Surat Kelima

23. Page

SURAT KELIMA

باسمه

 وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ

 

Dengan nama-Mu

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)

 

Imam Rabbani,[1] tokoh dan mentari rangkaian tarekat Naqsyabandiyah, menuturkan dalam al-Maktubat karyanya: “Saya lebih menyukai jelasnya dan tersingkapnya satu masalah kebenaran iman, ketimbang ribuan olah rasa batin (dzawq), laku ekstasi, dan karamah.”

Ia juga menyatakan, “Puncak seluruh tarekat sufi adalah jelasnya dan tersingkapnya hakikat keimanan.”

Ia juga menyatakan, “Kewalian ada tiga macam. Pertama, kewalian kecil, dan inilah yang masyhur. Kedua, kewalian pertengahan. Ketiga, kewalian besar. Kewalian besar adalah terbukanya jalan menuju hakikat secara langsung melalui jalur pewarisan pada nabi tanpa memasuki alam barzakh tasawuf.”

Ia juga menyatakan, “Pengamalan tarekat Naqsyabandiyah dilakukan dengan dua sayap. Yaitu, keyakinan yang benar dan kuat terhadap hakikat-hakikat keimanan, serta menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Jika terdapat kelemahan atau kekeliruan pada sayap-sayap ini, jangan tempuh jalan ini.”

Dengan demikian, dalam tarekat Naqsyabandiyah ada tiga derajat dan tingkatan:

Pertama, dan yang paling utama serta paling besar, adalah berkhidmat secara langsung dalam hakikat keimanan. Imam Rabbani sendiri menempuh jalan ini menjelang tutup usianya.

Kedua, berkhidmat dalam kewajiban-kewajiban agama dan Sunnah mulia di bawah tirai tarekat sufi.

Ketiga, berusaha melenyapkan segala penyakit hati melalui tarekat sufi, menempuh tarekat ini dengan langkah hati.

Dari ketiganya, yang pertama laksana amalan fardhu, yang kedua laksana amalan wajib, dan yang ketiga laksana amalan sunah.



[1] Syaikh Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin al-Faruqi al-Sirhandi, dikenal sebagai reformis milenium kedua. Ia seorang alim, arif, dan sempurna. Nasabnya tersambung sampai ke Umar bin Khaththab al-Faruq r.a. Ia lahir pada tahun 971 H.




24. Page

Jika demikian hakikatnya, maka saya yakin bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syah al-Naqsyabandi, Imam Rabbani, semoga Allah meridhai mereka, dan para pembesar seperti mereka lainnya di zaman ini, telah mencurahkan segenap fikiran dan usaha mereka demi memperkokoh hakikat-hakikat iman dan akidah Islam, karena inilah faktor penyebab kebahagiaan abadi sekaligus pusatnya. Terjadinya kekeliruan atau kelalaian dalam hal ini akan berimbas pada kesengsaraan abadi.

Mustahil masuk surga tanpa iman, namun banyak sekali orang yang masuk surga tanpa tasawuf. Mustahil orang hidup tanpa roti, namun ia bisa hidup tanpa buah. Tasawuf adalah buah, dan hakikat-hakikat Islam itulah makanan.

Pada masa lalu, menapak naik ke sebagian hakikat iman hanya mungkin dilakukan seseorang dengan menempuh perjalanan dan suluk selama empatpuluh hari hingga empatpuluh tahun dalam tasawuf. Namun saat ini, berkat rahmat Allah S.w.t, seseorang dapat menempuh perjalanan naik ke hakikat-hakikat tersebut hanya dalam waktu empatpuluh detik. Maka sudah pasti tidak masuk akal untuk tetap acuh tak acuh terhadap itu. Siapa pun yang membaca ketigapuluh tiga bagian dari kitab al-Kalimat[1] dengan seksama, pasti akan mengakuinya membuka jalan Qur’ani seperti jalan ini.

Karena hakikatnya demikian, saya yakin secara pasti bahwa al-Kalimat yang ditulis untuk menjelaskan rahasia-rahasia al-Qur’an, itulah obat paling manjur, balsam terbaik untuk luka-luka zaman ini, cahaya paling berguna untuk masyarakat Islam yang menghadapi serangan-serangan kegelapan, guru paling lurus dan penuntun paling benar bagi siapa pun yang jatuh gamang di balik lembah kesesatan.

Kalian mengetahui, kesesatan yang muncul akibat kebodohan mudah dihilangkan. Namun, jika kesesatan itu muncul karena ilmu dan pengetahuan, tentu itu sulit sekali dihilangkan.

Pada masa lalu, golongan kedua ini tak banyak adanya, hanya satu banding seribu, dan dari yang ada hanya satu per seribu yang mendapat petunjuk ke kebenaran, karena orang-orang seperti ini terpedaya oleh diri sendiri. Mereka sebenarnya tidak mengetahui, namun merasa mengetahui.

Saya yakin, Allah telah menganugerahkan al-Kalimat sebagai pengetahuan yang bersumber dari kilauan-kilauan cahaya kemukjizatan maknawi al-Qur’an, obat penangkal khusus melawan kesesatan atheisme zaman sekarang.

 

الباقي هو الباقي

Sa’id Nursi


[1] Maksudnya Risalah al-Nur.