NAVIGATION
82. Page
﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونأَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لاَ يَشْعُرُون﴾
(Wa idzâ qîla la-hum lâ tufsidû fi al-ardl qâlû innamâ nahnu muslihûn. * Alâ innahum hum al-mufsidûna wa lâkin lâ yasy'urûn.)
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" * Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Ketahuilah, aspek nadzam ayat ini dikaitkan dengan ayat yang sebelumnya, sebagai berikut:
Allah Yang Maha Tinggi telah menyebutkan [bentuk] pertama kejahatan yang timbul dari kemunafikan mereka, yaitu: Mereka menganiaya diri mereka sendiri, dan melanggar hak-hak Allah (huqûq Allâh), berikut konsekuensi berturut-turut yang telah disebutkan di atas. Kemudian, Dia mengikutkan ini dengan menyebutkan [bentuk] kedua kejahatan mereka, yaitu: mereka menginjak-injak hak-hak hamba Allah dan kerusakan yang mereka sebarkan di antara mereka, dengan cabang-cabang akibatnya.
[Frasa] ﴾إِذَا قِيل﴿ - idzâ qîla (“bila dikatakan”) sebagaimana berdasarkan kisahnya terkait dengan kata ﴾يَقُولُ﴿ - yaqûlu ("dia mengatakan") yang terdapat pada [frasa] ﴾وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ﴿ - wa min al-nâs man yaqûlu (“di antara manusia ada yang mengatakan”) (2: 8), dan berdasarkan alasan maknanya terkait dengan kata ﴾يُخَادِعُونَ﴿ - yukhâdi'ûna (“mereka menipu”) (2: 9), demikian pula, berdasarkan dirinya terkait dengan kata ﴾يَكْذِبُونَ﴿ - yakdzibûn (“mereka berdusta”). (2: 10)
Perubahan gaya bahasa dari klausa kategoris (himliyyah)[1] ke klausa kondisional (syarthiyyah)[2] merupakan isyarat dan tanda tersembunyi adanya klausa implisit (muqaddar) di antara keduanya. Seolah-olah ia mengatakan: "Bagi mereka siksaan yang pedih atas apa yang telah mereka bohongkan; sebab, ketika mereka berbohong mereka menyebabkan perpecahan; ketika mereka menyebabkan perpecahan mereka menyebabkan kerusakan; dan ketika mereka ditegur mereka tidak menerimanya, dan ketika mereka diberi saran: jangan menyebar kerusakan," dan seterusnya.
Adapun nadzam frasa yang eksplisit maupun implisit di ayat ini: Itu sama persis dengan tatanan dan keterkaitan di contoh yang akan saya berikan padamu berikut ini:
Jika engkau melihat seseorang yang mengambil jalan menuju kebinasaan, engkau pertama-tama akan memperingatkan dia, dengan berkata padanya:
"Jalanmu ini akan membawamu pada kehancuran, hindarilah!"
Jika dia tidak menghindarinya dengan menggunakan kesadarannya sendiri, engkau akan memperbaharui upayamu untuk mencegahnya dengan melarang dan menegur dia. Engkau akan memperkuat laranganmu dan menanamkannya dalam otaknya baik dengan menakut-nakuti dia dengan ancaman hukuman umum, atau dengan melunakkan hatinya dengan menanamkan perasaan kasih sayang pertemanan, seperti yang akan saya jelaskan kepadamu berikut ini.
Jika orang itu tetap bersikeras kepala, gigih, bandel, dan kokoh dengan sikap bodohnya yang parah, dia tentu tidak akan diam, malah akan membela diri. Sebab, itu ciri khas setiap perusak yang selalu memandang kerusakannya baik dan berguna -- karena secara alami, manusia tidak melakukan tindakan jahat ketika berpikir dia jahat. Lalu, dia akan menawarkan bukti bahwa jalannya benar, mengklaim bahwa ini sudah terkenal, bahwa engkau tidak punya hak untuk menegurnya, dan bahwa dia tidak memerlukan saranmu. Sebaliknya, engkau perlu belajar tentang caranya. Sebab satu-satunya jalan yang mulus adalah jalannya, dan engkau tidak harus menyerang cara yang [mungkin] lebih baik.
[1] Solusi bahasa dengan menaruh mufrad di kedua sisinya. Lihat Maqalid al-'Ulum 120, Dustur al-'Ulama' 3/53, Mausu'ah Musthalahat 'Ilm al-Manthiq 'inda al-'Arab 340.
[2] Tanpa menaruh mufrad di kedua sisinya. Lihat Maqalid al-'Ulum 120.
83. Page
Dan jika orang bandel tersebut bermuka dua, dia juga akan memiliki lidah bercabang. Di satu sisi, dia akan mencoba untuk mengalihkan orang dengan menegur dan membungkamnya, dan di sisi lain dia akan mempertahankan jalannya dengan mengatakan: "Saya ini orang yang suka memperbaiki (mushlih)." Yakni: "Secara lahiriah, saya akan menempatkan sesuatu seperti yang engkau inginkan, tapi secara batin saya akan mengikuti seperti pendapat saya." Kemudian, untuk menguatkan apa yang diklaimnya, dia mengatakan: "Memperbaiki itu termasuk sifat saya, yang selalu saya lakukan. Saya sekarang melakukan kebaikan itu bukan karena sebelumnya saya rusak."
Dan jika sosok bandel yang bersikap seperti itu tetap teguh dalam menyebarkan mazhabnya dan memasarkan jalan hidupnya, serta menyebut orang yang menasehatinya bohong dan menyindir-nyindir ahli kebenaran hingga sejauh ini, maka jelas obat tidak lagi berpengaruh baginya. Hanya tersisa satu obat yang terakhir, yaitu menempatkannya di dalam karantina. Perawatan ini tak lain berupa peringatan pada publik dan pemberitahuan kepada mereka bahwa dia seorang perusak (mufsid, koruptor), tak ada kebaikan pada dirinya; sebab, dia tidak menggunakan akalnya atau memanfaatkan perasaannya hingga dia mungkin bisa memahami hal yang begitu jelas dan gamblang ini.
Jika engkau telah memahami kaitan yang disebutkan dalam contoh di atas [yaitu, perkembangan argumen], engkau akan memahami hubungan di antara berbagai kalimat, yang dinyatakan dengan jelas atau yang disinggung, dalam ayat ini mulai dari kalimat ﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ﴿ - wa idzâ qîla la-hum sampai akhirnya. Sebab susunannya begitu alami dan ringkas di mana kemukjizatan berpendar cemerlang dari bawahnya.
Adapun nadzam urutan frasa demi frasa, sebagai berikut:
Ketahuilah: Kepastian yang diungkapkan dengan kata ﴾إِذَا﴿ di kalimat ﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ﴿ - wa idzâ qîla lahum lâ tufsidû fi al-ardl, itu menunjukkan keharusan melarang kemungkaran (nahy al-munkar), dan kewajibannya.
Bentuk pasif dari kata ﴾قِيل﴿ - qîla, itu menunjukkan bahwa larangan tersebut merupakan fardu kifayah bagi semua (fardl kifâyah 'alâ al-'umûm).
Pada "la-" di kata ﴾لَهُمْ﴿ - la-hum, terdapat tanda bahwa larangan tersebut harus dalam bentuk saran nasehat, bukan pemaksaan; dan melalui persuasi lembut bukan dengan kekerasan.
﴾لاَ تُفْسِدُوا﴿ - lâ tufsidû merupakan fadzlakah dan ringkasan dalam bentuk silogisme kondisional (qiyâs istitsnâi)(1); yaitu: "Jangan lakukan begitu, sebab jika tidak, akan timbul anarki dan kerusuhan. Benang ketaatan akan terputus, sistem keadilan akan kacau, ikatan persatuan akan rusak, dan dari sini akan timbul kerusakan. Maka, jangan lakukan itu agar kalian tidak menyebabkan kerusakan."
Ungkapan ﴾فِي الأَرْض﴿ - fî al-ardl menguatkan larangan itu, dan melanggengkan pemberian peringatan. Larangan dari pemberi nasehat bersifat sementara. Karena itu, pemberian nasehat harus dilanggengkan secara permanen di otak orang yang diberi nasehat dengan mengarahkan hati nuraninya untuk selalu mengendalikannya dari bawah. Hal ini dilakukan baik dengan menggerakkan nadi perasaan kasih sayang sesama, atau dengan membangkitkan keinginannya untuk menghindarkan diri dari kebencian publik.
Dan frasa ﴾فِي الأَرْض﴿ - fî al-ardl inilah yang membangkitkan kedua urat nadi ini dan menyadarkannya. Sebab, frasa itu berbicara pada [orang-orang munafik] dengan menyeru: "Kebobrokan kalian ini menyebar ke spesies manusia. Mengapa kebencian dan kemarahan tersebut kalian alamatkan kepada semua orang, padahal sebagian mereka tidak bersalah, miskin, atau tidak kalian ketahui? Mengapa kalian tidak merasa kasihan pada mereka dan tidak mengasihani mereka? Kami bisa melihat kalian tidak memiliki simpati pada sesama manusia, tapi setidaknya kalian harus menyadari bahwa tindakan kalian ini akan menarik kebencian mereka."
Jika engkau bertanya: Manakah dari maksud [orang-orang munafik] yang tertuju pada manusia secara umum? Bagaimana kebobrokan mereka menyebar ke semua orang?
Engkau akan dijawab: Sebagaimana segala sesuatu akan tampak gelap dan jelek bagi orang yang melihatnya melalui lensa gelap, demikian pula segala sesuatu tampak buruk dan dibenci oleh orang yang mata hatinya terselubung oleh kemunafikan dan yang hatinya rusak oleh kekufuran. Hatinya penuh dengan kebencian terhadap semua manusia, bahkan, semua makhluk, dan dia akan menentang mereka.
84. Page
Selain itu, jika satu gigi dari roda gaya pada jam rusak, maka jam itu akan terpengaruh seluruhnya atau sebagian. Demikian pula, kemunafikan seseorang akan mempengaruhi sistem gerak manusia, sehingga perlu diatur melalui keadilan, keislaman, dan ketaatan. Sayangnya, racun [orang-orang munafik] yang terus tersebar itu telah terakumulasi dan mengakibatkan aib ini.
Adapun kalimat ﴾قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ﴿ - qalû innamâ nahnu mushlihûn, maka di dalam kata ﴾قَالُوا﴿ sebagai ganti kata “لا يقبلون النصيحة - lâ yaqbulûna al-nashihah (“mereka tidak mau menerima nasehat”) yang tampak dari konteksnya, terdapat indikasi bahwa mereka membuat klaim-klaim gegabah dan mengajak orang lain mengikuti langkah mereka.
Pada ﴾إِنَّمَا﴿ - innamâ, [imbuhan yang berarti sungguh, sesungguhnya, hanya, atau tetapi], terdapat dua karakteristik:
Pertama: Ungkapan yang disertai awalan ini pasti merupakan sesuatu yang sudah dikenal, baik dalam realitas atau dugaan. Dengan demikian, di dalamnya terdapat petunjuk tentang peremehan terhadap pemberi nasehat, serta memperlihatkan keteguhan [orang-orang munafik] bertahan dalam kebodohan mereka yang makin parah.
Kedua: Pembatasan [di ﴾إِنَّمَا﴿] mengandung petunjuk bahwa, menurut [orang-orang munafik], usaha perbaikan mereka itu tidak tercampuri kerusakan. Jadi, mereka [merasa] tidak seperti orang lain. Dan [pembatasan] ini merupakan sindiran (ta'rîdl) terhadap orang-orang beriman [yang mengatakan sebaliknya].
Penggunaan partisip aktif ﴾مُصْلِحُونَ﴿ - muslihûn ketimbang bentuk kata kerja "نصلح - kami melakukan perbaikan," menunjukkan bahwa [mereka hendak menyatakan], "Kebaikan (الصلاح - shalâh) merupakan sifat kami yang tetap dan berkelanjutan, dan kondisi kami ini merupakan perbaikan itu sendiri."
Tetapi, mereka juga bersikap munafik dalam pernyataan mereka ini, sebab apa yang mereka akui dalam hati adalah kebalikan dari apa yang mereka akui secara lahiriah: dalam hati mereka mengklaim kerusakan mereka sebagai perbaikan, tapi secara lahiriah mereka berpura-pura mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan itu untuk kebaikan orang-orang beriman dan kepentingan mereka.
Adapun kalimat, ﴾أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لاَ يَشْعُرُون﴿ - alâ innahum hum al-mufsidûna wa lâkin lâ yasy'urûn):
Ketahuilah: Ayat sebelumnya menyimpulkan beberapa hal tentang orang-orang munafik. Misalnya, bahwa mereka menyebarkan ide-ide mereka, bahwa mereka mengklaim konsisten melakukan kebaikan, bahwa kebaikan ini merupakan sifat mereka yang berkelanjutan, bahwa diri mereka terbatas padanya; bahwa kerusakan tak menyentuh kebaikan mereka; bahwa ini sudah jelas dan dikenal; dan bahwa mereka memfitnah orang-orang beriman serta menuduh bodoh pemberi nasehat. Di sini, al-Qur'an membalas mereka dengan kalimat ini, yang memuat faktor-faktor yang membuktikan kerusakan mereka, dan bahwa mereka telah menyatu dengan hakekat para perusak; bahwa kerusakan terbatas pada mereka, dan bahwa inilah hakekat yang sudah pasti; al-Qur'an memperingatkan manusia terhadap mereka, serta memperbodoh mereka dengan penafian perasaan dari mereka seolah-olah mereka benda mati. Jika engkau sudi, perhatikan hal berikut:
[Kata seru] ﴾أَلاَ﴿ - alâ dimaksud untuk mengingatkan atau memperingatkan: Lihatlah bagaimana dengan peringatan, ia menyatakan palsu semua propaganda mereka, yang disinggung melalui kata ﴾قَالُوا﴿ - qâlû.
Mengenai [imbuhan] "إنّ - inna," yang dimaksud untuk verifikasi: Lihatlah bagaimana ia membantah klaim mereka yang terkenal, yang ditunjukkan dengan ﴾إِنَّمَا﴿ - innamâ. Seolah-olah "إنّ" mengatakan bahwa pada hakekatnya batin mereka dalam keadaan rusak, sehingga kebaikan mereka secara lahiriah tidak ada gunanya bagi mereka.
Pembatasan pada kata ganti pribadi ﴾هُم﴿ - hum menyangkal sindiran yang tersirat dalam ﴾إِنَّمَا﴿ - innamâ dan ﴾نَحْنُ﴿ - nahnu: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."
85. Page
Imbuhan definitif pada kata ﴾الْمُفْسِدُونَ﴿ - al-mufsidûn (“orang-orang yang membuat kerusakan”), -- yang maknanya, engkau dapat melihat hakekat para perusak di esensi mereka, sesungguhnya itulah mereka -- menunjukkan bagaimana ia menentang pembatasan yang diungkapkan melalui ﴾إِنَّمَا﴿ - innamâ juga?!
Dan frasa ﴾وَلَكِنْ لاَ يَشْعُرُونَ﴿ - wa lâkin lâ yasy'urûn, menunjukkan bagaimana ia menentang pernyataan mereka yang menyebut pemberi nasehat itu bohong, dan klaim mereka bahwa mereka tidak membutuhkan nasehat, dengan mengaku [pernyataan mereka tentang siapa mereka] sudah dikenal. Renungkanlah!