NAVIGATION
53. Page
SURAT KETIGA BELAS
باسمه
وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)
السلام على من اتبع الهدى، والملام على من اتبع الهوى
Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada siapa pun yang mengikuti petunjuk, dan cela semoga menimpa siapa pun yang mengikuti hawa nafsu.
Saudara-saudaraku yang mulia!
Kalian sering kali menanyakan kondisi dan kenyamanan saya, juga mengapa saya tidak meminta pihak-pihak berwenang untuk mengeluarkan surat pembebasan untuk saya,[1] dan mengapa saya tidak peduli dengan kondisi dunia perpolitikan.
Karena pertanyaan-pertanyaan kalian ini banyak diulang-ulang, dan karena ditujukan kepada saya secara maknawi, akhirnya terpaksa saya harus memberikan jawaban melalui lisan Sa’id lama, bukan Sa’id baru.[2]
Pertanyaan pertama: Bagaimana kenyamanan dan kondisi Anda?
Jawab: Seratus ribu puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah yang telah mengubah bermacam kezaliman yang diperbuat para ahli dunia terhadap saya menjadi berbagai bentuk rahmat. Jelasnya sebagai berikut:
Ketika saya memikirkan tentang akhirat di salah satu gua di sebuah gunung, saat itu saya telah meninggalkan politik. Saya melepaskan diri dari dunia dan menjauhinya. Para ahli dunia mengeluarkan saya dari sana dengan semena-mena, dan mengasingkan saya. Namun, ternyata Sang Pencipta Maha Penyayang dan Bijaksana justru menjadikan pengasingan saya ini sebagai rahmat, mengubah pengucilan diri saya di gunung yang tidak aman, yang bisa saja menimbulkan berbagai faktor yang merusak keikhlasan, menjadi pertapaan di gunung Barla yang tenang dan membangkitkan keikhlasan.
Saat dulu saya menjadi tawan perang di Russia, saya sudah bertekad dan memohon kepada Allah untuk bisa menyendiri di akhir-akhir usia nanti di sebuah gua. Selanjutnya Sang Maha Penyayang
[1] Maksudnya surat pembebasan yang diberikan pihak pemerintah kepada orang-orang buangan agar kembali ke kampung halaman masing-masing.
[2] Periode usia sebelum empatpuluh tahun disebut Sa’id lama, dan setelah berusia empatpuluh tahun disebut Sa’id baru, karena saat itu beliau mengalami revolusi spiritual dan pemikiran, serta membidik ke arah baru.
54. Page
menjadikan Barla[1] sebagai gua yang saya inginkan itu, membuat saya bisa memetik manfaat yang saya harapkan di balik kesendirian saya di sana.
Meskipun berat menjalani kehidupan dalam gua, namun itu sama sekali tidak berpengaruh pada fisik saya yang lemah ini. Di Barla, terdapat tiga orang yang memiliki banyak sekali prasangka dan keraguan. Mereka menyakiti saya dengan prasangka-prasangka mereka yang tanpa dasar itu. Meski terdapat teman-teman saya yang memikirkan kenyamanan saya, namun karena prasangka-prasangka mereka inilah, mereka justru membahayakan hati saja sekaligus khidmah pengabdian al-Qur’an yang saya berikan.
Meski para ahli dunia memberikan surat pembebasan untuk orang-orang buangan, membebaskan para penjahat dari penjara, dan memberikan ampunan, namun mereka dengan semena-mena tidak memberikan surat yang sama kepada saya. Akhirnya, Sang Maha Pengasih menetapkan saya berada dalam keterasingan ini tanpa bahaya dan keresahan, mengubah kondisi ini menjadi rahmat besar agar saya bisa lebih banyak memberikan khidmah pengabdian al-Qur’an, dan membuat saya banyak menulis cahaya-cahaya qur’ani yang disebut “al-Kalimat.”
Selanjutnya, para ahli dunia mempersilahkan orang-orang buangan dari kalangan pemimpin dan syaikh yang memiliki pengaruh dan kekuatan untuk memasuki dunia mereka yang memungkinkan, di wilayah masing-masing. Mereka juga diizinkan ditemui seluruh kerabat dan kenalan. Sementara itu, para ahli dunia tetap mengasingkan saya secara zalim ke sebuah perkampungan nun jauh. Mereka tidak mengizinkan seorang keluarga pun, atau orang-orang kampung halaman saya, untuk menjenguk saya, kecuali hanya satu dua orang saja. Namun Sang Pencipta Maha Penyayang mengubah keterasingan ini menjadi rahmat bagi saya, karena Dia menjadikan fikiran saya suci dan bersih. Dia menjadikan kondisi ini sebagai sarana untuk menerima luapan al-Qur’an secara utuh, jauh dari segala rasa benci dan permusuhan.
Tidak cuma di situ. Para ahli dunia juga terus mencibir saya saat mulai menulis dua risalah biasa dalam waktu dua tahun. Bahkan sampai detik ini pun mereka tidak suka jika ada satu atau dua tamu mengunjungi saya sekali dalam sepuluh atau duapuluh hari sekali, atau bahkan satu bulan padahal untuk urusan akhirat. Mereka memperlakukan saya secara semena-mena. Namun Rabb Maha Penyayang dan Sang Pencipta Maha Bijaksana menjadikan kezaliman ini sebagai rahmat bagi saya, karena Dia menempatkan saya dalam khalwat yang dicita-citakan dan uzlah yang dapat diterima selama tiga bulan ini,[2] yang memberi saya usia maknawi sembilanpuluh tahun.
[1] Sebuah perkampungan nun jauh yang termasuk dalam wilayah kota Isparta.
[2] Rajab Sya’ban dan Ramadhan.
55. Page
Segala puji bagi Allah atas segala kondisi. Inilah kabar dan kenyamanan saya.
Pertanyaan kedua: Mengapa Anda tidak mengajukan permohonan surat pembebasan?
Jawab: Dalam persoalan ini, saya adalah pihak terhukum oleh takdir, bukan oleh para ahli dunia . Karena itu saya hanya merujuk kepada takdir, dan saya pun akan pergi meninggalkan tempat ini kala takdir mengizinkan, dan ketika rizki saya di sini sudah berakhir. Hakikat makna ini sebagai berikut:
Ada dua sebab di balik apa pun kejadian yang menimpa manusia. Salah satunya sebab lahiriah, dan satunya lagi sebab hakiki. Para ahli dunia adalah sebab lahiriah. Merekalah yang membawa saya ke tempat ini. Sementara takdir Ilahi adalah sebab hakiki. Takdir memutuskan saya untuk tinggal menyendiri di tempat ini. Sebab lahiriah memang berlaku secara semena-mena, namun sebab hakiki berlaku adil.
Sebab lahiriah berfikiran begini: “Orang ini bekerja demi ilmu dan agama dengan penuh keseriusan dan semangat.” Akhirnya ia membuang saya karena dikiranya saya akan ikut campur dalam urusan dunia mereka. Mereka menzalimi saya berlipat kali melalui tiga sisi.
Sementara takdir Ilahi melihat saya ini tidak akan mampu menjalankan tugas-tugas pengabdian ilmu dan agama dengan keikhlasan total. Akhirnya takdir memutuskan saya untuk diasingkan, mengubah kezaliman berlipat kali yang dilakukan para menjadi rahmat berlipat kali pula.
Saya lebih memilih merujuk pada takdir yang berkuasa untuk mengasingkan saya, dan takdir itu pun berlaku pada saya. Adapun sebab lahiriah menyelipkan banyak sekali hal tak berguna dan lemah yang dinilai sebagai alasan pembenar saja. Karena itu, tidak ada gunanya merujuk pada mereka. Andai saja mereka memiliki kebenaran atau alasan kuat, tentu bisa saja saya merujuk kepada mereka.
Meski saya sudah total meninggalkan dunia mereka biar dunia membinasakan mereka, dan meski saya sudah sepenuhnya meninggalkan dunia politik biar menjadi kehancuran bagi mereka sendiri, namun mereka tetap saja mengatur siasat dan memikirkan cara untuk membuat alasan-alasan dan dugaan-dugaan yang sama sekali tidak berdasar. Karena itulah saya tidak ingin memberikan nuansa kebenaran pada dugaan-dugaan semacam ini dengan merujuk mereka.
Andai saya mempunyai keinginan untuk memasuki politik dunia yang dikendalikan oleh pihak-pihak asing, tentu saya tidak perlu bersembunyi selama delapan tahun, bahkan meski hanya delapan jam saja, dan tentu saya sudah mencalonkan diri untuk tampil. Namun apa boleh dikata, saya sudah tidak memiliki keinginan untuk membaca satu koran pun sejak delapan tahun silam, dan saya pun tak pernah membacanya. Di tempat ini, sejak empat tahun silam, saya selalu diawasi, dan selama itu pula
56. Page
tak ada satu pun pertanda yang menunjukkan saya ingin terjun ke politik. Dengan kata lain, khidmah pengabdian al-Qur’an memiliki nilai luhur dan mulia jauh di atas seluruh politik, sehingga khidmah ini tidak membolehkan saya untuk menghinakan diri pada politik dunia yang sebagian besar merupakan kebohongan.
Alasan kedua mengapa saya tidak merujuk pihak-pihak berwenang untuk meminta surat pembebasan adalah, karena mengklaim kebenaran kepada orang yang menganggap kezaliman sebagai kebenaran adalah semacam kezaliman. Maka, saya pun tidak berminat melakukan tindakan zalim seperti itu.
Pertanyaan ketiga: Mengapa Anda tidak peduli dengan politik dunia hingga sedemikian rupa? Mengapa Anda tidak mengubah sikap terhadap peristiwa-peristiwa dunia? Apakah peristiwa-peristiwa dunia mengusik Anda, ataukah Anda diam karena takut?
Jawab: Kesibukan beramal di jalan dakwah al-Qur’an sangat keras mencegah saya untuk berkecimpung, bahkan membuat saya lupa untuk sekedar memikirkan, dunia politik. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam kehidupan saya merupakan bukti bahwa rasa takut tak mampu merenggut tangan saya, tak bisa menghalangi saya untuk menempuh jalan yang menurut saya benar, dan tidak akan bisa.
Apa yang saya takutkan, dan mengapa saya harus takut? Saya sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan dunia selain sebatas ajal saya. Saya pun tidak punya anak-istri untuk saya fikirkan, tidak punya harta benda untuk saya risaukan. Saya sama sekali tidak memiliki fikiran terkait kemuliaan harta benda dan keluarga.
Semoga Allah merahmati siapa pun yang membantu saya untuk meruntuhkan reputasi dan ketenaran duniawi yang merupakan ketenaran palsu dan pamrih. Yang tersisa tidak lain hanyalah ajal saya yang sepenuhnya berada di tangan Sang Pencipta. Siapa gerangan yang mampu ikut campur dalam urusan ajal saya ketika belum tiba. Kami lebih memilih mati mulia daripada hidup hina.
Sebagian di antara mereka, seperti Sa’id lama, menyatakan:
وَ نَحْنُ أنَاسٌ لا تَوَسُّطَ بيننا لنا الصَّدْرُ بَينَ العاَلَمِين أو القَبْرُ
Kami adalah sekelompok orang yang tidak kenal pertengahan
Kami berada paling depan di bawah seluruh alam atau alam kubur.[1]
Lebih dari itu, kesibukan demi al-Qur’an menghalangi saya untuk memikirkan kehidupan sosial politik umat manusia. Alasannya:
[1] Bait syair karya Abu Faras al-Hamdani dalam Diwan-nya.
57. Page
Kehidupan umat manusia adalah sebuah perjalanan. Dengan cahaya al-Qur’an, saya melihat di zaman sekarang ini bahwa jalan yang ditempuh sudah mencapai lumpur. Umat manusia berjalan tak tentu arah dan tergelincir di tengah lumpur yang kotor dan bau. Namun, sebagian dari mereka meniti jalan yang aman dan selamat, sebagiannya lagi menemukan cara untuk melepaskan diri dari tanah dan lumpur itu, tapi sebagian besar dari mereka lebih memilih berjalan di tengah lumpur yang pesing di tengah kegelapan. Karena mabuk, duapuluh persen dari mereka mengira bahwa tanah berlumpur yang bau itu adalah minyak kasturi dan ambar. Mereka mengoleskan lumpur-lumpur bau itu ke wajah dan mata. Mereka tetap berjalan dan sering kali jatuh tergelincir hingga terjerembab. Delapanpuluh persen sisanya benar-benar tenggelam di dalam lumpur. Mereka sadar bahwa lumpur tersebut bau dan kotor. Hanya saja mereka bingung, tidak bisa melihat mana jalan yang aman dan selamat.
Ada dua terapi untuk orang-orang seperti ini:
Pertama, menyadarkan duapuluh persen yang mabuk di antara mereka dengan palu.
Kedua, memperlihatkan jalan aman bagi mereka yang bingung dengan menampakkan cahaya kepada mereka.
Saat mencermati, saya melihat delapanpuluh orang memegang palu menghampiri duapuluh orang lainnya. Hanya saja cahaya tidak muncul dengan sebenarnya bagi delapanpuluh persen orang malang dan bingung itu. Bahkan andaipun cahaya muncul, tetap saja tidak memberikan rasa aman karena mereka memegang cahaya dan tongkat sekaligus. Orang yang bingung merasa resah dan berjaga-jaga seraya mengatakan, “Apakah gerangan dia membiarkanku dalam kegelapan dan menarikku dengan cahaya untuk selanjutnya dia akan memukulku dengan palu?!”
Palu kadang pecah saat dipukulkan ke obyek yang menghalangi atau ke sebagian permasalahan, sehingga cahaya pun lenyap atau padam.
Lumpur yang dimaksud adalah kehidupan sosial umat manusia yang keji, fasik, lalai, dan berjalan dalam kegelapan.
Mereka yang mabuk itu adalah orang-orang bandel penikmat kesesatan.
Mereka yang bingung itu adalah orang-orang yang tidak menyukai kegelapan, hanya saja tidak mampu keluar dari sana. Mereka ingin melepaskan diri namun tidak tahu jalan, sehingga mereka bingung.
Palu-palu itu adalah aliran-aliran politik.
Cahaya-cahaya itu adalah kebenaran-kebenaran al-Qur’an yang tak bisa dihadapi dengan perdebatan atau permusuhan. Tak ada yang membencinya selain setan yang terkutuk.
58. Page
Karena itulah saya mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan dan politik” (أعُوذُ بِاللهِ من الشَّيطَان و من السَّيَاسَةِ) agar tangan saya bisa selalu berpegangan pada cahaya al-Qur’an. Palu politik sengaja saya buang agar bisa berpegangan penuh pada cahaya al-Qur’an itu dengan kedua tangan.
Di antara seluruh aliran politik, baik yang bersikap pro maupun kontra, saya melihat sekian orang yang merindukan cahaya al-Qur’an. Untuk itu, kubu mana pun atau kelompok mana pun tidak perlu membatasi diri atau berhati-hati untuk menerima pelajaran al-Qur’an yang disampaikan.
Cahaya-cahaya al-Qur’an yang diungkap di tingkatan yang suci dan bersih berada jauh di atas seluruh aliran politik, jauh dari konsep-konsep politik yang menjurus ke arah tertentu. Tak ada yang mencurigai pelajaran dan cahaya ini selain setan-setan dalam wujud manusia atau hewan-hewan dalam bentuk manusia yang mengira perilaku kemunafikan sebagai politik, lalu mereka bergabung di sana.
Karena menjauhi dunia politik, alhamdulillah saya tidak menurunkan hakikat-hakikat al-Qur’an yang harganya selaksa emas ke tingkatan senilai potongan kaca di bawah tuduhan propaganda politik. Bahkan, seiring waktu berjalan, nilai emas-emas itu kian melonjak naik di mata setiap kelompok dalam bentuk yang terang dan berkilau.
الحمد لله الذي هدانا لهذا و ما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله
لقد جاءت رسل ربنا بالحق
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke sini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.
الباقي هو الباقي
S.N