NAVIGATION
36. Page
SURAT KESEMBILAN
باسمه وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ
Dengan Nama-NyaDan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)
Bagian dari risalah yang dikirimkan (Imam Badiuzzaman Sa’id Nursi) kepada murid beliau yang tulus ikhlas:
Pertama, semangat, kegigihan, dan kerinduanmu untuk menyebarkan cahaya al-Qur’an merupakan kemuliaan Ilahi, bahkan karamah qur’ani dan pertolongan rabbani. Selamat untukmu. Berbicara tentang karamah (karamah), anugerah kemuliaan (ikram), dan pertolongan (‘inayah), berikut ini akan saya sampaikan perbedaan antara karamah dan anugerah kemuliaan:
Memperlihatkan karamah akan berbahaya jika dilakukan ketika tak diperlukan, sementara memperlihatkan anugerah kemuliaan (ikram) termasuk dalam pengertian membicarakan nikmat (tahadduts bi al-ni’mah). Ketika karamah atau hal luar biasa terjadi pada seseorang, dan ia menyadari hal itu, sementara nafsu amarah masih bercokol dalam dirinya, tidak tertutup kemungkinan hal luar biasa tersebut menjadi istidraj. Sebab, ia sudah mempersiapkan diri sebelumnya untuk itu, lalu ia menjadikan kejadian luar biasa tersebut sebagai tumpuan, lantas ia menyebarluaskan karamah tersebut, hingga membuatnya terperosok dalam sikap terpedaya.
Namun, berbeda halnya ketika terjadi hal luar biasa pada seseorang sementara ia tidak mengetahuinya. Misalkan di hatinya tersimpan suatu pertanyaan, lalu ia memberikan jawaban yang tepat, setelah itu ia mengetahui kondisi lur biasa ini hingga membuatnya semakin bergantung kepada Allah, bukan pada dirinya sendiri. Setelah mengetahui adanya kejadian luar biasa yang dialaminya, ia pun mengatakan, “Saya memiliki Penjaga yang merawat saya, lebih dari diri saya sendiri,” sehingga kejadian tersebut semakin membuatnya bertawakal kepada Allah. Inilah karamah yang tidak terlarang, dan orangnya pun tidak diharuskan untuk menutupi kejadian seperti ini. Hanya saja sebaiknya diusahakan karamah itu tidak ditampak-tampakkan demi membanggakan diri. Sebab, orang yang masuk ke dalamnya terkadang menisbahkannya kepada dirinya sendiri disebabkan usaha manusia.
Sementara anugerah kemuliaan (ikram) lebih terhindar dari bagian karamah kedua, bahkan menurut saya tingkatannya lebih tinggi.
Untuk itu saudaraku, segala kebaikan dan nikmat Ilahi yang saya lihat dan saya tulis sejak dulu kala, khususnya yang berkenaan dengan saya dan juga kamu, terutama terkait dakwah al-Qur’an yang
37. Page
kita sebarkan, semua ini merupakan anugerah kemuliaan Ilahi. Memperlihatkan anugerah kemuliaan ini sama seperti membicarakan nikmat. Karena itulah saya mengatakan kepadamu bahwa taufiq yang kita berdua miliki dalam menyebarkan dakwah al-Qur’an ini merupakan bagian dari membicarakan nikmat. Saya tahu, kata-kata ini akan menimbulkan dorongan rasa syukur dalam dirimu, bukan rasa bangga.
Kedua, menurut saya, orang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang menganggap dan meyakini dunia sebagai ruang tamu militer, menyerahkan dirinya dan bertindak sesuai dengannya. Dengan keyakinan ini, ia dengan cepat akan meraih ridha Allah yang merupakan tingkatan terbesar. Orang tersebut tidak membeli kaca yang bisa pecah dengan nilai seharga berlian yang abadi. Dia pun akan mampu menjalani kehidupan secara istiqamah dan nikmat.
Ya, segala urusan dunia laksana kaca yang pasti pecah kapan pun juga, sementara segala urusan akhirat yang kekal abadi laksana nilai emas yang mulus tanpa cacat. Segala emosi dan perasaan kuat dalam fitrah manusia, seperti keingintahuan yang amat kuat, cinta, ambisi dan keinginan yang kuat, semua ini semata diberikan untuk meraih hal-hal akhirat.
Karena itu, mengarahkan perasaan dan emosi-emosi tersebut secara kuat ke arah hal-hal duniawi, sama dengan membeli kaca yang bisa pecah dengan nilai seharga emas yang abadi. Terkait hal ini, sebuah poin terlintas dalam benak saya sebagai berikut:
Rindu mendalam (‘isyq) adalah cinta yang begitu bergairah. Ketika cinta ini diarahkan pada kekasih-kekasih yang fana, ia akan membawa orang menuju siksaan dan derita abadi, atau mungkin mendorong orang untuk mencari kekasih abadi, karena kekasih metaforis tidak berhak mendapatkan cinta bergairah tersebut. Saat itulah, ‘isyq metaforis berubah menjadi ‘isyq sejati.
Manusia memiliki ribuan perasaan dan emosi, masing-masing memiliki dua tingkatan, seperti halnya ‘isyq; salah satunya metaforis dan satunya lagi sejati. Misalnya, perasaan risau terhadap masa depan terdapat pada setiap orang. Ketika seseorang merasakan keresahan berat terhadap masa depan, ia melihat tangannya seakan terbelenggu tanpa memiliki sandaran untuk menggapai masa depan yang meresahkannya.
Masa depan jangka pendek yang berada dalam jaminan rizki sesungguhnya tak patut disikapi seseorang dengan keresahan berlebihan seperti itu. Karena itu, ia mesti mengalihkan wajah dari masa depan seperti ini, dan beralih ke masa depan hakiki di balik alam kubur yang begitu jauh, yang tidak dijamin bagi mereka yang lalai.
Orang memburu harta benda dan kedudukan dengan ambisi kuat. Setelah merenungkan dengan baik, ia sadar bahwa harta fana yang ia bayangkan hanya bersifat sementara, hanya reputasi
38. Page
yang menyimpan banyak kehancuran, hanya posisi yang menyelipkan banyak celah yang menggelincirkan karena memicu sikap pamrih yang sama sekali tidak berhak mendapat perhatian besar dan ambisi sekuat itu. Maka, ia pun mengalihkan ambisinya menuju tingkatan-tingkatan maknawi, derajat-derajat kedekatan dengan Allah, dan bekal akhirat yang merupakan wibawa hakiki dan amal shalih yang merupakan harta sebenarnya. Dengan demikian, ambisi metaforis yang merupakan sifat tercela, berubah menjadi ambisi hakiki yang merupakan sifat terpuji dan luhur.
Contoh lain, orang mengalihkan segala perasaan dan emosinya menuju hal-hal yang tak berguna, fana, dan sepele, dengan sikap keras kepala yang besar. Setelah memperhatikan dengan baik, ternyata ia menyadari bahwa satu tahun penuh yang dihabiskannya untuk ambisi meraih sesuatu yang semenit sesungguhnya tak patut disikapi dengan ambisi sebesar itu. Waktu selama itu dihabiskankannya untuk tetap mempertahankan hal yang justru berbahaya dan beracun.
Ia juga menyadari bahwa perasaan dan emosi kuat tersebut tak patut diberikan untuk hal-hal semacam itu. Tidak bijak dan tidak benar jika perasaan dan emosinya dialihkan untuk hal tersebut. Maka, ia pun tidak mengarahkan semangat dan ambisinya yang kuat tersebut untuk hal-hal tak berguna dan fana, tapi dialihkankannya untuk hakikat-hakikat keimanan, asas-asas Islam, dan amalan-amalan akhirat yang luhur dan kekal abadi.
Dengan demikian, kekeras-kepalaan metaforis yang merupakan sifat tercela dan hina, berubah menjadi kekeras-kepalaan hakiki yang merupakan sifat terpuji dan baik. Dengan kata lain, ambisi metaforis berubah menjadi ketegaran yang kokoh dalam berpegang teguh pada kebenaran.
Ketika manusia menggunakan berbagai perangkat maknawi demi hawa nafsu dan dunia seperti yang tertera dalam tiga contoh di atas, bertingkah laku secara lalai seakan hidup kekal abadi di dunia, maka perangkat-perangkat tersebut justru menjadi sumber akhlak hina, segala kehinaan, tindakan berlebihan dan perbuatan sia-sia.
Namun, ketika perangkat-perangkat kecilnya dialihkan untuk hal-hal duniawi, sementara perangkat-perangkat yang besar dan kuat dialihkan untuk tugas-tugas akhirat serta peran-peran maknawi, maka perangkat-perangkat tersebut akan menjadi sumber akhlak terpuji, menjadi jalan menuju kebahagiaan dunia-akhirat, selaras dengan hikmah dan hakikat.
Demikianlah, saya meyakini bahwa salah satu faktor mengapa nasehat yang disampaikan pada zaman sekarang ini tidak menggugah adalah, karena mereka berkata kepada orang-orang yang rusak akhlaknya, “Jangan mendengki! Jangan tamak! Jangan bermusuhan! Jangan membangkang! Jangan mencintai dunia!”
39. Page
Artinya, mereka menyampaikan nasehat agak mustahil yang secara lahiriah tidak mampu mereka lakukan menurut kacamata mereka, seakan-akan mereka menekankan orang-orang buruk akhlak untuk berubah watak. Apabila kata-kata yang mereka sampaikan seperti ini, “Alihkan wajah perangkat-perangkat kalian ini ke segala urusan kebaikan dan kebajikan, dan ubahlah jalurnya,” niscaya saat itu nasehat akan mengena di hati, dan akan menjadi nasehat menurut pilihan dan kehendak mereka sendiri.
Ketiga, perbedaan antara “Islam” dan “iman” kini menjadi pusat pembahasan sebagian besar ulama Islam. Sebagian menganggap keduanya sama, yang lain mengatakan keduanya berbeda namun masing-masing tak terpisahkan satu sama lain. Mereka memunculkan beragam pemikiran dan pandangan yang berbeda seperti ini. Namun, saya memahami perbedaan Islam dan iman sebagai berikut:
Islam adalah preferensi (iltizam), sedangkan iman adalah keyakinan (idz’an). Dengan kata lain, Islam adalah bersandar pada kebenaran, berserah diri dan tunduk padanya. Sementara iman adalah menerima kebenaran dan membenarkannya.
Saya telah melihat, pada masa lalu orang-orang tak beragama dengan gigih mendukung dan membela hukum-hukum al-Qur’an. Artinya, dengan mengambil bagian dari kebenaran, orang-orang tersebut di satu sisi adalah muslim, sehingga mereka disebut “muslim tanpa iman.” Namun, saat ini saya melihat sebagian orang mukmin justru tidak membela dan menerapkan hukum-hukum Islam, sehingga mereka patut disebut “mukmin bukan muslim.”
Apakah iman tanpa Islam bisa membawa pada keselamatan?
Jawab: Seperti halnya Islam tanpa iman tidak dapat membawa pada keselamatan, demikian pula iman tanpa Islam juga tidak mungkin bisa membawa pada keselamatan.
Segala puji dan karunia hanya milik Allah, melalui luapan mukjizat maknawi al-Qur’an, tamsil-tamsil dalam Risalah al-Nur telah menjelaskan buah agama Islam, hakikat al-Qur’an serta hasilnya dengan sejelas-jelasnya dan panjang lebar sedemikian rupa sehingga bahkan jika ada seorang tak beragama sekali pun memahaminya, mustahil baginya untuk tidak bersimpati padanya. Selain itu, Risalah al-Nur juga telah menjelaskan dalil-dalil iman dan Islam serta bukti-buktinya melalui pembuktian yang kokoh, di mana jika ada orang non-muslim memahaminya, dia pasti akan membenarkannya. Meski tetap tidak masuk Islam, dia tanpa ragu mempercayainya.
Ya, al-Kalimat (dari Risalah al-Nur) telah menjelaskan buah iman dan Islam yang manis dan lezat laksana buah Thuba, pohon surga. Ia pun telah menjelaskan hasil-hasil iman dan Islam yang manis,
40. Page
seperti indahnya kebahagiaan dunia akhirat, sebab ia menginspirasikan perasaan-perasaan tak terbatas bagi siapa pun yang melihat dan mengetahuinya untuk membela, mendukung, dan berserah diri padanya. Ia juga telah menjelaskan bukti-bukti nyata iman dan Islam –sekokoh rangkaian seluruh wujud yang ada, dan sebanyak atom yang ada– melalui penjelasan yang membuahkan keyakinan dan keimanan yang kuat tak terbatas. Bahkan, saya terkadang berulang-ulang membaca syahadat dalam wirid Baha’iyah[1] dan mengucapkan:
على ذلك نحيا وعليه نموت وعليه نبْعث غدا
(dengan keyakinan itulah kita hidup, dengan keyakinan itu pula kita mati, dan dengan keyakinan itu pula kita akan dibangkitkan kelak). Ketika itulah saya merasakan loyalitas tanpa batas, di mana seandainya dunia dengan seluruh isinya diberikan kepada saya, saya tetap tidak akan mengorbankan satu pun hakikat iman, karena saya tidak bisa membayangkan seberapa menderitanya saya ketika menentang salah satu hakikat iman meski hanya semenit saja. Andai saja saya memiliki dunia dengan seluruh isinya, tanpa ragu-ragu lagi saya pasti akan menyerahkannya agar saya dapat menampilkan sebuah hakikat iman ke wujud nyata.
Ketika saya membaca,
وآمنا بما أرسلت من رسول وآمنا بما أنزلت من كتاب وصدقنا
(kami beriman kepada rasul yang Engkau utus, kami beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kami mempercayanya), saya merasakan keimanan kuat tanpa batas. Saya yakin, kebalikan semua hakikat iman secara logika mustahil, dan menurut saya, orang-orang sesat benar-benar bodoh dan gila.
Sampaikan salam saya kepada kedua orang tuamu, sampaikan penghormatan besar pada keduanya atas nama saya, mintakan doa untuk saya, sebab keduanya laksana kedua orang tua saya, karena kau adalah saudara saya. Dan sampaikan salam saya untuk seluruh penduduk perkampunganmu, khususnya mereka yang mendengar Risalah al-Nur darimu.
الباقي هو الباقي
S.N.
[1] Nisbat kepada syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari, pendiri tarekat Naqsyabandiyah.