Surat Kedua Puluh Enam

190. Page

SURAT KEDUA PULUH ENAM

 

باسمه

Dengan Nama-Nya


وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. Al-Isra’ [17]: 44)

 

Surat keduapuluh enam ini terdiri dari empat bahasan yang kaitan satu sama lainnya lemah.

 

Bahasan Pertama

 

Bahasan ini merupakan catatan pinggir yang menjelaskan rangkaian kata, “Bahkan setan pun tak mampu mengatakannya.” Kata ini diucapkan oleh seseorang yang hanya bertumpu pada kedua telinga dalam memahami kemukjizatan al-Qur’an bagi kalangan awam yang hanya bertumpu pada telinga saja, juga seperti yang tertera dalam “Isyarat Kedelapanbelas” dari “Surat Kesembilan Belas.”

 

بسم الله الرحمن الرحيم

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ  إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

 Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Fushshilat [41]: 36)

 

Bahasan Pertama

Hujjah al-Qur’an terhadap Setan dan Golongannya

Pembahasan Pertama ini mengalahkan argumen iblis, menohok setan, dan membungkam para pemberontak, dengan menyangkal siasat setan yang menakutkan dan licik, melalui cara paling tegas dan netral. Itu termasuk peristiwa yang sebagian di antaranya secara garis besar sudah saya sampaikan dalam buku al-Lama’at sepuluh tahun silam. Hal itu sebagai berikut:

Saat itu, sebelum menulis risalah ini, tepatnya sebelas tahun silam di bulan Ramadhan mulia, saya mendengar al-Qur’an dibacakan oleh para penghafal al-Qur’an, di Masjid Jami’ Bayazid, Istanbul. Tiba-tiba, meskipun saya tidak melihat seorang pun, saya seakan mendengar suara maknawi dari seseorang, yang menyedot perhatian saya. Saya mendengarkannya dengan khayalan saya, maka saya pun melihatnya berkata pada saya: 


191. Page

“Anda menganggap al-Qur’an begitu luhur mulia hingga puncaknya, dan bercahaya begitu terangnya. Tidakkah Anda membacanya dengan sikap tanpa bias, dan memikirkannya sedemikian itu. Maksudnya, anggaplah itu sebagai perkataan manusia, lalu perhatikan. Betulkah Anda akan menemukan keistimewaan dan kebaikan itu di sana?”

Saya sebenarnya sempat tertipu dan menganggapnya sebagai kata-kata manusia. Saya menatap ke arah suara itu. Sebagaimana halnya lampu-lampu listrik Masjid Bayazid sudah dimatikan hingga kegelapan mengisi seluruh sudut ruangan masjid ini, demikian pula halnya dengan anggapan ini. Saat itulah cahaya-cahaya terang al-Qur’an mulai tampak di balik kegelapan. Saya mengerti, ternyata yang berbicara dengan saya adalah setan yang ingin mempersulit saya. Akhirnya, saya meminta pertolongan kepada al-Qur’an. Tanpa diduga, cahaya muncul di hati dan memberi saya kekuatan pasti untuk menangkal bisikan tersebut. Saat itu, saya mulai berdebat dengan setan sebagai berikut:

Saya katakan, “Hai setan! Sikap netral itu berada di tengah-tengah di antara dua ujung, berbeda dengan sikap netral versimu dan juga murid-muridmu dari bangsa manusia yang berarti berada pada pihak yang berseberangan. Ini bukan sikap netral, tapi pengingkaran sesaat, karena menilai al-Qur’an sebagai tutur kata manusia dan membayangkan seperti itu, ini namanya bersikap menentang dan berada di kubu yang batil. Ini bukan sikap netral, tapi berpihak pada kebatilan.”

Setan menjawab, “Kalau begitu, jangan kau bilang bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah ataupun kata-kata manusia, pilih saja jalan tengah dan jadikan barometer ini sebagai asas untuk menilai al-Qur’an.”

Saya menjawab, “Itu juga tidak mungkin. Bayangkan, seandainya ada harta menjadi rebutan antara dua pihak, dan kedua pihak ini berdekatan satu sama lain, lalu di sana ada tempat yang dekat dengan keduanya. Saat itu, harta yang diperebutkan tersebut bisa disimpan di sana, mungkin bisa dititipkan pada orang lain, bukan pada kedua pihak yang bertikai, atau di tempat di mana keduanya bisa mengambil harta tersebut. Selanjutnya siapa yang buktinya lebih kuat, dialah yang berhak mengambil harta itu.

Sementara itu, jika kedua pihak yang bertikai berjauhan tempat, salah satunya di ujung timur, sementara satunya lagi di ujung barat, maka saat itu harta diberikan kepada siapa yang harta tersebut berada dalam kepemilikannya, sesuai kaidah yang berlaku, karena tidak mungkin jika harta diletakkan di tengah-tengah antara keduanya.

Ya, al-Qur’an adalah harta berharga, dan kedua pihak tersebut saling menjauh satu sama lain sejauh perbedaan antara tutur kata manusia dan kalam Allah, bahkan keduanya berjauhan secara mutlak. Karenanya, mustahil jika al-Qur’an diposisikan di pertengahan antara kedua pihak tersebut, 

192. Page

sejauh jarak antara bumi dan bintang Kartika. Tidak ada pertengahan di antara keduanya, karena keduanya saling bertentangan, seperti ada dan tiada, atau seperti dua hal yang berlawanan.

Dengan demikian, pemilik al-Qur’an adalah pihak Ilahi. Karena itu harus diakui bahwa al-Qur’an adalah milik-Nya. Selanjutnya diperhatikan apa saja bukti-bukti yang mendukung. Selanjutnya ketika bukti pihak lain dibantah dengan bukti-bukti nyata yang menunjukkan al-Qur’an kalam Allah, maka itulah kebenarannya. Pihak lain bisa saja merebut kebenaran ini, namun tidak akan bisa.

Mustahil! Bagaimana mungkin ada tangan yang bisa menjatuhkan mutiara agung yang terpasang kuat di ‘Arsy dengan ribuan paku dan tali pengikat bukti-bukti nyata. Bagaimana ada tangan bisa melepas paku-paku itu atau mencabutnya?!

Demikianlah wahai setan! Sesungguhnya para pengikut kebenaran dan keadilan –meski kau tidak sudi- akan menimbang di mahkamah yang memiliki hakikat dengan cara seperti ini. Bahkan keimanan mereka terhadap al-Qur’an kian meningkat, meski dengan dalil paling rendah sekali pun.

Adapun cara yang kau jelaskan dan juga dijelaskan oleh para murid-muridmu –sekali lagi, andaikan al-Qur’an tutur kata manusia-, jika kau bisa melemparkan mutiara agung yang melekat di ‘Arsy itu ke bumi, tentu harus ada satu bukti nyata sekuat ribuan paku bukti-bukti nyata, sehingga bisa mengangkat dan menempatkannya di ‘Arsy maknawi, agar manusia bisa terlepas dari gelapnya kekafiran, dan bisa mencapai cahaya-cahaya imannya, meski amat sulit sekali untuk memadukan keduanya. Karena itulah banyak sekali manusia pada zaman sekarang hilang iman karena bisikanmu yang mengatasnamakan peradilan netral.”

Setan kembali mengatakan, “Al-Qur’an mirip tutur kata manusia, bentuknya sama seperti percakapan manusia. Kalau begitu, berarti al-Qur’an tutur kata manusia. Jika al-Qur’an kalam Allah, tentu bentuknya berbeda, dan harus sesuai dengan keluhuran-Nya dalam segala sisi. Karena ciptaan Allah tidak sama seperti kreasi manusia, berarti kalam-Nya harus tidak menyerupai tutur kata manusia.”

Sebagai jawaban, saya katakan, “Rasul kami S.a.w, tetap berada pada batasan-batasan manusia dalam segala kondisi, perbuatan, dan fase-fase kehidupan yang dijalani, kecuali mukjizat dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang beliau miliki. Beliau tunduk pada kebiasaan-kebiasaan Ilahi dan perintah-perintah kauniyah, sama seperti manusia biasa. Beliau merasa kedinginan dan merasakan sakit. Beliau juga tidak diberi suatu hal luar biasa setiap saat, di seluruh kondisi dan dalam semua fase hidup yang beliau lalui, sehingga beliau menjadi imam bagi umat melalui tindakan dan perbuatan yang beliau contohkan, bisa menjadi guru di seluruh fase kehidupan yang beliau jalani, dan bisa memberikan pelajaran melalui seluruh gerak-gerik beliau. Andai seluruh fase kehidupan yang beliau jalani tidak 

193. Page

lazim dan bersifat luar biasa, tentu beliau tidak bisa dijadikan imam dari semua sisinya, tidak bisa menjadi guru mutlak untuk semua orang, dan tidak bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam melalui seluruh kondisi beliau.

Demikian pula halnya al-Qur’an. Al-Qur’an adalah imam bagi mereka yang memiliki perasaan, tuntunan bagi jin dan manusia, petunjuk bagi pemilik kesempurnaan, sekaligus pertanda bagi para ahli hakikat. Sehingga al-Qur’an harus berbentuk percakapan-percakapan manusia, karena jin dan manusia mengutip munajat-munajat yang mereka panjatkan dari al-Qur’an, mempelajari doa-doa dari al-Qur’an, menuturkan permasalahan-permasalahan dengan bahasa al-Qur’an, mempelajari etika dan tata cara pergaulan dari al-Qur’an, dan begitu seterusnya.

Semuanya menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan. Karenanya, jika al-Qur’an berbentuk kalam Allah seperti yang didengar Musa di gunung Thur, tentu manusia tidak mampu mendengarnya, dan tentu tidak bisa mereka jadikan rujukan, karena Musa yang merupakan salah satu rasul ulul azmi hanya mampu mendengar sebagian kecil kalam-Nya. Musa bertanya, “Apakah kalam-Mu demikian?” Allah 'Azza wa Jalla menjawab, “Aku memiliki kekuatan seluruh lisan.”

Setan kembali mengatakan, “Banyak orang menyampaikan berbagai masalah dengan mengatasnamakan agama, sama seperti al-Qur’an yang menyebutkan permasalahan-permasalahannya. Kalau begitu, mengapa tidak mungkin jika manusia tidak bisa menggantikan al-Qur’an dan mengatakan sesuatu atas nama agama?

Dengan cahaya al-Qur’an, saya menjawab:

Pertama, orang yang taat beragama, tentu akan mengatakan karena kecintaannya terhadap agama, “Yang benar begini, hakikatnya seperti ini, yang diperintahkan Allah begini.” Dia akan berbicara apa pun tentang Allah tanpa berdasarkan hawa nafsunya, tidak melampaui batas yang telah digariskan, sehingga ia selalu mengikuti perintah Allah dan berbicara atas nama-Nya dengan gemetar ketakutan karena ketentuan:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ

Maka siapakah yang lebih zalim dari orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? (Qs. al-Zumar [39]: 32)

Kedua, manusia tidak akan bisa menempati posisi seperti itu, bahkan bisa dibilang seratus persen mustahil. Orang-orang yang hampir memiliki kesamaan, mungkin saja bisa saling meniru satu sama lain. Mereka yang berasal dari satu ras bisa saja mengenakan pakaian yang sama. Mereka yang menempati kedudukan yang sama juga bisa meniru posisi satu sama lain dan untuk sesaat melalaikan rakyat, namun mereka tidak bisa melalaikan rakyat secara terus-menerus, karena tindakan yang dibuat-

194. Page

buat dan dipaksa-paksakan yang terlihat dalam seluruh fase kehidupan dan kondisi, menunjukkan bahwa mereka penipu di mata orang-orang yang sadar. Bagaimana pun juga, tipuan mereka tidak akan bertahan lama.

Namun, orang berusaha meniru orang lain melalui tipuan dan trik jika kedudukan di antara keduanya terpaut jauh. Misalkan demikian: orang awam ingin mengikuti kepandaian orang seperti Ibnu Sina. Atau misalkan, seorang pengembala berpenampilan seperti seorang sultan. Orang seperti ini sama sekali tidak akan mampu menipu siapa pun, dan justru menjadi sasaran cemoohan dan hinaan, dan semua kondisinya akan meneriakkan bahwa ia seorang penipu.

Seperti itu juga menganggap al-Qur’an sebagai tutur kata manusia –seratus ribu kali tidak mungkin– sama seperti kunang-kunang yang berpura-pura menampakkan diri sebagai bintang hakiki yang bersinar selama seribu tahun tanpa susah payah di hadapan ahli pengamat bintang; sama seperti lalat yang berpura-pura menampakkan diri sebagai burung merak sesungguhnya selama satu tahun tanpa susah payah di hadapan ahli musyahadah; sama seperti prajurit pangkat rendah menipu kepribadiannya sendiri dengan pura-pura menjadi tokoh terkenal, duduk di tempatnya, dan tetap dalam kondisi seperti ini dalam waktu lama, tetap menyembunyikan tipuannya dengan baik; sama seperti menjadikan seorang pendusta yang tidak memiliki keyakinan sepanjang hidupnya sebagai pusat perhatian, sementara orang yang lebih bisa dipercaya dan lebih kuat akidahnya justru diabaikan.

Dengan asumsi kata-kata ngelantur ini ada, tetap saja laksana mengasumsikan hal mustahil sebagai suatu kenyataan.

Demikian pula jika menganggap al-Qur’an sebagai tutur kata manusia. Anggapan ini mengharuskan esensi Kitab Allah –yang merupakan bintang hakiki, terang dan bersinar, senantiasa memancarkan cahaya– cahaya hakikat di langit dunia Islam secara nyata, bahkan dinilai sebagai mentari kesempurnaan-kesempurnaan- sebagai hasil kreasi bercampur hal-hal khurafat yang disamakan seperti kunang-kunang, juga mengharuskan tidak dipedulikan oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya, orang-orang yang mendalami al-Qur’an, atau yang mengenali al-Qur’an sebagai bintang tinggi yang senantiasa berada di ketinggian, juga sebagai sumber berbagai hakikat.

Asumsi ini selain sebagai sebuah hal mustahil seratus persen, maka kau wahai setan, meski kau terus-menerus menyimpang, tetap saja kau tidak akan bisa menjadikan hal-hal mustahil tersebut sebagai sesuatu yang mungkin, kau tetap tidak akan menipu akal yang belum rusak. Namun kau bisa menipu manusia setelah kau menempatkan mereka berada di kejauhan, lalu dari sana mereka melihat. Seperti halnya kau memperlihatkan bintang di hadapan mereka sebagai benda kecil sekali seperti kunang-kunang.


195. Page

Ketiga, anggapan bahwa al-Qur’an tutur kata manusia mengharuskan hakikat tersembunyi di balik al-Furqan (pembeda antara kebenaran dengan kebatilan, maksudnya al-Qur’an) dengan penjelasannya yang bersifat mukjizat, sarat akan berbagai macam keistimewaan luhur, kitab paling komplit, paling banyak hakikatnya dan paling benar, kitab yang meniupkan ruh dalam di alam manusia, membangkitkan kehidupan di sana, mengantar manusia menuju kebahagiaan abadi, lebih dari yang ada dalam kitab mana pun, seperti yang bisa disaksikan melalui jejak, pengaruh dan hasil-hasilnya. Anggapan ini mengharuskan kita untuk mengatakan bahwa al-Qur’an –Maha Suci Allah– adalah hasil produk pemikiran biasa yang dipalsukan, pemikiran seorang manusia yang tidak memiliki pengetahuan atau pun penolong.

Anggapan tersebut mengharuskan orang-orang cerdas yang mencermati al-Qur’an secara mendetail, dan siapa pun yang merenungkannya dengan pandangan menerawang jauh kapan pun dan di mana pun, tidak melihat jejak-jejak buatan, tipuan, pemalsuan, dan mereka tidak menemukan kesungguhan, kebenaran, dan keikhlasan di dalamnya.

Selain hal di atas seratus persen mustahil, itu juga berarti menganggap seseorang yang memperlihatkan sifat amanat, iman, ketenangan, keikhlasan, kesungguhan, dan istiqamah sepanjang hidupnya dalam segala kondisi, tutur kata dan seluruh tindak-tanduknya, orang yang mendidik sosok-sosok yang jujur dan benar, sosok yang menjadi teladan dan bisa diterima sebagai orang berkepribadian besar dan sifat luhur, lalu kita katakan orang tersebut tidak bisa dipercaya, tidak memiliki ketulusan, ataupun tidak punya keyakinan, tentu kata-kata seperti ini ngelantur, sama seperti menerima hal mustahil atas hal mustahil sebagai sebuah kenyataan.

Ini tentu saja membuat malu siapa pun juga, bahkan setan sekali pun, karena dalam persoalan ini tidak ada yang namanya pertengahan, karena –dengan anggapan mustahil– jika al-Qur’an ini bukan kalam Allah, tentu saja runtuh laksana runtuh dari ‘Arsy ke bumi, menjadi sumber khurafat, padahal sesungguhnya al-Qur’an adalah sumber seluruh hakikat. Demikian pula jika orang yang menyampaikan firman Ilahi tersebut bukan utusan Allah, maka ia harus runtuh dari tingkat paling atas ke tingkatan paling dasar, runtuh dari tingkatan sumber kesempurnaan ke tingkat sumber permusuhan, tidak ada yang namanya pertengahan dalam hal ini, karena siapa pun berdusta terhadap Allah dan membuat-buat kebohongan, ia pasti runtuh ke tingkatan neraka paling bawah.

Seperti halnya mustahil melihat lalat dalam bentuk burung merak secara terus-menerus, atau menyaksikan ciri-ciri burung merak yang luhur setiap waktu. Ini juga mustahil. Tidak ada yang memberikan kemungkinan nyata untuk hal-hal mustahil selain orang gila, bodoh, mabuk, atau dungu secara fitrah.


196. Page

Keempat, anggapan bahwa al-Qur’an tutur kata manusia mengharuskan al-Qur’an yang menjadi panglima suci umat Muhammad yang merupakan pasukan besar di antara ras manusia, di mana dengan aturan dan undang-undangnya yang rapi dan kokoh, juga dengan perintah-perintahnya, al-Qur’an mengatur pasukan besar tersebut hingga semuanya tertata rapi, memberi bekal materi dan maknawi yang membuat mereka bisa membuka dua alam sekaligus, mengajari akal setiap individu sesuai tingkatan yang dimiliki, mendidik hati mereka, menundukkan ruhani mereka, membersihkan nurani mereka, menggunakan raga dan seluruh bagian tubuh mereka. Dengan kata lain, kalam dengan sifat dan ciri seperti ini, seratus ribu kali tidak mungkin dinilai sebagai kata-kata buatan, tidak ada kekuatannya, tidak bernilai, dan tidak berdasar.

Lebih dari itu, sosok yang mengajarkan undang-undang al-Haqq Ta’ala melalui gerak-gerik serius sepanjang hidupnya, mengajarkan aturan-aturan hakikat melalui tindakan-tindakan tulusnya, sosok yang memperlihatkan asas-asas istiqamah dan kebahagiaan melalui tutur katanya yang tulus dan masuk akal, sosok yang takut akan siksa Allah yang terbukti melalui kisah perjalanan hidupnya, sosok yang mengenal Allah dan memperkenalkan Allah pada siapa pun melebihi yang lain, sosok yang memimpin seperlima total manusia dan separuh bumi selama 1350 tahun[1] dengan penuh wibawa dan keagungan, sosok yang memenuhi alam yang laik dijadikan sebagai kebanggaan manusia –bahkan seluruh jagad raya– melalui tingkah laku dan pengaruh-pengaruhnya yang begitu familiar –seratus ribu kali mustahil jika sosok seperti ini disebut sebagai pendusta, tidak takut kepada Allah, tidak mengenal dan tidak mengetahui kuasa-Nya, ia seakan-akan manusia biasa yang bisa saja melakukan seratus hal mustahil secara bersamaan, karena tidak ada pertengahan dalam masalah ini.

Andaikan al-Qur’an –dengan asumsi mustahil– bukan kalam Allah dan jatuh dari ‘Arsy, tetap saja tidak menempati bagian tengah, tapi harus diterima sebagai barang dagangan salah seorang pendusta di bumi.

Karena itu, wahai setan! Meski esensi kesyaitananmu bertambah seratus kali, kau tetap tidak akan bisa menipu akal yang belum rusak, kau tidak akan mampu memuaskan hati yang belum rusak dengan kata-katamu itu.”

Setan kembali berkata, “Bagaimana aku tidak bisa menipu sementara aku telah menjadikan sebagian besar manusia dan sebagian di antara mereka yang berakal dan terkenal, mengingkari al-Qur’an, dan Muhammad S.a.w?”


[1] Saat risalah ini ditulis.



197. Page

Jawaban:

Pertama, ketika suatu benda dilihat dari jarak yang sangat jauh, sebesar apa pun benda tersebut, tetap terlihat sangat kecil, bahkan bisa dikatakan bahwa bintang hanya sebesar lilin.

Kedua, seperti itu juga ketika hal mustahil dilihat dengan tatapan sepintas dan dangkal, akan terlihat sebagai sesuatu yang mungkin.

Suatu ketika ada orang tua renta menatap ke langit untuk melihat hilal Ramadhan. Lalu ada rambut beruban yang menjulur tepat di depan kedua matanya, yang dikiranya bulan dan berkata, “Aku melihat bulan!” Tentu saja mustahil jika hilal adalah sehelai rambut beruban tersebut. Namun, pak tua ini tetap menerima sesuatu yang mustahil tersebut sebagai sesuatu yang bersifat mungkin, karena ia melihat rambut tersebut dengan tatapan sekunder dan melalui cara tidak langsung kala dengan sengaja melihat bulan.

Ketiga, tidak menerima dan mengingkari adalah dua hal berbeda. Tidak menerima adalah ketidakperdulian, artinya menutup mata dan tidak mempedulikan hal-hal yang tidak diketahui, karena mungkin saja banyak hal mustahil bersembunyi di baliknya. Adanya orang yang memikirkan hal tersebut juga tidak membuatnya pusing.

Sementara mengingkari bukan berarti tidak menerima, tapi menerima ketiadaan. Hukum ini memaksa orang memeras akal untuk menerima itu. Karena itu, akal setan lain sepertimu tercabut, selanjutnya ia tertipu oleh pengingkaran.

Seperti itu pula wahai setan! Kau telah memperdaya binatang-binatang dalam wujud manusia sengsara itu dengan bisikan-bisikan setan. Kau perlihatkan kebatilan sebagai kebenaran, kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin, seperti kelalaian, kesesatan, pemutarbalikan fakta, pembangkangan, sikap kasar, sombong, menutup hati, dan taqlid, hingga kau suapkan pengingkaran dan kekafiran ke dalam mulut mereka, di mana keduanya ini sering kali memunculkan hal-hal mustahil.

Keempat, anggapan bahwa al-Qur’an tutur kata manusia mengharuskan kitab yang menuntun orang-orang suci, orang-orang jujur dan benar imannya, aqthab[1] yang menghiasi langit alam manusia seperti halnya bintang, kitab yang selalu mengajarkan seluruh tingkatan ahli kesempurnaan-kebenaran, ahli hakikat, kejujuran, ketulusan dalam berteman, aman dan terpercaya, mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat melalui hakikat rukun-rukun iman dan undang-undang rukun Islam, kitab yang benar, murni, hakiki, suci, tulus dan serius, anggapan di atas mengharuskan untuk menggambarkan al-Qur’an

[1]Qathab adalah jamak quthb, menurut istilah sufi, aqthab adalah sejumlah orang yang berada di berbagai penjuru mata angin bumi, mereka menjadi pusat perhatian ilahi, mereka rela memikul beban berat manusia karena kasih sayang lebih yang mereka miliki. (Penerj.)




198. Page

memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan ciri-ciri sebenarnya, berbeda dengan pengaruh dan cahaya-cahayanya, serta menganggapnya sebagai koleksi kata-kata buatan dan kebohongan-kebohongan seorang penipu –Maha Suci Allah. Ini kata-kata ngelantur, kafir, keji, bahkan para penganut faham sophisme (pemutarbalikan fakta) dan para setan sendiri merasa malu dan takut untuk mengucapkannya.

Seperti halnya menganggap sosok yang memiliki akidah mengakar dalam-dalam, paling kuat imannya, paling kuat amanatnya, paling jujur tutur katanya berdasarkan kesaksian agama dan syariat yang ia perlihatkan, juga ditunjukkan oleh ketakwaannya yang tiada tara, ubudiyah yang tulus dan murni yang ia perlihatkan sepanjang hidupnya sesuai kesepakatan, juga berdasarkan akhlak-akhlak baik yang terlihat pada sosoknya berdasarkan kesepakatan, berdasarkan pengakuan para ahli hakikat dan para pemilik kesempurnaan yang ia didik, tentu mustahil sekali jika kita anggap sosok seperti ini melakukan kemustahilan yang paling buruk dan paling jelek, sertajenis kesesatan paling berat secara sesat dan menyesatkan.

 

Kesimpulan:

Telah disampaikan dalam “Isyarat Kedelapan Belas” dari “Nota Kesembilan Belas” bagaimana para pendengar (atau lebih tepatnya: simpatisan) awam mengatakan tentang kemukjizatan al-Qur’an:

“Dibandingkan dengan seluruh kitab yang pernah saya dengar, atau semua kitab yang ada di dunia ini, al-Qur’an sama sekali tidak sama dengan semua kitab yang ada dari sisi tingkatannya. Dengan demikian, kalau tidak berada di bawah semua tingkatan kitab yang ada, berarti ia berada di atas semua kitab.

Mustahil jika al-Qur’an berada di bawah tingkatan semua kitab. Mustahil ada yang mengatakan seperti itu, bahkan musuh seperti setan sekali pun tidak menerima kata-kata ini. Dengan demikian, al-Qur’an berada di atas semua kitab. Maka, al-Qur’an adalah mukjizat.”

Dengan hujah pasti sesuai disiplin ilmu ushul fiqh dan manthiq (ilmu logika), juga sesuai istilah al-sabru wa al-taqsim,[1] maka kami katakan:

“Wahai setan! Wahai murid-murid setan! Al-Qur’an kemungkinan kalam Allah yang diturunkan dari Arsy terbesar dan nama paling agung, atau mungkin pula –mustahil, seratus ribu kali mustahil– buatan manusia di bumi yang tidak punya keyakinan, tidak takut kepada Allah, dan tidak pula mengenalnya.


[1]Al-sabru dan al-taqsim adalah dua istilah yang maknanya sama. Maksud kedua istilah ini adalah menyebutkan sifat-sifat asli atau yang dijadikan ukuran, dan membatalkan sebagian lainnya, agar yang tersisa dijadikan sebagai pemenang.




199. Page

Kemungkinan kedua ini, wahai setan, tidak mungkin bisa kau katakan di hadapan hujah-hujah sebelumnya! Kau tidak akan bisa mengatakan seperti itu. Oleh karenanya, al-Qur’an secara pasti dan tanpa keraguan adalah kalam Pencipta jagad raya, karena tidak ada posisi tengah dalam hal ini, bahkan posisi tersebut mustahil, dan tidak mungkin ada, seperti yang telah kami buktikan dengan jelas melalui sebuah gambaran, di mana kau sendiri melihat dan mendengarkannya.

Demikian halnya Muhammad S.a.w, beliau mungkin utusan Allah, rasul paling sempurna, makhluk terbaik, atau mungkin -mustahil, seratus ribu kali mustahil- beliau adalah orang bodoh tanpa keyakinan, dan jatuh ke tingkatan neraka paling bawah, karena berdusta kepada Allah lantaran tidak mengenal-Nya, tidak beriman pada siksa-Nya. Kau iblis, tidak akan bisa mengatakan seperti itu, juga hal itu tidak diucapkan oleh filosof Eropa, atau orang-orang munafik Asia yang kau percaya. Kalian semua tidak bisa mengatakan seperti itu dan tidak akan bisa, karena tak akan ada yang mau mendengar atau menerima kata-kata dusta ini.

Karena itu, filosof paling rusak yang kau percaya, dan orang munafik Asia yang paling parah yang tidak memiliki nurani sekalipun mengakui dan menyatakan bahwa Muhammad, orang Arab itu, sosok yang cerdas akalnya, dan tanda kebesaran dalam akhlak.

Mengingat masalah ini memiliki dua aspek, di mana salah satu aspeknya mustahil dan tidak dijadikan pedoman oleh siapa pun, di samping sebelumnya telah kami sebutkan hujah-hujah qath’i bahwa tidak ada posisi tengah dalam masalah ini, maka –meski kau dan golongan setan tidak suka, juga sesuai kebenaran yang benar-benar pasti– Muhammad S.a.w, si orang Arab itu, adalah utusan Allah, rasul paling sempurna, makhluk paling mulia. Semoga shalawat teriring salam tercurah kepada beliau sebanyak bilangan malaikat, manusia, dan jin.

 

Bantahan kecil setan yang kedua:

Saat saya membaca surah:

ق  وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ

 Qaf. Demi al-Qur’an yang sangat mulia. (Qs. Qaf [50]: 1)


Saat saya membaca ayat-ayat:


مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْوَعِيدِ وَجَاءَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَّعَهَا سَائِقٌ وَشَهِيدٌ لَّقَدْ كُنتَ فِي غَفْلَةٍ مِّنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ وَقَالَ قَرِينُهُ هَٰذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ.

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah 

200. Page

sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Dan yang menyertai dia berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala.” (Qs. Qaf [50]: 18-24)

Setan berkata:

“Jika kalian ingin mengetahui kata-kata al-Qur’an yang paling fasih dan jelas, lihatlah ayat-ayat ini. Berawal dari mana dan beralih ke mana. Ayat-ayat ini beralih dari sekarat menuju hari kiamat, beralih dari tiupan sangkakala menuju perhitungan amal, selanjutnya masuk neraka. Kefasihan mana jika yang disebutkan adalah peralihan-peralihan aneh seperti ini? Di sejumlah tempat, al-Qur’an menyatukan berbagai kejadian yang terpaut jarak cukup lama seperti ini. Bagaimana penjelasan berantakan seperti ini bisa disebut fasih dan lancar?”

 

Jawab:

Asas kemukjizatan al-Qur’an yang paling utama, setelah kefasihan, adalah ringkas (ijaz). Penjelasan ringkas adalah asas utama kemukjizatan al-Qur’an, sekaligus yang paling kuat. Penjelasan singkat dalam al-Qur’an banyak jumlahnya dan sangat lembut, hingga membuat pakar bahasa tercengang karenanya.


Contoh:


وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ  وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan difirmankan, ‘Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,’ dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang yang zalim. (Qs. Hud [11]: 44)


Ayat ini menjelaskan peristiwa banjir besar dan dampak-dampak yang ditimbulkan, dalam beberapa rangkaian kata singkat dalam bentuk yang menyelipkan mukjizat, membuat para ahli tata bahasa bersungkur sujud karena kefasihannya.

Demikian halnya firman berikut:


كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا إِذِ انبَعَثَ أَشْقَاهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَافَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنبِهِمْ فَسَوَّاهَا وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

 (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas, ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka, “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan 

201. Page

mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah). Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (Qs. al-Syams [91]: 11-15)

Ayat-ayat di atas menjelaskan kejadian kaum Tsamud yang aneh dan penting, dan akibat-akibat buruk yang muncul menimpa mereka dalam rangkaian kata singkat, menyatukan sisi i’jaz (mengandung sisi kemukjizatan) dan ijaz (penjelasan singkat) dalam bentuk yang lancar dan jelas, juga tidak sulit difahami.

Demikian pula firman berikut:


وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

 Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Anbiya` [21]: 87)

 

Dari kalimat (أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ) hingga kalimat (فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ) terdapat banyak sekali kalimat panjang lainnya. Meskipun kalimat-kalimat itu tidak disebutkan, tapi tidak mengurangi pemahaman dan tidak mengganggu kelancarannya. Kalimat itu menyebutkan tentang dasar-dasar penting kisah Nabi Yunus, dan mengungkap kandungan dari kalimat yang tersisa pada akal.

 

Seperti itu juga dalam surah Yusuf dari kalimat:


فَأَرْسِلُونِ

Maka utuslah aku (kepadanya), (Qs. Yusuf [12]: 45), sampai kalimat;


يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ

 Yusuf, hai orang yang amat dipercaya. (Qs. Yusuf [12]: 46)

Di antara kedua kalimat ini terdapat tujuh atau delapan rangkaian kata yang disingkat. Penyingkatan ini sama sekali tidak mengganggu pemahaman, juga tidak mengganggu kelancaran penuturan kisah.

Contoh-contoh ijaz (penjelasan singkat) seperti ini banyak di dalam al-Qur’an.

Sementara ayat-ayat dalam surat Qaf, penjelasan singkat yang ada dalam ayat-ayat ini amat luar biasa, karena menunjuk dengan jari-jari tangan ke arah masa depan orang-orang kafir, masa depan yang menakutkan dan sangat lama sekali, di mana satu harinya sama seperti limapuluh ribu tahun. Juga mengisyaratkan berbagai kejadian memilukan dan penting yang akan menimpa orang-orang kafir dalam pergolakan-pergolakan mencengangkan dari satu masa depan ke masa depan yang lain, 

202. Page

mengembarakan pemikiran di sekitar kejadian-kejadian ini secepat kilat, memperlihatkan masa yang begitu lama itu laksana lembaran yang ada di depan mata, menjelaskan kejadian-kejadian yang tidak tersurat agar bisa difikirkan manusia sendiri.


وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (Qs. al-A’raf [7]: 204)


Jika kau masih punya kata-kata untuk disampaikan, sampaikan saja, wahai setan!

Setan berkata, “Aku tidak bisa melawan hujah-hujah ini dan aku tidak mampu membela diri menghadapinya. Namun, di luar sana banyak sekali orang bodoh yang mau diam mendengarkan kata-kataku, banyak sekali setan dalam wujud manusia yang mau membantuku, banyak sekali filosof pendusta yang mau menerima penjelasanku yang memanjakan sikap egois mereka, hingga menghalangi mereka untuk menyampaikan seperti kata-katamu itu. Karenanya, aku tidak akan menyerahkan senjataku kepadamu.”


سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا  إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)

 

 

Bahasan Kedua

 

Bahasan ini sengaja ditulis untuk meluruskan sikap baik sangka berlebihan kedua murid saya terhadap saya, hingga membuat mereka yang senantiasa melayani saya merasa kebingungan kala melihat perbedaan luar biasa pada akhlak saya.

Menurut saya, kesempurnaan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki hakikat al-Qur’an dikaitkan oleh perantara dan sarana yang menyebarkan hakikat tersebut. Hanya saja anggapan ini salah, karena kesucian sumber menampakkan pengaruh sekuat pengaruh dalil-dalil nyata. Kesucian ini membuat siapa pun mau menerima hukum-hukum. Karena itu, ketika da’i ataupun wakil menghalangi kesucian sumber ini, maksudnya ketika perhatian semua orang tertuju pada keduanya, niscaya pengaruh kesucian sumber lenyap.

Berdasarkan rahasia ini, berikut akan saya jelaskan sebuah hakikat untuk saudara-saudara saya yang menghormati melebihi batasan saya:


203. Page

Mungkin seseorang memiliki sejumlah kepribadian dan memperlihatkan akhlak-akhlak yang berbeda, sebagai contoh:

Seorang pejabat besar memiliki sebuah kepribadian yang mengharuskan untuk bersikap tenang dan berwibawa saat berada dalam kapasitasnya sebagai pejabat, harus menjaga sikap dan tingkah laku untuk menjaga kemuliaan kedudukan tersebut. Untuk itu, ketika si pejabat besar ini tawadhu pada setiap tamu yang datang, ini namanya merendahkan diri dan meruntuhkan kedudukan.

Namun saat berada di rumah, kepribadiannya sebagai seorang pejabat mengharuskan untuk bersikap dengan akhlak-akhlak berbeda sesuai situasi di dalam rumah, di mana ketika ia semakin tawadhu, akan semakin baik, dan ketika memperlihatkan wibawa di dalam rumah, ini namanya sombong.

Seperti itulah setiap orang memiliki kepribadian berdasarkan peran yang dijalankan, pribadi yang menyalahi pribadi hakiki di sekian tempat. Jika memang si pemilik jabatan atau peran tersebut patut untuk menjalankan peran dan jabatan tersebut, dan tabiat serta kemampuan yang dimiliki sesuai dengan peran tersebut, berarti ia memiliki dua kepribadian yang mirip. Namun jika tidak siap untuk menjalankan peran tersebut, misalkan seorang prajurit biasa ditempatkan di posisi marsekal, tentu saja dua kepribadian ini jauh berbeda. Sifat kecil kepribadian biasa si prajurit ini tidak cocok dengan akhlak luhur dan mulia yang harus ditunjukkan oleh kedudukan seorang panglima tertinggi.

Seperti halnya saudara kalian yang malang ini (Imam Badiuzzaman sendiri, maksudnya), ia memiliki tiga kepribadian, masing-masing di antaranya berbeda dengan yang lain, jauh sekali perbedaannya.

Kepribadian pertama, kepribadian sesaat yang merujuk kepada al-Qur’an semata karena kapasitas saya sebagai da’i yang menyeru dan menuntun menuju simpanan luhur al-Qur’an. Dalam kepribadian ini terdapat banyak sekali akhlak luhur dan mulia seperti yang diharuskan oleh wibawa dakwah menuju simpanan agung itu. Kepribadian ini bukan kepribadian saya, dan saya tidak memiliki kepribadian ini. Kepribadian ini semata sifat-sifat yang diharuskan oleh maqam yang ada, diharuskan oleh tugas yang saya perankan. Sifat-sifat seperti ini yang kalian lihat dalam diri saya, semua itu bukan milik saya. Karena itu, jangan memandang saya dari sisi sifat-sifat dan akhlak-akhlak ini, karena sifat-sifat dan akhlak-akhlak ini semata untuk menyesuaikan maqam yang ada.

Kepribadian kedua, ketika saya menghadap kepada Allah dalam ibadah, saya mendapatkan kepribadian khusus karena kebaikan dan karunia Allah. Kepribadian ini memperlihatkan jejak-jejak tertentu, yang muncul dari makna ubudiyah asasi, seperti pengakuan akan kelalaian, pengakuan akan kelemahan dan kemiskinan, memohon kepada Allah dengan merendah diri. Di balik kepribadian ini, 

204. Page

saya menilai diri saya lebih sengsara, lebih lemah, lebih miskin, dan lebih lalai dari siapa pun juga. Jika pun seluruh dunia memuji saya, mereka semua tidak akan mampu memastikan bahwa saya ini orang shalih dan memiliki kesempurnaan.

Kepribadian ketiga, kepribadian hakiki yang sudah saya warisi sejak dulu. Kepribadian ini merupakan sifat-sifat yang diwarisi dari Sa’id lama yang sesekali menginginkan pamrih dan wibawa, akhlak-akhlak biasa dan sederhana hingga sampai tingkatan pelit kadang terlihat dalam diri saya, karena saya memang tidak berasal dari keluarga ningrat.

Untuk itu wahai saudara-saudara sekalian, saya tidak ingin memberitahukan akhlak-akhlak tidak baik yang tersembunyi dan banyaknya kekeliruan dalam kepribadian saya ini, agar kalian tidak membuat kalian merasa benci secara keseluruhan.

Saudara-saudara sekalian! Karena saya ini bukan orang terhormat, dan tidak memiliki kesiapan untuk itu, tentu saja kepribadian saya ini jauh sekali dari akhlak-akhlak dan pengaruh yang ada dalam peran dakwah menuju al-Qur’an dan ubudiyah.

Namun demikian, Allah menampakkan kuasa kasih sayang-Nya dalam diri saya sesuai kaidah: dad haq ra qabiliyyat syarth nisat (نيست شرط قابليت را حق داد حق),[1] karena Allah menggunakan kepribadian saya yang setingkat prajurit pangkat paling rendah ini untuk mengabdi pada rahasia-rahasia al-Qur’an yang merupakan maqam tertinggi bagi seorang marsekal. Untuk itu, seribu satu rasa syukur saya panjatkan kepada Allah, karena jiwa saya ini jauh lebih rendah dari siapa pun, namun peran yang saya jalankan jauh lebih mulia dari siapa pun.

 

 

Segala puji bagi Allah, ini adalah karunia Rabbku

 

Bahasan Ketiga

 

بسم الله الرحمن الرحيم

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا 

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Qs. al-Hujurat [49]: 13)

Artinya: Aku menciptakan kalian berkelompok-kelompok, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal, mengetahui hubungan-hubungan kehidupan sosial di antara kalian,


[1] Kemampuan bukanlah syarat untuk menerima karunia dan nikmat Allah.



205. Page

sehingga kalian saling bahu-membahu. Aku tidak menciptakan kalian berkelompok-kelompok, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa agar kalian saling merasa asing, sehingga memicu pertikaian di antara sesama kalian.

Bahasan ini terdiri dari tujuh permasalahan:

 

Permasalahan Pertama:

Mengingat hakikat luhur dan mulia yang dijelaskan ayat ini secara khusus berkenaan dengan kehidupan sosial, saya terpaksa menulis hakikat ini melalui lisan Sa’id lama yang memiliki hubungan dan kaitan dengan kehidupan sosial Islam demi mengabdi kepada al-Qur’an yang memiliki kedudukan agung ini, guna membendung serangkaian serangan semena-mena yang tak kenal keadilan, bukan dengan lisan Sa’id baru yang ingin menarik diri dan menjauh dari kehidupan sosial.

 

Permasalahan Kedua:

Untuk menjelaskan aturan saling mengenal dan kerjasama seperti yang diisyaratkan ayat ini, berikut kami sampaikan:

Seperti halnya pasukan dibagi menjadi beberapa batalion, tiap batalion dibagi menjadi beberapa skuadron, setiap skuadron dibagi menjadi beberapa regu, dan seterusnya agar hubungan-hubungan yang beragam dan berbeda setiap prajurit bisa dikenali dan diketahui, juga agar tugas setiap hubungan tersebut bisa diketahui agar setiap individu pasukan bisa menjalankan peran hakiki di bawah aturan kerjasama, dan agar kehidupan sosial mereka terjaga dari serangan musuh. Pengelompokan ini bukan dimaksudkan sebagai persaingan antar regu, bukan dimaksudkan agar setiap batalion berlaku semena-mena terhadap batalion lain, dan setiap kelompok bertindak tidak sesuai langkah yang dilakukan kelompok lain. Demikian pula halnya dengan masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah sebuah pasukan besar yang dibagi menjadi sekian banyak suku dan kelompok, namun mereka semua memiliki ribuan wajah persatuan. Pencipta mereka satu, Pemberi rizki mereka satu, rasul mereka satu, kiblat mereka satu, kitab mereka satu, negeri mereka satu, dan begitu seterusnya satu dan satu hingga terbentuk ribuan wajah persatuan (wahdah). Setiap kesatuan(wahidiyah) tersebut mengharuskan mereka untuk bersaudara, saling mencintai dan bersatu. Karena itu, pembagian menjadi sejumlah kabilah dan kelompok tidak lain adalah untuk saling mengenal dan saling membantu, seperti yang disampaikan ayat di atas, bukan untuk saling merasa asing atau saling memusuhi.


206. Page

Permasalahan Ketiga:

Gagasan nasionalisme (qawmiyyah) saat ini menyebar hingga begitu jauh, khususnya yang disebarkan oleh orang-orang Eropa lalim di tengah-tengah kaum muslimin dalam bentuk negatif, hingga memecah belah mereka, hingga menelan mereka.

Mengingat di balik gagasan nasionalisme terdapat daya nafsu, kenikmatan yang melalaikan, dan kekuatan sial, maka tidak bisa dikatakan pada siapa pun yang berkecimpung dalam kehidupan sosial di zaman sekarang ini, “Lepaskan diri kalian dari gagasan nasionalisme.”

Hanya saja gagasan nasionalisme ada dua bagian. Salah satunya bersifat negatif, sial, dan membahayakan, karena mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain, terus memusuhi orang lain, berperilaku dengan penuh awas, curiga, dan waspada, yang kesemuanya akan memicu permusuhan dan kekacauan.

Karena itu, Rasulullah S.a.w melalui sebuah hadits menyampaikan pesan yang intinya demikian: “Islam memutuskan fanatisme jahiliyah” (الاسلام جبَّ العصبية الجاهلية)

Al-Qur’an juga memberitahukan:


إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَىٰ وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا  وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

 Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. al-Fath [48]: 26)

Hadits dan ayat ini menolak dengan tegas nasionalisme negatif dan pemikiran rasial. Sebab, nasionalisme itu adalah nasionalisme Islam yang bersifat positif dan suci, tidak memerlukan nasionalisme negatif seperti itu.

Apa gerangan ras yang anggotanya bisa mencapai tigaratus juta jiwa?! Apa gerakan pemikiran rasial sebagai pengganti Islam yang bisa membuat seseorang mendapatkan saudara sebanyak ini, khususnya saudara-saudara abadi?!

Ya, nasionalisme negatif sudah menampakkan banyak sekali bahaya dalam sejarah. Sebagai contoh, kalangan Umawiyah sedikit mencampurkan gagasan nasionalisme dalam politik, hingga akhirnya mereka memecah-belah dunia Islam, dan mereka sendiri merasakan banyak sekali petaka dan fitnah.

Selain itu, bangsa-bangsa Eropa memisah-misahkan gagasan nasionalisme pada saat ini dan bersikap terlalu jauh. Karena itu, peristiwa-peristiwa besar Perang Dunia menampakkan sejauh mana 

207. Page

bahaya gagasan nasionalisme terhadap umat manusia, terlebih permusuhan abadi yang menyakitkan antara Perancis dan Jerman.

Dan di kita, berbagai kelompok untuk para pengungsi dibentuk, terutama oleh orang Armenia dan Yunani, pada awal Periode Kebebasan, disebabkan gagasan nasionalisme negatif, dengan banyak sekali nama klub, yang menyebabkan terpecahnya hati sebagaimana terpecah-belahnya masyarakat. Masyarakat terpecah ke dalam suku-suku disebabkan oleh apa yang disebut “percabangan masyarakat” ketika Menara Babel dihancurkan. Dan sejak waktu itu hingga sekarang, keadaan mereka yang telah dilahap oleh bangsa Eropa karena mereka terpecah dalam kelompok-kelompok, dan mereka yang dibuat celaka oleh bangsa Eropa, kembali menunjukkan bahaya nasionalisme negatif.

Saat ini, unsur-unsur dan suku-suku Islam – yang berada dalam cengkeraman orang asing, padahal masing-masing saling memerlukan satu sama lain, merasakan banyak sekali perlakuan zalim, serta mereka pun lebih miskin dari orang lain – justru memandang satu sama lain dengan tatapan dingin dan kasar, masing-masing saling menganggap musuh. Semua ini merupakan petaka besar yang tak bisa dilukiskan. Bahkan sebagai tindakan bodoh mirip kebodohan menghalau gigitan seekor nyamuk, namun tidak mempedulikan gigitan ular-ular besar.

Demikian pula halnya sikap tidak perduli terhadap perilaku orang-orang Eropa yang laksana ular-ular besar ini, ketika mereka kian rakus tanpa pernah merasa kenyang, menampakkan segala cakar kuku, bahkan membantu orang-orang seperti ini secara maknawi, dan justru memusuhi rakyat sendiri di kawasan-kawasan timur, atau memusuhi saudara-saudara seagama di kawasan selatan, bersikap melawan mereka lantaran gagasan nasionalisme, semua ini sangat membahayakan dan merusak, terlebih saudara-saudara kita yang berada di kawasan selatan sama sekali tidak menampakkan sikap permusuhan yang perlu disikapi dengan permusuhan yang sama, karena yang muncul dari kawasan selatan adalah cahaya al-Qur’an dan sinar Islam. Cahaya dan sinar ini ada di antara kita, dan tersebar di mana pun.

Karena itu, sikap permusuhan terhadap saudara-saudara seagama adalah sikap yang mengusik Islam dan al-Qur’an, dan permusuhan terhadap Islam dan al-Qur’an adalah permusuhan terhadap kehidupan dunia sekaligus akhirat seluruh rakyat. Meruntuhkan batu fondasi kehidupan dunia akhirat dengan dalih untuk menopang kehidupan sosial atas nama patriotisme, ini tak dapat disebut patriotisme, tapi lebih tepat disebut kebodohan dan kedunguan.

 


208. Page

Permasalahan Keempat:

Nasionalisme positif muncul dari kebutuhan internal kehidupan sosial yang merupakan faktor pendorong kerjasama, merealisasikan kekuatan yang bermanfaat, menjadi sebuah sarana untuk lebih memperkuat dan memperkokoh ukhuwah Islam. Gagasan nasionalisme ini harus mengabdi untuk Islam, harus menjadi benteng dan baju baja pelindung Islam, dan tidak boleh menggantikan posisinya, karena di balik ukhuwah yang diberikan Islam terdapat seribu ikatan ukhuwah, dan ukhuwah ini akan tetap bertahan abadi di alam baqa dan di alam barzakh.

Karena itu, sekuat apa pun persaudaraan nasionalisme, tetap hanya menjadi tirainya saja. Sebab, jika ikatan nasionalisme dijadikan pengganti ukhuwah Islam, ini merupakan kejahatan bodoh, laksana meletakkan bebatuan benteng di tempat penyimpanan emas yang ada di dalam benteng, lalu melemparkan emas-emas itu ke luar benteng!

Maka, wahai saudara-saudara setanah air, wahai para ahli al-Qur’an! Sebagai pemegang panji al-Qur’an, kalian menantang dunia sejak enamratus tahun silam, bahkan sejak seribu tahun sebelumnya, tepatnya di era Abbasiyah. Sejak saat itu, kalian memproklamirkan al-Qur’an, kalian jadikan nasionalisme kalian sebagai benteng pelindung al-Qur’an dan Islam, kalian membuat dunia diam tak berkutik, kalian tangkal serangan-serangan besar yang datang, hingga kalian menjadi bukti kebenaran yang indah bagi ayat berikut:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ  ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Ma`idah [5]: 54)

 Karena itu, jangan sampai kalian terjerat tipuan-tipuan Eropa dan kaum munafik sekarang ini. Kalian harus waspada, jangan sampai menjadi bukti kebenaran bagian awal ayat di atas.

Satu hal yang menarik perhatian:

Bangsa Turki di belahan dunia mana pun adalah bangsa muslim, meski mereka terbilang sebagai elemen-elemen Islam terbanyak. Bangsa Turki tidak terbagi menjadi bangsa muslim dan muslim seperti halnya bangsa-bangsa lain. Apa pun kelompok-kelompok Turki yang ada, mereka adalah muslim. Orang-orang Turki yang murtad meninggalkan Islam atau belum masuk Islam, mereka 

209. Page

berada di luar lingkup sifat sebagai orang Turki, seperti kelompok Majar (Hungaria),[1] meski seluruh elemen bangsa secara keseluruhan –bahkan elemen kecil– ada yang muslim dan ada yang non muslim.

Karena itu, saudaraku setanah air Turki, sadarlah, karena nasionalisme Anda telah mendarah daging dengan Islam, tak mungkin bisa dipisahkan. Jika Anda memisahkan Islam dan nasionalisme, berarti Anda mati, karena segala sejarah masa lalu yang kau banggakan telah diabadikan dalam sejarah Islam. Kebanggaan-kebanggaan ini tak bisa dihapus di bumi dengan kekuatan apa pun. Untuk itu, Anda jangan menghapus nasionalisme ini dari hati hanya karena bisikan dan tipuan para setan.

 

Permasalahan Kelima:

Bangsa-bangsa Asia yang sadar dan tergugah berpegang teguh pada gagasan nasionalisme, mengekor Eropa dalam segala hal dan sisi kehidupan, bahkan rela mengorbankan seluruh nilai suci.Padahal, nilai setiap bangsa mengharuskan untuk memiliki pakaian tertentu yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain, bahkan meski mengenakan satu jenis pakaian yang sama, tetap harus memiliki bentuk dan model tersendiri. Wanita tidak patut dikenakan pakaian polisi, seperti halnya syeikh yang sudah tua ini tak patut dikenakan pakaian wanita pedansa tango.

Meniru tradisi secara buta seringkali mengundang hinaan karena sejumlah alasan:

Pertama, jika Eropa laksana toko dan perkemahan, maka Asia adalah bidang garapan atau masjid. Pemilik toko mungkin saja pergi ke tempat-tempat disko, tidak demikian dengan pak tani. Dan perkemahan tentu tidak sama seperti kondisi masjid.

Selain itu, munculnya sebagian besar para nabi di Asia dan munculnya sebagian besar filosof di Eropa merupakan simbol dan isyarat kuasa azali bahwa yang akan menyadarkan, membangkitkan, dan menuntun bangsa-bangsa Asia adalah agama dan hati, sementara filsafat dan hikmah harus membantu agama dan hati, bukannya menggantikan posisi agama dan hati.

Kedua, menganalogikan agama Islam dengan agama Nasrani ataupun sikap tidak perduli terhadap agama seperti sikap Eropa, adalah sebuah kesalahan besar. Sebab, pada mulanya Eropa berpegang teguh pada agama kala sikap fanatisme para pemimpin Eropa khususnya Wilson,[2] Lloyd



[1] Konon, orang-orang Majar pada mulanya adalah orang-orang Turki, selanjutnya saat mereka memeluk agama Nasrani, ke-Turki-an mereka lenyap, dan mereka disebut dengan nama lain.

[2] Presiden Amerika Serikat ke-28, menjabat sebagai presiden dari tahun 1913 hingga 1921.




210. Page

George,[1] dan Venizelos,[2] layaknya fanatisme pendeta, menunjukkan bahwa Eropa berpegang teguh dan membela agama, bahkan memiliki sikap fanatisme di sebagian sisi.

Ketiga, menganalogikan Islam dengan Nasrani adalah analogi yang sama sekali palsu, dan salah, karena ketika Eropa fanatik terhadap agama, mereka tidak maju. Justru mereka maju ketika meninggalkan sikap fanatisme agama.

Selain itu, agama memicu perang internal di antara bangsa-bangsa Eropa yang terus berlanjut hingga tigaratus tahun lamanya. Agama diperalat orang-orang lalim untuk memberangus kalangan awam, orang-orang miskin, dan para pemikir, hingga situasi ini memicu kemarahan rakyat terhadap agama, dan pada akhirnya mereka untuk sementara waktu meninggalkan agama.

Sedangkan dalam Islam, sejarah membuktikan bahwa bukan sekali agama tidak memicu perang internal.

Ketika kaum muslimin berpegang teguh pada agama dengan kuat, mereka mengalami kemajuan sejauh konsistensi mereka dalam menjalankan agama. Buktinya adalah Daulah Islam Andalusia yang merupakan guru terbesar bagi Eropa. Namun saat masyarakat Islam tidak memperhatikan, tidak memperdulikan, dan menyepelekan agama, musibah datang silih berganti, mereka kian terbelakang dan terhina.

Selanjutnya, Islam menjaga orang-orang fakir dan kalangan awam dengan ribuan langkah kasih sayang, seperti kewajiban zakat, dan larangan riba. Islam mendorong untuk menggunakan akal dan ilmu melalui kata-kata seperti:


أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Qs. Yasin [36]: 68)


أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)? (Qs. al-An’am [6]: 50)


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (Qs. Muhammad [47]: 24)

Islam juga menjaga ilmuwan. Karena itu, Islam menjadi benteng bagi orang-orang fakir dan para ilmuwan, juga sebagai tempat perlindungan bagi mereka. Sehingga tidak ada alasan untuk khawatir dengan Islam.


[1] Salah satu pemimpin partai kebebasan Inggris, menjabat sebagai perdana menteri pada paruh kedua perang dunia pertama.

[2] Perdana menteri Yunani tahun 1910, termasuk salah satu pemimpin revolusi Yunani.




211. Page

Rahasia perbedaan antara Islam dan Nasrani, juga agama-agama lain:

Asas Islam adalah tauhid murni, sehingga tidak memberikan pengaruh hakiki apa pun terhadap para perantara dan sebab-sebab, tidak memberikan nilai apa pun untuk semua hal tersebut dari sisi penciptaan dan kedudukan.

Berbeda dengan Nasrani yang menerima pemikiran tuhan anak. Karena itu, agama ini memberikan nilai untuk para perantara dan sebab-sebab, tidak melenyapkan sikap egoisme dan terpedaya, seakan agama ini memberikan manifestasi ketuhanan kepada para pendeta dan tokoh Nasrani. Mereka menjadi bukti kebenaran ayat:


اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا  لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ  سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

 Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Qs. al-Taubah [9]: 31)

 

Karena itulah para pejabat tinggi dunia di kalangan kaum Nasrani begitu fanatik terhadap agama, seperti halnya mantan presiden Amerika terdahulu, Wilson,[1] dengan tetap menjaga sikap angkuh dan egoisme.

Berbeda dengan Islam yang merupakan agama tauhid murni. Dalam Islam, para pejabat tinggi dunia harus meninggalkan sikap angkuh dan egoisme, atau mereka harus meninggalkan sikap konsistensi beragama dalam batasan tertentu. Karena itulah sebagian dari mereka tidak mempedulikan agama, bahkan menjadi atheis.

 

Permasalahan Keenam:

Berikut kami sampaikan pada mereka yang melampaui batas dalam faham nasionalisme negatif dan gagasan rasial:

Pertama, permukaan bumi, khususnya negeri kita ini, mengalami berbagai macam migrasi dan perubahan sejak dulu kala. Di samping itu, banyak kaum dan kelompok yang masuk dan menetap di negeri ini bagaikan kelkatu setelah pusat pemerintahan Islam terbentuk.

Kalau Lauh Mahfudz sudah dibuka, dan kondisinya sudah seperti ini, maka memisahkan berbagai ras masyarakat satu sama lain serasa tidak mungkin, kecuali ras-ras hakiki. Karena itu,

[1] Maksudnya saat penulisan risalah ini.



212. Page

membangun pergerakan dan fanatisme di atas pemikiran ras hakiki sama sekali tidak ada artinya, malah membahayakan. Tidak heran jika salah seorang pemimpin nasionalisme negatif dan pendukung rasialisme, sekaligus orang yang tidak peduli terhadap agama, terpaksa harus mengatakan, “Jika bahasa dan agama kita sama, maka umat kita harus bersatu.”

Jika memang seperti itu, berarti kita tidak perlu memandang ras hakiki. Yang harus diperhatikan adalah ikatan bahasa, agama, dan negara. Ketika ketiga unsur ini menyatu, umat ini pasti kuat. Namun, ketika ada salah satunya yang hilang, maka kekurangan juga tetap terjadi di lingkup nasionalisme.

Kedua, berikut akan kami jelaskan dua manfaat di antara ratusan manfaat yang bisa diraih nasionalisme Islam yang suci untuk kehidupan sosial rakyat ini. Dua manfaat yang dimaksud tertera dalam dua contoh berikut:

Pertama, satu hal yang menjaga kehidupan dan eksistensi Daulah Islam –dengan penduduk berjumlah duapuluh atau tigapuluh juta jiwa– ini dari serangan negara-negara Eropa secara keseluruhan adalah pemikiran yang muncul dari cahaya al-Qur’an di tengah para prajurit Daulah Islam berikut: “Jika mati, saya syahid, dan jika berperang, saya mujahid.” Sehingga ia menghadapi kematian dengan senyuman di wajah sepenuh kerinduan dan cinta, dan senantiasa mengguncang Eropa.

Lantas adakah gerangan sesuatu di dunia ini yang mampu mendorong pengorbanan seluhur ini di dalam spirit para prajurit yang memiliki pemikiran sederhana dan hati nan suci-bersih?! Apa gerangan fanatisme yang mampu menggantikan posisi spirit ini dan mendorong mereka rela mengorbankan nyawa dan kehidupan dunia secara keseluruhan dengan sepenuh cinta dan kerelaan hati?!

Kedua, kala ular-ular dan negara-negara Eropa besar menampar Daulah Islam ini, mereka membuat tigaratus limapuluh juta kaum muslimin menangis dan menderita. Karena itu, tangan-tangan para penjajah ini harus ditarik agar tidak membangkitkan emosi, perasaan, dan derita kaum muslimin, mereka harus menurunkan tangan saat tangan terangkat untuk mereka layangkan.

Perlihatkan kepada saya, kekuatan apa kiranya yang bisa menggantikan kekuatan maknawi abadi yang tak mungkin bisa disepelekan dari sisi mana pun ini?! Mungkinkah ada?!

Ya, jangan sampai ada yang tersinggung akibat kekuatan maknawi yang besar ini hanya karena nasionalisme negatif dan fanatisme yang tidak diperlukan!


213. Page

Permasalahan Ketujuh:

Berikut pesan kami kepada mereka yang menampak-nampakkan fanatisme dan nasionalisme negatif secara berlebihan:

Jika memang kalian mencintai dan menyayangi negeri ini dengan sebenarnya, tutuplah fanatisme yang ada di dalam hati kalian, niscaya perasaan itu akan berubah menjadi kasih sayang sepenuhnya. Kalau tidak seperti itu, pelayanan kehidupan sosial temporer yang lalai terhadap kalangan minoritas yang tak membutuhkan kasih sayang, yang berarti kezaliman bagi mayoritas, itu bukan fanatisme namanya. Sebab, fanatisme yang didasarkan dorongan ide nasionalisme negatif mungkin saja memberikan manfaat sesaat untuk dua dari delapanpuluh umat, sehingga dua orang ini mendapatkan kasih sayang fanatisme yang tidak berhak mereka dapatkan, sementara enam di antara delapan umat adalah orang tua, orang sakit, mereka yang tertimpa musibah, anak-anak, kaum dhuafa dan miskin, atau orang-orang bertakwa yang memikirkan akhirat secara serius. Mereka inilah yang memerlukan cahaya, hiburan, dan kasih sayang untuk menghadapi kehidupan alam barzakh dan akhirat yang akan mereka hadapi, lebih dari kebutuhan akan kehidupan dunia. Mereka memerlukan tangan-tangan penuh berkah yang memiliki fanatisme. Lantas fanatisme seperti apa yang membiarkan cahaya orang-orang seperti ini padam dan melenyapkan suka cita mereka?!

Mana itu kasih sayang untuk umat, mana itu pengorbanan demi umat?!

Harapan akan rahmat Ilahi jangan sampai pupus, karena Allah al-Haq Ta’ala menundukkan dan memanfaatkan pasukan dan jamaah besar untuk kepentingan negara demi pengabdian al-Qur’an, menugaskan mereka untuk mengemban panji al-Qur’an sejak seribu tahun silam. Karena itu, Allah tidak akan mengabaikan pasukan dan jamaah besar Daulah ini lantaran halangan-halangan sesaat, insya Allah. Allah justru akan membentangkan cahaya itu sekali lagi, dan meneruskan tugas pasukan dan jamaah Daulah ini.

 

Bahasan Keempat

 

Peringatan: Sebagaimana halnya empat bahasan “Catatan Keduapuluh Enam” ini tidak memiliki korelasi satu sama lain, demikian pula halnya “sepuluh permasalahan” pada bahasan keempat ini juga tidak memiliki korelasi satu sama lain. Karena itu, tidak perlu dibahas apa korelasinya, cukup saya tulis seperti yang terlintas di fikiran saya.

Bahasan ini merupakan bagian dari surat yang beliau (Imam Badiuzzaman) kirimkan ke salah seorang murid besar, berisi sejumlah jawaban untuk sejumlah pertanyaan yang diajukan si murid.


214. Page

Permasalahan Pertama

Kedua;[1] dalam suratmu, engkau menyatakan bahwa para ulama tafsir mengatakan terkait penafsiran:

رَبِّ الْعَالَمِينَ

 Tuhan semesta alam, (Qs. al-Fatihah [1]: 2).

Ada delapanbelas ribu alam, dan kau bertanya tentang hikmah banyaknya alam ini?

Saudaraku! Saat ini, saya tidak mengetahui hikmah banyaknya alam. Namun berikut yang bisa saya sampaikan:

Rangkaian kata-kata al-Qur’an tidak terbatas pada satu makna saja. Rangkaian kata-kata al-Qur’an adalah satu kesatuan yang mengandung makna tertentu untuk setiap tingkatan orang, karena al-Qur’an adalah khitab bagi seluruh tingkatan umat manusia. Makna-makna yang dijelaskan merupakan bagian-bagian terkecil dari kaidah menyeluruh tersebut. Setiap ahli tafsir dan setiap ‘arif menyebutkan sebagian di antara makna menyeluruh tersebut berdasarkan mukasyafah, dalil, ataupun faham masing-masing, sehingga makna yang dipilih mengacu pada faktor-faktor tersebut.

Tidak terkecuali dengan permasalahan ini, setiap kelompok mengungkapkan makna yang sesuai dengan banyaknya alam yang dimaksud.

Sebagai contoh, ayat:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيَانِ

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. (Qs. al-Rahman [55]: 19-20)


Ayat yang sering disebut-sebut para wali dalam wirid mereka dengan penuh perhatian ini, memiliki sejumlah makna kecil, dimulai dari lautan rububiyah yang berada dalam lingkup wajib dan lautan ubudiyah yang berada dalam lingkup kemungkinan, hingga berakhir pada lautan dunia dan akhirat, mulai dari lautan alam gaib dan alam nyata hingga samudera-samudera di belahan timur, barat, utara dan selatan bumi, dimulai dari lautan Romawi dan lautan Persia, hingga Lautan Putih dan Lautan Hitam, serta bagian sempit di antara keduanya, yang darinya keluar ikan yang disebut marjan, hingga Lautan Putih dan Laut Merah, terusan Suez, hingga lautan tawar dan asin, hingga lautan tawar yang dalam dan terpisah satu sama lain, hingga lautan asin yang ada di permukaan bumi yang saling

[1] Dalam dikte yang dituturkan di sini, Ustadz Badiuzzaman Sa’id Nursi memulai dari urutan kedua, karena urutan pertama pertanyaan ini sudah disebutkan di risalah-risalah lain.




215. Page

terhubung satu sama lain, hingga lautan tawar yang disebut sungai besar, seperti sungai Nil, Tigris, Eufrat, hingga lautan asin yang bercampur di sungai-sungai tersebut.

Seluruh makna ini mungkin saja yang dimaksudkan dan dimaknakan, yakni makna-makna hakiki dan majazi dari ayat di atas.

Demikian pula halnya ayat:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Qs. al-Fatihah [1]: 2)

Ayat ini mencakup banyak sekali hakikat. Ahli mukasyafah dan ahli hakikat menjelaskan makna-makna ayat ini dengan penjelasan berbeda sesuai mukasyafah masing-masing.

Menurut pemahaman saya, di langit terdapat ribuan alam, di mana setiap bintang di antara sejumlah gugusan bintang memiliki alam tersendiri, dan setiap jenis makhluk bumi memiliki alam tersendiri, bahkan setiap manusia merupakan miniatur alam. Ungkapan:


رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tuhan semesta alam, (Qs. al-Fatihah [1]: 2) berarti, bahwa setiap alam diatur dan dirawat rububiyah Allah semata.

Ketiga, Rasulullah S.a.w pernah bersabda:


إذا أراد الله بقوم خيرًا أبصرهم بعيوب أنفسهم

“Ketika Allah menghendaki kebaikan pada suatu kaum, (Allah) membuat mereka menyadari aib diri mereka sendiri.”[1]

Dalam al-Qur’an, Yusuf berkata:


وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي  إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي  إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (Qs. Yusuf [12]: 53)


[1] Diriwayatkan dengan lafazh, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Allah memberikan tiga sifat pada dirinya; Allah memberikan pemahaman dalam agama padanya, membuatnya zuhud terhadap dunia, dan membuatnya menyadari segala aib diri.” Hr. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, bab: zuhud dan memperpendek angan, hadits nomor 10053. Juga diriwayatkan dengan lafazh; “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Allah memberikan pemahaman dalam agama padanya, membuatnya zuhud terhadap dunia, dan membuatnya menyadari segala aib diri. Siapa yang diberi (sifat-sifat ini), maka ia telah diberi kebaikan dunia-akhirat.” Hr. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, hadits nomor 31696.




216. Page

Orang yang kagum dan terlalu percaya pada diri sendiri adalah orang sengsara dan celaka, dan orang yang menyadari segala aib dan kekurangan diri adalah orang bahagia dan beruntung. Karena itu, engkau termasuk orang bahagia. Hanya saja, kadang nafsu ammarah (jiwa yang senantiasa memerintahkan keburukan) berubah menjadi nafsu lawwamah (jiwa yang senantiasa mencela keburukan yang telah diperbuat) atau nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang). Hanya saja nafsu ammarahcenderung menyerahkan seluruh persenjataan kepada saraf, di mana saraf tetap menjalankan peran hingga akhir usia manusia, sehingga jejak-jejak nafsu ammarah tetap terlihat meski nafsu ini sudah mati sejak lama.

Tidak sedikit orang terbaik dan para wali besar mengeluhkan nafsu ammarah, meski jiwa mereka sudah tenang. Mereka berteriak memohon pertolongan karena adanya serangan penyakit hati, meski hati mereka bersih dan terang bercahaya. Dengan demikian, yang ada dalam diri orang-orang besar seperti mereka ini bukan nafsu ammarah, tapi peran nafsu ammarah, yang beralih ke saraf, dan penyakit yang dimaksud bukanlah penyakit hati, tapi penyakit khayalan.

Karena itu, sesuatu yang menyerangmu, saudaraku yang terhormat, bukanlah nafsu ammarah ataupun penyakit hati, insya Allah. Tapi semata suatu kondisi peralihan nafsu ammarah ke saraf seperti yang telah kami singgung di atas sesuai tuntutan kemanusiaan karena lamanya proses mujahadah agar selalu mengalami peningkatan.

Permasalahan Kedua

Penjelasan ketiga pertanyaan yang diajukan sebelumnya tertera di beberapa bagian Risalah al-Nur, dan berikut ini kami isyaratkan secara singkat saja:

Pertanyaan pertama: Muhyiddin Ibnu Arabi menyatakan dalam surat yang ia kirimkan kepada Fakhruddin al-Razi,[1] bahwa mengenal Allah tidak sama seperti mengenal wujud-Nya. Apa makna kata-kata ini, dan apa maksudnya?

 

Jawab:

Pertama:

Contoh dan perumpamaan terkait perbedaan antara tauhid hakiki dengan tauhid zhahiri tertera dalam mukadimah “Kalimat Keduapuluh Delapan” yang sudah engkau baca, di sana sudah disebutkan


[1] Fakhruddin al-Razi; Imam Farkhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Qurasy, asli Thabariyah dan lahir di Raza, berasal dari keturunan Abu Bakar al-Shiddiq, bermadzhab Syafi’i, ahli tafsir, ahli ilmu kalam, unggul di masanya dalam seluruh disiplin ilmu, karena ia adalah imam di masanya di bidang ilmu-ilmu logika, juga salah seorang imam di bidang ilmu-ilmu syariat, lahir tahun 544 H., wafat tahun 606 H. Di antara karya-karyanya: al-Tafsir al-Kabir, al-Mathalib al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, Mahshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin dan Asas al-Taqdis.




217. Page

apa maksudnya. Juga “Mauqif Kedua” dan “Mauqif Ketiga” dari “Kalimat Ketigapuluh Dua” di mana maksud kata-kata ini juga sudah dijelaskan di sana.

Kedua:

Muhyiddin Ibnu Arabi menyampaikan kata-kata tersebut kepada Fakhruddin al-Razi, salah seorang imam ilmu kalam, karena penjelasan-penjelasan para imam ushuluddin dan ulama ilmu kalam seputar akidah, keberadaan Zat yang Wajib Ada, dan tauhid Ilahi, menurutnya, tidak cukup.

Ya, pengetahuan tentang ketuhanan yang didapatkan melalui ilmu kalam tidak memberikan pengetahuan dan ketenangan sempurna. Lain halnya jika itu didapatkan melalui penjelasan al-Qur’an, tentu akan memberikan pengetahuan dan ketenangan sempurna. Seluruh bagian Risalah al-Nur insya Allah menjalankan peran bak lampu listrik di jalan-jalan cahaya al-Qur’an yang penjelasannya penuh mukjizat (al-mu’jiz al-bayan).

Seperti halnya pengetahuan tentang Allah yang didapatkan Fakhruddin al-Razi dari ilmu kalam tampak tidak sempurna dalam pandangan Muhyiddin, demikian pula pengetahuan tentang Allah yang didapatkan melalui faham tasawuf juga tidak sempurna jika dibandingkan dengan pengetahuan tentang Allah yang bersumber dari al-Qur’an secara langsung berdasarkan rahasia pewaris nubuwah, karena faham Muhyiddin Ibnu Arabi menyebut “tidak ada wujud selain Dia,” demi meraih ketenangan tanpa henti, hingga sampai pada tingkat mengingkari wujud apa pun yang ada. Sementara yang lain menyebut “tidak ada yang disaksikan selain Dia,” demi meraih ketenangan tiada henti, mereka menempatkan semua wujud berada di balik tirai kealpaan mutlak, sehingga membuat mereka menempuh faham aneh.

Berbeda dengan pengetahuan tentang Allah yang bersumber dari al-Qur’an. Pengetahuan ini memberikan ketenangan tiada henti, tidak menilai seluruh wujud tidak ada, juga tidak menempatkan semua wujud dalam kealpaan mutlak, tapi mengeluarkan semua wujud dari hal-hal tiada guna dan kekacuan, untuk selanjutnya digunakan di jalan Allah, sehingga setiap wujud menjadi cermin makrifat, masing-masing wujud membuka celah menuju makrifatullah seperti yang disampaikan Sa’di al-Syairazi:

Setiap dedaunan merupakan buku catatan makrifatullah

dalam pandangan orang yang sadar dan mengerti.[1]

Sebelumnya sudah kami jelaskan sebuah perumpamaan di salah satu kalimat terkait perbedaan antara faham ulama ilmu kalam dengan manhaj hakiki yang bersumber dari al-Qur’an. Berikut ini perumpamaan yang dimaksud:


[1] Dar nazhar hu syiyar har warqai; Daftarfisyt az ma’rifat kirdikar (دَرْ نَظر هُوشيار هَر ورقي دفتريست أز معرفت كردكار)




218. Page

Seseorang menggali di bawah lereng pegunungan di tempat jauh agar bisa mendapatkan air dengan memasang pipa panjang, sementara sebagian lainnya bisa mendapatkan air di mana pun tempat yang ia gali.

Orang pertama menjalankan pekerjaan yang amat berat, karena pipa-pipa panjangnya bisa saja tersumbat dan air tidak mengalir, sementara orang-orang yang ahli mengeluarkan air selalu mendapatkan air di mana pun mereka menggali.

Tidak berbeda dengan ulama ilmu kalam, mereka menempuh serangkaian sebab melalui rangkaian-rangkaian mustahil dan lingkaran-lingkaran yang berada di ujung alam, setelah itu mereka menegaskan keberadaan Zat yang wajib ada. Artinya, mereka menempuh jalan begitu panjang.

Berbeda dengan manhaj hakiki al-Qur’an. Manhaj ini bisa menemukan dan mengeluarkan air di mana saja. Setiap ayat al-Qur’an laksana tongkat Musa yang memancarkan air kehidupan di mana pun tongkat dipukulkan, dan membacakan hukum berikut pada segala sesuatu:

وَفِي كُلِّ شَيءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلىَ أنَّهُ وَاحِدٌ

Dia memiliki pertanda di balik segala sesuatu yang menunjukkan bahwa Dia Maha Esa.[1]

Selain itu, iman bukan hanya pengetahuan semata, karena di sana terdapat banyak sekali kelembutan (lathaif). Seperti halnya ketika makanan masuk ke dalam lambung terbagi ke sejumlah saraf dengan bentuk yang berbeda-beda, demikian pula halnya masalah-masalah keimanan yang berasal dari jalur pengetahuan juga membuat ruh, hati, nurani dan jiwa mengambil kelembutan-kelembutan tersendiri ketika sudah memasuki lambung akal dengan tingkatan yang berbeda. Kelembutan-kelembutan ini selanjutnya diserap. Jika ruhani, hati, dan nurani tidak mendapat bagian dari kelembutan ini, berarti keimanannya tidak sempurna.

Muhyiddin Ibnu Arabi mengingatkan Fakhruddin ar-Razi pada poin ini.

 

Permasalahan Ketiga

Apa sisi keselarasan antara ayat:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Qs. al-Isra` [17]: 70)


[1] Bait syair karya seorang pujangga Jahiliyah, Labid bin Rabi’ah.



219. Page

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Qs. al-Ahzab [33]: 72)

Jawab:

Penjelasan terhadap pertanyaan ini sudah ada dalam “Kalimat Kesebelas,” “Kalimat Keduapuluh Tiga,” “Buah Kedua” dari “Dahan Kelima” “Kalimat Keduapuluh Empat.” Rahasia keselarasan kedua ayat tersebut secara garis besar sebagai berikut:

Seperti halnya Tuhan al-Haq Ta’ala menciptakan banyak hal dari sesuatu dengan kuasa-Nya yang sempurna, lalu menjadikan sesuatu tersebut menjalankan banyak peran, menulis seribu kitab dalam satu lembar, seperti itu pula Dia menciptakan manusia sebagai satu spesies komplit. Artinya, Allah al-Haq Ta’ala menginginkan manusia yang merupakan satu jenis makhluk, untuk menjalankan sekian banyak tugas dengan tingkatan beragam yang lazimnya dijalankan oleh hewan.

Allah tidak memberikan batasan fitrah pada kekuatan dan perasaan-perasaan manusia. Allah memberikan kebebasan pada manusia. Lain halnya dengan kekuatan dan perasaan seluruh hewan yang terbatas, juga dengan fitrah yang terbatas. Hanya saja seluruh kekuatan manusia mengarah kepada sisi-sisi tak terbatas seakan berkelana ke lingkup yang luas tak terbatas, karena manusia adalah cermin manifestasi (tajalli) tak terbatas nama-nama Sang Pencipta jagad raya.

Itulah mengapa kekuatan manusia diberi kesiapan tak terbatas. Sebagai contoh, misalkan manusia diberi dunia secara keseluruhan, tentu dengan tamak masih mengatakan, “Adakah tambahan lagi?” Manusia tega merugikan dan membahayakan ribuan orang lain demi kepentingan diri sendiri karena dorongan sikap terpedaya dan bangga diri.

Seperti halnya terdapat banyak sekali temuan manusia berakhlak buruk hingga sampai tingkatan seburuk para Namrud dan Fir’aun, sosok yang amat zalim hingga bentuknya yang berlebihan, seperti itu pula manusia bisa meraih keunggulan akhlak yang baik tak terbatas hingga mencapai tingkatan para nabi dan shiddiqun.

Berbeda dengan hewan yang tidak mengetahui hal-hal penting bagi kehidupan, manusia dipaksa untuk mempelajari segala sesuatu. Manusia disebut amat zalim karena ia memerlukan banyak hal tak terbatas.

Tidak seperti hewan yang hanya memerlukan sedikit hal ketika berada di dunia. Hewan hanya memerlukan waktu sebulan-dua bulan, bahkan dalam jangka waktu sehari-dua hari, untuk mempelajari 

220. Page

apa yang diperlukannya. Hewan juga terkadang mempelajari seluruh keperluan hidupnya dalam hitungan satu atau dua jam saja, seakan ia sudah diciptakan secara sempurna di alam lain, setelah itu baru muncul di alam ini.

Berbeda dengan manusia yang baru bisa berdiri setelah satu-dua tahun, dan baru bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang membawa manfaat setelah limabelas tahun. Adanya manusia yang disebut sangat lalim juga mengisyaratkan makna ini.

 

Permasalahan Keempat

Engkau bertanya tentang hikmah, “Perbaruilah iman kalian dengan la ilaha illallah?” (جَدِّدُوا إيمَانكم بِ لاَ إله إلا الله).[1]

Hikmah (hadits) ini disebutkan di sejumlah Risalah al-Nur, dan salah satu sisi rahasia dan hikmahnya sebagai berikut:

Mengingat pribadi dan alam setiap manusia mengalami pembaruan setiap saat, ia senantiasa perlu untuk memperbarui iman, karena setiap orang memiliki individu yang sarat makna. Setiap kali tahun usia berganti, bahkan berdasarkan hitungan hari, atau bahkan hitungan jam, manusia dinilai sebagai individu lain yang berbeda. Seiring perjalanan waktu yang dilalui, individu yang terus berubah ini menjadi sebuah model yang setiap harinya mengenakan wujud individu lain yang baru.

Seperti halnya individu-individu dan pembaruan seperti ini ada dalam diri manusia, berarti alam yang ditempatinya juga berlalu. Alam yang satu pergi untuk digantikan alam yang lain, dan begitu seterusnya. Berarti manusia senantiasa berada dalam keragaman, setiap hari membuka alam baru. Dan iman merupakan cahaya kehidupan bagi setiap individu dalam sosok setiap manusia, juga sinar alam di mana si manusia berada.

Sementara la ilaha illallah (لاَ إله إلا الله) adalah kunci pembuka cahaya itu.

Mengingat nafsu, keinginan, waham, dan setan mengusai diri manusia, dan sering kali memanfaatkan kelalaian, memperdaya dengan berbagai macam godaan dan tipuan agar bisa melukai iman, menghalangi cahaya iman dengan syubhat dan was-was, di samping setiap alam manusia tidak terlepas dari kata-kata, tindakan dan perilaku yang menyalahi lahiriah syariat, bahkan berpengaruh

[1] Rasulullah Saw. bersabda, “Perbaruilah iman kalian.’ Beliau ditanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memperbarui iman?’ Beliau menjawab, ‘Banyak-banyaklah mengucapkan, ‘La ilaha illallah’.” HR. Hakim dalam al-Mustadrak, hadits nomor 7657 dan dinyatakan, “Sanad hadits ini shahih, hanya saja tidak ditakhrij al-Bukhari dan Muslim.” Juga diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadits nomor 8695, dan Ibnu Hibban dalam Musnad-nya, hadits nomor 1424.




221. Page

terhadap keimanan hingga sampai pada tingkat kafir menurut pandangan sebagian imam, maka di sana keimanan perlu diperbarui setiap waktu, setiap saat, dan setiap hari.

Pertanyaan:

Ulama kalam menghimpun alam dengan pertanda secara garis besar untuk segala sesuatu yang dimungkinkan ada dan yang ada, setelah itu mereka naik ke tingkatan di atasnya dari sisi fikiran, baru setelah itu menegaskan keesaan. Sekelompok ahli tasawuf mengatakan, “Tidak ada yang disaksikan selain Dia”(لا مشهود إلا هو). Demi meraih ketenangan sempurna dalam tauhid, mereka melupakan segala wujud, mereka tutupi semua wujud dengan kealpaan, lalu setelah itu mereka menemukan ketenangan sempurna. Ada juga yang mengatakan, “Tidak ada wujud selain Dia” (لا موجود إلا هو), demi mendapatkan tauhid hakiki dan ketenangan nan sempurna, lalu mereka menghimpun seluruh wujud dengan hayalan dan mereka lemparkan ke dalam ketiadaan, setelah itu mereka baru menemukan ketenangan sempurna.

Sementara engkau menunjukkan jalan besar bersumber dari ilham al-Qur’an yang berbeda dengan ketiga faham ini, dan sebagai simbolnya Anda mengatakan, “Tidak ada yang disembah selain Dia” (لا موعبود إلا هو), “Tidak ada yang dituju selain Dia” (لا مقصود إلا هو). Tolong beritahukan dalil jalan ini dari aspek tauhid, juga jalan singkatnya secara garis besar.

Jawab:

Seluruh “al-Kalimat” dan “al-Maktubat” menjelaskan jalan dimaksud. Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hujah besar di antara sekian banyak hujah-hujahnya seperti yang kau minta:

Apa pun yang ada di alam ini terkait dengan Sang Pencipta, dan setiap jejak di dunia ini, menunjukkan bahwa seluruh jejak yang ada merupakan jejak-jejak yang bersumber dari-Nya. Setiap penciptaan di alam raya ini menunjukkan bahwa seluruh penciptaan adalah perbuatan-Nya. Setiap nama di antara al-asma’ al-husna yang memanifestasi di semua wujud menunjukkan bahwa seluruh nama tersebut milik-Nya.

Dengan demikian, segala sesuatu merupakan bukti nyata akan keesaan, dan menjurus pada pengetahuan Ilahi.

Ya, setiap jejak merupakan miniatur jagad raya –khususnya makhluk hidup– juga sebagai benih alam dan buah bagi bumi. Zat yang menciptakan contoh miniatur tersebut, yang menciptakan benih dan buah tersebut, Dialah yang menciptakan jagad raya ini secara keseluruhan, karena mustahil jika Pencipta buah bukan si Pencipta pohon. Karena itu, setiap jejak mengaitkan seluruh jejak yang ada pada Zat yang meninggalkan jejak tersebut, seperti halnya seluruh perbuatan disandarkan kepada si Pelaku, karena seperti yang kita ketahui, setiap penciptaan adalah bagian dari aturan penciptaan yang 

222. Page

luas jangkauannya terdapat seluruh wujud, aturan penciptaan yang terbentang dari atom hingga matahari. Artinya, Pelaku penciptaan obyek-obyek kecil ini pasti Pelaku seluruh tindakan berkenaan dengan aturan menyeluruh yang melingkupi seluruh wujud, dan terbentang luas dari atom hingga matahari.

Ya, Zat yang menghidupkan lalat pastilah Zat Yang Maha menghidupkan seluruh serangga dan hewan-hewan kecil, bahkan Yang menghidupkan bumi ini. Karena itu, Zat yang menggerakkan atom seperti Maulawi, pasti Dialah yang menggerakkan seluruh wujud secara terangkai, menjalankan matahari dengan seluruh planet, karena aturan dan perbuatan ini saling terangkai.

Dengan demikian, seperti halnya sebuah jejak mengaitkan seluruh jejak kepada Zat yang meninggalkan jejak, setiap penciptaan menyandarkan seluruh penciptaan kepada Sang Pelaku, seperti itu juga setiap nama-nama-Nya yang memanifestasi di jagad raya juga menyandarkan seluruh nama kepada Zat-Nya, menegaskan bahwa nama-nama tersebut adalah simbol-simbol milik-Nya. Sebab, seluruh nama yang memanifestasi di jagad raya ini saling memanifestasi satu sama lain laksana lingkaran-lingkaran yang saling merasuk satu sama lain, laksana tujuh warna di dalam cahaya, di mana masing-masing berperan sebagai simbol bagi yang lain, dimana masing-masing menyempurnakan dan menghiasi jejak yang lain. Sebagai contoh:

Ketika nama al-Muhyi (Maha Menghidupkan) tampak pada sesuatu dan memberikan kehidupan pada sesuatu itu, nama al-Hakim (Maha Bijaksana) juga tampak di sana, lalu mengatur jasad makhluk hidup yang menjadi sarang tersebut dengan hikmah. Dan dalam saat yang bersamaan, nama al-Karim (Maha Mulia) menghiasi tempat makhluk hidup tersebut bersarang. Juga, dalam saat yang bersamaan, nama al-Rahim (Maha Penyayang) juga tampak, lalu mempersiapkan segala keperluan jasad tersebut dengan kasih sayang. Dalam saat yang bersamaan, nama al-Razzaq (Maha Pemberi rizki) tampak di sana, lalu memberikan rizki matahari maupun non materi pada makhluk hidup tersebut dari arah yang tidak diduga-duga demi keberlangsungan hidupnya. Dan begitu seterusnya.

Zat yang bernama al-Muhyi (Maha Menghidupkan) memiliki nama al-Hakim (Maha Bijaksana) yang menyinari dan meliputi jagad raya. Ia juga memiliki nama al-Rahim (Maha Penyayang) yang merawat seluruh makhluk dengan kasih sayang, juga memiliki nama al-Razzaq (Maha Pemberi rizki) yang memberi rizki seluruh makhluk hidup dengan kemuliaan-Nya. Dan begitu seterusnya.

Dengan demikian, setiap nama, pekerjaan, dan jejak adalah bukti nyata keesaan, di mana bukti nyata tersebut merupakan tanda keesaan dan stempel persatuan yang menunjukkan bahwa seluruh kata-kata yang tertulis di lembaran-lembaran jagad raya ini, yang tertera dalam goresan waktu, dan yang disebut sebagai wujud, ini semua merupakan ukiran-ukiran pena Sang Penulis.


223. Page

اللهم صل على من قال: أَفضلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّون من قبلي "لا إله إلا الله"

و على آله و صحبه و سلم

Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada rasul yang mengatakan, “Kata-kata terbaik yang aku ucapkan dan juga para nabi sebelumku adalah, ‘La ilaha illallah’,”[1] juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

 

Permasalahan Kelima

Kedua, dalam suratmu, engkau bertanya tentang maksud lain: Apakah la ilaha illallah sudah cukup menyelamatkan. Maksudnya, apakah orang yang tidak mengucapkan, “Muhammadur rasulullah,” termasuk orang selamat?

Jawaban pertanyaan ini sebenarnya panjang lebar. Namun jawaban singkat berikut ini kami rasa sudah cukup:

Dua kalimat syahadat tidak terpisah satu sama lain, bahkan saling memperkuat satu sama lain. Ketika salah satunya tidak ada, yang satunya lagi juga tidak ada.

Mengingat Nabi S.a.w adalah penutup para nabi dan pewaris seluruh nabi, maka tak diragukan bahwa ia adalah pemimpin seluruh tarekat yang mengantar menuju Allah. Karena itu, mustahil jika ada hakikat dan jalan keselamatan di luar jalan terbesar itu. Seluruh imam ahli makrifat dan tahqiq mengatakan seperti yang dikatakan Sa’di al-Syairazi:


Wahai Sa’di, mustahil kau meraih jalan keselamatan

tanpa mengikuti al-Musthafa.[2]

Mereka juga menyatakan:

Semua jalan tertutup selain jalan Muhammad


Namun, kadang terjadi sebagian orang berada di atas jalan Muhammad dan berada di dalamnya, tanpa mengetahui bahwa itu adalah jalan Muhammad.Kadang terjadi pula sebagian mereka tidak mengenal Nabi S.a.w, namun jalan yang mereka tempuh adalah bagian dari jalan Muhammad. Demikian pula kadang terjadi sebagian mereka tidak memikirkan tentang jalan Muhammad pada kondisi tertentu seperti kondisi lenyapnya akal karena tertarik pada Sang Kekasih (jadzb), tenggelam dalam cinta terhadap Sang Kekasih (istighraq), memisahkan diri dari semua wujud untuk menyatu



[1] Hr. Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, hadits nomor 8173 dan 9256, at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, hadits nomor 3585, Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, hadits nomor 8125, Imam Malik dalam al-Muwaththa`, hadits nomor 550 dan 945.

[2]Muhalast Sa’di bar’ah najat shafa, Zhafar burdan juzdar bi mushtafa.




224. Page

bersama Sang Kekasih (inziwa’) atau terpencil dari semua wujud (badawah), sehingga la ilaha illallah dirasa cukup untuk mereka.

Namun demikian, sisi yang paling penting adalah:

Tidak menerima adalah sesuatu, dan menerima ketiadaan adalah sesuatu yang berbeda, karena orang-orang seperti ahli jadzb, ahli ‘uzlah, atau mereka yang tidak pernah mendengar atau mengenal Nabi S.a.w, mereka tidak mengenal ataupun memikirkan beliau sehingga bisa mereka terima. Dari sisi ini, mereka tetap bodoh, tidak mengenali makrifat Ilahi selain la ilaha illallah. Karena itu, mereka ini tidak mungkin menjadi golongan selamat. Namun bagi mereka yang mendengar Nabi S.a.w dan mengetahui dakwah beliau, namun tidak beriman pada beliau, mereka ini tidak mengenal Allah, sehingga tidak mungkin jika la ilaha illallah menunjukkan tauhid yang menjadi penyebab keselamatan bagi mereka, karena kondisi ini bukanlah sikap tidak menerima yang muncul dari kebodohan yang bisa ditolelir, tapi semata sikap menerima ketiadaan yang tidak lain adalah pengingkaran.

Orang yang mengingkari Muhammad S.a.w yang merupakan inti kebanggaan jagad raya, pusat kemuliaan ras manusia dengan seluruh mukjizat dan jejak-jejak peninggalan, ia dipastikan tidak mendapatkan cahaya apa pun dan tidak mengenal Allah dari sisi mana pun. Demikian jawaban yang bisa saya sampaikan.

 

Permasalahan Keenam

Ketiga: Sebagian kata-kata yang tertera dalam faham setan seperti yang disebutkan dalam “Bahasan Pertama” dengan judul “Debat Melawan Setan” terasa sangat kasar. Meski beberapa di antaranya sudah diganti dengan kata-kata Maha Sempurna, dan Maha Sempurna Allah berkali-kali dan dengan sejumlah batasan dalam bentuk asumsi mustahil, namun tetap saja mengguncang diri saya. Melalui sebuah tulisan yang saya kirim kepadamu terdapat beberapa ralat. Bisakah engkau memperbaiki naskah yang ada padamu sesuai tulisan yang saya kirim? Permasalahan ini sepenuhnya saya serahkan kepadamu, dan kau mungkin bisa membuang kata-kata tertentu yang menurutmu tidak penting.

Saudaraku yang terhormat! Bahasan ini sangat penting sekali, mengingat jika pemimpin kaum zindiq, setan, tidak dikalahkan, tentu para pengikutnya tidak akan pernah menerima dengan puas. Mengingat al-Qur’an menyebut kata-kata orang-orang kafir yang kasar itu dengan maksud untuk membantahnya, saya sendiri diberikan keberanian untuk menggunakan kata-kata yang sama, meski saya agak gemetar untuk menggunakan kata-kata sosok-sosok golongan syetan tersebut, dengan asumsi mustahil, yang mengisyaratkan kedunguan mereka, dan terpaksa harus mereka terima sesuai 

225. Page

faham aliran mereka. Kata-kata seperti ini pasti mereka sampaikan secara maknawi melalui bahasa aliran mereka, yang pasti mereka akan berkata-kata dengannya secara mahknawi menggunakan bahasa aliran mereka. Kata-kata ini saya gunakan tidak lain untuk menjelaskan kerusakan dan kelemahan faham setan secara keseluruhan. Dengan kata-kata ini, kami setidaknya mempersempit ruang gerak mereka ke dasar sumur, dan agar kami menguasai medan ini demi al-Qur’an, untuk selanjutnya kami membongkar kebatilan-kebatilan mereka.

Perhatikan kemenangan melalui perumpamaan berikut:

Misalkan ada sebuah menara tinggi pencakar langit, lalu Anda menggali sumur di bawah menara ini hingga ke inti bumi. Di menara ini ada muazin yang suaranya terdengar oleh seluruh penduduk seantero negeri, dan di sana ada dua kelompok yang memperdebatkan posisi muazin seraya menanyakan di mana tempat si muazin, berada di puncak menara tersebut ataukah berada di dasar sumur.

Kelompok pertama menyatakan: Muazin berada di puncak menara, mengumandangkan azan untuk alam raya, karena kita mendengarkan azan tersebut, ia hidup, berada di tempat tinggi. Meski tak semua orang melihat si muazin di tempat tinggi tersebut, namun masing-masing bisa melihatnya di sebuah tempat dan di sebuah tingkatan tertentu saat si muazin naik ataupun turun dari menara tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa muazin naik ke tempat tertinggi, ia memiliki kedudukan tinggi, di mana pun berada, ia terlihat.

Kelompok kedua yang merupakan kelompok setan dungu, menyatakan: Tidak, si muazin tidak berada di puncak menara, tapi ia berada di dasar sumur. Di mana pun berada, ia terlihat, meski tak ada seorang pun yang melihat muazin tersebut di dasar sumur dan tidak bisa melihatnya. Andai si muazin adalah benda berat yang tidak memiliki pilihan seperti batu misalnya, tentu ia berada di dasar sumur dan bisa dilihat seseorang.

Mengingat medan perang kedua kelompok yang saling berseberangan ini terbentang memanjang dari puncak menara hingga ke dasar sumur. Jamaah kelompok ahli cahaya yang disebut sebagai pasukan Allah, menuntun siapa pun yang punya penglihatan luhur ke posisi si muazin di puncak menara. Itu juga menunjukkan mereka yang penglihatannya tidak mampu mengarah ke tingkatan yang tinggi dan terbatas ke arah muazin agung tersebut sesuai tingkatan masing-masing. Tanda kecil sudah cukup untuk mereka ini bahwa muazin bukan benda mati seperti batu, tapi ia adalah seorang manusia sempurna, kapan pun mau ia bisa naik ke atas, tampak terlihat, dan mengumandangkan azan.


226. Page

Sementara kelompok lain yang disebut kelompok setan, para anggotanya dengan bodoh mengatakan: Tunjukkan bahwa si muazin berada di puncak menara, jika tidak berarti ia berada di dasar sumur.

Seperti itulah mereka dengan bodohnya memberikan putusan. Karena kebodohan pula, mereka tidak tahu bahwa tidak terlihatnya si muazin di mata semua orang di puncak menara tidak lain disebabkan karena mereka tidak mengarahkan pandangan ke tingkatan tersebut, mereka ingin menguasai seluruh tingkatan yang ada, kecuali puncak menara.

Untuk menengahi perdebatan kedua kelompok ini, seseorang datang lalu mengatakan kepada kelompok setan, “Wahai kelompok sial! Jika memang maqam si muazin agung tersebut di dasar sumur, berarti ia adalah benda mati tanpa kehidupan dan tanpa kekuatan laksana batu, berarti sosok yang terlihat di tingkatan-tingkatan sumur ataupun tangga-tangga menara bukan dia. Karena kalian menganggapnya seperti ini, berarti si muazin adalah benda mati tanpa kekuatan dan tanpa hakikat. Tidak seperti itu, yang benar adalah puncak menara menjadi maqam si muazin.

Untuk itu, kalian harus memperlihatkan si muazin itu berada di dasar sumur, dan kalian tidak akan mampu dengan alasan apa pun. Kalian tidak akan mampu memuaskan siapa pun bahwa si muazin berada di sana. Atau kalian harus diam, karena ruang pembelaan kalian hanya berada di dasar sumur saja, sementara ruang lain dan jarak panjang menjadi milik kelompok yang diberkahi, kelompok yang memperlihatkan sosok mulia muazin bukan di dasar sumur. Karena itu, merekalah yang memenangkan permasalahan ini.

Seperti halnya perumpamaan ini, bahasan tentang debat melawan setan memiliki ruang jangkauan begitu panjang membentang dari tempat tidur ke Arasy dari tangan golongan setan, memaksa mereka untuk menyerah, mempersempit ruang gerak mereka, dan tidak menyisakan tempat bagi mereka kecuali yang amat jauh dari akal sehat dan sangat mustahil untuk mereka, juga menyisakan kebencian, memaksa mereka masuk ke dalam batu sempit yang tak mungkin bisa dimasuki siapa pun, dan menguasai jangkauan yang begitu panjang atas nama al-Qur’an.

Jika dikatakan kepada mereka, menurut kalian, al-Qur’an itu bagaimana?

Mereka menjawab: Al-Qur’an adalah kitab yang bagus bagi manusia, mengajarkan akhlak baik.

Saat itu dikatakan kepada mereka: Dengan demikian, al-Qur’an kalam Allah, dan kalian terpaksa harus menerima hal ini, karena menurut faham kalian, kalian tak mampu mengatakan bahwa al-Qur’an itu indah.

Jika dikatakan kepada mereka: Bagaimana pandangan kalian tentang Rasulullah S.a.w?


227. Page

Mereka menjawab: Dia adalah manusia yang memiliki akhlak-akhlak terpuji, punya akal yang kuat.

Saat itu dikatakan kepada mereka: Kalau begitu, berimanlah kepadanya, karena jika memang dia memiliki akhlak-akhlak baik dan akal, berarti dia adalah utusan Allah secara mutlak, karena kata-kata kalian yang baik ini sebenarnya tidak berada dalam lingkup batasan-batasan kalian, dan menurut faham kalian, kalian tidak bisa mengatakan seperti itu.

Masih banyak sisi hakikat lain yang bisa diterapkan untuk semua isyarat dalam perumpamaan ini.

Berdasarkan rahasia ini, bahasan pertama terkait debat melawan setan sudah tidak lagi memerlukan pengetahuan mukjizat-mukjizat Nabi S.a.w, sekaligus mengajarkan bukti-bukti pasti demi menjaga keimanan orang-orang yang beriman, karena pertanda paling rendah atau dalil kecil saja sudah bisa menyelamatkan iman. Selain itu, setiap kondisi dan sifat Muhammad S.a.w, juga setiap tahapan nabawi laksana mukjizat tersendiri, sekaligus menegaskan bahwa beliau berada di maqam a’lailliyyin paling atas, bukan di tempat paling bawah yang merupakan dasar sumur seperti disebutkan dalam perumpamaan di atas.

 

Permasalahan Ketujuh

Sebuah masalah yang mengandung pelajaran:

Saya terpaksa harus menjelaskan kemuliaan rabbani dan penjagaan Ilahi khusus untuk para pengabdi al-Qur’an berdasarkan tujuh bukti yang memperkokoh kekuatan maknawi sebagian sahabat saya yang mengalami keraguan dan kelemahan, agar saya bisa menyelamatkan sahabat-sahabat saya yang mengalami kelemahan jiwa. Empat bukti di antaranya dialami empat orang yang sebelumnya adalah sahabat-sahabat saya. Mereka bersikap memusuhi saya demi tujuan-tujuan dunia semata, bukan karena pribadi saya, tapi semata karena saya adalah pengabdi al-Qur’an. Namun, pada akhirnya mereka menerima tamparan-tamparan berupa mendapatkan kebalikan dari apa yang mereka inginkan. Tiga bukti lainnya dialami oleh sejumlah orang yang sebelumnya mereka adalah para sahabat saya yang bersungguh-sungguh dan tulus, dan sampai saat ini pun masih seperti itu, hanya saja untuk sementara waktu, mereka tidak terlihat bersikap seperti yang seharusnya dilakukan seorang sahabat ataupun sebagai sebuah kehormatan, hingga mereka meraih respon para ahli dunia , meraih tujuan-tujuan dunia, merasa tenang akan keselamatan yang mereka rasakan. Namun sayangnya, ketiga sahabat saya ini pada akhirnya menerima teguran berupa kebalikan dari tujuan yang mereka inginkan.


228. Page

Orang pertama di antara empat sahabat saya yang secara zhahir kemudian memusuhi saya adalah seorang direktur. Ia meminta saya salinan “Kalimat Kesepuluh” melalui banyak sekali perantara, lalu saya berikan salinan yang dimintanya. Namun ia justru menjual hadiah saya ini demi promosi jabatan, dan ia memusuhi saya. Ia menyerahkan salinan tersebut kepada pihak penguasa dengan maksud untuk memfitnah. Apa jadinya, dia tidak jadi naik jabatan, justru dipecat sebagai dampak kemuliaan para pengabdi al-Qur’an.

Kedua, seorang direktur lainnya, juga teman saya, hanya saja bersikap menyaingi dan memusuhi saya, bukan karena pribadi saya, tapi semata karena kapasitas saya sebagai pengabdi al-Qur’an, serta demi kepentingan para atasannya, juga untuk meraih simpati para ahli dunia . Pada akhirnya, dia menerima tamparan dengan mendapatkan kebalikan dari apa yang ia inginkan. Dia dijatuhi hukuman penjara selama dua setengah tahun dalam sebuah kejadian yang sama sekali tidak ia bayangkan. Ia kemudian meminta doa kepada salah seorang pengabdi al-Qur’an dengan harapan bisa selamat atas izin Allah. Sebab ia pun sudah didoakan seketika itu.

Ketiga, seorang guru. Ia terlihat seperti seorang teman, dan saya pun menganggapnya sebagai teman. Hanya saja ia memilih untuk memusuhi agar ia bisa pindah dan menetap ke Barla. Pada akhirnya, ia menerima tamparan dengan mendapatkan kebalikan dari apa yang ia inginkan. Ia dijauhkan dari profesinya sebagai guru dan dipaksa untuk ikut wajib militer. Ia pun dijauhkan dari Barla.

Keempat, juga seorang guru. Saya menampakkan persahabatan tulus kepadanya, dengan harapan bisa menjadi teman saya untuk mengabdi kepada al-Qur’an, atas pertimbangan sebagai seorang penghafal al-Qur’an dan taat beragama. Namun, ia justru bersikap takut dan menjauhi saya karena kata-kata seorang pegawai pemerintahan, hingga ia berhasil meraup simpati para ahli dunia . Akhirnya, ia menerima tamparan dengan mendapatkan kebalikan dari apa yang ia inginkan. Ia menerima teguran keras dan dikucilkan.

Seperti halnya empat orang ini menerima tamparan-tamparan karena bersikap memusuhi saya dalam mengabdi kepada al-Qur’an, seperti itu juga dengan tiga orang sahabat saya yang lain karena tidak menampakkan sikap hormat yang seharusnya diperlihatkan oleh ikatan persahabatan hakiki, sebagai sebuah peringatan dengan mendapatkan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, bukan sebagai tamparan.

Pertama, seorang murid penting, bersungguh-sungguh, murid sejati dan seorang terhormat. Ia biasa menggandakan dan menyebarkan “al-Kalimat.” Namun suatu ketika, ia menyembunyikan “al-Kalimat” yang ia gandakan karena kedatangan seorang pejabat besar untuk menghindari hal-hal yang tidak ia inginkan, dan ia pun berhenti menggandakan “al-Kalimat” untuk sementara waktu agar tidak 

229. Page

tertimpa musibah yang disebabkan oleh para ahli dunia , dan untuk menghindari keburukan mereka. Namun karena kekeliruan akibat mengabaikan pengabdian al-Qur’an ini, ia tertimpa suatu musibah. Ia diputuskan harus membayar seribu lira dalam jangka satu tahun padahal ia orang miskin. Namun saat berniat kembali menggandakan “al-Kalimat,” ia kembali pada jalur sebenarnya, dan ia dinyatakan tidak bersalah dalam kasus tersebut. Ia pun terbebas dari tuduhan, alhamdulillah, dan tidak jadi membayar seribu lira.

Kedua, seorang teman terhormat, berwibawa, pemberani, dan salah satu teman saya sejak lima tahun lalu. Ia tetangga saya. Suatu ketika, ia tidak menemui saya selama beberapa bulan -tanpa memikirkan akibat tindakan ini- demi menarik perhatian para ahli dunia , juga untuk menarik perhatian pejabat berwenang yang baru dan agar mereka berbaik sangka padanya.

Selama Ramadhan dan juga ‘Id, ia tidak menemui saya, padahal wewenangnya di perkampungan sudah berakhir dengan berbanding terbalik dari apa yang ia inginkan, dan pengaruhnya juga melemah.

Ketiga, seorang penghafal al-Qur’an. Biasanya, sekali atau dua kali sepekan ia berkunjung ke saya. Menurut informasi yang saya dengar, ia menjadi seorang imam, hingga meninggalkan saya selama dua bulan dengan maksud agar bisa mengenakan surban (lambang seorang imam). Bahkan, saat ‘Id pun ia tidak datang berkunjung. Namun sebagai hukuman dan sebagai kebalikan dari apa yang diinginkan, ia tidak diperkenankan mengenakan surban, padahal ia sudah menjalani tugas sebagai seorang imam selama tujuh atau delapan bulan lamanya.

Masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa lainnya. Saya tidak bisa menyebutkan seluruhnya agar tidak melukai perasaan mereka.

Meski kejadian-kejadian ini merupakan pertanda lemah, namun di tengah kelompok kami terasa sangat kuat dan menimbulkan keyakinan bahwa kami ini bekerja di bawah kemuliaan Ilahi dan penjagaan rabbani dilihat dari sisi sebagai pengabdi al-Qur’an, bukan untuk pribadi saya, karena menurut saya, saya secara pribadi tidak patut mendapatkan penghormatan apa pun.

Untuk semua teman-teman, pikirkan semua ini, jangan sampai terjerumus dalam dugan-dugaan dan pikiran yang tidak-tidak. Semua itu terjadi mengingat kehormatan ini merupakan kemuliaan Ilahi karena kapasitas saya sebagai pelayan al-Qur’an, mengingat kehormatan ini sebagai sarana untuk bersyukur, bukannya untuk kebanggaan, dan mengingat ada sebuah penjelasan al-Qur’an yang menyebut:


وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (Qs. al-Dhuha [93]: 11) 


230. Page

Karena itu, saya akan menjelaskan permasalahan ini secara khusus untuk sahabat-sahabat saya yang mulia berdasarkan rahasia-rahasia di atas.

 

Permasalahan Kedelapan

Catatan pinggir “Contoh Ketiga” “Poin Ketiga” “Sebab kelima” di antara sebab-sebab penghalang ijtihad yang tertera dalam “Kalimat Keduapuluh Tujuh.”

Pertanyaan penting: Sebagian ahli tahqiq menyatakan bahwa setiap kata al-Qur’an, zikir, dan tasbih menyinari kelembutan-kelembutan maknawi manusia melalui sejumlah sisi dan memberikan asupan-asupan maknawi untuk kelembutan-kelembutan tersebut. Kata-kata semata tidak memberikan apa pun jika makna-maknanya tidak diketahui, karena kata-kata adalah pakaian. Ketika setiap rangkaian makna tersebut diubah dan dikenakan sejumlah kata lain dengan lisannya, bukankah ini lebih bermanfaat?

Jawab: Kata-kata al-Qur’an dan kata-kata zikir nabawi bukanlah pakaian stagnan, tapi ia laksana kulit bagi jasad makhluk hidup. Maka ia pun berubah menjadi kulit karena perubahan zaman. Pakaian masih bisa diganti, namun ketika kulit diganti, tentu hal itu akan membahayakan tubuh. Lebih dari itu, kata-kata dalam shalat dan azan menjadi nama tersendiri untuk serangkaian makna. Dan nama tentu tidak bisa diubah.

Saya sering kali memikirkan sebuah kondisi yang pernah saya lalui, dan menurut saya kondisi tersebut adalah sebuah hakikat. Kondisi yang dimaksud sebagai berikut:

Suatu ketika, saya membaca surat al-Ikhlash berulang-ulang sebanyak seratus kali di hari Arafah. Saya merasa bahwa sebagian perasaan-perasaan maknawi saya mendapatkan asupan, setelah itu asupan ini terhenti. Sebagian di antaranya –seperti kekuatan berfikir- mengarah pada suatu makna selang berapa lama, mengambil bagian, kemudian berhenti lagi. Sebagian lainnya –seperti hati- mengambil sebagian konsep-konsep yang menjadi penyebab daya rasa maknawi, namun setelah itu juga berhenti. Begitu seterusnya. Pengulangan ini tidak lagi berjalan, selain pada sejumlah kelembutan saja yang terus mengambil bagian tanpa henti, itu pun setelah melalui waktu yang cukup lama. Kelembutan-kelembutan maknawi ini tidak memerlukan makna, tidak memerlukan pemeriksaan atau pun verifikasi. Kelalaian pun tidak membahayakan kelembutan-kelembutan ini, tidak seperti kekuatan berfikir. Cukuplah dengan kata dan makna global yang terkandung dalam kata itu, juga makna konvensional di mana setiap kata menjadi nama dan pertanda baginya.

Ketika saya memikirkan makna ini saat itu, rasa jemu yang merugikan muncul, karena kelembutan-kelembutan itu terus berlangsung tanpa lagi perlu belajar atau memahami, juga 

231. Page

memerlukan peringatan, perhatian, ataupun dorongan, karena kata-katanya mirip seperti kulit yang cukup untuk kelembutan-kelembutan tersebut dan menjalankan peran makna, khususnya meraih luapan tanpa henti dengan menyebut kata-kata berbahasa Arab tersebut yang merupakan kalam Allah dan percakapan Ilahi.

Kondisi yang saya alami ini menunjukkan bahwa azan, zikir-zikir shalat dan serangkaian hakikat yang terus diulang setiap saat laksana surah al-Fatihah dan al-Ikhlash sangat berbahaya jika diungkapkan dengan bahasa lain, bukannya dengan bahasa Arab, karena setelah kata-kata Ilahi dan nabawi yang merupakan sumber abadi itu lenyap, lenyap pula bagian-bagian abadi yang didapatkan kelembutan-kelembutan abadi tersebut.

Di samping itu, kata-kata tersebut menimbulkan banyak sekali bahaya jika diungkapkan dengan bahasa lain selain bahasa Arab, seperti hilangnya tidak kurang dari sepuluh kebaikan di setiap hurufnya, juga kegelapan ruhani yang ditimbulkan oleh ungkapan-ungkapan manusia yang diterjemahkan, karena ketenangan tidak bisa terus berlangsung di seluruh bagian shalat bagi setiap orang.

Ya, jika imam agung mengatakan bahwa la ilaha illallah adalah pertanda dan nama tauhid, maka kami katakan bahwa sebagian besar kata-kata zikir dan tasbih –khususnya kata-kata yang diagungkan, seperti kata-kata azan dan shalat- menjadi semacam tanda dan nama. Karena itu, makna kata-kata menurut istilah syar’i lebih digunakan, melebihi makna etimologi kata tersebut.

Karena itu, tidak mungkin jika kata-kata tersebut diubah secara syar’i.

Sementara makna-maknanya secara garis besar harus diketahui setiap mukmin.Ia dipelajari dengan cepat, bahkan oleh kalangan awam yang paling rendah tingkatannya.

Karena itu, mereka yang menghabiskan seluruh usia sebagai orang muslim, dan memenuhi isi kepala dengan ribuan hal yang tidak membawa guna, bagaimana bisa ditolelir jika tidak mau mempelajari makna kata-kata ini secara garis besar dalam sepekan atau dua pekan yang merupakan kunci kehidupan abadi mereka sendiri?!

Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi orang-orang muslim?! Bagaimana mungkin mereka disebut sebagai orang-orang berakal?! Tentu tidak bijak sama sekali ketika sumber cahaya-cahaya tersebut dirusak demi kemalasan orang-orang seperti mereka yang dungu ini!

Orang yang mengucapkan, “Subhanallah” meski apa pun golongannya, tentu mengetahui bahwa ia memahasucikan Allah. Bukankah ini sudah cukup?!

Selanjutnya ketika ia mengarah kepada makan dengan lisannya tersendiri, ia perlu mempelajari sekali lagi padahal kata tersebut terus diulang seratus kali sehari, padahal makna global yang berdampingan dan menyatu dengan kata, menjadi perantara sebagian besar cahaya-cahaya dan luapan-

232. Page

luapan, terlebih lagi bagian yang didapatkan akal melalui proses belajar seratus kali, khususnya kesucian yang didapatkan kata-kata tersebut yang merupakan kalam Ilahi. Luapan dan cahaya-cahaya yang muncul dari kesucian tersebut memiliki nilai penting yang amat besar.

Kesimpulan:

Kata-kata Ilahi suci yang merupakan tempat penjagaan hal-hal agama yang penting, tak mungkin digantikan dengan kata-kata lain. Mustahil ada kata-kata lain yang bisa menjalankan peran kata-kata Ilahi. Bahkan jika pun bisa menjalankan peran tersebut sesaat, tetap saja ia tidak mampu menjalankannya secara terus menerus, secara luhur dan suci.

Sementara kata-kata yang merupakan tempat penyimpanan ajaran-ajaran agama, tidak perlu diubah, karena ini bisa menghilangkan nasehat, proses belajar, dan lainnya.

Bahasa Arab memiliki cakupan menyeluruh, dan kata-kata al-Qur’an memiliki kemukjizatan yang tak bisa diterjemahkan. Bahkan bisa saya katakan mustahil. Bagi orang yang masih ragu, silahkan merujuk “Kalimat Keduapuluh Lima” yang secara khusus membahas kemukjizatan al-Qur’an.

Apa yang mereka sebut sebagai terjemah tidak lain hanya makna-makna yang amat singkat dan kurang. Tentu sangat jauh berbeda antara makna ringkas ini dengan makna-makna ayat-ayat hakiki yang hidup dan bercabang dengan banyak sekali aspeknya.

 

Persoalan Kesembilan

Persoalan penting dan rahasia, dan tentang rahasia kewalian

 

Kelompok pengikut kebenaran dan istiqamah yang disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, menjaga hakikat al-Qur’an dan keimanan di dunia Islam dengan mengikuti sunnah secara keseluruhan dalam lingkup keistiqamahan, sehingga sebagian besar para wali muncul dari lingkup ini. Namun ada sekelompok wali lainnya muncul, mereka menyimpang dari sebagian aturan-aturan Ahlussunnah wal Jamaah, serta menyalahi kaidah-kaidah asasi mereka. Para pemerhati wali-wali golongan ini terbagi menjadi dua kelompok:

Kelompok pertama mengingkari kewalian mereka ini karena menyalahi kaidah-kaidah asas Ahlussunnah, bahkan ada juga yang mengkafirkan sebagian di antara wali-wali ini.

Kelompok kedua mengikuti wali-wali ini. Karena menerima dan mengakui kewalian para wali ini, mereka menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya terbatas dalam lingkup faham Ahlussunnah wal Jamaah saja, hingga mereka membentuk kelompok ahli bid’ah, bahkan mereka ini sesat. Mereka tidak tahu bahwa orang yang mendapat petunjuk bisa memberikan petunjuk pada orang lain. Kekeliruan 

233. Page

syaikh-syaikh mereka ini bisa ditolelir, karena mereka tidak sadar, tapi para pengikut mereka tidak bisa ditolelir.

Ada kelompok pertengahan. Mereka ini tidak mengingkari kewalian para wali ini. Hanya saja kelompok ini tidak mengakui manhaj dan faham mereka. Mereka menyatakan bahwa kata-kata yang menyalahi kaidah-kaidah ushul mungkin disebabkan karena mereka tak menguasai diri hingga jatuh dalam kesalahan, atau mungkin hanya sebagai kata-kata dangkal layaknya kata-kata mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya.

Sayangnya, kelompok pertama, khususnya ulama ahli zhahir (ulama syariat) dengan alasan untuk menjaga faham Ahlussunnah, mereka mengingkari sebagian besar wali agung, bahkan menuduh mereka sesat. Sementara kelompok kedua yang mendukung, disebabkan oleh sikap berbaik sangka secara berlebihan terhadap para syaikh sengaja meninggalkan jalan kebenaran, dan sesekali mereka terseret dalam bid’ah, dan bahkan juga kesesatan.

Berdasarkan rahasia ini, ada suatu kondisi yang sering kali mengusik fikiran saya. Kondisi yang dimaksud adalah:

Suatu ketika, saya mendoakan keburukan pada sebagian pengikut kesesatan di waktu mustajab, lalu ada kekuatan maknawi begitu besar menghalangi doa saya ini, doa saya pun tertolak.

Setelah itu, saya menilai bahwa orang-orang sesat seperti mereka ini menyeret para pengikut mereka untuk ikut melakukan ritual-ritual yang menyalahi kebenaran dengan mempermudah kekuatan maknawi, sehingga mereka ini berhasil. Mengingat ritual-ritual ini tidak dilakukan dengan paksaan, tapi dipadukan dengan keinginan yang muncul dari kekuatan kewalian, tidak heran jika sebagian orang yang beriman terpedaya oleh keinginan ini, hingga menolelir ritual-ritual seperti itu, dan menurut mereka tidak terlalu buruk.

Saat merasakan dua rahasia ini, saya terhenyak lalu mengucapkan, “Subhanallah!” Saya bertanya-tanya, “Mungkinkah ada kewalian di luar jalan kebenaran, atau secara khusus, mungkinkah ahli hakikat memperkuat aliran sesat yang begitu besar?!”

Setelah itu saya membaca surat al-Ikhlash sebanyak seratus kali secara berulang-ulang sesuai tradisi Islam, tepatnya di hari Arafah. Berkah surat ini kemudian memberikan rahmat Ilahi ke dalam hati bersamaan dengan sebuah persoalan yang saya tulis dengan judul: Jawaban untuk sebuah pertanyaan penting. Hakikat yang dimaksud adalah sebagai berikut: 


234. Page

Sebagian wali ada yang tidak waras, meski secara lahiriah mereka ini berakal dan punya pandangan cemerlang, seperti disebutkan dalam kisah Jabali Baba[1] yang terkenal di masa Sultan Muhammad al-Fatih itu. Sebagian di antara mereka ada yang terlihat sadar dan berakal, namun kadang mereka hanyut dalam suatu kondisi di luar kesadaran dan fikiran. Sebagian di antara mereka ini ada yang kondisinya tidak jelas, mereka tidak mampu membedakan berbagai hal, karena pandangan yang mereka kemukakan dalam kondisi mabuk cinta, mereka terapkan dalam kondisi sadar, sehingga mereka keliru, dan mereka tidak tahu kalau mereka keliru.

Sebagian di antara mereka yang tidak sadar tetap mendapat penjagaan Allah dan tidak menempuh kesesatan. Namun ada kelompok lainnya yang tidak terjaga, dan mungkin tergolong dalam kelompok sesat dan bid’ah. Bahkan sebagian ulama menyatakan, kemungkinan wali-wali seperti ini kafir.

Seperti itulah mereka termasuk dalam hukum orang-orang gila secara maknawi, karena mereka tidak sadar untuk sementara atau secara permanen. Karena terlepas dari ikatan-ikatan syariat, berarti mereka bukan mukallaf, sehingga mereka tidak mendapat hukuman atas apa pun perbuatan yang mereka lakukan. Tidak heran, jika wali-wali seperti ini mendukung orang-orang sesat dan ahli bid’ah meski kewalian mereka di luar kesadaran itu tetap berlangsung. Mereka menyebarluaskan faham ini, dan mereka merasa sial jika ada orang mukmin dan pengikut kebenaran memasuki faham mereka.

 

Permasalahan Kesepuluh

Aturan khusus untuk para pengunjung

 

Permasalahan ini ditulis untuk menjelaskan poin ini berdasarkan peringatan sebagian teman.

Perlu diketahui, orang yang datang mengunjungi saya mungkin datang dengan tujuan untuk urusan-urusan dunia, dan pintu untuk kunjungan seperti ini tertutup rapat. Atau karena urusan-urusan akhirat. Tujuan ini memiliki dua pintu:


[1] Jabali Babaa, seorang gila maknawi yang tinggal di Kostantinopel di saat penaklukan terjadi. Ia dikenal shalih. Konon ada sebuah kisah terkait orang ini yang terjadi di saat-saat penaklukan, tepatnya ketika Sultan Muhammad Fatih mengepung benteng Kostantinopel. Si gila ini berada di dalam kota, ia berdoa kepada Allah agar meriam-meriam Sultan Fatih tidak mengenai kota Kostantinopel agar tidak mengenai anak-anak kecil. Konon, penaklukan tidak kunjung tercapai karena doanya ini. Syaikh Sultan Fatih mendoakan kemenangan, sementara si gila ini mendoakan sebaliknya, hingga Syaikh Sultan Fatih mendoakan si gila ini mati. Benar saja, si gila ini mati, lalu meriam-meriam berhasil mengenai sasaran, dan kemenangan pun tercapai.




235. Page

Jika seseorang datang dengan mengira saya ini sosok yang diberkahi dan memiliki kedudukan di sisi Allah, pintu untuk tujuan ini juga tertutup rapat, karena saya tidak membanggakan diri saya dan tidak menyukai siapa pun yang kagum pada saya. Alhamdulillah dan puji syukur sebanyak mungkin saya panjatkan karena Dia tidak menjadikan saya merasa kagum pada diri sendiri.

Jalur kedua, orang yang datang menemui saya dalam kapasitas saya sebagai da’i yang menyerukan kepada al-Qur’an. Sepenuh hati, saya menerima kedatangan orang seperti ini.

Golongan ini juga terbagi tiga:

Teman, saudara, atau murid.

Keistimewaan dan syarat seorang “teman”:

Bergabung secara serius dengan al-Kalimat dan dakwah al-Nur kami, tidak memiliki kecenderungan hati untuk berbuat zalim, bid’ah, dan kesesatan, serta berusaha untuk memetik manfaat dari Risalah al-Nur.

Keistimewaan dan syarat seorang “saudara”:

Menunaikan shalat wajib lima waktu, menjauhi tujuh dosa besar, dan berusaha menyebarkan al-Kalimat secara serius dan hakiki.

Keistimewaan dan syarat seorang “murid”:

Merasakan bahwa al-Kalimat adalah barang milik pribadi, merasa seakan tulisannya sendiri, menjaga dan memperhatikannya, dan merasa yakin bahwa tugas utama dalam kehidupan adalah menyebarkan dan mengamalkannya.

Tiga tingkatan ini terkait dengan tiga kepribadian saya.

Seorang “teman” terkait dengan kepribadian khusus saya.

Seorang “saudara” terkait dengan kapasitas saya sebagai seorang hamba dan kepribadian saya dari sisi ubudiyah.

Sementara “murid” terkait dengan kepribadian saya dalam menyebarkan dakwah menuju al-Qur’an, dan peran saya sebagai seorang guru sekaligus pembimbing.

Pertemuan ini memiliki tiga manfaat:

Pertama, menerima esensi-esensi al-Qur’an dari saya atau dari al-Kalimat, meski hanya satu pelajaran saya dalam kapasitas saya sebagai da’i yang menyeru menuju al-Qur’an.

Kedua, ikut serta bersama saya untuk meraih pahala akhirat melalui ibadah.

Ketiga, mengarah ke hadirat Ilahi secara bersama-sama dan saling memiliki keterkaitan hati dalam mengabdi untuk al-Qur’an, memohon taufiq dan petunjuk dari Allah.


236. Page

Bagi “murid”, ia turut hadir bersama saya setiap pagi atas nama murid, atau sesekali melalui khayalan, dan ikut serta mendapatkan keuntungan-keuntungan maknawi bersama saya.

Bagi “saudara”, ia bisa hadir atas nama pribadi dan dalam wujud khusus dalam doa dan pahala akhirat, berkali-kali bersama saya.

Selanjutnya ia termasuk pula dalam kelompok para saudara, saya serahkan permasalahannya kepada rahmat Ilahi. Ketika saya mengucapkan dalam doa, “Para saudara saya,” berarti ia termasuk bersama mereka. Dan jika saya tidak mengenali mereka, rahmat Ilahi mengenal dan melihat mereka.

Bagi seorang “teman” yang menjalankan segala kewajiban dan menjauhi segala dosa, ia termasuk dalam doa saya sebagai saudara-saudara secara umum.

Ketiga tingkatan ini harus menyertakan saya dalam doa dan pahala mereka secara maknawi.

اللهم صل على من قال: المُؤْمنُ للمؤمنِ كالبنيَانِ يشُدُّ بعضه بعضاً

و على آله و صحبه وسلم

Ya Allah! Limpahkanlah kesejahteraan kepada junjungan kami, Muhammad, yang bersabda, “Orang mukmin bagi mukmin lain itu laksana bangunan yang saling memperkokoh satu sama lain,” limpahkan pula kepada keluarga dan para sahabatnya.

 

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا  إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ  لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran. (Qs. al-A’raf [7]: 43)