NAVIGATION
97. Page
﴿مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَ يُبْصِرُونَصُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ﴾
(Matsaluhum kamatsal alladhi istawqada nâran fa-lammâ adlâat mâ hawlahu dzahaba Allâh bi-nûrihim wa tarakahum fi dhulumâtin lâ yubshirûn * summun bukmun 'umyun fa-hum lâ yarji'ûn.)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. * Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Ketahuilah: Asas kemukjizatan al-Qur'an terletak pada kebalaghahan struktur katanya (nadzam), dan kebalaghahan nadzam ini terbagi dua jenis:
Yang pertama seperti hiasan (hîlyah), dan yang kedua seperti pakaian (hullah).
Jenis pertama: Seperti mutiara yang diuntai, hiasan yang dibuat dengan halus, dan bordir bertabur permata. Ini berasal dari makna gramatikal verbal pembicaraan, seperti emas cair yang meleleh di antara bongkahan perak. Buah [kebalaghahan nadzam] jenis ini, yang berupa poin-poin lembut, itulah yang disajikan penjelasannya oleh seni ['Ilmu] al-Ma'âni.[1]
Jenis Kedua: Seperti gaun mahal atau pakaian kehormatan, yang dipotong menurut ukuran perawakan makna, yang dijahit dari potongan yang berbeda-beda dengan jahitan apik, lalu dipakaikan pada makna, cerita, atau tujuan sekaligus. Pencipta dan ahlinya di bidang ini adalah seni ['Ilmu] al-Bayân.[2] Salah satu permasalahan paling penting dari jenis ini adalah perumpaan alegoris (tamtsîl).
Al-Qur'an memuat banyak tamsil hingga jumlahnya mencapai seribu; karena, tamsil mengandung rahasia lembut dan hikmah tinggi. Sebab, melalui tamsil, khayalan dikalahkan dengan akal, imajinasi dipaksa tunduk mengikuti pikiran, dengannya yang gaib diubah menjadi hadir, yang abstrak dibuat terasakan, makna dibuat terwujud, dengannya yang terpisah-pisah menjadi terkumpul, yang tercampur dan yang beragam jadi menyatu, yang terputus bisa tersambung kembali, dan yang tak berdaya dipersenjatai. Jika engkau ingin mendengar penjelasan rinci, dengarkan bersama saya apa yang didendangkan penulis Dalâil al-I'jâz[3] di dalam karyanya Asrâr al-Balaghâh,[4] yang berkata:
Pasal tentang Penggunaan Tamsil Yang Tepat dan Efektif[5]
Ketahuilah, di antara yang disepakati para cendekiawan ('uqalâ') ialah bahwa, ketika tamsil tampil dalam rangkaian makna, atau ketika makna muncul secara ringkas melalui tamsil, dan berubah dari bentuk aslinya ke bentuk [tamsil], sehingga tamsil itu pun membungkusnya dengan pakaian sangat anggun, membuatnya mulia, meningkatkan nilainya, menyalakan semangat mudanya, melipat-gandakan
[1] Ilmu Ma'ani adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal lafadz atau kata bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Lihat Miftah al-'Ulum 274, al-Idlah fi 'Ulum al-Balaghah 1/16, Maqalid al-'Ulum 93, Dustur al-'Ulama'2/266, al-Ta'rifat 1/201, al-Ta'arif 524, al-Mushthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha karya Ahmad Mathlub 3/276.
[2] Ilmu al-Bayan adalah dasar-dasar dan kaidah yang digunakan untuk mengetahui bagaimana mendatangkan satu makna yang di kehendaki pembicara dengan berbagai cara atau susunan kata yang sebagiannya berbeda dengan sebagian yang lain di dalam menunjukan kejelasan makna tersebut. Lihat Miftah al-'Ulum 249, al-Idlah fi 'Ulum al-Balaghah 201, al-Ta'rifat 200, Mu'jam Maqalid al-'Ulum 98, Mu'jam Mushthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha karya Ahmad Mathlub 1/406.
[3] Imam Abdul Qahir al-Jurjani (wafat 474 H). Dalail al-I'jaz merupakan karyanya di bidang ilmu Ma'ani, termasuk salah satu karya awalnya yang dicetak Syekh Rasyid Ridha, tapi yang paling terkenal adalah cetakan Syekh Mahmud Syakir di Percetakan al-Madani, Kairo, 1991.
[4] Di antara kitab karya-karya awal Abdu Qahir al-Jurjani mengenai Ilmu al-Bayan dan al-Badi’, ditahkik Ahmad Mushthafa al-Maraghi 1948. Kitab ini terus dicetak, hingga terbit edisi yang ditahqiq Syeikh Mahmud Syakir di Penerbit al-Madani, Kairo, tahun 1991.
[5] Lihat lengkapnya di Asrar al-Balaghah, yang dita'liq Syeikh Syakir, hal 115-116.
98. Page
daya tariknya dalam menggerakkan jiwa, mengajak hati condong padanya, membangkitkan relung hati dengan siraman perasaan, dan menundukkan tabiat melalui cinta dan kerinduan.
Karena, jika [apa yang dimaksudkan] adalah pujian, [tamsil akan membuatnya] lebih indah dan megah; lebih luhur dan agung; lebih menggairahkan emosi, lebih cepat dalam mengakrabkan makna, lebih menimbulkan suka cita; lebih mengena pada si pujaan, lebih mengharuskan pemberian syafaat bagi si pemuji; lebih bijaksana dalam memberi hadiah dan penghargaan, lebih mudah di lidah dan lebih gampang disebut; lebih tepat [maknanya] melekat di hati, dan lebih layak.
Jika [apa yang dimaksudkan] adalah kecaman, [tamsil membuat] sentuhannya lebih menggigit, pencapannya lebih terasa, dampaknya lebih parah, ketajamannya lebih menusuk.
Jika [apa yang dimaksudkan] adalah argumen dan bantahan, bukti [tamsil ini] lebih terang, kekuatannya lebih meyakinkan, penjelasannya lebih mempesona.
Dan jika [apa yang dimaksudkan] adalah kebanggaan, cita-citanya akan menjangkau lebih jauh, kehormatannya lebih hebat, dan lidahnya akan lebih penuh semangat.
Dan jika [apa yang dimaksudkan] adalah permintaan maaf, [tamsil] lebih dekat dengan hati dan lebih baik dalam membujuknya, lebih lembut dalam menghilangkan kebencian, lebih efektif dalam memadamkan kemarahan, mantranya lebih menusuk, lebih memotivasi dalam mengajak kembali baik.
Dan jika [apa yang dimaksudkan] adalah teguran, [tamsil] lebih menyembuhkan bagi dada, lebih kondusif untuk berpikir, lebih fasih dalam memperingatkan dan menegur, lebih baik dalam mengungkap maksud dan meneropong tujuan, mengatasi orang sakit, dan menyembuhkan rasa dendam.
Jika Anda menyelidiki jenis dan keragaman seni bertutur serta mempelajari kategori dan cabang-cabangnya, Anda akan melihat memang beginilah ketentuannya. (Selesai).
Ayat-ayat berikut ini memuat bukti kemukjizatan al-Qur'an dan misteri balaghah. Kami menyebutkannya di sini karena relevansinya dengan hal-hal yang akan dibahas dalam mukaddimah yang akan datang:
Contoh tamsil di maqam pujian adalah apa yang diberikan al-Qur'an mengenai sifat sahabat [Nabi]:
﴿مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ﴾
"Demikianlah perumpamaan mereka dalam Taurat dan perumpamaan mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya" (Qs. al-Fath [48]: 29). Silahkan buat kias sendiri untuk hal serupa.
Di maqam kecaman terdapat ayat-ayat:
﴿فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ﴾
"Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)" (Qs. al-A'raf [7]: 176).
﴿مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا﴾
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal" (Qs. al-Jumu'ah [62]: 5).
﴿إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلالاً فَهِيَ إِلَى الأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُون﴾
"Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu dileher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah" (Qs. Yasin [36]: 8). Silahkan buat kias selanjutnya.
Di maqam argumen dan deduksi:
﴿مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا﴾
"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api" (Qs. al-Baqarah [2]: 17).
99. Page
﴿أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ﴾
"Atau seperti (perumpamaan orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita... (sampai akhir ayat)" (Qs. al-Baqarah [2]: 19).
﴿مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ إِلاَّ دُعَاءً وَنِدَاءً﴾
"Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja" (Qs al-Baqarah [2]: 171).
﴿مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا﴾
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui" (Qs. al-'Ankabut [29]: 41).
﴿أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ﴾
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu" (Qs. al-Ra'd [13]: 17).
﴿ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً﴾
"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya?" (Qs. al-Zumar [39]: 29). Dan buatlah kias atasnya.
Sebagai contoh tamsil untuk [maqam] kebanggaan -- meskipun tidak disebut kebanggaan -- yang menggambarkan keagungan ilahi dan kesempurnaan-Nya, ialah firman Allah S.w.t:
﴿وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ﴾
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan!" (Qs. al-Zumar [39]: 67). Dan buatlah kias atasnya untuk seterusnya.
Satu-satunya contoh tamsil di maqam permintaan maaf dan sikap mencari-cari alasan tidak diketemukan kecuali alasan batil para pembuatnya, sebagai bantahan terhadap mereka, seperti firman-Nya:
﴿وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ﴾
"Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding'"(Qs. Fusshilat [41]: 5). Dan buatlah kias untuk contoh seterusnya.
Dari syair:
لا تَحْسَبُوا أَنَّ رَقْصِي بيْنَكُمْ طَرَبٌ فَالطّيْرُ يَرْقُصُ مَذبُوحًا مِنَ الألَمِ
Jangan kira tarianku di antara kalian ini kegembiraan
Burung menari disembelih kepedihan
100. Page
Contohnya dari [maqam] teguran tentang kemewahan dunia adalah apa yang disebutkan al-Qur'an Mulia:
﴿كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا﴾
"Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur" (Qs. al-Hadid [57]: 20).
﴿أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ﴾
"Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya" (Qs. al-Zumar [39]: 21).
﴿إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً﴾
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" (Qs. al-Ahzab [59]: 21).
﴿لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (Qs. al-Hasyr [59]: 21).
﴿فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَكَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةفَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ﴾
"Maka mengapa mereka [orang-orang kafir] berpaling dari peringatan [Allah], seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa" (Qs. al-Muddatstsir [74]: 49-51).
﴿مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ﴾
"Perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh] orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah [2] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji" (Qs. al-Baqarah [2]: 261).
﴿كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ﴾
"Seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat" (Qs. al-Baqarah [2]: 265).
Contoh tamsil amal shaleh gugur karena menista orang lain dan riya:
﴿أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ﴾
"Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah?" (Qs. al-Baqarah [2]: 266)"
﴿مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلاَلُ الْبَعِيد﴾
"Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfa’at sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan [di dunia]. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh" (Qs. Ibrahim [14]: 18).
101. Page
Beberapa contoh dari kategori perkataan (kalam). [Contoh] maqam deskripsi (washf):
﴿ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ﴾
"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan suka hati'" (Qs. Fusshilat [41]: 11).
﴿قِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ﴾
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah.' Dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang zalim'." (Qs. Hud [11]: 44).
﴿أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءتُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا﴾
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya" (Qs. Ibrahim [14]: 24-5).
﴿وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ﴾
"Dan perumpamaan kalimat yang buruk [1] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap [tegak] sedikit pun" (Qs. Ibrahim [14]: 26).
Dari bait syair:
والليلُ تجْري الدَّراري في مَجَرَّتِه كالرّوْضِ تَطْفو على نَهْرٍ أزاهرُه
Malam mengedarkan bintang-bintang berputar pada porosnya
seperti taman yang bunga-bunganya mengapung di atas sungai.[1]
Ketahuilah: Setiap ayat dari ayat-ayat tamsil ini memiliki tingkatan, derajat, bentuk, dan gayanya yang berbeda-beda. Masing-masing mengandung poin-poin lembut kebenaran.
Jika engkau mengambil cawan perak, dan engkau menghiasinya dengan cairan emas, mengukirnya dengan permata, kemudian engkau menjadikannya benda bercahaya dan berkilau dengan menyolokkan listrik, engkau akan melihat di dalamnya berbagai tingkat keindahan dan jenis perhiasan. Demikian pula, di semua ayat ini, isyarat dan kiasan diperluas [melalui cara] tamsil, dari tujuan utamanya ke maqam-maqam [tersebut di atas]; seolah-olah asal tujuannya menggelinding di seluruh tingkatan ini, menggabungkan warna dan andil dari masing-masing, hingga terbentuk menjadi kata-kata ringkas komprehensif (jawâmi' al-kalimât), atau bahkan epitomi (jam'u al-jawâmi', ringkasannya ringkasan yang komprehensif).
Mukaddimah [tentang Balaghah]
Ketahuilah: Orang yang berbicara berusaha mengungkapkan makna dan meyakinkan akal dengan memberikan bukti. Kemudian, dengan tamsil, ia pun menggairahkan perasaan dalam hati nurani, sehingga membangkitkan kesukaan atau kebencian dalam hati, dan menyiapkannya untuk menerima [kata-katanya].
\ Dengan demikian, perkataan yang fasih (kalâm balîgh) adalah perkataan yang manfaatnya dapat diterima oleh akal dan hati nurani secata bersamaan; selain masuk ke akal, ia juga menetes ke hati nurani. Tamsil menjamin tersedianya kedua aspek ini, sebab ia memuat kiasan (analogi), dan melalui [kiasan] ini, hukum yang tercakup dalam tamsil itu tereflesikan di cermin sesuatu yang diwakilinya. Seolah-olah, perkataan adalah proposisi yang didukung dengan bukti. Sebagai contoh, engkau mungkin mengatakan
[1] Bait syair karya Ibnu al-Nabih al-Misri (wafat 619 H.) dimuat dalam buku kumpulan puisinya hal. 6. Lihat al-Khazanah 342.
102. Page
tentang seorang pemimpin yang menderita kesulitan demi kenyamanan rakyatnya: "Gunung yang tinggi menahan beban es dan salju, sementara lembah di bawahnya tumbuh hijau dan berkembang."
Dasar tamsil adalah perumpamaan (tasybîh), yang fungsinya membangkitkan rasa enggan, kesukaan, dan kecenderungan, atau rasa benci, heran, dan kagum. Kadang-kadang perumpamaan difungsikan untuk mengagungkan atau menghinakan, untuk membangkitkan rasa suka atau enggan, untuk mencemarkan, memperindah, atau menenangkan, dan sebagainya.
Hati nurani terangsang oleh bentuk gaya bahasa [tamsil], dan perasaan terprovokasi oleh kecenderungan atau kebencian.
Selanjutnya, di antara sebab yang mendorong kebutuhan pada tamsil adalah kedalaman makna dan kedetilannya, yang diperjelas melalui tamsil; atau [karena] tujuan [dari apa yang dimaksudkan oleh perkataan] berbeda-beda dan tersebar, sehingga tamsil [dibutuhkan] untuk mengikatnya bersama-sama.
Di antara [tamsil jenis] yang pertama adalah [ayat-ayat] mutasyâbihât al-Qur'an Mulia; sebab, menurut para ulama otoritatif (ahl al-tahqîq), ayat-ayat ini semacam tamsil [kelas] tinggi, sarana mengekspresikan kebenaran belaka, dan ide-ide abstrak.
[Tamsil jenis ini digunakan dengan alasan, salah satunya], karena orang awam pada umumnya tidak dapat menerima kebenaran kecuali dalam bentuk khayalan, dan mereka tidak dapat memahami ide-ide abstrak kecuali melalui gaya tamsil. Hal ini menuntut penggunaan mutasyabihat (ekspresi alegoris) seperti ayat, "﴾اسْتَوَى عَلَى الْعَرْش﴿ “lalu Dia bersemayam di atas ’Arsy" (Qs. al-A'raf [7]: 54). [Tujuannya,] untuk mengakrabkan pemahaman pada pikiran mereka, serta untuk menyesuaikannya dengan [tingkat] pemahaman mereka.
Beberapa waktu silam, saya telah menyimpulkan dari esensi balaghah (retorika) sebanyak dua belas masalah sebagai pengantar untuk menguraikan kemukjizatan al-Qur'an. Masing-masing darinya merupakan benang (khayt) [yang merangkai] banyak kebenaran.(1) Karena ayat-ayat yang mengandung tamsil dan perumpamaan telah disebutkan -- sekaligus -- di atas, sekarang lebih tepat bagi kami untuk merangkum [kedua belas] masalah tersebut. Maka kami katakan -- "bi Allâh al-tawfîq (kesuksesan itu tercapai karena Allah semata)" -- sebagai berikut:
Masalah Pertama:
Sumber torehan ukiran balaghah tidak lain adalah susunan makna-makna (nadzm al-ma'âni); sumbernya bukan susunan kata-kata, sebagaimana dikatakan para sarjana literalis (lafdziyyûn) yang melampaui batas. Kesukaan mereka pada kata-kata berkembang menjadi penyakit kronis sampai akhirnya 'Abd al-Qahir al-Jurjâni membantah mereka dalam bukunya Dalâil al-I'jâz dan Asrâr al-Balâghah, mendebat mereka di lebih dari seratus halaman bukunya.
Susunan makna (nadzm al-ma'âni): Mengungkapkan makna-makna gramatikal (nahwiyyah) secara sistematis di antara kata-kata; yaitu, melarutkan makna-makna literal (harfiyyah) di antara kata-kata untuk mendapatkan sulaman baru yang unik.
Jika engkau memperhatikan lebih cermat, engkau akan melihat bahwa saluran alami pemikiran dan emosi tak lain adalah susunan makna (nadzm al-ma'âni).
Susunan makna itulah yang dibangun kokoh melalui aturan logika.
Sebab, gaya logika itulah yang membuat pikiran bergerak maju menuju kebenaran.
Dan pikiran yang mencapai kebenaran itulah yang menembus seluk-beluk esensi segala sesuatu (mâhiyât) dan hubungan-hubungannya.
Dan hubungan di antara esensi segala sesuatu inilah yang merupakan ikatan tatanan [alam semesta] yang paling sempurna.
Dan tatanan paling sempurna ini merupakan bungkus dari keindahan sejati, yang merupakan sumber dari segala keindahan.
Dan keindahan sejati ini merupakan taman bunga balaghah yang disebut kelembutan (lathâif) dan kata-kata elok menawan.
103. Page
Taman penuh bunga inilah tempat burung bulbul berkelana, yang dikenal dengan orang-orang ahli balaghah dan para pecinta kreasi.
Dan burung-burung bulbul tersebut, nyanyian mereka yang merdu dan lembut tak lain muncul dari gema spiritual harmonis yang mengalir dari pipa susunan makna-makna (nadzm al-ma'âni).
Ringkasan: Alam semesta berada di puncak balaghah. Sang Pencipta menyusunnya dan merangkainya dengan sempurna, begitu fasih. Semua bentuk dan spesies yang ada di dalamnya -- dikarenakan keteraturan masuk di dalamnya -- merupakan sebagian mukjizat qudrat ilahi. Jadi, ketika perkataan berkesuaian dengan realitas, dan susunannya sesuai dengan tatanan [realitas], tercapailah kefasihan bahasa secara keseluruhan. Tetapi jika ia lebih berpaling pada penyusunan kata-kata [indah] semata, maka ia akan jatuh ke kepura-puraan dan riya, seolah-olah jatuh di tanah tandus atau fatamorgana yang menipu.
Rahasia [mengapa para sarjana literalis] menyimpang dari karakter balaghah [yang asli] adalah:
Tatkala orang non-Arab tertarik dan terarabkan oleh daya pikat kekuasaan Arab, seni merangkai kata-kata menjadi lebih penting bagi mereka. Akibat pembauran mereka dengan orang-orang Arab, kemampuan berbicara gaya Mudlar,[1] yang merupakan dasar dari kebalaghahan al-Qur'an, menjadi rusak; cermin gaya bahasa al-Qur'an Mulia pun ternoda -- meskipun itu muncul dari emosi kaum suku "Mudlar" dan temperamen mereka. Banyak ulama mutakhir kala itu kemudian tergiur dengan cinta kata-kata.
Catatan: Menghiasi kata-kata hanya akan berhasil jika mengikuti tuntutan watak asli makna.
Dan keagungan bentuk makna hanya akan tercapai jika sesuai dengan kehendak makna.
Dan memoles gaya bahasa hanya akan menambah kefasihan jika dibantu kesiapan apa yang dimaksudkan.
Dan kelembutan perumpamaan (tasybîh) hanya akan menjadi suatu balaghah jika didasarkan atas kesesuaian maksud yang dituju, dan disetujui oleh apa yang diinginkan.
Dan kehebatan imajinasi dan daya jelajahnya hanya akan termasuk bagian dari balaghah jika tidak merusak kebenaran, atau memberatkannya, dan imajinasi memberikan contoh kebenaran, bersemi darinya.
Jika engkau menginginkan beberapa contoh komprehensif mengenai persyaratan ini, hendaknya engkau merujuk ayat-ayat tamsil yang telah disebutkan di atas.
Masalah Kedua:
Jika sihir retoris (al-sihr al-bayânî) terwujud dalam perkatan (kalâm), ia akan mengubah aksiden (gejala umum) menjadi substansi, makna menjadi wujud, benda mati memperoleh ruh, dan tanaman menjadi [seperti] makhluk berakal. Kemudian berlangsung percakapan di antara mereka yang kadang-kadang mengarah pada percekcokan, dan kadang-kadang sampai pada kelakar. Benda mati pun mulai menari-nari di hadapan imajinasi. Jika engkau menginginkan contoh, masuklah ke bait syair ini:
يُنَاجِيني الإِخْلاَفُ مِنْ تَحْتِ مَطْلِهِ فَتَخْتَصِمُ الآمَالُ وَالْيَأْسُ في صَدْرِي
Khianat berbisik padaku dari balik penundaannya,
[1] Dinisbahkan kepada Mudlar, salah satu suku Adnan, nasabnya mengacu pada Nadlar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Lihat al-Bidayah wa al-Nihayah 2/156. Di dalam kitab al-Mashahif karya Abu Daud al-Sijistani disebutkan, "Ketika Umar ingin menuliskan imam, seorang sahabat maju seraya berkata bahwa jika kalian berselisih tentang bahasa, maka tulislah dengan bahasa Mudlar, sebab al-Qur'an diturunkan kepada seorang lelaki dari Mudlar." Lihat al-Mashahif 63. Di dalam tafsir al-Qurthubi disebutkan, "Hendaknya kalian berhujjah dengan kata-kata Utsman, sebab al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Mudlar." Lihat al-Qurthubi 1/45, al-Itqan 1/134. Di dalam al-Mazhar 1/167 disebutkan: "Dari Ibnu Mas'ud diriwayatkan bahwa beliau Nabi S.a.w lebih menyukai orang-orang yang menulis mushaf berasal dari Mudlar."
104. Page
Harapan dan keputusasaan saling berkecamuk di dadaku.[1]
Atau dengarkan percintaan antara bumi dan hujan di bait:
تَشَكَّى الأرض غَيْبَتَهُ إليه وَتَرْشُفُ مَاءَهُ رَشْفَ الرُّضاب
Bumi mengeluh pada hujan yang terlambat datang
Lalu menghisap airnya dengan hirupan bibirnya.[2]
Gambaran ini menyuarakan tumbuhnya tanah gersang usai turunnya hujan yang datang terlambat. Karena itu, tentu harus ada benih kebenaran dalam setiap khayalan, seperti dalam contoh ini, dan harus ada cahaya kebenaran di lampu setiap metafora. Jika tidak, balaghah imajiner hanyalah dongeng belaka, yang tak berguna kecuali membangkitkan rasa heran.
Masalah Ketiga:
Ketahuilah, kesempurnaan perkataan, keindahannya, dan bungkus kemasan retorisnya, terletak pada gaya ekspresinya (uslûb). Dan gaya ekspresinya merupakan bentuk kebenaran dan model makna yang diperoleh dari potongan-potongan metafora alegoris (isti'ârât tamtsîliyyah). Seakan-akan potongan-potongan itu bioskop imajiner, seperti kata 'buah' menunjuk pada kebun, dan kata 'tempur' pada medan perang.
Selain itu, tamsil alegoris (tamtsîlât) dibangun di atas misteri hubungan antara berbagai hal, refleksinya di dalam tatanan alam semesta, dan penyebutan sesuatu atas yang lainnya. Misalnya, bagi anak-anak [petani] kurma [di Arab], melihat bulan sabit di gugusan bintang Bimasakti menghadirkan ke pikiran [gambaran] setandan anggur yang tergantung di tangkainya yang putih melengkung.[3] Seperti dikatakan dalam wahyu [al-Qur'an]: ﴾حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ﴿ (sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua)" (Qs. Yasin [36]: 39).
Kegunaan gaya tamsil (uslûb al-tamthîl), seperti yang ditunjukkan di ayat-ayat sebelumnya, ialah bahwa melalui sarana tamsil si pembicara mampu memperlihatkan akar yang dalam [yang tersembunyi di tanah] dan dapat menyatukan makna-makna yang tersebar. Ketika ia mampu menghadirkan satu aspek ke tangan pendengarnya, sangat mungkin bagi pendengar untuk menarik sisanya terhadap dirinya; ia berpindah padanya melalui media komunikasi. Dengan melihat sebagiannnya -- meskipun mungkin di kegelapan -- dia bisa maju langkah demi langkah menuju keseluruhannya. Misalnya, ahli perhiasan mendefinisikan perkataan yang fasih (kalâm balîgh) sebagai "sebuah ide yang dapat menembus [mutiara seperti bor]." Sementara penjaga kedai minuman akan mengatakannya sebagai, "apa yang dimasak dalam kuali pengetahuan." Dan penunggang unta akan menyebut perkataan fasih sebagai, "apa yang engkau ambil dengan tali kekang unta dan engkau baringkan di lekuk makna." Dengan memahami seni ini [melalui definisi-definisi ini], seseorang yang mendengarnya akan memahami semua yang dimaksudkan.
Hikmah pembentukan gaya sastra (uslûb) [tamsil] adalah bahwa si pembicara dengan kehendaknya memanggil dan membangkitkan makna yang berada di relung hati, yang dingin dan telanjang. Mereka pun muncul dan masuk ke imajinasi, lalu memakai bentuk apa pun yang mereka temukan, yang didapat di sana karena alasan seni, pekerjaan, keakraban, atau kebutuhan. Atau setidaknya mereka mengikat saputangan seninya di kepala mereka, atau mewarnainya dengan warna tertentu. Pendahuluan yang engkau temukan berupa kata-kata indah singkat di mukadimah buku (bara'at al-istihlal)[4] merupakan salah satu contoh terbaik dalam masalah ini.
Namun, gaya bertutur juga mungkin sesuai dengan imajinasi audiens, seperti gaya [sastra yang digunakan dalam] al-Qur'an. Jangan lupa hal ini!
[1] Bait syair karya Ibnu al-Mu'taz. Lihat Diwan Ibn al-Mu'taz 226, Dalail al-I'jâz 74, al-Idlah fi 'Ulum al-Balaghah 74.
[2] Lihat, al-Mutanabi, Diwan, 1/263.
[3] Lihat Ibnu Katsir 3/573, al-Qurthubi 15/30.
[4] Lihat al-Ta'rifat 63, al-Kulliyyat 244, Dustur al-'Ulama'165, Mu'jam al-Musthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha karya Ahmad Mathlub 1/388.
105. Page
Selain itu, tingkatan gaya bertutur itu berbeda-beda. Sebagiannya lebih lembut dari hembusan angin, yang ditandai dengan struktur perkataan secara keseluruhan. Sebagian lainnya lebih samar dari desas-desus perang, yang tidak dapat diendus kecuali oleh pakar perang. Seperti penciumam al-Zamakhsyarî[1] atas ayat "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" (Qs. Yasin [36]: 78). Dari ayat ini ia merasakan adanya gaya [tantangan:] "Siapa yang berani maju ke medan perang?"[2]
Jika engkau suka, perhatikan ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya, niscaya engkau akan menemukan di dalamnya kebenaran masalah-masalah ini melalui aspeknya yang paling lembut.
Dan jika engkau suka, temuilah Imam al-Bûsyîrî,[3] dan lihat bagaimana dia menulis resep dalam gaya bahasa seorang dokter melalui kata-katanya:
وَاسْتَفْرغِ الدَّمْعَ مِنْ عَيْنٍ قَدِ امْتَلأَتْ مِنَ الْمَحَارِمِ وَالْزمْ حِمْيَةَ النَّدَم
Tumpahkan air tangis dari mata yang dipenuhi
hal-hal terlarang; lakukan terus diet penyesalan.[4]
Gaya dokter disinggung melalui kata diet.
Atau dengarkan burung hudhud Nabi Sulaiman, bagaimana dia menyinggung arsitekturnya dengan kata-kata:
﴾أَلاَّ يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ﴿
Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi)" (Qs. al-Naml [27]: 25).
Masalah Keempat:
Ketahuilah, kata-kata itu memiliki kekuatan dan kekuasaan hanya jika komponennya mengkonfirmasi bait:
عِبَاراتُنا شَتى وَحسْنُكَ وَاحِدٌ وَكلٌّ إلى ذَاكَ الْجَمَالِ يُشير
Ekspresi kami bervariasi, namun kecantikanmu satu
mengkonfirmasinya] dengan segala kata-kata, susunan, dan frasanya yang saling menanggapi satu sama Dan [kita] semua menunjuk pada keindahan itu.
[Ia harus lain; masing-masing menggandeng tangan yang lain dan mendukungnya; bersama buah khususnya, masing-masing membantu sesuai kemampuannya untuk mencapai tujuan umum. Tujuan bersama ini menyerupai kolam yang semua sisinya dialiri anak sungai. Saling respon ini menimbulkan kerjasama tolong-menolong, yang menimbulkan keteraturan, yang darinya diperoleh harmoni, lalu darinya lahir keadilan dan keindahan esensial.
Rahasia balaghah ini berkilau di setiap bagian al-Qur'an, terutama di ayat:
﴾المذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴿
(Kitab [al-Qur’an] ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa)" (Qs. al-Baqarah [2]: 2), dan ayat-ayat serupa lainnya, seperti yang pernah engkau dengar:
﴾وَلَئِنْ مَسَّتْهُمْ نَفْحَةٌ مِنْ عَذَابِ رَبِّكَ﴿
“Dan jika mereka ditimpa sedikit saja dari azab Tuhanmu" (Qs. al-Anbiya' [21]: 46).
[1] Namanya Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi al-Zamakhsyari, Jar Allah, Abu al-Qasim, termasuk ulama terkemuka di bidang agama, tafsir, bahasa dan sastra. Lahir di Zamakhsyar, desa di Khawarism, pada 467 H. Dia pergi ke Makkah, tinggal lama di sana, kemudian berkelanan ke berbagai negeri, hingga akhirnya kembali ke Jurjaniyah, juga salah satu desa di Khawarism, dan wafat di sana pada 538 H. Di antara karyanya, tafsir al-Kasysyaf. Lihat biografinya di al-A'lam 7/178.
[2] Lihat tafsirnya di al-Kasysyaf 4/33.
[3] Imam Syaraf al-Din Muhammad bin Sa'id bin Hammad bin Abdullah al-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri, seorang penyair dengan bait-bait yang indah kaya makna. Karyanya berupa kumpulan puisi (diwan) yang diterbitkan. Dia dikenal dengan karyanya, Qasidah al-Burdah fi Madih al-Nabi S.a.w. Lahir pada 608 H, dan wafat pada 698 H. Lihat al-A'lam 1/139.
[4] Bait kedua puluh satu dari Qasidah al-Burdah.
106. Page
Masalah Kelima:
Ketahuilah bahwa kekayaan perkataan, keluasan, dan lebar lingkupnya, terletak pada kemampuannya melayani tujuan utama, serta tata caranya, keseluruhan bentuknya, dan makna-makna sindirannya, semua mengisyaratkan, menunjukkan, dan menunjuk ke tujuan utama bersama-sama dengan [makna] tambahan dan [makna] sekundernya. Seolah-olah tingkatan [makna] muncul satu demi satu, dan maqam demi maqam bermunculan di belakangnya.
Jika engkau menginginkan contohnya, pelajarilah ayat:
﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ﴿
“Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi" (sampai akhir ayat, Qs. al-Baqarah [2]: 11); dan ayat:
﴾وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا﴿
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman" (sampai akhir ayat, Qs. al-Baqarah [2]: 14), seperti telah diuraikan di atas.
Masalah Keenam:
Ketahuilah, makna dikumpulkan dari peta perkataan yang diambil dan ditorehkan dengan kamera dari kata-kata sesuai dengan berbagai jenis dan tingkatannya. Di antaranya seperti udara, yang bisa dirasakan tetapi tidak terlihat. Lainnya seperti uap, yang dapat dilihat tetapi tidak dapat diambil. Lainnya lagi seperti air, yang dapat diambil tetapi tidak dapat digenggam. Lainnya pula seperti logam cair, yang dapat dimuat tetapi tidak dapat ditentukan bentuknya. Dan sebagiannya lagi seperti mutiara teruntai atau emas tempaan, yang dapat diberi ciri [dan bentuk].
Kemudian, di bawah pengaruh tujuan dan maqam, makna substansial menjadi kokoh. Dan ada tiga kondisi yang membentuk makna tunggal: Tidakkah Anda mengamati, ketika beberapa masalah eksternal mempengaruhi hati nurani Anda, hati Anda gelisah? Emosi Anda sangat antusias, makna substansial beterbangan, dan kecenderungan pun bermunculan. Sebagiannya tercapai. Kemudian, yang sebagian ini mengambil bentuk, meskipun ada beberapa di antaranya yang terhambat. Dalam setiap tingkatan ini, beberapa makna menjadi mapan, beberapa lainnya mengkerut, dan yang lain lagi tertangguhkan, seperti bagian suara dihentikan ketika membentuk huruf tertentu, dan seperti bagian dari kulit jagung mengelupas ketika buahnya terbentuk.
Dengan demikian, pembicara fasih ditandai dengan kejelasan perkataan ketika mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh si pembicara, yang ditunut oleh maqamnya, dan yang diminta oleh audiensnya. Lalu, tingkatan lain makna merujuk -- terkait dengan kedekatannya dengan tujuan utama -- pada apa yang ditunjukkan ikatan [perasaan], yang diisyatkan kata-kata tersirat, yang diperlihatkan kondisi tertentu, yang dibiaskan dampak struktur, yang dicerminkan gaya bahasa, dan yang diisyaratkan sikap si pembicara sendiri.
Lalu, di antara makna yang ditangguhkan terdapat makna literal (harfiyyah) yang berlangsung sebentar, yang tidak diungkapkan dengan kata-kata tertentu, tidak punya tempat tinggal tetap, bahkan seperti pengelana yang terus berkeliling. Kadang-kadang ia tersembunyi di balik kata-kata, terkadang ia diserap oleh frasa, dan terkadang ia menyelinap di sebuah cerita; jika engkau memerasnya ia akan menetes. Seperti rasa kecewa [yang diungkapkan oleh ibu Maryam di ayat, ﴾إِنِّي وَضَعْتُها أُنْثَى﴿ “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan!" (Qs. Alu Imran [3]: 36), dan penyesalan di bait syair, "لَيْتَ الشَّبَابَ - Andai masa mudaku kembali," dan seterusnya. Serta makna-makna lain seperti kerinduan, pujian, instruksi, kiasan, penderitaan, kebingungan, rasa heran, bualan, dan lain-lain.
Selanjutnya, hubungan di antara semua makna yang berdesakan ini akan menjadi baik dengan syarat perhatian dan kepedulian diberikan secara proporsional terhadap nisbah pelayanannya pada tujuan utama. Jika engkau menginginkan contoh masalah ini, contoh paling jelas disediakan di surah ini, dari awal sampai di sini, dalam bentuk uraian yang telah dikemukakan di depan.
107. Page
Masalah Ketujuh:
Ketahuilah, jika imajinasi harus melebur di dalam suatu gaya sastra (uslûb), ia mesti tumbuh dari benih kebenaran, dan menjadi seperti cermin yang memantulkan -- ke dalam hal-hal non-materi (ma'nawiyyât) -- hukum-hukum fisika dan sebab-akibat dalam rangkaian makhluk eksternal.
Filosofi tata bahasa (nahw), yang karya-karyanya mengandung hubungan-hubungan yang disebutkan di atas, juga termasuk jenis ini. Misalnya, dikatakan, "tanda rafa' nominatif adalah hak si pelaku (fâ'il), sebab tanda yang kuat mengambil yang kuat." Engkau dapat membuat contoh lebih lanjut melalui kiasan yang sama.
Masalah Kedelapan:
Ketahuilah, Sibawaih [1] menyatakan dengan tegas bahwa awalan yang mengungkapkan banyak makna seperti 'dari' (min), 'ke' (ilâ), dan 'dengan' (ba'), dan lain-lain, sebenarnya hanya mengungkapkan satu makna, tidak berubah. Hal ini lebih karena awalan-awalan itu menyerap makna yang ditangguhkan yang terkait dengan konteks (lit. posisi - maqâm) dan tujuan, lalu menyerapnya ke dalam dirinya, sehingga makna aslinya berubah menjadi suatu bentuk atau gaya ekspresi (uslûb) untuk tamunya.[2] Demikian pula, ketika seorang ahli ilmu bahasa mempelajari hal ini dengan cermat, ia mengetahui bahwa kata bersama (lafdz musytarik) [yang mengandung beberapa makna] sebagian besar memiliki makna tunggal. Kemudian, karena terjadi hubungan di antara kata-kata itu, lahirlah makna-makna serupa (tasybihât), lalu darinya timbul metafora (majâz), lalu darinya ia berubah menjadi bahasa umum yang telah kehilangan makna aslinya (haqâ'iq 'urfiyyah). Melalui cara ini, kata-kata tunggal bisa memiliki banyak makna. Kata "al-'ayn," yang berarti "mata" atau "musim semi," juga diberlakukan untuk matahari melalui kiasan, sehingga dengan cara itu dunia langit melihat ke dunia bawah, ke dunia yang lebih rendah, atau bahwa air kehidupan yang merupakan cahaya mengalir dari sebuah muara di gunung putih yang menawan. Engkau dapat membuat kiasan sama untuk lainnya.
Masalah Kesembilan:
Ketahuilah, tingkat tertinggi balaghah, yang membaurkan kehendak parsial, pikiran personal, dan persepsi sederhana, dapat tercapai ketika sang pembicara mampu menjaga, memelihara, dan memperhatikan sekaligus semua hubungan bagian perkataannya, hubungan kata-katanya, dan keseimbangan kalimatnya. Masing-masing darinya bersama yang lainnya harus menampilkan tenunan berkelanjutan hingga terbentuk tenunan terbesar. Hingga seolah-olah si pembicara mempekerjakan otak-otak lainnya selain otaknya sendiri, seperti arsitek istana yang menempatkan batu warna-warni sedemikian rupa untuk memperoleh desain yang menakjubkan melalui keseimbangan dan proporsinya secara keseluruhan, atau seperti desain kaligrafi yang menampilkan huruf "'ain" bersama dengan nama "Khulafa' al-Rasyidun." Salah satu contoh paling jelas dari ini adalah firman-Nya, sebagaimana yang telah engkau dengar sebelumnya:
﴾المذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين﴿
“Alif laam miim * Kitab [Al Qur’an] ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa" (Qs. al-Baqarah [2]: 2).
Penyebab lain tingginya tingkatan perkataan, antara lain, hendaknya ia menyerupai pohon keluarga, dengan seluruh cabang dan ranting generasinya, yang semuanya menunjukkan tujuan-tujuan yang mengarah ke tujuan utama dan maqam.
Penyebab lain lagi bagi tingginya tingkatan perkataan, antara lain, ialah kesiapannya untuk menarik kesimpulan dari banyak aspek dan cabangnya, seperti kisah Nabi Musa terhadap nabi kita Muhammad S.a.w.
[1] Umar bin Utsman bin Qunbar, salah seorang tokoh terkemuka di Bashrah, pengarang kitab pertama tentang nahwu. Ia wafat pada 196 H. Lihat biografinya di Bughyat al-Wu'at 2/230.
[2] Maksudnya di sini, makna yang baru.
108. Page
Masalah Kesepuluh:
Ketahuilah, perkataan memperoleh kelancaran dan kefasihan, sumber kelembutan dan manisnya, ketika makna dan perasaan yang ditunjukkannya tercampur dan terpadukan, atau tetap beragam tapi tertata dengan baik, agar segala yang ada di sekelilingnya tidak menarik kekuatan ekspresi dan tujuan tadi, tetapi pusatnya menarik kekuatan dari sekelilingnya. Perkataan juga memperoleh kelancaran ketika tujuannya terdefinisikan dengan baik, dan ketika titik di mana semua tujuan yang dimaksud datang menyatu tampak begitu jelas.
Masalah Kesebelas:
Ketahuilah, integritas perkataan, yang merupakan penyebab kesahihan dan kekuatannya, terletak pada hal berikut: sebagaimana perkataan harus menunjukkan prinsip-prinsip dan bukti-bukti utama, dan memuat makna primer dan sekunder, begitu pula dengan unsur-unsur subjek, predikat, dan caranya berekspresi, harus menegaskan penolakan dan bantahan terhadap keragu-raguan dan syubhat; seolah-olah setiap bagian darinya merupakan jawaban atas pertanyaan implisit. Jika engkau menginginkan contohnya, pelajarilah surah pembukaan al-Qur'an, al-Fatihah!
Masa Kedua Belas:
Ketahuilah, ada tiga macam gaya atau model ekspresi (uslûb):
Pertama:
Gaya bahasa murni atau abstrak (uslûb mujarrad), yang satu warna; cirinya: ringkas, alami, benar, dan berintegritas. Ia lancar dan merata, serta digunakan untuk bisnis, diskusi, dan ilmu-ilmu instrumental. Jika engkau menginginkan contoh fasih darinya, pelajarilah karya-karya Sayyid al-Jurjani.
Kedua:
Gaya bahasa yang dipoles (uslûb muzayyan). Cirinya: mempercantik, mencerahkan, dan membangkitkan hati dengan memompa kerinduan atau kebencian. Tempat yang cocok untuknya adalah pidato-pidato [yang dimaksud untuk] pujian atau kecaman dan seterusnya, serta persuasi dan hal-hal serupa. Jika engkau ingin mencari contoh gaya bahasa yang dipoles hiasan, silahkan masuk ke Dalâil al- I'jâz dan Asrâr al-Balâghah, engkau pasti akan melihat taman-taman indah yang penuh hiasan.
Ketiga:
Gaya bahasa tinggi (uslûb 'âli). Cirinya: intensitas, kekuatan, kehebatan, dan kemuliaan spiritual. Tempat yang cocok untuk itu adalah ketuhanan, prinsip-prinsip dasar, dan filsafat. Jika engkan menginginkan contoh yang mudah dipahami dan menakjubkan, pelajarilah al-Qur'an, karena di dalamnya terdapat kebenaran yang belum pernah dilihat oleh mata atau tidak pernah terbetik di hati yang mencapai kebalaghahan.
(Selesai nukilan pasal dan mukadimah secara ringkas).
* * *
Ketahuilah: Poin penting di ayat yang sedang kita diskusikan ini -- yakni, ﴾مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ﴿ - matsaluhum ka-matsal alladzi istawqada ... (“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan ... ”) dan seterusnya -- adalah sebagai berikut:
Pertama: Nadzamnya terkait dengan apa yang mendahuluinya.
Kedua: Nadzam di antara frasa-frasanya.
Ketiga: Nadzam bagaimana [hubungan di antara unsur-unsur frasa tersebut] frasa demi frasa.
109. Page
Untuk mengingat kembali [diskusi tentang kebalaghahan] sebelum ini, ketahuilah bahwa setelah diberikan penjelasan rinci tentang situasi orang-orang munafik dan kejahatan mereka, al-Qur'an menyertakannya dengan tamsil karena “tiga nuktah” berikut:
Pertama di antaranya: untuk mengakrabkan [hal-hal baru atau asing] pada imajinasi (khayâl), yang lebih siap menerima produk-produk imajinasi ketimbang ide-ide rasional; untuk menjamin ketaatan indera keragu-raguan (wahm), yang cenderung menyangsikan, mempertanyakan, dan menentang alasan, agar tunduk patuh dengan menampilkan sesuatu yang menakutkan dalam bentuk yang akrab, dan dengan menggambarkan sesuatu yang gaib melalui figur visual yang jelas.
Kedua: Untuk menggugah hati nurani dan membangkitkan kebencian di dalamnya, sehingga emosi dan pikiran menyatu dengan mewujudkan pemikiran (abstrak) sebagai sesuatu yang nyata.
Ketiga: Untuk mengikat makna yang tersebar menjadi satu, dan menunjukkan ikatan yang sebenarnya di antara makna-makna tadi, melalui perantara tamsil. Juga, untuk menanamkan [fakta-fakta yang diinginkan] di depan mata imajinasi sehingga ia dapat mengumpulkan poin-poin halus yang luput [diungkapkan] oleh lidah.
Ketahuilah: Makna frasa ayat ini sesuai dengan makna keseluruhan cerita kaum munafik maupun dengan semua ayat [terkait]. Tidakkah engkau melihat, mereka beriman secara lahiriah untuk keuntungan duniawi, lalu mereka membatin kafir. Mereka pun bingung dan bimbang. Mereka kemudian tidak mencari kebenaran sehingga tidak dapat kembali [ke sana] agar mereka mungkin bisa mengenalinya.
Betapa ini menyerupai situasi orang yang menyalakan api atau lampu tapi tidak bisa menjaganya tetap menyala, lalu padam. Mereka jatuh dalam kegelapan. Mereka tak bisa melihat apa-apa, hingga tampak bagi mereka bahwa semuanya telah tidak ada lagi.
Karena heningnya malam, seolah-olah mereka tuli; karena malam tampaknya buta dan lampunya telah padam, maka seolah-olah mereka pun buta; karena tak ada seorang pun yang bisa mereka ajak bicara dan dapat dimintai bantuan, mereka pun tidak memperoleh bantuan, seolah-olah mereka bisu; dan karena mereka tidak bisa kembali, maka seolah-olah mereka peri tak bernyawa yang tanpa roh.
Lalu, poin utama yang terdapat di objek tasybih atau perbandingan (musyabbah bihi) melihat ke poin utama yang terdapat di subjeknya [musyabbah, hal yang dibandingkan]. Misalnya, kegelapan melihat ke kekufuran [mereka], kebingungan melihat ke kebimbangan [mereka], dan api melihat ke perpecahan [yang mereka timbulkan]. Engkau dapat membuat analogi lebih lanjut dengan cara yang sama.
Jika engkau bertanya: Di dalam tamsil terdapat cahaya, tapi di manakah cahaya orang munafik,[1] sehingga tamsil layak diterapkan padanya?
Engkau akan dijawab: Jika seseorang tidak memiliki cahaya, ia dapat menemukannya di lingkungannya, yang mungkin dari sana ia bisa mencarinya. Jika tidak ada di sana, ia dapat menemukannya di antara kaumnya, dari siapa ia dapat memperolehnya. Jika tidak ada cahaya di antara kaumnya, mungkin ia bisa mencari bantuan di antara sesama manusia. Dan jika tidak, fitrahnya memungkinkannya meminta luapan cahaya, seperti telah dibahas. Jika engkau tidak yakin dengan ini, mungkin menurut orang lain terdapat [cahaya] di lidahnya, atau menurut dirinya, untuk mendapatkan manfaat duniawi. Jika engkau masih tidak yakin, [orang-orang munafik mungkin memiliki sepercik cahaya] karena sebagian mereka beriman pada awalnya, kemudian murtad. Jika ini belum meyakinkan kamu, mungkin cahaya di sini mengisyaratkan apa yang mereka pahami, seperti api yang mengisyaratkan perpecahan [yang mereka lakukan]. Dan jika engkau belum juga puas dengan ini, maka peluang hidayah masih dimungkinkan melalui wahyu [al-Qur'an], seperti yang ditunjukkan pada ayat [sebelumnya], ﴾اشْتَرَوُا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى﴿ - ishtaraw al-dlalâlata bi'l-hudâ (“mereka membeli kesesatan dengan petunjuk”). Sebab, inilah tetangga paling dekat dengan tamsil.
[1] Mengacu pada firman-Nya: ﴾ذَهَبَ اللهُ بِنُورِهِم﴿ (Allah menghilangkan cahaya mereka).
110. Page
Adapun aspek nadzam [dan hubungan di antara] frasa-frasa ayat, sebagai berikut:
Ketahuilah: Nadzam frasa ﴾مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا﴿ - matsaluhum kamatsali alladzî istawqada nâran (“perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api”) benar-benar sesuai dengan konteks.
Ya, kondisi orang yang menyalakan api dengan cara yang digambarkan ini sepenuhnya sesuai dengan situasi pertama orang yang menjadi objek pembicaraan al-Qur'an. Mereka adalah penduduk Semenanjung Arab. Tanpa kecuali, mereka telah mengalami situasi seperti itu, atau telah mendengar tentang hal itu, dan mereka telah menderita dampaknya yang menjengkelkan. Mereka mengungsi di malam hari akibat tirani matahari, dengan berjalan di kegelapan. Sangat sering langit menekan mereka, sehingga mereka merasakan sedihnya perjalanan. Kadang-kadang jalan mereka membawa mereka jatuh tergelincir. Mereka juga terkadang berkelana di kegelapan gua yang penuh dengan makhluk berbahaya. Kemudian mereka akan tersesat jalan sehingga perlu menyalakan api atau menghidupkan lampu agar bisa melihat teman-teman mereka sehingga merasa lebih dekat dengan mereka, agar bisa melihat harta mereka sehingga dapat melindunginya, agar mereka dapat mengetahui jalur yang harus mereka ambil, serta agar mereka dapat melihat binatang buas dan hal-hal berbahaya lainnya sehingga mereka bisa menghindarinya. Kemudian, ketika mereka telah disinari dengan cahaya mereka, tiba-tiba cahaya itu padam disambar musibah dari langit. Dan tatkala mereka berada di puncak harapan karena hampir mencapai tujuan yang diharapkan, tiba-tiba mereka terlempar ke dalam keputusasaan mutlak. [Al-Qur'an] menegaskan hal ini melalui firman-Nya: ﴾فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ﴿ - fa-lammâ adlâat mâ hawlahu dzahaba Allâhu binûrihim (“maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya mereka”).
Ketahuilah, huruf "الفاء - fa’" pada awal kalimat menunjukkan bahwa mereka menyalakan api untuk mendapatkan cahaya. Api itu pun menyinari [sekeliling mereka], dan mereka merasa tenang dengan sinar terang ini. Tapi, mereka segera ditimpa frustrasi dan kekecewaan. Betapa kuat pengaruh kegagalan ini atas mereka di saat mereka menanti keberhasilan!
Cahaya yang diambil sebagai [konsekuensi -- yaitu, paruh kedua -- dari] kalimat bersyarat tampaknya dituntut oleh pencahayaan, [tetapi kebutuhan ini tidak jelas], karena hilangnya cahaya. Tersembunyinya kebutuhan ini menunjukkan adanya [kalimat] tersirat, sebagai berikut:
Ketika semua menyala di sekitar mereka, mereka menyibukkan diri dengan cahaya itu, namun mereka tidak melestarikannya. Mereka tidak memberikan perhatian padanya, dan tidak menyadari nilainya. Mereka tidak menjaga [api] tetap dan terus menyala, hingga ia padam. Karena sibuk dengan hasilnya, mereka mengabaikan sarana -- sesuai rahasia ayat:
﴾إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَىأَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى﴿
"Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup" (Qs. al-Alaq [96]: 6-7).
[Mereka keasyikan dengan cahaya], yang menyebabkan mereka lalai melestarikan [nyala api], yang selanjutnya menyebabkan padamnya cahaya, seolah-olah cahaya itu sendiri yang menyebabkan hilangnya cahaya.
Adapun frasa ﴾وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ﴿ - wa tarakahum fi dzulumâtin (“dan membiarkan mereka dalam kegelapan”), setelah menunjukkan bagaimana mereka kehilangan karunia cahaya, [al-Qur'an] menggambarkan kekecewaan mereka atas turunnya bencana dengan jatuh ke dalam kegelapan.
Adapun kalimat ﴾لاَ يُبْصِرُونَ﴿ - lâ yubshirûn (“mereka tidak dapat melihat”): Ketahuilah, ketika seseorang ditimpa kegelapan dan kehilangan jalan, ia kadang mungkin berhenti dan terhibur dengan melihat sahabat dan harta miliknya. Tetapi jika ia tidak melihat mereka, berhenti mungkin merupakan musibah baginya seperti bergerak, atau bahkan lebih liar.
Adapun frasa ﴾صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ﴿ - summun bukmun 'umyun fa-hum lâ yarji'ûn (“mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali”): Ketahuilah, ketika seseorang ditimpa bencana seperti itu, ia menghibur diri, mengharapkan keselamatan dan mencarinya dari “empat arah” secara tertib:
111. Page
Pertama: Dia berharap mendengar jeritan penduduk desa atau pelancong lain di sekitarnya, dan [mengantisipasi] jika ia meminta bantuan, mereka akan menyelamatkannya. Tapi, karena malam ini diam membisu, ia tidak berbeda dengan orang tuli, sehingga [al-Qur'an] menyebutnya, ﴾صُمٌّ﴿ (“tuli”), karena terputusnya harapan tadi.
Kedua: Dia berharap kalau dia berteriak atau memanggil bantuan ada kemungkinan seseorang akan mendengar dan datang membantunya. Tapi ketika malam tuli dan bisu, sama saja antara dia punya lidah dan bisu, sehingga [al-Qur'an] menyebut[nya], "﴾بُكْمٌ﴿ (bisu)," untuk membungkamnya sekaligus menghancurkan harapannya juga.
Ketiga: Dia berharap untuk diselamatkan dengan melihat tanda atau api atau cahaya yang akan menunjukkan kepadanya cara menemukan tujuannya. Tapi ketika malam gelap gulita, muram, dan membuta, maka antara orang yang melihat dan yang buta sama saja, sehingga [al-Qur'an] menyebut[nya] ﴾عُمْيٌ﴿ (“buta”) untuk memadamkan harapan itu juga.
Keempat: Tidak ada yang masih tersisa padanya kecuali harus berusaha untuk kembali. Tapi kegelapan telah menyelimutinya. Dia bagaikan orang yang terjebak dalam jurang yang dalam atas kemauannya sendiri, dan dia tidak menemukan jalan untuk kembali.
Ya, betapa banyak perkara yang engkau libatkan dirimu di dalamnya atas kemauan sendiri, kemudian melawan kemauanmu engkau tidak bisa kembali; engkau ingin menarik diri darinya, tapi ia tidak membiarkanmu pergi. Karena itu, Tuhan Yang Maha Tinggi berfirman, "﴾فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ﴿ - fa-hum la yarji’un (“maka tidaklah mereka akan kembali”) demi menutup pintu ini atas mereka, dan memutus tali terakhir yang mereka pegang, sehingga mereka jatuh ke dalam kegelapan putus asa, suasana liar, kemalangan, dan ketakutan.
Adapun aspek yang ketiga, maksud saya:
Nadzam kata-kata [dan hubungan antara] kalimat demi kalimat pada frasa ayat ini, maka perhatikanlah kalimat, ﴾مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا﴿ - matsaluhum kamtsali alladzî istawqada nâran, dan lihatlah bagaimana percikan nuktah beterbangan ke segala arah dari kata-katanya.
Kata (المثل - matsal “perumpamaan”) menunjukkan keanehan kondisi orang-orang munafik, dan bahwa kisah mereka luar biasa. Sebab, perumpamaan itu menjadi buah bibir setiap orang dan menjadi perbincangan setiap orang karena keanehannya dan tidak biasa. Ciri khasnya yang paling menonjol adalah keanehannya.[1] Selain itu, juga karena prinsip dasar tercakup di dalam perumpamaan dan peribahasa, yang mereka disebut "hikmah umum" (hikmat al-‘awwâm) dan "filsafat populer" (falsafat al-‘umum). Yang dimaksud dengan perumpamaan di sini adalah karakteristik mereka yang aneh, cerita mereka yang menimbulkan perasaan penasaran, dan kondisi mereka yang menjijikkan. Dengan kata lain, penggunaan metafora pada istilah "perumpamaan" dimaksud untuk menggambarkan kondisi mereka yang menunjukkan mereka tidak biasa dan aneh. Dan indikasi ini menunjukkan bahwa, sesuai cirinya, sifat mereka itu dicerca lidah dan dijauhi seperti dikatakan peribahasa tadi.
Adapun huruf "الكاف - kaf" pada kata "كَمَثَلِ - ka-matsali":
Jika engkau bertanya: Apabila huruf ini dihilangkan, ia akan menjadi kiasan yang mendalam (tasybîh balîgh).[2] Bukankah itu lebih fasih?
Engkau akan dijawab: Yang paling fasih (balîgh) dalam konteks (maqâm) ini adalah justeru dengan menyebutkannya, sebab ketegasannya menyadarkan pikiran agar melihat ke perumpamaan yang ada di tempat berikutnya, dan berpindah dari poin penting [yang dibuat oleh perumpamaan ini] ke sesuatu yang disinggungnya. Sebab, jika tidak, [dan pikiran pembaca] sengaja ingin diserap ke dalam [perumpamaan
[1] Lihat Gharaib al-Qur'an wa Raghaib al-Furqan 5/100.
[2]Tasybîh balîgh adalah tasybîh yang aspek kesamaan dan perangkat tasybihnya dihilangkan, dan disebut "balîgh" (mendalam, mengena), karena di dalamnya terkandung ringkasan di satu sisi, persepsi dan khayalan di sisi lain. Lihat Mu'jam al-Mushthalahat al-Balaghiyyah karya Mathlub 2/180.
112. Page
itu sendiri], maka kelembutannya yang harus diterapkan [pada sesuatu yang disinggungnya] akan pergi darinya.
Adapun [contoh dari kata] (المَثَل - al-matsal) yang kedua, itu merupakan isyarat bahwa dengan keanehan dan eksistensinya di dalam pikiran umum, kondisi orang yang menyalakan api dapat dikategorikan sebagai pepatah.
Adapun kata ﴾الَّذِي﴿:
Jika engkau bertanya: Mengapa [kata ganti penghubung, ﴾الَّذِي﴿] ini berbentuk tunggal, padahal [kata "orang-orang munafik" itu berbentuk] jamak?
Engkau akan dijawab: Jika bagian (juz') dan keseluruhan (kull), individu (fard) dan kumpulan (jamâ'ah), itu sama, sementara keanggotaan [dari kumpulan itu] tidak meningkatkan atau mengurangi sifat individunya, maka diperbolehkan [penggunaannya untuk kedua kata berbentuk tunggal maupun jamak] dalam kedua hal, seperti kata "[perumpamaan (matsal) mereka adalah] seperti (matsal) seekor keledai." Dalam penggunaan kata berbentuk tunggal ini terdapat isyarat bahwa setiap individu memiliki independensi dalam menampilkan keheranannya dan dalam melukiskan keburukan mereka. Atau mungkin "الذي" merupakan bentuk singkatan dari kata "الذين" [yang berbentuk jamak].
Adapun kata ﴾اسْتَوْقَدَ﴿ - istawqada (“menyalakan”) -- [sebuah kata kerja bentuk kesepuluh] -- maka huruf "sin"-nya merupakan isyarat [bahwa mereka] sengaja mencari dan mengambil kesulitan. Dan, kata "istawqada" ini dinyatakan dalam bentuk tunggal meskipun kata ﴾نُورِهِمْ﴿ - nûrihim ("cahaya mereka”) memiliki akhiran pronominal berbentuk jamak, itu merupakan pertanda halus bahwa seseorang menyalakan [api] untuk kelompok jamaahnya. Memang tampak begitu lembutnya, bentuk tunggal digunakan untuk "menyalakan," sementara bentuk jamak digunakan untuk "menerangi."
Penggunaan ﴾نَارًا﴿ - nâran (“api”) bukan "المصباح - lampu" atau lainnya merupakan isyarat sulitnya [masuk] ke dalam cahaya perintah Allah [dan cobaan-Nya].
Juga, itu petunjuk bahwa mereka menyalakan api pertikaian di bawah kedok cahaya lahiriah.
Adapun kata ﴾نَارًا﴿, dinyatakan dalam bentuk indefinitif (nakirah), itu menunjukkan kuatnya kebutuhan mereka pada api, sehingga mereka tidak keberatan apa pun bentuk api tersebut.
Selanjutnya, sekarang lemparkan pandangan ke seputar kandungan kalimat ﴾فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللهُ بِنُورِهِم﴿ - fa-lammâ adlâ'at mâ hawlahû dzahaba Allâh bi-nûrihim (“maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya yang menyinari mereka”), dan perhatikan bagaimana komponen kata-katanya menerangi gelapnya kebingungan mereka, yang merupakan tujuan utama mereka. Engkau telah mendengar [dan membaca] di Masalah Keempat bahwa kekuatan perkataan terletak pada respon timbal balik dari komponen-komponennya.
Kata "الفاء - fa’" pada "فَلَمَّا - fa-lammâ" mengisyaratkan segera timbulnya keputus-asaan mutlak setelah harapan memuncak.
Kata "لَمَّا - lammâ" terdiri dari silogisme kondisional (qiyâs ististnâi) proporsional yang, dengan menunjukkan kepastian [proposisi] yang pertama, menyimpulkan kepastian dan realisasi [proposisi] berikutnya; [yaitu, mereka kewalahan akibat kegelapan] dan mereka kehilangan sumber hiburan mereka.
Kata ﴾أَضَاءَتْ﴿ - adlâat (“telah menerangi”) menunjukkan bahwa mereka menyalakan api untuk memperoleh cahaya, bukan untuk membakar sesuatu. Dan ini mengisyaratkan kecemasan mereka yang mengkhawatirkan, sebab penerangannya hanya mereka manfaatkan untuk melihat bahaya [yang mungkin bisa menimpa mereka] dan mengenali keberadaan mereka. Seandainya itu bukan untuk [cahaya], mereka mungkin bisa menipu diri sendiri dan dapat menenangkannya.
Sementara ﴾مَا حَوْلَهُ﴿ - mâ hawlahu (“sekelilingnya”) menunjukkan bahwa teror meliputi mereka di keempat sisi, dan bahwa mereka harus waspada dengan terus menjaga nyala api [agar tidak padam] akibat serangan berbahaya yang datang dari enam arah.
Adapun ﴾ذَهَبَ﴿ - dzahaba (“menghilangkan”), itu merupakan konsekuensi dari syarat [yang dikandung kata-kata sebelumnya, ﴾أَضَاءَتْ﴿], dan karenanya ia mesti ada. Tapi -- seperti telah dibahas di atas -- kemestian ini [tidak jelas], tersembunyi, dan menyiratkan [kalimat ini]: mereka tidak menjaga [api] itu,
113. Page
dan tidak mengetahui nilainya sebagai karunia. Cahaya itu membuat mereka berbangga diri. Semangat dan suka cita membuat mereka lupa untuk menjaganya, sehingga Allah mengambil cahaya tersebut dari mereka.
Penyandaran kata ﴾ذَهَبَ﴿ kepada Allah menunjukkan terputusnya dua harapan: harapan memperbaiki [kondisi mereka] dan harapan memperoleh rahmat Allah. Sebab, ia mengisyaratkan bahwa hukuman samawi tidak memungkinkan kondisi mereka diperbaiki, dan menunjukkan bahwa itulah hukuman atas kesalahan manusia. Inilah alasan Allah Yang Maha Tinggi menghukum mereka. Maka semua yang mereka pegang erat-erat dicabut dari mereka ketika semua penyebabnya dihentikan, yaitu harapan memperoleh rahmat dari Allah. Sebab, pertolongan tidak dapat dicari dari kebenaran demi membatalkan kebenaran.
Adapun [preposisi] "bi" pada ﴾بِنُورِهِمْ﴿ - bi-nûrihim ("cahaya mereka") menandakan [mereka] putus asa untuk bisa kembali, sebab apa yang sudah dicabut oleh Allah tidak bisa dikembalikan lagi. Terdapat perbedaan yang jelas antara kata "dzahaba bih" yang berarti "ia mengklaimnya dan mengambilnya," dan kata "adzhabahû" [kata kerja bentuk keempat], yang berarti "ia dibawanya pergi," serta kata "dzahaba" [bentuk pertama] yang berarti "ia melanjutkan perjalanannya." Pada dua kata terakhir, masih ada kemungkinan untuk kembali, tapi pada kata yang pertama "dzahaba bih" tidak ada.
Adapun di dalam ﴾نُور﴿ - nûr (“cahaya”), terdapat sedikit pertanda tentang situasi [orang-orang munafik] di Jembatan Shîrat.
Akhiran posesif pronominal ﴾هِمْ﴿ - him (“mereka”), yang menunjukkan kekhususan, yang menunjukkan kesedihan mereka yang amat sangat. Sebab, seseorang menderita kesedihan besar jika apinya padam, sementara api orang lain menyala terang.
Lihatlah, betapa halusnya balaghah yang Allah turunkan dalam mutiara Wahyu [al-Qur'an]! Tidakkah engkau melihat bagaimana semua bagian [kalimatnya] menghadap ke arah tujuan umum; Maksud saya, ketakutan dan keputus-asaan [orang-orang munafik] seperti kolam renang di pertemuan sungai?
Selanjutnya, perhatikan dengan cermat ﴾وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَ يُبْصِرُونَ﴿ - wa tarakahum fi dzulumâtin lâ yubshirûn (“dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”):
Adapun ﴾وََ﴿ - waw, itu menunjukkan bahwa mereka menggabungkan dua kerugian sekaligus: mereka dilucuti cahaya, dan diberi pakaian kegelapan.
Adapun penggunaan kata ﴾تَرَكََ﴿ - taraka (“"dibiarkan”) ketimbang "abqâ” (“ditinggal”) atau kata serupa lainnya, itu menunjukkan bahwa mereka telah menjadi seperti jasad tanpa roh dan kulit tanpa isi. Karena itu, sangat pantas mereka ditinggalkan sia-sia dan dicampakkan.
Adapun kata ﴾فِي﴿ - fi, itu mengisyaratkan bahwa dalam pandangan mereka semuanya telah lenyap dan tak ada yang tersisa kecuali kegelapan, sehingga bagi mereka menjadi ketiadaan dan kuburan.
Adapun jamak dari ﴾ظُلُمَاتٍ﴿ - dzulumâtin (“kegelapan”), itu menunjukkan bahwa gulita malam dan gelap awan telah melahirkan gelap keputusasaan dan ketakutan dalam jiwa mereka, gelap kengerian dan rasa gentar di tempat mereka, serta gelap keheningan dan diam tanpa gerak di waktu mereka. Ini menunjukkan mereka seluruhnya telah terbalut aneka kegelapan. Penggunaan bentuk indefinitif (nakirah) [pada kata ﴾ظُلُمَاتٍ﴿] menandakan bahwa kegelapan itu tak pernah mereka ketahui, tak pernah sebelumnya mereka mengalami hal itu, dan ini membuat dampaknya sangat dahsyat pada mereka.
Karena orang yang tidak melihat, lebih peka terhadap bencana, yang kehilangan penglihatan, mampu menangkap musibah yang paling samar.
Adapun kata ﴾لاَ يُبْصِرُون﴿ - lâ yubshirûn (“tidak dapat melihat”), itu menyatakan dengan jelas bencana yang paling buruk. Sebab, orang yang tidak dapat melihat akan lebih peka terhadap bencana, sementara orang yang tidak memiliki mata akan mampu menangkap musibah yang paling samar. Kata kerja mendatang (fi’il mudlari') digunakan untuk menggambarkan kondisi mereka [secara jelas] di mata imajinasi sehingga pendengar [senyatanya] melihat kekhawatiran mereka sehingga hati nuraninya juga ikut terpengaruh.
Kata kerja [﴾لاَ يُبْصِرُون﴿] tidak diberi objek untuk menggeneralisasi [makna]. Mereka tidak bisa melihat apa-apa yang akan berguna bagi mereka dan yang mungkin melindungi mereka. Mereka tidak dapat
114. Page
melihat bahaya yang mungkin bisa mereka hindari. Dan mereka pun tidak dapat melihat teman-teman yang kedekatan mereka dapat dimanfaatkan. Seolah-olah masing-masing [mementingkan dirinya] sendiri dengan [segenap isi] kepalanya.
Selanjutnya, perhatikan frasa ﴾صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ﴿ - shummun bukmun 'umyun fa-hum lâ yarji'ûn (“tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali”) dan dengarkan bagaimana mereka mengeluh satu sama lain. Sebab, keempat [frasa] ini merupakan definisi bersama (hadd musytarak) di antara perumpamaan atau perbandingan (mumatstsil) dan hal diumpamakan (mumatstsal). Keempatnya merupakan peralihan di antara keduanya dan mengarah pada keduanya. Keempatnya berbicara tentang kondisi kedua belah pihak, dan cermin bagi keduanya, dan memperlihatkan kepada Anda karakter keduanya. Keempatnya merupakan hasil dari keduanya, dan menceritakan kisah mereka kepada Anda.
Adapun aspek yang melihat kepada perumpamaan:
Ketahuilah, orang yang jatuh ke dalam bencana seperti ini masih memiliki sisa harapan selamat dengan mendengarkan suara seseorang yang mungkin bisa menyelamatkannya. Tapi malam ini begitu hening, dan kebisuannya memekakkan telinganya. Dia masih berharap bisa membuat seseorang mendengar, tetapi tuli malam membuatnya bisu. Kemudian ia berharap bisa dibimbing dengan melihat api atau cahaya, tapi buta malam membuatnya buta. Kemudian [dia berharap] bisa kembali ke awal [perjalanannya,] tetapi pintu yang dikunci menentangnya. Dia seperti orang yang jatuh ke dalam rawa, semakin berjuang semakin tenggelam dia ke dalamnya.
Aspek yang memperhatikan sesuatu yang ingin digambarkan dalam perumpamaan:
Ketahuilah, ketika mereka terjebak dalam gelap kekufuran dan kemunafikan, mereka masih mungkin bisa diselamatkan darinya melalui “empat cara” berturut-turut:
Pertama:
Mereka bisa mengangkat kepala mereka, mendengarkan kebenaran, dan mengindahkan petunjuk al-Qur'an. Tapi, ketika berada dalam kondisi terburu-buru, hawa nafsu mencegah gema suara al-Qur'an memasuki gendang telinga mereka. Kegilaan yang membisik telinga menyebabkan mereka menyimpang dari jalan [lurus] ini. Al-Qur'an pun mencela mereka dengan kata-katanya: ﴾صُمٌّ﴿ (“tuli”)! Hal ini menunjukkan tertutupnya pintu ini, dan menunjukkan bahwa seolah-olah telinga mereka telah terputus, yang tersisa hanyalah lubang-lubang yang rusak atau potongan-potongan telinga yang menjulur di sisi-sisi kepala mereka.
Kedua:
Mereka harus menundukkan kepala mereka, berkonsultasi dengan hati nurani mereka, serta bertanya tentang kebenaran dan jalan [lurus]. Tapi ketika kebandelan merebut lidah mereka, dan kebencian menarik mereka kembali masuk ke dalam rongga mulut, al-Qur'an menghajar mereka dengan kata-kata: ﴾بُكْمٌ﴿ (“bisu”)! Hal ini menunjukkan tertutupnya pintu ini juga di wajah mereka, dan mengisyaratkan sikap diam mereka untuk menyatakan kebenaran. Mereka seperti orang yang mencabut lidahnya, sehingga yang tersisa hanyalah mulut, seperti gua yang ditinggalkan penghuninya, yang merusak tampilan wajah.
Ketiga:
Mereka harus melakukan upaya untuk menggali pelajaran dari bukti-bukti di dunia sekitar mereka. Tapi, kelalaian menempatkan tangannya di atas mata mereka, dan kebutaan menutup kelopak mata penglihatan mereka, sehingga al-Qur'an menyebut mereka, ﴾عُمْيٌ﴿ (“buta”)! sebagai pertanda bahwa mereka telah menyimpang dari jalan ini juga. Dihilangkannya perangkat tasybih [berupa partikel 'ka'] menunjukkan bahwa mata mereka, yang merupakan cahaya kepala, seolah-olah telah dicungkil.
Keempat:
Mereka harus mengakui aib kondisi mereka, merasa benci, menyesal, dan bertobat, lalu kembali. Tapi tatkala diri mereka diperdaya oleh diri sendiri -- karena rusaknya kodrat mereka disebabkan mereka bersikeras [dalam perjalanan mereka], serta karena dominasi nafsu dan setan -- dengan membuat keburukan tampak indah bagi mereka, maka al-Qur'an pun mengatakan: ﴾فَهُمْ لا يَرْجِعُون﴿ (“maka mereka tidak akan kembali”). Inilah pertanda bahwa jalur akhir ini telah tertutup bagi mereka. Ini juga
115. Page
menunjukkan bahwa meskipun mereka telah masuk ke kondisi ini secara sukarela, mereka tidak memiliki kemauan untuk melepaskan diri. Mereka menggelepar seperti orang yang terjebak di dalam lautan pasir.