NAVIGATION
60. Page
SURAT KELIMA BELAS
باسمه وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ
Dengan nama-Nya. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]44)
Saudaraku yang mulia!
Pertanyaan pertama yang engkau ajukan: Mengapa para sahabat r.a tidak bisa mengungkap orang-orang yang melakukan kerusakan melalui pandangan kewalian, sehingga hal tersebut mengakibatkan ketiga khalifah dari Khulafa’ al-Rasyidin tewas mati syahid? Padahal dikatakan bahwa para sahabat yang paling kecil jauh lebih besar tingkatannya dari para wali besar?
Jawab: Ada dua maqam terkait hal ini.
Maqam Pertama
Pertanyaan ini dipecahkan dengan menjelaskan rahasia mendalam tentang kewalian, sebagai berikut:
Kewalian para sahabat, yang dikenal dengan “kewalian besar” (al-wilayah al-kubra), adalah kewalian yang muncul sebagai warisan nubuwah, menembus secara langsung dari alam nyata menuju hakikat tanpa melalui alam barzakh, dan kembali ke penyingkapan “Kedekatan Ilahi” (aqrabiyyah Ilahiyyah). Meskipun jalur kewalian ini sangat pendek, namun tinggi sekali dan sangat mulia. Kejadian-kejadian luar biasa di sana memang sedikit, namun keistimewaannya banyak. Mukasyafah dan karamah jarang terlihat di sana.
Berbeda dengan karamah para wali, sebagian besar darinya terjadi bukan atas kehendak diri. Namun, dari para wali itu tiba-tiba muncul kejadian luar biasa begitu saja, dari arah yang tidak mereka duga-duga, sebagai karunia Ilahi (ikram Ilahi).
Mukasyafah dan karamah yang tidak lazim dan tidak biasa ini, sebagian besar di antaranya terjadi karena mereka terlepas dari sisi kemanusiaan normal hingga batas tertentu kala mereka menembus keluar dari barzakh tarekat di tengah-tengah perjalanan spiritual (sayr) dan ibadah ritual (suluk).
Sementara para sahabat, mereka tidak perlu melipat lingkaran besar perjalanan spiritual (sayr) dan ibadah ritual (suluk) yang ada dalam tarekat, berkat keutamaan pantulan persahabatan dengan Nabi, daya tarik dan eleksirnya. Mereka bisa menembus dari alam nyata menuju hakikat dalam satu langkah atau sekali saat mendampingi Nabi S.a.w.
61. Page
Sebagai contoh: Terdapat dua cara untuk menggapai Malam Qadar yang terjadi tadi malam:
Pertama, perjalanan dan pengembaraan selama satu tahun penuh untuk menggapai malam tersebut. Seseorang perlu melintasi jarak jauh satu tahun penuh untuk mendapatkan kedekatan ini. Inilah jalan para pengembara spiritual (ahl al-sayr wa al-suluk). Sebagian besar pengikut tarekat menempuh jalan ini.
Kedua, melihat Malam Qadar yang berlalu tadi malam bersama malam ‘Id pada hari berikutnya, laksana melihat malam sekarang ini, dengan melepaskan raga yang terikat waktu, dari bungkus materinya, lalu naik secara ruhani, karena ruhani sama sekali tidak terikat oleh waktu. Ketika perasaan-perasaan manusiawi naik hingga tingkatan ruhani, waktu yang ada saat ini akan melebar, sehingga waktu-waktu yang telah berlalu maupun yang akan datang bagi orang lain, baginya sama seperti saat sekarang ini.
Sama seperti contoh ini, untuk beralih menuju Malam Qadar yang berlalu tadi malam, itu bisa dilakukan dengan menatap masa lalu layaknya masa depan dengan naik ke tingkatan ruhani. Dasar rahasia yang rumit ini adalah: Tersingkapnya Kedekatan Ilahi (inkisyaf al-aqrabiyyah al-ilahiyyah).
Sebagai contoh: Matahari dekat dengan kita, karena cahaya, panas, dan bayangannya terwujud di cermin kita dan di tangan kita. Namun, kita jauh dari matahari itu. Jika kita merasa matahari dekat dengan kita dilihat dari sisi cahayanya, dan kita memahami hubungan kita dengan citranya yang ada di cermin kita, yang adalah tiruan; jika kita mengetahuinya melalui perantara tersebut, serta mengetahui apa cahaya, panas, dan kondisinya, maka saat itulah kedekatan matahari akan tersingkap dan tampak jelas pada kita, kita akan memahami begitu dekatnya matahari dengan kita, dan kita pun menjadi selalu terhubung dengannya.
Namun jika kita ingin mendekat dari matahari, ingin mengetahui seberapa jauhnya kita dari matahari, kita terpaksa harus mulai menempuh perjalanan pemikiran dan perkelanaan akal yang begitu jauh. Sebab, kita pasti tidak akan bisa mencapai kedekatan maknawi ke matahari seperti yang didapatkan orang pertama melalui cermin hanya dengan sedikit pemikiran, terkecuali setelah kita naik ke atas langit secara pemikiran melalui perantaraan hukum-hukum ilmiah, dan kita membayangkan matahari yang ada di langit, mengetahui cahaya dan panas yang terdapat pada matahari melalui serangkaian riset dan penelitian ilmiah yang memakan waktu sangat lama, serta perlu mengetahui ketujuh warna yang terdapat pada cahaya matahari.
Seperti halnya dalam contoh ini, nubuwah dan kewalian yang terdapat dalam warisan nubuwah mengarah pada penyingkapan rahasia “kedekatan Allah kepada Hamba” (aqrabiyyah). Sementara seluruh kewalian, sebagian besar darinya berlaku berdasarkan asas “kedekatan hamba kepada Allah
62. Page
(qurbiyyah),” dan di sebagian besar tingkatannya mengharuskan dilakukannya perjalanan spiritual (sayr) dan ibadah ritual (suluk).
Maqam Kedua
Mereka yang memicu berbagai peristiwa dan membuat kerusakan bukanlah segelintir orang Yahudi saja sehingga bisa dihentikan dengan menemui mereka. Dengan begitu banyaknya bangsa-bangsa yang masuk ke dalam Islam, beragam aliran dan pemikiran yang saling bertentangan dan berbeda satu sama lain telah masuk ke dunia Islam. Apalagi, kebanggaan nasional sebagian mereka terluka begitu dalam akibat serangan-serangan Umar r.a. Mereka ini menantikan kesempatan untuk melakukan balas dendam. Sebab, watak dan karakter mereka sudah terbiasa menyimpan dendam, juga karena agama mereka yang lama telah diberangus, pemerintahan dan kekuasaan mereka pun telah dihancurkan. Padahal, itu semua merupakan sumber kemuliaan mereka.
Disadari atau tidak, atas dorongan emosi dan perasaan, mereka cenderung suka melancarkan balasan terhadap kepemimpinan Islam. Karena itulah muncul anggapan bahwa sebagian orang-orang munafik cerdik yang menyusup dan membuat makar, seperti orang-orang Yahudi, suka memanfaatkan fenomena sosial ini.
Maka, peristiwa-peristiwa seperti ini sulit untuk dibendung kecuali dengan memperbaiki kehidupan sosial dan pemikiran yang beragam saat itu, bukannya mengungkap segelintir pembuat onar saja.
Jika ada yang mengatakan:
Mengapa Umar r.a tidak mampu menerawang orang yang akan membunuhnya, Fairuz, yang justru berada di dekatnya? Padahal, dia bisa menganalisa sesuatu yang akan terjadi? Saat berdiri di atas mimbar, Umar r.a menyeru Sariyah, salah seorang komandan pasukannya, yang berada jauh di radius perjalanan satu bulan. “Wahai Sariyah, awas gunung, gunung.”[1] Suara Umar ini terdengar oleh Sariyah. Karamah Umar dalam kepemimpinan pasukan Sariyah menjadi sebab kemenangan mereka. Kepemimpinannya yang memiliki karamah ini menunjukkan pandangan Umar yang menerawang jauh ke depan.
Jawab: Kami akan menjawab seperti jawaban Nabi Ya’qub a.s saat ditanya, “Bagaimana engkau bisa mencium bau baju Yusuf yang datang dari Mesir, padahal engkau tidak melihat Yusuf yang berada di dekatmu saat berada di sumur Kan’an?”
[1] Baca al-Maqashid al-Hasanah, hadits nomor 1333; Kanz al-‘Ummal, hadits nomor 35788; Kafsyf al-Khafa`, hadits nomor 3172.
63. Page
Ya’qub menjawab, “Kondisi kami laksana halilintar, sesekali tampak dan sesekali tersembunyi. Kadang kami seakan duduk di posisi tertinggi hingga bisa melihat segala penjuru tempat, dan kadang pula kami tidak bisa melihat kaki kami.”
Kesimpulan:
Meskipun manusia mampu melakukan sesuatu atas kehendak sendiri, namun berdasarkan rahasia ayat berikut ini, Kehendak Ilahi jualah yang fundamental:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. (Qs. al-Insan [76]: 30)
Takdir Ilahi adalah dominan. Kehendak Ilahi membalas kehendak manusia. Hal ini menegaskan pernyataan, “Ketika Takdir Ilahi datang, pandangan pun buta” (عمي البصر اذا جاء القدر). Jika Takdir Ilahi telah berbicara, kemampuan manusia tidak dapat berbicara, kehendak parsial manusia diam tak berkutik.
Arti pertanyaan kedua kalian:
Apa sebenarnya sifat dasar perang yang bermula pada masa Ali r.a? Bagaimana kita patut menyebut perang ini, mereka yang berperang, dan mereka yang terbunuh di dalamnya?
Jawab:
Perang yang disebut sebagai Perang Jamal antara Ali melawan Thalhah, Zubair, dan Aisyah Sang Jujur r.a, adalah perang antara “keadilan murni” (‘adalah mahdhah) dengan “keadilan relatif” (‘adalah idhafiyah). Jelasnya sebagai berikut:
Ali menjadikan keadilan murni sebagai dasar pijakan. Dia berijtihad berdasarkan pijakan tersebut, agar dia tetap bisa berjalan di atas pijakan tersebut seperti berlaku di masa kedua syeikh (Abu Bakar dan Umar r.a).
Sementara itu, mereka yang menentang Ali mengatakan, “Pada masa Abu Bakar dan Umar, kejernihan dan kemurnian masyarakat Islam masih selaras dan sesuai dengan keadilan murni. Namun, seiring perjalanan waktu, banyak sekali kaum dengan latar belakang Islam yang lemah masuk ke dalam lingkup kehidupan sosial Islam, sehingga penerapan keadilan murni sama sekali sulit dan rumit .”
Mereka pun berijtihad berdasarkan keadilan relatif, yang dikenal dengan pemilihan di antara yang paling ringan keburukannya (ikhtiyar ahwan al-syarr). Selanjutnya perdebatan ijtihad ini masuk ke ranah politik, hingga mengobarkan serangkaian perang.
64. Page
Mengingat mereka berijtihad karena Allah S.w.t semata, dan demi kemaslahatan Islam, kemudian dari ijtihad ini timbul perang, maka bisa kita katakan bahwa: pembunuh dan yang terbunuh dalam peperangan ini sama-sama berada di surga, masing-masing dari keduanya sama-sama mendapatkan pahala.
Meskipun ijtihad Ali r.a benar, dan ijtihad para penentangnya salah, namun mereka ini tidak patut mendapatkan siksa. Sebab, ketika seorang yang berijtihad mencapai kebenaran dengan ijtihadnya, ia mendapat dua pahala, sementara jika ia tidak mampu mencapai kebenaran, ia mendapat satu pahala, yaitu pahala berijtihad yang merupakan bagian dari ibadah, dan ia dimaafkan dalam kesalahannya.
Seorang terpelajar yang terkenal di kalangan kami, dan kata-katanya bisa dijadikan hujah, menuturkan dalam bahasa Kurdi:
ژ شر صحابان مكه قال و قيل لورا جنتين قاتل و هم مقتيل
“Jangan bergunjing tentang perang antara para sahabat, surga telah ditakdirkan baik untuk si pembunuh maupun si terbunuh.”
Artinya, jauhilah bergosip tentang peperangan yang terjadi di antara para sahabat, karena sahabat yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk surga.
Adapun penjelasan tentang keadilan murni (‘adalah mahdhah) dan keadilan relatif (‘adalah idhafiyah) sebagai berikut:
Hak seorang yang tak bersalah tidak bisa dihapus begitu saja demi semua orang. Dan seseorang tentu tidak bisa dikorbankan begitu saja demi keselamatan semua. Hal ini didasarkan atas makna yang diisyaratkan dalam ayat:
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Qs. al-Ma`idah [5]: 32)
Dalam pandangan rahmat Allah S.w.t, kebenaran adalah kebenaran tanpa memandang besar atau kecilnya. Kebenaran kecil tak bisa dihapus atau dihilangkan demi kebenaran yang besar. Kehidupan seorang manusia tidak bisa dikorbankan demi menyelamatkan sekelompok umat manusia tanpa kerelaan yang bersangkutan. Namun, lain halnya jika yang bersangkutan merelakan diri untuk dikorbankan atas nama kehormatan dan patriotisme.
Sementara keadilan relatif adalah mengorbankan sebagian kecil demi menyelamatkan semuanya; tidak memperdulikan hak individu di hadapan komunitas jamaah; berusaha menerapkan keadilan relatif sedemikian rupa meski dengan keburukan yang lebih ringan. Namun, jika keadilan
65. Page
murni bisa diterapkan, hendaknya keadilan relatif tidak diterapkan. Jika tetap diterapkan, itu menjadi kezaliman.
Karena itulah, Imam Ali r.a berpandangan bahwa keadilan murni sebetulnya masih mungkin diterapkan seperti yang di era Abu Bakar dan Umar. Maka atas dasar inilah Ali membangun khilafah Islamiyah. Sementara mereka yang menentang dan tidak sependapat dengannya, telah melaksanakan ijtihad dengan keadilan relatif karena, menurut mereka, keadilan murni tidak bisa lagi diterapkan dengan alasan banyaknya kesulitan dan halangan.
Adapun alasan-alasan lain yang dicatat sejarah, semuanya bukan alasan yang sebenarnya, hanya sebatas dalih saja.
Jika Anda mengatakan:
Berbeda dengan para pendahulunya, mengapa Imam Ali r.a tidak mendapatkan taufiq terkait persoalan khilafah Islamiyah. Padahal Ali memiliki kemampuan luar biasa, kecerdasan tinggi, dan kelayakan yang unggul?
Jawab:
Sosok penuh berkah ini layak memikul tugas-tugas lain yang jauh lebih penting dari persoalan politik dan kekuasaan. Andai saja Ali mendapat taufiq secara penuh di bidang politik dan kekuasaan, tentu ia tidak patut meraih julukan penuh arti: “Pemimpin Para Wali” (sayyid al-awliya’). Meski demikian, Ali meraih kekuasaan maknawi yang jauh mengungguli kekhilafahan politik eksternal, dan menjadi semacam Syeikh Semua (Syaikh al-Kulli). Karena itu, kekuasaan spiritual Ali tetap akan bertahan hingga Hari Kiamat.
Mengenai perang antara Imam Ali dengan para pendukung Mu’awiyah dalam Peristiwa Shiffin, ini adalah perang antara khilafah dan kesultanan. Maksudnya, Imam Ali menjadikan hukum-hukum agama, hakikat-hakikat Islam, dan negeri akhirat, sebagai asas baginya. Demi tujuan ini, Ali rela mengorbankan sebagian aturan pemerintahan dan tuntutan-tuntutan politik yang semena-mena.
Sementara Mu’awiyah dan para pengikutnya meninggalkan keteguhan hati (‘azimah), dan lebih memilih sikap permisif (rukshah) demi menopang kehidupan sosial Islam melalui politik kesultanan. Mereka mengira terpaksa memilih sikap demikian karena tuntutan politik, lantas mengutamakan rukhsah di atas ‘azimah, hingga mereka pun jatuh dalam kesalahan.
Adapun perjuangan Hasan-Husain r.a melawan kalangan Umawiyah, itu semata pertempuran antara agama dan nasionalisme. Maksudnya, dalam membangun daulah Islam, kalangan Umawiyah bertumpu pada nasionalisme Arab. Mereka lebih memprioritaskan ikatan-ikatan nasionalisme daripada ikatan-ikatan Islam, sehingga mereka membahayakan dilihat dari dua aspek:
66. Page
Pertama, mereka melukai perasaan suku-suku lain, dan memicu kebencian dan kekhawatiran di kalangan mereka.
Kedua, prinsip-prinsip rasialisme dan nasionalisme adalah asas tirani karena tidak mengikuti kebenaran dan keadilan, serta tidak berjalan atas dasar keadilan. Penguasa berbasis suku dan kabilah lebih mengedepankan kaumnya dari yang lain, sehingga ia tidak bisa berlaku adil.
Karena itu, ikatan nasionalisme tidak boleh diterapkan sebagai pengganti ikatan agama sesuai kaidah:
الاسلام جبَّ العصبية الجاهلية، ولا فرق بين عبدٍ حبشي وسيد قرشي إذا أسلما
“Islam telah menghapuskan fanatisme jahiliyah. Seorang budak Habasyah sudah tidak ada bedanya dengan seorang pemimpin Quraisy setelah mereka masuk Islam.”[1]
Ikatan-ikatan nasionalisme tak boleh ditegakkan menggantikan ikatan agama. Jika tidak, mustahil keadilan bisa terwujud, kebenaran dan keadilan pasti lenyap. Karena itulah, Husain menjadikan ikatan-ikatan agama sebagai asas, dan memerangi pihak Umawiyah dengan berpegang teguh pada kebenaran, hingga meraih kedudukan mati syahid.
Jika ada yang menyatakan:
Mengapa Husain tidak mendapat pertolongan, padahal ia membawa kebenaran? Mengapa takdir dan rahmat Ilahi membiarkan ahlul bait berakhir secara tragis?
Jawab:
Kaum-kaum lain yang ikut bergabung bersama kelompok Husain, namun bukan termasuk pembela dekatnya, menyimpan fikiran dendam terhadap bangsa Arab karena kebanggaan nasional mereka terluka. Ini tentu merusak manhaj murni Husain dan para pengikutnya, serta menyebabkan kekalahan mereka.
Hikmah mengapa ahlul bait berakhir secara tragis di mata takdir Ilahi adalah sebagai berikut:
Keturunan dan ahlul bait Hasan dan Husain adalah calon-calon pemangku kekuasaan maknawi. Menyatukan kekuasaan dunia dan kekuasaan maknawi tentu sulit dicapai. Karena itu, takdir Ilahi membuat mereka tidak menyukai dunia, dan menampakkan wajah buruk dunia kepada mereka
[1] Ada sejumlah hadits yang semakna, di antaranya; “Sungguh, Allah telah melenyapkan fanatisme jahiliyah dan membangga-banggakan leluhur dari diri kalian. Yang ada hanyalah mukmin yang bertakwa dan orang keji yang sengsara. Kalian semua anak-anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah” (Hr. al-Tirmidzi, hadits nomor 3890).
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, Rasulullah S.a.w bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru pada fanatisme, tidak termasuk golongan kami orang yang berperang karena fanatisme, dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati dengan berpegang teguh pada fanatisme” (Hr. Abu Dawud, bab: fanatisme, hadits nomor 4456).
67. Page
agar mereka sama sekali tidak terikat oleh dunia. Tangan mereka ditarik dari kekuasaan lahiriah yang hanya sementara. Mereka diberi tugas untuk membawahi kekuasaan maknawi yang senantiasa terang berkilau, sehingga mereka menjadi rujukan para wali qutub, bukannya penguasa-penguasa biasa.
Pertanyaan ketiga:
Kalian menanyakan: Apa hikmah di balik kezaliman tragis dan berat yang menimpa orang-orang penuh berkah itu?
Jawab:
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kekuasaan Umawiyah yang menyerang Husain memiliki tiga asas yang memicu mereka melakukan tindakan semena-mena:
Pertama, hukum politik yang zalim. Orang-orang tertentu sengaja dikorbankan demi keselamatan pemerintahan, agar rasa aman dan stabilitas negara senantiasa terjaga.
Kedua, raja Daulah Umawiyah bertumpu pada rasialisme dan nasionalisme. Mereka menjadikan hukum nasionalisme yang zalim sebagai pijakan. Mereka rela mengorbankan apa pun demi keselamatan umat.
Ketiga, kalangan Umawiyah memiliki persaingan yang sudah mendarah daging sejak dulu kala untuk melawan kalangan Hasyimiyah. Inilah yang mendorong sebagian mereka, seperti Yazid, melakukan kezaliman-kezaliman besar.
Keempat, sebagian pengikut Husain beranggapan bahwa kalangan Umawiyah menjadikan nasionalisme sebagai asas, mengelompokkan suku-suku lain sebagai kerajaan-kerajaan kecil, dan memandang mereka sebagai budak, hingga melukai perasaan mereka. Karena itulah, sejumlah suku memilih bergabung dengan kelompok Husain dengan membawa emosi dendam dan niat yang tidak tulus. Faktor ini lebih membangkitkan fanatisme keluarga Umawiyah, hingga menimbulkan tragedi yang terkenal ini secara zalim, mengerikan, dan tanpa belas kasih.
Empat faktor ini bersifat lahiriah. Selanjutnya ketika kita mencermati persoalan ini dari sisi takdir, kita akan melihat bahwa hasil-hasil baik akhirat, kekuasaan spiritual, dan peningkatan maknawi yang diraih Husain dan keluarganya di balik peristiwa memilukan ini, merupakan nilai luhur yang begitu agung, karena beban berat dan gangguan yang mereka rasakan akibat peristiwa ini tidaklah seberapa.
Laksana seorang prajurit yang gugur sebagai syahid akibat penyiksaan sesaat, ia meraih tingkatan yang hampir tidak bisa didapatkan oleh prajurit lain dalam jangka waktu puluhan tahun. Andai si prajurit ini ditanya setelah mati syahid, ia pasti berkata, “Dengan modal tidak seberapa, saya meraih banyak sekali hasil.”
68. Page
Pertanyaan keempat:
Sesungguhnya sebagian besar manusia akan masuk ke dalam agama kebenaran setelah Isa membunuh Dajjal di akhir zaman nanti. Namun, dalam sejumlah riwayat disebutkan, kiamat tidak akan terjadi selama di muka bumi masih ada orang yang mengucapkan, “Allah, Allah.”[1] Bagaimana bisa mereka semua masuk ke dalam kekafiran setelah sebelumnya beriman?
Jawab:
Orang-orang lemah iman menganggap mustahil riwayat yang disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi Isa a.s akan turun di akhir zaman, untuk menerapkan syariat Islam dan membunuh Dajjal. Andaikan hakikat ini dijelaskan dengan baik, tentu tidak akan ada lagi anggapan mustahil demikian. Jelasnya sebagai berikut:
Hadits-hadits seputar orang bernama Sufyan dan Imam Mahdi ini menunjukkan:
Di akhir zaman, akan ada dua aliran kuat tanpa-agama (ilhad) yang semakin menguat.
Aliran Pertama: Sosok yang ditakuti bernama Sufyan akan memimpin orang-orang munafik. Dia mengingkari risalah Muhammad S.a.w dengan bersembunyi di balik kemunafikan. Dia berusaha menghancurkan syariat Islam. Selanjutnya, sebagai lawannya, akan muncul sosok bercahaya dari kalangan ahlul bait bernama Muhammad al-Mahdi. Dia inin akan memimpin para wali dan orang-orang sempurna yang terikat dengan silsilah ahlul bait nabawi yang bercahaya. Dia akan melenyapkan aliran kemunafikan. Dialah sosok kolektif maknawi Sufyani, yang akan menghancur-lebur dan memporak-porandakan aliran tersebut.
Aliran Kedua: Aliran tirani yang bersikap seperti Namrud. Aliran ini muncul dari filsafat naturalis dan materialis, yang akan menyebar luas seiring waktu melalui perantara filsafat materialis, dan akan kian kuat di akhir zaman hingga sampai ke tahap mengingkari Tuhan.
Seorang primitif dan liar yang tidak mengakui adanya raja atau tidak mau menerima bahwa perwira dan prajurit yang ada di tengah-tengah pasukannya adalah prajuritnya, memberikan semacam kerajaan dan kekuasaan kepada setiap orang dan prajurit. Persis seperti itulah para anggota aliran
[1] Diriwayatkan dari Anas, Rasulullah Saw. bersabda, “Kiamat tidak terjadi hingga di bumi tidak ada yang mengucapkan, ‘Allah’.” Hr. Muslim, hadits nomor 149, Hakim dalam al-Mustadrak, hadits nomor 8515, Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, hadits nomor 6849, at-Tirmidzi dalam sunannya, hadits nomor 2207, Abu Awanah dalam musnadnya, hadits nomor 294, Abu Ya’la dalam musnadnya, hadits nomor 3526, Imam Ahmad dalam musnadnya, hadits nomor 12062, 13104.
69. Page
tersebut mengingkari keberadaan Tuhan. Masing-masing mereka memberikan ketuhanan kepada diri sendiri seakan-akan mereka adalah Namrud-Namrud kecil.
Sementara Dajjal, pembesar aliran ini, akan mengatur dan memimpin, akan menampilkan hal-hal luar biasa seperti menghadirkan ruh, menghipnotis, dan lain sebagainya. Bahkan dia akan melampaui batas lebih jauh. Dia membayangkan kekuasaannya yang palsu dan tirani itu semacam ketuhanan, dan menyatakan diri sebagai tuhan. Betapa dungu, hina dan bodohnya dia! Sebab, manusia lemah tak berdaya, yang tak berdaya di hadapan seekor lalat karena tak mampu bahkan sekedar menciptakan sayap lalat sekali pun, malah mengaku sebagai tuhan.
Dalam situasi seperti ini, ketika kelak aliran tersebut kokoh sekali, akan muncul agama Isa yang sebenarnya, yang merupakan sosok kolektif maknawi Nabi Isa a.s. Yakni, Nabi Isa akan turun dari langit Rahmat Ilahi. Agama Nasrani yang ada saat ini akan dibersihkannya di hadapan realitas tersebut. Dia akan membuang berbagai khurafat dan penyimpangan darinya, dan menyatukannya dengan kebenaran-kebenaran Islam. Agama Nasrani akan berubah menjadi semacam Islam. Dia akan mengikuti al-Qur’an. Sosok kolektif maknawi agama Isa itu pun akan berkedudukan sebagai pengikut, sementara Islam akan berkedudukan sebagai yang diikuti.
Sebagai hasil dari penggabungan ini, agama yang benar akan menemukan kekuatannya yang sangat dahsyat; Meskipun sebelumnya kalah saat berbeda dan terpecah belah menghadapi aliran ateis tersebut, agama Nasrani dan Islam akan memiliki kemampuan untuk mengalahkan dan menghancurkan aliran tersebut kala keduanya menyatu. Maka sosok Isa a.s, yang kini berada di alam langit dengan raga manusiawinya, memegang kendali kepemimpinan aliran agama yang benar ini berdasarkan janji dari Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, sang pemberi kabar yang benar. Karena itu, berarti berita tersebut benar adanya. Dan karena Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu menjanjikan demikian, berarti janji-Nya pasti terwujud.
Setiap saat Allah Yang Maha Bijak Maha Perkasa mengutus para malaikat dari langit turun ke bumi, terkadang dalam wujud manusia seperti ketika Jibril a.s turun berwujud Dihyah r.a, serta mengirim ruh-ruh dari alam spiritual dengan menjadikan mereka berwujud manusia. Bahkan, kadang-kadang Dia mengirim ruh sebagian besar wali yang sudah wafat ke dunia ini dengan jasad-jasad perumpamaan mereka. Karena itulah, bukan mustahil bagi hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu untuk mengirim Nabi a.s Isa yang masih hidup dan berada di langit dunia dengan jasadnya demi sebuah tujuan akhir terbaik yang sangat penting dan agung, khusus bagi agama Isa a.s. Bahkan, andaikan Nabi Isa telah pergi ke ujung alam akhirat dan benar-benar sudah mati sekalipun, tidak mustahil bagi hikmah Allah Yang Maha Bijaksana tersebut untuk sekali lagi mengenakan raga jasad ke Nabi Isa dan
70. Page
mengirimnya ke dunia demi sebuah tujuan akhir yang besar semacam itu. Bahkan Allah S.w.t telah menjadikan hal demikian sesuai tuntutan hikmah-Nya. Karena Allah sudah berjanji, Dia tak diragukan lagi pasti akan menurunkan kembali Nabi Isa.
Setelah Isa datang, tidak penting bagi setiap orang untuk mengetahui apakah dia adalah Isa hakiki atau bukan. Yang mengenalnya hanyalah orang-rang dekatnya dan orang-orang pilihannya, melalui cahaya iman. Tidak ada terbukti dengan sendirinya sehingga setiap orang bisa mengetahuinya.
Pertanyaan:
Terdapat sejumlah riwayat yang mengatakan, “Dajjal memiliki surga palsu di mana dia memasukkan orang yang mengikutinya, dan dia juga memiliki neraka palsu di mana dia memasukkan orang yang tidak mengikutinya. Bahkan, ia menjadikan salah satu telinga kuda tunggangannya bagaikan surga dan telinga lainnya seperti neraka… Besar badannya begini dan begitu…” Adakah penjelasannya?
Jawab: Bentuk lahiriah Dajjal sama seperti manusia biasa. Hanya saja ia arogan dan seperti Firaun, melupakan Allah S.w.t, sehingga disebut setan dungu dan manusia penipu yang menyematkan nama tuhan pada kekuasaannya yang palsu dan tirani. Hanya saja aliran ateisnya yang besar, sosok kolektif maknawinya, sangat besar. Ciri-ciri luar biasa Dajjal yang disebutkan dalam sejumlah riwayat mengisyaratkan hal itu. Dajjal digambarkan dalam sosok seorang panglima besar Jepang, salah satu kakinya berada di Lautan Pasifik dan kaki satunya lagi berada di Port Arthur,[1] di mana jarak antara kedua tempat ini sejauh perjalanan sepuluh hari. Gambaran panglima Jepang yang bertubuh kecil ini menunjukkan sosok kolektif maknawi dari pasukannya.
Adapun surga palsu Dajjal adalah berbagai hiburan yang memikat dan rayuan peradaban yang menyihir penuh tipuan. Kuda tunggangannya adalah alat-alat transportasi seperti kereta api yang di bagian lokomotifnya terdapat alat pemantik api. Orang-orang yang tidak mau mengikuti Dajjal akan dimasukkan ke sana. Salah satu telinga kuda tunggangan ini terlihat seperti surga, di mana para pengikutnya duduk. Kereta api, yang merupakan alat transportasi penting peradaban modern yang tak bermoral dan kejam, memberikan surga palsu bagi orang-orang dungu dan para ahli dunia . Namun bagi para pengikut agama dan Islam seperti malaikat-malaikat neraka, ia mendatangkan bahaya melalui peradaban itu, serta melemparkan mereka ke dalam tahanan dan kemiskinan.
Agama hakiki bagi Isawiyah yang, setelah kemunculan dan perubahannya ke Islam, di tangan pemangkunya a.s memang berhasil menyebarkan cahaya ke sebagian besar umat manusia di dunia.
[1] Pelabuhan di China, yang memiliki benteng, berhasil direbut Jepang dalam Perang Dunia pertama.
71. Page
Namun demikian, aliran ateis kelak menjelang Kiamat akan muncul kembali serta berkuasa secara dominan. Sesuai kaidah, “Kekuasaan milik mayoritas” (الحكم للاكثر), maka tak seorang pun di muka bumi ini mengucapkan, “Allah, Allah.” Maksudnya, tidak ada yang mengucapkan, “Allah, Allah,” secara berjamaah hingga menimbulkan efek luar biasa di tengah masyarakat. Tapi para pengikut kebenaran yang jumlahnya kecil dan minoritas akan tetap bertahan hingga kiamat. Hanya saja, sesaat sebelum terjadinya Kiamat, sebagai tanda rahmat Ilahi, ruh orang-orang beriman terlebih dahulu dicabut agar mereka tidak melihat huru-hara Kiamat yang mengerikan, sehingga Kiamat hanya menimpa orang-orang kafir.
Pertanyaan Kelima: Apakah ruh-ruh yang abadi itu terpengaruh oleh kejadian-kejadian Kiamat?
Jawab: Ya, mereka pasti terpengaruh sesuai tingkatan mereka. Mereka akan terpengaruh seperti halnya mereka terpengaruh secara khusus oleh manifestasi-manifestasi murka para malaikat. Seperti halnya seseorang yang berada di tempat hangat akan merasa tersiksa akal dan nuraninya ketika melihat seseorang yang gemetar kedinginan di luar akibat hujan salju, demikian pula halnya ruh yang memiliki perasaan dan kesadaran.
Sejumlah isyarat al-Qur’an menjelaskan, ruh pasti terpengaruh oleh kejadian-kejadian jagad raya sesuai tingkatannya, karena ruh memiliki hubungan dengan jagad raya. Jika termasuk golongan yang akan mendapatkan siksa, ia terpengaruh dengan menderita karena kejadian-kejadian tersebut. Di sisi lain, jika termasuk golongan bahagia, ia terpengaruh dengan merasa kagum dan takjub, bahkan mendapat kegembiraan. Al-Qur’an menyebutkan keajaiban-keajaiban hari Kiamat dengan gaya bahasa yang selalu mengancam; ia mengatakan, “Kalian pasti melihatnya” (لترونها). Sementara orang-orang yang melihat langsung kejadian Kiamat secara fisik, merekalah orang-orang yang hidup saat Kiamat terjadi. Dengan demikian, ruh-ruh yang jasadnya rusak di dalam kubur juga mempunyai andil merasakan ancaman al-Qur’an tadi.
Pertanyaan Keenam:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Qs. al-Qashash [28]: 88)
Apakah ayat ini mencakup surga, neraka, dan para penghuninya, ataukah tidak?
Jawab: Persoalan ini menjadi inti pembicaraan sebagian besar sarjana, para sufi, dan wali. Pendapat itu adalah pendapat mereka mengenai masalah ini.
72. Page
Lebih dari itu, ayat ini memiliki jangkauan luas dan tingkatan-tingkatan yang banyak. Sebagian besar sarjana menyatakan, ayat itu mencakup alam baqa. Sebagian yang lain menyatakan, alam baqa juga tertimpa kehancuran hingga batas tertentu dalam waktu sangat singkat. Kehancuran ini terjadi hanya sesaat hingga seakan-akan tidak terasa bahwa mereka telah dimusnahkan dan telah dikembalikan.
Adapun kefanaan mutlak yang dinyatakan sebagian ahli mukasyafah yang berpikiran ekstrem, itu tidak benar. Karena Zat Allah S.w.t kekal dan abadi, maka Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya juga kekal dan abadi. Karena Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kekal abadi, maka mereka yang kekal abadi di alam baqa yang merupakan cerminan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, juga merupakan manifestasi, ukiran, dan tempat penampakannya, mestinya tidak mungkin lenyap menuju kefanaan mutlak.
Saat ini terlintas di benak saya dua poin yang bersumber dari luapan al-Qur’an Hakim. Berikut akan saya tulis secara garis besar:
Pertama, Sang Maha Benar S.w.t berkuasa secara mutlak, di mana wujud (ada) dan ‘adam (tiada) bagi kuasa dan kehendak-Nya laksana dua posisi. Dia memberi dan menarik sesuatu dari keduanya dengan mudah sekali. Jika berkehendak, Dia kuasa untuk menarik segala sesuatu dari keduanya dalam sehari. Jika berkehendak lain, Dia bisa melakukan itu dalam sekejap.
Selanjutnya, ketiadaan mutlak sama sekali tidak memiliki wujud, karena pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Dan di luar lingkup pengetahuan Ilahi sama sekali tidak ada sesuatu pun yang bisa di tempatkan di sana. Sementara ketiadaan yang berada dalam lingkup pengetahuan-Nya, adalah ketiadaan eksternal dan pertanda bagi sesuatu yang tertutup namun ada dalam pengetahuan Ilahi. Bahkan sekelompok sarjana menyebut wujud-wujud yang ada dalam pengetahuan Ilahi ini sebagai “realitas terpendam” (a’yan tsabitah).
Bagaimana pun, pergi menuju kefanaan berarti melepaskan pakaian luar sesaat dan masuk ke dalam wujud pengetahuan-Nya serta wujud maknawi. Artinya, orang-orang binasa dan fana meninggalkan wujud eksternal, sementara esensi mereka masuk ke dalam wujud maknawi; mereka keluar dari “lingkup kuasa Ilahi” dan masuk ke dalam “lingkup pengetahuan Ilahi.”
Kedua, seperti sudah kami jelaskan di banyak bagian al-Kalimat, tiap sesuatu fana menurut “makna kata” dan menurut aspeknya yang melihat pada dirinya sendiri. Dia tidak memiliki wujud yang tetap dan tersendiri pada dirinya. Dia juga tidak memiliki hakikat yang hidup dengan sendirinya dan satu-satunya. Namun menurut aspeknya yang mengarah kepada Allah S.w.t, ia sama sekali tidak fana, yakni, jika menurut “makna harfiah,” dia bukannya tidak ada. Sebab, pada aspek itu terjelma manifestasi Nama-nama Abadi. Karena memiliki bayangan wujud abadi, aspek itu pun tidak lenyap.
73. Page
Dengan demikian, ia memiliki hakikat, yang adalah tetap, luhur, dan tinggi, karena ia adalah bayangan yang tetap sedemikian rupa bagi Nama al-Baqi (Sang Maha Abadi) yang menjelmakan manifestasinya di sana.
Selanjutnya, tentang ayat:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Qs. al-Qashash [28]: 88)
Ayat ini merupakan pedang untuk memotong tangan manusia dari apa pun selain Allah S.w.t. Hukum ayat ini mengarah pada segala yang fana di dunia, untuk memotong segala hubungan dan komunikasi yang tidak berada di jalan Allah S.w.t, serta segala hubungan dan komunikasi yang menyertai kefanaan di dunia yang fana ini. Dengan demikian, apa pun yang berada di jalan Allah, yang sesuai makna harfiahnya, dan yang dilakukan karena Allah, sama sekali tidak termasuk dalam segala sesuatu selain Allah hingga kepalanya harus dipotong dengan pedang ayat:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Qs. al-Qashash [28]: 88)
Kesimpulan: Ketika seseorang berada di jalan Allah S.w.t, dan ketika dia menemukan Allah, berarti dia “bukan yang lain” hingga kepalanya harus dipotong. Namun jika dia tidak menemukan Allah S.w.t dan tidak memperhatikan perhitungan Allah, berarti dia adalah “yang lain.” Seseorang harus menggunakan pedang: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَه), serta harus merobek tirai penutup agar dia menemukan Allah.
الباقي هو الباقي