Surat Keenam

25. Page

SURAT KEENAM

باسمه

 وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ

Dengan nama-Mu

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)

 

سلام الله ورحمته وبركاته عليكما و على اخوانكما ما دام الملوان, وتعاقب العصران, وما دام القمران, واستقبل الفرقدان

Semoga kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah terlimpah kepada kalian berdua dan juga teman-teman kalian berdua selama siang dan malam masih bergulir, selama pagi dan petang terus silih berganti, selama bulan dan matahari selalu bergantian, dan selama bintang-bintang di langit masih bersinar.


Untuk dua saudara saya yang mulia, dua teman saya yang terhormat, dan penghibur saya di negeri dunia yang asing ini. Karena Allah menjadikan kalian berdua ikut serta bersama saya merasakan serangkaian makna yang saya rasakan di dalam fikiran, maka tentu kalian berdua berhak untuk ikut merasakan apa yang saya rasakan. Berikut akan saya kisahkan sebagian di antara duka derita perpisahan yang saya rasakan di balik keterasingan saya ini. Namun sengaja saya tidak akan menyebut sebagian besar duka derita yang saya rasa, agar kalian berdua tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dan duka.

Hampir tiga bulan ini, saya tinggal seorang diri. Tamu datang hanya setiap limabelas atau duapuluh hari sekali, itu pun tidak terus-terusan. Selain itu, saya menghabiskan waktu seorang diri. Orang-orang pegunungan yang menemani hampir duapuluh hari sebelumnya, belum juga kembali. Mereka telah terpencar.

Di tengah gunung yang asing ini, di tengah kegelapan malam tanpa suara, tanpa gema, selain gemerisik pepohonan yang sedih, saya merasakan lima jenis keterasingan yang merasuk dalam diri saya:

Pertama, karena sudah tua, saya tinggal seorang diri, jauh dari sebagian besar teman sebaya, orang-orang tercinta dan sanak saudara, saya merasakan keterasingan yang menyedihkan karena mereka telah pergi meninggalkan saya dan beralih ke alam barzakh.

Kedua, di dalam keterasingan ini ada lingkaran keterasingan lain yang terbuka bagi saya. Saya merasakan keterasingan perpisahan yang muncul karena sebagian besar wujud yang sebelumnya terkait dan memiliki hubungan dengan saya, semuanya telah pergi meninggalkan saya seperti musim semi yang telah berlalu.


26. Page

Ketiga, di dalam keterasingan ini ada lingkaran keterasingan lain yang terbuka bagi saya. Saya merasakan keterasingan perpisahan yang muncul karena saya jauh dari kampung halaman dan sanak saudara, dan saya tinggal seorang diri.

Keempat, di sela-sela keterasingan ini, suasana asing yang menyedihkan bagi malam dan pegunungan, membuat saya merasakan kondisi asing yang lembut dan memilukan.

Kelima, karena keterasingan ini, saya menganggap ruh saya siap untuk pergi menuju keabadian tiada akhir, meninggalkan pesanggrahan fana di tengah keterasingan tiada tandingnya ini, lalu seketika itu saya mengucapkan, “Subhanallah! Bagaimana mungkin bisa menanggung berbagai macam keterasingan dan kegelapan ini?!” Saat saya berfikir seperti itu, hati ini berteriak memohon pertolongan:


  يا رب! أنا غريب, أنا وحيد, وضعيف, لاقدرة لي ولاطاقة, وعليل, وعاجز, وشيخ, لااختيار ولا ارادة لي, أستجيرك وأطلب الامان والاطمئنان ,أرجو العفو, أسأل الغوث والقوة

من بابك يا الهي

Ya Rabb, aku terasing, seorang diri, lemah, tiada berdaya, sakit, lemas, renta, tanpa pilihan dan tanpa kehendak

Kepada-Mu aku memohon pertolongan, memohon rasa aman dan tenteram

Ampunan-Mu aku dambakan, aku memohon pertolongan dan kekuatan dari pintu-Mu, ya Ilahi.

Tiba-tiba, cahaya keimanan, luapan al-Qur’an, dan kasih sayang al-Rahman datang menghampiri dan membantu saya, mengubah kelima jenis keterasingan yang gelap itu menjadi lima lingkaran cahaya yang menyenangkan. Lidah saya lantas mengucapkan:


حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 173)

Hati saya membaca ayat ini:


فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ  عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ  وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung. (Qs. al-Taubah [9]: 129)


Akal lantas berbicara kepada jiwa saya yang berteriak keras karena derita dan takut yang ia rasakan:

Berhentilah berteriak-teriak menangis pilu karena musibah yang mendera, hai orang malang. Berjiwalah besar, dan bertawakallah.


27. Page

Karena berteriak menangis adalah suatu kekeliruan, itu adalah musibah lain di balik musibah sebenarnya, maka ketahuilah!

Jika kau merasa sedih karena ujian yang mendera, kau pasti meraba karunia di balik kejernihan, dan ketenangan di balik ujian, maka ketahuilah!

Berhentilah berteriak-teriak menangis pilu dan bersyukurlah seperti burung Bulbul, niscaya bunga-bunga akan senantiasa tersenyum gembira.

Jika pun kau tetap tidak menemukan keceriaan, toh dunia ini penuh beban berat di balik kefanaan dan ketiadaan, maka ketahuilah!

Mengapa kau berteriak-teriak hanya karena musibah yang tak seberapa, sementara di atas kepalamu ada musibah sepenuh dunia, maka berjiwalah besar dan bertawakallah.

Tersenyumlah di hadapan wajah musibah dengan bertawakal, niscaya musibah juga ikut tersenyum.

Hingga segala musibah terasa kecil dan berganti setiap kali kau tersenyum.

Saya juga mengatakan seperti yang dituturkan salah seorang guru saya, maulana Jalaluddin Rumi[1] kala dia berbicara dengan dirinya sendiri:


او كفت: ألست, وتو كفتي: بلى, شكر بلى جيست كشيدن بلا سر بلا جيست

يعني كه منهم حلقه زن دركه فقر و فنا

Ketika Allah berfirman, “Bukankah Aku Rabb kalian?” aku menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami).” Namun jawaban “Betul” ini jauh sekali dari rasa syukur, karena kata-kata ini adalah sumber kesedihan dan duka derita. Tahukah engkau apa rahasia kesedihan dan duka derita? Rahasia itu adalah mengetuk pintu kefakiran dan kefanaan karena Allah.[2]



[1] Jalaluddin ar-Rumi (604-673 H./1207-1273 M.), namanya adalah Muhammad bin Husain bin Ahmad al-Balkhi al-Qaunawi ar-Rumi, Jalaluddin; menguasai fiqh Hanafiyah, menguasai perbedaan pendapat dan berbagai macam disiplin ilmu, sufi, pemilik buku al-Matsnawi, buku berbahasa Persia yang terkenal, pemilik tarekat Mulawiyah yang dinisbatkan kepadanya, ia lahir di Balkh, Persia, lalu pindah ke Baghdad bersama ayahnya saat berusia empat tahun, di sanalah ia tumbuh besar di Madrasah Munstanshiriyyah, tempat ayahnya menetap.Di sana ia tidak tinggal lama, karena ayahnya pindah ke mana-mana hingga akhirnya menetap di salah satu tempat dalam waktu lama.Setelah itu ia menetap di kota Qauni, Turki, pada tahun 623 H. Jalaluddin dikenal ahli di bidang fiqh dan berbagai disiplin ilmu Islam lainnya.Ia mengajar di Qauni di empat sekolah sekaligus.Setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 628, ia tidak lagi mengajar dan menulis, meninggalkan keduniaan, dan fokus di bidang sufi.

[2]Awa kufta; alaysa wa tawa kaftay; bala syukr bala jisat? Kasyidan bila sirr bila jisat ya’ni kah (munim halqah zan darkahe faqar wa fana).




28. Page

Jiwaku lantas mengatakan saat itu: Ya, ya, dengan kelemahan dan tawakal, dengan kemiskinan dan berlindung kepada Allah, pintu cahaya terbuka, segala kegelapan lenyap.


الحمد لله على نور الايمان و الاسلام

Segala puji bagi Allah atas karunia cahaya keimanan dan Islam.

Lalu saya melihat sebuah hakikat tinggi di balik kutipan hikmah Atha’iyah yang terkenal berikut ini:

ماذا وجد من فقده و ماذا فقد من وجده

“Adakah yang bisa ditemukan oleh orang yang kehilangan Dia, dan adakah sesuatu yang hilang bagi orang yang telah menemukan-Nya?!”[1]

Artinya, siapa yang menemukan Allah, ia akan menemukan segalanya, dan siapa yang kehilangan Allah, ia takkan menemukan apa pun, bahkan andaipun menemukan sesuatu, yang ia temukan tidak lain adalah petaka dan musibah.

Akhirnya, saya memahami rahasia hadits, “Beruntunglah orang-orang asing.”[2] Saya pun bersyukur kepada Allah.

Untuk itu, wahai saudara-saudara saya, berbagai macam keterasingan yang gelap ini selain memburatkan cahaya dikarenakan adanya cahaya keimanan, ia juga menuturkan semacam hikmah dalam diri saya, serta memunculkan fikiran berikut kepada saya:

Karena saya terasing, berada dalam keterasingan, dan akan berlalu menuju negeri asing, apakah tugas saya di dunia ini sudah berakhir?

Akhirnya fikiran berikut terlintas di benak saya:

Biarkan saya menunjuk kalian, sementara al-Kalimat berfungsi sebagai pengganti saya. Biarkan pula saya memutuskan segala hubungan saya dengan dunia secara total.

Namun, saya ingin bertanya kepada kalian: Apakah al-Kalimat ini sudah cukup? Masihkah ada kekurangan? Yakni, apakah tugas saya sudah selesai sehingga saya bisa beristirahat dengan tenang di

[1] Ibnu Athaillah al-Iskandari, wafat pada tahun 709 H. Namanya Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah, syaikh terkenal. Tajuddin Abul Fadhl al-Iskandari, orang shalih, berbicara di atas kursi di Masjid Jamik menyampaikan kata-kata yang baik, mempunyai daya rasa batin dan menguasai kata-kata kalangan sufi dan atsar salaf. Ia memiliki kata-kata lembut dan mengena di dalam hati. Ia punya banyak kelebihan. Ia adalah murid Abu Abbas al-Murasi, teman al-Syadzili. Ia memiliki kata-kata bijak yang dalam tasawuf dikenal sebagai Hikmah Atha’iyah.

[2] Bagian dari hadits riwayat Abu Hurairah r.a, yang menuturkan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Islam bermula dalam keadaan terasing, dan akan kembali seperti kondisi saat bermula, maka beruntunglah orang-orang terasing’.” HR. Muslim, hadits nomor 145; Ibnu Majah, hadits nomor 3986; al-Tirmidzi, hadits nomor 2630, 1119, dan lainnya.




29. Page

tengah keterasingan hakiki yang bercahaya, penuh nikmat, dan menyenangkan ini, sehingga saya bisa melupakan dunia? Saya pun menuturkan kata-kata yang pernah disampaikan maulana Jalaluddin Rumi:


داني سماع جه بود بي خود شدن ..

زهستي اندر فناي مطلق ذوق بقا جشيدن

Tahukah engkau apa yang kudengarkan? Aku berpaling menjauh dari semua wujud

Melenyapkan diri dari wujud, dan merasakan keabadian di balik kefanaan mutlak.[1]

Saya terus mencari keterasingan nan mulia kala membuat kepala kalian pusing karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini.

 

الباقي هو الباقي

 

S.N.


[1]Dani sama’ jih bawad bi khaud syadan … Zahasati andar fanai muthlaq dzauq baqa jsyadan.