NAVIGATION
86. Page
﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ
قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُون﴾
(Wa idzâ qîla la-hum âminû ka-mâ âmana al-nâs qâlû anu'minu ka-mâ âmana al-sufahâ' alâ innahum hum al-sufahâ' wa lâkin lâ ya'lamûn)
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.
Ketahuilah, nadzam ayat ini jenis demi jenis [dan hubungannya dengan yang sebelumnya, sebagai berikut]:
Dilihat dari posisi kedua ayat ini (2:11, 2:13) sebagai nasehat dan bimbingan: perintah melakukan kebaikan (amr bi al-ma'ruf), penghiasan diri (tahliyyah), dan anjuran (targhîb) [yang dikandung ayat ini] terkait dengan larangan berbuat kemunkaran (nahy al-munkar), penyucian diri (takhliyyah), dan ancaman (tarhîb) yang terkandung di ayat sebelumnya.
Dan dilihat dari posisi keduanya terkait kejahatan [orang-orang munafik], kutukan mereka terhadap orang-orang beriman dan kepongahan mereka, [sebagaimana terungkap di ayat ini], terkait erat dengan sikap mereka dalam berbuat kerusakan (ifsâd) di ayat sebelumnya. Sebagaimana perbuatan mereka yang merusak itu terkait dengan kerusakan mereka (fasad), masing-masing darinya merupakan cabang dari pohon Zaqqum kemunafikan.
Adapun aspek nadzam di antara frasa-frasa ayat ini:
Ketahuilah: Dengan kalimat, ﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ﴿ - wa idzâ qîla la-hum âminû ka-mâ âmana al-nâs) (“apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman’”), [ayat] ini dengan bagian-bagiannya pertama-tama hendak menunjukkan kewajiban menyeru pada keimanan yang tulus, untuk memenuhi fardu kifayah [atau kewajiban yang mungkin dilakukan sejumlah orang atas nama masyarakat ('alâ sabîl al-kifâyah)], dengan cara mengikuti jumhur ulama yang merupakan manusia paling sempurna [imannya], karena sesungguhnya hati nurani terus-menerus mendorong mereka melakukan hal ini. Kemudian ia mengutip [bantahan orang-orang munafik]: "mereka menjawab, ﴾قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء﴿ - qâlû a' nu'minu ka-mâ amana al-sufaha (“akankah kami beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?”), yang menunjukkan [kekesalan], sifat keras kepala, dan keangkuhan mereka, serta keteguhan mereka memegang klaim kebenaran mereka. Ya, semua pembohong melihat sesuatu yang salah itu benar, dan menganggap kebodohan mereka sebagai pengetahuan. Sebab, akibat kemunafikan, hati [orang-orang munafik] menjadi rusak, dan akibat kerusakan, timbul kesombongan dan kecenderungan [pada mereka] untuk melakukan kerusakan.
Karena kerusakan ini, mereka tumbuh menjadi keras kepala. Dan dengan melakukan kerusakan, mereka berbicara satu sama lain untuk merencanakan penyesatan orang lain.
Dan dengan kesombongan, mereka menganggap religiusitas yang kuat dan keimanan yang sempurna, yang merupakan penyebab kemerdekaan dan kepuasan, sebagai kehinaan, kebodohan, dan kemiskinan.
Selain itu, karena bermuka dua, mereka bersikap munafik juga ketika mengatakan ini. Sebab secara lahiriah mereka berkata: "Bagaimana kami harus seperti orang bodoh, karena kami tidak gila. Kami orang-orang terpilih seperti yang kalian harapkan?" Sementara dalam hati mereka berkata: "Bagaimana kami bisa seperti orang-orang beriman, yang sebagian besar mereka miskin. Di mata kami, mereka itu rakyat jelata dungu yang berasal dari negara berbeda."
87. Page
Engkau kini hendaknya dapat mendapatkan poin-poin yang baik dari dua bagian kalimat bersyarat (syarthiyyah) ini.[1]
Al-Qur'an kemudian melemparkan kembali pada mereka batu yang mereka lemparkan kepada orang-orang beriman, dengan berkata: ﴾أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ﴿ - a lâ innahum hum al-sufahâ' (“ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh”). Sebab orang keras kepala hingga derajat ini dan orang bodoh tanpa menyadari kebodohannya, layak untuk diarak di hadapan publik dan dinyatakan bodoh, dan bahwa ini termasuk fakta pasti, serta bahwa tuduhan mereka yang menyebut orang-orang beriman itu bodoh justeru karena kebodohan mereka sendiri.
Kemudian dengan mengatakan: ﴾وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُون﴿ - wa lâkin lâ ya'lamûn (“tetapi mereka tidak tahu”), ia hendak menunjukkan bahwa kebodohan mereka semakin parah karena mereka tidak menyadari kebodohan mereka. Karena itu, tak ada gunanya memberi mereka nasehat; mereka harus dijauhi sama sekali. Sebab, tidak ada yang dapat memahami nasehat kecuali orang yang menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
Nadzam [dan hubungan antara] bagian-bagian frasa:
﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ﴿ - wa idzâ qîla la-hum âminû ka-mâ âmana al-nâs)." Di kalimat ini, kata ﴾إِذَا﴿ - idzâ dengan kepastiannya menunjukkan keharusan memberikan bimbingan (irsyâd) [kepada manusia] dengan memerintahkan kebaikan (amr bi al-ma'rûf).
﴾قِيلَ﴿ - qîla: Bentuk kata pasif menunjukkan bahwa memberikan nasehat merupakan] kewajiban [yang mungkin dilakukan sejumlah orang atas nama masyarakat ('alâ sabîl al-kifâyah)], seperti telah disebutkan di atas.
Penggunaan kata kerja ﴾آمِنُوا﴿ - âminu ketimbang kata (أخلصوا في إيمانكم - akhlishû fi imânikum"tuluslah kalian dalam keimanan kalian”) menunjukkan bahwa keimanan yang tidak tulus bukanlah keimanan.
Frasa ﴾كَمَاآمَن﴿ - ka-mâ âmana yang merupakan kiasan mengenai para sosok teladan yang mengagumkan, menunjukkan bahwa ketulusan atau keikhlasan dapat dicapai dengan mengikuti mereka.
Kata "al-nâs (manusia)" memuat dua nuktah, yang mendorong hati nurani untuk selalu memerintahkan kebaikan. Sebab, ﴾النَّاسُ﴿ - ka-mâ âmana mengisyaratkan: "Ikutilah kebanyakan manusia, sebab menentang mereka merupakan kesalahan, di mana hati biasanya tidak berani melakukannya."
Selain itu, ia menyimpulkan bahwa mereka yang tidak beriman tidak perlu dianggap sebagai manusia sejati; hanya orang beriman yang merupakan manusia sejati, seolah-olah manusia lain hanyalah manusia dalam bentuknya. Sebab, orang-orang beriman telah meningkat sempurna, dan kemanusiaan hakiki terbatas khusus bagi mereka, sementara sisanya jatuh dari derajat kemanusiaan.
Frasa: ﴾قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ﴿ - qâlû a' nu'minu ka-mâ âmana al-sufahâ' memiliki makna ini: "Kami tidak menerima nasehat. Bagaimana mungkin kami seperti manusia malang rendahan itu? Kami ini orang-orang terhormat, bagaimana bisa kami disetarakan dengan mereka? Kami melihat mereka bodoh?"
Dengan demikian, kata ﴾قَالوُا﴿ - qâlû menunjukkan pembenaran diri mereka, usaha penyebaran pandangan mereka, kebencian mereka terhadap nasehat, serta kesombongan dan klaim-klaim mereka.
Pada kata أَنُؤْمِنُ - anu'minu dengan pertanyaan retorisnya, terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa sikap keras kepala mereka terletak pada kebodohan mereka yang parah. Seolah-olah, dengan menggunakan kalimat berbentuk interogatif, mereka berkata kepada penasehat mereka: "Nasehati saja hati nuranimu. Tidakkah sikapmu yang adil bisa menerima penolakan kami?"
Selain itu, ﴾قَالوُا﴿ - qâlû mengandung tiga aspek berturut-turut; yaitu: pertama-tama mereka berkata pada diri mereka sendiri, lalu kepada rekan-rekan mereka, kemudian kepada orang yang akan memberi mereka bimbingan. Sebab, biasanya ketika seseorang meminta saran pada orang lain, yang dilakukannya pertama-tama adalah berkonsultasi dengan dirinya, lalu berdiskusi dengan teman-temannya, kemudian merujuk kembali padamu dengan hasil penalarannya.
[1]Syarthiyyah, maksudnya, kalimat bersyarat. Dua bagian, maksudnya, kata kerja bersyarat dan jawabannya.
88. Page
Berdasarkan hal ini:
Ketika diberitahukan kepada mereka apa yang dikatakan (orang), mereka memeriksa hati mereka yang rusak dan nurani mereka yang busuk, yang mengisyaratkan penyangkalan pada mereka. Apa yang mereka katakan adalah terjemahan dari apa yang terdapat di hati mereka.
Kemudian dengan maksud untuk membuat kerusakan, mereka kembali pada saudara-saudara mereka, dan [saudara-saudara] ini juga memperlihatkan sikap penolakan pada mereka, lalu mereka pun mulai melakukan diskusi dan pembicaraan rahasia.
Kemudian dengan cara mencari-cari alasan dan penyesatkan, mereka kembali ke penasehat mereka seraya berkata secara provokatif, "Perbedaan di antara kita begitu besar. Kami tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Mereka miskin, terdesak, tertekan, sehingga terpaksa harus kuat dalam agama dan tasawuf. Sedangkan kami orang-orang terhormat dan berkelas!"
Dalam kepongahannya, mereka meminta si pemberi nasehat untuk bersikap adil. Sebagai tipu muslihat dan siasat licik, mereka mengatakan dengan lidah bercabang: "Wahai pembimbing! Jangan kira kami bodoh; Jangan Anda pandang kami orang-orang seperti itu! Tidak, kambi bertindak sebagaimana orang beriman yang tulus bertindak." Namun, dalam hati mereka berkata: "Kami tidak seperti orang-orang beriman yang miskin tersebut, yang tidak berharga di mata kami." Di dalam kata-kata ini terkandung petunjuk tersembunyi tentang kerusakan dan ulah perusakan mereka, serta kesombongan dan kemunafikan mereka.
﴾كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء﴿ - ka-mâ âmana al-sufahâ', yaitu, "Orang-orang [beriman] yang engkau kira manusia sempurna itu, di mata kami miskin hina. Mereka terpaksa dalam beragama. Mereka tak berharga meskipun jumlah mereka banyak. Mereka sampah masyarakat."
Klaim mereka bahwa mereka berbeda menunjukkan bahwa agama Islam merupakan gua [tempat berteduh] orang-orang miskin, tempat berlindung kaum fakir, pembela kebenaran, dan pelestari hakekat, pencegah arogansi, dan pengekang kesombongan; itulah satu-satunya ukuran kesempurnaan dan kehormatan.
Klaim orang-orang munafik bahwa mereka berbeda juga menunjukkan penyebab kemunafikan, yang sebagian besarnya adalah kepentingan, kebanggaan, dan keangkuhan, sebagaimana dijelaskan melalui ayat, ﴾وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلاَّ الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ﴿"Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya." (Qs. Hud [11]: 27)
Ini juga merupakan isyarat tersembunyi bahwa agama Islam tidak dapat dijadikan instrumen dominasi dan penindasan di tangan ahli dunia dan kalangan terhormat; tapi lebih merupakan sarana menegakkan kebenaran di tangan kalangan miskin dan orang-orang butuh, berbeda dari agama-agama lain. Sejarah telah membuktikan hakekat ini.
Adapun kalimat, ﴾أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ﴿ - a lâ innahum hum al-sufahâ', ketahuilah bahwa satu-satunya alasan al-Qur'an banyak melakukan serangan keras terhadap orang-orang munafik dan mengecaman kemunafikan adalah karena sebagian besar bencana yang menimpa dunia Islam disebabkan berbagai macam kemunafikan.
Kata seru ﴾أَلاَ﴿ - alâ dimaksud untuk menarik perhatian, mempublikasikan kebodohan mereka, dan meminta opini publik untuk bersaksi atas kebodohan [mereka]. Arti sebenarnya ﴾أَلاَ﴿ - alâ adalah "Apakah kalian tidak tahu bahwa mereka bodoh? Yakni, kalian harus tahu!"
Awalan ﴾إِنَّ﴿ bertindak sebagai cermin kebenaran dan merupakan sarana ke sana, seolah-olah ia berkata: "Rujuklah kebenaran dan pahami bahwa kedunguan lahiriah mereka tidak berdasar."
Lalu, kata ganti ﴾هُمُ﴿ - hum dimaksud untuk pembatasan, [dengan tujuan] menolak pembenaran diri mereka dan menyangkal pembodohan mereka terhadap orang beriman yang mereka isyaratkan melalui ﴾كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء﴿ - ka-mâ âmana al-sufahâ'. Artinya, yang bodoh adalah orang-orang yang enggan [beramal demi] akhiratnya karena kesombongan, kepentingan, dan kenikmatan fana, tidak seperti orang yang ingin memperoleh hidup kekal dengan meninggalkan keinginan fana.
89. Page
Imbuhan "al" di kata ﴾السُّفَهَاءُ﴿ - al-sufahâ'menunjukkan bahwa sudah dikenal bahwa mereka bodoh. Ini juga menunjukkan kesempurnaan; yaitu, kebodohan mereka yang sempurna.
Adapun kalimat ﴾وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ﴿ - wa lâkin lâ ya'lamûn, di dalamnya terdapat tiga indikasi:
Pertama: Untuk bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan untuk memilah antara langkah orang beriman dan orang munafik, diperlukan pengetahuan dan wawasan. Namun, berbeda halnya dengan upaya perusakan mereka dan fitnah yang mereka kembangkan, ini dapat [dengan mudah] dirasakan oleh orang yang kecerdasannya minimal. Karena alasan ini, [sebagaimana ayat ini diakhiri dengan kalimat, ﴾وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ﴿ - wa lâkin lâ ya'lamûn, pada [akhir] ayat sebelumnya ditambahkan kalimat, "tetapi mereka tidak sadar ﴾وَلَكِنْ لاَ يَشْعُرُون﴿ - wa lâkin lâ yasy'urû)."
Kedua:﴾لاَ يَعْلَمُون﴿ - lâ ya'lamûn ("mereka tidak tahu”) dan frasa serupa di ujung ayat-ayat lainnya seperti "mereka tidak menggunakan akal ﴾لاَ يَعْقِلُون﴿ - lâ ya'qilun,""mereka tidak berpikir ﴾لاَ يَتَفَكَّرُون﴿ - lâ yatafakkarûn," dan "mereka tidak mengingat ﴾لاَ يَتَذَكَّرُون﴿ - lâ yatadzakkarûn," menunjukkan bahwa agama Islam didirikan di atas akal, hikmah, dan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan diterimanya [agama ini] oleh semua akal sehat, tidak seperti agama-agama lainnya yang didasarkan atas taklid dan fanatisme. Indikasi ini memberi pertanda baik [bagi Islam], sebagaimana dibahas di tempat lain.
Ketiga: [Perintah] untuk menghindari [orang-orang munafik] dan tidak menaruh perhatian pada mereka; karena nasehat tidak berguna bagi mereka; karena mereka tidak akan menyadari kebodohan mereka hingga mereka berusaha menghilangkannya.