AL-BAQARAH AYAT 14-15

90. Page

Ayat 14-15

 

﴿وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُوناللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُون

(Wa idzâ laqû alladzîna âmanû qâlû âmannâ wa idzâ khalaw ilâ syayâtînihim qâlû innâ ma'kum innamâ nahnu mustahzi'ûn. * Allâhu yastahziu bi-him wa yamudduhum fî tughânihim ya'mahûn.)

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok." * Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.

 

Aspek nadzam hubungan makna ayat-ayat ini dengan yang sebelumnya:

Ketahuilah, [melalui kata sambung "waw"], [ayat] ini menghubungkan kejahatan yang keempat dari orang-orang munafik -- maksud saya, ejekan (isti'zâ') dan cemoohan (istikhfâf) -- dengan ketiga kejahatan mereka yang sebelumnya; yaitu, menuduh orang beriman itu bodoh (tasfiyyah), menyebarkan kerusakan (ifsâd), dan kerusakan (fasâd) mereka.

 

Aspek nadzam di antara frasa-frasa ayat ini adalah:

Keimanan, sebagai titik sandaran dalam menghadapi penderitaan dan sebagai sumber bantuan dalam mewujudkan harapan seseorang, memiliki "tiga ciri khas" esensial:

Pertama: Kehormatan diri ('izzat al-nafs), yang timbul dari "titik sandaran" seperti itu, dan yang cirinya tidak menurunkan harga diri dengan sudi dihina dan diperbudak.

Kedua: Kasih sayang (syafaqah), yang cirinya tidak merendahkan orang lain atau menghinakan mereka.

Ketiga: Menghormati kebenaran dan mengetahui nilainya. Sebab, orang yang bernilai tinggi memiliki kebenaran [hakekat]; ia mempunyai 'permata' unik dan tidak akan menghina kebenaran. Karena ia juga bermartabat.

Demikian pula, kebalikan dari keimanan, yaitu, kemunafikan, memiliki tiga karakteristik, yang berlawanan dengan keimanan: sikap menjilat, keinginan untuk merusak, dan arogansi yang mengarah pada penghinaan orang lain.

Jika engkau telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa kemunafikan menyebabkan seseorang rendah diri, yang menghasilkan kehinaan; di sini dia bersikap riya, yang berarti dia menjilat, yang berarti berbohong. Maka [ayat] ini mengisyaratkannya dengan kata-katanya, وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُواقَالُوا آمَنَّا﴿ - wa idzâ laqû alladzîna âmanû qâlû âmannâ (“dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 'kami telah beriman.’”)

Selain itu, kemunafikan merusak hati, dan kerusakannya menimbulkan perasaan yatim di ruh; yakni, makhluk tanpa pemilik, pelindung, dan tuan; sehingga lahir rasa takut, yang membuat orang seperti itu cenderung pergi menyembunyikan diri. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata وَإِذَا خَلَوْا﴿ - wa idzâ khalaw (“dan bila mereka kembali”).

Juga, kemunafikan menyebabkan seseorang memutuskan hubungan dengan keluarganya, dan ini memadamkan rasa kasih sayangnya, lalu kepunahannya mengarahkan seseorang melakukan perusakan, yang mengarah ke pertikaian, yang mengarah ke pengkhianatan, yang mengarah ke kelemahan, yang memaksanya untuk mencari pendukung dan pembantu. Hal ini ditunjukkan melalui frasa إِلَى شَيَاطِينِهِم﴿ - ilâ syayâtînihim (“kepada syaitan-syaitan mereka”).


91. Page

Kemudian, karena kemunafikan merupakan kebodohan keragu-raguan,[1] hal itu menyebabkan [orang-orang munafik] goyah, yang mengarah ke ketidakstabilan mereka, lalu mereka tidak memiliki prospek, kemudian mereka tidak dipercaya, dan ini memaksa mereka untuk terus memperbaharui perjanjian mereka. Urutan kejadian ini ditunjukkan dengan kata-kata, قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ﴿ - qâlû inna ma'akum (“mereka mengatakan: 'sesungguhnya kami sependirian dengan kamu'”).

Kemudian, merasa perlu membuat alasan, dari sikap plin-plan mereka keluar sikap meremehkan kebenaran. Karena diri mereka sendiri tidak berharga, mereka mendepresiasi nilai mereka. Disebabkan karena kehinaan mereka sendiri, mereka tidak menghargai hal-hal yang tinggi. Dan dalam kelemahan mereka, mereka terbawa oleh kepongahan. Al-Qur'an menyinggung hal ini dengan kata-kata: إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُون﴿ - innamâ nahnu mustahzi'ûn (“kami hanyalah berolok-olok”).

Ketika berharap dari alur pemikiran ini agar orang beriman menjawab [orang-orang munafik], sang pendengar melihat bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah membalas kepada mereka, menggantikan [orang-orang beriman]. Hal ini sebagai penghormatan dari Allah kepada orang-orang beriman dan isyarat ejekan mereka terhadap orang-orang beriman bukan apa-apa dibanding hukuman Allah Yang Maha Tinggi terhadap mereka. Hal ini juga menunjukkan betapa bodohnya mereka. Mereka layak diusir dan ditolak. Sebab, bagaimana bisa orang yang memiliki Allah sebagai pelindungnya dipermainkan? Maka, Yang Maha Tinggi berfirman: اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ﴿ - Allâh yastahziu' bi-him (“Allah akan membalas olok-olokan mereka”). Artinya, Dia akan menghukum mereka dengan keras atas ejekan mereka dengan [cara] membuat mereka terus-menerus diejek dan dicemooh di dunia dan di akhirat.

Dan frasa وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُون﴿ - wa yamudduhum fi tughyânihim ya'mahûn (“dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka”) menetapkan apa bentuk ejekan [Allah ini yang akan berlangsung], sebagai hukuman atas ejekan mereka.

Adapun aspek nadzam bagian-bagian dari frasa [dan hubungan di antaranya], sebagai berikut:

Ketahuilah: Frasa إِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا﴿ - idzâ laqû alladhîna âmanû qâlû âmannâ) menunjukkan pelecehan mereka.

Kemutlakan yang diungkapkan melalui إِذَا﴿ - idza menyimpulkan kepastian, kesengajaan, dan niat. Artinya, mereka sengaja berniat menemui orang-orang beriman.

Kata kerja لَقُوا﴿ - laqû menunjukkan bahwa mereka bermaksud menemui orang-orang beriman langsung di tengah-tengah masyarakat.

Penggunaan frasa الَّذِينَ آمَنُوا﴿ - alladzîna âmanû menggantikan kata "orang-orang yang beriman (المؤمنين - al-mu'minûn)" menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] memiliki kontak langsung dengan mereka, bahwa mereka berhubungan satu sama lain, bahwa alasan hubungan mereka adalah keimanan, dan bahwa keimanan merupakan atribut paling menonjol dari orang-orang beriman.

Kata قَالُوا﴿ - qâlû mengisyaratkan bahwa mereka mengatakan dengan mulut mereka sesuatu yang tidak terdapat di dalam hati mereka, bahwa apa yang mereka katakan menunjukkan kesemuan, kemunafikan, dan pelecehan mereka, dan bahwa mereka mengatakan itu untuk menolak tuduhan, hasrat untuk menarik keuntungan dari orang beriman, dan supaya mereka dapat mengorek rahasia mereka.

Kata آمَنَّا﴿ - âmannâ tidak berberbentk kata kerja intensif (bilâ ta'kîd) meskipun artinya menuntut demikian, dan bentuknya berupa klausa verbal (kata kerja), menunjukkan bahwa tidak ada gairah atau semangat dalam hati mereka yang mendorong mereka bersikap teguh terhadap apa yang mereka katakan.

Tidak digunakannya kata kerja intensif juga menunjukkan sanggahan berat mereka terhadap tuduhan yang diarahkan kepada mereka, seolah-olah mereka mengatakan: "Sangkalan kalian [terhadap keyakinan kami] tidak beralasan, bahkan tidak ada sama sekali, karena kami bukan orang yang dapat dituduh begitu."

Ini juga merupakan tanda bahwa sikap mereka untuk meyakinkan orang lain tersebut tidak akan laku.


[1] Sebagaimana firman Allah: Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk golongan ini (orang beriman) dan tidak pula kepada golongan orang itu (orang kafir) (Qs. al-Nisa [4]: 143)




92. Page

Hal ini juga mengisyaratkan bahwa tirai yang menutupi kebohongan dan kemunafikan mereka begitu tipis, jika didorong keras, pasti akan terkoyak.

Juga, bentuknya yang berupa klausa verbal merupakan tanda bahwa mereka tidak bisa mengklaim bersikap konsisten dan terus-menerus [dalam keyakinan mereka]; tujuan mereka berpura-pura ini, dengan klaim diperbaruinya iman, adalah untuk berbagi manfaat dengan orang-orang beriman dan menemukan rahasia mereka. 

وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُم﴿ - wa idzâ khalaw ilâ shayâthinihim qâlû innâ ma'akum.

Kata "waw" yang meliputi, yang terdapat pada kata وَإِذَا﴿ - wa idzâ, menunjukkan bahwa kata-kata ini ditempatkan demikian untuk memperjelas sikap orang-orang munafik yang tidak mematuhi cara tertentu, dan untuk menggambarkan kebimbangan mereka [sebagaimana] terurai melalui kedua klausa bersyarat [frasa ini dan yang terakhir]. Dan kepastian yang diungkapkan melalui kata إِذَا﴿ - idza) menunjukkan bahwa kerusakan mereka dan upaya perusakan mereka telah mendorong mereka beranggapan bahwa sudah merupakan tugas mereka yang semestinya untuk meminta bantuan perlindungan.

Kata kerja خَلَوْا﴿ - khalaw menyimpulkan bahwa pengkhianatan mereka menyebabkan mereka takut, dan ketakutan mereka menyebabkan mereka menyembunyikan diri.

Penggunaan "إِلَى﴿ - ilâ bukan "مع - ma'a (bersama)" yang [lebih tepat] digunakan untuk kata kerja خَلَوْا﴿, menunjukkan bahwa karena kelemahan dan ketidak-mampuan mereka, mereka [harus] berlindung [kepada orang lain], serta karena kerusakan dan intrik mereka, mereka menyerahkan rahasia orang-orang beriman kepada orang-orang kafir.

Istilah الشياطين﴿ - syayâtîn menunjukkan bahwa kepala mereka seperti setan, yang tersembunyi dan selalu membisikkan kejahatan, bahwa mereka menyebabkan kerusakan seperti setan, dan bahwa mereka berada di jalan setan, yang tidak dapat mempersepsi apa pun kecuali kejahatan.

Frasa قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ﴿ - qâlû innâ ma'akum mengungkapkan bahwa mereka telah memenuhi kewajiban mereka, memperbaharui perjanjian mereka, dan mereka bersikap teguh dengan langkah mereka. Maka, ketahuilah, [pernyataan] di [frasa ayat] ini begitu tegas meskipun tidak ada penolakan dibuat, sedangkan di kalimat sebelumnya tidak ada ketegasan itu meskipun ada penolakan, yang merupakan bukti kurangnya keinginan kuat dalam hati pembicara di kalimat sebelumnya, dan ditemukan pada kalimat ini.

Adapun bentuk nominal (isim) [kata مُسْتَهْزِئُون﴿] di kalimat ini, sementara [kata آمَنَّا﴿ - âmannâ] di kalimat sebelumnya berbentuk verbal (fi'il), itu karena maksudnya untuk menegaskan keteguhan mereka dalam kemunafikan dan ketidak-teguhan mereka dalam keyakinan.

Adapun إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُون﴿ - innamâ nahnu mustahzi'ûn, ketahuilah:

Frasa ini tidak tersambung dengan frasa sebelumnya melalui suatu hubungan (washl), karena hubungan tidak digunakan untuk menyambung kalimat-kalimat yang benar-benar terhubung satu sama lain atau yang benar-benar tidak berhubungan, tapi hanya dengan [kalimat-kalimat yang] di tengah-tengah keduanya. Frasa ini di satu sisi merupakan pengganti (badal) untuk yang sebelumnya, dan di sisi lain menguatkan hal itu; karena itu keduanya saling terkait dengan sempurna. Kemudian, di sisi lain lagi, itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang implisit dan benar-benar tidak berhubungan. Sebab, pada umumnya, jawaban merupakan kalimat atau klausa deklaratif (ikhbâriyyah), sementara pertanyaan mengungkapkan keinginan, permintaan, atau kondisi (insyâ'iyyah).

Terkait dengan ini klausa yang menguatkan klausa sebelumnya, yang menjadi penggantinya, dan yang lebih dekat dengannya, itu menandakan penghinaan terhadap kebenaran dan para pengikutnya, sehingga menjadi pengagungan terhadap kebatilan dan pengikutnya; inilah arti: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu."

Dan terkait dengan bentuknya sebagai jawaban atas pertanyaan yang tersirat, itu seolah-olah setan mereka mengatakan kepada mereka: "Jika engkau bersama kami dan sejalan dengan kami, mengapa engkau bersepakat dengan orang-orang beriman? Entah engkau mengikuti keyakinan mereka, atau engkau tidak memiliki keyakinan." Dengan meminta maaf, mereka menjawab: "Kami hanya berolok-olok atau bercanda," mereka juga menyatakan secara eksplisit bahwa mereka sama sekali bukan termasuk bagian dari Islam. Dengan menggunakan kata pembatas إِنَّمَا﴿ - innamâ, mereka juga menyimpulkan 

93. Page

bahwa mereka tidak ragu-ragu atau tanpa mazhab atau keyakinan yang dikenal, dan dengan menggunakan kata partisip aktif (fâ'il) مُسْتَهْزِئُونَ﴿ - mustahzi'ûn (“orang-orang yang mengolok-olok, bercanda”), mereka mengisyaratkan bahwa olok-olok merupakan salah satu sifat dan karakteristik permanen mereka. Dengan demikian, mereka tidak serius dalam tindakan mereka ini.

Adapun klausa اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ﴿ - Allâh yastahziû bi-him, ini tidak bersambung dengan yang sebelumnya; bahkan, ia terputus dan terpisah darinya.

Karena jika ia tersambung melalui kata penghubung dengan إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ﴿ - innamâ nahnu mustahzi'ûn), ia akan juga harus menguatkan pernyataan إِنَّا مَعَكُمْ﴿ - innâ ma'akum.

Dan jika ia tersambung dengan قَالُوا﴿ - qâlû, ia juga harus berbicara dengan mereka.

Dan jika ia tersambung dengan قَالُوا﴿ - qâlû, ia juga harus terbatas pada saat sendirian, sedangkan Allah mengolok-olok mereka terus.

Dan jika ia tersambung dengan إِذَا خَلَوْا﴿ - idzâ khalaw, itu harus termasuk yang melengkapi sikap plin-plan mereka.

Dan jika ia tersambung dengan إِذَا لَقُوا﴿ - idzâ laqû, kedua klausa harus bertujuan sama. Padahal yang pertama menjelaskan apa yang telah mereka lakukan, dan yang kedua untuk hukuman mereka. Dengan demikian, karena semua kemungkinan yang menuntut hubungan tidak valid, maka hubungan agar klausa ini harus tersambung dengan semua yang sebelumnya tidak berlaku. Sehingga ia hanya bisa tidak terhubung ke frasa sebelumnya (musta'nifah), sebagai jawaban atas pertanyaan tersirat.

Lalu, ketidak-terhubungan ini mengisyaratkan dan menunjukkan bahwa kejahatan dan kebejatan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka mendorong roh semua orang yang menyadari mereka akan bertanya: "Bagaimana orang yang berperilaku seperti itu nanti dihukum?"

Klausa itu diawali dengan kata اللَّهُ﴿ - Allah, meskipun pendengar berharap melihat orang-orang beriman menghadapi mereka, itu menunjukkan penghormatan [Allah] terhadap orang-orang beriman dan kasih sayang-Nya pada mereka, sehingga Dia yang menghadapi orang-orang munafik menggantikan mereka.

Ini juga merupakan petunjuk pengekangan terhadap orang-orang munafik, sebab orang yang didukung oleh Dzat Yang Maha Mengetahui hal gaib itu tidak bisa dipermainkan.

Juga, fakta bahwa klausa ini terlepas dan tidak peduli dengan mereka ejekan mereka menunjukkan bahwa ejekan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hukumannya.

Selain itu, penggunaan istilah "mengolok-olok" (istihza’) untuk menggambarkan hukuman Allah Yang Maha Tinggi terhadap mereka -- yang tidak layak dilihat dari Keagungan-Nya -- dimaksud untuk memberikan ide kesamaan [di antara pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan], dan untuk menunjukkan bahwa hukuman itu merupakan balasan atas ejekan mereka dan hasil yang tak terelakkan, meskipun tujuannya untuk mempermalukan dan menghina mereka.

Selain itu, ia mengisyaratkan bahwa ejekan mereka terhadap orang-orang beriman tidak berguna bagi mereka, bahkan, merugikan mereka, seolah-olah Allah Yang Maha Tinggi yang mengejek mereka sendiri. Seperti seseorang yang berpikir dia mengolok-olok Anda, tetapi Anda melihatnya seperti orang gila dan Anda ingin dia berbicara dengan Anda bahkan jika dia menyakiti Anda, agar Anda bisa mentertawainya, sebab olok-olokannya merupakan bagian dari olok-olokan Anda.

Di sini, kata يَسْتَهْزِئُ﴿ - yastahziu berbentuk kata kerja masa mendatang (mudlari'), meskipun pada ayat sebelumnya مُسْتَهْزِئُونَ﴿ - mustahzi'ûn berbentuk kata partisip aktif (isim fa'il). Ini menunjukkan bahwa hukuman Allah Yang Maha Tinggi dan perendahan-Nya atas mereka terus-menerus diperbarui sehingga mereka menderita rasa sakit dan terpengaruh olehnya. Sebab, sesuatu yang berlangsung terus-menerus biasanya berkurang dampaknya, atau hilang sama sekali. Inilah alasan dikatakan bahwa diperlukan variasi yang berbeda-beda untuk membuat sesuatu benar-benar terasakan.

 

Adapun klausa, وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ﴿ - wa yamudduhum fi tughyânihim ya'mahûn, artinya, mereka memanfaatkan sarana-sarana kesesatan dan mencarinya, sehingga Allah Yang Maha Tinggi memberikannya kepada mereka. 


94. Page

Dengan demikian, kata يَمُدُّ﴿ - yamuddu menyiratkan sanggahan terhadap Muktazilah, [yang menegaskan manusia menciptakan perbuatannya sendiri]

Dan karena يَمُدُّ﴿ - yamuddu mengandung makna 'mencari bantuan' (istimdâd), ia menunjukkan penolakan pada Jabariyah; yaitu, dengan menyalahgunakan kehendak mereka, orang-orang munafik memilih jalan ini dan meminta bantuan untuk mengikutinya, sehingga Allah Ta’ala membantu mereka, dan melepas kekang mereka.

Penambahan akhiran pronominal هُمْ﴿ - hum pada kata "الطغيان - tughyân” (kesesatan, lit. pemberontakan), yakni, mereka memilihnya dengan kehendaknya sendiri, menandakan bahwa mereka tidak dipaksa sehingga mereka mungkin dimaafkan. Sementara "tughyân" [yang berarti meluap dan melampaui batas] menunjukkan bahwa bahaya mereka telah membanjiri segala sesuatu yang baik. Seperti banjir, ia menghancurkan fondasi kesempurnaan, dan tidak ada yang tersisa kecuali rumput kehitam-hitaman.

يَعْمَهُونَ﴿ - ya'mahûn, yakni, mereka bingung dan ragu-ragu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keyakinan dan tidak mempunyai tujuan yang pasti.