AL-BAQARAH AYAT 19-20

116. Page

Ayat 19-20

 

﴿أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينيَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ

وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

(Aw ka-shayyibin min al-samâi fi-hi dlulumâtun wa ra'dun wa barqun yaj'alûna ashâbi'ahum fi âdzânihim min al-sawâ'iq hadzara almawt, wa Allâhu muhîtun bi'l-kâfirîn. * Yakâdu al-barqu yakhtafu abshârahum kullamâ adlâ'a la-hum masyaw fi-hi wa idhâ adzlama 'alayhim qâmû wa-law syâ'a Allâhu la-dzahaba bi-sam'ihim wa abshârihim, innâ Allâhu 'alâ kûlli shay'in qadîr.)

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. * Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

 

Ketahuilah, poin penting di ayat-ayat ini juga [terdiri] dari tiga aspek: nadzamnya dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya; nadzam di antara frasa-frasanya; kemudian hubungan di antara bagian-bagian dari frasanya. Hubungan ini menyerupai jarum jam yang menunjukkan [hubungan antara] jam, menit, dan detik.

Adapun aspek nadzam [dan hubungan] ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya, ialah: Al-Qur'an mengulang-ulang [menggunakan gaya bahasa] perumpamaan (tamtsîl) dan memperpanjang dalam deskripsinya untuk menunjukkan kebutuhan pemaparan kondisi orang-orang munafik [secara panjang lebar] terkait kekhawatiran dan kebingungan mereka, yang terdiri dari dua macam, [sebagaimana ditunjukkan dalam ringkasan berikut]:

Ringkasan Tamsil Pertama:

Orang munafik melihat dirinya di gurun eksistensi ini terpisah dari teman-temannya, terkucil dari kumpulan makhluk, dan keluar dari yurisdiksi matahari kebenaran. Dalam pandangannya, semuanya tidak ada, makhluk itu asing semua; diam dalam keheningan dan dikuasai oleh ketakutan dan kelesuan. Dapatkah ini dibandingkan dengan kondisi orang beriman yang, melalui cahaya keimanan, melihat seluruh makhluk itu ramah dan akrab dengan semua alam semesta?

Ringkasan Tamsil Kedua:

Orang munafik mengira bahwa alam dengan seluruh partikelnya mengumumkan kematiannya dengan bencananya, mengancamnya dengan malapetakanya, berteriak padanya dengan segenap peristiwanya, dan hujan turun menghantamnya dari semua sisi, seolah-olah semua makhluk bersatu memusuhinya, sehingga hal berguna berubah menjadi bahaya. Kondisi ini tak lain terjadi karena tidak adanya dua titik dukungan dan sumber bantuan, sebagaimana telah dibahas. Dapatkah ini dibandingkan dengan orang beriman, yang dengan keimanannya mendengar tasbih semua makhluk dan ucapan-ucapan sukacita mereka?

Selain itu, pengulangan perumpamaan menunjukkan bahwa orang-orang munafik terbagi menjadi kalangan kelas bawah awam, yang sesuai dengan perumpamaan pertama, dan kalangan kelas angkuh dan sombong, yang sesuai dengan yang kedua.

 

Aspek nadzam [dan hubungan di antara] frasa ayat:

Ketahuilah, dengan mengatakan kalimat أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ﴿ - aw ka-shayyibin min al-samâi (“atau seperti hujan lebat dari langit”), al-Qur'an hendak menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] 

117. Page

menyerupai orang-orang yang dipaksa melakukan perjalanan melalui padang pasir liar di malam yang gelap di tengah badai hujan yang lebat, seolah-olah butirannya seperti peluru yang mengena sasaran, dan langit seperti penuh sesak karena intensitas [hujan]. Dengan cara ini, ia mengingatkan pikiran pendengar, yang sedang menunggu penjelasan mengapa hujan, yang pada dasarnya merupakan rahmat, seolah-olah seperti suatu bencana yang mengerikan. Untuk menggambarkan kedahsyatannya, [al-Qur'an] mengatakan: فِيهِ ظُلُمَاتٌ﴿ - fihi dzulumâtun (“disertai gelap gulita”), yang menegaskan bahwa hujan itu wadah bagi kegelapan awan dan kepadatannya. Demikian pula, karena kelimpahannya, keluasannya, dan keumumannya, seolah-olah [hujan] dengan tetesan hitamnya merupakan wadah bagi malam yang terbelah.

Begitu si pendengar mendengar kata فِيهِ ظُلُمَاتٌ﴿, dia mengharapkan penjelasan, seolah-olah pembicara mendengar suara guntur di otaknya sehingga mengatakan, وَرَعْد﴿ - wa ra'dun (“dan guruhnya”), yang menunjukkan dahsyatnya situasi dan ancaman bahwa langit yang merupakan komandan makhluk, bermaksud memusnahkan [orang-orang munafik], dengan bergemuruh dan mengaum pada mereka melalui gunturnya. Menghadapi ini, [orang-orang munafik] yang dilanda bencana mengerikan [seolah] membayangkan bahwa alam semesta, yang bekerja sama dan saling membantu hendak menghancurkan mereka, merupakan suatu gerakan yang mengusik di balik keheningannya dan bisikan yang menakutkan di balik kesenyapannya. Ketika mendengar guntur, mereka membayangkannya mengucapkan ancaman pada mereka; karena dengan takut, orang mengira setiap teriakan ditujukan kepadanya.

Lalu begitu si pemirsa mendengar guntur, pendamping setianya [yakni, kilat] menyerang pikirannya, dan karena inilah [al-Qur'an] mengatakan: وَبَرْقٌ﴿ - wa barqun (“dan petir”), yang melalui penggunaan kata indefinitif (nakirah) hendak menunjukkan bahwa ia aneh dan menakjubkan.

Ya, ia memang menakjubkan pada dirinya. Sebab dengan kelahirannya, alam kegelapan menjadi mati, lalu dibungkus dan dibuang ke ketiadaan. Tapi dengan kematiannya, alam lain tiba-tiba dibangkitkan dan dihidupkan kembali dari kegelapan. Seolah-olah ia api yang, ketika padam, memenuhi dunia dengan warisan asap. Karena itu, orang terkena sambar [api] harus memeriksa dengan penuh perhatian dan tidak meliriknya dengan dangkal hanya karena merasa akrab, sehingga ia dapat menyingkap kelembutan dalam seni qudrah ilahi.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, seolah pikiran pendengar tergerak untuk bertanya: "Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka mencoba sesuatu?" Maka al-Qur'an mengatakan: يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ﴿ - yaj'alûna ashâbi'ahum fi âdzânihim min al-shawâ'iq hadzara al-mawt (“mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati”), yang menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] tidak memiliki tempat berlindung, tak punya tempat meminta tolong dan tempat menyelamatkan diri. Mereka seperti orang tenggelam yang berpegangan pada sesuatu yang tidak dapat dipegang. Dalam ketakutan mereka, mereka menggunakan semua jari-jari mereka, bukan hanya ujung jari, seolah-olah rasa takut memukul tangan mereka sehingga mereka memasukkan tangan ke telinga karena rasa sakit dan kebodohan mereka. Mereka menutup telinga mereka sehingga petir tidak menyena mereka. Kemudian setelah ini, pikiran pendengar [terus] menyelidiki seraya bertanya: "Apakah musibah ini umum, ataukah khusus, sehingga masih ada harapan [bisa melarikan diri darinya]?" Dan [al-Qur'an] menjawab: وَاللهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِين﴿ - wa Allâhu muhîthun bi'lkâfirîn (“dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”), yang menegaskan bahwa bencana merupakan hukuman atas kekufuran mereka terhadap nikmat. Allah Yang Maha Tinggi menghukum mereka dengannya atas penyimpangan mereka dari hukum ilahi yang disimpan di khalayak umum (jumhûr).

Kemudian, ketika [pemirsa] mendengar gemuruh guntur yang keras, dia bertanya pada diri sendiri: "Tidakkah petir berguna bagi mereka dengan menerangi jalan mereka?" Maka [al-Qur'an] pun mengatakan: يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ﴿ - yakâdu al-barqu yakhthafu abshârahum (“hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka”), yang menunjukkan bahwa, sama seperti guntur yang menyakiti mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar, demikian pula petir memusuhi mereka dengan cahayanya yang membutakan mata mereka. 


118. Page

Kemudian setelah mendengar bahwa alam semesta bersatu memusuhi mereka, pikiran pendengar tadi berseru: "Apa yang akan terjadi pada mereka? Apa yang bisa mereka lakukan? Apa yang coba mereka lakukan?"

Maka [al-Qur'an] mengatakan: كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا﴿ - kullamâ adlâ'a lahum masyaw fihi wa idzâ adzlama 'alayhim qâmû (“setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”), yang menunjukkan bahwa mereka bingung, ragu-ragu, dan bimbang, melihat-lihat kesempatan sekecil apa pun dan pandangan sekilas untuk mendapatkan jalan. Setiap kali itu tampak pada mereka, mereka pun bergerak maju. Tapi dengan jiwa mereka yang sedih, gerakan mereka seperti ayam yang dipenggal. Mereka melangkahkan kaki setapak demi setapak meski mereka mengetahui bahwa itu tidak ada lagi gunanya. Setiap kali mereka diselimuti kegelapan, mereka langsung membatu di tempat mereka.

Lalu, pikiran pendengar bersiap-siap menyelidiki dengan bertanya: "Mengapa mereka tidak mati, atau menjadi buta dan tuli, serta diselamatkan dari penderitaan mereka?" Dan [al-Qur'an] pun mengatakan: وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِم﴿ - wa-law syâ'a Allâh la-dzahaba bi-sam'ihim wa abshârihim (“jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka”), yakni, mereka tidak layak dibebaskan dari penderitaan mereka. Karena alasan ini, kehendak [ilahi] tidak terkait dengan kematian mereka. Kalau terkait, pasti itu dikaitkan dengan hilangnya pendengaran dan penglihatan mereka. Tapi, bagi mereka yang bandel dan menyimpang dari hukum-hukum Yang Maha Tinggi, akan lebih cocok jika telinga mereka tidak hilang sehingga mereka dapat mendengar hukuman mereka, dan pandangan mereka tetap ada agar mereka dapat melihatnya.

Memuat poin-poin ini, dari balik bungkusnya, cerita ini mengisyaratkan: keagungan dan qudrat ilahi, dan tindakan Tuhan Yang Maha Tinggi di alam semesta, terutama keajaiban guntur, petir, dan awan. Apalagi setelah mengingat kembali keajaiban guntur, kilat, dan awan sesuai muatan kisah itu, tentunya si pendengar yang memiliki kesadaran nurani berhak mengumumkan, "Maha suci Dia! Betapa agung qudrat Dzat yang kehebatannya-Nya dimanifestasikan oleh semua makhkluk, dan yang murka-Nya dimanifestasikan oleh semua musibah ini!" Maka [al-Qur'an] pun berkata: إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير﴿ - inna Allâhu 'alâ kulli syay'in qadir (“sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”).

Adapun nadzam bagian dari frasa, kalimat demi kalimat, sebagai berikut:

Ketahuilah, أَوْ﴿ pada kata أَوْ كَصَيِّبٍ﴿ - aw ka-shayyibin merupakan isyarat bahwa [orang-orang munafik] terkait tamsil terbagi menjadi dua macam; dan merupakan tanda bahwa terdapat korespondensi (munâsabah) antara kedua tamsil maupun antara keduanya dengan [kondisi] orang-orang munafik; serta bahwa ada kesamaan yang tak terbantahkan antara mereka. Selain itu, "atau" memuat [kata penghubung] "بل - bal al-tarqiyya," [yang berarti: melainkan, bahkan, sebaliknya, namun, memang], sebab tamsil yang kedua jauh lebih menakutkan. Tiadanya korespondensi antara كَصَيِّبٍ﴿ dengan orang-orang munafik [-- yakni, perbedaan di antara mereka, karena orang-orang munafik disamakan dengan hujan lebat --] menuntut bahwa sesuatu [yakni, hujan] yang diperumpamakan itu mesti tersirat (muqaddar). Hal tersirat ini tidak disebutkan demi keringkasan, dan kata sengaja diringkas untuk memperluas makna, dan makna diperluas dengan mengacu pada imajinasi pendengar sehingga dia dapat mencari makna lebih lanjut dari konteksnya. Maka, dengan alasan tiadanya korespondensi ini, [al-Qur'an] seolah-olah mengatakan: "atau mereka menyerupai orang-orang yang berjalan melewati gurun kosong, di malam yang gelap, dan dihantam ragam bencana akibat hujan badai yang dahsyat."

Penggantian kata “المطر” (hujan) yang bernada ramah dengan “الصيب” (hujan lebat) memperlihatkan bahwa tetesan hujan tersebut bagaikan bencana (mashâ'ib) yang dilemparkan kepada mereka seperti peluru sehingga mengena mereka (tushîbahum), dan bahwa [orang-orang munafik] tidak memiliki tempat untuk berlindung.

Penyebutan kata مِنَ السَّمَاءِ﴿ - min al-samâ' secara eksplisit [dengan menyatakan] secara khusus bahwa hujan itu datang dari langit saja, dimaksud untuk mengungkapkan hal umum. Artinya, langit ditentukan secara spesifik untuk membuatnya mutlak (ithlâq), seperti di ayat:


119. Page

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْه﴿

"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya" (Qs. al-A'raf [6]: 38). Yakni, hujan telah merasuki seluruh ufuk langit.

Dari kata مِنَ السَّمَاءِ﴿ di sini, dan dari ayat, ويُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَد﴿ ("Allah menurunkan es dari langit, dari [gumpalan awan seperti] gunung-gunung") (Qs. al-Nur [24]: 43), beberapa penafsir al-Qur'an menyimpulkan bahwa hujan turun dari benda angkasa di langit, hingga "sebagian" membayangkan adanya samudera di bawah langit. Namun, [Ilmu] Balaghah tidak mendukung pendapat ini. Tapi, artinya adalah: "dari arah langit," dan langit ditentukan secara spesifik karena alasan tersebut di atas. Selain itu, [karena] kata "langit" digunakan [pada umumnya] untuk segala sesuatu di atas Anda, awan dan atmosfir [juga dapat dikatakan] langit.

Pembuktian Permasalahan (tahqîq al-maqâm):

Jika engkau memperhatikan qudrat [ilahi], [engkau akan melihat bahwa] semua arah adalah sama [baginya]; yakni, hujan mungkin turun dari segala arah. Dan jika engkau memperhatikan hikmah ilahi, [engkau akan melihat bahwa ia] menetapkan tatanan optimal dalam segala hal, yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan umum, dan ia selalu memilih cara paling tepat. Adapun hujan, tak lain ia [terbentuk] melalui kondensasi uap air yang tersebar di bola atmosfer. Salah satu dari sepuluh bagiannya adalah uap ini, yang terdapat di kedalamannya.

Penjelasannya:

Jika diperintahkan kehendak ilahi, molekul [air] akan mematuhi, dan bergerak dari pelbagi sisi dan penjuru. Molekul-molekul air itu pun bergabung dan menjadi awan padat. Kemudian atas perintah komandannya, ia mengembun dan menjadi butiran-butiran [hujan]. Para malaikat, yang merupakan pelaksana hukum [yang berlaku di alam semesta] dan cermin tatanan (alam semesta), mengambilnya dengan tangan mereka sehingga ia tidak berkerumun dan berbenturan satu sama lain, lalu mereka meletakkannya di atas tanah. Demi menjaga keseimbangan atmosfer, laut dan bumi menguap untuk menggantikan apa yang telah hilang melalui penyulingan. Alasan beberapa orang membayangkan keberadaan samudra samawi tadi adalah anggapan mereka bahwa metafora merupakan fakta. Menggambarkan hijau atmosfer seakan warna laut, dan atmosfir seakan mengandung lebih banyak air dari Samudera Pasifik, merupakan kiasan yang dihindari pada laut.

Adapun ayat, وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ﴿ ("Allah menurunkan [butiran] es dari langit, [yaitu] dari [gumpalan awan seperti] gunung") (Qs. al-Nur [24]: 43), ketahuilah bahwa kebekuan lahiriah [air hujan] bersamaan dengan kilauannya [yang diungkapkan] dalam metaforanya (istiârah) menampilkan kebekuan yang sangat dingin dan kebekuan yang tidak dingin secara lahiriah. Karena, sebagaimana ayat قَوَارِيرَ مِنْ فِضَّةٍ﴿ ("kristal jernih [yang terbuat] dari perak") (Qs. al-Insan [76]: 16) mengandung metafora yang menawan, begitu juga مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ﴿ ("dari gunung di dalamnya ada [butiran] dari es") mengandung metafora yang menawan, menakjubkan, dan unik. Hidangan makanan surga tak satu pun terbuat dari kristal ataupun perak, tetapi memiliki transparansi kristal dan warna putih perak yang berkilau. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa kristal tidak terbuat dari perak sebab keduanya memang bahan yang berbeda. Itu menunjukkan metafora, apalagi ditambah dengan penggunaan [kata sambung] مِن﴿ - min.

Demikian pula, مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ﴿ mengandung dua metafora yang, dalam pandangan pendengar, dibangun berdasarkan imajinasi puitis. Imajinasi ini didasarkan atas pengamatan terhadap analogi (musyâbihah) dan keserupaan (mumâtsilah) antara representasi alam yang lebih tinggi dan pembentukan alam yang lebih rendah. Dan pengamatan ini didasarkan atas gagasan kontes kecantikan antara bumi dan langit serta kompetisi pakaian yang dikenakan pada keduanya dengan tangan qudrat. Seolah-olah ketika bumi muncul dengan gunung-gunung mengenakan pakaian putih salju dan es di musim dingin, ia dipakaikan ikat kepala dengannya di musim semi; dan ketika di musim panas, ia dihiasi dengan taman-taman penuh warna yang, melalui transformasinya, memperlihatkan mukjizat qudrat ilahi kepada pandangan hikmah; atmosfer merespon dengan meniru dan bersaing dengannya dalam menampilkan keajaiban keagungan ilahi. Ini muncul terselubung, bergaun awan berarak seperti gunung yang 

120. Page

menjulang, bukit, dan lembah. Bertintakan ragam warna-warni, ia menggambarkan kebun bumi, memperlihatkan bukti kemegahan dan keagungan ilahi yang paling terang berderang.

Didasarkan atas visi, kesaling-miripan, dan vista imajiner ini, perumpamaan awan tadi disambut positif di dalam gaya penuturan Bahasa Arab, terutama awan panas yang disamakan dengan pegunungan, kapal, kebun, lembah, dan kafilah unta, sebagaimana engkau dengar dalam pembicaraan orang-orang Arab. Dengan demikian, dalam pandangan [Ilmu] Balaghah, tampak awan musim panas berarak mengambang di langit, seolah-olah guntur [sebagai gembala] merawatnya [seperti lautan] dan terus memacunya [dengan teriakannya]. Setiap kali ia menggetarkan tongkat petirnya ke atas kepala mereka di lautan langit, awan bergetar dan tertawa. Ia muncul seperti gunung runtuh pada hari kiamat, atau kapal yang terombang-ambing di tengah badai, atau kebun yang bergetar karena tremor bumi, atau kafilah yang melarikan diri dari serangan bandit. Namun, [awan] terus melakukan perjalanan dan menyapu sepanjang jalan; bahkan ia seolah-olah seluruh molekul yang menguap tersembunyi dan diam di tempat menunggu perintah dari Sang Penciptanya. Kemudian ketika petir menggelegar seperti teriakan militer, "Semua berkumpul, bentuk barisan!", satu sama lain saling berlomba melompat dari tempatnya dan berjalan dengan segenap kecepatan menuju orang yang memanggilnya, lalu berdiri tegak seperti awan. Kemudian, setelah melakukan tugas dan menerima perintah untuk pensiun, semuanya terbang ke sarangnya.

 

Karena hubungan imajiner inilah; karena kedekatan bertetangga antara awan dan gunung -- sebab demi mendapat kelembaban, awan tampil dan membentuk di atas gunung sesuai dengan ukuran, dan memakai gaunnya; juga karena awan memiliki warna salju dan es, dihias dengan kelembaban dan dinginnya; serta karena persaudaraan antara gunung dan awan, pertukaran bentuk-bentuk dan pakaian mereka di banyak tempat di dalam al-Qur'an, dan jabat tangan keduanya di tempat-tempat turun wahyu seperti keduanya saling berbicara dan saling berpelukan di banyak garis di halaman bumi di kitab alam semesta; dan seperti yang engkau lihat awan beristirahat di gunung sehingga gunung seperti dermaga atau pelabuhan untuk kapal-kapal awan, atau tempat di mana ia meminta nasihat, atau sarang di mana ia turun -- karena semua itulah, maka dalam pandangan [Ilmu] Balaghah, semua layak menjadi tetangga, saling bertukar dan meminjam. Dengan demikian, ia memanggil gugus awan tanpa menggunakan partikel tasybih [ka-].

Jika engkau sudah memahami semua yang telah engkau dengar tentang hubungan ini, [engkau akan memahami bahwa] وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاء﴿ ("dan Dia menurunkan dari langit") berarti dari arah langit, dan مِنْ جِبَالٍ﴿ ("dari gunung-gunung [awan]") berarti awan seperti gunung, dan مِنْ بَرَدٍ﴿ ("dari es") berarti dalam hal warna, kelembaban, dan kedinginannya.

Wahai! Karena sudah ada penafsiran yang diterima [Ilmu] Balaghah ini, apakah gerangan yang memaksa Anda untuk mempercayai bahwa hujan [yang] jatuh dalam waktu dua menit [berasal] dari jarak lima ratus tahun itu bertentangan dengan hikmah Allah, Tuhan yang membuat segala sesuatu dengan seni terbaik dan presisi penuh?!

Hubungan frasa: فِيهِ ظُلُمَات﴿ - fîhi dzulumâtun (“disertai gelap gulita”), yang dimaksud untuk menakut-nakuti.

Didahulukannya kata فِيهِ﴿ merupakan isyarat bahwa dengan imajinasi mereka, [orang-orang munafik] yang dilanda bencana ketakutan maupun pendengar membayangkan bahwa kegelapan dari banyak malam gelap telah dikosongkan seluruhnya malam ini.

Lalu bentuk perkataan bahwa kegelapan berada di dalam hujan [deras yang disertai guntur] meskipun ia sebaliknya, menunjukkan bahwa orang-orang yang ketakutan mengira angkasa telah menjadi kolam yang dipenuhi hujan, dan malam tertahan di dalamnya, disela di antara molekul-molekulnya.

Kata "الظلمات" disebut dalam bentuk jamak untuk menunjukkan keragamannya: awan gelap hitam, kepadatannya, awan yang menutupi seluruh langit, beratnya hujan, lebatnya tetes hujan, dan kegelapan yang diperparah malam.


121. Page

Dan kata ظُلُمَاتٌ﴿ berbentuk indefinitif (nakirah) karena gelap tidak diketahui, dan lebih khusus karena pihak yang dituju pembicaraan (mukhâthab) tidak mengetahuinya sama sekali. Dan [bentuk indefinitif] juga berarti penguatan (ta'kîd), [karena "tidak mengetahui" berarti sama dengan ظُلُمَاتٌ﴿ (“gelap")].

Adapun frasa وَرَعْدٌ وَبَرْق﴿ - wa ra'd wa barq (“dan guntur dan kilat”), itu dimaksud untuk menggambarkan kebingungan dan kekhawatiran [orang-orang munafik], dan [untuk menunjukkan bahwa] orang yang dilanda bencana dan kebingungan, memfokuskan semua perhatiannya pada peristiwa yang paling kurang signifikan. Sebab, pengamatan serius mendorong seseorang untuk berusaha memahami pergolakan dan perubahan yang menakjubkan dan aneh pada guntur dan kilat. Tapi ketika [orang-orang munafik] melihat kegelapan menyergap alam semesta dan menelan makhluk -- seperti ketiadaan -- kebingungan mereka pun berubah menjadi kesedihan anak yatim dan mereka terdiam seperti orang mati. Sebab, mereka melihat bukti keberadaan yang paling jelas, yaitu dialog makhluk-makhluk mulia [guntur], serta penampakan makhluk ini ketika tabir diangkat [saat petir berkilau]. Akibatnya, pandangan mereka berubah menjadi pandangan orang yang dipenuhi kegalauan, kebingungan, dan ketakutan. Karena ketika mereka melihat kegelapan tak terbatas di angkasa yang tak bertepi, yang sama sekali tidak dapat mereka atasi, mereka melihat [semuanya] dengan pandangan putus asa. Tapi kemudian, ketika gelap tiba-tiba lenyap dari ruang angkasa dan menghilang seketika, serta di mana-mana dipenuhi cahaya, keputusasaan mutlak mereka berubah menjadi harapan.

Ketahuilah, guntur dan kilat adalah dua tanda jelas alam gaib. Keduanya berada di tangan malaikat yang ditunjuk sebagai wakil di dunia awan untuk mengawasi pengaturan hukum-hukumnya.

Hikmah ilahi menghubungkan sebab dan akibatnya. Ketika awan terbentuk dari uap, air tersebar di atmosfer, beberapa bagian darinya memuat elektron negatif dan sebagian lainnya elektron positif. Ketika berdekatan satu sama lain, keduanya langsung bertabrakan dan terbentuklah petir. Kemudian di awan terjadi proses saling serang, sehingga ada yang tiba-tiba tumbang, dan tempatnya diisi oleh awan lain karena memang tidak boleh ada kevakuman. Lapisan [udara] berosilasi dan berombak-ombak yang menghasilkan suara guntur. Namun, kondisi atmosfer ini berproses dalam tatanan dan hukum yang diperankan oleh malaikat guntur dan kilat.

Mengenai صيّب﴿ - shayyib (“hujan lebat”) yang diperlihatkan mengandung [guntur dan kilat], meskipun [pada kenyataannya] awan yang mengandungnya, hal itu karena [orang munafik] yang ketakutan dan pendengar yang khawatir terhadap terornya, melihat hujan lebat menguasai segala sesuatu karena ia menguasainya.

Penggunaan kata bentuk tunggal untuk رعْد﴿ ("guntur") dan بَرْق﴿ ("petir") meskipun kata "kegelapan" berbentuk jamak, menunjukkan bahwa sumber ketakutan membuat orang-orang munafik yang dilanda bencana membayangkan langit berbicara dan mengancam mereka dengan guntur, serta tersingkapnya tirai melalui pencahayaan yang berkilau.

Keduanya merupakan makna verbal (ma'nâ mashdari) perkataan, dan [menyerupai] "tangan yang bersinar."

Juga, masing-masing adalah satu jenis (naw'), meskipun kondisi masing-masing beragam.

وَرَعْدٌ وَبَرْق﴿ ("Guntur" dan "kilat") berbentuk indefinitif karena keduanya tidak memenuhi syarat kata sifat; maksudnya, ['tanwin' menandakan kata sifat tersirat, seperti] guntur yang menggelegar dan kilat yang berkilau.

Hal ini juga menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] tidak terbiasa [dengan realitas mereka] karena semua perhatian mereka difokuskan pada aspek detil sebab pada keduanya terdapat banyak keajaiban.

Hal ini juga mengisyaratkan bahwa mereka tidak mengakui guntur dan kilat karena telah menyumbat telinga mereka dan menutup mata mereka.

Bagian-bagian dari frasa:يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ﴿ - yaj'alûna ashâbi'ahum fi âdhânihim min al-shawâ'iq hadzara al-mawt (“mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati”):


122. Page

Ketahuilah, kalimat ini merupakan jawaban atas pertanyaan tersirat dan 'permulaan' [kalimat] yang indah (isti'nâf), [yakni, ia tidak terikat dengan apa yang mendahuluinya]. Sebab saat pendengar berpaling pada cerita alegoris yang emosional ini, ia merasakan keinginan kuat untuk mengungkap kondisi bencana. Begitu ini tergambarkan dengan sempurna, rasa ingin tahunya terpuaskan, kemudian dia berkeinginan mempelajari kondisi orang yang dilanda bencana. Dia seolah-olah bertanya: "Bagaimana kondisi mereka saat ini? Apa yang mereka lakukan untuk menyelamatkan diri?" Dan al-Qur'an membalas dengan mengatakan: "mereka menyumbat telinga..." dan seterusnya. Yakni, tidak ada jalan keluar bagi mereka; mereka seperti orang tenggelam mencengkeram benda yang tanpa pegangan. Mereka berusaha melindungi diri dari proyektil samawi dengan menutup telinga mereka. Tapi itu tidak mungkin, tidak ada alasan [mereka bisa selamat].

 

Kata يَجْعَلُونَ﴿ - yaj'alûna (“mereka menyumbat”) digunakan sebagai pengganti "يدخلون - yadkhulûna (mereka memasukkan)" sebagai pertanda bahwa mereka mencari beberapa cara [menyelamatkan diri] tetapi satu-satunya hal yang mereka bisa pikirkan adalah menempelkan [jari-jari mereka di telinga mereka]. Penggunaan kata kerja masa depan (mudlâri'), yang membangkitkan situasi masa sekarang ini, menunjukkan bahwa [ketika mendengar tentang] keadaan yang membingungkan tersebut, si pendengar memunculkan dalam imajinasinya waktu dan tempat yang nyata. Kata kerja mudlâri' juga menunjukkan kelanjutan dan pembaruan [bencana] yang terus-menerus, serta dalam kelanjutan ini terdapat tanda bahwa awan menyerang mereka tak henti-hentinya.

Penggunaan kata أَصَابِعَهُمْ﴿ - ashâbi'ahum (“jari-jari”) ketimbang "أناملهم - anâmilahum (ujung jari)" menunjukkan kuatnya kebingungan mereka.

Adapun آذَانِهِمْ﴿ - âdzânihim (“telinga mereka”) menunjukkan ketakutan mereka yang mengerikan karena suara guntur, hingga terbayangkan pada mereka bahwa guntur akan masuk ke telinga mereka dan roh mereka akan terbang keluar dari pintu mulut mereka.

Di dalamnya juga terdapat pertanda lembut bahwa mereka tidak mau membuka telinga mereka untuk menerima seruan kebenaran dan nasihat yang baik sehingga dihukum dengan cara ini melalui dentaman suara guntur; yakni, karena mereka menutupnya [secara sukarela] ketika berada dalam situasi pertama, mereka [terpaksa] menutupnya ketika berada di situasi kedua. Seperti orang yang mengatakan sesuatu yang memalukan dari mulut dipukulkan ke mulutnya, maka ia menyesal lalu menempatkan tangan kanannya di mulutnya serta menutup matanya dengan tangan kirinya karena merasa malu.

مِنَ الصَّوَاعِق﴿ - min al-shawâ'iq (“dari mendengar suara petir”) menunjukkan bahwa petir dan kilat bersatu untuk menyakiti mereka, sebab petir (halilintar) selain berupa suara yang keras juga api yang menghanguskan, yang menghantam siapa saja yang ditemuinya.

Adapun حَذَرَ الْمَوْت﴿ - hadzara al-mawt (“takut akan mati”), ia mengisyaratkan bahwa bencana telah mencapai titik akhir dan pisau telah mencapai tulang. Semuanya selesai kecuali kehidupan, dan sekarang mereka tak memperhatikan apa pun kecuali rasa takut akan kematian dan keinginan untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Bagian-bagian dari kalimat:وَاللهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ﴿ - wa Allâlu muhîthun bi'l-kâfirin (“dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”):

Ketahuilah: Kata penghubung "الواو (dan)" menuntut hubungan [antara dua klausa], dan di sini tak lain adalah hubungan antara hasil tersirat dari [frasa] sebelumnya dan frasa yang satu ini. Seolah-olah "الواو" ini mencela mereka, dengan mengatakan: "Mereka kaum yang melarikan diri dari kehidupan kota, dan membenci peradaban. Mereka memberontak melawan hukum yang menjadikan malam sebagai waktu istirahat, dan tidak mematuhi saran yang diberikan pada mereka. Mereka mengira mereka bisa selamat dengan melarikan diri ke padang gurun, namun mereka frustasi dalam hal ini, dan diliputi bala Allah."

Adapun kata الله﴿ (“Allah”), ini menunjukkan potongan harapan terakhir mereka. Sebab satu-satunya jalan dan hiburan bagi mereka yang terkena musibah adalah rahmat Allah. Dan ketika mereka mendapatkan murka-Nya, harapan tersebut telah padam.


123. Page

Kata مُحِيطٌ﴿ - muhîthun (“meliputi”) menyimpulkan bahwa bencana yang meliputi segalanya itu adalah jejak karya murka Dzat Yang Maha Tinggi. Sebagaimana langit, awan, petir, dan malam yang menyerang mereka dari keenam arah, demikian pula murka Dzat Yang Maha Tinggi dan bencana-Nya meliputi mereka. Selain itu, pengetahuan dan qudrat Dzat Yang Maha Tinggi mencakup semua makhluk, dan perintah-Nya meliputi semua partikel. Jadi seolah-olah مُحِيطٌ﴿ membacakan [ayat berikut] pada mereka:

لا تنفذون من أقطار السموات والأرض﴿

"Kalian tidak akan bisa menembus penjuru-penjuru langit dan bumi," (Qs. al-Rahman [55]: 33).

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ﴿

"Ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah" (Qs. al-Baqarah [2]: 115).

Pengaitan [awalan] "الباء - ba’" [pada frasa بِالْكَافِرِينَ﴿ - bi al-kâfirîn, ini menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] jatuh ke dalam hal yang sangat ingin mereka hindari, sehingga mereka menjadi target anak panah.

Adapun ungkapan [terakhir] بِالْكَافِرِينَ﴿ - bi al-kâfirîn ("semua orang-orang yang kafir"), ini menunjukkan bahwa citra orang-orang yang diwakili, yaitu, orang-orang munafik, tergambarkan di cermin tamsil. Hal ini dimaksud agar pikiran pendengar tidak teralihkan ke tamsil kemudian dia melupakan tujuan.

Hal ini juga menunjukkan bahwa perumpamaan dan mereka yang digambarkan di dalamnya sangat mirip hingga keduanya nyaris sama; perbedaan antara mereka telah hampir memudar sehingga keduanya tampak identik. Antara realitas dan imajinasi telah menyatu.

Ungkapan ini juga menandakan gelapnya hati mereka, sebab hati nurani mereka juga menyiksa mereka akibat kesalahan dan kejahatan mereka. Sebab, orang yang melihat balasan atas kejahatannya tidaklah tenang hati nuraninya.

 

Mengenai bagian-bagian dari kalimat: يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ﴿ - yakâdu al-barq yakhthafu abshârahum (“hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka”).

Ini tampaknya tidak berhubungan [dengan frasa sebelumnya, dan karena itu] menunjukkan bahwa pendengar bertanya-tanya: "Tidakkah mereka mengambil manfaat dari petir untuk mengurangi bencana kegelapan bagi diri mereka sendiri?" Maka dia dijawab: "Mereka takut terhadap bahaya melebihi [keinginan mendapatkan] keuntungan."

Adapun يَكَادُ﴿ - yakâdu (“hampir”), karena alasan ciri khasnya yang terkenal, ia menunjukkan hilangnya penglihatan mereka, tapi sebetulnya [penglihatan mereka] tidak hilang sama sekali karena beberapa alasan lain.

Kata يَخْطَفُ﴿ - yakhthafu (“merampas”), karena biasanya digunakan terkait hantu dan elang, maka ia mengandung balaghah lembut yang menyala di otak. Ia juga menunjukkan bahwa petir mendahului sinar mata sebelum mencapai sesuatu untuk menangkap gambarnya. Ia menyusulnya, menyalipnya, dan menyerang kelopak mata, sehingga memadamkan cahayanya. Seolah-olah ketika cahaya mata keluar dari rumahnya cepat-cepat untuk menangkap gambar sesuatu, petir yang merupakan sinar mata malam mengejar dan merebut gambar dari tangan cahaya mata sebelum sampai ke kelopaknya. Artinya, petir mencuri gambar dari mata.

Adapun أَبْصَارَهُمْ﴿ - abshârahum (“penglihatan mereka”) -- berdasarkan keberadaan [mata] sebagai cermin hati -- menunjukkan bahwa mata orang-orang munafik menjadi buta terhadap bukti pasti dari al-Qur'an.

Mengenai bagian-bagian dari frasa: كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا﴿ - kullamâ adlâ'a la-hum masyaw fihi wa idhâ adzlama 'alayhim qâmû (“setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”):

[Bentuknya] sebagai satu awal baru [yang tampaknya tak terkait dengan apa yang mendahuluinya] (isti'nâf), itu menunjukkan bahwa ketika si pendengar melihat semua bencana berbeda dan berubah, lalu 

124. Page

ia bertanya tentang keadaan [orang-orang munafik] di kedua situasi, sehingga dijawablah [pertanyaan mereka] dengan [bentuk kalimat] ini.

Adapun kata كُلَّمَا﴿ - kullamâ (“setiap kali”) yang mendahului kata "adlâ'a (menyinari)," dan kata إِذَا﴿ - idzâ (“apabila”) yang mendahului kata "adzlama (gelap menimpa)," itu menunjukkan bahwa [orang-orang munafik] sangat menginginkan cahaya, merebut cahaya lemah yang paling bisa mereka dapatkan.

Kata كُلَّمَا﴿ juga mengandung silogisme analogis kondisional (qiyâs mustaqim istitsnâi).

Adapun أَضَاءَ لَهُم﴿ - adlâ'a la-hum (“menyinari untuk mereka”) dengan [preposisi] "lâm" yang menandakan penyebab (lâm al-ajliyyah) dan manfaat, itu menunjukkan bahwa [orang-orang munafik], yang dilanda bencana yang menakutkan, tenggelam dalam kebutuhan mereka sendiri. Mereka pun mengira bahwa cahaya yang disebar oleh tangan qudrat [ilahi] di dunia untuk ribuan kondisi umum hikmah [ilahi] dimaksudkan untuk mereka sendiri, dan bahwa tangan qudrat mengirimkannya hanya untuk kepentingan mereka.

Meskipun [orang-orang munafik] harus merebut peluang [mendapatkan cahaya] untuk melakukan perjalanan dengan cepat, [kata] مَشَوْا﴿ - mashaw (“mereka berjalan [maju]”) [digunakan] untuk menunjukkan bahwa bencana telah menahan mereka. Mereka hanya bisa bergerak maju perlahan-lahan dengan kecepatan berjalan kaki.

[Awalan pronominal -hi] pada [kata] فِيهِ﴿ - fihi (“di dalamnya”), [yang merujuk pada cahaya], menunjukkan bahwa jarak mereka bergerak maju [hanya sebatas yang diberikan] cahaya, yang merupakan warna waktu. Jadi seolah-olah ruang membatasi mereka.

[Disertakannya] "الواو - waw" pada وإِذَا﴿ - wa idzâ (“dan ketika”), itu menunjukkan bahwa bencana terus diperbarui, yang membuatnya semakin dahsyat.

Kebalikan dari كُلَّمَا﴿ - kullamâ (“setiap kali”), [kata] إِذَا﴿ - idzâ (“ketika”) yang mengungkapkan pengabaian dan partikularitas [karena akhiran generalisasi -mâ tak ditambahkan padanya], menunjukkan bahwa kebencian mereka [terhadap kegelapan] dan kebutaan mereka begitu ekstrem, dan bahwa ia merenggut mereka ketika mereka tenggelam dalam kejap [cahaya], [yang memberi mereka] peluang.

Adapun أَظْلَمَ﴿ - adzlama (“gelap menimpa”), disandarkan pada kilat [sebagai subjeknya], itu menunjukkan bahwa kegelapan [yang terjadi] setelah adanya cahaya, gelapnya menjadi jauh lebih kuat.

Itu juga menunjukkan bahwa imajinasi [orang-orang munafik] yang dilanda bencana, ketika melihat [pertama-tama] petir mengusir kegelapan, tapi ternyata kemudian hilang dan tempatnya dipenuhi kegelapan, mereka membayangkan bahwa [cahaya] telah padam, dan hanya meninggalkan asap.

Adapun [kata] عَلَيْهِمْ﴿ - 'alayhim (“atas mereka”) yang menyatakan bahaya, itu menunjukkan bahwa kegelapan tidak terjadi kebetulan tapi merupakan hukuman atas perbuatan mereka.

Ini juga menunjukkan bahwa [orang munafik] yang ketakutan membayangkan gelap akan mengisi langit dan diarahkan padanya -- di antara semua makhluk, meskipun dia manusia kecil dan lemah -- serta bahwa serangan dan bahaya itu ditujukan kepadanya secara khusus.

Penggunaan [kata] قَامُوا﴿ - qâmû (“mereka berdiri”) bukan (سكنوا - sakanû"mereka berdiam, berhenti") merupakan pertanda bahwa karena bencana dan usaha keras mereka [untuk mengatasinya], mereka membungkuk seolah-olah sedang rukuk, seperti ciri orang yang bekerja keras.

 

Adapun bagian-bagian kalimat, وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ﴿ - wa-law syâ'a Allâhu la-dzahaba bisam'ihim wa abshârihim (“dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka”):

Dalam "الواو - waw," berdasar rahasia kata penghubung, terdapat isyarat bahwa tangan qudrat [ilahi] bertindak di bawah tirai sebab[-akibat], dan bahwa pandangan hikmah [ilahi] memantau semua penyebab dari atas.

لَوْ﴿ - law ("jika”) terdiri dari silogisme kondisional non-analogis; yaitu, tiadanya kehendak merupakan alasan ('illat) bagi tidak hilangnya [pendengaran dan penglihatan] mereka; begitu pula, mereka tidak tersesat merupakan bukti bahwa kehendak Ilahi tidak menyebabkan mereka hilang.

Ini juga merupakan pertanda bahwa penyebab [mereka hilang] telah terpenuhi.


125. Page

شَاء﴿ - syâ'a (“menghendaki”) menunjukkan bahwa yang mengikat sebab dan akibat tak lain adalah kemauan dan kehendak ilahi, maka yang mengeksekusi [tindakan] adalah qudrat ilahi. Penyebab (asbâb) hanyalah tirai dari kemuliaan dan keagungan ilahi agar tangan qudrat, di mata pikiran [yang hanya melihat sesuatu yang tampak], tidak terlihat berhubungan dengan hal-hal yang rendah.

 

 

Penggunaan eksplisit nama الله﴿ - Allah merupakan isyarat memperingatkan manusia agar tidak kecanduan pada sebab-akibat dan mencegah mereka tenggelam di dalamnya.

Ia juga mengajak pikiran untuk melihat tangan qudrat [ilahi] di balik semua sebab.

Penghilangan objek dari kata kerja شَاءَ﴿ - syâ'a (“menghendaki”), meskipun objek mestinya ada sesuai aturan tata bahasa biasa, diperbolehkan di sini melalui adanya kaitan makna (qarîna) kata-kata lain. Penghilangan ini menunjukkan bahwa kehendak dan kemauan ilahi tidak terpengaruh oleh peristiwa alam semesta, dan bahwa segala sesuatu tidak berpengaruh pada sifat ilahi, sebagaimana manusia dipengaruhi oleh segala sesuatu, keindahan dan keburukannya, serta kebesaran dan kekecilannya.

لَذَهَبَ﴿ - la-dzahaba (“niscaya Dia melenyapkan”) menunjukkan bahwa sebab tidak memiliki kontrol dan kekuasaan atas akibat sehingga ketika sebab dicabut, akibat akan tetap berada di ruang ketiadaan, dimainkan tangan kebetulan dan terombang-ambing secara kebetulan; namun, tangan qudrat hadir di balik sebab. Ketika ia mencabut sesuatu keluar [ke ketiadaan], tangan hikmah ilahi membawanya dengan hukum keseimbangan dan keteraturan, serta mengirimkannya ke tempat lain; tidak mengabaikannya.

[Misalnya,] ketika panas memecah struktur air, melalui aturan [hukum] yang tercakup dalam udara, uap mengikuti rangkaian yang sudah ditentukan dan Sang Pencipta mengirimkannya ke tempat tertentu.

Demikian pula, di dalam ذَهَبَ﴿ - dzahaba terdapat pertanda bahwa lima indera eksternal [manusia] tidak diciptakan oleh alam, dan bahwa tidak ada yang melazimkan rongga mata dan telinga; itu adalah karunia dan anugerah dari-Nya. Rongga dan sebab hanyalah syarat biasa [bagi keberadaan indera tersebut].

Kata kerja ذَهَبَ﴿ - dzahaba dibuat transitif melalui [preposisi] "bi" pada [frasa] "niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka (la-dzahaba bisam'ihim)," bukan dengan "hamzah;" [yaitu, kata kerja bentuk keempat]. Ini merupakan pertanda bahwa tangan qudrat tidak mengambil segala sesuatu melalui kendali sebab, segala sesuatu juga tidak bebas berkeliaran dengan tali tergantung di lehernya;[1] namun, tali itu [dengan kuat] berada di tangan [hukum dan] aturan.

Adapun [kata] "السمع - pendengaran" [ditampilkan] berbentuk tunggal dan [kata] "البصر - penglihatan" berbentuk jamak [pada frasa "pendengaran dan penglihatan mereka (bi-sam'ihim wa abshârihim)"], itu menunjukkan bahwa hal yang didengar itu cuma satu, sementara hal dapat dilihat itu banyak. Sebab, seribu orang bisa mendengar hal yang sama pada saat yang sama, tapi apa yang mereka lihat akan berbeda-beda.

 

Bagian-bagian dari frasa إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴿ - innâ Allâhu 'alâ kulli syay'in qadîr (“sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”):

Ketahuilah: Kalimat ini merupakan ringkasan (fadzlakah) dari mempelajari kengerian di dalam tamsil dan [orang-orang] yang digambarkan di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagaimana rincian keadaan [para pelancong] yang dilanda musibah, yang mewakili keadaan orang-orang munafik, tidak diabaikan [oleh qudrat ilahi]; demikian pula halnya yang terlihat pada perlakuan qudrat ilahi di setiap partikel kecil.

Selain menunjukkan bahwa pernyataan ini merupakan kebenaran tak tergoyahkan, partikel إِنَّ﴿ - inna (“sesungguhnya”) menunjukkan besarnya masalah ini, keluasan dan ketelitiannya, serta ketidakmampuan manusia, kelemahan dan keterbatasannya tentang masalah itu, yang timbul dari angan-angan [manusia],

[1]



126. Page

yang merupakan konsekuensi dari keragu-raguannya mengenai keyakinan. [Artinya, dengan kepastiannya, إِنَّ﴿ mengusir keragu-raguan.]

Penggunaan nama الله﴿ - Allah secara eksplisit menunjukkan bukti hukum [kemahakuasaan-Nya], sebab qudrat sempurna yang menyeluruh merupakan sifat melekat yang diperlukan bagi Ketuhanan (uluhiyyah).

Adapun عَلَى﴿ - 'alâ (“atas”), itu menunjukkan bahwa qudrat ilahi, yang mengeluarkan segala sesuatu dari ketiadaan, tidak akan membiarkannya sia-sia dan percuma; tapi, hikmah [ilahi] akan mengawasi dan memeliharanya.

كُلِّ﴿ - kull (“semua”) menunjukkan bahwa jejak penyebab, serta hasil (al-hâsil bi'l-mashdar) perbuatan ikhtiar [manusia], juga [terjadi] dengan qudrat Yang Maha Tinggi.

شَيْءٍ﴿ - syay' (“sesuatu”), yang berarti "sesuatu yang dikehendaki oleh Allah (masyîah),"[1] menunjukkan bahwa setelah hadir ke dalam wujud, makhluk tidak bisa mandiri dari Sang Penciptanya; tapi, mereka sepanjang masa membutuhkan keterlibatan-Nya demi kelanjutannya -- yang merupakan pengulangan wujud.

Adapun penggunaan kata قَدِيرٌ﴿ - qadîr (“berkuasa”) ketimbang "قادر - qâdir" [partisip aktif, isim fa'il], merupakan pertanda bahwa qudrat ilahi tidak dapat diukur seperti sesuatu yang dapat ditentukan, sebab ia merupakan esensi yang tidak berubah-ubah, kelaziman yang tidak menerima penambahan atau pengurangan. Tidak mungkin bagi kebalikannya, ketidakmampuan, untuk melanggar batas itu, atau suatu [derajat] intensitas atau kelemahan [untuk campur tangan di dalamnya].

Ini juga merupakan pertanda bahwa qudrat [ilahi] seperti pola lisan dasar dalam tata [Bahasa Arab], yaitu, فَعَلَ - fa'ala, bagi semua atribut perbuatan (awsâf fi'lîyyah), seperti Maha Pemberi Rezeki (al-Razzâq), Maha Pengampun (al-Ghaffar), Maha Pemberi Hidup (al-Muhyi), Yang Mematian (al-Mumît), dan sebagainya. [Artinya, qudrat adalah dasarnya.]

Kini pikirkan baik-baik apa yang telah engkau dengar!

[1] Di dalam al-Kulliyyat 525 disebut: "Sesuatu dalam hak Allah berarti yang menghendaki, dan dalam hak makhluk berarti apa yang dikehendaki." Di dalam al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh 2/492 disebutkan: "Syay' adalah masdar dari sya'a, ia termasuk salah satu nama perbuatan [Allah]. Penyebutannya atas dzat termasuk bab penyebutan masdar terhadap maf'ul." Lihat pula al-Tibyan fi Tafsir Gharib al-Qur'an 64.