Surat Ketujuh

30. Page

SURAT KETUJUH

باسمه

 وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ

Dengan nama-Mu

Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Qs. al-Isra’ [17]: 44)

 

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Saudara-saudaraku yang terhormat! Kalian menitipkan dua hal kepada Hafizh Taufiq Syami untuk ia sampaikan kepadaku:

Pertama, orang-orang sesat di zaman sekarang ini menemukan celah di balik pernikahan Rasulullah S.a.w dengan Zainab untuk mereka kritik, sama seperti yang dilakukan orang-orang munafik di masa lalu. Mereka mengira pernikahan ini dilakukan oleh Rasulullah karena dorongan syahwat dan hawa nafsu?

Jawab: Seratus ribu kali mustahil Rasulullah S.a.w seperti itu! Bagaimana mungkin syubhat-syubhat hina dan rendahan seperti itu bisa menodai kain sarung (baca: kehormatan) beliau yang suci?!

Rasulullah S.a.w yang menjaga diri secara sempurna, sebagaimana diakui kawan maupun lawan, di kala hasrat naluri tengah bergolak, kala gejolak jiwa tengah membara, sejak usia limabelas hingga empatpuluh tahun. Beliau merasa cukup dengan seorang istri yang lebih tepat disebut sebagai wanita tua seperti Khadijah al-Kubra r.a.

Perlu saya sampaikan, pernikahan poligami sosok agung Rasulullah S.a.w dengan Zainab setelah beliau berusia lebih dari empatpuluh tahun, usia di mana hasrat naluri dan gejolak jiwa sudah mulai terhenti, semata beliau jalani karena suatu misi. Bagi siapa pun yang memiliki sikap adil seberat atom saja, hal itu merupakan bukti pasti dan dengan sendirinya bahwa pernikahan ini bukan dilakukan atas dasar syahwat, tapi semata berdasar serangkaian hikmah penting.

Salah satunya: Segala perilaku, kondisi, dan gerak-gerik Rasulullah S.a.w adalah sumber agama dan syariat, juga sebagai sumber hukum, sama seperti tutur kata beliau.

Sebagaimana para sahabat memikul bagian luar hukum syariat, demikian pula istri-istri Rasulullah S.a.w yang suci. Mereka adalah para perawi dan pengemban rahasia-rahasia agama serta hukum-hukum syariat terkait kondisi-kondisi Rasulullah S.a.w yang tersembunyi dalam lingkup privasi 

31. Page

beliau. Istri-istri Rasulullah S.a.w mampu menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya, karena hampir lebih dari separuh rahasia dan hukum agama bersumber dari para istri Rasulullah S.a.w.

Peran agung ini memerlukan adanya istri-istri yang suci, banyak jumlahnya, dan beragamnya fikiran, tabiat, dan akhlak mereka.

Terkait pernikahan Rasulullah S.a.w dengan Zainab r.a, kami telah menjelaskan tentang ayat mulia berikut ini di dalam salah satu perumpamaan dalam “Obor Ketiga” di “Suluh Pertama” pada “Kalimat Keduapuluh Lima.”


مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Qs. al-Ahzab [33]: 40)

Satu ayat ini saja memiliki beragam makna dilihat dari berbagai sisi sesuai pemahaman tingkatan orang. Salah satu tingkatan orang memahami ayat di atas sebagai berikut:

Zaid r.a, pelayan Rasulullah mulia S.a.w yang mendapat kehormatan dengan dipanggil sebagai “Anakku” oleh beliau, merasa tidak menemukan kecocokan secara maknawi dengan istrinya yang terhormat dan mulia. Zaid menceraikan istrinya ini seperti disebutkan dalam sejumlah riwayat shahih sesuai pengakuannya sendiri. Zaid menyatakan bahwa Zainab r.a diciptakan dengan akhlak luhur dan tinggi, sehingga ia berfirasat bahwa Zainab dengan fitrah seperti itu kelak akan menjadi istri Nabi S.a.w. Zaid menilai dirinya tidak memiliki fitrah yang membuatnya layak secara maknawi sebagai pendamping hidup Zainab. Hingga akhirnya Zaid menceraikan Zainab karena pernikahan mereka berdua menimbulkan ketidakcocokan maknawi. Setelah itu Rasulullah S.a.w menikahi Zainab atas perintah dari Allah.

Pernikahan ini terjadi murni karena putusan takdir dalam bentuk luar biasa melampaui batasan-batasan tradisi, berada jauh di atas kebiasaan dan interaksi-interaksi nyata, seperti ditunjukkan oleh ayat:

 زَوَّجْنَاكَهَا

Kami kawinkan kamu dengannya. (Qs. al-Ahzab [33]: 37)


Ayat ini mengisyaratkan pernikahan Rasulullah S.a.w dengan Zainab sebagai pernikahan langit. Rasulullah S.a.w tunduk pada putusan takdir, meski beliau terpaksa dan bukan atas keinginan sendiri untuk menjalani pernikahan tersebut.

Memanggil anak kecil dengan kata-kata “Anakku” tidaklah terlarang, seperti disebutkan dalam putusan takdir melalui ayat al-Qur’an:


لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ


32. Page

Supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka. (Qs. al-Ahzab [33]: 37)

Ayat ini mengandung sebuah hukum syariat penting, suatu hikmah dan maslahat umum yang menyeluruh. Sebutan demikian tidaklah diharamkan seperti masalah dzihar, yakni ungkapan yang diucapkan seorang suami kepada istrinya, “Bagiku, kau seperti punggung ibuku,” membuat istri menjadi haram, sehingga mengubah banyak hukum ikutannya.

Selanjutnya, tutur kata orang besar kepada para rakyat, tutur kata para nabi terhadap para umat, dan tatapan ayah kepada mereka, tidak lain karena kapasitas tugas risalah yang diemban, bukan sebagai diri pribadi, yang menjadikan pernikahan dengan seseorang di antara mereka serasa tidak tepat.

Pemahaman tingkatan kedua terhadap ayat tadi sebagai berikut:

Seorang pemimpin besar memandang rakyatnya dengan tatapan kasih sayang dan kelembutan layaknya kasih sayang dan kelembutan ayah. Bagi seorang penguasa spiritual secara lahir batin, kasih sayangnya seratus kali lebih unggul dibanding kasih sayang seorang ayah, karena setiap individu rakyat menganggapnya sebagai seorang ayah, dan mereka seakan anak-anak sebenarnya.

Mengingat pandangan ayah tidak mungkin berubah menjadi pandangan suami, dan pandangan anak perempuan tidak bisa dengan mudah berubah menjadi pandangan seorang istri, untuk itu pernikahan Nabi S.a.w dengan salah seorang putri kaum mukminin menurut pandangan orang kebanyakan tidak tepat karena alasan tersebut. Untuk menepis anggapan seperti itu, al-Qur’an menjelaskan:

Nabi S.a.w mencintai dan menyayangi kalian, memperlakukan kalian layaknya seorang ayah atas nama rahmat Ilahi, kalian seperti anak-anaknya dari sisi risalah yang ia emban. Namun ia bukanlah ayah kalian dari sisi sosok manusiawi hingga pernikahannya dengan seseorang di antara kalian tidak tepat. Saat ia memanggil kalian dengan kata-kata, “Anakku,” bukan berarti kalian menjadi anak-anaknya menurut hukum syariat.

 

الباقي هو الباقي

 

S.N.