NAVIGATION
127. Page
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾
(Yâ ayyuhâ al-nâs u'budû rabbakum alladzi khalaqakum wa alladzîna min qablikum la'allakum tattaqûn * alladzî ja'ala la-kum al-ardla firâsyan wa al-samâa binâan wa anzala min al-samâi mâan fa-akhraja bi-hi min al-tsamarât rizqan la-kum fa-lâ taj'alû li'llâhi andâdan wa antum ta'lamûn.)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa * Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Mukaddimah
Ketahuilah, ibadah adalah yang menanamkan prinsip akidah [keimanan] dan menjadikannya bagian inti dari sifat dan karakter. Sebab, jika hal yang berkaitan dengan hati nurani dan akal tidak dipelihara dan diperkuat oleh ibadah -- yang adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya[1] -- dampak dan pengaruhnya akan lemah. Keadaan dunia Islam sekarang saksinya.
Ketahuilah pula, ibadah merupakan penyebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sarana pengaturan kehidupan dunia dan akhirat, dan penyebab pencapaian kesempurnaan, baik individu maupun kolektif. Inilah hubungan mulia dan terhormat antara hamba dan Penciptanya.
Adapun beberapa alasan ibadah menjadi penyebab kebahagiaan di dunia, yang merupakan ladang akhirat, terdiri dari beberapa aspek:
Pertama: Manusia telah diciptakan dengan watak lembut dan menakjubkan yang membuatnya istimewa dan berbeda dari semua makhluk hidup lainnya. Watak itu telah memunculkan dalam dirinya keinginan untuk memilih, kecenderungan pada sesuatu yang paling indah, keinginan pada perhiasan, dan keinginan alami untuk memiliki mata pencaharian dan kesempurnaan yang layak bagi kemanusiaan.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan akomodasinya -- yang timbul karena keinginan tersebut di atas -- manusia membutuhkan banyak sekali seni dan kerajinan. Tapi dia tidak akan mampu memenuhi semua ini sendirian. Karena itu, dia perlu bergaul dengan sesamanya sehingga dia bisa bekerja sama dengan mereka. Mereka pun saling membantu dan saling tukar-menukar hasil usaha mereka.
Namun, untuk menjamin kemajuan manusia melalui dorongan utama kehendak, Pencipta Yang Maha Bijaksana tidak membatasi bawaan tertentu pada [tiga] daya kekuatan manusia, yaitu nafsu, kemarahan, dan akal -- tidak seperti hewan yang kekuatannya terbatas -- sehingga muncul [pada diri manusia] tirani dan agresi.
Dan karena daya kekuatan manusia [cenderung] agresif dan berlebihan -- sesuai rahasia tidak adanya batas yang ditempatkan pada mereka -- masyarakat [manusia] sangat membutuhkan keadilan ketika bertukar hasil usaha.
Namun karena akal masing-masing anggota masyarakat tidak cukup mampu memahami keadilan, spesies manusia membutuhkan kecerdasan umum atau universal [untuk menegakkan] keadilan, yang dapat diambil manfaatnya oleh semua akal awam. Dan kecerdasan itu tak lain adalah hukum universal, dan itu tak lain adalah hukum syariat!
Kemudian, demi menjaga efektivitas syariat dan pelaksanaannya, diperlukan seorang pemangku hukum (muqannin), seorang yang mendakwahkan dan menyebarluaskannya, seorang otoritas, dan orang itu tak lain adalah Nabi S.a.w!
128. Page
Kemudian untuk melanggengkan dominasinya secara lahiriah dan batiniah atas pikiran dan hati [manusia], Nabi harus betul-betul unggul secara fisik, rohani, moral, perilaku, penampilan, dan dalam penciptaan maupun akhlak. Beliau juga membutuhkan bukti atas kekuatan hubungan antara beliau dengan Tuhan Semua Kedaulatan, Pemangku Alam Semesta, dan bukti tersebut tak lain adalah mujizat!
Kemudian, untuk membangun ketaatan kepada perintah[nya] dan mengamankan sikap menjauhi larangan[nya], beliau perlu melanggengkan gagasan keagungan Sang Pencipta dan Pemilik Semua Kedaulatan di dalam pikiran [manusia], dan itu hanya [mungkin] dilakukan melalui manifestasi akidah.
Kemudian, demi melanggengkan ide ini dan memperkokoh prinsip-prinsip akidah yang kuat dalam pikiran mereka, beliau membutuhkan pengingat terus-menerus, pengulang, dan perbuatan yang terus diperbaharui, dan pengingat yang diulang-ulang itu tak lain adalah ibadah.
Kedua: Tujuan ibadah ialah mengarahkan (tawjîh) pikiran ke Sang Pencipta Yang Maha Bijak. Dan pengarahan (tawajjuh) ini dilakukan untuk membangun ketaatan, dan ketaatan ini dilakukan untuk mencapai keteraturan paling sempurna [di alam semesta] dan terikat dengannya. Ikut perintah dilakukan untuk merealisasikan misteri hikmah, dan hikmah inilah yang dipersaksikan kesenian sempurna di alam semesta.
Ketiga: Manusia menyerupai tiang yang ke bagian atasnya digantungkan banyak kabel listrik, sebab pada kepalanya melekat ujung-ujung semua hukum penciptaan; hukum fitrah meluas kepadanya, dan sinar hukum dan prinsip-prinsip ilahi di alam semesta terefleksi dan terpusat pada dirinya. Maka manusia harus menuntaskannya dan mematuhinya, serta berpegang padanya agar dia berjelan mengikuti arus umum sehingga dia tidak tergelincir, diusur, dan tidak hancur di bawah roda mesin jarum yang bergerak pada tingkatan [dunia] ini. Dan ini tak lain hanya dapat dicapai melalui ibadah, yang merupakan pelaksanaan perintah dan dan menjauhi larangan.
Keempat: Dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan, banyak hubungan terbentuk ke beragam lapisan masyarakat, sehingga individu menjadi seperti spesies. Sebab, banyak perintah, terutama yang menyentuh syiar [Islam] dan kemaslahatan umum, menyerupai benang yang mengikat kehormatan [manusia] dan yang dengannya hak-hak mereka diatur. Jika bukan karena mereka, semua hak dan kewajiban tersebut pasti akan robek dan beterbangan ditiup angin.
Kelima: Manusia muslim memiliki hubungan kuat dengan semua muslim lainnya, dan terjalin ikatan yang kuat di antara mereka. Disebabkan akidah keimanan dan ciri-ciri Islam, hubungan ini menimbulkan persaudaraan tak tergoyahkan dan cinta sejati. Adapun penyebab terwujudnya akidah keimanan dan pengaruhnya, serta yang menjadikannya watak yang mengakar kuat, tak lain adalah ibadah.
Adapun faktor [penyebab] kesempurnaan jiwa: Ketahuilah: Selain secara fisik kecil, lemah, tak berdaya, dan keberadaannya sebagai salah satu hewan, manusia mengandung ruh mulia, memiliki potensi besar, kecenderungan tak terbatas, harapan tak terhingga, ide tak terhitung, dan daya kekuatan tak terbatas, selain juga fitrahnya begitu menakjubkan, seolah-olah indeks dari semua spesies dan semua alam.
Maka ibadahlah yang merupakan penyebab ruhnya mengembang dan nilainya meningkat.
Juga, ibadahlah yang menyebabkan tersingkapnya kemampuan [manusia] dan perkembangannya, supaya layak bagi kebahagiaan abadi.
Ibadah juga merupakan sarana meluruskan dan memurnikan kecenderungan, serta mewujudkan harapan dan membuatnya berbuah.
Ibadah juga merupakan sarana menyusun ide-ide dan mengikatnya.
Ibadah juga [sarana] untuk membatasi [ketiga] kekuatan manusia, [yaitu nafsu, kemarahan, dan akal], serta mengekangnya.
Ibadah juga menghilangkan karat[1] alam dari anggota jasmani dan rohaninya, yang masing-masing ketika transparan seolah-olah jendela ke dunia pribadinya dan dunia manusia. [2]
129. Page
Ibadah juga, ketika dilakukan dengan hati nurani dan pikiran, serta dengan hati dan tubuh, akan meningkatkan manusia ke martabat yang layak baginya dan ke kesempurnaan yang ditentukan baginya.
Ibadah juga merupakan hubungan yang lembut tinggi, serta koneksi mulia dan bernilai tinggi, antara hamba dan Dzat yang Disembah. Hubungan ini merupakan puncak tingkat kesempurnaan manusia.
Keikhlasan atau ketulusan dalam beribadah, ialah: hendaknya [ibadah] itu dilakukan hanya karena diperintahkan, meskipun [ibadah] mengandung banyak hikmah[1] [dan manfaat]. Masing-masing darinya dapat menjadi alasan ('illah)[2] untuk melakukan ibadah. Tetapi keikhlasan menuntut agar yang menjadi alasannya adalah perintah untuk melakukannya. Jika hikmah atau manfaat dijadikan alasan, ibadah akan batal demi hukum. Tapi jika [hikmah atau manfaat] hanya untuk mendorong orang melakukan ibadah, itu diperbolehkan.
Ketika orang-orang yang dibicarakan [ayat ini] (mukhathab) mendengar kata-kata: ﴾يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا﴿"Hai manusia, sembahlah ...", mereka bertanya melalui lidah kondisi: "Apa hikmah itu? Mengapa? Haruskah? Dan untuk apa?"
Adapun hikmah, engkau telah mendengarnya pada mukaddimah di atas.
Mengenai alasan ('illat), al-Qur'an menjawab dengan menegaskan bukti Sang Pembuat dan tauhid-Nya, melalui kata-kata: ﴾رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم﴿"Tuhanmu yang telah menciptakanmu," (Qs. al-Baqarah [2]: 21) dan seterusnya. Kemudian dengan ayat: ﴾وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا﴿"dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami," (Qs. al-Baqarah [2]: 23) dan seterusnya, yang membuktikan kenabian.
Mukaddimah tentang nuktah-nuktah ayat ini:
Ketahuilah: Bukti (burhân) dapat [berbentuk] argumen dari sebab material ke akibat material (limmî), atau [berbentuk] argumen dari akibat ke sebab (innî), dan yang ini lebih sehat (ketimbang keraguan).
Argumen ini pun dapat didasarkan atas kontingensi atau kemungkinan (imkânî), yaitu argumen bahwa karena makhluk yang serba mungkin (mumkinât) adalah sama dalam hal wujud dan tiada, maka harus ada [Dzat Yang Wajib Ada] untuk memilih ini (murajjih), ataukah didasarkan atas keterciptaan (hudûtsî), yaitu, argumen bahwa karena ada perubahan dan pembaharuan terus-menerus dalam wujud, harus ada Dzat yang mengadakannya (al-mûjid).
Masing-masing dari bukti di atas dapat terkait dengan esensi sesuatu ataukah dengan atributnya.
Masing-masing dari bukti di atas dapat terkait dengan pemberian wujud ataukah dengan pengekalan wujud.
Masing-masing dari bukti di atas dapat terkait dengan bukti bahwa sesuatu diberi wujud dari ketiadaan (dalîl ikhtirâ'î) ataukan terkait dengan bukti kepedulian dan perhatian ilahi (dalîl 'inâyatî).
Ayat ini menyisyaratkan semua jenis pembuktian di atas. Yang dikemukakan di sini hanyalah ringkasannya, karena kami telah menjelaskannya secara rinci di buku lain.
Adapun bukti kepedulian ilahi (dalîl 'inayatî) adalah bukti yang menegaskan [kebenaran] Sang Pencipta yang ditunjukkan oleh ayat ini, yaitu: "sistem tatanan (nidzâm) terpadu di alam semesta." Sebab, sistem ini merupakan benang yang melekatkan semua kemaslahatan. Semua ayat al-Qur'an yang menyebutkan manfaat segala sesuatu dan menyebutkan hikmahnya tidak lain adalah 'penenun' bukti ini dan fenomena manifestasi argumen ini. Karena sama seperti sistem tatanan, yang dengannya semua maslahat dan hikmah berpadu, membuktikan keberadaan Sang Penata, demikian pula ini menunjukkan tujuan Sang Pencipta dan hikmah-Nya, serta menafikan angan-angan mengenai kebetulan buta (tashâduf a'mâ) dan kesepakatan buta (ittifâqiyyah 'amyâ').
[1] Hikmah menurut ulama Ushul adalah sesuatu yang tersusun atas ikatan hukum dengan alasannya, atau dengan penyebabnya berupa pengambilan maslahat atau pencegahan bahaya, atau pengurangan bahaya. Hikmah juga digunakan untuk deskripsi yang sesuai dengan syara' hukum. Lihat Hasyiyat al-'Atthar 'ala Jam'i al-Jawami' 2/278, al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 18/67, Mu'jam Musthalahat Ushul al-Fiqh karya Quth Sanu 184.
130. Page
Sekarang lihat! Jika engkau tidak dapat menjangkau sistem tatanan canggih ini, yang dihiasi dengan untaian hikmah, dengan pandanganmu, dan engkau tidak mampu memahaminya melalui penalaran induktif, lihatlah melalui mata intai dari ilmu pengetahuan yang merupakan indera spesiesmu -- yang terbentuk dari pertemuan pikiran dan hubungan ide, serta termasuk bagian dari pikiran umat manusia -- engkau akan melihat sistem tatanan yang mempesona pikiran. Engkau juga akan mengetahui bahwa masing-masing dari ilmu fisika mengungkapkan melalui universalitas prinsip-prinsipnya, keteraturan dan harmoni, yang tidak dapat dipahami lebih sempurna dari keduanya. Sebab, sudah ada ilmu [untuk mempelajari] setiap bidang (naw') alam semesta, atau akan ada.
Ilmu pengetahuan terdiri dari prinsip-prinsip universal, dan universalitas ini menunjukkan keindahan sistem [alam semesta]. Sebab tidak ada universalitas dalam sesuatu yang tanpa sistem. Apakah engkau tidak melihat bahwa jika kita mengatakan, "Semua ulama bersorban putih," itu menegaskan universalitas, karena di dalam kelompok (naw') itu terdapat sistem. Dari sini dapat disimpulkan bahwa disebabkan universalitas prinsipnya, semua ilmu pengetahuan menunjukkan melalui penalaran induktif adanya suatu sistem total menyeluruh; masing-masing ilmu pengetahuan merupakan bukti terang yang menunjukkan manfaat dan buah-buah yang tergantung di tandan pada rangkaian rantai makhluk, serta menunjukkan hikmah dan faedah yang tersembunyi di balik pergolakan segala sesuatu. Ilmu pengetahuan pun mengerek bendera yang bersaksi atas tujuan Sang Pencipta dan hikmah-Nya. Seolah-seolah setiap ilmu pengetahuan merupakan bintang berdaya tembus dalam memukul mundur para setan khayalan dan keraguan.
Jika engkau suka, sekarang abaikan [sistem tatanan] umum dan perhatikan contoh berikut:
Organisme mikroskopis, yang tidak terlihat dengan mata telanjang, bentuknya yang begitu kecil itu terdiri dari mesin ilahi yang sangat halus dan indah. Tentu dan jelas dengan sendirinya, mesin ini, yang bersifat mungkin [atau kontingen] pada esensi dan sifatnya, tidak terjadi dengan sendirinya tanpa alasan esensi, sifat, dan kondisinya. Seperti dua sisi timbangan, makhluk kontingen itu sama dalam hal keberadaan dan ketiadaannya; jika ada pemberat, ia tetap di ketiadaan. Dengan demikian, berdasar kesepakatan orang-orang berakal, harus ada alasan untuk membuat pilihan. Tidak mungkin alasan ini menjadi penyebab alami. Sebab tatanan canggih yang terdapat di dalam [mesin] itu menuntut adanya pengetahuan puncak dan kecerdasan sempurna, dan tidak mungkin untuk memahami keduanya di dalam penyebab tersebut, yang dengannya [kaum naturalis] menipu diri mereka sendiri. Padahal penyebabnya sederhana, sedikit, tanpa nyawa, dan tidak bisa menentukan programnya atau membatasi geraknya, ragu-ragu karena berada di antara ribuan kemungkinan, yang sebagian di antaranya tidak memiliki keunggulan. Maka, bagaimana [mungkin ada sebab yang bisa] mengikuti jalur tertentu dan bergerak di jalan yang didefinisikan, dan bagaimana ia dapat memilih aspek tertentu dari begitu banyak kemungkinan sehingga menghasilkan mesin yang mengagumkan dan tertata sangat baik ini, yang membuat akal terheran-heran melihat ketelitian hikmahnya? Bahkan, engkau hanya bisa memuaskan diri sendiri dan merasa tenteram dengannya jika engkau menganggap setiap partikel tunggal berasal dari kecerdasan Plato[1] dan hikmah Galen[2], serta engkau percaya bahwa semua partikel ini berkomunikasi satu sama lain. Dan ini tak lain hanya kekacauan pikiran yang akan membuat malu bahkan kaum Sofis. Meskipun daya tarik dan daya tolak membentuk dasar dari materi fisik di atom terkecil yang tak dapat dipecah, ini tampaknya merupakan kombinasi dari dua hal yang berlawanan.
Ya, hukum tarik-menarik dan hukum tolakan serta yang lain-lain, itu merupakan nama-nama dari hukum praktek ilahi ('adat Allah) dan syariat penciptaan-Nya (syarî'at fithriyyah), yang disebut alam. Hukum demikian dapat diterima dengan syarat hendaknya tidak dipindah dari sebagai prinsip menjadi sifat alami, hendaknya tidak dikeluarkan dari sebagai pemikiran menjadi wujud eksternal, dan hendaknya
[1] Filosuf dan guru Yunani kuna, dianggap salah seorang pemikir penting di dalam sejarah peradaban Barat. Di antara karyanya yang masyhur adalah al-Muhawarat.
[2] Galen: penulis dan dokter Yunani terkenal, ahli spesialis dalam ilmu bedah. Pemikiran dan karyanya berpengaruh besar dalam Ilmu Kedokteran.
131. Page
tidak diubah dari sekadar sebagai teori menjadi hal nyata, serta hendaknya tidak ditingkatkan dari sebagai sarana lalu dianggap efektif.
Jika engkau telah memahami contoh [dari organisme mikroskopis] ini, dan engkau telah melihat kehebatannya meskipun ukurannya sangat kecil, serta keluasannya meskipun ia sempit, maka angkatlah kepalamu dan amati alam semesta: engkau akan melihat begitu jelas dan gamblangnya bukti kepedulian ilahi (dalîl al-'inâyah), seperti luas alam semesta. Semua ayat al-Qur'an yang menyebut karunia segala sesuatu dan mengingatkan manfaatnya merupakan fenomena bukti ini. Setiap kali al-Qur'an memerintahkan pemikiran reflektif, sesungguhnya ia berbicara pada khalayak umum agar mereka menempuh metode penalaran [deduktif] (istidlâl) ini:
﴾فَارجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرى مِنْ فُطُور﴿
"Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (Qs. al-Mulk [67]: 3).
Dan ayat berikut ini, betapa [jelasnya] menunjuk ke bukti tadi:
﴾الذي جَعَلَ لَكُم الأرض فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ﴿
"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu" (Qs. al-Baqarah [2]: 22).
Bukti bahwa segala sesuatu diwujudkan dari ketiadaan (dalîl ikhtirâ'î), yang disinggung oleh ayat: ﴾اَلَّذي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ﴿ - alladhî khalaqakum wa alladhîna min qablikum (“yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu”) (Qs. al-Baqarah [2]: 21) adalah ini:
Allah Yang Maha Tinggi memberi pada setiap spesies dan anggotanya masing-masing, wujud khas yang merupakan sumber dari jejaknya yang khusus, dan sumber kesempurnaannya yang layak. Sebab, semua spesies [dan alam makhluk] yang bersifat serba mungkin (mumkinat), tak ubahnya seperti mata rantai sebab-akibat yang tanpa akhir, dan tak satu pun dapat kembali dalam suksesi yang tak terputus ke azali. Juga, adanya perubahan [konstan] di dunia, itu membuktikan keterciptaan [alam] (hudûts), kadang-kadang melalui observasi dan kadang-kadang melalui kemestian rasional (dlarûrat 'aqliyyah). Telah dibuktikan dalam ilmu biologi dan ilmu botani tentang adanya lebih dari dua ratus ribu spesies, dan masing-masing memiliki spesies nenek moyang ke atas. Karena itu, berdasar rahasia keterciptaan (hudûts) dan kemungkinan (imkan), terbukti bahwa nenek moyang ini tentunya muncul tanpa perantara dari tangan qudrat ilahi. Selain itu, [penyebab] tidak dapat dibayangkan adanya [pada penciptaan pertama] karena ia dibayangkan berada dalam rantai sebab-akibat. Selanjutnya, anggapan terbelahnya beberapa spesies dari orang lain juga tidak valid. Sebab, [dikarenakan adanya keturunan mandul atau garisnya punah,] spesies yang mengintervensi sebagian besar tidak menjadi awal rantai silsilah baru melalui reproduksi. Tampaknya, apabila asal-usul (mabda') dan awal mula ('ashl) [silsilah] sudah demikian, anggota berturut-turut juga akan demikian.
Ya, bagaimana bisa membayangkan bahwa sebab-sebab alamiah yang sederhana tak bernyawa, yang tanpa kecerdasan dan kehendak, dapat mampu mewujudkan rantai silsilah [makhluk] ini, yang mengejutkan pikiran, dan menciptakan (ikhtirâ') makhluk individu, yang masing-masing merupakan penciptaan menakjubkan dari mukjizat qudrat ilahi? Demikianlah, semua makhluk berikut rantai silsilahnya bersaksi dengan tegas melalui lidah keterciptaan dan kontingensi tentang kewajiban adanya Pencipta mereka, semoga kemuliaan-Nya ditinggikan.
Jika engkau bertanya: Dengan adanya kesaksian yang menentukan ini, bagaimana orang masih mempercayai kesesatan [ide] tentang keazalian materi dan geraknya seperti itu?
Engkau akan dijawab: Jika seseorang melihat sesuatu secara tidak langsung dia dapat mempertimbangkan sesuatu yang mustahil menjadi mungkin, seperti orang yang mencari bulan sabit [untuk menentukan waktu 'id] lalu melihat rambut putih bertengger di kelopak matanya [dan mengiranya] bulan. Sebab, berdasarkan esensinya yang tinggi dan sifatnya yang mulia, manusia sesungguhnya hanya mengejar kebenaran dan hakekat. Dan jika kebatilan dan kesesatan jatuh ke tangannya, lalu tanpa sadar --
132. Page
sepanjang dia tidak diminta atau mencari untuk itu, bahkan karena pandangannya yang dangkal dan ikut-ikutan -- ia terpaksa menerimanya. Karena ketika ia mengabaikan tatanan [alam semesta], yang merupakan benang [yang mengikat] semua kondisi hikmah, dan gagal untuk melihat pertentangan gerak [partikel] dan materi keazalian, dimungkinkan menurut pandangannya yang ikut-ikutan untuk menganggap ukiran indah dan kreasi menakjubkan itu berasal dari kebetulan buta dan kesepakatan yang buta.
Seperti dikatakan al-Jisri[1] tentang seseorang yang memasuki istana yang dipenuhi hiasan karya peradaban. Ketika tidak melihat pemiliknya, orang itu akan percaya bahwa pemiliknya tidak ada, dan dia terpaksa beranggapan dekorasi dan bangunannya berasal dari kesepakatan [buta], kebetulan [buta], dan hukum seleksi alam.
Selain itu, ketika dia mengabaikan dan melalaikan kesaksian semua hikmah dan manfaat di tatanan alam terhadap kehendak total, pengetahuan yang mencakup, dan qudrat yang sempurna, maka timbul kemungkinan dalam pandangannya yang ikut-ikutan untuk membuktikan pengaruh sebenarnya dari sebab-sebab yang tak bernyawa ini.
Bagaimana ini! Engkau mengabaikan seluk-beluk seni Dzat Yang Maha Tinggi dan mempelajari karya paling jelas yang disebut "alam," yang merupakan manifestasi gambaran (irtisâm) dan refleksi [sesuatu] -- dengan syarat engkau merobek tabir keakraban. Dengan begitu, bagaimana jiwamu yakin dan akalmu bisa menerima bahwa ciri khas wajah cermin dapat merupakan penyebab yang efektif dan kondusif untuk mengungkap wajah langit dan menarik [serta merefleksikan] citra ketinggiannya dan ukiran bintangnya di kacanya?! Dan bagaimana akalmu bisa yakin bahwa pada kenyataannya hal imajiner yang disebut gravitasi merupakan penyebab efektif seperti tali mangonel (manjaniq)[2] dipakai untuk memegang bumi dan bintang-bintang berikut gerakan dan rotasinya dengan tatanan yang kokoh?
Ringkasan: Jika seseorang melihat sesuatu yang batil [dan yang mustahil] dengan pandangan dangkal dan ikut-ikutan, serta tidak melihat penyebab sebenarnya, bisa saja dia menganggap sesuatu itu mungkin dan valid. Tapi jika dia melihat padanya dengan sengaja dan untuk dirinya, serta mempelajarinya seolah miliknya, maka tidak mungkin dia mau menerima sesuatu dari masalah tersebut yang mereka dengungkan di dalam filsafat alam, kecuali dia begitu bodoh menganggap semua partikel kecil memiliki kecerdasan para filsuf dan hikmah para politisi!
Jika engkau bertanya: Alam, hukum, dan kekuatan apakah yang mereka gumamkan dan yang mereka gunakan untuk menghibur diri?
Engkau akan dijawab: Alam adalah pola, bukan sumber; percetakan, bukan printer; kitab undang-undang, bukan kekuatan; bahkan itulah syariah penciptaan (fitriah) ilahi yang mengenakan aturan di antara tindakan anggota badan dari tubuh Dunia Nyata.
Sebagaimana syariat merupakan produk dan ringkasan dari peraturan yang mengatur perbuatan ikhtiar, serta sistem pemerintahan merupakan keseluruhan prinsip politik; sebagaimana syariat dan ketertiban merupakan dua hal teoritis yang hanya ada di pikiran; demikian pula alam merupakan masalah teoritis yang merupakan ringkasan dari praktek eksternal Allah ('âdat Allâh) dalam penciptaan.
Adapun angan-angan tentang adanya eksistensi eksternalnya, itu sama seperti orang buas yang membayangkan -- ketika dia melihat satu divisi militer melakukan latihan disiplin -- bahwa para tentara divisi itu diikat bersama-sama dengan [tali fisik yang memiliki] eksistensi eksternal. Karena itu, barang siapa hati nuraninya buas, dia akan membayangkan bahwa alam, disebabkan kelangsungannya, memiliki eksistensi eksternal yang efektif.
[1] Husain bin Muhammad bin Mushthafa al-Jisr, seorang ulama ahli fiqih dan sastra, tinggal di Trablus, Suriah, lahir pada 1261/1845 dan wafat pada 1327/1090. Dia lulusan al-Azhar 1284 H. Karyanya yang paling terkenal yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, al-Risalah al-Hamidiyyah fi Haqiqat al-Diyanah al-Islamiyyah, dan al-Hushun al-Hamidiyyah. Lihat biografinya di al-A'lam 2/258.
[2] Alat kuna pelempar benda berat, seperti katepel besar, yang digunakan untuk menghancurkan tembok pertahanan musuh. Lihat al-Mu'jam al-Wasith 2/855.
133. Page
Ringkasan: Alam merupakan kreasi penciptaan Allah Yang Maha Tinggi dan kitab undang-undang penciptaan-Nya (syari'ah fitriyyah). Hukumnya adalah permasalahannya, dan kekuatannya adalah hukum-hukum dari permasalahan tersebut.
Adapun bukti tauhid (dalîl al-tawhîd), diisyaratkan dengan ﴾اعْبُدُوا﴿ - u'budû (“sembahlah”), menurut tafsir Ibnu 'Abbas,[1] yakni, 'akuilah keesaan Allâh' (wahhadû). Ketahuilah, al-Qur'an yang penjelasannya penuh mukjizat sama sekali tidak tidak pernah menghapus apa pun dari bukti-bukti tauhidnya.
Bukti yang cukup adalah bukti [yang disebut] burhân al-tamânu' yang terkandung di dalam ayat:
﴾لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلاّ اللهُ لَفَسَدَتَا﴿
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa" (Qs. [19]: 22).
Bukti ini merupakan mercusuar bercahaya [yang membuktikan] kemerdekaan itu merupakan sifat esensial, inheren, dan wajib bagi Ketuhanan.
Ayat ini [juga] menyinggung bukti lembut tauhid, yaitu: Kerjasama langit dan bumi serta hubungan keduanya dalam memproduksi buah -- [untuk mendukung] penghidupan spesies manusia dan hewan; kesamaan jejak karya di dunia; rangkulan semua sisinya satu sama lain, masing-masing menggandeng tangan yang lain dengan melengkapi keteraturan lainnya; saling respon semua sisi; sambutan sebagian atas masalah kebutuhan sebagian yang lain; semua memandang ke satu titik; gerak semua dengan teratur di sumbu satu aturan. Semua ini menegaskan, bahkan menyatakan dengan gamblang, bahwa pembuat mesin tunggal ini Satu, seraya membacakan bait ini pada semua:
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلى أَنَّهُ وَاحِدٌ
Di tiap sesuatu Dia punya ayat
yang menunjukkan Dia satu.[2]
Selanjutnya ketahuilah: Tuhan Pencipta sebagaimana Dia Wajib Adanya dan Maha Esa, demikian juga Dia disifati dengan semua sifat kesempurnaan. Sebab, apa pun luapan kesempurnaan yang ditemukan pada makhluk ciptaan, itu diperoleh dari bayangan manifestasi kesempurnaan Tuhan Pembuatnya. Jadi tentu, pada Sang Pencipta (semoga ditinggikan kemuliaan-Nya) pasti ditemukan keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan yang derajatnya jauh lebih tinggi tak terbatas ketimbang semua keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan yang ditemukan di keseluruhan makhluk alam semesta. Sebab, kebaikan (ihsân) merupakan bagian dari kekayaan Tuhan Maha Pemurah (al-muhsin), bukti atasnya, pemberian keberadaan (îjâd) yang membuktikan keberadaan (wujûd) Sang Pemberi keberadaan (al-mûjid), pemberian keberadaan yang membuktikan kewajiban adanya Sang Pemberi kewajiban, dan perindahan bagi keindahan Sang Pemberi keindahan yang layak baginya.
Demikian pula, Sang Pembuat bebas dari semua cacat; sebab, cacat timbul dari ketidakmampuan esensial makhluk materi, padahal Dia Maha Tinggi, bebas dari materialitas.
Demikian pula, Dia suci dari sifat-sifat yang mesti timbul dari kemungkinan esensi makhluk. Maha suci Dia! Wajib Adanya, tidak ada sesuatu yang menyerupa-Nya, Tuhan yang keagungannya ditinggikan. Dia telah mengisyaratkan kedua hakekat ini melalui firman-Nya: ﴾فَلا تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا﴿ - fa-lâ taj'alû li'llâhi andâdan (“maka janganlah engkau membuat saingan untuk Allah”).
Adapun bukti kontingensi atau dalil kemungkinan (dalîl imkânî), disinggung oleh ayat, ﴾وَالله الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الفُقَرَاءُ﴿ (“dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak kepada-Nya)" (Qs. Muhammad [47]: 38). Ketahuilah, dilihat dari esensinya, dari satu demi satu sifatnya, dari satu demi satu kondisinya, dari aspek demi aspek sisinya, setiap atom tunggal di alam semesta akan terlihat olehmu ragu-ragu dan bimbang [berada] di tengah-tengah kemungkinan yang tak terbatas. Lalu tiba-tiba salah satunya mengalir ke kehidupan, tegak, dan mengikuti jalur tertentu; ia mengenakan sifat
[1] Lihat penjelasan Ibnu Abbas mengenai ayat ini di Tafsir al-Thabari 1/160, Tafsir Ibnu Katsir 1/58, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas 5, al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi 1/85.
[2] Bait syair dari diwan penyair Labid bin Rabi'ah al-'Amiri.
134. Page
tertentu dan mengasumsikan keadaan yang teratur dan mengendarai hukum yang tepat; mengarah ke tujuan pasti; kemudian ia menghasilkan hikmah dan menfaat yang hanya bisa diperoleh dengan cara yang sudah ditentukan tersebut. Apakah [atom tadi] tidak memberitakan, dalam bahasanya yang khusus, kehendak dan hikmah Sang Penciptanya, dan mengungkapkannya dengan jelas?
Sebagaimana setiap partikel itu sendiri merupakan bukti atas ketunggalannya, demikian pula kebuktiannya semakin bertambah karena ia menjadi bagian dari campuran senyawa yang saling merasuk dan terus berkembang. Sebab, di setiap senyawa ia memiliki posisi (maqam), di setiap posisi ia memiliki hubungan, di setiap hubungan ia memiliki fungsi, dan di setiap fungsinya ia membuahkan manfaat. Dan di setiap tingkatan ia membacakan dengan lidahnya bukti kewajiban eksistensi Sang Penciptanya. Perumpamaannya seperti seorang prajurit, [yang memiliki hubungan dan tugas] di pletonnya, resimennya, divisinya, dan seterusnya.
* * *
Sekarang mari kita jelaskan: [pertama,] nadzam (susunan kata) ayat ini dilihat dari nadzam keseluruhannya terkait dengan yang sebelumnya; [kedua,] nadzam frasa-frasanya [dan hubungannya] satu sama lain; dan [ketiga,] nadzam bagian-bagian dari frasa, satu demi satu.
Nadzam ayat ini dan hubungannya dengan [ayat] sebelumnya:
Ketahuilah, setelah menjelaskan kategori manusia dan jenis-jenis orang mukallaf [yang diberi beban, mulai] dari orang-orang beriman yang bertakwa, orang-orang kafir yang bandel, dan orang-orang munafik plin-plan, al-Qur'an berbicara pada mereka semua dengan kata-katanya: ﴾يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا﴿ (“hai manusia, sembahlah Tuhanmu!”). Ia menyusulkannya di belakang [ayat] yang mendahuluinya dan menatanya seperti menata bangunan mengikuti rencana [pembangunan], perintah dan larangan dalam melakukan perbuatan berdasarkan hukum [yang berbasis] pengetahuan, qadha dan qadar, komposisi dan kreasi berdasarkan kisah dan hikayat. Sebab, ketika [al-Qur'an] menyebutkan pembahasan ketiga [kelompok manusia], menyebutkan karakteristik dan akibat perbuatan mereka masing-masing, ia menyiapkan subjek dan mengingatkan pendengar. Lalu ia menoleh atau memindahkan perhatian untuk mengadakan pembicaraan [langsung dengan mereka] melalui ucapan tersebut.
Selanjutnya, di dalam pemindahan perhatian (iltifât) ini -- maksud saya, [al-Qur'an] menyebut mereka terlebih dahulu sebagai orang ketiga, lalu berbicara secara langsung dengan mereka di sini -- terdapat nuktah umum di gaya bahasa [yang diakui Ilmu] al-Bayan. Yakni: Ketika kebaikan atau keburukan seseorang disebutkan secara bertahap, sedikit demi sedikit, itu akan mengingatkan dan menyemangatkan [pendengar] sehingga kecenderungannya untuk merasa kagum atau benci meningkat. Kecenderungan ini secara bertahap tumbuh semakin kuat hingga memaksa [pendengar] untuk berbicara secara pribadi dengan orang yang bersangkutan. Di sini, seperti yang dipersyaratkan oleh konteks (maqam) dan untuk memenuhi keinginan para pendengar, si pembicara (mutakallim, al-Qur'an) menjemput orang tersebut, membawanya ke hadapan mereka dan berbicara padanya secara langsung.
Di dalamnya memuat nuktah khusus pada konteks ini, yaitu untuk meringankan beban kewajiban [ibadah (taklif)] melalui kenikmatan berbicara langsung.
Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam ibadah tidak ada perantara antara hamba dan Pencipta-Nya.
Adapun nadzam [dan hubungan di antara] frasa-frasa, maka di [ayat], ﴾يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا﴿ (“hai manusia, sembahlah Tuhanmu!”) terkandung ucapan yang ditujukan kepada semua orang dari ketiga kelompok, dari ketiga masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, yakni:
Wahai orang-orang beriman yang sempurna (kamil), sembahlah dengan [keyakinan] mantap dan dengan teratur!
Wahai orang-orang [yang beribadah] di level pertengahan, cobalah meningkatkan ibadah kalian!
Wahai orang-orang kafir, lakukanlah ibadah berikut syaratnya yang terdiri dari keimanan dan tauhid!
Dan wahai orang-orang munafik, beribadahlah dengan penuh keikhlasan!
135. Page
Dengan demikian, kata "ibadah" di sini seperti kata bersama yang mengungkapkan banyak arti. Maka renungkanlah!
﴾رَبَّكُمُ﴿ - rabbakum (“Rabb kalian”), yakni, sembahlah Dia karena Dia adalah Tuhan yang memelihara dan menopang kehidupan kalian! Kalian hendaknya menjadi hamba yang menyembah dan mengabdi pada-Nya.
Catatan Singkat:
Dalam ﴾رَبَّكُمُ﴿ terdapat pertanda lembut mengenai bukti kontingensi esensi [orang-orang yang dituju pembicaraan] (dalîl imkân al-dzât);
Dan di dalam ﴾جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا﴿ - ja'ala lakum al-ardla firâsyan (“menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu”) terdapat pertanda yang menunjukkan bukti kontingensi sifat mereka;
Dan di dalam ﴾الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ﴿ - alladzî khalaqakum wa alladzîna min qablikum (“yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu”) terdapat petunjuk keterciptaan esensi dan sifat. Dan, ayat-ayat berikut ini memberikan dalil tegas mengenai bukti kontingensi (kemungkinan) esensi:
﴾وَاللهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الفُقَرَاء﴿ (dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak [kepada-Nya]) (Qs. Muhammad [47]: 38).
﴾إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى﴿ (dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan [segala sesuatu]) (Qs. al-Najm [53]: 42).
﴾فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلاّ رَبَّ الْعَالَمِينَ﴿ (karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam)" (Qs. al-Syu'ara' [26]: 77).
﴾قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ﴿ ([sesudah kamu menyampaikan al-Qur'an kepada mereka], biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya) (Qs. al-An'am [6]: 91).
﴾فَفِرُّوا إِلَى الله﴿ (Maka segeralah kembali kepada [mentaati] Allah) (Qs. al-Dzariyat [51]: 50).
﴾أَلا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴿ (ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram) (Qs. al-Ra'd [13]: 28).
Silahkan buat kias [dengan contoh ayat-ayat ini], dan renungkanlah!
Adapun frasa ﴾الَّذِي خَلَقَكُم﴿ - alladzî khalaqakum (“yang telah menciptakan kamu”): Ketahuilah, ketika Allah Yang Maha Tinggi memerintahkan ibadah, ia menuntut tiga hal:
Pertama, keberadaan obyek ibadah (ma'bûd).
Kedua, keesaan-Nya.
Ketiga, hak-Nya untuk disembah.
Dia menjawab ketiga pertanyaan tersirat ini dengan menunjukkan ketiga buktinya:
Bukti-bukti keberadaan-[Nya], yang terdiri dari dua macam: yang berada di luar dunia (âfâqî) dan yang berada di dalam diri manusia (anfusî).
Yang terakhir juga terdiri dari dua macam: bukti yang di dalam diri (nafsî) dan yang berkaitan dengan asal-usul (usûlî). [Al-Qur'an] menyinggung bukti yang di dalam diri (nafsî), sebagai bukti yang terdekat dan paling jelas, melalui kalimat ﴾الَّذِي خَلَقَكُم﴿, sementara [bukti] yang berkaitan dengan asal-usul manusia melalui kalimat, ﴾وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُم﴿ ("dan orang-orang yang sebelum kamu").
Adapun nadzam ﴾لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿ - la'allakum tattaqûn (“agar kamu bertakwa”), ketahuilah bahwa ketika al-Qur'an mengaitkan ibadah [manusia] dengan penciptaan dan nenek moyang mereka, pengaitan ibadah dengan penciptaan manusia menuntut dua poin:
Pertama: [Makhluk] manusia diciptakan dengan kecenderungan untuk beribadah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menerima [perintah] bertakwa kepada Allah; sehingga siapa pun yang melihat kemampuan tersebut, dia akan menginginkan dan mengharapkan ibadah dari mereka. Ini seperti seseorang yang melihat cakar [hewan], dia mengerti bahwa [cakar] itu akan merobek-robek atau mencengkeram sesuatu.
Kedua: Hendaknya tujuan penciptaan mereka, dan tugas mereka yang dengannya mereka diperintahkan, serta kesempurnaan yang mereka tuju, adalah bertakwa kepada Allah. Inilah ibadah yang paling lengkap dan sempurna.
136. Page
Dan ﴾لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿ berarti: tujuan penciptaan kalian, kesempurnaan kalian, dan kesiapan kalian, tak lain adalah bertakwa [kepada-Nya].
Adapun frasa ﴾جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا﴿ - ja'ala la-kum al-ardl firâsyan (“menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu”), ini menunjukkan tentang paling dekatnya bukti-bukti di dunia luar (dalîl âfâqiyyah) tentang keberadaan Dzat Yang Maha Tinggi.
Itu juga bantahan terhadap pengaruh nyata sebab-akibat, yang merupakan sumber dari semacam syirik. [Bantahan itu adalah], dengan menganggap penghamparan bumi, atau persiapannya sebagai tempat tinggal manusia, [dilakukan] oleh Dzat Yang Maha Tinggi, bukan karena alam.
Frasa ﴾وَالسَّمَاءَ بِنَاء﴿ - wa al-samâ' binâ'an (“dan langit sebagai atap”) menunjukkan -- melalui penyebutan langit, yang melengket dengan bumi -- tentang paling tingginya bukti-bukti di dunia luar yang sederhana (dalîl âfâqiyyah basîthah).
Kemudian dengan firman-Nya, ﴾وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاء﴿ - wa anzala min al-samâ' (“dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit”), ia menunjukkan bukti keberadaan Pencipta [melalui] benda-benda senyawa.
Selain itu, semua frasa sebelumnya menunjukkan bukti keberadaan [Sang Pencipta]. Demikian pula, keseluruhannya menunjukkan keesaan-Nya.
Bentuk pengaturan yang menunjukkan tatanan [alam semesta] dan disinggung melalui nikmat yang disertai penjelasan ﴾رِزْقًا لَكُمْ﴿ - rizqan la-kum (“sebagai rezeki untukmu”), itu menegaskan hak Allah untuk disembah. Sebab, mensyukuri Pemberi nikmat adalah wajib.
Di dalam frasa ﴾رِزْقًا لَكُمْ﴿ - rizqan la-kum (“sebagai rezeki untukmu”) terdapat isyarat bahwa sebagaimana bumi dan makhluk hewan, tumbuhan serta mineral diciptakan untuk melayani kalian, maka kalian hendaknya melayani Dzat yang menundukkannya bagi kalian.
Adapun nadzam [dan hubungan] pada frasa﴾فَلا تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا﴿ - fa-lâ taj'alû li'llâhi andâdan (“karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah”):
Ketahuilah, dari nadzamnya telah membentang garis hingga ke "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu", hingga ke "yang telah menciptakanmu," hingga ke "yang menjadikan ... bagimu," dan hingga ke "dan Dia menurunkan."
Artinya, ketika kalian menyembah Tuhan kalian, janganlah menyekutukan-Nya, sebab Dialah Rabb, Tuhan Pemelihara.
Dan karena Dialah Pencipta kalian dan umat manusia, maka janganlah sebagian dari kelian menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.
Dan karena Dialah yang menciptakan bumi, membentangkan dan menyiapkannya sebagai tempat tinggal kalian, dan karena Dialah yang menciptakan langit dan menjadikannya sebagai atap bagi kediaman kalian, maka janganlah kalian meyakini bahwa sebab alami memiliki dampak hakiki, [suatu pemikiran] yang merupakan sumber penyembahan berhala.
Dan karena Dialah yang menurunkan hujan ke bumi untuk makanan dan mata pencaharian kalian, dan tidak nikmat karunia kecuali dari-Nya, maka janganlah bersyukur dan beribadah kecuali kepada-Nya.
Nadzam dan hubungan bagian-bagian dari frasa:
Ketahuilah: Kata seru ﴾يَا أَيُّهَا﴿ - Ya ayyuhâ" pada kalimat ﴾يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا﴿ - Yâ ayyuhâ al-nâs ubudû (“hai manusia, sembahlah!") sering muncul dalam al-Qur'an[1] karena mengandung [sejumlah] nuktah dan kelembutan yang halus. Sebab, perkataan ini dikuatkan melalui "tiga hal":
Dengan "يَا - ya - wahai" yang membangkitkan.
Dengan "أَي - ayyu," yang [bertujuan] membedakan dengan tanda-tanda (tawassum).[2]
[1] Disebutkan sebanyak 142 kali di dalam al-Qur'an. Antara lain, yang pertama, adalah Qs. al-Baqarah [2]: 21, yang banyak menjadi objek tafsir. Dan yang terakhir Qs. al-Kafirun ayat 1. Kata "ayyuha" tanpa disertai perangkat kata seru sebanyak tujuh kali, yaitu: Qs. al-Nisa' ayat 133, Yusuf ayat 46, al-Hijr ayat 57, Yasin ayat 59, al-Zumar ayat 64, al-Dzariyat ayat 31, al-Waqi'ah ayat 51. Tapi "ayyuha" di Qs. al-Kahfi ayat 19 tidak termasuk kategori ini. Sedangkan "ayyatuha" disebut dua kali, di Qs. Yusuf ayat 79, dan al-Fajr. Silahkan rujuk rinciannya di Internet pada website Majma' al-Malik Fahd untuk Percetakan al-Qur'an.
[2] Tawassum: Merenungkan, mengkhayalkan sesuatu. Lihat al-Lisan 12/636. Di dalam al-Mufradat fi Garib al-Qur’an 1/524 disebutkan penjelasan mengenai ayat 75 surah al-Hijr (15), “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda,” yakni bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran, yang arif, dan suka meminta petuah.”
137. Page
Dan dengan "هَا - hâ" yang [bertujuan] mengingatkan.
Sebab, pembicaraan (khithâb) di sini menyinggung tiga manfaat: mengganti sulitnya beban kewajiban [ibadah] (taklîf) dengan kesenangan [orang yang menjadi] pembicaraan, dan [menginformasikan bahwa] satu-satunya sarana manusia untuk bisa naik dari kedalaman [jurang] ketiadaan ke [puncak] maqam kehadiran adalah ibadah. Ini juga menunjukkan bahwa orang [yang menjadi] pembicaraan (mukhâthab) diberi beban kewajiban dalam tiga hal: terkait hatinya melalui penyerahan diri dan ketaatan; terkait akalnya melalui keimanan dan tauhid; dan terkait fisiknya melalui amal perbuatan dan ibadah.
[Pembicaraan] ini juga petunjuk bahwa mereka [yang menjadi] pembicaraan terdiri dari tiga kelompok. [1]
Ini juga mengisyaratkan adanya ketiga kelas [masyarakat, yaitu] elit, menengah, dan kalangan awam.
Ini juga mengungkap cara lembut dan pola komunikasi akrab, yaitu orang pertama-tama memanggil seseorang untuk menghentikannya, lalu mengenalinya, dan ternyata benar dia [orang yang dimaksud], sehingga dia pun berbicara dengannya dan melayaninya.
Berdasarkan nuktah-nuktah di atas, upaya memperkuat pembicaraan atau komunikasi dapat dibangun atas dasar aspek-aspek [dan makna] yang telah disebutkan di atas.
Mengenai kata seru "يَا - ya - wahai", karena yang diseru adalah manusia yang terdiri dari berbagai kelas termasuk yang lupa, absen, tertinggal, bodoh, sibuk, pecinta, terpelajar, dan sempurna, maka seruan ini [dapat berfunsgi] untuk mengingatkan yang lupa, memanggil yang absen, menggerakkan, mengenalkan, mengajak yang sibuk, mengarahkan, menggairahkan, mendorong asyik-masyuk, menyempurnakan [ibadah], serta untuk menyentak.
Adapun jauhnya [jarak komunikasi yang terkandung] dalam "يَا - ya - wahai," meskipun konteksnya (maqâm) termasuk dalam konteks kedekatan [dan ibadah], hal itu menunjukkan keagungan dan kepercayaan dalam pemberian beban kewajiban agama (amânat al-taklîf).
Ia juga menunjukkan jauhnya derajat peribadatan ('ubûdiyyah) dari martabat ketuhanan (ulûhiyyah).
Ia juga menyinggung jauhnya masa dari kapan dan di mana pembicaraan muncul, dari waktu dan tempat mana orang-orang diberi beban kewajiban.
Demikian juga, itu mengungkap parahnya kelalaian manusia.
Adapun "أَي - ayyu," yang digunakan untuk mengajak [seseorang atau kelompok] keluar dari massa umum, merupakan petunjuk bahwa pembicaraan (khithâb) ditujukan kepada semua alam semesta, dan manusia mendapat kekhususan karena manusia menanggung beban amanah dalam bentuk "fardl kifâyah."[2] Jadi jika mereka lemah [dalam melakukan tugas ini], berarti mereka melanggar hak-hak semua makhluk [lainnya].
Juga, dalam "أَي - ayyu" terdapat fasihnya keringkasan yang diikuti dengan rincian deskriptif ﴾النَّاسُ﴿ - al-nâs (“manusia”).[3]
Kemudian "هَا - hâ," yang dijadikan kata pengganti bagian kedua dari konstruksi genitif (mudlâf ilayh), merupakan petunjuk bahwa [tujuannya] untuk mengingatkan orang yang hadir melalui kata seru vokatif "يَا - ya - wahai."
[1] Yaitu orang-orang beriman, orang-orang kafir, dan orang-orang munafik. (T: 108)
[2] Fardu kifayah adalah kewajiban yang jika dilaksanakan sejumlah orang yang dianggap memenuhi syarat kecukupan syarat untuk mewakili kaum muslim, maka kewajiban tersebut sudah jatuh dari sisa mereka. Tapi jika kewajiban itu tidak dilaksanakan oleh sejumlah orang yang dinilai cukup, maka dosa dikenakan pada setiap orang yang tidak melaksanakannya padahal dia mengetahuinya dan tidak punya alasan uzur. Lihat al-Kasb karya al-Syaibani 71, al-Mabsuth karya al-Sarkhasi 30/261.
[3] Sebab, di kata "ayyu" terdapat keringkasan dan ketidakjelasan karena disebutkan tanpa mudhaf. Namun, adanya kata "al-nas" menghilangkan ketidakjelasan itu, dan merinci keringkasan tadi. (T: 109)
138. Page
Adapun ﴾النَّاسُ﴿ - al-nâs -- kata berbentuk partisip aktif yang berasal [dari [kata benda verbal nisyân, pelupa] -- itu menunjukkan kecaman atau teguran. Artinya, "Hai manusia, bagaimana kalian melupakan perjanjian azali (mitsâq azalî)?"
Ia juga menunjukkan alasan, yaitu: "Hai manusia! Keterbatasan kalian pasti disebabkan kesalahan atau kelupaan, bukan disengaja atau karena serius!"
Adapun ﴾اعْبُدُوا﴿ - u'budû (“sembahlah!”), karena ini merupakan jawaban (atau kesimpulan) atas seruan umum yang dialamatkan ke semua kelas [masyarakat] tersebut di atas, maka ia menunjuk ke ketaatan, mengisyaratkan keikhlasan, memperlihatkan kelanggengan, dan menyinggung tauhid. Yakni, patuhlah, tuluslah, dan langgenglah [dalam beribadah]! Tingkatkan [ibadah kalian]! Dan bertauhidlah!
﴾رَبَّكُمُ﴿ - rabbakum (“Rabb Tuhanmu”) menunjukkan bahwa ibadah, sebagaimana harus disukai karena merupakan hubungan tinggi dan koneksi mulia, ia juga harus dicari karena ibadah merupakan rasa syukur dan pengkhidmatan kepada Dzat yang memelihara dan menumbuhkan kalian, serta kalian membutuhkan-Nya.
Mengenai bagian-bagian dari kalimat, ﴾الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ﴿ - alladzî khalaqakum wa alladzîna min qablikum, ketahuilah bahwa kata ﴾الَّذِي﴿ - alladzî sebagai kata ganti relatif, arahnya dikenal melalui klausa relatif.[1] Dengan demikian, [di sini ﴾رَبَّكُمُ﴿ - rabbakum yang ditentukan melalui ﴾الَّذِي﴿ - alladzî] menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Allah Yang Maha Tinggi hanya terkait tindakan dan jejak kreasi-Nya, bukan esensi-Nya.
Kemudian ﴾خَلَق﴿ - khalaqa (“menciptakan”), yang [maknanya] lebih dari hanya mengadakan (îjâd) dan menimbulkan (insyâ') karena formatnya yang sudah ditentukan dan serasi, merupakan isyarat bahwa manusia diarahkan siap untuk melaksanakan tugas kewajiban [ibadah].
Ini juga menunjukkan bahwa ibadah itu kewajiban, sebab ia merupakan hasil dan 'upah' penciptaan. Tapi [upah ini bukan hadiah untuk ibadah]; pahala itu murni pemberian dari Allah (fadl Allâh) Yang Maha Tinggi.
Kata ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna (“orang-orang [yang]”), karena ketidakpastian [maknanya untuk siapa atau untuk apa], seolah-olah mengisyaratkan: "Para pendahulu kalian hancur, mati, lalu punah. Tak tersisa dari mereka yang masih dikenal kecuali keberadaan mereka sebagai makhluk sebelum kalian. Kalian pun terhuyung-huyung di tepi jurang kuburan. Maka ambillah pelajaran, jangan tertipu dengan dunia. Berpegang teguhlah pada ekor ibadah, yang merupakan sarana untuk kebahagiaan abadi."
Mengenai struktur ﴾لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون﴿ - la'allakum tattaqûn (“agar kamu bertakwa”), ketahuilah bahwa ﴾لَعَلَّ﴿ - la'alla dimaksud untuk harapan. Jika diletakkan [di depan kata untuk] sesuatu yang diinginkan, maka kegunaannya untuk meningkatkan semangat [pendengar]. Tapi jika digunakan [di depan kata untuk] sesuatu yang dibenci, fungsinya untuk mengingatkan [pendengar] agar waspada.
Di sini, harapan mustahil dianggap berasal dari Sang Pembicara [yaitu, untuk Allah] secara hakiki. Harapan bisa saja dianggap berasal dari-Nya, tapi harus dimaknai secara metaforis (majâz), atau dilihat bersumber dari para pemirsa atau dari para pendengar:
Jika [harapan] mengacu pada Sang Pembicara, itu akan merupakan metafora alegoris (isti'ârah tamtsîliyyah). Misalnya, jika seseorang memperlengkapi orang lain dengan ger untuk suatu pekerjaan, dia akan berharap dan membayangkan orang itu akan melakukannya. Demikian pula, Allah telah memperlengkapi manusia dengan potensi kesempurnaan, dan kapasitas [untuk melakukan] kewajiban agama, dan perangkat kehendak.
Di dalam metafora juga terdapat petunjuk bahwa tujuan (hikmah) penciptaan manusia adalah bertakwa kepada Allah.
Hal ini juga mengisyaratkan bahwa hasil ibadah adalah tingkatan takwa.
Demikian juga, itu pertanda bahwa takwa merupakan tingkatan yang paling tinggi.
[1] Jika dikatakan, misalnya, "yang mendatangimu," maka arahnya yang dikenal olehmu adalah orang yang datang kepadamu. Sedangkan arah-arah lainnya tidak dikenal. (T: 110)
139. Page
Selain itu, dalam tradisi tutur raja-raja, metafora digunakan untuk memberi dorongan semangat [pada rakyat dan punggawa], serta untuk memastikan pelaksanaan harapan dan janji yang harus [dijalankan oleh kerajaan].
Adapun [harapan yang ditandai dengan ﴾لَعَلَّ﴿ - la'alla] mengacu pada orang yang dibicarakan, maka seolah-olah ia hendak mengatakan: "Beribadahlah dalam kondisi kalian mengharapkan takwa, berada di tengah-tengah antara rasa takut dan harapan." Ini berarti manusia hendaknya tidak bergantung pada ibadahnya.
Ini juga menunjukkan bahwa hendaknya dia tidak puas dengan [tingkat kesempurnaan ibadahnya] yang sekarang, tapi harus mengatakan "Tugasmu untuk bergerak tanpa berhenti," sehingga di setiap tingkatan dia mau melihat kepada [orang yang tingkat kesempurnaan ibadahnya] berada di atas dia [dan berusaha untuk beribadah lebih baik].
Dan jika [harapan yang ditandai dengan ﴾لَعَلَّ﴿ - la'alla] mengacu pada pengamat dan pendengar, itu seolah-olah siapa pun yang mengamati manusia dengan dilengkapi kemampuan dan potensi tersebut, dia akan mengharapkan ibadah darinya, sebagaimana orang yang melihat cakar dan taring predator akan mengharapkannya rakus. Demikian pula, ini juga menunjukkan bahwa ibadah diperlukan oleh sifat bawaan manusia.
Adapun lafadz ﴾تَتَّقُونَ﴿ - tattaqûn (“kalian bertakwa”) -- karena takwa dihasilkan dari ibadah semua kelas [manusia] sebagaimana disebutkan di atas -- itu menungkap "tingkatan takwa", yaitu:
Takwa [mencegah] dari kesyirikan.
Takwa [mencegah] dari dosa-dosa besar.
Takwa dengan menjaga hati dari [keterikatan dengan] hal-hal selain Allah Yang Maha Tinggi. Taqwa dengan menghindari [hal yang mengakibatkan] siksaan.
Taqwa dengan menahan diri dari kemarahan.
Hal ini juga merupakan isyarat bahwa ibadah [sejati] adalah ibadah yang [dilakukan] dengan ikhlas.
Dan ini menunjukkan bahwa ibadah harus menjadi satu-satunya tujuan, dan bukan sarana belaka.
Demikian pula, ini menyarankan hendaknya ibadah tidak [dilakukan demi mengharapkan] pahala atau [menghindari] siksa.
Sekarang unsur-unsur frasa ﴾الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً﴿ - alladzî ja'ala la-kum al-ardla firâsyan wa al-samâ' bina'an (“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap”):
Ketahuilah, dengan menjelaskan besarnya qudrat kekuasaan Sang Pencipta, [frasa] ini merupakan isyarat yang memacu [orang] untuk beribadah, dan yang mendorong [orang] untuk senang beribadah dengan menyebutkan nikmat-Nya. Seolah-olah ia berkata: "Hai manusia! Dia telah menundukkan bumi dan langit untuk kalian. Karena itu, Dia memiliki hak untuk kalian ibadahi."
Hal ini juga menunjukkan keutamaan manusia dan ketinggian nilainya dan kemuliaannya dalam pandangan Allah, seakan-akan ia berkata: "Dia telah memuliakan kalian dengan menyediakan benda-benda di atas (langit) dan di bawah (bumi) dengan seluruh kehebatannya, agar kalian bisa ambil manfaatnya. Karena itu, hendaknya kalian memperlihatkan kelayakan kalian untuk [mendapatkan] kemuliaan itu dengan beribadah kepada-Nya."
Selain itu, ia hendak memperlihatkan sanggahan terhadap [teori] kebetulan, kesepakatan, dan pengaruh alam. Yaitu: "Semua yang kalian lihat [di alam] dengan sifat-sifatnya, tak lain terjadi melalui penciptaan Sang Maha Pencipta, melalui maksud dari Sang Maha Pemilik Maksud, melalui spesifikasi dan pengaturan dari Sang Maha Pengatur. Betapa luhur hikmah-Nya!"
Demikian juga, itu menampilkan bantahan terhapad aliran kaum naturalis, dan ajaran kaum Sabean, yang melahirkan aliran kaum musyrik (watsanîyyîn).
Selanjutnya, ia hendak menarik perhatian pada kenyataan bahwa sifat-sifat tubuh melalui segala kemungkinannya menunjuk pada Sang Maha Pencipta. Sebab, atom tubuh mereka sama dalam menerima segala kondisi dan pola umum [dalam jumlah tak terbatas]. Setiap sifat merupakan kemungkinan yang terombang-ambing di tengah banyak sekali kemungkinan. Jadi dalam hal sifat dan pola [umum], setiap
140. Page
tubuh [fisik] membutuhkan maksud, tujuan, dan hikmah, serta spesifikasi dari Sang Maha Penentu spesifikasi.
Adapun didahulukannya kata ﴾لَكُمُ﴿ - la-kum (“bagi kalian”), ini menunjukkan bahwa bumi telah dihamparkan demi manusia; seolah-olah hanya manusia yang memperoleh manfaat darinya, dan sisanya merupakan lebihan sia-sia. Renungkan hal ini dengan hati-hati!
﴾فِرَاشًا﴿ - firâsyan (“hamparan”) menunjukkan nuktah kebalaghahan (kefasihan) yang merupakan poin keunikan, yaitu "bersama kemestian sifat dasarnya bumi itu seharusnya sudah tenggelam di dalam air," [ia tidak demikian].
Ini juga berarti bahwa bumi menghampar dengan menentang sifatnya. Sebab menurut sifatnya, air seharusnya menyerbu [seluruh] dunia dan menguasainya. Namun dengan hikmah dan rahmat-Nya, Sang Pencipta menarik keluar sebagian darinya, lalu menghamparkannya, dan meletakkan hidangan karunia-Nya di atasnya.
Demikian pula, sesuai dengan kaedah "إذا ثبت الشيء ثبت بلوازمه" (jika sesuatu terbukti, ia terbukti bersama-sama dengan kelazimannya), kata "hamparan" [yang berasal dari kata kerja "farasya (menyebar)"] menunjukkan bahwa bumi ini seperti berkarpetkan lantai rumah, serta spesies tanaman dan hewan yang ada di dalamnya seperti furnitur, yang ditempatkan di dalamnya dengan sengaja dan penuh hikmah.
Ini menunjukkan juga bahwa bumi secara disengaja dan hikmah dibentuk dalam [kondisi] pertengahan antara cair yang tidak dapat dilalui dengan kaki dan padat sehingga tidak dapat dimanfaatkan atau digarap. Karena, jika [terlalu cair atau terlalu padat] ia akan menjadi sia-sia, meskipun ia terbuat dari emas. Maka, [kondisi] pertengahannya mengisyaratkan bahwa hal itu telah ditentukan, dibuat, disengaja, dan penuh hikmah.
Adapun ﴾وَالسَّمَاءَ بِنَاءً﴿ - wa al-samâa binâ'an (“dan langit sebagai atap”), ini menunjukkan bahwa ketika Dzat Yang Maha Tinggi menciptakan langit sebagai atap dan langit-langit bagi kalian, dan bintang-bintangnya menjadi lampu-lampu bagi kalian, hendaknya jangan dibayangkan terjadi kebetulan dalam pembagian [posisi] lampu-lampu itu dan penyebarannya [di angkasa], sebagaimana bayangan terjadi kebetulan dalam posisi jatuhnya mutiara yang dilemparkan bertebaran di atas tanah.
Ketahuilah, di dalam ayat ini terdapat petunjuk, saran, dan isyarat mengenai misteri ajaib, lembut, dan berharga, yaitu sebagai berikut:
Jika engkau bertanya: Manusia adalah atom dalam kaitannya dengan bumi, dan bumi adalah atom dalam kaitannya dengan alam semesta. Juga, individu manusia merupakan atom relatif bagi umat manusia, dan umat manusia adalah atom dibandingkan dengan sesamanya dalam mengambil manfaat di rumah yang tinggi ini. Demikian pula, aspek usaha manusia untuk memperoleh manfaat dalam kaitannya dengan manfaat dan tujuan rumah ini [hanyalah] atom. Dan tujuannya yang dirasakan akal manusia juga [hanya] atom terkait pemanfaatannya dalam hikmah azali dan pengetahuan ilahi. Jadi, bagaimana mungkin [Dzat Yang Maha Tinggi] menciptakan alam untuk manusia, sementara pemanfaatannya merupakan tujuan utamanya?
Anda akan dijawab: Ya, itu benar, tapi terlepas dari semua itu, karena luasnya jiwa manusia, hamparan kecerdasannya, tingkat potensi kemampuannya, serta sangat banyak dan luasnya cara ia memanfaatkan alam semesta; juga, karena tidak adanya kemacetan, fragmentasi dan ketahanan dalam hal pemanfaatannya, seperti hubungannya dengan seluruh bagiannya -- sebab keseluruhan hadir secara lengkap di semua bagian tanpa kemacetan dan fragmentasi -- al-Qur'an menjadikan arah pemanfaatan manusia [terhadap alam] sebagai tujuan akhir di antara jutaan tujuan langit dan bumi, seolah-olah itulah alasan puncak dan satu-satunya ('illat ghâiyyah) yang tampak pada manusia. Artinya, manusia mengambil manfaat dari bumi seolah-olah itu bagian dari rumahnya dan langit sebagai atapnya. Bintang-bintang adalah lampu baginya, dan tanaman sebagai makanan, sehingga setiap [orang] memiliki hak untuk mengatakan: "Matahariku, langitku, bumiku." Renungkan hal ini menggunakan akal yang bersamamu!
141. Page
Mengenai bagian-bagian dari ﴾وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ﴿ - wa anzala min al-samâ mâ'an fa-akhraja bi-hi min al-tsamarâti rizqan la-kum (“dan Dia menurunkan air [hujan] dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu”):
Ketahuilah: Kata ganti [tersirat] pada kata ﴾أَنْزَلَ﴿ - anzala (“menurunkan”) yang merujuk kepada Allah, menunjukkan bahwa air hujan diturunkan dengan keseimbangan yang disengaja, serta dengan hikmah [dan tujuan]. Bahkan, setiap tetesan dijaga [turun] dalam urutan tertentu, seolah diperintah tak boleh ada satu pun darinya yang bertabrakan dengan saudaranya selama turun dalam jarak begitu jauh meskipun diombang-ambingkan angin. Ini menunjukkan bahwa hujan tidak dibiarkan [turun] sendiri, tetapi kendali masing-masing dipegang oleh malaikat sebagai pelaksana perintah dan cerminnya.
Penggunaan kata benda pada ﴾مِنَ السَّمَاءِ﴿ - min al-samâ' (“dari langit”) meskipun sudah ada kata ganti di situ, menyiratkan bahwa apa yang dimaksud dengan langit di sini adalah arah langit, bukan langit itu sendiri (jirmahâ).
Penggunaan kata ﴾ماء﴿ - mâ'an (“air”) meskipun apa yang jatuh salju, es, dan hujan, menunjukkan bahwa air merupakan sumber terdekat, dan paling berguna, ﴾وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ﴿ (dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup)" (Qs. al-Anbiya' [21]: 30).
Sementara bentuknya sebagai kata indefinit (nakirah) menunjukkan bahwa [air] itu adalah air yang sifatnya menakjubkan, strukturnya unik, dan senyawa kimianya tidak diketahui oleh kalian.
Kata penghubung "فاء - fa’" pada ﴾فَأَخْرَجَ﴿ - fa-akhraja (“lalu Dia menghasilkan”) yang diposisikan sebagai mengikuti tanpa jeda, padahal terdapat [cukup] jeda waktu antara jatuhnya hujan dan dihasilkannya buah. Ini menunjuk pada [kalimat yang hilang, "... bumi bergolak, merawat, menghijau, lalu tumbuh jenis tanaman yang berpasang-pasangan, kemudian ia pun menghasilkan."
Adapun nisbah ﴾أَخْرَجَ﴿ - akhraja (“menghasilkan”) ke kata ganti [tersirat (dlamir), yang mengacu pada Allah], hal ini menunjukkan bahwa buah-buahan tidak diproduksi melalui reproduksi atau bahan campuran saja, tetapi Sang Pencipta Yang Maha Bijak menciptakannya dan mengaturnya dengan sifat-sifat dan karakteristik yang tidak terdapat pada bahan fisiknya.
Adapun ﴾بِهِ﴿ - bi-hi (“dengannya”): Karena makna sebenarnya [dari preposisi yang mengacu pada "air"] -- yaitu, melengketkan (ilshâq)[1] -- telah menyerap [makna] kausalitas, hal itu menunjukkan lembutnya buah-buahan segar. Air mengalir naik -- bertentangan dengan sifatnya -- melalui sarana karya syair, mengisi gelas-gelas buah tadi selengket-lengketnya.
﴾مِنَ الثَّمَرَات﴿ - min al-tsamarât (“sebagian buah-buahan”): Menurut Sibawayh,[2] karena [kata partitif] "min [beberapa]" tidak sepenuhnya kehilangan makna subjek, maka kata-kata ini menunjukkan bahwa objek akan bervariasi sesuai dengan pemahaman pendengar; yaitu, "sebagian buah-buahan jenisnya beragam seperti yang kalian nikmati."
Adapun bentuk 'tanwin' (ketaktentuan) dari ﴾رِزْقًا﴿ - rizqan (“rezeki”), itu menunjukkan bahwa penyebab untuk mendapatkan rezeki ini tidak kalian ketahui, sebab ia datang pada kalian dari [sumber] yang tidak diduga.
Dan ﴾لَكُمْ﴿ - la-kum (“bagi kalian”) merupakan petunjuk yang memperkuat makna penganugerahan (imtinan).
Ini juga mengisyaratkan bahwa rezeki itu untukmu, tapi tidak ada salahnya jika orang lain ikut mendapatkan keuntungan darinya.
Juga, ini menunjukkan bahwa Dzat Yang Maha Tinggi telah mengkhususkan karunia-Nya pada kalian, sehingga kalian harus mengkhususkan syukur hanya untuk-Nya saja.
[1] Sibawayh menyebutnya "ba' al-ilzâq." Di dalamnya kitabnya 4/217 disebutkan, "ba' al-jarr hanya untuk ilzaq." Lihat al-Muqtadlab 1/39, Ushul al-Nahw karya Ibnu al-Siraj 1/412. al-Muhkam wa al-Muhith al-A'dham 6/208. Para sarjana Ilmu Nahwu juga menyebut "ba'" demikian, karena ia melengketkan apa yang sebelumnya dengan yang sesudahnya.
[2] Dijelaskan Sibawayh di dalam kitabnya 4/224: "Kata 'min' bermakna permulaan mencapai tempat. Misalnya, kalian mengatakan dari tempat ini ke tempat itu, atau engkau menuliskan surat dari seseorang ke orang lain. Mana nama-nama ini tak lain menunjukkan tempat sesuai posisinya."
142. Page
Adapun nadzam [dan hubungan] bagian-bagian dari frasa, ﴾فَلا تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا﴿ - fa-lâ taj'alû li'ilâhi andâdan (“karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah”), maka "fa'" [dari "فَلا - fa-la"] melihat pada “keempat bagian” [di atas], yaitu:
Karena Dia adalah Dzat Yang Diibadahi (al-ma'bud), maka janganlah kalian menyekutukan-Nya.
Karena Dia adalah Maha Kuasa mutlak, sementara bumi dan langit berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, maka janganlah engkau percaya bahwa Dia memiliki sekutu.
Karena Dia adalah Maha Pemberi nikmat, maka janganlah kalian menyekutukan-Nya dalam mensyukuri-Nya.
Karena Dia adalah Pencipta Anda, maka janganlah kalian membayangkan bahwa Dia memiliki sekutu.
Penggunaan kata ﴾تَجْعَلُوا﴿ - taj'alû (“kamu mengadakan”) ketimbang "تعتقدوا - ta'taqidû (kamu percaya)" menunjukkan makna ayat: ﴾إِنْ هِيَ إِلاّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا﴿ - "itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu adakan" (Qs. al-Najm [53]: 23). Artinya, nama-nama yang tidak ada artinya, yang keberadaannya kamu buat-buat sendiri.
Didahulukannya kata ﴾لله﴿ - li-llâh (“untuk Allah”): Dengan memberikan perhatian langsung kepada [Allah], di satu sisi hal itu menunjukkan keharuskan [mengingat-Nya]; sementara di sisi lain ia menyatakan bahwa alasan larangan adalah diadakannya sekutu bagi-Nya.
﴾أَنْدَادًا﴿ - andâd (“sekutu”): [Bentuk tunggalnya,] "nidd," memiliki arti: seperti,[1] sama, sekutu atau rekan, dan 'seperti' apa pun yang Dzat Yang Maha Tinggi akan menjadi sebaliknya-Nya; dan di antara keduanya akan terjadi kontradiksi. Di dalamnya terdapat petunjuk halus bahwa [istilah] sekutu pada dasarnya batil dengan sendirinya.
Sedangkan penggunaan kata plural ["أَنْدَادًا - andâd"] menunjukkan puncak ketidaktahuan orang-orang musyrik, dan menyiratkan ejekan kepada mereka: "Bagaimana kalian bisa mengadakan kumpulan para sekutu dan lawan, untuk Allah -- padahal sama sekali tidak ada yang serupa dengan-Nya?"
Ini juga menyiratkan penolakan segala macam sekutu atau mitra; sekutu dalam dzat-Nya, dalam sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya.
Ini mengisyaratkan sanggahan keras terhadap berbagai kalangan orang musyrik: orang-orang kafir (watsaniyyûn), Sabean, orang-orang Kristen (ahl al-tatslîts), dan naturalis, yang semuanya percaya bahwa penyebab memiliki akibat yang hakiki.
Catatan: Sumber paganisme atau penyembahan berhala adalah pendewaan bintang, atau asumsi berdiamnya [Allah di dalam diri manusia (hulûl),] atau inkarnasi (jismiyyah) Allah.
﴾وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون﴿ - wa antum ta'lamûn (“padahal kamu mengetahui”): Seperti frasa-frasa penutup ayat (fawâsil) lainnya, ini menunjukkan bahwa sumber Islam adalah pengetahuan ('ilm) dan dasarnya akal ('aql), serta bahwa ia menerima kebenaran dan menolak pikiran sesat dan angan-angan.
Selain itu, melalui keringkasan dengan tidak mencantumkan objek ke kata kerja [﴾وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون﴿], [al-Qur'an] memperpanjang ucapan. Artinya, "Sementara kalian mengetahui bahwa selain Dia tidak ada yang berhak diibadahi, tidak ada pencipta atau pemilik kekuasaan absolut, dan tidak ada pemberi karunia."
"Demikian pula, kalian mengetahui bahwa semua dewa dan berhala bukanlah apa-apa, dan tidak mampu melakukan apa-apa. Mereka semua dibuat, dibikin, yang kalian khayal-khayalkan." Pikirkan secara mendalam hal ini!
[1] Lihat Jumhurat al-Lughah, n-d-d 1/115, Fiqh al-Lughah 88, Tafsir Gharib Ma Fi al-Shahihayn al-Bukhari wa Muslim karya al-Humaidi 65, al-Lisan n-d-d 3/420.