas masalah seperti ini boleh-boleh saja bagi mereka yang kompeten untuk memperdebatkannya, dengan catatan tidak sampai menjurus pada kesalahpahaman, harus berlaku secara obyektif, dengan niat dan perasaan yang benar, tanpa sikap semena-mena.

Bukti bahwa pembahasan permasalahan seperti ini dilakukan demi kebenaran adalah:

[1] Teks hadits demikian: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Malaikat maut diutus kepada Musa a.s., saat datang, Musa menamparnya hingga kedua matanya copot, malaikat maut kembali menemui Rabbnya dan berkata, ‘Engkau mengirimu pada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Allah kemudian mengembalikan kedua matanya dan berfirman, ‘Kembalilah dan katakan kepadanya untuk meletakkan tangannya di atas punggung kerbau, setiap bulu yang tertutupi tangannya, baginya satu tahun usia.’ Musa bertanya, ‘Ya Rabb, lalu setelah itu apa?’ Allah menjawab, ‘Setelah itu mati.’ Musa kemudian memohon kepada Allah untuk didekatkan ke tanah suci di dekat bukit merah’.” HR. Al-Bukhari, hadits nomor 1274, 3226, Muslim, hadits nomor 2372, Ibnu Hibban, hadits nomor 6223, 6224, an-Nasa`i, hadits nomor 2089, Abdurrazzaq, hadits nomor 20530, Imam Ahmad bin Hanbal, hadits nomor 7623 dan 8157.

[2] Sebuah pusat kota yang masih termasuk dalam wilayah Isparta dan berada di dekat perkampungan Barla.




245. Page

Orang yang berdebat tidak merasa terusik apabila kebenaran berada di tangan lawan, justru merasa senang karena ia mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui. Andai kebenaran berada di pihaknya, tentu ia tidak mempelajari banyak hal, bahkan tidak menutup kemungkinan ia jatuh bangga.

Kedua, jika perdebatan dipicu oleh hadits, harus diketahui tingkatan hadits ini, tingkatan wahyu eksplisitnya dan jenis-jenis kalam nabawi hadits yang dimaksud.

Memperdebatkan kerumitan-kerumitan hadits tidak boleh dilakukan oleh kalangan awam, perdebatan juga tidak boleh dilakukan dengan maksud untuk membenarkan kata-kata sendiri layaknya seorang pengacara dan seakan ingin memperlihatkan keunggulan diri. Membahas suatu dalil juga tidak boleh dilakukan dengan cara mengedepankan ego pribadi daripada kebenaran dan keadilan.

Mengingat persoalan ini sudah terjadi dan memicu perdebatan, bisa saja menimbulkan efek negatif di dalam otak kalangan awam, karena jika mereka mengingkari hadits-hadits mutasyabihat seperti ini karena tidak mampu memahami, artinya mereka membuka pintu yang amat berbahaya. Maksudnya, mereka bisa saja mengingkari hadits-hadits qath’i seperti ini yang tidak bisa difahami oleh akal mereka yang terbatas. Jika makna tekstual hadits ini diterima dan disampaikan apa adanya, tentu itu akan memicu penentangan orang-orang sesat dan mereka menganggap hadits ini dusta dan bohong.

Mengingat perhatian orang banyak tertuju pada hadits mutasyabih ini padahal tidak seberapa penting, dan mengingat banyak hadits serupa lainnya, perlu kiranya menjelaskan sebuah hakikat yang menghilangkan syubhat. Hakikat ini perlu disampaikan, tidak perduli apakah hadits ini shahih ataupun tidak.

Berikut akan kami sampaikan hakikat yang dimaksud secara garis besar, penjelasan rincinya sudah disebut dalam sejumlah risalah yang kami tulis, di antaranya “Duabelas Asas” yang tertera dalam “Dahan Ketiga” dan “Dahan Keempat” dari “Kalimat Keduapuluh Empat.” Asas tersebut tertera dalam mukadimah “Catatan Kesembilan Belas,” khusus tentang macam-macam wahyu. Hakikat yang dimaksud sebagai berikut:

Para malaikat tidak terbatas pada wujud tertentu, seperti manusia misalnya. Mereka berada dalam hukum menyeluruh meski mereka memiliki banyak sekali perwujudan. Izrail, misalnya, adalah pengawas para malaikat yang ditugaskan untuk mencabut nyawa. Pertanyaannya, apakah Izrail ini yang mencabut nyawa setiap manusia, ataukah para pembantunya yang mencabut nyawa?

Ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:

Pendapat pertama:

Izrail-lah yang mencabut nyawa setiap manusia. Sesuatu tidak menghalangi sesuatu, karena ia adalah wujud cahaya, dan wujud cahaya bisa berada di mana saja tanpa ada batasnya melalui cermin-

246. Page

cermin tak terbatas, cahaya membias di sana. Dengan demikian, manifestasi wujud cahaya memiliki karakteristik wujud tersebut. Yang membias adalah wujud itu sendiri, bukan yang lain.

Seperti halnya pantulan matahari di dalam cermin menampakkan cahaya dan kehangatan matahari, seperti itu juga manifestasi para malaikat dan wujud ruhani lainnya yang ada di cermin alam permisalan yang beragam, adalah pantulan wujud itu sendiri, memiliki karakteristik-karakteristik wujud tersebut. Hanya saja wujud tersebut memantul sesuai kemampuan yang dimiliki cermin.

Ketika malaikat Jibril muncul dalam wujud seorang sahabat bernama Dihyah,[1] sementara di tempat-tempat lain ia terlihat dalam bentuk lain, seperti saat berada di hadapan Arsy, ia terlihat dengan kedua sayap yang besar dan lebar, membentang dari timur hingga barat. Jibril menampakkan diri dalam wujud berbeda-beda sesuai tingkat kemampuan tempat di mana dia berada. Dalam sesaat, Jibril berada di ribuan tempat.

Berdasarkan pendapat ini, tentu tidak mustahil jika malaikat maut yang berwujud manusia terkena tamparan orang yang punya wibawa dan watak keras, serta salah satu rasul ulul azmi (nabi Musa a.s.) ketika hendak mencabut nyawanya, hingga kedua matanya tercukil dalam wujud permisalan (sosok manusia) yang laksana pakaian baginya.

Pendapat Kedua:

Malaikat-malaikat besar, seperti malaikat Jibril, Mikail, dan Izrail, adalah pengawas umum. Mereka memiliki banyak pembantu dari jenis mereka dan mirip seperti mereka. Para pembantu ini berbeda-beda sesuai jenis makhluk. Para malaikat yang mencabut ruh orang-orang shalih[2] tentu berbeda dengan para malaikat yang mencabut nyawa orang-orang celaka.


وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا

Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut. (Qs. al-Nazi’at [79]: 1-2)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa malaikat-malaikat yang mencabut nyawa terdiri dari banyak sekali kelompok yang berbeda.



[1] Baca; Shahih Muslim, hadits nomor 2451, al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Hakim, hadits nomor 4332, Shahih Ibnu Hibban, hadits nomor 7028, Sunan an-Nasa`i, hadits nomor 4991, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 3649.

[2] Salah seorang wali besar di negeri kami yang dikenal dengan julukan Saida ketika menghadapi sakaratul maut, malaikat maut yang ditugaskan mencabut nyawa para wali datang, lalu Saida berkata kepadanya seraya memohon pertolongan kepada Allah, “Hendaklah ruhku dicabut oleh malaikat yang bertugas mencabut nyawa para penuntut ilmu, karena saya sangat mencintai mereka.” Kejadian ini disaksikan oleh sejumlah orang yang menghadiri kematiannya.




247. Page

Nabi Musa tidak menampar malaikat Izrail. Yang ditampar Musa adalah jasad permisalan salah satu malaikat pembantu malaikat Jibril, mengingat Musa memiliki wibawa fitrah, keberanian, dan terpandang di sisi Allah. Pendapat ini sangat masuk akal.[1]

Pendapat Ketiga:

Seperti yang telah dijelaskan di dalam “Asas Keempat” dari “Kalimat Keduapuluh Sembilan,” dan seperti yang ditunjukkan sejumlah hadits, ada malaikat yang memiliki empatpuluh ribu kepala, setiap kepala memiliki empatpuluh ribu lisan. Artinya, ia memiliki delapanpuluh ribu mata, dan di setiap lisan mengucapkan empatpuluh ribu tasbih.

Mengingat para malaikat ditugaskan sesuai jenis alam nyata tempat mereka bertugas, dan mengingat mereka mencerminkan tasbih jenis-jenis alam nyata di alam ruhani, mereka memang seperti itu, karena bumi ini –misalnya- adalah satu makhluk yang bertasbih kepada Allah. Bumi ini memiliki berbagai jenis alam laksana empatpuluh ribu kepala si malaikat tersebut, bahkan pula laksana ratusan ribu kepala, dimana setiap jenis alam memiliki individu-individu tersendiri laksana ratusan ribu lisan, dan begitu seterusnya.

Dengan demikian, malaikat yang ditugaskan mengurus bumi pasti memiliki empatpuluh ribu kepala, bahkan ratusan ribu kepala, di mana setiap kepalanya memiliki ratusan ribu lisan, dan begitu seterusnya.

Berdasarkan pendapat ini, malaikat Izrail memiliki wajah dan mata yang menatap ke setiap individu. Dengan demikian, tamparan Musa a.s yang dilayangkan kepada Izrail bukan tamparan terhadap esensi malaikat Izrail ataupun wujud aslinya, juga bukan sebagai penghinaan baginya, bukan pula berarti Musa tidak menerima perintah. Musa hanya menampar mata yang selalu menanti ajalnya dan ingin menghalangi Musa dalam mengemban tugas, karena Musa berharap bisa terus menjalankan tugas risalah.


والله أعلم بالصواب، ولا يعلم الغيب إلا الله، قل إنما العلم عند الله

Wallahu ‘alam bish shawab, Allah yang lebih mengetahui yang benar, hanya Allah semata yang mengetahui hal gaib, dan katakan, “Pengetahuan tentang itu hanya ada di sisi Allah.”

 


[1] Ada seorang pemberani di negeri kami melihat malaikat maut saat sekarat, lalu ia berkata pada malaikat maut, “Apa kau ingin mencabut nyawaku di atas kasur?” Ia bangkit, naik kuda, menghunus pedang, dan mengajaknya perang pilih tanding, lalu ia meninggal di atas punggung kuda layaknya kematian seorang pemberani nan mulia.




248. Page

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ  فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ  وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا  وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal’. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 7)

 

Permasalahan Ketiga

Risalah Ketiga

 

Permasalahan ini merupakan jawaban khusus dan rahasia untuk pertanyaan yang disampaikan sebagian besar saudara-saudara saya melalui bahasa kondisional mereka, dan disampaikan oleh sebagian di antara mereka dengan tutur kata secara langsung.

Pertanyaan: Anda selalu mengatakan pada siapa pun yang datang berkunjung kepada Anda, “Jangan menantikan keinginan atau pertolongan apa pun dari saya, dan jangan kalian kira saya ini orang yang diberkahi, karena saya ini tidak punya maqam. Seperti halnya prajurit biasa menyampaikan perintah-perintah marsekal, saya juga seperti itu. Saya menyampaikan perintah-perintah marsekal maknawi. Seperti halnya orang rugi mengajak orang-orang ke tempat yang penuh dengan mutiara dan emas berharga, seperti itulah saya. Saya mengajak siapa pun menuju toko suci al-Qur’an.”

Hanya saja akal kami memerlukan pengetahuan, seperti halnya hati kami memerlukan luapan dan ruh kami menginginkan cahaya, kami juga menginginkan banyak hal dari berbagai sisi. Untuk itu, kami datang berkunjung kepada Anda karena menurut kami, engkau orang bermanfaat yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan kami?! Kami memerlukan seorang wali, seorang yang bisa membantu, seorang yang memiliki kesempurnaan, melebihi kebutuhan kami pada dunia! Jika memang permasalahannya seperti yang Anda sampaikan, berarti salah jika kami berkunjung menemui Anda!

Seperti itulah bahasa kondisional mereka mengatakan.


249. Page

Jawab:

Dengarkan lima poin berikut, selanjutnya renungkan kunjungan kalian, lalu silahkan kalian nilai sendiri, apakah kunjungan kalian berguna ataupun tidak?

Poin pertama: Seperti halnya seorang pelayan biasa dan seorang prajurit malang seorang sultan memberikan hadiah-hadiah sultan dan lencana-lencana besar kesultanan untuk para komandan dan marsekal, serta membuat mereka bahagia. Tentu saja gila, terpedaya, dan sombong jika para komandan dan marsekal tersebut mengatakan, “Kenapa kita tidak menolak untuk menerima hadiah-hadiah dan lencana-lencana kesultanan dari tangan prajurit rendahan itu.”

Demikian pula halnya dengan si prajurit. Jika ia tidak bersikap hormat kepada si marsekal di luar tugasnya, dan menganggap dirinya lebih tinggi, berarti dia gila dan bodoh.

Ketika para komandan tersebut bersedia untuk bertamu ke gubuk si prajurit tersebut untuk mengucapkan terimakasih, tentu saja sang sultan yang mengetahui kondisi si prajurit tersebut mengirim jamuan makan untuk tamu terhormat kepada pelayannya yang tulus tersebut, langsung dari dapur pribadi si sultan, agar si prajurit yang tidak memiliki makanan apa pun di rumah selain roti kering, tidak merasa malu.

Demikian pula halnya dengan pengabdi al-Qur’an yang tulus, meski ia hanya seorang pengabdi biasa yang menyampaikan perintah-perintah al-Qur’an yang sangat bernilai untuk manusia yang paling kaya dari sisi ruhani, atas nama al-Quran itu sendiri tanpa khawatir dan takut, menjual mutiara al-Qur’an yang sangat mahal harganya kepada manusia yang paling kaya ruhani, bukan dengan perantara ataupun dengan merendahkan diri, tapi dengan rasa bangga dan mulia.

Mereka tentu tak bisa bersikap tinggi hati terhadap pengabdi biasa ini kala menjalankan tugas, meski seperti apa pun kedudukan mereka.

Si pengabdi tersebut juga tidak bisa menemukan celah untuk membanggakan diri kala orang lain datang meminta sesuatu, juga tidak bisa melampaui batasan-batasannya.

Ketika para pelanggan harta simpanan suci tersebut memandang si pelayan dengan tatapan seorang pemimpin dan mengagungkannya, tentu saja rahmat suci hakikat al-Qur’an memberi mereka bantuan, meluapkan curahan-curahan simpanan Ilahi secara khusus tanpa sepengetahuan atau campur tangan si pelayan, agar ia tidak tersinggung atau malu.

Poin kedua: Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi, reformis millennium kedua, menyatakan, “Menjelaskan dan memperlihatkan satu masalah di antara sekian banyak hakikat-hakikat iman, bagi saya lebih kuat daripada ribuan daya rasa dan karamah.” “Tujuan dan hasil akhir seluruh tarekat adalah menampakkan dan menjelaskan hakikat-hakikat iman.”


250. Page

Mengingat tokoh sufi sekelas al-Faruqi menyatakan seperti itu, maka “al-Kalimat” harus menjelaskan hakikat-hakikat iman secara gamblang. Penjelasan-penjelasan yang bersumber dari rahasia-rahasia al-Qur’an tentu akan memberikan hasil-hasil kewalian yang diharapkan.

Poin ketiga: Tigapuluh tahun silam, tamparan-tamparan kuat yang mencengangkan mendarat di kepala Sa’id lama[1] yang lalai. Ia kemudian merenungkan persoalan “kematian itu benar adanya” (الموت حق), dan ia melihat dirinya berada di kubangan lumpur, ia memohon pertolongan kepada Allah, mencari jalan, mencari-cari penyelamat, lalu ia melihat banyak sekali jalan, hingga ia selalu merasa ragu dan bingung.

Ia kemudian membuka buku karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjudul Futuh al-Ghaib dengan harapan menemukan sikap optimis, dan mendapatkan kata-kata berikut: “Kau berada di negeri hikmah (Darul Hikmah), maka carilah seorang dokter untuk mengobati hatimu.” Anehnya, saat itu saya termasuk salah seorang anggota Darul Hikmah Islamiyah,[2] saya seakan seorang dokter bijak yang berusaha untuk mengobati luka kaum muslimin, meski saya sendiri orang yang menderita sakit paling parah. Orang sakit harus memperhatikan dirinya terlebih dahulu, setelah itu baru memperhatikan orang lain yang sakit.

Syaikh Abdul Qadir seakan berbicara kepada saya, “Kau sedang sakit, maka carilah dokter untuk mengobatimu!”

Saya bilang, “Engkau saja yang menjadi dokterku.” Saya memegang buku tersebut dengan erat, saya baca seakan si penulis (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) berbicara langsung dengan saya. Buku ini sangat mengena di hati, menghancurkan sikap sombong dalam diri saya dengan keras, melakukan operasi keras dalam diri saya. Saya tidak kuat dan tidak mampu.

Separuh sudah saya membaca buku ini, saya memposisikan diri seakan berbincang dengannya, saya tidak mampu membacanya hingga tuntas, lalu saya meletakkan buku ini di lemari. Setelah luka-luka akibat proses penyembuhan lenyap, dan kenikmatan mulai datang, saya meneruskan membaca buku guru pertama saya ini hingga tuntas. Banyak manfaat yang saya dapatkan dari buku ini, saya mendengar wirid dan munajat-munajatnya dengan baik.

Setelah itu saya melihat buku karya Imam Rabbani berjudul al-Maktubat. Saya mengambil buku itu seraya berharap dengan tulus menemukan sikap optimis. Anehnya, kata “Badiuzzaman” dalam buku ini hanya disebutkan di dua bagian saja. Kedua risalah itu kemudian terbuka, dan di bagian awalnya, saya melihat kata “Mirza Badiuzzaman.” Mirza adalah nama orang tua saya, lalu saya


[1] Sebelum mencapai periode usia empatpuluh tahun.

[2] Komite agama dan keilmuan tinggi di Daulah Utsmaniyah.



251. Page

mengucapkan, “Subhanallah! Risalah ini berbicara kepada saya!” Karena julukan Sa’id lama adalah Badiuzzaman, padahal setahu saya, yang terkenal dengan julukan ini hanya Badiuzzaman al-Hamdani[1] yang hidup di abad keempat Hijriyah. Hanya saja di masa Imam Rabbani juga ada seseorang yang menyandang nama ini, di mana risalah ini ia tulis untuk orang tersebut. Kondisi orang tersebut juga hampir sama seperti kondisi saya, hingga kedua risalah ini bisa mengobati penyakit saya.

Melalui kedua risalah ini, Imam Rabbani berpesan, seperti halnya pesan yang sering ia sampaikan dalam risalah-risalahnya: “Satukan kiblat!” Maksudnya carilah seorang guru lalu ikutilah dia, jangan sibuk dengan yang lain.[2]

Pesannya yang penting ini tidak selaras dengan kemampuan dan kondisi ruhani saya. Saya berfikir sejak, apakah saya harus mengikuti guru A, guru B, ataukah guru C? Saya bingung, karena masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri, saya tidak cukup hanya dengan satu guru saja. Saat berada dalam kondisi bingung seperti ini, tanpa diduga rahmat al-Rahman datang ke dalam hati:

“Permulaan jalan ini, sumber aliran air ini, matahari planet-planet ini adalah al-Qur’an. Penyatuan kiblat secara hakiki hanya berlaku dengan al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an adalah pembimbing tertinggi, dan syaikh suci.”

Saya akhirnya berpegang teguh pada al-Qur’an. Hanya saja kemampuan saya yang tidak sempurna dan lemah, tentu saja tidak mampu menyerap luapan sang pembimbing hakiki laksana air pembangkit kehidupan tersebut dengan sebenarnya. Hanya saja luapan dan air pembangkit kehidupan tersebut bisa saja menjelaskan melalui luapan ini sesuai tingkatan ahlul qalb dan ashabul hal.[3]

Dengan demikian, kalimat-kalimat dan cahaya-cahaya yang bersumber dari al-Qur’an ini bukan hanya masalah-masalah ilmiah-logika saja, tapi juga masalah-masalah hati, ruhani, dan kondisi, sama seperti tingkatan pengetahuan-pengetahuan Ilahi yang tinggi.

Poin keempat: Para wali besar yang berada di tingkatan-tingkatan tertinggi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para pengikut tabi’in, menerima bagian kelembutan-kelembutan secara langsung dari al-Qur’an. Al-Qur’an bagi mereka adalah pembimbing hakiki yang mencukupi.


[1] Abu Fadhl Ahmad bin Husain bin Yahya bin Sa’id bin Sa’id al-Hamdzani, al-Hafizh dikenal sebagai Badiuzzaman, pemilik risalah-risalah luhur dan maqam-maqam tinggi, lahir tahun 358 Hijriyah dan meninggal dunia tahun 398 H.

[2] Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Persia, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Teks yang diterjemahkan tersebut berbunyi; “Ketika kau mencari cita-cita dari kesempurnaan pandangan, maka berbahagialah, kau akan pulang dengan selamat dan membawa keberuntungan. Tapi ada satu syarat yang harus kau jaga; yaitu satukan kiblat.”

[3]Hal menurut ahli kebenaran (sufi) adalah suatu makna yang terlintas di dalam hati tanpa dibuat-buat dan tidak diusahakan, baik berupa rasa senang, sedih, lapang ataupun sempit. Makna ini lenyap seiring munculnya sifat-sifat jiwa, baik diakhiri dengan sifat yang sama ataupun tidak. Baca; al-Ta’rifat karya Imam al-Jurjani.




252. Page

Salah satu bukti bahwa al-Qur’an senantiasa menjelaskan berbagai hakikat, al-Qur’an melimpahkan luapan-luapan kewalian terbesar bagi siapa pun yang layak menerimanya.

Peralihan dari lahiriah menuju hakikat bisa dilakukan dengan dua cara:

Pertama, beralih menuju hakikat dengan memasuki dinding tarekat, melampaui tingkatan-tingkatan yang ada di sana dengan perjalanan ruhani dan ibadah.

Kedua, beralih menuju hakikat secara langsung dengan karunia Ilahi tanpa melalui dinding tarekat. Inilah jalur yang tinggi sekaligus pendek yang khusus dimiliki para sahabat dan tabi’in saja.

Dengan demikian, cahaya-cahaya yang bersumber dari hakikat-hakikat al-Qur’an dan kalimat-kalimat yang merupakan terjemah dari cahaya-cahaya tersebut, dimungkinkan memiliki keistimewaan ini, bahkan benar-benar memilikinya.

Poin kelima: Melalui lima contoh singkat dan mudah berikut, kami akan menjelaskan bahwa al-Kalimat di samping mengajarkan hakikat al-Qur’an, juga menjalankan peran sebagai pembimbing:

Contoh pertama: Secara pribadi saya yakin melalui bukan hanya sepuluh atau seratus pengalaman, tapi ribuan kali pengalaman, bahwa al-Kalimat dan al-Lama’at yang bersumber dari al-Qur’an menuntun akal saya, juga membisikkan keimanan ke dalam hati saya saat ini, meluapkan daya rasa iman ke dalam ruh saya, dan begitu seterusnya.

Sampai-sampai dalam urusan-urusan dunia, saya menjadi seperti seorang murid yang menantikan bantuan dari syaikh yang memiliki karamah, agar segala keperluan saya tercapai melalui rahasia-rahasia al-Qur’an yang memiliki banyak sekali karamah. Kebutuhan-kebutuhan saya berulang kali tercapai dari arah yang tidak saya sangka-sangka dan dengan cara yang sama sekali tidak saya duga. Berikut ini saya sebutkan dua contoh saja:

Pertama, seperti yang dijelaskan secara rinci dalam “Catatan Keenambelas” berikut: Tamu saya, Sulaiman, menemukan sebuah roti besar di atas pohon gaharu dengan cara aneh, karenanya kami bisa memakan hadiah gaib ini hingga dua hari penuh.

Kedua, akan saya sebutkan sebuah peristiwa kecil dan lembut yang terjadi selama beberapa hari ini:

Sebelum fajar, sebuah kata-kata terlintas dalam fikiran saya bahwa saya menyampaikan kata-kata dengan cara yang menimbulkan was-was dalam hati seseorang. Saya kemudian berkata dalam hati, moga-moga saja saya bisa melihat orang itu, agar saya bisa menghilangkan keresahan hatinya. Saat itu, saya memerlukan salah satu bagian tulisan saya yang telah dikirim ke pulau Nis.[1] Saya berkata, “Andai



[1] Sebuah pulau kecil di danau Egirdir, dekat perkampungan Barla.



253. Page

saja orang itu ada di dekat saya saat ini.” Setelah itu saya duduk selepas shalat fajar, ternyata orang tersebut benar-benar datang dengan membawakan bagian tulisan yang saya inginkan. Saya bertanya kepadanya, “Apa yang kau bawa itu?”

“Saya tidak tahu, ada seseorang memberikan barang ini kepada saya, dan ia mengatakan bahwa ia datang dari Nis, lalu barang ini saya bawakan untuk Anda,” jawabnya.

Dengan heran, saya mengucapkan, “Subhanallah! Orang ini keluar rumah dalam waktu-waktu seperti ini, dan menyampaikan kata-kata seperti itu dari perkampungan Nis, tentu sama sekali bukan kebetulan. Orang yang memberikan bagian buku pada orang yang datang kepada saya dalam saat yang tepat, lalu ia kirimkan kepada saya ini tentu saja karena berkah al-Qur’an. Saya memuji Allah, Zat yang mengetahui keinginan hati saya yang tersembunyi dan tak seberapa, tentu saja mengasihi dan menjaga saya. Untuk itu, saya tidak perlu membeli jasa dunia dengan satu sen pun.”

Contoh kedua: Keponakan saya, almarhum Abdurrahman, berbaik sangka kepada saya hingga jauh melebihi batasan saya, meski ia sudah meninggalkan saya sejak delapan tahun yang lalu. Ia ternoda oleh kelalaian dan fikiran-fikiran dunia, ia meminta bantuan kepada saya di luar kemampuan saya, hingga akhirnya ia ditolong oleh al-Qur’an saat saya memberikan “Kalimat Sepuluh” kepadanya yang secara khusus membahas tentang penghimpunan seluruh manusia, tepat tiga bulan sebelum ia meninggal dunia. Kalimat ini rupanya membersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran maknawi, dari waham-waham dan kelalaian, memunculkan tiga karamah yang timbul dalam suatu risalah yang ditulisnya sebelum wafatnya seakan-akan ia naik ke tingkatan kewalian.

Karamah-karamah ini sudah dicantumkan di dalam “Surat Keduapuluh Tujuh.” Siapa yang ingin mengetahuinya, silahkan merujuk catatan tersebut.

Contoh ketiga: Saya punya seorang saudara akhirat sekaligus murid karena Allah. Ia salah seorang sufi, namanya Hasan Afandi, dari provinsi Burdur.[1] Ia berbaik sangka kepada saya secara berlebihan hingga melampaui batasan saya. Menurutnya, saya yang malang ini adalah penolong seperti halnya seorang wali agung yang pertolongannya selalu dinantikan. Saya kemudian memberikan “Kalimat Ketigapuluh Dua” begitu saja tanpa kaitan apa pun pada seseorang yang tinggal di salah satu perkampungan Burdur. Setelah itu saya teringat pada Sayyid Hasan Afandi, lalu saya bilang pada orang tersebut, “Kalau kau pergi ke Burdur, berikan buku ini kepada Hasan Afandi, suruh ia membaca buku ini selama lima atau enam hari.” Orang tersebut kemudian pergi menemui Hasan Afandi dan

[1] Sebuah provinsi di sebelah barat daya Turki, berdekatan dengan provinsi Isparta.



254. Page

memberikan buku tersebut padanya. Saat itu, usia Hasan Afandi kurang lebih hanya tersisa empatpuluh hari. Ia kemudian berpegang teguh pada “Kalimat Ketigapuluh Dua” bak orang dahaga yang menempelkan mulut ke sumber air jernih laksana air telaga Kautsar.

Hasan Afandi akhirnya menemukan penawar bagi penyakit yang ia alami dalam buku tersebut, khususnya pada topik tentang cinta Allah di “Mauqif Kedua.” Setiap kali ia membacanya, ia selalu menemukan luapan dan penawar hati yang selalu ia nantikan dari seorang quthb agung. Setelah itu ia pergi ke masjid dalam kondisi sudah sehat wal afiat, dan shalat di sana. Di tempat inilah, Hasan Afandi menyerahkan ruhnya kepada Allah. Semoga Allah merahmatinya.

 

Contoh keempat: Seperti disebutkan melalui kesaksian-kesaksian Sayyid Khulusi yang tertera dalam “Catatan Keduapuluh Tujuh,” ia menemukan bantuan, luapan rahmat, dan cahaya dalam al-Kalimat yang merupakan terjemah rahasia-rahasia al-Qur’an, lebih dari yang ia dapatkan dalam tarekat Naqsyabandiyah, tarekat paling penting dan sangat berpengaruh.

 

Contoh kelima: Saudara Abdul Majid merasakan duka dan sedih selepas kematian keponakan saya, Abdurrahman rahmatullah ‘alaih. Terlebih banyak sekali derita dan beban kesulitan yang ia alami. Ia menantikan bantuan dan pertolongan dari saya yang tidak saya mampu. Saya sebelumnya tak pernah berkorespondensi dengannya. Seketika, saya mengirim sebagian surat penting padanya. Setelah membaca surat saya ini, ia mengirim balasan:

“Segala puji bagi Allah, saya hampir saja gila. Namun setiap kata al-Kalimat ini menjadi bak seorang pembimbing bagi saya. Saya kehilangan seorang pembimbing, namun saya menemukan banyak sekali pembimbing sekaligus. Saya selamat.”

Saya lihat Abdul Majid juga menempuh langkah indah, ia selamat dari kondisi-kondisi lamanya.

Masih banyak lagi contoh-contoh selain kelima contoh ini, yang secara keseluruhan menunjukkan ketika ilmu-ilmu keimanan dijadikan pedoman, khususnya doa-doa maknawi rahasia-rahasia al-Qur’an secara langsung sesuai kebutuhan, ilmu-ilmu keimanan tersebut akan menjadi obat luka. Ini benar-benar terbukti, karena ilmu-ilmu keimanan dan penawar ruhani ini cukup bagi siapa pun yang memerlukannya, juga bagi siapa pun yang mengamalkannya dengan keikhlasan sejati. Apa pun kondisi ahli farmasi yang menjualnya, yang menuntun dan menyeru semua orang menuju ilmu-ilmu keimanan ini, baik orang biasa, orang bangkrut, kaya, pejabat, ataupun pelayan, semuanya sama, tidak ada perbedaan berarti di sana.


255. Page

Ya, lilin tidak perlu dinyalakan sebagai penerangan selagi matahari masih ada. Mengingat saya hanya menunjuk ke arah matahari, berarti meminta cahaya lilin kepada saya –terlebih saya tidak memiliki lilin yang diminta– adalah tindakan tak bermakna dan sia-sia. Sebaliknya, mereka justru harus membantu saya dengan doa dan bantuan maknawi. Saya berhak untuk meminta bantuan kepada mereka, meminta mereka membantu dan menolong saya. Mereka cukup menerima dengan rela hati cahaya-cahaya (Risalah al-Nur) yang bisa mereka manfaatkan.

 

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا  إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)


اللهم صل على سيدنا محمد صلاةً تكون لك رضاءً ولحَقّه أداءً وعلى آله و صحبه و سلم

Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada junjungan kami, Muhammad, rahmat yang Engkau ridhai dan sebagai pemenuhan bagi haknya, juga limpahkanlah kepada keluarga dan para sahabatnya.

 

Risalah Kecil dan Bersifat Khusus

 

Risalah ini bisa dibilang sebagai pelengkap “Permasalahan Ketiga” dari “Kalimat Keduapuluh Delapan.”

Kedua saudara saya karena Allah sekaligus murid-murid saya yang terhormat; Husrau dan Ra’fat Bey!

Kita sama merasakan tiga karamah al-Qur’an yang ada dalam cahaya-cahaya al-Qur’an bernama al-Kalimat, dan kalian menambahkan karamah keempat dengan amal kalian yang serius, semangat dan cita-cita kalian. Tiga karamah yang kita ketahui adalah sebagai berikut:

Pertama, kemudahan dan kecepatan luar biasa dalam penulisan al-Kalimat, sampai-sampai “Surat Ketujuhbelas” yang terdiri dari lima bagian, ditulis hanya dalam tiga hari saja, di mana seharinya hanya memakan waktu empat jam. Artinya, jumlah keseluruhan “Surat Ketujuhbelas” hanya memakan waktu duabelas jam di sebuah pegunungan di dekat kebun-kebun tanpa ada referensi dan rujukan.


256. Page

“Kalimat Ketigapuluh” ditulis dalam lima atau enam jam saat saya sakit. “Bahasan Surga” yang merupakan “Kalimat Keduapuluh Delapan” ditulis dalam rentang waktu satu atau dua jam di taman Sulaiman.[1]

Saya, Taufiq, dan Sulaiman heran mengapa bisa secepat ini. Penulisan Risalah al-Nur ini merupakan karamah al-Qur’an.

Kedua, penggandaan Risalah al-Nur juga mudah, penuh gairah dan tidak menimbulkan rasa jemu meski ada banyak faktor yang bisa saja membuat ruhani dan akal merasa jemu di masa sekarang ini. Sebab, setiap kali sebuah risalah di antara Risalah al-Nur ditulis, risalah itu selalu digandakan dengan penuh gairah di sebagian besar tempat, dan lebih diprioritaskan di antara kesibukan-kesibukan penting lain.

Karamah al-Qur’an ketiga, membacanya juga tidak membosankan, bahkan justru menimbulkan daya rasa dan kesenangan yang tidak membosankan, khususnya jika diperlukan.

Kalian menyebut karamah al-Qur’an keempat sebagai berikut:

Saudara kita, Husrau yang sangat malas untuk menggandakan Risalah al-Nur dan tidak juga mulai menggandakannya meski ia sudah mendengar risalah-risalah ini sejak lima tahun silam, mampu menggandakan empatbelas kitab dengan baik dan sempurna hanya dalam satu bulan.

Ini jelas merupakan karamah rahasia-rahasia al-Qur’an yang keempat. Nilai penting “Tigapuluh Tiga Jendela” yang merupakan “Catatan Ketigapuluh Tiga” dimuliakan dengan sebenarnya, karena risalah ini digandakan dengan sangat baik dan sempurna.

Risalah tersebut merupakan risalah paling kuat dan terang tentang mengenal dan beriman kepada Allah. Hanya saja jendela pertama yang ada di bagian awal ditulis secara garis besar dan ringkas. Meski demikian, bagian ini akan semakin terlihat jelas secara bertahap ketika terus dibaca. Seperti itulah bagian pertama sebagian al-Kalimat, umumnya dimulai secara garis besar, berbeda dengan karangan-karangan lain, kemudian setelah itu ditulis dengan kian jelas dan terang secara bertahap.


[1] Salah seorang murid Imam Nursi di Barla.



257. Page

Permasalahan Keempat

Risalah Keempat

باسمه

Dengan Nama-Nya

 

وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra` [17]: 44)

 

Jawaban untuk sebuah pertanyaan seputar suatu peristiwa kecil yang menjadi sebab kewaspadaan saudara-saudara saya.

Saudara-saudara saya yang terhormat!

Kalian bertanya: Masjid kalian yang diberkahi, tanpa sebab diserang pada malam Jum’at karena seorang tamu mulia yang datang. Apa sebenarnya kejadian ini, dan mengapa mereka menyerang Anda?

Jawab:

Berikut saya terpaksa menjelaskan “Empat Poin” dengan lisan Sa’id lama, semoga bisa menarik perhatian saudara-saudara semua, selanjutnya kalian sendiri yang menjawab pertanyaan kalian.

 

 Poin Pertama:

Kejadian ini sebenarnya tipuan setan dan serangan kemunafikan yang semena-mena demi kezindikan yang melanggar undang-undang, dengan tujuan untuk membangkitkan keresahan di hati kita semua pada malam Jum’at. Itu juga untuk menebar kelemahan di tengah para jamaah agar saya tidak menemui para tamu.

Anehnya, pada hari Khamis atau sehari sebelum kejadian malam Jum’at tersebut, saya pergi ke suatu tempat untuk sekedar menghirup udara segar. Saat pulang, ada ular hitam panjang melintas dari sebelah kiri saya. Ular tersebut seakan dua ular yang menyambung menjadi satu. Ular melintas tepat di hadapan saya dan juga teman saya. Saya kemudian bertanya kepada teman saya apakah dia kaget dan takut atau tidak.

“Apakah kamu melihat?” tanya saya.

“Melihat apa?” tanya teman saya.

“Ular yang menakutkan tadi,” kata saya.

“Tidak, saya tidak melihatnya,” kata teman saya.


258. Page

Subhanallah! Bagaimana kau tidak melihat ular sebesar itu yang melintas di depan kita tadi,” kata saya.

Saat itu, saya tidak memikirkan apa pun. Namun setelah itu, terbersit dalam hati saya:

“Kejadian tersebut adalah sebagai pertanda untukmu, maka waspadalah.” Saya memikirkan kejadian tersebut, dan ular tersebut ternyata ular yang pernah saya lihat dalam mimpi. Sementara ular yang saya lihat di malam hari, ia adalah seorang pejabat pemerintah yang datang dengan niat berkhianat, saya melihatnya dalam wujud ular. Bahkan saya pernah mengatakan kepada seorang direktur, “Saat kau datang dengan niat jahat, saya melihatmu dalam wujud ular, maka waspadalah!”

Saya sudah sering melihat pejabat-pejabat sebelumnya yang datang dengan niat jahat dalam bentuk seperti ini.

Dengan demikian, ular yang secara kasat mata kau lihat itu adalah sebagai isyarat bahwa kali ini mereka tidak hanya sekedar berkhianat saja, tapi juga akan melakukan aksi penyerangan sesungguhnya.

Meski serangan kali ini terlihat sepele, namun seorang pejabat atas hasutan dan partisipasi seorang guru yang tak punya nurani, meminta polisi militer untuk memanggil para tamu. Saat itu kami tengah berada di dalam masjid, tengah berzikir usai shalat. Motif mereka melakukan hal ini adalah untuk membangkitkan amarah saya, dan agar saya menghadapi situasi yang melanggar undang-undang ini dengan sikap kasar atau pengusiran sesuai watak Sa’id lama.

Namun si sengsara itu tidak tahu bahwa Sa’id tidak membela diri dengan tongkat patah sementara di lisannya ada pedang berlian yang dibuat di pabrik al-Qur’an. Dalam situasi seperti ini, Sa’id lama tentu menggunakan pedang tersebut.

Para anggota polisi militer saat bertindak bijak dan sadar, mereka menunggu hingga shalat dan zikir selesai, karena negara atau pemerintah mana pun tidak bisa mengusik kewajiban-kewajiban keagamaan yang dilakukan saat shalat di masjid. Si pejabat marah terhadap sikap para anggota polisi militer ini. Ia mengirim seorang keamanan seraya mengatakan, “Para anggota polisi militer tidak mendengar kata-kata saya.”

Namun rupanya Allah tidak memaksa saya untuk menanggapi ular-ular seperti mereka ini. Saya sampaikan kepada saudara-saudara saya:

“Tidak perlu menggubris mereka jika tidak ada kepentingan mendesak. Bahkan jangan sampai berbicara dengan mereka, karena jawaban yang harus diberikan kepada orang bodoh adalah diam. Tapi perhatikan hal berikut:


259. Page

Seperti halnya menampakkan sikap rendah dan lemah di hadapan hewan buas dan liar justru mendorongnya untuk menyerang, seperti itu juga menampakkan sikap rendah dan hina dengan mencari muka pada orang yang memiliki nurani liar dan buas justru mendorong mereka untuk berbuat semena-mena. Karena itu, kalian semua harus bersikap waspada, agar pihak-pihak yang pro-kezindikan tidak memanfaatkan sikap hina, semena-mena dan kelalaian mereka.”

 

Poin Kedua:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. (Qs. Hud [11]: 113)

Ayat ini tidak hanya mengancam siapa pun yang berpihak kepada kezaliman dan menjadi alat kezaliman, tapi juga mengancam keras siapa pun yang memiliki kecenderungan kepada orang-orang zalim meski sekecil apa pun, karena merelakan kekafiran adalah kekafiran, seperti halnya merelakan kezaliman adalah kezaliman. Salah seorang ahli kesempurnaan mengungkapkan secara sempurna salah satu esensi ayat ini sebagai berikut:

“Tidak ada seorang pun yang membantu orang zalim di dunia ini selain orang-orang hina.

Tidak ada yang merasa nikmat dan senang dalam membantu pemburu yang zalim, selain anjing.”

Ya, sebagian mereka bertindak seperti ular, dan sebagian yang lain bertindak seperti anjing.

Siapa pun yang memata-matai kita di malam penuh berkah seperti saat ini, terlebih kita tengah kedatangan seorang tamu mulia, saat kita sedang berdoa, lalu kita difitnah dan diperlakukan kasar seakan kita melakukan tindak kejahatan, ia pantas menerima tamparan seperti yang disebutkan dalam makna kata-kata di atas.

Poin Ketiga:

Pertanyaan:

Mengingat Anda bertumpu pada bantuan dan pertolongan al-Qur’an dalam memperbaiki orang atheis yang paling lalim sekali pun, Anda bimbing dan tuntun mereka dengan luapan dan cahaya al-Qur’an, dan Anda benar-benar melakukan langkah tersebut secara nyata, mengapa Anda tidak mengajak dan membimbing orang-orang keras yang dekat dengan Anda?

Jawab:

Sebuah kaidah penting dalam asas syariat menyebutkan, “Orang yang merelakan tindakan berbahaya, tidak boleh dipandang” (الرَّاضي بالضَّرر لا يُنظَر له).


260. Page

Artinya, orang yang merelakan tindakan berbahaya yang diketahuinya, ia tidak patut diperlakukan dengan kasih sayang, dan tidak boleh dipandang dengan tatapan kasih sayang.

Meski saya menyatakan –dengan bertumpu pada kekuatan al-Qur’an– mampu mengalahkan orang atheis paling lalim sekali pun dalam beberapa tahun, meski saya tidak bisa membuatnya benar-benar menerima penjelasan saya dengan puas, selama ia bukan orang hina, tidak merasa senang dengan menyebarkan racun kesesatan layaknya ular; menjelaskan hakikat-hakikat untuk nurani yang terjun bebas hingga ke titik nadir paling rendah, juga untuk ular-ular dalam wujud manusia yang sengaja dan sadar menukarkan agama dengan dunia, merasuk ke dalam kemunafikan hingga menukarkan emas-emas hakikat dengan potongan kaca yang membahayakan dan kotor, ini adalah pelecehan terhadap hakikat, dan tepat seperti yang dikatakan pepatah, “Mengalungkan permata di leher sapi” (تعليق الدرر في أعناق البقر), karena orang-orang yang melakukan tindakan hina seperti ini, mereka sebenarnya sudah sering kali mendengarkan hakikat-hakikat dari Risalah al-Nur, namun mereka justru ingin membantah hakikat-hakikat itu dengan sengaja demi sesatnya kezindikan. Orang-orang seperti ini menikmati racun layaknya ular.

 

Poin Keempat:

Tindakan-tindakan yang terjadi selama tujuh tahun belakang ini murni sebagai kesewenang-wenangan, lalim, dan pelecehan yang muncul karena hawa nafsu dan melanggar undang-undang. Undang-undang terkait orang-orang buangan, tawanan dan tahanan sudah lazim diketahui semua orang, maka mereka secara hukum berhak menemui sanak kerabat, tidak boleh dilarang untuk bergaul dengan siapa pun.

Ibadah dan ketaatan dilindungi dari segala bentuk perlakuan semena-mena di setiap bangsa dan negara. Orang-orang seperti saya ini bebas untuk tinggal bersama sanak kerabat dan orang-orang tercinta di berbagai kota. Mereka tidak dilarang untuk bergaul atau berkomunikasi dengan siapa pun, tidak dilarang untuk bepergian dan melancong.

Namun berbeda dengan saya. Saya dilarang untuk menikmati semua hak di atas, bahkan saya diperlakukan secara semena-mena di masjid saya dan saat menjalankan ibadah. Mereka menginginkan saya untuk tidak lagi mengucapkan kalimat tauhid dalam zikir-zikir shalat yang disunnahkan menurut fuqaha Syafi’iyah.

Pernah ada seorang buta huruf dari kalangan imigran generasi pertama bernama Syabab di Burdur, datang kemari –Barla– untuk menghirup udara segar karena saat itu tengah menderita demam. Ia juga sempat menemui saya karena kami memang berasal dari satu kampung. Ia kemudian dipanggil 

261. Page

oleh tiga polisi militer lengkap memegang senjata. Tapi si pejabat berusaha untuk menutup kesalahannya yang melanggar undang-undang dan mengatakan, “Maaf, saya harap Anda tidak marah. Ini sudah menjadi tugas kami.” Setelah itu ia, Syabab, dipersilahkan pergi.

Ketika kejadian ini dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan lain, tentu bisa difahami tindakan ini murni kesewenang-wenangan berdasarkan hawa nafsu, karena mereka sengaja mengirim ular-ular dan anjing-anjing untuk mengekang saya. Saya sendiri merasa jijik untuk berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Saya cukup menyerahkan penangkalan kejahatan para penjahat ini kepada Allah semata.

Sebenarnya, mereka yang memicu kejadian yang pada akhirnya membuat kami dibuang, saat ini berada di kampung halaman masing-masing. Para pemimpin kabilah dibebaskan semuanya, kecuali saya dan dua orang. Padahal saya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia mereka yang sial itu. Mudah-mudahan dunia menjadi petaka bagi mereka sendiri. Saya dengan rela hati menjalani putusan ini dan tidak berusaha menentangnya.

Salah satu di antara dua orang yang bersama dengan saya, selanjutnya diangkat sebagai seorang mufti di salah satu kota. Ia bebas berkelana ke mana saja, hingga ke luar kota, bahkan bisa pergi ke Ankara. Yang satunya lagi kemudian dibebaskan, dan ia kembali menjalani hidup bersama ribuan orang sekampung halaman di Istanbul, bisa bertemu dengan siapa saja.

Sebenarnya, dua orang ini bukanlah satu-satunya orang asing seperti halnya saya. Keduanya memiliki pengaruh besar, punya ini dan itu. Namun mereka disatukan dengan saya di sebuah perkampungan, mereka mempersulit saya dan mengusik saya dengan sikap yang amat kasar dan tidak punya perasaan. Mereka menekan saya dengan perlakuan semena-mena berlipat ganda, sampai-sampai saya tidak bisa pergi ke sebuah perkampungan sejauh perjalanan sepertiga jam, selain hanya dua kali dalam jangka waktu enam tahun. Saya sekalipun tidak pernah diizinkan untuk pergi ke perkampungan tersebut sekedar untuk mencari udara segar barang berapa hari.

Sekedar memberitahukan, pemerintahan mana pun tentu memiliki satu undang-undang, bukannya banyak undang-undang sebanyak wilayah dan warga negara. Karena itu, undang-undang yang mereka terapkan kepada saya adalah pelanggaran terhadap undang-undang itu sendiri.

Para pejabat di sini memanfaatkan pengaruh pemerintahan untuk tujuan-tujuan pribadi. Namun demikian, puji syukur tanpa batas saya panjatkan kepada Allah. Dan sekedar untuk memberitahukan nikmat, saya sampaikan bahwa seluruh perlakuan mereka yang mempersulit dan semena-mena, justru menjadi laksana kayu bakar untuk api kerja keras dan idealisme yang semakin 

262. Page

membuat cahaya-cahaya al-Qur’an (Risalah al-Nur) memburat terang, mengobarkan, dan semakin membuatnya bercahaya terang.

Cahaya-cahaya al-Qur’an, berkat berbagai macam kesulitan, menyebar dengan kehangatan kerja keras dan idealisme yang menjadikan provinsi ini –bahkan sebagian besar wilayah lain– laksana sekolah, sebagai ganti dari Barla.

Mereka mengira saya tahanan kota. Padahal sebaliknya, Barla justru menjadi arena tempat menyampaikan pengajaran meski orang-orang zindik tidak suka. Dan sebagian besar kota kini menjadi sekolah layakanya provinsi Isparta.


الحمد لله هذا من فضل ربي

Segala puji bagi Allah, ini adalah karunia Rabbku.

 

Risalah kelima yang merupakan permasalahan kelima, adalah risalah syukur yang sudah dicantumkan dalam kitab “Tongkat Musa,” untuk itu tidak dicantumkan di sini.

 

 

Permasalahan Ketujuh

Risalah Ketujuh

 

بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yunus [10]: 58)

 

Permasalahan ini terdiri dari tujuh isyarat

 

Isyarat Pertama: Kami akan menjelaskan tujuh sebab di mana sebagian di antaranya menampakkan rahasia-rahasia pertolongan Ilahi, sekedar untuk membicarakan nikmat Allah.


263. Page

Sebab pertama:

Terkait sebuah mimpi menjelang Perang Dunia pertama:

Dalam mimpi ini, saya serasa berada di kaki gunung Agri yang terkenal, yang biasa disebut gunung Ararat. Tiba-tiba gunung ini meletus, bagian-bagian gunung ini yang begitu besar sebesar gunung, berterbangan ke berbagai penjuru bumi.

Tanpa diduga, saya melihat ibu saya berada di dekat saya di tengah-tengah kejadian hebat ini. Saya katakan pada ibu, “Ibu, jangan takut, ini sudah menjadi perintah Allah, Ia Maha Penyayang lagi Bijaksana.”

Di tengah situasi ini, saya melihat seseorang memerintahkan saya, “Jelaskan kemukjizatan al-Qur’an!”

Setelah itu saya terbangun, dan saya mengerti akan terjadi sebuah ledakan besar, benteng-benteng yang mengelilingi al-Qur’an akan runtuh pasca ledakan dan revolusi ini. Al-Qur’an akan membela diri secara langsung, akan menghadapi berbagai serangan, kemukjizatan al-Qur’an akan menjadi baju pelindung, dan orang seperti saya ini –jauh melebihi batasan diri– akan menampakkan semacam kemukjizatan al-Qur’an di zaman sekarang ini. Saya tahu, saya merupakan calon untuk menjalankan peran itu.

Mengingat penjelasan kemukjizatan al-Qur’an dalam batasan tertentu sudah terwujud melalui al-Kalimat, maka tak perlu diragukan, bahwa pertolongan Ilahi yang menjadi bagian dari kemukjizatan ini, menaungi dakwah kita, juga menjadi salah satu berkah untuk membela kemukjizatan itu. Karena itu, perhatian ini perlu disampaikan.

 

Sebab kedua:

Mengingat al-Qur’an adalah pembimbing, pemimpin, dan imam kita, juga sebagai penuntun kita dalam menjalankan semua adab tatakrama, dan mengingat al-Qur’an memuji dirinya sendiri, maka demikian pula halnya dengan kita. Kita akan memuji penafsiran al-Qur’an sesuai tuntunan dan ajaran al-Qur’an.

Mengingat al-Kalimat merupakan semacam penafsiran al-Qur’an, mengingat risalah-risalah tersebut milik al-Qur’an dan hakikat-hakikatnya, mengingat al-Qur’an akan menampakkan dirinya sendiri melalui sebagian besar surahnya, khususnya surah-surah yang diawali ألر dan حم sepenuh keagungan dan kemuliaan, mengingat al-Qur’an akan menyebut kesempurnaan-kesempurnaannya, memuji dirinya sendiri dengan pujian yang sepatutnya, maka kita dibebankan untuk memperlihatkan perhatian rabbani yang merupakan kilauan-kilauan mukjizat al-Qur’an yang memantul pada al-Kalimat

264. Page

juga sebagai pertanda bahwa dakwah ini diterima. Karena seperti itulah yang dilakukan guru kita, maka seperti itu pula ajaran dan tuntunan yang ia sampaikan kepada kita.

 

Sebab ketiga:

Saya tidak membicarakan al-Kalimat dengan merendahkan hati, tapi saya ingin menyampaikan sebuah hakikat berikut:

Hakikat-hakikat dan kesempurnaan-kesempurnaan yang tertera dalam al-Kalimat bukanlah milik saya, tapi milik al-Qur’an. Al-Qur’an jua yang menjadi sumber saya, bahkan “Kalimat Kesepuluh” sendiri adalah sebagian tetesan dari ratusan ayat al-Qur’an. Demikian pula halnya dengan risalah-risalah lain.

Karena seperti inilah yang saya yakini, dan karena saya ini fana serta pasti berlalu, maka jangan sampai ada sesuatu pun yang dikaitkan dengan saya, jangan sampai ada peninggalan-peninggalan abadi dikaitkan dengan saya.

Mengingat orang-orang sesat dan semena-mena biasanya membantah sebuah kitab yang tidak mereka suka dengan mengkritik si penulis kitab tersebut, maka risalah-risalah yang terikat dengan bintang-bintang langit al-Qur’an ini jangan sampai diikat dengan tiang-tiang lemah yang bisa runtuh seperti saya yang bisa menjadi sasaran berbagai macam bantahan dan kritikan.

Mengingat kebanyakan orang umumnya membahas keistimewaan-keistimewaan buku tertentu melalui kondisi-kondisi si penulis yang mereka kira sebagai sumber buku tersebut, maka mengaitkan hakikat-hakikat luhur dan permata-permata yang tak terkira nilainya itu pada orang rugi seperti saya ini, juga pada pribadi saya yang tak mampu menampakkan satu pun di antara seribu keistimewaan Risalah al-Nur, itu adalah perlakuan tidak adil terhadap hakikat.

Karena itu, saya mau tidak mau harus menyampaikan, bahwa Risalah al-Nur meraih sebagian di antara keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an bukan dalam kapasitasnya sebagai milik pribadi saya, tapi sebagai milik al-Qur’an.

Saat membahas tentang keistimewaan-keistimewaan setandan anggur, tentu saja tangkai-tangkainya yang kering tidak ikut dibicarakan. Nah, saya adalah tangkai kering itu.

 

Sebab keempat:

Kadang, tawadhu memicu orang untuk kufur nikmat, dan terkadang membicarakan tentang nikmat memicu orang untuk membanggakan diri. Keduanya membahayakan. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari kondisi seperti ini adalah mengakui segala keistimewaan dan kesempurnaan yang 

265. Page

ia miliki, juga menampakkan semua itu sebagai jejak nikmat Sang Pemberi nikmat hakiki, tanpa diakui sebagai milik pribadi. Contoh:

Misalkan seseorang mengenakan sebuah pakaian indah pada Anda, dan ketampanan Anda pun kian terlihat, lalu orang-orang berkata pada Anda, “Masya’Allah! Kau tampan sekali.”

Jika Anda berkata kepada mereka dengan tawadhu, “Tidak! Siapa saya ini?! Saya bukan siapa-siapa. Apa bagusnya baju ini?!”

Ini namanya kufur nikmat, sekaligus sebagai penghinaan terhadap si perancang mahir yang mengenakan pakaian tersebut kepada Anda.

Sebaliknya, jika Anda mengatakan seraya membanggakan diri, “Ya, saya tampan sekali. Adakah yang setampan saya?! Mana, perlihatkan pada saya orang yang setampan saya!”

Ini namanya bangga diri.

Agar terhindar dari rasa bangga diri dan kufur nikmat, yang bersangkutan harus berkata, “Ya, saya jadi tampan, hanya saja ketampanan ini bukan punya saja, tapi karena pakaian ini. Karena itu, ketampanan saya adalah milik orang yang mengenakan pakaian ini pada saya.”

Tak ubahnya dengan saya. Andai suara saya terdengar ke segala penjuru dunia, pasti saya katakan: “Al-Kalimat memang indah dan hakiki, hanya saja bukan punya saya, tapi semata obor-obor yang memancarkan cahaya dari hakikat al-Qur’an.”

Sesuai kaidah; “Saya tidak memuji Muhammad dengan kata-kata saya, tapi saya memuji kata-kata saya dengan Muhammad” (و ما مَدحتُ محمدًا بمقالتِي، لكن مدَحتُ مقالتِي بمحمدٍ), saya sampaikan:

“Saya tidak memuji al-Qur’an dengan kata-kata saya, tapi saya memuji kata-kata saya dengan al-Quran (و ما مَدحتُ القرآنَ بكلمَاتِي، لكن مدَحتُ كلماتي بالقُرآن).

Artinya, saya tidak mampu memperindah hakikat-hakikat kemukjizatan al-Qur’an, saya tidak mampu menampakkan keindahan hakikat-hakikat itu, tapi hakikat-hakikat al-Qur’an yang indah jua yang memperindah kata-kata saya, menjadikan kata-kata saya bernilai luhur dan tinggi.

Mengingat faktanya seperti ini, maka menampakkan keindahan cermin hakikat al-Qur’an bernama Risalah al-Nur demi keindahan hakikat-hakikat al-Qur’an, dan menjelaskan pertolongan-pertolongan Ilahi yang muncul dari cermin tersebut, adalah memberitahukan nikmat yang bisa diterima.


266. Page

Sebab kelima:

Dulu kala, saya pernah mendengar seorang wali mengeluarkan sebagian isyarat gaib milik para wali pendahulu yang memberikan keyakinan, bahwa cahaya akan muncul dari arah timur dan akan melenyapkan kegelapan-kegelapan bid’ah.

Lama nian saya menantikan hadirnya cahaya seperti ini, dan sampai saat ini pun saya masih tetap menanti. Namun bunga-bunga pasti akan bermunculan di musim semi. Karena itu, kita perlu menyiapkan tanah yang cocok untuk bunga-bunga suci itu. Kini kami menyadari bahwa dengan dakwah kami, kami tengah mempersiapkan tanah yang cocok untuk para murid Risalah al-Nur.

Mengingat pertolongan Ilahi khusus untuk cahaya-cahaya bernama al-Kalimat ini bukan milik kita, maka menjelaskan cahaya Risalah al-Nur tidak layak memicu kebanggaan diri, tapi harus menjadi pendorong untuk bersyukur, memuji dan membicarakan nikmat yang Allah berikan.

 

Sebab keenam:

Pertolongan-pertolongan rabbani yang merupakan balasan yang disegerakan, juga menjadi sarana yang memperteguh dan mendorong pengabdian kita untuk al-Qur’an melalui Risalah al-Nur yang kami tulis, semata merupakan taufiq, dan taufiq harus diperlihatkan. Ketika pertolongan menanjak naik melebihi taufiq, saat itu pertolongan menjadi kemuliaan Ilahi. Memperlihatkan kemuliaan Ilahi merupakan syukur secara maknawi. Selanjutnya ketika pertolongan menanjak lebih tinggi dari tingkat kemuliaan Ilahi, saat itu pertolongan menjadi karamah al-Qur’an tanpa campur tangan ataupun kehendak kita, dan kita meraih kemuliaan itu. Menampakkan karamah yang muncul dari arah yang tidak diduga-duga tanpa campur tangan dan keinginan kita ini seperti tidaklah membahayakan. Selanjutnya ketika menanjak lebih tinggi dari karamah biasa, saat itu menjadi obor kemukjizatan maknawi al-Qur’an.

Mengingat kemukjizatan harus diperlihatkan, maka menampakkan sesuatu yang memperkuat kemukjizatan al-Qur’an jelas dilakukan demi al-Qur’an itu sendiri, sehingga tidak bisa untuk dijadikan pemicu kebanggaan diri ataupun sikap terpedaya, tapi harus menjadi pendorong rasa syukur dan pujian untuk Allah.

 

Sebab ketujuh:

Delapanpuluh persen orang bukanlah ahli tahqiq yang bisa menggapai hakikat, mengetahui hakikat sebagai sebuah hakikat, dan menerima apa adanya. Mereka hanyalah pengikut yang menerima semua permasalahan yang mereka dengar dari orang-orang yang mereka percaya dan mereka jadikan 

267. Page

acuan karena mengacu pada kondisi luar dan prinsip baik sangka pada mereka. Bahkan, ketika mereka melihat sebuah hakikat kuat di tangan seorang lemah, mereka anggap itu sebagai kebenaran lemah, dan ketika melihat sebuah permasalahan yang tidak penting di tangan orang penting, mereka kira itu sebagai permasalahan penting dan bernilai.

Berdasarkan hal tersebut, saya mau tidak mau harus mengatakan agar saya tidak meruntuhkan kedudukan hakikat-hakikat iman dan al-Qur’an yang berada di tangan orang lemah dan malang seperti saya ini di mata kebanyakan orang:

Di luar sana ada yang menggunakan kita tanpa kita kehendaki dan tanpa sepengetahuan kita. Ia menggunakan kita untuk menjalankan hal-hal penting tanpa kita sadari. Buktinya:

Kita mendapatkan pertolongan dan kemudahan tanpa kita sadari dan kehendaki, karena kita dibebankan untuk menyampaikan pertolongan-pertolongan itu dengan suara paling keras yang kita punya.

Mengacu pada tujuh sebab di atas, berikut akan kami sampaikan sejumlah pertolongan rabbani yang menyeluruh:

 

Isyarat pertama:

Adanya keselarasan-keselarasan (tawafuq) seperti yang telah dijelaskan di “Nuktah Pertama” dari “Masalah Kedelapan” “Surat Keduapuluh Delapan.” Di antara keselarasan-keselarasan itu adalah:

Kata-kata “Rasul mulia S.a.w” (الرسول الأكرم عليه الصلاة و السلام) yang ditulis lebih dari duaratus kali, terlihat sama, selaras dan tersusun rapi dalam enampuluh halaman risalah Mukjizat Muhammad, kecuali hanya dua halaman saja, di salinan salah seorang pengganda Risalah al-Nur. Ini terjadi tanpa ia sadari, dimulai dari “Isyarat Ketiga” hingga “Isyarat Kedelapanbelas.” Siapa pun yang mencermati dua halaman tersebut dengan obyektif, pasti percaya bahwa keselarasan ini sama sekali bukan kebetulan.

Jika memang keselarasan ini terjadi karena kebetulan, tentu hanya ada pada separuh kalimat-kalimat yang ada di satu halaman saja, tidak mungkin jika keselarasan ini terjadi pada semua halaman.

Karena itu, penulisan kata “Rasul mulia S.a.w” yang terlihat selaras dengan penuh keseimbangan dan kerapian sebanyak dua, tiga, empat, atau lima kali, mustahil jika terjadi secara kebetulan.

Terlebih, keselarasan ini tidak bisa diubah oleh kedelapan pengganda Risalah al-Nur yang berbeda-beda. Ini memberikan sebuah isyarat gaib yang amat kental.

Kefasihan al-Qur’an mencapai tingkatan mukjizat, di mana tak seorang pun mampu mencapai tingkatan ini meski dalam buku-buku para ahli balaghah telah menjelaskan tingkatan-tingkatan 

268. Page

kefasihan bahasa. Demikian pula halnya dengan keselarasan-keselarasan yang ada dalam “Catatan Kesembilan Belas” yang merupakan cermin mukjizat-mukjizat Muhammad S.a.w dan di “Kalimat Keduapuluh Lima” yang merupakan terjemah mukjizat-mukjizat al-Qur’an, serta di bagian-bagian lain Risalah al-Nur yang merupakan semacam tafsir al-Qur’an. Keselarasan-keselarasan tersebut tampak aneh, unggul di atas semua kitab. Ini menunjukkan keselarasan-keselarasan ini merupakan bagian dari karamah mukjizat al-Qur’an dan mukjizat Nabi Muhammad S.a.w yang tercermin di dalam cermin-cermin tersebut (Risalah al-Nur).

 

Isyarat kedua:

Pertolongan rabbani kedua khusus untuk para pengabdi al-Qur’an:

Allah menganugerahkan kepada orang separuh buta huruf seperti saya ini,[1] yang seorang diri di negeri asing, yang dilarang untuk berhubungan dengan orang lain, sejumlah saudara yang senantiasa membantu, kuat, serius, tulus, dan bersungguh-sungguh. Mereka rela berkorban dengan pena-pena mereka yang laksana pedang berlian, dan memikul beban tugas al-Qur’an yang amat berat sekali di kedua pundak saya yang lemah ini. Dengan kemuliaan-Nya yang sempurna, Dia meringankan beban saya.

Jamaah yang diberkahi ini laksana perangkat-perangkat penerima tanpa kabel (meminjam istilah Khalusi), dan laksana mesin-mesin yang menghasilkan tenaga listrik bagi pabrik cahaya (meminjam istilah Shabri). Masing-masing di antara seluruh individu jamaah ini memiliki beragam keistimewaan dan karakteristik berbeda. Mereka semua menyebarkan rahasia-rahasia al-Qur’an dan cahaya-cahaya iman ke seluruh penjuru negeri dalam bentuk yang hampir sama dengan semangat juang, kesungguhan, kedisiplinan dan kesempurnaan. Mereka semua menyampaikan cahaya-cahaya itu ke berbagai tempat, dengan cara yang selaras secara gaib (menurut istilah Shabri juga). Mereka semua menyampaikan dakwah dengan penuh kerinduan, semangat, dan kesungguhan tanpa kenal lelah di masa ini, dimana huruf-huruf (Arab) sudah diganti (Latin), tidak ada percetakan, sementara banyak orang memerlukan cahaya-cahaya iman, di samping adanya banyak sekali faktor yang bisa saja menimbulkan kelemahan, mematahkan semangat, dan keinginan untuk bekerja. Ini semua jelas merupakan karamah al-Qur’an dan pertolongan Ilahi.

Seperti halnya kewalian memiliki karamah, niat tulus pun memiliki karamah. Seperti halnya memberikan seluruh penghormatan dan keuntungan untuk seorang pemimpin batalon yang berhasil

[1] Imam Said Nursi tidak menulis dengan pena, karena tulisan beliau jelek.



269. Page

menaklukkan sebuah benteng adalah tindakan lalim dan keliru, demikian pula halnya kalian. Kalian tidak mungkin memberikan segenap pertolongan yang ada di balik kemenangan-kemenangan yang diraih oleh kekuatan kepribadian maknawi kalian melalui pena-pena kalian, kepada orang malang seperti saya ini.

Jamaah yang diberkahi seperti kalian ini jelas merupakan isyarat gaib yang kuat, lebih kuat dari keselarasan-keselarasan gaib. Saya bisa melihatnya, hanya saja saya tidak bisa memperlihatkan isyarat gaib ini pada semua orang.

 

Isyarat ketiga:

Penegasan hakikat-hakikat keimanan dan al-Qur’an yang penting yang disampaikan melalui bagian-bagian Risalah al-Nur secara pasti, bahkan terhadap manusia yang paling lalim sekalipun, adalah sebuah isyarat gaib dan pertolongan Ilahi yang kuat sekali. Sebab, di antara hakikat-hakikat iman dan al-Qur’an terdapat sesuatu yang bahkan Ibnu Sina yang tergolong orang jenius mengakui tidak mampu memahaminya. Dia mengatakan, “Akal tak mungkin mampu menjangkaunya.”

Namun, “Kalimat Kesepuluh” mengajarkan hakikat-hakikat yang tak mampu disampaikan oleh orang sejenius Ibnu Sina, bahkan terhadap orang awam atau anak-anak.

Contoh: Masalah rahasia takdir dan kehendak (ikhtiyar juz’i) manusia baru bisa diuraikan oleh ulama besar al-Taftazani[1] dalam limapuluh halaman dengan judul “Duabelas Mukadimah” dalam bukunya al-Talwih yang terkenal itu, dan hanya bisa dijelaskan ke kalangan khusus (khawwas). Namun, masalah tersebut dapat dijelaskan dalam dua halaman saja di dalam Risalah al-Nur, pada “Bahasan Kedua” dari “Kalimat Keduapuluh Enam” yang secara khusus membahas tentang takdir. Rahasia takdir dijelaskannya secara sempurna, memadai, dan tuntas dengan cara yang bisa difahami semua lapisan masyarakat. Jika ini bukan pengaruh pertolongan Ilahi, lalu apa?!

Demikian pula halnya teka-teki misteri dan membingungkan yang disebut sebagai rahasia penciptaan alam dan teka-teki jagad raya yang membuat seluruh akal gamang, tak mampu dijelaskan oleh filsafat apa pun juga. Namun, semua ini dapat diungkap dan dijelaskan di dalam “Surat Keduapuluh Empat” dengan kemukjizatan al-Qur’an, juga dalam “Nuktah yang Memiliki Tanda” di

[1] Mas’ud bin Umar bin Abdullah at-Taftazani (Sa’duddin), 712-791 H./ 1312-1389 M., ahli di bidang nahwu, sharf, ma’ani, bayan, fiqh, ushul, manthiq, dan lainnya, lahir di Taftazan, salah satu perkampungan Nasa, wafat di Samarqand, di antara karya-karyanya; Syarh Talkhish al-Miftah di bidang Ma’ani dan Bayan, Hasyiyat ‘ala al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari, di bidang tafsir, al-Tahdzib di bidang manthiq, al-Maqashid di bidang ilmu kalam. Ia berada di puncak ilmu balaghah di belahan bumi timur, bahkan di seluruh penjuru negeri, tanpa tandingan.




270. Page

bagian akhir “Kalimat Keduapuluh Sembilan,” serta di dalam enam hikmah “Peralihan-peralihan Atom” yang tertera dalam “Kalimat Ketigapuluh.”

Risalah-risalah ini mengungkap dan menjelaskan teka-teki membingungkan di alam raya ini, penciptaan jagad raya yang tidak diketahui seperti apa hasil akhirnya nanti, juga menjelaskan rahasia seluruh pergerakan di balik peralihan dan perubahan atom-atom, serta apa hikmahnya. Semua penjelasan ini terjangkau bagi siapa pun. Bagi yang ingin mengetahui, silahkan merujuk bagian-bagian yang telah disebut di atas.

“Kalimat Keenam Belas” dan “Kalimat Ketigapuluh Dua” menjelaskan hakikat-hakikat besar dan mencengangkan itu, sebagaimana penjelasan keesaan rububiyah tanpa sekutu melalui rahasia kesatuan (ahadiyah), kedekatan Ilahi dengan kita secara mutlak meski kita jauh dari-Nya secara mutlak. Hal sama dijelaskan dalam kalimat “Ia Maha Kuasa atas Segala Sesuatu” dalam “Surat Keduapuluh,” serta di dalam tambahan kalimat ini yang terdiri dari tiga contoh. Dijelaskan bahwa seluruh atom dan planet bagi kuasa Ilahi sama saja, menghidupkan seluruh makhluk hidup dalam penghimpunan besar seluruh manusia amat mudah bagi kuasa Ilahi semudah menghidupkan satu jiwa, dan intervensi kesyirikan dalam penciptaan jagad raya tidak mungkin bagi akal, hingga sampai pada tingkatan mustahil.

Hakikat-hakikat iman dan al-Qur’an memiliki begitu luas, di mana kecerdasan manusia yang paling tinggi tak mampu menjangkaunya. Meski demikian, munculnya sebagaian besar hakikat tersebut secara detail melalui tangan orang seperti saya yang fikirannya bercabang-cabang, yang berada dalam kondisi memprihatinkan, tak punya sumber atau referensi, menghadapi banyak sekali derita dan kesulitan, mampu menulis dengan cepat, sungguh merupakan sebuah kemukjizatan maknawi al-Qur’an secara langsung, sungguh merupakan salah satu wujud pertolongan rabbani dan isyarat gaib yang amat kental.

 

Isyarat keempat:

Berkat karunia Allah, saya mampu mengarang sekitar enampuluh risalah. Karya-karya itu, yang ditulis oleh orang seperti saya yang jarang berfikir, lebih mengikuti metode spontanitas dan dekte, dan saya tak punya waktu untuk memeriksa ulang secara teliti, adalah karya-karya yang tergolong sulit ditulis bahkan meski melalui usaha dan jerih payah seperti biasanya dilakukan orang-orang jenius yang cerdik dan terkemuka. Ini menunjukkan adanya pengaruh pertolongan Ilahi, bukan yang lain, karena seluruh hakikat mendalam di seluruh bagian Risalah al-Nur bisa disampaikan dan diajarkan, melalui perumpamaan, bahkan kepada kalangan awam dan buta huruf sekalipun. Padahal, banyak ulama besar 

271. Page

tak mampu mengajarkan hakikat-hakikat mendalam pada kalangan terpelajar, apalagi kalangan awam. Mereka mengatakan bahwa sebagian besar hakikat ini tidak mungkin bisa disampaikan dan diajarkan.

Orang seperti saya yang tidak menguasai bahasa Turki dengan baik, tutur katanya tidak jelas, bahkan sebagian besar di antaranya tidak difahami, sejak dulu dikenal mempersulit hakikat-hakikat yang sudah tampak dengan jelas, dan jejak-jejak masa lalunya membenarkan reputasi buruk ini, namun memiliki penjelasan yang luar biasa mudah seperti ini, mampu menjelaskan hakikat-hakikat yang sulit difahami akal kebanyakan orang dengan cara yang mudah difahami layaknya hakikat-hakikat yang mudah. Ini semua jelas merupakan tanda pertolongan Ilahi, mustahil terjadi hanya karena keahlian orang seperti saya. Bahkan kemudahan ini merupakan salah satu manifestasi kemukjizatan maknawi al-Qur’an, menggambarkan sekaligus memantulkan perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an.

 

Isyarat kelima:

Meski Risalah al-Nur menyebar luas di seluruh kalangan, meski banyak sekali tingkatan dan kelompok masyarakat –mulai dari ulama besar hingga awam paling rendah tingkatannya, dari wali ahli kalbu yang paling agung hingga filosof atheis yang paling membangkang– sama-sama melihat dan membaca risalah-risalah tersebut. Bahkan, sebagian dari mereka mendapatkan tamparan dari risalah-risalah ini. Meski demikian, tak seorang pun mengkritik risalah-risalah ini, bahkan setiap kalangan dan kelompok memetik manfaat sesuai tingkatan masing-masing. Ini menunjukkan tanda pertolongan rabbani dan kemuliaan al-Qur’an secara langsung.

Demikian pula halnya penulisan risalah-risalah ini yang begitu cepat di tengah situasi sulit yang mengganggu kesadaran dan fikiran saya. Risalah-risalah ini seharusnya hanya bisa dihasilkan melalui serangkaian studi dan riset. Ini juga merupakan tanda pertolongan dan kemuliaan rabbani.

Sebagian besar saudara saya, teman-teman saya, dan para pengganda tulisan, mengetahui bahwa lima bagian dari “Surat Kesembilan Belas” ditulis hanya dalam beberapa hari, setiap harinya beberapa jam saja yang semestinya memerlukan waktu hingga duabelas jam, tanpa merujuk kitab apa pun. Bahkan ada satu bagian ditulis hanya dalam waktu tiga atau empat jam di sebuah gunung, di bawah guyuran hujan, berdasarkan ingatan saja. Bagian yang dimaksud adalah bagian keempat yang menampakkan stempel nubuwah di balik kata-kata “Rasul mulia S.a.w.”

Sebuah risalah yang amat penting, “Kalimat Ketigapuluh,” ditulis dalam waktu enam jam di salah satu taman, “Kalimat Keduapuluh Delapan” ditulis di Taman Sulaiman dalam waktu satu jam atau maksimal dua jam. Demikian pula halnya penulisan sebagian besar risalah lainnya.


272. Page

Orang-orang terdekat saya sejak lama sudah mengetahui bahwa saya tidak bisa menjelaskan hakikat-hakikat yang sudah jelas sekalipun ketika saya mengalami berbagai derita dan kesedihan. Bahkan saya tidak mengetahui hakikat-hakikat sejelas itu, khususnya ketika saya sedang sakit. Saya tidak bisa mengajar atau menulis secara berlebih.

Meski demikian, kalimat-kalimat paling penting dan juga Risalah al-Nur lainnya justru ditulis di sebagian besar waktu di mana saya mengalami banyak beban dan penyakit, ditulis dengan begitu cepat secara mencengangkan. Kalau ini bukan pertolongan Ilahi, kemuliaan rabbani, dan kemuliaan al-Qur’an, lalu apa?!

Berbeda dengan kitab-kitab lain yang membahas hakikat-hakikat Ilahi dan iman seperti ini, sebagian permasalahan yang disampaikan justru membahayakan sebagian orang, sehingga semua permasalahannya tidak menyebar luas ke semua orang.

Berbeda dengan risalah-risalah ini yang tidak memberikan efek buruk apa pun pada siapa pun, tidak menghasut siapa pun, tidak mengelirukan akal fikiran. Saya sering bertanya kepada banyak orang tentang hal ini, sehingga terbukti jelas bagi kami bahwa semua ini tidak lain merupakan isyarat gaib dan pertolongan rabbani.

 

Isyarat keenam:

Terbukti secara meyakinkan bagi saya, bahwa sebagian besar kehidupan saya berlalu di luar kehendak, kemampuan, perasaan dan pengaturan saya, serta dijalankan secara aneh hingga membuahkan risalah-risalah yang mengabdi kepada al-Qur’an ini. Seluruh bagian kehidupan ilmiah saya seakan menjadi mukadimah untuk persiapan, dan terus berjalan dalam bentuk yang memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an melalui al-Kalimat.

Bahkan, pembuangan dan pengasingan saya selama tujuh tahun ini, jauhnya saya dari pergaulan tanpa sebab di luar kehendak saya, menjalani kehidupan seorang diri di sebuah perkampungan nan jauh tidak seperti yang saya inginkan, rasa benci dalam diri saya terhadap ikatan-ikatan kehidupan sosial dan menjauhi semua itu sejak lama, semua ini sama sekali tidak menyisakan keraguan apa pun bahwa kejadian-kejadian tersebut tidak lain mendorong saya untuk menjalankan pelayanan al-Qur’an secara tulus ikhlas dan jernih.

Bahkan saya yakin, di balik tirai berbagai gangguan yang dilakukan terhadap saya, serta di bawah berbagai kesulitan yang dihadapkan pada saya secara semena-mena, terdapat tangan pertolongan Ilahi. Tangan inilah yang mengatur segala urusan dalam bentuk kasih sayang agar mendorong saya untuk fokus memikirkan rahasia-rahasia al-Qur’an, agar tidak memikirkan yang lain.


273. Page

Lebih dari itu, ada bisikan di dalam hati saya untuk tidak membaca kitab-kitab lain, dan saya pun merasa enggan untuk membaca secara total, padahal sebelumnya saya terbilang kutu buku.

Akhirnya saya sadar, faktor yang mendorong saya untuk tidak lagi membaca berbagai referensi yang sebenarnya bisa memberikan hiburan dan menjadi pendamping saya di tengah keterasingan seperti ini adalah agar ayat-ayat al-Qur’an menjadi guru dan pembimbing mutlak bagi saya secara langsung.

Sebagian besar risalah yang ditulis sekaligus, merupakan karunia yang dilimpahkan kepada saya sesuai kebutuhan ruhani saya tanpa adanya sebab luar apa pun. Selanjutnya saat saya sampaikan risalah-risalah ini kepada beberapa orang terdekat, mereka mengatakan bahwa risalah-risalah ini adalah obat segala penyakit bagi zaman ini. Setelah risalah-risalah ini menyebar luas, saya tahu melalui sebagian besar saudara saya bahwa risalah-risalah ini merupakan terapi yang tepat untuk berbagai keperluan zaman sekarang, juga obat yang cocok untuk berbagai penyakit.

Seluruh kondisi dan peristiwa hidup saya di atas yang terjadi di luar kehendak, perasaan, kesadaran, dan perilaku saya itu merupakan jalan lain, berbeda jalan yang lazim dikenal dalam berbagai disiplin ilmu. Itu berada di luar ikhtiyar dan kehendak saya. Ini semua tidak menyisakan sedikit pun keraguan dan syak bagi saya bahwa itu merupakan pertolongan Ilahi dan kemuliaan rabbani besar yang membimbing menuju hasil suci seperti ini.

 

Isyarat ketujuh:

Di sela-sela menyampaikan dakwah dan pelayanan ini selama lima atau enam tahun, kami melihat dengan mata kepala sendiri ratusan jejak kemuliaan Ilahi, pertolongan rabbani, dan kemuliaan al-Qur’an, tanpa perlu dilebih-lebihkan.

Sebagian di antaranya sudah kami singgung dalam “Surat Keenambelas,” sebagian lainnya kami singgung secara terpisah di dalam sejumlah permasalahan yang tertera dalam “Bahasan Keempat” dari “Surat Keduapuluh Enam,” ada juga yang disebutkan dalam “Permasalahan Ketiga” dari “Surat Keduapuluh Delapan.” Teman-teman dekat saya mengetahui itu, dan teman abadi saya, Sayyid Sulaiman juga mengetahui sebagian besar di antaranya.

Kami mendapatkan banyak kemudahan dan kegampangan yang memiliki karamah melebihi harapan kami, khususnya dalam penyebaran Risalah al-Nur, pengoreksian dan penempatan risalah-risalah di bagian yang tepat, serta dalam draft kasar dan draft akhir. Ini sama sekali tidak menyisakan keraguan pada kami bahwa ini merupakan karamah al-Qur’an. Contoh-contohnya mencapai ratusan kasus.


274. Page

Dalam penghidupan, saya dirawat dan diberi makan dengan kasih sayang, bahkan Sang Penolong, Allah S.w.t, yang mempergunakan kami, mewujudkan keinginan terkecil hati dengan cara yang tidak kami duga untuk mengenyangkan kami. Ini juga merupakan isyarat gaib yang begitu kental bahwa kami ini dipergunakan dan dituntun untuk memberikan pelayanan al-Qur’an dalam lingkup ridha Allah dan di bawah pertolongan-Nya.

فالحمد لله هذا من فضل ربي

Segala puji bagi Allah, ini adalah karunia Rabbku.


سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا  إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)


اللهم صل على سيدنا محمد صلاةً تكون لك رضاءً ولحقّهِ أداءً و على آله و صحبه وسلم تسليما كثيرا، آمين

Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan sebanyak-banyaknya kepada junjungan kami, Muhammad, rahmat yang membuat-Mu ridha, sekaligus untuk menunaikan hak beliau, limpahkan pula kepada keluarga dan para sahabatnya. Amin.

 

 

Jawaban untuk sebuah pertanyaan pribadi dan rahasia

 

Pertolongan Ilahi dalam bentuk rahasia seperti ini sudah ditulis sejak lama dan tidak disebarluaskan, dan selanjutnya dilampirkan di bagian akhir “Kalimat Keempatbelas.” Hanya saja karena satu-dua sebab, para pengganda lupa tidak menyertakan bagian ini, dan tetap tersembunyi.

Dan inilah bagian yang tepat untuk menyebutkan tentang rahasia pertolongan Ilahi yang dimaksud.

Kau bertanya kepada saya: Mengapa kami menemukan kekuatan dan pengaruh dalam al-Kalimat yang kau tulis bersumber dari al-Qur’an yang jarang kami temukan dalam penjelasan para mufassir dan ‘arif. Sebab, terkadang dalam satu baris ditemukan seperti kekuatan satu halaman penuh, dan dalam satu halaman ditemukan seperti pengaruh satu kitab penuh?

Jawab: Jawaban pertanyaan ini indah dan lembut;

Mengingat kemuliaan ini sepenuhnya menjadi milik kemukjizatan al-Qur’an, dan bukan milik saya, maka tanpa beban saya katakan:


275. Page

Memang sebagian besar (Risalah al-Nur) seperti itu, karena risalah-risalah yang ditulis merupakan:

Pembenaran, bukan pengandaian.

Keimanan, bukan penyerahan.

Kesaksian dan syuhud, bukan pengetahuan intuitif.

Tahqiq, bukan taqlid.

Keyakinan, bukan pemaksaan.

Hakikat, bukan tasawuf.

Bukti atas pengakuan, bukan klaim dan seruan.

Hikmah rahasia ini sebagai berikut:

Pada masa lalu, asas-asas keimanan terjaga dan terpelihara, dan penerimaan saat itu sangat kuat sekali. Penjelasan para ‘arif terkait masalah-masalah cabang bisa diterima dan dirasa sudah cukup, bahkan meski tidak disertai dalil.

Namun saat ini, kesesatan berbagai disiplin ilmu sudah menjulurkan tangannya hingga menyentuh asas-asas dan rukun-rukun iman. Karena itu, Allah Yang Maha Bijaksana lagi Penyayang memberikan pada tulisan-tulisan saya, khusus terkait pengabdian al-Qur’an –sebagai bentuk kasih sayang terhadap kelemahan saya, juga kasih sayang terhadap kemiskinan saya– obor rahasia perumpamaan yang merupakan mukjizat-mukjizat al-Qur’an yang paling terang.

Alhamdulillah, melalui kacamata “rahasia perumpamaan”:

Hakikat-hakikat yang terasa jauh dari akal, tampak sangat dekat sekali.

Sebagian permasalahan yang berserakan di sana-sini, bisa disatukan melalui rahasia perumpamaan.

Tingkatan hakikat paling tinggi bisa dicapai melalui tangga rahasia perumpamaan.

Melalui jendela rahasia perumpamaan, tercapailah keimanan meyakinkan terhadap hakikat-hakikat iman dan asas-asas Islam.

Waham dan hayalan bersama akal, bahkan jiwa dan hawa nafsu, dipaksa untuk menyerah, seperti halnya setan dipaksa untuk menyerahkan senjata.

 

Kesimpulan:

 Keindahan dan pengaruh yang ada dalam tulisan-tulisan saya tidak lain merupakan kilauan-kilauan perumpamaan al-Qur’an. Peran saya di sini hanya sebatas memohon karena saya sangat miskin 

276. Page

dan memerlukan bantuan. Saya hanya berdoa sepenuh hati karena saya begitu tidak berdaya. Penyakit sepenuhnya berasal dari saya, dan obat sepenuhnya berasal dari al-Qur’an al-Hakim.

 

Penutup Masalah Ketujuh

 

Penutup ini khusus untuk menghilangkan waham-waham yang muncul, atau mungkin muncul, seputar isyarat gaib yang muncul dalam bentuk delapan pertolongan Ilahi. Juga secara khusus menjelaskan rahasia agung pertolongan Ilahi.

Penutup ini terdiri dari dua nuktah:

 

Nuktah Pertama:

Dalam “Permasalahan Ketujuh” dari “Surat Keduapuluh Delapan” kami nyatakan bahwa di balik ukiran yang ada dalam ungkapan “Keselarasan-keselarasan” (tawafuqat) –yang kami sebut sebagai pertolongan Ilahi yang kedelapan– kami melihat salah satu manifestasi yang kami rasakan sebagai isyarat gaib dari tujuh pertolongan maknawi Ilahi yang menyeluruh.

Kali ini, kami menyatakan bahwa delapan pertolongan Ilahi tersebut amat kuat dan pasti, hingga masing-masing di antaranya menegaskan keberadaan isyarat-isyarat gaib tersebut, bahkan meski sebagian di antaranya terlihat lemah dengan asumsi tidak mungkin. Bahkan, jika pun dipungkiri, tetap itu tidak merusak keberadaan isyarat-isyarat gaib tersebut.

Siapa pun yang tidak mampu mengingkari delapan pertolongan Ilahi tersebut, tentu tidak mampu mengingkari isyarat-isyarat gaib. Hanya saja karena tingkatan-tingkatan setiap orang berbeda, dan tingkatan terbanyak di antaranya diisi orang-orang awam yang umumnya hanya bertumpu pada kedua mata, maka “keselarasan-keselarasan” menurut tingkatan ini merupakan pertolongan yang paling terlihat dan bukan yang paling kuat. Padahal, ada pertolongan dalam bentuk lain yang lebih kuat, meski “keselarasan-keselarasan” lebih umum dan menyeluruh.

Untuk menghilangkan waham-waham ini, mau tidak mau saya harus menjelaskan hakikat yang mirip sebuah perbandingan seputar permasalahan ini. Demikian jelasnya:

Seperti yang telah kami sampaikan tentang pertolongan lahiriah, bahwa kata “al-Qur’an” dan kata “Rasulullah S.a.w” yang ada dalam risalah-risalah kami terlihat memiliki sejumlah keselarasan yang tidak menyisakan keraguan apa pun bahwa kata-kata ini disusun secara sengaja dan diberikan tempat yang selaras. Bukti bahwa kehendak dan maksud tersebut bukan berasal dari kami adalah kami baru mengetahui keselarasan-keselarasan ini tiga atau empat tahun setelahnya. Karena itu, maksud ini 

277. Page

bersifat gaib laksana sebuah pertolongan Ilahi. Posisi yang aneh tersebut diberikan dalam bentuk bantuan tulus untuk kemukjizatan al-Qur’an dan mukjizat-mukjizat Rasulullah S.a.w, juga dalam bentuk keselarasan pada kedua kata tersebut.

Berkah kedua kata ini menjadi tanda kebenaran kemukjizatan al-Qur’an dan kemukjizatan Nabi S.a.w. Keduanya juga menjadikan kata-kata serupa lainnya memiliki keselarasan, namun hanya terbatas pada halaman-halaman tertentu. Kedua kata ini tampak selaras dalam sebagian risalah secara penuh, juga di sebagian besar risalah-risalah lain.

Namun seperti yang sering kami sampaikan, keselarasan seperti ini mungkin saja banyak terdapat dalam kitab-kitab lain, namun tidak seaneh ini karena secara kasat mata menunjukkan adanya tujuan luhur dan kehendak tinggi. Pernyataan kami ini tidak mungkin terbantahkan, meski secara kasat mata bisa dibantah melalui sejumlah sisi berikut:

Di antaranya, mereka mungkin berkata pada kalian, “Kalian sengaja menyusun keselarasan ini setelah sebelumnya berfikir. Membuat keselarasan ini tentu saja mudah jika diinginkan?”

Sebagai bantahan untuk pernyataan ini, berikut kami sampaikan:

Dua saksi benar dalam suatu pengakuan tentu tidak cukup untuk memperkuat pengakuan tersebut. Keselarasan yang baru kami ketahui setelah sekitar empat tahun ini disaksikan oleh seratus saksi yang benar. Terkait hal ini, berikut akan kami jelaskan sebuah poin:

Kemuliaan mukjizat ini bukan semacam tingkatan kemukjizatan kefasihan al-Qur’an, karena kemukjizatan al-Qur’an tak bisa ditandingi oleh kemampuan manusia. Kemuliaan kemukjizatan ini tak mungkin diraih oleh kemampuan manusia, karena kemampuan manusia tidak bisa ikut campur dalam hal ini.

 

Nuktah Ketiga:

Berikut akan kami jelaskan sebuah rahasia jeli di antara rahasia-rahasia rububiyah dan rahmaniyah terkait isyarat khusus dan isyarat umum.

Ada sebuah kata-kata indah milik salah seorang saudara saya. Kata-kata ini akan menjadi topik bahasan permasalahan ini.

Ketika saya perlihatkan keselarasan lembut padanya, ia bilang: “Ini bagus, dan setiap hakikat itu indah dengan sendirinya. Hanya saja keselarasan-keselarasan dan kesamaan dalam kalimat-kalimat ini lebih indah dan lembut.”

Saya sahut, “Ya, segala sesuatu itu indah. Mungkin dari sisi sesuatu itu sendiri, mungkin esensinya, atau mungkin hasil-hasilnya. Keindahan ini semata milik rububiyah umum, rahmat syumul 

278. Page

dan manifestasi umum. Isyarat gaib yang ada dalam keselarasan ini lebih indah seperti yang kau bilang, karena semuanya mengarah pada rahmat, rububiyah, dan manifestasi yang khusus.”

Agar lebih mudah difahami, berikut kami sampaikan sebuah perumpamaan:

Dengan undang-undang dan kekuasaan umum, kasih sayang seorang sultan bisa saja mencakup seluruh individu rakyat.

Setiap individu rakyat mendapatkan kemuliaan dan kelembutan si sultan ini, juga bernaung di bawah kekuasaannya. Seluruh individu memiliki hubungan-hubungan pribadi secara umum.

Sisi kedua, hadiah, pemberian, dan perintah-perintah khusus si sultan. Dengan hadiah, si sultan memuliakan dan memuji salah seorang rakyat, juga memberikan perintah dengan cara khusus, mengalahkan aturan undang-undang.

Seperti halnya perumpamaan ini, segala sesuatu punya bagian dari rububiyah dan rahmat umum milik Zat yang wajib ada, dan segala sesuatu memiliki hubungan pribadi dengan Allah sebatas bagian yang ia miliki. Allah mengatur segala sesuatu dengan kuasa, kehendak, dan pengetahuan-Nya yang meliputi. Allah mengatur segala sesuatu bahkan yang bersifat tidak penting dan kecil. Segala sesuatu memerlukan bantuan-Nya dalam segala kondisi. Berbagai urusan segala sesuatu dituntaskan dan diatur dengan pengetahuan dan hikmah-Nya.

Alam tak mampu menyembunyikan diri dalam lingkup perilaku rububiyah tersebut, juga tidak memiliki pengaruh ataupun intervensi di sana. Kebetulan tak mampu ikut campur dalam segala urusan dan kondisi Allah dalam lingkup mizan hikmah yang amat sensitif.

Kebetulan dan faktor alam sudah kami bantah di duapuluh bagian dalam Risalah al-Nur dengan bukti-bukti pasti, kami lenyapkan keduanya dengan pedang al-Qur’an, kami tampakkan dan kami jelaskan bahwa kebetulan dan faktor alam mustahil ikut campur dalam segala urusan.

Hanya saja orang-orang lalai menyebut kebetulan untuk segala sesuatu yang tidak diketahui hikmah dan sebab-sebabnya, atau segala sesuatu yang terjadi dalam lingkup sebab-sebab nyata yang berada dalam lingkup rububiyah umum. Mereka tak mampu melihat tindakan-tindakan Ilahi yang hikmah-hikmahnya tak dapat dijangkau akal, karena memang tersembunyi di balik tirai faktor alam, hingga mereka mengetuk pintu alam.

Kedua, rububiyah khusus, kemuliaan dan pertolongan rahmani khusus, di mana nama al-Rahman al-Rahim (Maha Pengasih lagi Penyayang) secara khusus menolong mereka yang berada di bawah tekanan aturan-aturan umum, menyelamatkan mereka dari tekanan-tekanan itu. Karena itu, setiap makhluk hidup –khususnya manusia- memohon pertolongan kepada Allah setiap saat, dan mungkin benar-benar mendapatkan pertolongan tersebut. Nikmat dan segala karunia Allah yang ada 

279. Page

dalam lingkup rububiyah khusus ini tidak bersembunyi di balik apa yang disebut kebetulan, bahkan bagi orang-orang lalai sekali pun, juga tidak disandarkan kepada faktor alam.

Berdasarkan rahasia ini, kami yakin bahwa isyarat-isyarat gaib yang ada di balik kemukjizatan al-Qur’an dan kemukjizatan Muhammad S.a.w merupakan isyarat-isyarat khusus. Kami juga yakin bahwa isyarat-isyarat ini merupakan pertolongan khusus yang memperlihatkan dirinya sendiri di hadapan orang-orang yang menentang. Karena itu, kami memperlihatkan isyarat-isyarat itu untuk Allah semata. Jika kami salah, semoga ampunan Allah meliputi kami. Amin.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

 “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286)

 

 

Kutipan dari Guru Ahmad Ghalib yang memberikan pengabdian berharga dalam penulisan al-Kalimat

 

Apakah gerangan dada ini merasa sempit karena pengingkar

Sementara di tangan ini terdapat bukti hakikat (al-Qur’an)?!

Kata-katamu, wahai ruhaniku, adalah kata-kata, bukan kata yang dipaksakan

 

Ia adalah inti suci ilmu ladunni

Bukan kutipan dari sana-sini

 

Ia adalah hikmah dan cahaya makrifat

Bukan hawa nafsu, kata sia-sia tiada guna, ataupun filsafat

 

Ia penyuci jiwa dan penjernih ruhani

Ia guru bagi hati, bukannya tasawuf

 

Seluruh kalimat itu adalah mentari makrifat

Tutur kataku ini benar, bukannya mengada-ada

 

Cahaya batinmu memantul melalui tutur katamu …


280. Page

Di sebagian baris kalimat dan bukan kata-kata yang memiliki kesamaan makna

 

Kata-katanya tersusun rapi satu sama lain

Sama sekali bukan dibuat-buat ataupun kebetulan

 

Semua huruf-hurufnya ditata rapi

Ini namanya keselarasan, bukan ketertinggalan

 

Ia adalah salah satu manifestasi rahasia kemukjizatan …

Yang bersumber dari al-Qur’an, dan bukan hampa tanpa makna

 

Ini adalah kebetulan nan indah, elok, dan menawan

Apa pun kata orang, kalimat-kalimat ini bukan palsu

 

Sesungguhnya Badiuzzaman Sa’id Nursi

Indah penuturannya, bukan sebagai perantara ataupun untuk mencari muka

 

Pena yang ada di tangannya tak pernah menyelinap atau istirahat

Karena itulah ia menjadi pusat perhatian, sementara dia bukan penulis huruf

 

Dan dari benarnya kebenaran, datanglah kebenaran

Ini bukan disengaja, bukan pula intervensi

 

Pandangan-pandangan sial yang tidak melihat hal ini

Bergejolak padanya, dan tak berhak dikasihani

 

Aku sering kali begitu gamang secara maknawi

Kata-kataku ini bukanlah dipaksakan agar terlihat indah

 

Apakah keselarasan yang ada padanya dinilai terlalu banyak

Sementara mengungguli keselarasan tersebut bukanlah suatu kemuliaan

 


281. Page

Semoga Allah berkenan memberikan taufiq pada beliau dalam segala hal

Inilah yang disebut keselarasan, bukan tempat untuk berhenti

 

Ahmad Ghalib,

رحمة الله عليه

Semoga Allah melimpahkan rahmat padanya

 

 

Kutipan dari Almarhum Tuan Mejar Ashim

 

Aku bersumpah bahwa kata-kata beliau benar, dan beliau adalah sosok jujur

Tercela mereka yang tidak mau menerima atau mempercayai hakikat ini

Mereka akan senantiasa berada dalam kesesatan dan lembah kerugian sepanjang masa

 

Keahlian tidak lain adalah bimbingan dan penyelamatan atas mereka

Kala mendapat petunjuk, mereka tunduk dan berserah diri seketika itu juga

 

Mari kita berdoa dan memohon kepada Allah agar berkenan memperbaiki semua

Mari kita senantiasa membaca Risalah al-Nur, ia adalah cahaya-cahaya al-Qur’an, dan mari kita sampaikan

 

Agar kita mendapat luapan cahaya dalam meniti jalan ini, agar dada kita lapang

Agar kita meraih ridha Sang Pencipta dalam pergantian fana menjadi keabadian

 

Kata-kata Ghalib yang bernilai itu patut mendapatkan seratus ribu pujian

Ia jelas menang karena menyampaikan hakikat-hakikat ini

 

MejarAshim,

رحمة الله عليه

Semoga Allah melimpahkan rahmat padanya

 


282. Page

Permasalahan Kedelapan

Risalah kedelapan

Permasalahan ini merupakan jawaban untuk enam pertanyaan, dan permasalahan ini terdiri dari delapan nuktah

 

Nuktah Pertama:

Kami merasakan banyak sekali isyarat gaib seputar pengabdian kami untuk al-Qur’an yang berada di bawah pertolongan Ilahi, sebagian di antaranya kami perlihatkan secara nyata. Kami juga merasakan isyarat baru lain, di antaranya: di sebagian besar al-Kalimat terdapat banyak keselarasan-keselarasan (tawafuqat) gaib.

Sebagai contoh: Ada sebuah isyarat semacam manifestasi kemukjizatan yang terlihat pada kata “Rasul mulia” dan kata-kata “Alaihish shalatu was salam,” juga kata-kata “al-Qur’an.” Meski terselip dan terasa lemah, isyarat gaib tetap penting dan kuat menurut saya, sebagai petunjuk bahwa pengabdian yang kita lakukan ini diterima dan kebenaran permasalahan-permasalahan yang kita sampaikan, karena isyarat ini mematahkan sikap terpedaya dalam diri saya, secara pasti menjelaskan bahwa saya ini tidak lain hanya sebagai penerjemah, dan tidak menyisakan apa pun yang mendorong saya untuk merasa bangga diri, hanya menampakkan hal-hal yang mendorong untuk bersyukur.

Mengingat isyarat-isyarat ini berkenaan dengan al-Qur’an, merupakan bagian dari kemukjizatan al-Qur’an, tidak melibatkan campur tangan keinginan kami sekecil apa pun, mendorong orang-orang malas untuk berdakwah dan mengamalkan, mewariskan pada kami perasaan qanaah bahwa risalah ini adalah benar, merupakan salah satu kemuliaan Ilahi untuk kita, di mana menampakkan kemuliaan tersebut termasuk membicarakan nikmat, isyarat-isyarat yang membuat orang-orang lalim yang akal mereka melorot ke mata, diam tak berkutik. Karena itu, isyarat-isyarat gaib ini perlu ditampakkan dan diungkap. Insya Allah tidak berbahaya.

Salah satu isyarat-isyarat gaib sebagai berikut:

Sebagai wujud rahmat dan kemuliaan-Nya yang sempurna, Allah memberikan kelembutan keselarasan-keselarasan gaib di seluruh risalah kami, khususnya risalah tentang “Mukjizat-mukjizat Muhammad,” risalah “Mukjizat-mukjizat al-Qur’an,” dan risalah “Jendela-jendela,” yang mendorong kami yang berkecimpung dalam pengabdian al-Qur’an dan iman. Hal itu juga menenangkan hati kami dalam bentuk kemuliaan rabbani dan karunia Ilahi sebagai pertanda doa kita diterima, juga sebagai isyarat gaib akan kebenaran risalah-risalah yang kita tulis. Artinya, Allah telah menjadikan kata-kata serupa saling simetris dalam satu halaman.


283. Page

Ini secara gaib mengisyaratkan bahwa kata-kata tersebut disusun oleh kehendak gaib. Karena itu, kalian jangan sampai kagum pada usaha dan perasaan kalian, karena kata-kata tersebut tidak lain merupakan ukiran-ukiran indah dan tersusun rapi secara luar biasa yang terangkai bukan karena pilihan dan kehendak kalian, juga bukan berdasarkan bisikan perasaan-perasaan kalian. Terutama kata “Rasul mulia” dan kata “alaihish shalat” yang tertera dalam “Mukjizat-mukjizat Muhammad,” itu laksana cermin yang secara tegas menjelaskan adanya isyarat keselarasan-keselarasan gaib, karena dalam salinan salah seorang pengganda amatir, terdapat kata-kata “al-shalawat al-syarifah” yang mirip satu sama lain sebanyak lebih dari duaratus kali, kecuali dalam lima halaman saja yang tidak menyebut keselarasan ini.

Seperti halnya keselarasan-keselarasan ini bukan hasil kebetulan yang sama sekali tidak punya perasaan ataupun kesadaran, yang mungkin menyebabkan adanya keselarasan satu-dua kata di antara sepuluh kata, demikian pula keselarasan-keselarasan ini bukan buah pemikiran orang lemah seperti saya yang tak pandai menyusun kata-kata, namun dalam hitungan satu-dua jam mampu mengarang hampir empatpuluh halaman dengan begitu cepat dengan menitikberatkan pada satu makna saja. Keselarasan-keselarasan ini juga bukan buah pemikiran orang seperti saya yang tidak bisa menulis, dan hanya mengimlakkan pada yang lain, di mana saya baru menyadari adanya keselarasan-keselarasan ini selang enam tahun setelahnya karena tuntunan al-Qur’an. Begitu juga dengan keselarasan kata “jika” yang tertuang hingga sembilan kali dalam penjelasan “Isyarat-isyarat Kemukjizatan.” Saat para pengganda mendengar penjelasan ini dari saya, mereka heran, dan bahkan tercengang.

Seperti halnya kata “Rasul mulia” (الرسول الأكرم) dan “alaihi al-shalatu wa al-salam” (عليه الصلاة والسلام) menjadi dua cermin kecil untuk mukjizat-mukjizat Muhammad yang tertera dalam “Surat Kesembilan Belas,” demikian juga halnya kata “al-Qur’an” yang tampak dalam bentuk selaras secara gaib, yang merupakan satu di antara empatpuluh bagian kemukjizatan al-Qur’an pada tingkatan yang hanya berandar pada dirinya sendiri di antara tingkatan-tingkatan orang yang mencapai empatpuluh tingkatan, seperti yang tertera dalam “Kalimat Keduapuluh Lima” yang merupakan risalah “Kemukjizatan-kemukjizatan al-Qur’an,” juga yang tertera dalam “Isyarat Kedelapan Belas” dari “Kalimat kesembilanbelas,” dan dalam seluruh Risalah al-Nur lainnya. Jelasnya:

Kata “al-Qur’an” terulang sebanyak seratus kali dalam “Kalimat Keduapuluh Lima” dan, “Isyarat Kedelapan Belas” dari “Surat Kesembilan Belas.” Semuanya memiliki keselarasan, kecuali hanya satu atau dua kata saja.

Pada halaman 43 “Obor Kedua” misalnya, ada tujuh kata “al-Qur’an” yang semuanya memiliki keselarasan. Pada halaman 56, ada sembilan kata “al-Qur’an,” delapan di antaranya memiliki 

284. Page

keselarasan, kecuali satu. Pada halaman 69, ada lima kata “al-Qur’an” yang semuanya memiliki keselarasan.

Seperti itulah semua kata “al-Qur’an” terulang di semua halaman dengan keselarasan yang sama, kecuali satu dari lima atau enam di antaranya.

Keselarasan-keselarasan lainnya terdapat pada halaman 33. Di sana ada limabelas kata “atau,” empatbelas di antaranya memiliki keselarasan. Pada halaman ini juga ada sembilan kata “iman” yang seluruhnya memiliki keselarasan, kecuali hanya satu di antaranya yang sedikit menyimpang, karena salah seorang pengganda memberikan tanda koma pada kata ini. Seperti itu juga pada halaman yang sama, ada dua kata “kekasih,” salah satunya di baris ketiga sementara yang satunya lagi berada di baris kelimabelas, kedua kata ini memiliki keselarasan secara sempurna. Di antara kedua kata ini terdapat empat kata “cinta” yang memiliki keselarasan. Silahkan disimak keselarasan-keselarasan gaib lain seperti ini.

Keselarasan-keselarasan gaib ini ada di setiap naskah seluruh pengganda Risalah al-Nur, siapa pun orangnya, seperti apa pun urutan baris-baris tulisan dan halamannya. Ini sedikit pun tidak menyisakan keraguan bahwa keselarasan-keselarasan ini sama sekali bukan faktor kebetulan, bukan penataan pengarang atau para pengganda. Terlebih, keselarasan-keselarasan dalam tulisan sebagian pengganti lebih menarik perhatian. Ini menandakan bahwa Risalah al-Nur memiliki bagian hakiki dan khusus, dan para pengganda sedikit-banyak turut mendapatkan bagian ini.

Anehnya, keselarasan-keselarasan ini lebih terlihat jelas di naskah-naskah para pengganda amatir, bukan naskah pengganda profesional.

Dengan demikian, jelas bahwa kelebihan, keunikan, dan keistimewaan yang ada dalam Risalah al-Nur yang merupakan semacam tafsir al-Qur’an, bukan milik siapa pun. Lebih dari itu, rangkaian kata-kata indah yang tersusun rapi, yang patut bagi maqam penuh berkah dari hakikat-hakikat al-Qur’an yang indah dan menawan, ini tidak dijeda dan dipisah-pisahkan oleh ikhtiar, perasaan dan kesadaran siapa pun. Keberadaan hakikat-hakikat ini memang mengharuskan seperti itu. Tangan gaib-lah yang memisah-misah bagian mana yang perlu dipisah menurut maqamnya dan ditaruh di atasnya. Kita tidak lain hanya sebagai penerjemah dan pengabdi saja.

 

Nuktah Keempat:

Dalam pertanyaan pertama yang terdiri dari beberapa pertanyaan, engkau menyatakan: Bagaimana cara penghimpunan seluruh makhluk di padang mahsyar nanti? Apakah manusia dihimpun dalam kondisi telanjang? Bagaimana kita bertemu dengan orang-orang tercinta? Bagaimana 

285. Page

kita bisa bertemu dengan Rasul mulia S.a.w untuk mendapatkan syafaat? Bagaimana satu orang akan menghadapi banyak sekali orang dengan jumlah tak terbatas? Seperti apa pakaian para penghuni surga dan penghuni neraka? Dan siapa yang akan menjadi penuntun kita di sana?

Jawab:

Jawaban pertanyaan ini ada di kitab-kitab hadits dengan sangat sempurna dan jelas sekali. Berikut akan kami sebutkan satu atau dua nuktah saja sesuai mazhab dan sumber kami:

Pertama, seperti yang telah dijelaskan dalam “al-Maktubat,” bahwa padang mahsyar ada dalam lingkaran garis edar tahunan bumi. Bumi mengirimkan hasil-hasil maknawinya ke lembaran-lembaran padang mahsyar tersebut. Pergerakan rotasi tahunan bumi membentuk lingkaran wujud, yang menjadi permulaan padang mahsyar sebagai tempat untuk menampung semua hasil yang ada di lingkaran tersebut. Bahtera rabbani yang disebut bumi ini akan menuangkan neraka kecil yang ada di bagian pusatnya ke neraka besar, seperti halnya seluruh penghuninya juga akan dituangkan di padang mahsyar tersebut.

Kedua, keberadaan padang mahsyar dan penghimpunan seluruh makhluk sudah disebutkan secara pasti dalam risalah-risalah lain, khususnya di “Kalimat Kesepuluh” dan “Kalimat Keduapuluh Sembilan.”

Ketiga, terkait bagaimana manusia saling menghadapi satu sama lain, masalah ini sudah disampaikan secara pasti dalam “Kalimat Keenambelas,” “Kalimat Ketigapuluh Satu,” dan “Kalimat Ketigapuluh Dua,” yaitu seseorang bisa saja berada di ribuan tempat dalam sekali waktu berdasarkan rahasia cahaya, dan bisa saja menemui ribuan orang.

Keempat, Allah mengenakan pakaian fitrah untuk seluruh makhluk bernyawa –kecuali manusia. Nama al-Hakim (Maha Bijaksana) mengharuskan Allah untuk mengenakan pakaian fitrah kepada manusia yang berada dalam kondisi telanjang tanpa mengenakan pakaian buatan. Hikmah pakaian buatan di dunia tidak hanya untuk melindungi tubuh dari udara dingin atau panas saja, bukan hanya sebagai hiasan atau menutup aurat saja, tapi hikmah penting pakaian ini adalah fungsinya yang laksana katalog yang mengisyaratkan interaksi manusia dengan makhluk-makhluk lain dan kepemimpinan yang dijalankan manusia terhadap makhluk-makhluk tersebut. Tanpa itu, tentu manusia bisa saja mengenakan pakaian fitrah yang sederhana dan kurang bernilai. Tanpa hikmah ini, tentu manusia yang membungkus diri dengan kain-kain compang-camping dan tambalan akan menjadi sasaran ejekan di mata hewan-hewan yang berbulu, juga menjadi bahan tertawaan. Berbeda halnya di padang Mahsyar, hikmah dan interaksi ini tidak lagi diperlukan, dan katalog seperti itu tidak perlu ada.


286. Page

Kelima, pembimbing untuk orang-orang sepertimu yang bergabung di bawah cahaya al-Qur’an adalah al-Qur’an. Perhatikan surah-surah yang diawali dengan huruf-huruf potongan, ألم - ألر- حم,  ketahuilah dan renungkanlah bagaimana al-Qur’an merupakan pemberi syafaat yang bisa diterima, pembimbing yang benar dan cahaya suci.

Keenam, terkait pakaian para penghuni surga dan penghuni neraka, seperti disebutkan dalam aturan di “Kalimat Keduapuluh Delapan” yang menjelaskan bahwa bidadari mengenakan tujuhpuluh pakaian, juga berlaku untuk para penghuni surga dan penghuni neraka. Jelasnya:

Setiap penghuni surga tentu ingin memanfaatkan setiap jenis kenikmatan surga setiap saat, dan surga sendiri memiliki berbagai macam keindahan. Penghuni surga diperkenankan untuk menikmati seluruh jenis kenikmatan surga setiap saat.

Dengan demikian, ia diberi pakaian seperti yang diberikan pada bidadari yang menjadi contoh dan standar kecil keindahan-keindahan surga. Bidadari yang diberikan padanya menjadi seperti surga kecil baginya.

Seperti halnya seseorang mengumpulkan berbagai jenis bunga yang menyebar di seantero negeri di kebunnya sebagai contoh, seperti halnya pemilik toko menyatukan seluruh barang dagangan dalam satu daftar, dan seperti halnya manusia mengambil sampel berbagai jenis makhluk hidup yang ia atur, ia miliki dan ia kenakan pakaian, seperti itu juga dengan penghuni surge. Terlebih jika ia termasuk mereka yang dulu di dunia beribadah kepada Allah dengan seluruh perasaan dan perangkat-perangkat maknawi, ia berhak mendapatkan berbagai kenikmatan surga, ia akan diberi pakaian seperti yang dikenakan bidadari, pakaian yang menampakkan seluruh keindahan berbagai macam kenikmatan surga untuk memuaskan seluruh perasaannya dan memanjakan seluruh bagian-bagian tubuhnya.

Dalil bahwa pakaian-pakaian tersebut tidak berasal dari satu jenis dan satu macam saja, tapi beragam dan bermacam-macam, disebutkan dalam sebuah hadits yang intinya demikian: Tulang betis para bidadari terlihat meski mereka mengenakan tujuhpuluh pakaian, tulang tersebut tidak tertutupi.[1]




[1] Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., dari Nabi Saw. tentang firman Allah Swt, كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ

 “Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (Qs. al-Rahman [55]: 58) Beliau bersabda, “Ia (penghuni surga) melihat wajahnya di pipi (sang bidadari) yang lebih bening dari kaca, permata yang paling rendah tingkatannya yang dikenakan bidadari mampu menerangi ruang antara timur dan barat, ia mengenakan tujuhpuluh pakaian, pandangan (si penghuni surga) menembus pakaian itu hingga melihat tulang betis yang ada di balik (tujuhpuluh) pakaian itu.” HR. Hakim, hadits nomor 3774, baca juga; Shahih Ibnu Hibban, hadits nomor 7397, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 2522, Mushannaf Abdurrazzaq, hadits nomor 20866, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, hadits nomor 8523, 11143, al-Mu’jam al-Awsath, al-Thabrani, hadits nomor 915 dan al-Mu’jam al-Kabir, hadits nomor 8864.




287. Page

Artinya, di sana ada tingkatan-tingkatan, dimulai dari pakaian luar hingga dalam yang bisa dinikmati dan memuaskan seluruh perasaan dengan keindahan-keindahannya yang beragam dan dengan model yang berbeda.

Berbeda dengan penghuni neraka yang melakukan berbagai macam dosa dengan pandangan, pendengaran, hati, tangan, akal, dan dengan seluruh bagian-bagian tubuh. Mereka harus dikenakan pakaian-pakaian yang cocok dengan bagian-bagian tubuh tersebut, dibuat dari berbagai potongan dan jenis yang bisa menyakiti dan menyiksa mereka, juga menjadi neraka kecil bagi mereka. Ini tidak berseberangan dengan hikmah dan keadilan.

 

Nuktah Kelima;

Engkau bertanya, apakah kakek-kakek Rasul mulia S.a.w memeluk agama tertentu di masa fatrah (masa tidak adanya seorang rasul ataupun nabi, antara nabi Isa dan Muhammad)?

Ada sejumlah riwayat yang menunjukkan, mereka memeluk sisa-sisa agama Ibrahim yang berada di bahwa tirai kelalaian dan kegelapan-kegelapan maknawi. Sebagian kalangan khusus memeluk sisa-sisa agama ini. Karena itu, keturunan-keturunan Ibrahim yang membentuk silsilah bercahaya yang melahirkan Rasul mulia S.a.w, mereka tetap memperhatikan cahaya agama kebenaran. Mereka tidak kalah dalam menghadapi gelapnya kekafiran.

Mereka yang berada dalam masa fatrah adalah orang-orang selamat berdasarkan rahasia ayat:


وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Qs. al-Isra` [17]: 15)

Mereka tidak disiksa karena kesalahan-kesalahan dalam masalah-masalah cabang berdasarkan kesepakatan ulama. Mereka selamat menurut Imam asy-Syafi’i dan Imam al-Asy’ari, bahkan meski mereka melakukan kekafiran dan mereka tidak memiliki asas-asas keimanan, karena taklif Ilahi hanya berlaku ketika rasul diutus. Mengingat kelalaian dan perjalanan waktu menutupi agama para nabi terdahulu, agama-agama ini tidak menjadi hujah bagi mereka yang berada pada masa fatrah. Jika melakukan ketaatan, mereka mendapat pahala, dan jika tidak melakukan ketaatan, mereka tidak disiksa, karena agama-agama tersebut tertutup dan tidak diketahui, sehingga tidak menjadi hujah bagi mereka.


288. Page

Nuktah Keenam:

Engkau bertanya, apakah ada nabi dari kakek-kakek Rasul mulia S.a.w?

Jawab: Tidak ada nash qath’i yang menunjukkan adanya seorang nabi dari kalangan kakek-kakek Nabi S.a.w setelah Isma’il. Namun ada dua nabi yang tidak berasal dari kalangan kakek-kakek Nabi S.a.w, keduanya adalah Khalid bin Sinan[1] dan Handhalah.[2]

Ada bait syair terkenal milik Ka’ab bin Luay, salah satu kakek Rasul mulia S.a.w, yang secara tegas menyatakan hal tersebut:


على غفلة يأتي النبي محمد  فيخبر أخبارا صدوقا خبيرها

Kala kelalaian menyebar, datanglah nabi Muhammad

Lalu ia menyampaikan kabar-kabar terpercaya[3]

Kata-kata ini mirip tutur kata mukjizat nabi.

Imam Rabbani menyatakan berdasarkan sejumlah dalil dan mukasyafah:

Banyak sekali nabi diutus di India, hanya saja sebagian di antaranya tidak memiliki pengikut, atau pengikutnya hanya segelintir orang saja. Nabi-nabi ini tidak terkenal, atau tidak disebut sebagai nabi.

Berdasarkan pandangan Imam Rabbani ini, mungkin saja ada nabi-nabi seperti mereka ini di kalangan kakek-kakek Nabi S.a.w


[1] Khalid bin Sinan al-‘Abasi; Ibnu Hajar dan lainnya menyebutkan, ia ada sebelum Nabi Saw. diutus dan tidak menjumpai masa Nabi Saw. diutus sebagai nabi. Putrinya, Mahya datang kepada Nabi Saw., ia menyebutkan nasabnya, lalu Nabi Saw. membentangkan surban milik beliau untuk Mahya dan mempersilahkan Mahya untuk duduk di atas surban itu, beliau bilang, “Putri seorang nabi yang disia-siakan kaumnya.” Baca; al-Ishabah fi Ma’rifatis Shahabah (I/325).

[2] Handhalah bin Shafwan al-Rassi, salah satu nabi bangsa Arab di masa Jahiliyah, ia berada pada rentang masa fatrah antara masa nabi Isa hingga munculnya Islam, ia termasuk penghuni perkampungan Rass yang disebut dalam Al-Qur'an, ia diutus untuk menyampaikan petunjuk kepada mereka, namun mereka mendustakan dan membunuhnya. Rass terletak di antara Najran dan Yaman, antara kawasan Hadhramaut dan Yamamah. Baca al-A’lam karya al-Zarkali (II/286).

[3] Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nahdr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Muhdar, ia adalah orang pertama yang mengucapkan, “Amma ba’du.” Diriwayatkan, ia menuturkan sebuah bait syair yang menyampaikan kabar gembira kedatangan Nabi Saw:

Kala kelalaian menyebar, datanglah nabi Muhammad

Lalu ia menyampaikan kabar-kabar terpercaya

Setelah itu ia berkata, “Demi Allah, andai saat itu aku masih hidup, tentu aku akan berdiri tegak layaknya unta dan bertindak cepat layaknya unta jantan.” Baca Sirah Ibnu Hisyam (I/176) dan al-Syifa bi Ta’rif Huquqil Mushthafa (I/37).




289. Page

Nuktah Ketujuh:

Engkau bertanya, apa dalil paling kuat dan paling shahih yang menyebut keimanan kedua orang tua Rasul mulia S.a.w dan kakek beliau, Abdul Mutthallib?

Jawab: Sa’id baru sejak sepuluh tahun yang lalu tidak memiliki kitab-kitab apa pun selain al-Qur’an dan ia bilang bahwa al-Qur’an sudah cukup untuknya. Ia tidak punya waktu untuk membahas masalah-masalah kecil seperti ini di kitab-kitab hadits sehingga ia bisa menulis hadits-hadits paling kuat. Namun terkait pertanyaan ini, hanya penjelasan berikut yang bisa saya sampaikan:

Kedua orang tua Rasul mulia S.a.w termasuk orang-orang selamat, termasuk penghuni surga, dan termasuk orang-orang yang beriman. Allah tentu tidak akan menyakiti hati kekasih-Nya yang mulia, Nabi S.a.w, tidak melukai kasih sayang seorang anak terhadap kedua orang.

Jika ada yang bertanya: Jika memang seperti itu lalu mengapa kedua orang tua Nabi S.a.w tidak mendapat taufiq untuk beriman kepada Rasul mulia S.a.w? Mengapa keduanya tidak menjumpai masa diutusnya Nabi S.a.w?

Jawab: Dengan kemuliaan-Nya, Allah tidak menginginkan jika kedua orang tua kekasih-Nya yang mulia, Nabi S.a.w, berhutang budi demi menyenangkan perasaan bunuwwah Rasulullah S.a.w terhadap kedua orang tua. Rahmat-Nya mengharuskan untuk menyertakan keduanya di bawah karunia rububiyah murni, agar tidak menurunkan derajat keduanya dari tingkatan orang tua menjadi tingkatan anak-anak secara maknawi, di samping untuk membahagiakan keduanya dan menyenangkan kekasih-Nya.

Allah juga tidak ingin menjadikan kedua orang tua dan kakek beliau sebagai bagian dari umat beliau secara zhahir, namun Allah memberikan kebaikan, keutamaan, dan kebahagiaan umat untuk mereka.

Misalkan seorang marsekal agung didatangi ayahnya yang kedudukannya laksana kapten, tentu ia berada di bawah pengaruh perasaan-perasaan yang saling berseberangan. Sebagai bentuk kasih sayang, sang sultan tidak menjadikan si ayah berada di bawah komando anaknya yang berpangkat marsekal tersebut.

 

Poin Kedelapan:

Engkau bertanya: Apa pendapat yang paling benar terkait keimanan paman Nabi S.a.w, Abu Thalib?

Jawab: Orang-orang Syi’ah menyebut Abu Thalib beriman, sementara sebagian besar Ahlussunnah menyatakan Abu Thalib tidak beriman. Yang terlintas dalam hati saya demikian:


290. Page

Abu Thalib sangat mencintai sosok Rasul mulia S.a.w, bukan mencintai kerasulan beliau. Dengan demikian, kasih sayang pribadi Abu Thalib yang tulus dan kuat itu tidak akan lenyap begitu saja, dan tidak akan sia-sia.

Abu Thalib yang amat mencintai kekasih Allah, Nabi S.a.w, dengan tulus, menjaga dan membelanya, andaipun masuk neraka, tentu keimanannya bisa diterima. Ia masuk neraka bukan karena ingkar ataupun membangkang, tapi karena rasa malu, fanatisme golongan atau perasaan-perasaan lain. Allah mungkin saja menciptakan surga khusus untuk Abu Thalib di neraka sebagai balasan atas segala kebaikan-kebaikannya. Atau mungkin mengubah neraka khusus untuk Abu Thalib menjadi surga khusus, seperti halnya Allah menciptakan musim semi saat musim dingin di sebagian tempat, mengubah penjara menjadi istana bagi sebagian orang melalui perantara tidur di dalam penjara.


والعلم عند الله، و لا يعلم الغيب إلا الله

Hanya Allah yang tahu, dan tiada siapa pun mengetahui hal gaib selain Allah.

 

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا  إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah [2]: 32)