AL-BAQARAH AYAT 2

35. Page

Ayat 2

 

﴿ذلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين

(Dzâlika al-kitâb lâ rayba fî-hî hudan li'l-muttaqîn)

Itulah Kitab (al-Qur'an) yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

 

Mukaddimah

Ketahuilah, salah satu prinsip balaghah yang membuat indahnya ucapan menjadi berkilau adalah saling jawab satu sama lain di antara semua kalimat dan kata-kata, dan dijalinnya ikatan [semua kalimat dan kata-kata] itu sambil melihat ke tujuan yang mendasarinya. Dengan demikian, masing-masing memperkuat tujuan yang dimaksud sesuai kadar kekuatannya, sehingga menjadi seperti gabungan lembah-lembah atau kolam-kolam yang mengalir dari semua sisi, mengkonfirmasi dan mengilustrasikan kata-kata [penyair]:

عِبَارَاتُنَا شَتَّى وَحُسْنُكَ وَاحِدٌ         وَكلٌّ إلى ذَاكَ الْجَمَال يُشِيرُ

Ungkapan kami beragam, namun keindahanmu satu

Dan kami masing-masing menunjuk kepada keindahan itu.

Sebagai contoh, ayat:

﴿وَلَئِنْ مَسَّتْهُمْ نَفْحَةٌ مِنْ عَذَابِ رَبِّك

"Dan sesungguhnya, jika mereka ditimpa sedikit saja dari azab Tuhan-mu." (Qs. al-Anbiya' [21]: 46)

Perhatikan, ayat ini [dimaksud] untuk menimbulkan rasa takut (tahwîl) dengan menekankan pengecilan (taqlîl) [hukuman], berdasarkan rahasia pembalikan hal bertentangan dari lawannya (seperti dua angka negatif menimbulkan satu angka positif). Ayat ini menunjukkan dahsyatnya hukuman dengan memperlihatkan tingkat keparahan paling sedikit.

Apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana kata ﴿ إِنْ - in (“jika”) menandakan keragu-raguan (tasykîk), dan keraguan memperlihatkan ukuran kecil atau jumlah beberapa.

Kata  ﴿ مَسَّت - massat berarti menyentuh perlahan-lahan, dan ini mengungkap jumlah kecil.

Kata ﴿ نَفْحَة - nafhah hanyalah tiupan dan dalam bentuk tunggal [hanya sekali, marratiyyah], yang mengungkapkan ukuran kecil atau jumlah beberapa, seperti halnya tanwin menunjukkan ketidaktentuan.

Kata partisif "dari ﴿ مِنْ - min (“dari”) menunjukkan sebagian, dan itu berarti sedikit serta menunjukkan kekurangan.

Kata  ﴿ عَذَاب - adzâb (“siksa”) menunjukkan hukuman agak lebih ringan ketimbang "nakâl (dera)," dan mengacu pada jumlah yang kecil.

Dengan menekankan kasih sayang, kata ﴿ رَب - rabb (“Tuhan Pemelihara”) menunjukkan ukuran kecil atau jumlah beberapa. Tidakkah engkau perhatikan semua itu?

Sekarang bandingkan [ayat-ayat] lainnya dengan ayat ini, dan perhatikan bagaimana masing-masing dengan cara khasnya mendukung tujuan utamanya. Lakukan analogi dengan ayat ini untuk saudara-saudaranya. Terutama [ayat],

 ﴿ الـمذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين

(“itulah Kitab al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”) -- karena tujuannya adalah untuk memuji al-Qur'an dan membuktikan kesempurnaannya.

Bagian-bagian dari ayat ini semuanya secara terpadu menunjuk pada tujuan ini: sumpah [yang diungkapkan melalui] ﴿ الـم - alif lâm mîm di satu sisi,[1] dan ﴿ ذَلِكَ  - dzâlika yang menjadi kata ganti

[1] Ini menurut pihak yang berpendapat huruf-huruf yang terputus-putus di awal surah merupakan sumpah. Allah bersumpah dengannya sebagaimana Dia bersumpah dengan bulan, matahari, dan lain-lain. Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Lihat Takhrif al-Ahadits wa al-Atsar 1/34, Ma'ani al-Zujaj 1/56, Mausu'ah Aqwal al-Daraquthni 46, al-Inshaf fi Ma Yajibu I'tiqaduhu wa La Yajuzu al-Jahlu Bihi 1/175, Tafsir al-Bahru al-Muhith 1/156.




36. Page

demonstratif serta yang menunjukkan hal nyata dan adanya jarak; kata definitif alif dan lam di ﴿ الْكِتَابُ - al-kitâb dan pembuktiannya [yang ditunjukkan melalui] ﴿لاَ رَيْبَ فِيهِ﴾ - lâ rayba fîh (“yang tidak ada keraguan padanya”). Masing-masing frasa ini mendukung tujuan utama tadi, menambahkan bagian perannya masing-masing, dan mengungkapkan dari bawahnya bukti yang menjadi sandarannya, bahkan meskipun hanya sedikit.

Jika engkau mau, perhatikan ﴿ الـم- alif lâm mîm: Sebagai sebuah sumpah, sifatnya menguatkan, dan membangkitkan perasaan betapa hebatnya [al-Qur'an]. Demikian juga, untuk membuktikan klaim yang dikemukakannya, ia menarik perhatian pada kelembutan-kelembutan yang tersingkap di balik [huruf-hurufnya], yang telah disebutkan dalam empat Topik di atas.

Sekarang perhatikan kata ganti demonstratif ﴿ ذَلِكَ - dzâlika yang digunakan untuk merujuk pada esensi serta sifat [hal-hal yang nyata], maka engkau akan mengetahui bahwa selain menandakan kehebatan [al-Qur'an] -- sebab ia menunjukkan apa yang ditunjuk oleh ﴿ الـم - alif lâm mîm atau apa yang diramalkan di dalam Taurat dan Injil -- [kata ganti demonstratif] itu juga menunjuk ke bukti-bukti yang mendasarinya. Jadi betapa hebat, betapa sempurnanya hal yang disumpah melalui [﴿ ذَلِكَ الْكِتَابُ (“itulah kitab al-Qur’an”)], yang telah diramalkan di dalam Taurat dan Injil!

Berikutnya teliti dengan seksama kata ganti demonstratif ini, yang meskipun memang digunakan untuk hal-hal yang nyata, di sini ia mengungkap sesuatu yang bersifat pemikiran (amr ma'qul), sehingga engkau akan mengetahui bahwa sebagaimana ia menunjukkan kehebatan dan pentingnya [al-Qur'an], demikian pula ia menunjukkan bahwa al-Qur'an itu seperti magnet yang menarik pikiran, yang menarik tatapan semua orang padanya, serta memaksa imajinasi semua orang untuk sibuk bekerja. Karena itu, [pemikiran] tadi akan tampak berada di tingkatan sedemikian rupa sehingga seseorang akan mengacu pada imajinasinya meskipun itu akan terlihat di baliknya. Dengan demikian, pada dasarnya [kata ganti demonstratif ini] mengungkapkan bahwa [al-Qur'an] itu benar terpercaya, serta bebas dari kelemahan dan tipu daya yang menuntut harus disembunyikan.

Kemudian renungkan soal jauhnya jarak (bu'diyyah) yang terungkap melalui kata ﴿ ذَلِكَ - dzâlika: Sebagaimana ia menunjukkan tingginya kaliber al-Qur'an, yang menunjuk ke kesempurnaannya, ia juga menunjuk pada bukti bahwa [al-Qur'an] jauh di atas setiap upaya untuk menirunya. Sebab, [dalam hal ini ada dua pilihan], ia mungkin berada di bawah semua [upaya] ini, yang mustahil sebagaimana disepakati, atau berada di atas semua.

Selanjutnya renungkan kata definitif "alif lâm" pada الْكِتَابُ﴿ - al-kitâb: karena ia mengungkapkan pembatasan,[1] ia menunjukkan kesempurnaan al-Qur'an dan membuka pintu diadakannya perbandingan, dan mengisyaratkan bahwa ia tidak hanya mengumpulkan dalam dirinya keutamaan semua kitab suci [yang diwahyukan], tetapi juga menambahkan semuanya [pada dirinya] sehingga ia menjadi yang paling lengkap darinya.

Kemudian pikirkan sejenak ungkapan kata الْكِتَابُ﴿ - al-kitâb dan lihatlah bagaimana hal itu menunjukkan bahwa [al-Qur'an] bukanlah termasuk ciptaan orang buta huruf (ummî) yang tidak bisa membaca atau menulis.

Adapun لاَ رَيْبَ فِيه﴿ - lâ rayba fîh (“tidak ada keraguan padanya”), terdapat “dua aspek” di dalamnya:

[Akhiran -h] sebagai kata ganti (pada فِيه - fîhi) mengacu ke pernyataan ["inilah"] atau kepada الْكِتَابُ﴿ - al-kitâb.[2] Menurut arti pertama -- sebagaimana [diterangkan dalam] al-Miftâh,[3] itu berarti "pasti dan

[1] Al-Kafawi mengatakan, pembatasan (hashr) maknanya adalah meniadakan apa yang tak disebutkan dan menegaskan apa yang disebutkan... Itu merupakan tambahan terhadap pengkhususan, sebab pengkhususan berarti memberikan ketetapan terhadap sesuatu, serta mendiamkan yang lainnya dan yang terbanyak. Pengkhususan itu sendiri merupakan pembatasan, sebab berarti konteksnya. Lihat al-Kulliyyat 59 dan 303.

[2] Lihat pendapat demikian di Tafsir al-Thabari 1/98.

[3] Miftâh al-'Ulum karya Sirajuddin Abu Ya'qub Yusuf bin Abi Abakar bin Muhammad bin Ali al-Sakkaki yangg wafat pada 626 H. Kitab ini merupakan karya pertamanya, dan dia terkenal dengannya. Kitabnya dibagi ke tiga bagian dasar, yaitu ilmu sharaf, ilmu nahwu, serta ilmu bayan dan ma'ani. Lihat Miftâh al-'Ulum 19, Asma' al-Kutub 286, Abjad al-'Ulum 2/126 dan 3/56, Iktifa' al-Qunu' 357.




37. Page

tanpa ragu," sehingga merupakan bukti tidak langsung lebih lanjut tentang kesempurnaan [al-Qur'an]. Menurut arti kedua, seperti dinyatakan dalam al-Kasysyâf[1], ia menegaskan adanya kesempurnaan al-Qur'an.

 

Menurut arti keseluruhannya, [akhiran -h] menyatakan dari bawah balik لاَ رَيْبَ فِيه﴿ - lâ rayba fîh, seruan melalui [ayat]:

﴿وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِه

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal (al-Qur'an) itu," (Qs. al-Baqarah [2]:23).

Selain itu, ia juga menunjuk ke buktinya yang spesifik.

Dan karena [partikel negasi] لا﴿ - pada kata لاَ رَيْبَ فِيه﴿ - lâ rayba fîh bersifat mutlak, maka ia menghalau semua keraguan yang ada, seraya mendendangkan bait:

وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلا صَحِيحًا         وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيمِ

Berapa banyak kata-kata yang benar dianggap salah

Padahal kesalahannya hanya terletak pada pemahaman yang rusak.[2]

Hal ini menunjukkan juga bahwa al-Qur'an mustahil dapat menimbulkan keraguan, karena di dalamnya terdapat tanda-tanda dan indikasi bahwa dari semua sisinya mereka sama-sama menyeru untuk membentenginya, dan mereka bersatu-padu untuk memukul mundur keraguan yang terus mengancamnya.

Kata keterangan (dlarfiyyah) pada فِيهِ﴿ - fîhi, dan ungkapan في﴿ -  yang menggantikan tempat preposisi lainnya, mengisyaratkan bahwa pandangan harus menembus ke bagian dalam al-Qur'an, serta isyarat bahwa kebenarannya akan mengusir setiap kecurigaan tanpa dasar yang mungkin timbul pada permukaan luarnya disebabkan pandangan yang dangkal.

Wahai kawan yang telah memahami nilai susunan [kalimat] ini dengan analisanya, dan yang merasakan perbedaan antara keseluruhan dan bagian-bagiannya, pandanglah sejenak rangkaian kata-kata dan frasanya, dan lihatlah bagaimana masing-masing menyumbangkan perannya untuk tujuan bersama melalui bukti khasnya tersendiri, serta perhatikan bagaimana cahaya balaghah memancar di setiap sisinya.

Ketahuilah: Alasan mengapa kalimat الـمذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين﴿ tidak tersambung di dalam rangkaian adalah karena kesatuannya yang begitu kuat dan saling rangkul di antaranya, masing-masing menggenggam erat tangan yang mendahuluinya dan memegang ekor yang berikutnya. Sebab di satu sisi masing-masing merupakan bukti bagi semuanya, di sisi lain ia merupakan hasil bagi masing-masing. Kemukjizatan [al-Qur'an] tertulis pada ayat ini [seolah-olah] bordir anyaman dari dua belas benang sambungan yang terjalin begitu rumit.

Jika engkau ingin melihat secara rinci, [pertama-tama] pelajari ini:

الـم﴿ - alif lâm mîm sesungguhnya menyiratkan makna ini: "[Huruf] ini mengemukakan tantangan, apakah ada orang yang sanggap menjawabnya?" Lalu ia berseru bahwa ia merupakan mukjizat.

Kemudian pikirkan ذَلِكَ الْكِتَاب﴿ - dzâlika al-kitâb karena ia menyatakan dengan jelas bahwa ia melebihi semua [kitab-kitab lain] rekannya dan telah menggantikannya, sehingga menegaskan bahwa ia istimewa luar biasa dan tanpa tandingan.

Kemudian renungkan kata لاَ رَيْبَ فِيه﴿ - lâ rayba fihi (“tidak ada keraguan padanya”), sebab sebagaimana ia menyatakan secara eksplisit bahwa tidak menyediakan ruang bagi keraguan, ia memploklamirkan bahwa [al-Qur'an] diterangi dengan cahaya keyakinan.


[1]Al-Kasysyaf 'an Haqaiq al-Tanzil karya imam allamah Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi yang wafat pada tahun 538 H. Lihat Abjad al-Ulum 2/189, Asma' al-Kutub 242, Kasyf al-Dlunun 2/1475.

[2] Syair karya al-Mutanabbi di dalam Diwannya 4/246.




38. Page

Kemudian perhatikan kata هُدًى لِلْمُتَّقِين﴿ - hudan li al-muttaqîn (“petunjuk bagi mereka yang bertakwa”), sebab sebagaimana ia memberitahu padamu bahwa ia menunjukkan jalan yang lurus, ia memberitahu padamu bahwa ia terwujud dari cahaya bimbingan.

Dengan demikian, sehubungan dengan makna pertamanya, setiap frasa merupakan bukti bagi rekan-rekannya, dan sehubungan dengan maknanya yang kedua semua adalah hasil masing-masing darinya.

Sekarang, melalui contoh, kami akan menyebutkan tiga dari dua belas hubungan, dan engkau dapat membuat analogi dengannya untuk sisanya.

الـم﴿: yaitu, kitab ini menantang semua orang yang menentangnya; karena itu, ia harus menjadi kitab yang terbaik; karena itu, ia harus bersifat meyakinkan; sebab kitab terbaik adalah yang meyakinkan; maka ia harus mengandung petunjuk bagi umat manusia.

Kemudian ذَلِكَ الْكِتَاب﴿, yakni, kitab ini lebih unggul dari apa pun yang menyerupainya sehingga ia harus memiliki mukjizat. Atau, ia luar biasa dan berbeda; sebab tidak ada keraguan padanya; karena ia menunjukkan jalan yang lempang bagi orang-orang yang bertakwa.

Kemudian, هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴿, yaitu, memberi petunjuk ke jalan yang lurus; maka ia harus bersifat meyakinkan; maka ia harus luar biasa; maka ia harus mengandung mukjizat. Kini engkau dapat menyimpulkan sisanya.

Adapun هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴿- hudan li al-muttaqîn (“petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”):

Ketauilah bahwa keindahan kalimat ini bersumber dari empat poin:

 

Pertama: Penghapusan subjek (mubtada'), yang menunjukkan bahwa subjek dan predikat telah bersatu dan bahwa pernyataan [demikian] dapat diterima. Seolah-olah pada dasarnya subjek berada dalam predikat, hingga antara keduanya tidak berbeda juga dalam pikiran.

Kedua: Penggantian partisip aktif (isim fa'il) dengan kata benda verbal (mashdar).[1] Sebab di dalamnya terdapat petunjuk bahwa cahaya hidayah telah terjelma sehingga menjadi substansi al-Qur'an itu sendiri. Sebagaimana jika warna merah terjelma, ia menjadi merah tua.[2]

Ketiga: Penggunaan kata indefinit atau nakirah bagi هُدًى﴿ - hudan, itu dimaksud untuk menunjukkan puncak kedalaman petunjuk al-Qur'an, sehingga esensinya tak dapat diduga, dan menunjukkan puncak keluasannya, sehingga tak terjangkau oleh pengetahuan. Sebab, kata indefinit (nakirah) menunjukkan kedalaman dan kesembunyian, atau keluasan yang tak terjangkau. Di sini, penggunaan kata nakirah terkadang dimaksud untuk menghinakan (tahqîr) dan terkadang untuk memuliakan (ta'dzîm).

Keempat: Keringkasan (îjâz) di kata لِلْمُتَّقِينَ﴿ - li al-muttaqîn (“bagi orang-orang yang bertakwa”) yang digunakan sebagai pengganti kalimat yang lebih panjang seperti "manusia yang telah menjadi orang-orang yang bertakwa," menunjukkan hasil ketimbang apa yang mendahuluinya (majâz awwal), dan mengisyaratkan hasil hidayah dan dampaknya. Ia menunjukkan argumen "dari akibat ke sebab" (burhân innî)[3] bagi keberadaan petunjuk. Jadi pendengar di satu masa memiliki bukti dari masa-masa sebelumnya, sebagaimana ia akan menjadi bukti bagi mereka yang menggantikannya.

Jika engkau bertanya: Bagaimana bisa kebalaghahan yang berada di luar kemampuan manusia dilahirkan dari beberapa poin yang sedikit ini?

Engkau akan dijawab: Di dalam tolong-menolong (ta'âwun) dan persatuan (ijtimâ') terdapat rahasia menakjubkan. Sebab, berdasarkan rahasia pantulan, ketika tiga hal cantik bersatu, ia menjadi lima; lima menjadi sepuluh; dan sepuluh menjadi empat puluh. Sebab pada masing-masingnya terdapat semacam pantulan dan mewakili [kecantikan] hingga derajat tertentu. Seperti tampak ada banyak cermin ketika dua cermin diletakkan berhadapan; atau jika engkau menyorotkan lampu padanya, pantulan sinarnya akan meningkatkan cahayanya. Demikian pula halnya kesatuan dari sejumlah nuktah dan poin. Karena rahasia

[1] Penggantian kata hâdin menjadi hudan.

[2] Celupan berwarna merah berasal dari Armenia, terbuat dari perasan serangga cochineal yang dikeringkan, untuk mewarnai kain. Lihat al-Lisan 5/394.

[3] Tentang al-burhân al-innî, lihat Mu'jam Maqalid al-'Ulum 127, Dustur al-'Ulama' 161.




39. Page

ini juga, engkau akan melihat bahwa semua pemilik kesempurnaan dan pemilik kecantikan memiliki kecenderungan alami untuk bergabung dengan orang lain yang mirip dengan mereka sehingga dapat meningkatkan kecantikan mereka. Bahkan batu, meskipun sekedar batu, cenderung kepada saudara-saudaranya begitu keluar dari tangan tukang batu ditempatkan di atap kubah, langsung menundukkan kepalanya untuk menyentuh kepala saudara-saudaranya dan berpegangan satu sama lain agar tidak jatuh. Maka manusia yang gagal untuk memahami rahasia saling tolong-menolong pasti lebih jumud ketimbang batu, sebab sebagian batu berusaha sekuat tenaga untuk membantu saudara-saudaranya!

Jika engkau bertanya: Ciri petunjuk (hidâyah) dan balaghah adalah menerangkan, menjelaskan, dan menjaga pikiran dari kebingungan. Tapi para penafsir al-Qur'an telah berselisih paham terhadap ayat-ayat seperti ini. Mereka mengajukan kemungkinan yang berbeda-beda, dan mengemukakan berbagai aspek frasa yang saling bertentangan. Jadi bagaimana kebenaran bisa diakui di antara semua ini?

Engkau akan dijawab: Semuanya kadang benar, dilihat dari pendengar ke pendengar lain yang sangat bervariasi. Sebab al-Qur'an tidak diturunkan hanya untuk masyarakat masa tertentu, tetapi untuk manusia dari semua masa; atau tidak pula hanya untuk satu kelas tertentu, tetapi untuk semua kelas umat manusia; dan masing-masing memiliki pangsa dan bagian sendiri dalam memahami al-Qur'an. Di antara manusia terdapat perbedaan besar dalam hal pemahaman. Selera mereka pun sangat bervariasi. Mereka cenderung pada aspek-aspek yang berbeda dari al-Qur'an, dan menghargai berbagai aspek itu. Kesenangan mereka pun beragam, dan kesukaan mereka semua berbeda. Berapa banyak hal yang dianggap indah oleh satu bangsa, tapi bangsa lain bahkan tidak pernah melihatnya. Berapa banyak hal yang sangat dinikmati oleh satu kelompok, sementara kelompok lain bahkan tidak mengakui keberadaannya. Silahkan, engkau dapat menarik analogi lebih lanjut dengan cara yang sama.

Demi rahasia dan hikmah ini, di sebagian besar tempat al-Qur'an tidak menyebut hal-hal spesifik dan hanya membuat pernyataan yang bersifat umum sehingga setiap orang bisa mempertimbangkannya sesuai dengan selera dan apresiasinya. Al-Qur'an telah menyusun kalimat-kalimatnya dan memposisikannya sedemikian rupa sehingga banyak kemungkinan berbeda dapat diungkap dari berbagai aspeknya, dan [orang yang berbeda dengan] pemahaman yang beragam dapat berefleksi padanya sehingga masing-masing akan menerima bagiannya. Silahkan, engkau dapat membuat analogi lebih lanjut!

Jadi, diperbolehkan aspek-aspeknya berbeda-beda sama sekali dengan syarat tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu Bahasa Arab, dan dengan syarat sejalan dengan Ilmu Balaghah (kefasihan), serta dengan syarat dapat diterima oleh Ilmu Ushul Maqashid al-Syariat (Prinsip dan Tujuan Syariah).

Dengan demikian, dari nuktah ini jelaslah bahwa salah satu aspek kemukjizatan al-Qur'an ialah nadzam (susunan kata) dan pengaturan gaya bahasanya yang sesuai dengan pemahaman orang-orang dari segala usia dan semua kelas.