Surat Keempat

20. Page

SURAT KEEMPAT

باسمه سبحانه

وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَه

 Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)


سلام الله ورحمته وبركاته عليكم و على اخوانكم لاسيما....

Semoga kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah terlimpah kepadamu dan juga teman-temanmu, khususnya …

Saudara-saudaraku yang terhormat!

Saat ini, saya berada di sebuah tempat tinggal di atas pohon cemara yang tinggi, di suatu bukit tinggi pada Pegunungan Cam. Di sini, saya tinggal sendirian jauh dari manusia dan bersahabat dengan binatang. Kala saya ingin berbincang dengan bangsa saya, ternyata kalian sudah di dekat saya melalui khayalan, lalu saya curahkan duka dan perasaan saya pada kalian, akhirnya saya terhibur oleh kalian. Saya ingin tetap berada di sini seorang diri selama satu atau dua bulan jika memang tidak ada halangan. Dan begitu saya kembali ke Barla nanti, kita akan mencari cara untuk bisa berbincang-bincang seperti yang saya rindukan, melebihi kerinduan kalian.

Saat ini, saya akan menulis lintasan-lintasan fikiran yang terbersit kala berada di atas pohon cemara.

Pertama, semacam rahasia khusus saya, namun tidak ada rahasia yang disembunyikan pada kalian.[1] Itu sebagai berikut:

Sebagaimana halnya nama al-Wadud (Maha Pecinta) tampak pada sebagian ahli hakikat, lalu mereka menatap ke Zat yang Wajib Ada dari balik jendela wujud yang memanifestasikan nama ini dalam tingkatan paling tinggi, demikian pula saudara kalian yang bukan apa-apa ini diberi suatu kondisi yang membuatnya meraih manifestasi (tajalli) nama al-Rahim (Maha Penyayang) dan al-Hakim (Maha Bijaksana) kala memberikan pengabdian al-Qur’an, kala menjadi da’i yang menyeru menuju khazanah simpanan yang tak pernah lenyap itu. Seluruh Kalimat[2] (Risalah al-Nur) merupakan manifestasi-manifestasi dari manifestasi tersebut. Kami memohon kepada Allah semoga Risalah al-Nur meraih rahasia:


يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ  وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا


[1] Lawan bicara surat ini adalah seorang murid Ustadz Sa’id Nursi bernama Khalusi.

[2] Maksudnya Risalah al-Nur.



21. Page

Allah menganugerahkan hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (Qs. al-Baqarah [2]: 269)

 Kedua, satu perkataan lembut terkait tarekat Naqsyabandiyah[1] ini tiba-tiba terbersit dalam fikiran saya:

در طريق نقشبندى لازم آمد جار ترك

ترك دنيا، ترك عقبى، ترك هستي، ترك ترك

“Di jalan (tarekat) Naqshbandiyah, kita harus meninggalkan empat hal:

dunia, akhirat, eksistensi, dan meninggalkan dirinya.”[2]

Selanjutnya kalimat berikut muncul secara tiba-tiba bersamaan dengan kata-kata di atas:

در طريق عجز مندي لازم آمد جار جيز

فقر مطلق عجز مطلق شكر مطلق شوق مطلق أي عزيز

“Di jalan ketidak-berdayaan (‘ajz), saudaraku, empat hal yang diperlukan:

kemiskinan mutlak, ketak-berdayaan mutlak, syukur mutlak, dan kerinduan mutlak.”[3]


Setelah itu saya teringat bait-bait syairmu yang kaya dan penuh warna: “Baca halaman berwarna kitab jagad raya.” Syair ini indah dan lembut dalam penuturannya, sarat akan makna, lalu dengan syair ini, saya menatap ke arah bintang-bintang yang ada di wajah langit, kemudian saya berkata pada diri, “Andai saja aku penyair, tentu aku selesaikan syair ini!” Meski saya tidak memiliki bakat bersyair dan membuat kata-kata terangkai, saya masih mencoba, namun tetap saya tidak mampu membuat syair. Akhirnya saya tulis seperti yang terlintas di benak. Jika engkau sebagai pewaris saya- bermaksud untuk mengubah kata-kata berikut ini menjadi syair, silahkan saja. Inilah kata-kata yang tiba-tiba terbersit dalam fikiran saya:


Dengarkan kata-kata bintang yang lembut

Perhatikan bagaimana hikmah merangkai bintang-bintang yang bersinar terang itu

Mereka secara bersamaan bertutur dengan lisan kebenaran;

Masing-masing kita adalah bukti nyata keagungan kuasa Yang Maha Kuasa Pemilik Kemuliaan

Bukti keberadaan Sang Pencipta, bukti keesaan dan kuasa-Nya




[1] Tarekat sufi ternama.

[2]Artinya: ada empat hal yang harus ditinggalkan dalam tarekat Naqsyabandiyah: meninggalkan dunia, meninggalkan akhirat, meninggalkan hawa nafsu, dan meninggalkan sesuatu yang ditinggalkan itu sendiri.

[3] Artinya: ada empat hal wajib dalam meniti jalan ketidak-berdayaan, wahai saudaraku yang mulia; kefakiran mutlak, ketak-berdayaan mutlak, syukur mutlak, dan kerinduan mutlak.




22. Page

Bagi langit, kami adalah ribuan mata yang menatap tajam ke bumi,[1] dan menatap tajam ke surga, agar para malaikat menyaksikan mukjizat-mukjizat lembut yang menghiasi wajah bumi.

Kami adalah buah-buahan indah yang berasal dari pohon penciptaan, tergantung di tangan hikmah Sang Maha Indah di belahan langit, juga di atas ranting-ranting galaksi Bima Sakti.

Kami adalah burung-burung milik para penghuni langit, masjid-masjid yang berjalan, tempat-tempat tinggal yang berputar, rumah-rumah yang tinggi, bintang-bintang terang dan perahu-perahu Allah al-Jabbar.

Kami adalah alam-alam cahaya milik Sang Maha Kuasa dan Bijaksana, kami adalah mukjizat kuasa luar biasa yang sesuai bagi Pencipta, kami adalah hikmah tiada duanya, sekaligus ciptaan yang indah.

Seperti itulah kami memperlihatkan seratus ribu bukti nyata dengan seratus ribu lisan, seperti itulah kami memperdengarkan kata-kata kami kepada manusia yang sebenarnya.

Mata orang atheis buta, hingga tidak melihat wajah kami, tidak mendengar kata-kata kami. Kami ini adalah tanda-tanda kebesaran yang menuturkan kebenaran.

Bentuk dan gambaran kami sama, kami semua tunduk dan bertasbih kepada Rabb kami, senantiasa berzikir dengan beribadah kepada-Nya, kami semua tertarik dan terkait menuju rangkaian galaksi Bima Sakti terbesar.

 

 

الباقي هو الباقي

 

Sa’id Nursi



[1] Artinya: seperti halnya para malaikat yang ada di alam langit menyaksikan mukjizat-mukjizat kuasa yang terpampang di muka bumi yang merupakan ladang kecil bunga-bunga surga, seperti itu juga bintang-bintang yang merupakan mata bagi planet-planet langit yang seakan menatap ke alam surga seperti halnya para malaikat. Bintang-bintang itu seakan menyaksikan hal-hal luar biasa sesaat dalam wujud nan abadi di surga. Artinya, bintang-bintang juga menatap dua alam tersebut. (Penulis)