NAVIGATION
28. Page
Mushaf Tawafuqat
Imam Badiuzzaman Sa’id An-Nursi yang menjadikan pengabdian Al-Qur'an sebagai sasaran terbesar dan tujuan hidup, menjelaskan kepada umat manusia pada zaman sekarang yang akalnya melorot ke mata, dan yang meragukan keberadaan sesuatu yang tidak ia lihat karena pengaruh filsafat materialisme, bahkan dalam penulisan Al-Qur'an terdapat kemukjizatan yang diarahkan kepada mata. Beliau mendorong untuk menulis mushaf agar keindahan lembut sarat makna yang disebut tawafuqat ini terlihat jelas.
Untuk merealisasikan tujuan ini, Imam Badiuzzaman membagi tiga juz Al-Qur'an untuk setiap sepuluh murid-murid beliau yang sekaligus ulama. Beliau meminta mereka untuk mengutip kesamaan yang ada di dalamnya. Saat mengerjakan tugas ini, beliau berpesan agar berpedoman pada mushaf tulisan seorang ahli khat Arab bernama Al-Hafizh Utsman. Mushaf ini di setiap halamannya dimulai dari ayat dan diakhiri ayat. Beliau meminta mereka bekerja dengan ikhlas sempurna tanpa mencampurkannya dengan kehendak dan ikhtiar mereka sendiri. Beliau mengingatkan;
“Jangan kalian campuradukkan ikhtiar kalian! Jangan kalian tiadakan apa yang ada.”
Ahmad Hurau Afandi –murid paling dekat Imam An-Nursi-, Al-Hafizh Ali, ustadz Khalid, ustadz Ghalib, ustadz Shabri, Al-Hafizh Zuhdi, Haqqi Ath-Thaghli, Al-Hafizh Taufiq Asy-Syami bertugas menulis mushaf ini. mereka ini ada yang hafal Al-Qur'an, guru, dan ada juga pengajar khat Arab. Setelah menulis juz-juz mushaf yang ditugaskan, mereka menyerahkan kepada Imam Badiuzzaman.
Setelah melalui penelitian panjang, Imam Badiuzzaman memberikan keputusan sahabat
“Tawafuq itu terdapat pada cara penulisan Husrau. Karena itu, sekira Husrau memiliki keahlian, ia tidak merusak tawafuq itu. Saya sudah menasehati siapapun jangan mencampurkan keahliannya. Artinya, keahlian paling tinggi adalah yang tidak merusak tawafuq, karena tawafuq itu ada.”
Meski Husrau tidak dapat menyaingi mereka dalam khat Arab, namun tiba-tiba ia mengungguli semua penulisan dan guru khat Arab. Jika dibandingkan dengan saudara kita yang paling ahli dalam khat Arab, Husrau lebih unggul sepuluh tingkat.
Secara umum, mereka mengakuinya dan berkata, “Ya, ia (Husrau) mengungguli kami dan kami tidak mampu mengunggulinya.”
“Dengan demikian, pena Husrau menampakkan karamah dan hal-hal luar biasa mirip mukjizat Al-Qur'an Al-Mu’jizul Bayan dan Risalah-risalah An-Nur.”
Dalam mushaf tawafuq, lafzhul jalalah disebut sebanyak 2806. Ada yang bertumpuk pada satu halaman, ada juga yang bersebelahan dalam halaman-halaman yang berhadapan, ada juga yang disebutkan di halaman belakang surah. Lafazh-lafazh Allah ini berjajar satu sama lain dalam bentuk yang menakjubkan, yaitu dalam bentuk yang disebut tawafuq khusus.
Demikian pula ungkapan yang berasal dari akar kata yang sama dari isi makna pada sejumlah kalimat yang penuh makna dan hikmah, serta saling mendukung satu sama lain, ber-tawafuq dalam keselarasan lembut.
Tawafuq terlihat begitu luar biasa melalui pena Husrau Altinbasak yang membuat ustadz Badiuzzaman berkata, “Sekiranya akal mengerti, pasti mengucapkan,
29. Page
‘Subhanallah!’ Sekiranya hati memahami, pasti mengucapkan, ‘Barakallah!’ Dan sekira mata memandang, pasti mengucapkan, ‘MasyaAllah!”
Ya, akhirnya penulis mushaf tawafuq muncul, ia adalah Ahmad Husrau Altinbasak.
Melalui beberapa surat, Imam Badiuzzaman menyatakan rasa gembira atas pena Ahmad Husrau. Beliau menyatakan;
“Wahai Husrau yang mulia, yang benar dan yang diberkahi, yang menunjukkan satu sisi mukjizat Al-Qur'an melalui penanya yang luar biasa, yang dalam lembaran catatan amal baiknya terus ditulis pahala orang yang membaca mushaf tersebut.
MasyaAllah, barakallah! Pena Husau merupakan kunci emas Al-Qur'an yang tidak hanya membuat kita bahagia, tapi juga menggembirakan seluruh malaikat dan makhluk gaib.
Wahai Husrau! Renungkanlah doa-doa rahmat yang akan turun untuk ruhmu dari dunia Islam seiring dicetaknya mushaf tawafuqat yang kau tulus. Pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya.”
Husrau Afandi menulis sembilan naskah Al-Qur'an; tiga di antaranya semasa hidup Imam Badiuzzaman, dan enam lainya sepeninggal beliau.
Jutaan umat manusia di dunia Islam saat ini membaca mushaf tawafuqat yang dicetak pada tahun 1984 oleh lembaga wakaf Al-Khayrat yang beliau dirikan bersama murid-murid beliau. Mereka semua mengirimkan doa-doa rahmat kepada ruhnya. Rahmatullahi ‘alaihi.
Dakwah Risalah An-Nur Pasca Kepergian Imam An-Nursi
Hasrau Afandi meneruskan kiprah dakwah sepeninggal Imam Badiuzzaman Sa’id An-Nursi tanpa sedikit pun menyimpang dari garis perjuangan Risalah-risalah An-Nur. Ia tetap menjaga risalah-risalah ini pada era munculnya berbagai perubahan dan kelompok yang muncul di bawah naungan Risalah-risalah An-Nur sepeninggal Imam Badiuzzaman. Inilah faktor penting yang mengantar dakwah Risalah-risalah An-Nur sampai kepada kita saat ini tanpa terkotori oleh noda-noda maknawi apapun.
Sepeninggal Badiuzzaman, Husrau tetap melanjutkan kiprah dakwah tanpa menyimpang sedikit pun dari paham Risalah-risalah An-Nur ataupun jalur ustadz An-Nursi, tanpa meruntuhkan ataupun merubah warisan maknawi Imam Badiuzzaman. Ia tetap mengikuti dustur dan prinsip-prinsip dakwah an-Nur tanpa memberikan penakwilan apapun. Mengikuti sunnah saniyyah dan menentang bid’ah adalah tujuan utamanya.
Kiprah dakwah Husrau Afandi bukan membidik kekayaan. Bahkan, ia mengorbankan segala kekayaan demi dakwah, seperti yang diperkuat oleh bahasa kondisional kehidupannya. Ia tidak mengizinkan dirinya menjalani kehidupan nikmat meski ia kaya. Ia hanya tinggal di sebuah rumah yang disediakan saudarinya.
Perlu kami sampaikan, Husrau Afandi –juga murid-murid yang selalu mendampinginya- tidak memanfaatkan dakwah Risalah-risalah An-Nur sebagai kendaraan untuk tujuan politik, meski ia tidak sejalur dengan saudara-saudaranya. Mereka malah menjauh dan memisahkan diri dari Husrau. Terseret oleh daya tarik politik di saat perpecahan menyedihkan di antara murid-murid An-Nur mulai mengemuka.
30. Page
Husrau tidak menjadikan dakwah An-Nur untuk meraih tujuan ataupun kepentingan lembaga-lembaga lain pada tahun-tahun penuh guncangan itu.
Husrau Afandi tidak menyimpang ataupun condong pada bid’ah. Ia tetap menjaga prinsip utama dakwah An-Nur. Tidak pernah sedikit pun mengalah demi instansi-instansi dalam maupun luar, atau pada siapapun yang membagi-bagikan jabatan dan kedudukan dunia di dunia politik. Ia tetap menjaga kemuliaan dakwah An-Nur sepanjang hidup.
Karena sikap mendasar Husrau inilah, dakwah An-Nur sampai kepada kita saat ini secara benar. Dengan pengabdian-pengabdian dakwah yang ia berikan, apa yang dikatakan gurunya, Imam Badiuzzaman, kepadanya terwujud;
“Ia meraih rahasia keikhlasan dengan sebenarnya, sehingga tidak ada egoisme, pamrih ataupun popularitas dalam dirinya. Karenanya, ia adalah representasi penting sosok maknawi Risalah-risalah An-Nur sebagai pengganti saya,” karena ustadz Ahmad Husrau Afandi menjadi pusat kuat tugas akhirat Imam Badiuzzaman, pengganti terbaik bagi beliau, dan pewaris terpercaya Risalah-risalah An-Nur sepeninggal sang guru, Imam Badiuzzaman.
Sepeninggal Imam Badiuzzaman, Husrau dipenjara di Isparta, Eskisehir, Bursa, Bergama, dan Burca. Setelah dibebaskan dari penjara, di akhir-akhir usianya ia mendirikan yayasan Khayrat bersama murid-muridnya di Istanbul. Tidak lama setelah itu, ia berpulang ke alam akhirat pada bulan Ramadhan tahun 1977, meninggalkan ribuan murid-murid An-Nur. Rahmatullah ‘alaihi.
Idealisme mereka sesuai kadar iman yang mereka miliki. Mereka mampu menghadapi segala beban berat dengan penuh kesabaran demi menyelamatkan iman dan umat Muhammad Saw. Mereka adalah orang-orang istimewa. Mereka menjadikan pengabdian-pengabdian ini sebagai tugas hidup yang utama demi menggapai ridha Allah, dan mereka sama sekali tidak memperdulikan dunia.
Semoga Allah berkenan mendorong kita untuk mengikuti kafilah dan menapaki jejak langkah mereka, tidak memisahkan kita dari tujuan-tujuan An-Nur, tidak menjauhkan kita dari keteguhan dalam perhelatan antara keimanan dengan kekafiran dalam pertikaian fitnah akhir zaman.
Ali Kurt,
Wakil Ketua Umum Persatuan Organisasi-organisasi Non Pemerintahan di Dunia Islam