NAVIGATION
143. Page
﴿وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينفَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِين﴾
(Wa in kuntum fi raybin mimmâ nazzalnâ 'alâ 'abdinâ fa-'tû bi-sûratin min mitslihi wa ad'û syuhadâ'akum min dûn Allâhi in kuntum shâdiqîn. * Fa-in lam taf'alû wa lan taf'alû fa-'ttaqû al-nâr allatî waqûduhâ an-nâs wa al-hijâra u'iddat li'l-kâfirîn.)
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar * Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
Mukaddimah tentang Kebenaran Kenabian
Ketahuilah: Sebagaimana ayat sebelumnya yang membuktikan tujuan pertama dari empat tujuan utama al-Qur'an, yaitu tauhid, demikian pula ayat yang satu ini (2: 23) membuktikan tujuan kedua, kenabian Muhammad -- semoga salawat dan salam senantiasa untuk beliau -- melalui mukjizat beliau yang paling sempurna, yang menantang, yaitu al-Qur'an Mulia. Kami telah menjelaskan secara rinci bukti kenabian beliau di buku lain,[1] mari kita ringkas sebagian darinya di sini dalam enam topik masalah.
Masalah Pertama:
Ketahuilah bahwa dapat disimpulkan dari hal-ihwal para nabi, [berdasarkan] tata sebangun [hal-hal yang sama], melalui penalaran induktif (istiqrâ' tâmm) dan analogi yang dikenal dengan kias tersembunyi (qiyâs khafî),[2] bahwa pasak dan dasar misi para nabi, serta hubungan mereka dengan umat mereka -- dengan syarat melepaskan masalah dari kekhususan pengaruh zaman -- ditemukan yang paling sempurna dan paling lengkap terdapat pada Muhammad S.a.w, yang merupakan guru umat manusia di masa kematangan mereka. Ini melengkapi argumen dan bukti terbaik bahwa beliau juga Rasul Allah. Sebab, melalui lidah mukjizat mereka, seakan semua nabi bersaksi atas kebenaran Muhammad -- salam untuk beliau -- yang merupakan bukti bercahaya tentang keberadaan Sang Pencipta dan keesaan-Nya. Renungkan hal ini!
Masalah Kedua:
Ketahuilah bahwa setiap ihwal dan tindakan Muhammad S.a.w -- meskipun tidak selalu luar biasa -- menunjukkan pada awalnya kebenaran beliau, dan pada akhirnya keadilan beliau. Tidakkah engkau melihat bagaimana beliau S.a.w bertindak dalam situasi seperti peristiwa Gua [Hira] ketika mestinya tidak ada harapan untuk mendapatkan bantuan?!
Beliau menegaskan dengan penuh kepastian, kepercayaan diri, dan kesungguhan: ﴾لا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا﴿"jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita" (Qs. al-Taubah [9]: 40).
Dengan demikian, tindakan beliau pada awal [misi kenabian] -- tak peduli menghadapi lawan, tanpa rasa takut dan ragu-ragu, serta penuh ketenangan -- menunjukkan bahwa beliau berpegang pada kebenaran. Kemudian, apa yang berhasil beliau bangun pada akhir gerakan beliau -- berupa aturan-aturan penting yang merupakan dasar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat -- juga keteguhan beliau dalam bertindak demi kebenaran, serta semua kaitan beliau dengan keadilan, semua itu menunjukkan kebenaran beliau. Hal ini
[1] Maksudnya, Risalah "al-Mu'jizat al-Ahmadiyyah", yakni "al-Maktubat al-Tasi''Asyar," yang dimuat dalam kitab Dzulfiqar (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ahmadie Thaha).
[2] Qiyâs khafî adalah kias di mana penafian pembeda di dalamnya terjadi antara yang asli dan yang cabang menurut dugaan, dan di dalamnya dibutuhkan ijtihad dan penelaahan. Lihat Mu'jam Mushthalahat 'Ushul al-Fiqh karya Quthub Sanu 349.
144. Page
berlaku untuk setiap tindakan beliau. Tetapi jika engkau melihat ke semua yang beliau lakukan dan semua tindakan beliau, akan tampak jelas di depan matamu bukti kenabian beliau, seperti kilat yang berkilau. Perhatikan ini secara mendalam!
Masalah Ketiga:
Ketahuilah bahwa masa lalu dan saat ini -- yaitu, Era Kebahagiaan [saat Nabi] -- dan masa depan, semua sepakat menegaskan kenabian beliau, sebagaimana diri beliau sendiri merupakan bukti untuk itu. Mari kita pelajari empat halaman berikut:
Pertama: Kita mencari berkah dengan mempelajari diri beliau, pertama-tama dengan membayangkan “empat nuktah”:
Kesatu: Meskipun berada dalam kondisi lebih sempurna, hal semu dan buatan manusia tidak akan pernah mencapai standar sama dengan sesuatu yang alami dan 'nyata' (fitri), dan tidak akan bisa mengambil tempatnya. Bahkan tergelincir dan kesalahan akibat kesemuan pasti akan memperlihatkan tipuan yang dibuat-buat tersebut.
Kedua: Akhlak yang tinggi hanya akan sampai di tanah hakekat melalui keseriusan (jiddiyyah), dan kelanggengannya serta keteraturannya secara keseluruhan hanya dapat dicapai dengan kebenaran (shidq). Jika kebenaran tercerabut dari tengah-tengahnya, [akhlak tinggi] hanya akan menjadi seperti jerami yang ditanam angin.
Ketiga: Sebagaimana saling cenderung dan daya tarik terdapat pada hal-hal yang serasi dan kongruen, demikian pula terdapat daya tolak dan saling menjauh di hal-hal yang saling bertentangan.
Keempat: Yaitu [aturan] "terdapat di keseluruhan apa yang tak terdapat pada sebagian," seperti tali yang kuat meskipun benang-benangnya lemah.
Jika engkau telah memahami nuktah-nuktah ini, ketahuilah bahwa seperti yang diakui oleh para musuhnya, jejak langkah Muhammad S.a.w, perjalanan dan kisah hidup beliau, semua bersaksi bahwa beliau memiliki akhlak terbaik, dan bahwa semua perangai tertinggi terhimpun secara keseluruhan pada diri beliau. Perpaduan akhlak ini ditandai dengan kehormatan, kemuliaan, dan harga diri, yang akan mencegah seseorang terjerumus ke hal-hal sepele. Sebagaimana kemuliaan para malaikat tidak membiarkan setan bergaul dengan mereka, demikian pula akhlak tinggi keseluruhannya sama sekali tidak memungkinkan tipu daya dan kepalsuan merasuk di tengah-tengah mereka. Tidakkah engkau menyaksikan seseorang yang terkenal hanya karena keberaniannya saja tidak sudi berbohong, kecuali jika terpaksa? Bagaimana halnya dengan seseorang yang [pada dirinya terkumpul] banyak akhlak mulia? Karena itu, dapat dipastikan bahwa diri [Nabi Muhammad] S.a.w, seperti matahari, merupakan bukti bagi dirinya.
Selain itu, jika engkau mempelajari kondisi beliau S.a.w -- dari usia empat sampai empat puluh, masa muda ketika gelora nafsu menampakkan dan memperlihatkan tipu muslihat yang tersembunyi dan terselubung di tabiat -- engkau akan melihat beliau tumbuh menjalani hidup bertahun-tahun, bergaul dengan sikap istiqamah yang sempurna, dalam puncak kematangan dan penuh kesucian, serta hidup serba teratur dan tertib. Tidak ada tanda-tanda penipuan dalam tingkah laku beliau; apalagi ketika menghadapi [musuh-musuh] bandel dan cerdas [yang selalu mencari-cari kelemahan dalam diri beliau]. Ketika engkau melihat beliau S.a.w demikian, kemudian engkau melihat beliau saat berusia empat puluh tahun, ketika karakter sudah tak berubah dan kebiasaan sudah mendarah daging, beliau tampak sebagai sosok luar biasa yang menghadirkan revolusi besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Ini semua terjadi hanya karena [kehendak] Allah.
Masalah Keempat:
Ketahuilah bahwa lembaran masa lalu, yang berisi kisah-kisah para nabi, yang diceritakan [Nabi] S.a.w di dalam al-Qur'an, adalah bukti kenabian beliau. [Halaman ini terdiri dari] “empat nuktah”:
145. Page
Pertama: Jika seseorang mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu, mengetahui simpul-simpul vitalnya, lalu mengaplikasikannya secara mahir sebagaimana mestinya, serta mampu membangun argumen di atasnya, ini merupakan bukti keterampilan dan keahliannya dalam ilmu itu.
Nuktah Kedua: Jika engkau menyadari tabiat manusia, [engkau akan mengetahui bahwa] engkau tidak akan pernah menemukan orang yang begitu berani menentang [mayoritas] dengan tanpa ragu-ragu, tanpa peduli untuk berbeda, tanpa berbohong meskipun kecil, di kalangan suatu kaum meskipun mereka sedikit, demi suatu seruan meskipun dihina, dan dengan penuh martabat meskipun lemah. Jadi bagaimana mungkin seseorang -- yang kehormatannya begitu mulia, dalam seruan yang begitu mulia, di kaum yang begitu banyak, harus menghadapi sikap keras kepala yang ekstrem meskipun dia sedang buta huruf -- bagaimana dia bisa berbicara tentang hal-hal yang tak terjangkau oleh akal, dan mengungkapkannya dengan begitu serius, serta menyatakannya di atas kepala para saksi? Apakah ini tidak menunjukkan kejujurannya, dan bahwa [apa yang dicanangkannya] bukan dari dia, tapi dari Allah?
Ketiga: Banyak ilmu yang sudah dikenal orang beradab -- melalui pendidikan, hal-ihwal, informasi peristiwa dan tindakan -- tetapi tidak diketahui secara teoritis oleh kaum nomaden [primitif]. Karena itu, jika seseorang ingin menghakimi [mereka] dan menyelidiki keadaan mereka, terutama di abad-abad lampau, hendaknya dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah mereka di kampung gurun tersebut.
Keempat: Ialah bahwa jika seseorang berdebat dengan para ahli ilmu, meskipun itu hanya ilmu tata bahasa, kemudian menjelaskan pandangannya mengenai masalah yang diperdebatkan, menguatkan apa yang disepakati dan memperbaiki poin yang diperselisihkan, bukankah ini menunjukkan kepada Anda keunggulannya dan bahwa pengetahuannya merupakan anugerah (wahbî)?!
Jika engkau telah memahami nuktah-nuktah ini: Ketahuilah bahwa meskipun buta huruf, Nabi Muhammad sang Arab S.a.w telah menceritakan kepada kita melalui lidah al-Qur'an kisah-kisah orang terdahulu dan para nabi seolah-olah beliau telah hadir dan menyaksikan mereka. Beliau menjelaskan kondisi mereka, menerangkan rahasia mereka ke seluruh dunia dalam suatu seruan besar yang telah menarik perhatian orang-orang cerdas. Beliau menceritakan ini tanpa kekhawatiran. Beliau mengambil poin penting dan prinsip-prinsip dasar sebagai pengantar seruan beliau, membenarkan apa yang sudah disepakati secara bulat oleh kitab-kitab suci sebelum beliau, dan memperbaiki hal-hal yang dipertentangkan. Seakan dengan ruh terus berjalan yang memantulkan wahyu ilahi, beliau melintasi ruang dan waktu, memasuki kedalaman masa lalu, kemudian memproklamirkan [apa yang ada di sana] seolah-olah beliau telah menyaksikannya. Dengan demikian, apa yang beliau lakukan ini merupakan bukti kenabian beliau dan salah satu mukjizat beliau. Semua mukjizat para nabi berlaku sebagai mukjizat maknawi bagi beliau.
Masalah Kelima:
Ini memaparkan lembar halaman Masa Kebahagiaan, terutama masalah Semenanjung Arab. Ini juga terdiri dari "empat nuktah":
Pertama: Jika engkau mempelajari dunia, engkau akan melihat terkadang sulit dan rumit untuk membasmi adat dan kebiasaan meskipun tidak penting, di kaum meskipun sedikit, atau menghilangkan watak meskipun tidak signifikan, di satu kelompok meskipun hina, terhadap penguasa meskipun kuat, dengan penuh semangat meskipun keras, dalam waktu lama dan harus melalui banyak usaha. Lantas bagaimana dengan orang yang bukan penguasa bisa berhasil -- dalam waktu singkat dan dengan sedikit usaha sesuai tingkat pencapaian -- mencerabut adat dan moral yang benar-benar sudah tertanam kokoh dan telah dipraktekkan sejak lama, lalu sebagai gantinya tiba-tiba menanamkan akhlak dan kebiasaan, yang menyempurna seketika di hati orang-orang yang begitu banyak serta benar-benar melekat dan fanatik dengan adat istiadat mereka? Tidakkah engkau melihatnya luar biasa?
Nuktah Kedua: Negara atau pemerintah adalah sosok maknawi (syakhs ma'nawî); ia terbentuk secara bertahap seperti anak yang sedang tumbuh. Penaklukannya atas negara-negara terdahulu, yang hukumnya seolah seperti tabiat rakyatnya, membutuhkan waktu lama. Jadi, bukankah luar biasa jika Nabi
146. Page
Muhammad S.a.w mendirikan sebuah negara kuat [hampir] seketika, yang siap maju ke tingkat tertinggi, memiliki prinsip-prinsip dasar yang tinggi abadi, serta mampu menaklukkan negara-negara kuat sekaligus, selain mengabadikan kekuasaannya tidak hanya secara lahiriah dan fisik, tetapi juga dalam hati dan rohani?
Nuktah Ketiga: Dominasi lahiriah dan penaklukan superfisial dimungkinkan melalui paksaan dan kekerasan, tapi untuk menaklukkan pikiran dan mempengaruhi jiwa dengan menanamkan perbaikannya, menguasi tabiat serta menjaga dominasinya atas hati nurani selamanya, hal itu tak akan terjadi kecuali melalui peristiwa luar biasa; dan ini tak lain ciri istimewa kenabian.
Nuktah Keempat: Mengarahkan dan membimbing opini publik dengan dalih intimidasi (tarhîb) dan bujukan (targhîb), ketakutan dan ancaman, hanya berdampak parsial, dangkal, dan sementara, serta dalam waktu terbatas hingga terbuka jalan menuju pemikiran rasional. Sementara seseorang yang mampu menembus kedalaman hati manusia melalui bimbingan, dia akan dapat menggairahkan emosi terbaik mereka, mengungkap potensi mereka, membangkitkan akhlak tertinggi, menguak bakat tersembunyi mereka, menjadikan esensi kemanusiaan mereka lebih baik, dan mampu menampakkan nilai mereka sebagai makhluk rasional, semua itu tak lain didapatkan dari sinar hakekat, dan dari keluar-biasaan. Engkau melihat seseorang yang begitu keras hatinya mengubur putrinya hidup-hidup tanpa penyesalan atau rasa sedih, lalu ketika engkau melihatnya lagi suatu hari nanti, setelah menjadi muslim, dia [menahan diri dari menginjak] semut karena dia sayang dan merasakan makhluk itu kesakitan. Dapatkah engkau menganggap revolusi emosi demikian berasal dari suatu hukum apa pun?
Jika engkau telah memahami nuktah-nuktah ini, renungkanlah poin lainnya, yaitu:
Sejarah dunia menyaksikan bahwa orang jenius yang unik adalah yang mampu mengembangkan talenta umum yang dimilikinya, dapat membangunkan perangai khususnya, dan bisa membangkitkan emosinya. Sebab, jika dia belum membangkitkan emosi tidurnya tersebut, semua usahanya akan sia-sia dalam waktu sementara, meskipun dia merasa sangat mengenal dirinya sendiri.
Sejarah juga menunjukkan bahwa orang-orang besar adalah yang berhasil membangkitkan satu, dua, atau tiga dari emosi umum mereka, seperti rasa patriotisme, persaudaraan, perasaan cinta, rasa kebebasan, dan sebagainya. Karena itu, apakah tidak mengherankan dan luar biasa [jika ada yang berhasil] membangkitkan ribuan emosi yang laten dan tersembunyi tersebut, dan membuatnya meledak serta terungkap di tengah kaum nomaden yang tersebar di padang pasir tak berujung Jazirah Arab?
Ya! Dia ini berasal dari cahaya matahari hakekat.
Wahai, siapa pun yang belum memasukkan poin ini ke dalam kepalanya, kami akan memasukkan Semenanjung Arab ke benaknya! Inilah jazirah setelah tiga belas abad, sesudah manusia menaiki anak tangga peradaban dan kemajuan!
Jadi, wahai pembandel! Pilihlah seratus filosuf terkemuka dan biarkan mereka berjuang seratus tahun, dan lihatlah apakah mereka bisa melakukan seperseratus apa yang dilakukan Muhammad sang Arab S.a.w pada masanya. Jika mereka tidak bisa, dan memang tidak akan bisa, engkau harus berhati-hati tentang apa yang akan terjadi pada pembandel!
Ya, prestasi itu memang luar biasa, meskipun itu hanya satu dari sekian [banyak] mukjizat beliau S.a.w.
Ketahuilah juga bahwa orang yang ingin sukses (tawfîq) harus [bertindak] sesuai hukum ilahi ('âdât Allâh), memiliki pengetahuan hukum alam (lit. fitrah), dan sejalan dengan ikatan hubungan sosial. Jika tidak, fitrah akan menanggapinya secara diam-diam dengan menyangkalnya berhasil, dan akan mengacaukannya.
Juga, orang yang bergerak mengikuti aliran [tertentu] di masyarakat hendaknya tidak menentang arus umum (jaryân 'umûmî). Jika tidak, dia akan bekerja melawan arus bukan membantunya. Demikianlah, jika seseorang dibantu oleh keberhasilan (tawfîq) dalam arus umum tersebut, seperti Muhammad S.a.w, akan terbukti bahwa dia berpegang pada kebenaran.
Jika engkau telah memahami hal ini, renungkanlah kebenaran syariat: Meskipun semua benturan besar dan revolusi menakjubkan terjadi selama berabad-abad, engkau akan melihat bahwa [hakekat syariat]
147. Page
tetap menjaga keseimbangan hukum alam dan hubungan sosial, yang karena kecilnya [hakekat syariat] tidak terlihat jelas oleh pikiran orang ('uqûl) padahal benar-benar sesuai dan harmoni dengannya. Semakin banyak waktu berlalu, hubungan antara keduanya semakin jelas. Dari sini jelas bahwa Islam merupakan agama fitrah untuk umat manusia, dan bahwa Islam itu benar (haqq). Karena itu, ia tidak akan pernah dapat dihentikan walau sedikit. Tidakkah engkau melihat bahwa obat penawar yang dapat menyembuhkan racun yang mematikan di masyarakat adalah larangan riba dan kewajiban zakat, dua masalah di antara ribuan masalah syariat tersebut.
Sekarang, jika engkau telah memahami keempat nuktah berikut ketiga poin ini, ketahuilah bahwa meskipun Muhammad al-Hasyimi S.a.w buta huruf serta tidak bisa membaca dan menulis, tidak memiliki kekuatan lahiriah, tidak mempunyai kedaulatan, nenek moyangnya juga tidak, serta meskipun beliau tidak cenderung pada dominasi dan kekuasaan, dengan sepenuh hati, keyakinan, dan jaminan di posisi penuh bahaya dan di tempat penting, dengan perintah hebat, beliau melakukan sesuatu yang memiliki daya tarik tinggi sehingga beliau berhasil menaklukkan pikiran, menjadi kekasih jiwa, mendominasi tabiat, dan mencerabut dari kedalaman hati mereka banyak praktek kebiasaan dan adat istiadat mereka yang buas, yang telah mengakar kuat dan berlangsung lama. Beliau kemudian menanamkan di tempatnya dengan sekuat-kuatnya -- seolah-olah bercampur dengan daging dan darah mereka -- akhlak yang tinggi dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Beliau mengganti kekerasan hati orang-orang yang terpuruk di sudut-sudut kebiadaban, dengan sensitivitas yang peka, dan beliau singkap permata kemanusiaan mereka. Beliau mengeluarkan mereka dari pojok kebiadaban, mengangkat mereka ke puncak peradaban, dan menjadikan mereka guru dunia mereka. Beliau membangunkan sebuah negara untuk mereka, yang menelan negara-negara [lainnya] seperti tongkat Musa [menelan ular-ular]. Itu tampak seolah cahaya menyala terang yang membakar ikatan-ikatan [sosial] tirani dan korupsi, dan dalam waktu singkat mendirikan singgasana negaranya [yang membentang di] Timur dan Barat. Tidakkah situasi ini membuktikan bahwa jalan beliau adalah hakekat [dan kebenaran], serta bahwa beliau jujur dalam dakwah beliau?
Masalah Keenam:
Ini tentang lembaran masa depan, terutama "masalah syariat." Ada “empat nuktah” yang harus diperhatikan dalam hal ini:
Pertama: Seseorang -- meskipun dia luar biasa -- hanya bisa ahli dan mahir dalam empat atau lima ilmu.
Nuktah Kedua: Perkataan yang sama akan berbeda-beda menurut siapa yang mengatakannya. Maka, sebagaimana ia dapat menunjukkan kedangkalan dan kebodohan sesorang, mungkin ia menunjukkan keterampilan dan kemampuan orang lain, padahal kata-katanya sama persis. Sebab, salah seorang dari mereka melihat ke sumber apa yang dikatakannya, kesimpulannya, konteksnya, dan apa yang mendahuluinya; dia memikirkannya dikaitkan dengan saudaranya [hal-hal lain yang dikatakan] dan tempatnya yang tepat. Dia mempergunakannya dengan sangat tepat, dan berusaha mendapatkan tanah subur sehingga dia dapat menabur [benih] di atasnya. Dari sini jelas bahwa dia adalah [pembicara] tunggal dan menguasai subjek dari apa yang dibicarakannya. Semua frasa ringkas (fadzlakah) ayat-ayat al-Qur'an berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan perolehannya, yang tak lain adalah dari jenis di atas.
Nuktah Ketiga: Banyak hal yang biasa-biasa saja sekarang, bahkan menjadi mainan anak-anak -- disebabkan penyempurnaan prinsip dan sarana -- kalau ada dua abad silam sudah pasti dianggap keajaiban. Maka, apa [dan siapa] pun yang mampu mempertahankan kemudaannya, kesegarannya, dan kebaruannya selama berabad-abad, pasti ia luar biasa dan unik.
Nuktah Keempat: Bimbingan (irsyad) hanya bermanfaat ketika sepadan dengan kapasitas intelektual mayoritas khalayak umum. Dan khalayak -- dilihat dari besarnya -- adalah masyarakat awam, dan masyarakat awam tidak mampu melihat hakekat dengan [mata] telanjang; mereka hanya terbiasa melihatnya dengan gaun imajinasi mereka yang sudah dikenal. Karena inilah, al-Qur'an Mulia menggambarkan hakekat tersebut dalam bentuk alegoris (mutasyâbihât), melalui metafora (isti'ârah), dan
148. Page
dengan kiasan (tasybîh). [Al-Qur'an] hendak melindungi massa awam, yang belum maju, agar mereka tidak tergelincir ke jurang kesalahan. Karena itu, [al-Qur'an] menyamarkan dan menyederhanakan masalah-masalah yang diyakini secara pasti bertentangan dengan kenyataan -- karena dilihat melalui pandangan emosional yang dangkal (bi al-hiss al-dhâhirî) -- namun masih menyiratkan hakekat dengan memasang tanda-tanda.
Jika engkau telah memahami nuktah-nuktah ini, sekarang ketahuilah: Agama dan syariat Islam didirikan atas dasar bukti rasional, yang meringkas substansi berbagai cabang ilmu dan seni yang menghimpun esensi penting semua ilmu dasar: ilmu penyucian jiwa, dan ilmu pelatihan hati, ilmu pendidikan hati nurani, ilmu pelatihan fisik, ilmu urusan rumah tangga, ilmu pemerintahan daerah, ilmu hubungan internasional, ilmu hukum, ilmu hubungan manusia, ilmu perilaku sosial, dan lain-lain.
Selain itu, syariat menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah yang kira-kira diperlukan atau dibutuhkan. Untuk hal-hal yang tidak diperlukan atau pikiran belum siap menerimanya, atau karena waktu tidak memungkinkan, [syariat] meringkasnya dengan rangkuman-rangkuman (fadzlakah). Syariat menetapkan prinsip-prinsip yang memungkinkan pengambilan kesimpulan [hukum], pencabangannya, dan perluasannya, dengan berkonsultasi pada akal. Pada masa sekarang, semua ilmu ini atau bahkan sepertiga darinya setelah seribu tiga ratus tahun -- setelah berkembang melalui pertemuan pikiran dan perluasan hasilnya -- tak dapat ditemukan pada diri seseorang bahkan di tempat-tempat yang beradab dan di kalangan orang pintar. Jadi siapa pun yang hati nuraninya dihiasi sikap netral akan mengkonfirmasi bahwa syariat selalu melampaui daya kemampuan manusia, terutama pada waktu itu. Dan dia akan mendukung pernyataan, "Kalian tidak dapat membuatnya, dan pasti kalian tidak akan dapat membuatnya."
"Kebajikan adalah apa yang diakui bahkan oleh musuh."[1] Filosuf Amerika Carlyle[2] mengutip sastrawan Jerman terkenal, Goethe,[3] yang dengan takjub bertanya setelah mendalami hakekat al-Qur'an: "Bisakah dunia yang beradab lebih maju dalam lingkup batas-batas Islam?" Dan dia menjawab pada dirinya sendiri: "Ya, bahkan para peneliti sekarang banyak mengambil manfaat darinya!" Carlyle kemudian berkata: "Ketika hakekat al-Qur'an Mulia muncul, ia seperti api menyala dan menelan semua agama. Dan ia berhak melakukannya, karena dalam dirinya tidak ditemukan sedikit pun omongan kosong kaum Nasrani dan khurafat kaum Yahudi." Dia menegaskan makna ayat: ﴾فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِفَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ﴿"Buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an * Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka." (Qs. al-Baqarah [2]: 23-24)
Jika engkau bertanya: Al-Qur'an serta pembabarnya -- maksud saya, hadits -- hanya mengambil ringkasan dari semua ilmu, padahal mungkin saja seorang individu memahami ringkasan yang begitu banyak?
Engkau akan dijawab: Dengan diletakkan di tempat yang sesuai dan digunakan di tanah yang subur, bersama hal-hal yang disimbolkan yang tak terdengar [di telinga] -- seperti telah kami tunjukkan pada nuktah kedua di atas -- ringkasan (fadzlakah) akan seperti cermin yang mengungkapkan kemahiran penuh [seseorang] dalam ilmu [bersangkutan] dan penguasaan lengkapnya di dalamnya. Jadi ringkasan berfungsi seperti ilmu, dan tak mungkin orang seperti [yang engkau sebutkan mampu memahaminya].
Sekarang ketahuilah bahwa kesimpulan dari argumen di atas ialah, hendaknya engkau terlebih dahulu mengingat aturan berikut:
[1] Kutipan syair karya al-Sary al-Rifa' dalam diwannya. Lihat Diwan al-Ma'ani karya al-Asykari 1/72.
[2] Dia penulis Inggris Thomas Carlyle, lahir pada 1795 dan wafat 1881. Dia kritis terkenal dan sejarawan. Karya-karyanya berpengaruh besar di masa Victoria. Di antara karyanya, "Pahlawan," memuat studi sastra dan sejarah kepahlawanan. Untuk studi dan analisanya, dia mengungkap contoh-contoh teladan kemanusiaan terkenal. Di antara pahlawan yang diungkapnya berasal dari sosok nabi, termasuk Nabi Muhammad S.a.w
[3] Johann Wolfgang von Goethe, sastrawan Jerman yang dilahirkan di kota Frankfurt pada 1749 dan wafat pada 1832. Dia dianggap tokoh sastrawan terkemuka di Jerman maupun pada level internasional. Karyanya meliputi puisi, novel, dan drama. Selain sastra, dia juga berminat pada ilmu fisika.
149. Page
Satu orang tidak bisa menjadi spesialis di banyak ilmu.
Satu kata-kata yang sama akan berbeda-beda [maknanya ketika diucapkan oleh] dua orang [yang berbeda]; [Ketika diucapkan oleh] seseorang ia akan bermakna emas, dan [ketika diucapkan oleh] orang lain ia akan berarti batubara.
Ilmu merupakan hasil dari pertemuan pemikiran dan disempurnakan sepanjang waktu.
Banyak hal bersifat teoritis di masa lalu, sekarang sudah menjadi biasa.
Mengkias (membandingkan) masa lalu dan sekarang adalah kias palsu [karena perbedaan antara keduanya terlalu besar].
Karena kesederhanaan dan keluguan mereka, penduduk gurun tidak bisa menyembunyikan tipu daya dan desas-desus yang mungkin akan tersembunyi di bawah selubung peradaban.
Banyak ilmu diperoleh hanya dari menanamkan kebiasaan di dalam watak manusia, dan dengan mengajarinya peristiwa dan keadaan, ketika waktu dan lingkungan tersedia.
Cahaya penglihatan manusia tidak dapat menembus masa depan dan dia tidak bisa melihat keadaan tertentu.
Sebagaimana kehidupan manusia memiliki umur alami yang akan berakhir, demikian juga hukum memiliki umur alami yang bakal berakhir.
Dari segi waktu dan tempat, lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi jiwa masyarakat.
Sangat banyak keajaiban masa lalu telah menjadi biasa melalui penyempurnaan prinsip.
Kecerdasan manusia, meskipun luar biasa, tidak akan mampu menciptakan ilmu dan menyempurnakannya sekaligus; ilmu agak mirip seperti anak kecil, [berkembang] secara bertahap.
Sekarang engkau telah menghadirkan permasalahan ini [di kepalamu], dan engkau dapat membayangkannya di pelupuk mata. Maka, bebaskan dirimu dari khayalan masa kini dan angan-angan sekitarnya, lalu terjunlah ke lautan waktu dari pantai abad ini. Kemudian berjalanlah di bawah laut sampai engkau tiba ke Masa Kebahagiaan, dan pandanglah Semenanjung Arab. Angkat kepalamu, pakailah ide-ide yang menjahit waktu tersebut, kemudian pandanglah gurun yang tak terbatas. Apa yang tampak olehmu pertama-tama adalah satu orang yang, meskipun tanpa pembantu atau kekuasaan, menantang seluruh dunia sendirian. Dia membantah semua orang. Dia memikul di pundaknya hakekat yang lebih mulia dari dunia. Dia memegang di tangannya syariat yang menjamin kebahagiaan semua orang. Syariatnya ini seolah-olah intisasi dan substansi dari semua ilmu ilahi dan ilmu-ilmu hakekat. Syariat ini memiliki kehidupan seperti kulit, tidak seperti pakaian, yang bisa meluas sebagaimana perkembangan potensi manusia, menghasilkan buah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Syariat ini mengatur urusan manusia seolah-olah semua orang anggota satu pertemuan. Jika ditanyakan hukumnya berasal dari mana dan akan ke mana, ia akan menjawab melalui lidah kemukjizatannya, "Kami datang dari perkataan [ilahi] yang azali, dan kami akan menyertai pemikiran manusia sepanjang abad. Ketika dunia ini berakhir tampaknya kami pun akan berpisah dengan manusia terkait kewajiban agama. Tapi, kami akan selalu menyertai mereka melalui makna dan misteri kami. Kami akan selalu mengisi jiwa mereka, dan membantu membimbing mereka."
Jadi kini, tidakkah apa yang telah engkau saksikan hingga di sini telah membacakan kepadamu ayat dengan perintahnya yang bernada mengejek: ﴾فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِفَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ"Buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu * Tapi jika kamu tidak dapat membuatnya, dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya..."? dan selanjutnya.
Kemudian, ketahuilah: Ayat ﴾وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا﴿"dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan" dan selanjutnya, itu menunjukkan bahwa manusia -- karena melalaikan maksud Sang Pemberi Hukum (al-Syâri') dalam membimbing khalayak umum, dan tidak mengetahui tentang keharusan memberikan bimbingan dilihat dari kapasitas pemikiran -- mereka terjerumus ke dalam keragu-raguan dan kebimbangan, yang bersumber dari “tiga hal”:
150. Page
Pertama: Mereka mengatakan: "Keberadaan ayat alegoris (mutasyâbihat) dan ayat yang sulit (musykilât) dalam al-Qur'an menafikan kemukjizatan, yang didasarkan pada balâghah, dan ini didasarkan pada kejelasan ekspresi dan kepastian makna.
Kedua: Mereka mengatakan: "Al-Qur'an mengungkap hakekat penciptaan dan ilmu fisika (funûn al-kâ'inât) dengan kalimat-kalimat tidak jelas dan bersifat umum, tapi ini bertentangan dengan metode (maslak) pengajaran dan bimbingan.
Ketiga: Mereka mengatakan: "Beberapa makna literal al-Qur'an cenderung bertentangan dengan bukti rasional sehingga dapat menentang realitas, dan ini bertentangan dengan kejujurannya."
Jawaban: Sukses berasal dari Allah. Wahai para peragu, ketahuilah ini! Apa yang engkau kira menjadi penyebab cacat, pada kenyataannya merupakan saksi jujur atas rahasia kemukjizatan al-Qur'an.
Jawaban untuk keraguan pertama, yang menyangkut keberadaan ayat-ayat mutasyabihat:
Ketahuilah, bimbingan al-Qur'an diperuntukkan bagi semua orang, dan mayoritas mereka adalah orang awam. Dalam [hal] bimbingan, minoritas mengikuti mayoritas. Perkataan [bimbingan] yang disampaikan kepada orang awam, bisa dimanfaatkan oleh kalangan elit, dan mereka ini [berhak] menerima bagian darinya. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, kalangan awam akan tercabut [hak mereka untuk menerima bimbingan]. Padahal massa awam tak bisa melepaskan pikiran mereka dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka dan dari hal-hal imajiner. Karena itu, mereka tidak bisa menangkap hakekat apa adanya dan ide-ide abstrak kecuali melalui teleskop imajinasi mereka dan melalui bentuk gambaran hal-hal yang sudah mereka kenal. Namun syaratnya, [ketika melakukan hal ini], mereka hendaknya tidak menghentikan perhatian mereka pada bentuk gambaran tadi sampai-sampai sesuatu yang mustahil, [misalnya] inkarnasi (jismiyyah) atau memiliki 'sisi' dianggap lazim; tapi mereka harus melihat kepada hakekat [yang ada di balik bentuk gambaran tadi].
Misalnya, massa awam dapat memahami realitas pengelolaan (tasharruf) ilahi atas alam semesta dalam bentuk seorang raja mengelola kerajaannya dengan duduk di atas takhta kekuasaannya. Karena itu, [al-Qur'an] memilih [menggunakan] kiasan (kinayah) pada ayat: ﴾الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴿"Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy." (Qs. Thaha [20]: 5).
Karena perasaan massa awam terpola demikian, maka metode balaghah dan teknik bimbingan perlu memperhatikan pemahaman mereka, menghormati perasaan mereka, menyadari kemampuan akal mereka, dan mendukung pikiran mereka. Seperti orang yang berbicara dengan seorang anak, dia harus menurunkan level pembicaraan [setingkat pemahaman anak itu] sehingga si anak mampu memahaminya dan merasa akrab dengannya. Gaya sastra al-Qur'an (asâlîb qur'âniyyah) dalam konteks-konteks seperti ini, yang memperhatikan massa awam, disebut "pembumian ilahi ke akal pikiran manusia (tanazzulât ilâhiyyah ilâ 'uqûl al-basyar)." [Pembumian] ini dimaksud untuk mengakrabkan pikiran mereka. Karena itulah, [al-Qur'an] menampilkan figur-figur [yang digambarkan oleh] ayat-ayat mutasyabihat di depan mata awam seperti teleskop. Tidakkah engkau melihat bagaimana para tokoh sastrawan balaghah memperbanyak isti'arah untuk menggambarkan makna yang mendalam atau makna yang berbeda-beda?! Ayat-ayat mutasyabihat ini tak lain termasuk jenis isti'arah rumit (isti'ârah ghâmidlah) karena ia menggambarkan hakekat yang rumit.
Adapun ungkapan berbentuk musykil (yang terdapat di dalam al-Qur'an),[1] ini dimaksud untuk kehalusan makna dan kedalamannya, keringkasan gaya dan keagungannya, dan ungkapan musykil di al-Qur'an termasuk jenis ini; sementara [ungkapan musykil] yang maksudnya untuk kemenduaan kata-kata dan untuk mengikat ungkapan, yang bertentangan dengan balaghah, al-Qur'an bebas darinya. Wahai,
[1] Ungkapan musykil ialah pemahaman sesuatu yang maksudnya memerlukan pemikiran dan perenungan. Dikatakan, ungkapan musykil ialah perkataan yang mengandung beragam makna, namun maksudnya adalah salah satu di antaranya, yang tersembunyi dikarenakan banyaknya makna. Maksudnya pun tidak berbeda dari bentuknya, sehingga diperlukan pencarian dan perenungan. Lihat Mu'jam Musthalahat Ushul al-Fiqh (Majma' al-Lughah al-Arabiyyah) 96. Tentang definisinya, lihat Ta'wil Musykil al-Qur'an 102, al-Tauqif 'ala Muhimmat al-Ta'arif 657, al-Kulliyyat 846, Bayan Kasyf al-Alfadz 32, Mu'jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh karya Quthb Sanu 411.
151. Page
engkau yang skeptis! Mendekatkan hakekat yang begitu jauh dari pikiran kalangan umum ke pemahaman awam dengan cara mudah ini bukankah termasuk balaghah murni? Sebab, balaghah adalah kesuaian perkataan dengan situasi tertentu. Renungkan hal ini!
Jawaban terhadap keragu-raguan kedua, yaitu ketidakjelasan al-Qur'an mengenai pembentukan penciptaan, yang [malah] dijelaskan ilmu modern.
Ketahuilah bahwa di dalam pohon dunia terdapat kecenderungan untuk menyempurna (mayl al-istikmâl), yang darinya bercabang kecenderungan untuk berkembang maju yang terdapat pada manusia. Kecenderungan untuk berkembang maju menyerupai biji, yang pertumbuhan dan perkembangannya dicapai karena banyak pengalaman, yang membentuk diri dan meluas melalui pertemuan [dan pertukaran] hasil pemikiran, sehingga membuahkan ilmu yang tertib, dimana yang datang belakangan hanya bisa muncul menyusul ilmu yang telah terwujud sebelumnya, dan yang sebelumnya pun hanya dapat menjadi pendahuluan bagi yang berikutnya setelah ia diterima secara universal.
Berdasarkan rahasia ini, jika sepuluh abad yang lalu seseorang ingin mengajarkan atau memahamkan ilmu -- mengingat ilmu hanya lahir dari banyak percobaan -- dan mengajak orang untuk itu, semua itu tak akan berguna kecuali membingungkan pikiran khalayak umum dan menyebabkan mereka terjatuh ke kerancuan dan kesalahan.
Misalnya, jika al-Qur'an berkata: "Hai manusia! Lihatlah matahari yang tenang,[1] bumi yang berputar, dan jutaan makhluk hidup berkumpul dalam penciptaan, maka engkau akan memahami keagungan Sang Pencipta!", hal itu akan mendorong khalayak umum menolak, menyalahkan diri, atau menyombongkan diri dengannya. Itu karena, dengan pandangan mereka yang dangkal -- atau pandangan mereka yang palsu -- mereka melihat bumi jelas datar dan matahari jelas berputar seperti biasanya. Hal ini akan membingungkan pikiran -- terutama selama periode seribu tahun yang hanya memuaskan sebagian orang di zaman kita -- dan bertentangan dengan metode bimbingan (irsyad) serta semangat balaghah.
Hai kawan! Jangan berasumsi engkau dapat menarik analogi antara masalah-masalah teoritis masa mendatang dengan kondisi akhirat.[2] Sebab, ketika indera eksternal tak bisa melihat salah satu aspek [akhirat], ia tetap berada dalam batas kemungkinan, sehingga ia dapat mempercayainya dan merasa tenang dengannya. Apa yang berhak dijelaskan harus diperjelas. Namun, ketika kita dihadapkan pada masalah [penemuan-penemuan sains], karena dalam pandangan [khalayak umum kala itu] hal ini berada di luar batas kemungkinan dan probabilitas -- disebabkan kekeliruan persepsi mereka -- maka yang diperlukan dalam pandangan balaghah ialah [menyebutkan] penemuan-penemuan itu dengan [istilah] yang samar-samar dan umum demi menghormati perasaan mereka dan agar tidak membingungkan pikiran mereka. Namun demikian, al-Qur'an menunjukkan, mengisyaratkan, dan mengkiaskan kepada hakekat, serta membukakan pintu bagi pikiran dan mengajaknya masuk dengan menanamkan tanda-tanda dan makna-makna terkait (qarâ'in).
Wahai kawan![3] Ketika engkau termasuk orang adil, jika engkau berpikir berdasar aturan "Berbicaralah kepada manusia sesuai tingkat pemahaman mereka," dan engkau memahami bahwa karena zaman dan lingkungan tidak menyiapkan mereka secara mental agar mampu mendukung atau mempertahankan hal-hal tersebut [sebagai penemuan sains] -- yang tak lain hasil dari pertemuan pemikiran dan ide -- maka engkau akan mengetahui bahwa al-Qur'an memilih [istilah] yang samar-samar dan umum itu sebagai bentuk balaghah murni dan bukti kemukjizatannya.
[1] Di kala sakit, antara tidur dan sadar, terpikir olehku tentang ayat "Dan matahari beredar di porosnya." Artinya, [ia beredar] "di" tempat yang ditunjuk sehingga sistem tata [surya] dapat ditegakkan. Artinya, dengan beredar ia menghasilkan gaya tarik-menarik [gravitasi] yang memegang tata surya dalam tatanannya. Jika tidak, ia akan hancur berantakan. (Catatan tidur ini sangat halus dan lembut). (Penulis)
Di risalah lain penulis menemukan teka-teki: Matahari adalah pohon berbuah, yang mengguncang dirinya agar planet tidak menjatuhkan buahnya. Jika berhenti bergerak, daya gravitasi akan berhenti, dan planet akan berantakan di angkasa. (K)
[2] Yakni, jangan mengira bahwa hal-hal akhirat dan kondisinya, yang tidak kita ketahui, sama dengan dengan hal-hal teoritis yang akan ditemukan di masa depan.
[3] Hal ini dibuktikan secara tegas dan lengkap di dalam Risalah Mukjizat al-Qur'an. (K)
152. Page
Jawaban terhadap keragu-raguan ketiga, yaitu kecenderungan sebagian makna literal ayat-ayat [al-Qur'an] untuk bertentangan dengan bukti rasional dan temuan ilmu pengetahuan.
Ketahuilah: Tujuan utama al-Qur'an ialah memberikan bimbingan (irsyâd) kepada masyarakat umum (jumhûr) mengenai "empat prinsip dasar," yaitu: Pembuktian Sang Pencipta Yang Maha Esa, kenabian, kebangkitan kembali sesudah mati, dan keadilan. Dengan demikian, penyebutan alam semesta di dalam al-Qur'an Mulia hanya bersifat sekunder dan tambahan, untuk tujuan pengambilan kesimpulan deduktif (istidlâl). Sebab, al-Qur'an tidak diturunkan untuk mengajarkan geografi atau kosmografi (astronomi). Ia menyebutkan alam semesta untuk menyimpulkan [keberadaan] Sang Pengatur Hakiki (semoga keagungan-Nya ditinggikan) melalui karya cipta ilahi dan keteraturan unik [di alam semesta].
Faktanya, jejak seni, tujuan, dan keteraturan tampak terlihat di segala hal [di alam semesta], namun bagaimana ia terbentuk bukan urusan kita karena tidak berhubungan dengan tujuan utama. Ketika itu, selama [al-Qur'an] berbicara tentang makhluk untuk tujuan deduksi (istidlâl), selama keberadaannya mesti diketahui sebelum proposisi, dan selama bukti harus betul-betul jelas, bagaimana mungkin bimbingan dan balaghah tidak menghendaki adanya pengakraban pandangan emosional dan penyesuaian diri mereka dengan pengetahuan sastra dengan menarik beberapa makna larihiah atau harfiah teks (dhawâhir al-nusûs) kepadanya. Makna literal demikian tidak untuk menegaskan atau menunjukkan pengetahuannya, tetapi untuk kiasan (min qabil al-kinâyât) atau ekspresi asosiatif (mustatba'ât al-tarâkîb).[1] Bersama itu, [al-Qur'an] memasukkan tanda-tanda dan indikasi bagi para peneliti kebenaran (ahl al-tahqiq) yang menunjuk pada kebenaran.
Misalnya, saat menampilkan argumen (fi maqâm al-istidlâl), al-Qur'an mengatakan: "Hai manusia! Renungkan diamnya matahari meskipun tampaknya ia bergerak, rotasi harian dan tahunan bumi meskipun tampaknya ia diam. Renungkan gravitasi luar biasa yang menahan bintang [di tempatnya]. Lihatlah keajaiban listrik, kombinasi tak terbatas di antara elemennya yang tujuhpuluh, dan berkumpulnnya organisme tak terhitung dalam tetesan air, niscaya engkau mengetahui bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu!" Kalau [al-Qur'an] sudah berbicara demikian, bukti-bukti akan jauh lebih tersembunyi, lebih kabur, dan lebih musykil dari apa yang diklaim, meskipun ini bertentangan dengan kaedah deduksi.
Selain itu, karena termasuk sindiran (kinâyah), makna [literal ayat-ayat yang tampaknya cenderung bertentangan dengan ilmu] tidak bisa [dikatakan] benar atau salah, [sehingga maknanya tidak harus diambil secara harfiah]. Tidakkah engkau melihat bahwa alif dalam kata "qâla" menunjukkan arti ringan, sehingga tidak ada bedanya apakah akar katanya yâ atau wâw, qâf atau kâf.
Ringkasan: Karena Al Qur'an diturunkan untuk semua orang dari segala zaman, tiga poin [yang dianggap menimbulkan keraguan] ini merupakan bukti kemukjizatannya. Saya bersumpah [demi Allah] Yang Mengajarkan al-Qur'an yang bermukjizat, bahwa pandangan [Muhammad] sang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, serta wawasannya yang kritis, terlalu peka, mulia, terang, dan menembus jauh ke dalam, bagi terjadinya campur-aduk dan kerancuan antara kebenaran dan ilusi; dan bahwa jalan kebenaran yang ditempuhnya terlalu mahal, tinggi, murni dan mulia untuk menipu atau menyesatkan manusia!
Masalah Ketujuh:
Ketahuilah, buku-buku biografi dan sejarah [Nabi] telah menjelaskan banyak mukjizatnya yang tersentuh indera (mu'jizât mahsûsah), dan peristiwa-peristiwa luar biasa yang tampak dan masyhur di kalangan masyarakat umum, serta hal ini telah dikomentari oleh para ulama otoritatif. Percuma jika kami
[1] Ekspresi asosiatif (mustatba'ât al-tarâkîb) adalah pengambilan kesimpulan makna dari balik teks lahiriah, yang diperlukan konteks kata atau posisinya, tapi tidak mengurangi penggunaan atau maksud al-Qur'an. Ini termasuk ciri khas Bahasa Arab yang dibahas dalam Ilmu Balaghah. Misalnya, adanya penegasan yang menunjukkan pada penolakan pembicara atau keragu-raguannya. Lihat Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir 1/42.
153. Page
harus mengajarkan kembali apa yang sudah diketahui tersebut. Jadi, untuk diskusi rinci, kami akan merujuk buku-buku mereka, sementara di sini kami akan merangkum [mukjizat-mukjizat beliau] dengan menyebutkan kategorinya [saja].
Ketahuilah, peristiwa-peristiwa luar biasa [yang dialami Nabi], meskipun masing-masing darinya hanya diriwayatkan dari satu sumber (âhâdiyyan)[1] dan tanpa konsensus atasnya (ghair mutawâtir),[2] tapi karena jenis dan kategorinya banyak, ia dapat dianggap mutawatir menurut maknanya (mutawâtir bi al-ma'nâ).
Ini terdiri dari “tiga kategori”:
Pertama: Irhâshat [atau peristiwa-peristiwa aneh dan luar biasa yang terjadi sebelum misi kenabian, tetapi yang berkaitan dengan beliau], yang sangat beragam. [Ini termasuk] padamnya api Majusi, mengeringnya Danau Sava, terbelahnya serambi Istana Kisra, dan kabar-kabar gembira ramalan [kelahiran Nabi]. Hingga seolah-olah terbayangkan bahwa masa saat kelahiran Nabi S.a.w memiliki karamah yang sangat sensitif sehingga mampu memberikan kabar gembira tentang kedatangan beliau sebelum kejadiannya, yang diperoleh melalui firasat.
Kategori Kedua: Banyak prediksi masa depan, termasuk penaklukan perbendaharaan Persia dan kaisar Roma, kekalahan Romawi, penaklukan Mekah, dan sebagainya. Seolah-olah roh beliau yang halus terbang merobek simpul waktu khusus dan ruang personal, berjalan di sisi-sisi masa depan, kemudian mengatakan kepada kita apa yang telah disaksikannya.
====
Ukiran unik ini di dalam pembahasan menakjubkan ini terjadi secara kebetulan ketika saya menyalinnya di "Diyarbakir" di rumah "Jaudat Bek" pada 19 Februari sore hari Jumat, yang secara kebetulan bersamaan dengan jatuhnya Bitlis dan penangkapan pengarang Badiuzzaman pada malam itu juga. Seakan-akan ukiran ini, yang terjadi di atas lembaran ini, pada malam itu, merupakan isyarat -- hanya Allah yang mengetahui -- penumpahan darah murid-murid yang menyertai pengarang, dan penangkapan beliau sendiri pada malam itu di Bitlis. (Abdul Majid)
Demikianlah, ukiran ini melukiskan potret ular yang ekornya melilit pengarang, dengan kepala yang terpotong. Gambaran ini tidak lain kecuali Rusia yang Allah tebas kepala mereka. Demikian pula, ia menggambarkan saluran air tempat pengarang jatuh tergelincir di dalamnya dalam keadaan terluka dan terkepung, dan mendekam di dalamnya selama tiga puluh jam menunggu kematian setiap detiknya. (Hamzah)
=========
Kategori Ketiga: Keajaiban yang bisa dirasakan oleh indera fisik, yang terjadi selama [periode] menantang [tatanan yang ada] dan [semasa] dakwah [Islam]. [Ini termasuk], misalnya, batu yang berbicara, pohon bergerak, bulan terbelah, dan air mengalir [dari jari-jari beliau]. Al-Zamakhsyarî menyebut terdapat seribu [mukjizat] pada kategori ini. Sebagiannya telah diriwayatkan secara mutawatir menurut maknanya (mutawâtir bi al-ma'nâ). Bahkan, orang yang membantah al-Qur'an pun tidak bisa mengutak-atik ayat, "Dan bulan terbelah." (Qs. al-Qamar [54]: 6)
Jika engkau bertanya: Kejadian seperti membelah bulan mestinya terkenal di dunia dan diketahui semua orang?
[1] Hadits ahad ialah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah S.a.w oleh satu, dua atau beberapa orang yang jumlahnya tak mencapai syarat batas mutawatir. Seorang perawi meriwayatkan dari perawi lain seperti dia hingga sampai kepada Nabi melalui sanad setingkat ahad, bukan mutawatir secara keseluruhannya. Lihat Bulghat al-Arib karya al-Zubaidi 187, Mu'jam Musthalahat Usul al-Fiqh karya Quthb Sanu 191.
[2] Mutawatir: hadits yang diriwayatkan sejumlah orang yang dijamin bebas dari kebohongan sejak dari awal sanad hingga akhir. Lihat al-Ghayah fi Syarh al-Hadyah fi Ilm al-Riwayah 138, Tadrib al-Rawi 2/176, Bulghat al-Arib karya al-Zubaidi 187, Mu'jam Musthalahat Ushul al-Fiqh karya Quthb Sanu 194.
154. Page
Engkau akan dijawab: [Faktor-faktor seperti] perbedaan waktu terbit, keberadaan awan, tiadanya observasi langit seperti dilakukan pada masa kini, kejadiannya pada jam [ketika orang] lalai, pada malam hari, dan terjadi sekejap, yang kesemuanya menunjukkan bahwa kejadian itu tidak dilihat oleh semua orang atau kebanyakan orang. Namun demikian, telah dipastikan di banyak riwayat bahwa itu disaksikan oleh kafilah-kafilah yang posisi bulan mereka sama dengan yang [di Mekah].
Namun, kepala [yang memimpin] mukjizat ini adalah al-Qur'an yang mudah dipahami, yang kemukjizatannya terbukti dalam tujuh aspek sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini. (2:23)
Jika engkau telah memahami hal ini, sekarang dengarkan apa yang akan diberitahu padamu tentang nadzam ayat ini berikut ketiga aspeknya: nadzam ayat terkait dengan apa yang mendahuluinya; nadzam [dan hubungan] beberapa frasanya; nadzam [dan hubungan] bagian-bagian dari frasa.
Mengenai nadzam pertama: Terdapat dua aspek hubungan ayat ini dan yang sebelumnya:
Pertama: Menurut tafsir Ibnu 'Abbas,[1] ketika [al-Qur'an] mengatakan, ﴾يَا أَيُّهَا النَّاسُ﴿ - ya ayyuhâ an-nas (“wahai manusia”) untuk membuktikan tauhid, dengannya ia juga membuktikan kenabian Muhammad S.a.w, yang merupakan bukti paling jelas dari tauhid.
Selanjutnya, pembuktian kenabian dengan mukjizat. Dan paling besarnya mukjizat adalah al-Qur'an. Sementara aspek paling lembut dari kemukjizatan al-Qur'an terletak pada kebalaghahan susunan katanya (nadzam).
Islam sepakat bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat. Tapi, para ulama otoritatif berbeda pendapat mengenai jalannya mukjizat. Namun demikian, jalan ini tidak saling berbenturan, bahkan masing-masing memilih salah satu dari banyak aspeknya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kemukjizatannya terletak pada prediksinya tentang hal gaib.
Menurut ulama lain, kemukjizatannya adalah yang menyatukan [semua] hakekat dan ilmu.
Yang lainnya menegaskan, kemukjizatannya adalah kebebasannya dari kontradiksi dan cacat.
Menurut ulama lain, kemukjizatannya adalah orisinalitas gaya bahasanya dan keunikannya di awal dan akhir ayat serta surah.
Yang lain mengatakan kemukjizatannya adalah kemunculannya dari seorang buta huruf yang tidak bisa membaca dan menulis.
Sebagian ulama lain berpendapat, kemukjizatannya ialah puncak balaghah nadzamnya hingga derajat begitu luar biasa, jauh di luar kemampuan manusia; dan sebagainya, dan sebagainya, dan selanjutnya.
Kemudian, ketahuilah bahwa pengetahuan rinci tentang jenis kemukjizatan [yang terakhir] ini dapat diperoleh dengan mempelajari tafsir al-Qur'an seperti buku ini, atau mungkin dapat dipelajari secara ringkasan melalui tiga cara [berikut], sebagaimana ditegaskan oleh 'Abd al-Qahir al -Jurjânî, guru besar balaghah (syaikh al-balâghah), al-Zamakhsyari, dan al-Sakkâkî, dan al-Jâhidh.[2]
Jalan Pertama: Orang-orang Arab nomaden itu buta huruf, [tinggal] di lingkungan tidak biasa, yang cocok bagi mereka. Mereka tersentak oleh revolusi-revolusi besar [yang terjadi] di dunia. Buku kumpulan syair mereka (dîwânuhum) [yang menjadi kebanggaan mereka hanya terdiri dari] puisi, sementara ilmu mereka [hanya] balaghah, serta [sumber] kebanggaan dan kesombongan mereka ialah berbicara fasih (fasâhah) di pameran-pameran seperti 'Ukâz.[3] Mereka masyarakat paling cerdas, sehingga sangat membutuhkan petualangan pemikiran.
Pikiran mereka mengalami musim semi, [tumbuh bersemi]. Kemudian al-Qur'an Mulia muncul di antara mereka dengan puncak kefasihan balaghahnya yang bersahaja, mampu memandingi dan
[1] Lihat penjelasan Ibnu Abbas tentang ayat ini di Tafsir al-Thabari 1/160, Tafsir Ibnu Katsir 1/58, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas 5, al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi 1/85.
[2] Al-Jâhidh (163-255 H/780-869 M) adalah Amru bin Bahr bin Mahbub al-Laitsi Abu Utsman, sastrawan terkemuka, ulama Muktazilah kelompok Jahidhiyah, lahir dan wafat di Bashrah. Dia meninggal akibat kejatuhan berjilid-jilid kitab yang menimpanya, bertumpuk-tumpuk kitab menekan dadanya. Lihat biografinya di Mu'jam al-Udaba' 4/473, Sayr A'lam al-Nubala 11/526, al-A'lam 5/74.
[3] Pasar paling terkenal pada masa Jahiliyah, lihat Mu'jam al-Buldan ('a-k-dh) 4/142.
155. Page
mengalahkan arca-arca kebalaghahan mereka yang diwakili oleh Tujuh Puisi Gantung (al-mu'allaqât al-sab'a), yang ditulis dengan emas [dan digantung] di dinding Ka'bah.
Meskipun mereka orator-orator fasih ahli balaghah -- penguasa balaghah dan raja kefasihan -- mereka tidak bisa membantah Qur'an atau mengucapkan satu kata pun untuk berargumen. Padahal, begitu kerasnya Nabi S.a.w menantang dan mencela mereka, mencomel dan menegur mereka, mendiskreditkan kecerdasan mereka, terus memprovokasi mereka dalam waktu lama, mempermalukan mereka meskipun beberapa jago orator mereka dengan bangga merasa menyentuh langit dan sebagian lainnya dengan sombong merasa menggapai bintang. Jika mereka memang tidak ingin membantah [al-Qur'an] dan mengujinya, serta jika mereka tidak menyadari kelemahan mereka, sudah pasti mereka tidak akan tinggal diam menentang balik. Karena itu, ketidakmampuan total mereka [untuk menentang al-Qur'an] ini jelas merupakan bukti kemukjizatan al-Qur'an [yang mustahil mereka tiru].
Jalan Kedua: Para sarjana ahli ilmu, peneliti, dan kritikus yang mengetahui seluk-beluk kekhasan pidato, keistimewaan dan kedalamannya, telah mempelajari al-Qur'an surah demi surah, bagian demi bagian, ayat demi ayat, dan kata demi kata. Mereka pun bersaksi bahwa [al-Qur'an] merupakan gabungan dari keistimewaan, seluk-beluk kedalaman, dan hakekat, yang tidak ditemukan pernah tergabung dalam perkataan manusia. Terdapat ribuan [sarjana] yang bersaksi begitu. Dan yang membuktikan kebenaran kesaksian mereka adalah al-Qur'an menciptakan perubahan besar di dunia kemanusiaan, mendirikan agama yang tersebar luas, melanggengkan segala yang dikandung ilmu pengetahuan di hadapan zaman, setiap kali zaman menua ia malah meremaja, dan semakin banyak diulang-ulang ia justru kian manis. Karena itu, ﴾إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى﴿ "ini hanyalah wahyu diwahyukan." (Qs. al-Najm [53]: 4)
Jalan Ketiga:[1] Seperti ditunjukkan oleh al-Jahidh, betapa pun besar tuntutan para ahli kefasihan dan balaghah untuk membatalkan dan menggagalkan seruan Nabi S.a.w, dan betapa pun besar kebencian dan keras kepala mereka terhadap beliau, mereka tetap menyerah untuk menghadapi beliau secara verbal, suatu cara yang sebetulnya paling aman, mudah, dan paling langsung. Mereka malah memilih mengangkat senjata melawan beliau, meskipun ini cara yang paling sulit dan panjang, penuh bahaya dan tanpa kepastian akhir. Selain itu, dengan tingkat kecerdasan politik yang mereka miliki, mungkin saja mereka berusaha menyembunyikan perbedaan antara kedua cara tersebut. Orang yang menghindari cara pertama yang mungkin [diusahakan] -- dan ini akan lebih efektif menggagalkan usaha [Nabi] -- lalu mengambil cara yang menghadapkan harta dan hidupnya ke dalam bahaya, bisa jadi dia orang bodoh -- dan ini jauh dari sikap orang yang telah menguasai dunia setelah mereka diberi petunjuk -- atau bisa jadi dia merasa tidak berdaya menghadapi beliau dengan cara pertama lalu terpaksa mengambil cara kedua.
Jika engkau bertanya: Dimungkinkan untuk menentang [al-Qur'an], tapi bisa jadi hal itu tidak diusahakan karena beberapa alasan?
Engkau akan dijawab: Jika memang dimungkinkan, seharusnya sebagian orang akan semangat bergerak memperjuangkannya, dan jika mereka memang berhasrat tentu mereka sudah melakukannya karena besarnya tuntutan. Selain itu, jika mereka pernah membantah, pasti [bantahan mereka] itu sudah muncul ke permukaan, sebab itu banyak dicari, dan terdapat banyak alasan untuk dikenal. Dan jika [bantahan mereka] sudah dikenal, akan muncul banyak orang lain yang mendukung [usaha semacam itu], dan mempertahankannya. Orang-orang pun akan mengatakan bahwa [al-Qur'an] telah didebat, apalagi pada masa itu. Seandainya ada yang pernah melawan dan membela, meskipun karena kefanatikan, hal itu pasti sudah dikenal, sebab ini termasuk persoalan besar. Dan jika sudah terkenal, laporannya akan tercatat dalam sejarah, sama seperti mereka melaporkan ocehan Musailamah [sang pembohong] ketika ia mengatakan [dengan maksud meniru al-Qur'an]: "Gajah, apa gerangan gajah? Bagaimana engkau bisa mengenali gajah? Ia memiliki ekor pendek dan belalai panjang."[2]
[1] Jalan ini hujjah mematikan.
[2] Lihat ocehan Musailamah yang seperti ini di Kasyf al-Musykil di Musnad Abu Hurairah al-Dausi karya Ibnu al-Jauzi 3/320, al-Bidayah wa al-Nihayah 6/326.
156. Page
Jika engkau bertanya: Musailamah seorang orator fasih. Bagaimana mungkin kata-katanya begitu diejek dan dicemooh orang?
Engkau akan dijawab: Itu karena dia dinilai dengan sesuatu yang sekian derajat jauh lebih tinggi dari dirinya. Apakah engkau tidak menyadari bahwa jika seseorang dibandingkan dengan Nabi Yusuf a.s, dia akan kelihatan jelek meskipun mungkin dia tampan? Karena itu, jelas tidak mungkin menandingi al-Qur'an. Al-Qur'an itu mukjizat.
Jika engkau bertanya: Orang-orang skeptis telah menyuarakan banyak keberatan dan keraguan atas susunan tata bahasa al-Qur'an dan kata-katanya, seperti, ﴾إِنْ هَذَانِ﴿"in hâdzâni"[1] (20:63), ﴾وَالصَّابِئُون﴿"al-shâbi'ûna"[2] (5:69), dan ﴾الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا﴿"alladzi istawqada nâran."[3] (2: 17)? Dan banyak contoh pertentangan nahwu lainnya.
Engkau akan dijawab: Engkau hendaknya merujuk kesimpulan al-Sakkâkî [di dalam kitabnya] al-Miftâh, karena dia secara efektif membungkam [para penentang tersebut] dengan mengatakan: "Apakah mereka tidak menyadari bahwa siapa yang mengulang-ulangi perkataannya di sepanjang waktu, padahal secara sepakat dia diakui seorang yang fasih, bagaimana mungkin dia tidak merasakan kekeliruan yang [diklaim] tampak di pandangan orang-orang dungu itu?"
Aspek kedua dari nadzam ayat ini [dan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya]:
Ketahuilah, ketika ayat sebelumnya memerintahkan ibadah, pendengar bertanya-tanya dalam pikirannya: "Bagaimana kita harus beribadah?" Dan seolah-olah ia menjawab: "Sebagaimana yang diajarkan al-Qur'an padamu!" Lalu orang itu kembali bertanya: "Bagaimana kita bisa tahu bahwa itu firman Allah Yang Maha Tinggi?" Dan ia menjawab dengan mengatakan: ﴾وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا﴿"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami" dan seterusnya (Qs. al-Baqarah [2]: 23).
Adapun nadzam kalimat ayat ini dan [hubungan] frasanya satu sama lain:
Kalimat وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا﴿ telah jatuh di tempat yang tepat, karena ketika al-Qur'an memerintahkan ibadah, seolah-olah ia ditanya: "Bagaimana bisa kita mengetahui bahwa itu perintah Allah, dan bahwa kita harus mematuhinya?" Dan ia menjawab: "Jika engkau ragu, cobalah sendiri [membuat sesuatu yang mirip dengannya], maka engkau akan yakin bahwa itu perintah Allah."
Aspek lain dari nadzam ayat ini: Al-Qur'an, setelah memuji dirinya dengan kalimat ﴾ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴿"kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa" (2: 2), kemudian pujiannya diikuti pujian orang-orang beriman, dan setelah pergi ia melanjutkan dengan mengecam orang-orang kafir dan orang-orang munafik, kemudian melanjutkan dengan perintah ibadah dan penegasan kesatuan Allah, dan sekarang kembali ke awal dan mengarahkan perhatian ke frasa, "tidak ada keraguan padanya." Artinya, tidak ada keraguan dapat ditujukan kepada al-Qur'an; jika engkau memiliki keraguan, itu pasti muncul dari hati kalian yang sakit dan dari tabiat kalian yang sakit-sakitan, seperti [dikatakan dalam syair]:
قَدْ تنكر العين ضوء الشمس من رمد وينكر الفم طعم الماء من سقم
Cahaya matahari kadang diingkari mata karena asap
Aroma air kadang ditolak mulut karena sakit.[4]
[1] Qs. Thaha [20]: 63. Tanda huruf di sini diberikan menurut qiraat orang yang mentasydidkan "nun" di kata "inna," sehingga mestinya "hâdzâni" dibaca nashab yang merupakan qiraat Nafi', Ibnu 'Amir, Hanzah, al-Kasai, Abu Bakar bin 'Ashim. Lihat al-Sab'ah fi al-Quraat 419, Hujjat al-Qiraat karya Ibnu Zanjalah, Ta'wil Musykilat al-Qur'an karya Ibnu Qutaibah 50, Mu'jam al-Qiraat karya Dr. Abdul Lathif al-Khathib 5/448.
[2] Qs. al-Maidah [5]: 69. Tanda huruf mestinya memberi harkat rafa' pada kata "al-shâbi'ûna" karena terkait dengan kata sebelumnya. Ini merupakan qiraat Ibnu Katsir, Ibnu Muhaishin, Said bin Jabir dan al-Juhdari. Lihat Ithaf Fudlala' al-Basyar 202/312, Musykilat I'rab al-Qur'an karya Makki bin Abi Thalib 1/232, Ta'wil Musykilat al-Qur'an karya Ibnu Qutaibah 52.
[3] Qs. al-Baqarah [2]: 17, mestinya berbentuk jamak. Lihat Ta'wil Musykilat al-Qur'an 361.
[4] Lihat di Diwan Imam Syaraf al-Din al-Bushiri.
157. Page
Adapun nadzam kalimat, ﴾فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ﴿ "buatlah satu surat saja yang semisal [al-Qur'an]," maka ketahuilah bahwa ini merupakan balasan syarat ["jika kamu (tetap) ragu"], dan balasan syarat harus merupakan konsekuensi dari kata kerja kondisional. Dan karena perintah ["buatlah satu surah saja ..."] dimaksud untuk memprovokasi (ta'jîzî), ia memerlukan perintah tersirat, "berupayalah! (تشبثوا - tasyabbatsû)." Dan karena perintah ini mengisyaratkan sesuatu yang baru (insyâ'), dan yang ini tidak boleh berupa akibatnya, maka konsekuensi dari perintah itu harus sesuatu yang selain dari balasan syarat tersebut. Dan inilah kewajiban yang merupakan salah satu makna dasar perintah. Lalu, kewajiban untuk berupaya juga tidak muncul menjadi konsekuensi dari keraguan mereka, jadi ini membutuhkan kalimat tersirat yang tersembunyi di balik ayat. Kalimat yang tersirat adalah: "Jika engkau ragu bahwa ini firman Allah, engkau harus mempelajari sifat kemukjizatan, sebab sesuatu yang mukjizat tidak bisa berupa manusia, dan Muhammad S.a.w adalah manusia. Jika engkau menginginkan kemukjizatan menjadi jelas, berusahalah sendiri [menghasilkan sesuatu yang mirip,] dan sesudah engkau tidak mampu melakukannya, hal itu akan menjadi jelas. Itu berarti engkau wajib berusaha menghasilkan surah yang mirip dengannya."
Betapa baik wahyu Allah ini! Betapa ringkas! Betapa penuh mukjizat!
Adapun nadzam﴾وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴿ - wad'û syuhadâakum min dûni Allâh (“dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah”), ia memiliki “tiga aspek”:
Pertama: Mereka mengatakan: "Ketidakmampuan kami [menghasilkan sesuatu yang seperti itu] tidak membuktikan bahwa semua manusia tidak mampu." Maka, mereka pun dibungkam dengan kata-kata: شُهَدَاءَكُمْ ﴾ وَادْعُوا ﴿"dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah" yaitu, para pembesar dan pemimpin kalian.
Kedua: Mereka menyatakan: "Jika kami menentang [al-Qur'an], lantas siapa yang akan mendukung dan membela kami?" Maka, mereka pun dibungkam dengan kata-kata: "Setiap sikap pasti memiliki pengikut fanatiknya. Jika kalian menentangnya, pasti ada pendukung yang akan muncul membela kalian."
Ketiga: Seolah-olah al-Qur'an mengatakan: "Rasulullah S.a.w memohon saksi kepada Allah Yang Maha Tinggi, Allah pun menyaksikan kebenaran beliau dengan menempatkan cap kemukjizatan pada seruan beliau. Maka, jika tuhan-tuhan dan saksi-saksi yang ada pada kalian dianggap berguna, panggillah mereka! " Dengan cara ini, [al-Qur'an] menuangkan puncak cemoohan pada mereka.
Nadzam dan hubungan ﴾فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا﴿ - fa-in lam taf'alû (“maka jika kamu tidak dapat membuatnya”) sudah sangat jelas. Sebab, ia menyiratkan ungkapan berikut: "Jadi usahakanlah, tapi lihatlah, [kalian ternyata tidak bisa!] Dan jika kalian tidak bisa, itu jelas kalian tidak mampu melakukannya!"
Adapun nadzam ﴾وَلَنْ تَفْعَلُوا﴿ - wa lan taf'alû (“dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya”): Seolah-olah ketika ia mengatakan "لم تفعلوا - lam taf'alû (kamu pasti belum membuatnya)," salah seorang dari samping mereka lalu berkata, "Hanya karena kami belum mampu melakukannya, bukan berarti umat manusia akan mampu melakukannya di masa yang akan datang." Maka, ia pun menjawab, ﴾وَلَنْ تَفْعَلُوا﴿. Ini mengisyaratkan kemukjizatan dalam “tiga aspek”:
Pertama: Mengabarkan hal gaib, dan itu terjadi seperti yang diprediksi. Sebagaimana engkau ketahui, jutaan buku berbahasa Arab telah berusaha meniru gaya bahasa wahyu, dan banyak pembandel [yang mendustakannya]. Namun, jika engkau teliti, tidak satu pun dari mereka berhasil. Seolah-olah jenisnya terbatas pada sosoknya. Bisa jadi [al-Qur'an] kalah di bawah semua, tapi ini disepakati tidak mungkin. Dengan demikian, tak boleh tidak pasti ia yang lebih unggul di atas semua.
Aspek Kedua: Pembungkaman dan cercaannya terhadap mereka, celaaanya terhadap mereka karena tidak mau melakukannya, serta provokasinya terhadap mereka, sementara [Rasulullah] berada dalam situasi genting dan di dalam seruan dakwah yang besar, merupakan pembenaran pasti bahwa beliau dapat diandalkan, terpercaya, dan percaya diri, dalam harta maupun kata-katanya.
158. Page
Aspek Ketiga: Seolah-olah al-Qur'an mengatakan: "Kalian jago berpidato fasih dan yang paling perlu [membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an], namun kalian belum bisa, bahkan tidak akan ada orang yang bisa melakukannya!"
Selain itu, di dalamnya terdapat isyarat bahwa sama seperti masa lalu yang tidak bisa menghasilkan sesuatu yang mirip dengan Islam, yang merupakan hasil al-Qur'an, demikian pula halnya masa depan tidak akan mampu memproduksi sesuatu yang serupa [dengan al-Qur'an].
Adapun nadzam﴾فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴿ - fa-'ttaqû al-nâr allatî waqûduhâ al-nâs wa al-hijârah (“peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu”): Ketahuilah bahwa diurutkannya kata ﴾إن لم تفعلوا﴿ diikuti kata ﴾فَاتَّقُوا﴿ menuntut kalimat tersirat berikut ini, menurut selera rasa balaghah:" Karena Anda belum mampu melakukannya dan Anda tidak akan dapat melakukannya, jelas itu mukjizat. Ia Firman Allah, karena itu kalian wajib beriman padanya dan mematuhi perintahnya. Dan salah satu perintahnya, "Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu supaya kalian terjaga dari api neraka! Takutilah api neraka!" Lihat, betapa singkat, betapa luar biasa!
Adapun nadzam﴾الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴿ - allati waqûduha al-nâs wa al-hijârah (“[neraka] yang bahan bakarnya manusia dan batu”): Ketahuilah bahwa kata ﴾فَاتَّقُوا﴿ - fa-'ttaqû bertujuan untuk menakut-nakuti (targhîb), dan telah diperkuat [di sini dengan diikuti kata "api"] yang bermakna intensif, untuk menakut-nakuti mereka dengan ﴾وَقُودُهَا النَّاسُ﴿ - waqûduha al-nâs (“yang bahan bakarnya manusia”). Sebab, api yang diberi bahan bakar manusia akan lebih menakutkan dan mengerikan. Kemudian, itu lebih diintensifkan lagi dengan ditambah [dengan bahan bakar] batu. Sebab, [api] yang membakar batu akan memberi pengaruh lebih ganas. Hal ini juga mengisyaratkan pencegahan mereka dari penyembahan berhala. Maksudnya, jika kalian tidak mematuhi perintah Allah dan kalian tetap menyembah berhala batu, kalian akan masuk ke dalam api yang memakan para penyembah dan sembahan mereka sekaligus.
Mengenai nadzam﴾أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ﴿ - u'iddat li'lkâfirin (“disediakan bagi orang-orang kafir”): Ini memperjelas dan menegaskan konsekuensi (luzûm) antara kata kerja kondisional "jika kalian tidak bisa" [sebagai syarat] dan balasannya "kemudian takut." Artinya, musibah ini tidak seperti badai, angin ribut, dan bencana [alami] lainnya yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja tetapi juga mengena orang-orang baik dan pilihan; tapi [api neraka] itu hanya khusus [disiapkan] bagi para pelaku yang dipengaruhi kekufuran, dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri darinya hanya dengan mematuhi al-Qur'an.
Selain itu, kata ﴾أُعِدَّتْ﴿ - u'iddat (“disiapkan”) menunjukkan bahwa neraka diciptakan dan diadakan, berbeda dari anggapan Muktazilah.
Selanjutnya, inilah yang menunjukkan dan membuat engkau mengira bahwa neraka itu kekal: Jika engkau merenungkan dunia dari sudut pandang hikmah, engkau akan melihat api sebagai makhluk besar, berkuasa dan menaklukkan, seolah-olah ia unsur dasar dari dunia atas dan bawah. Dan engkau akan mengerti bahwa itu terdiri dari kepala besar dan buah-buah aneh yang menggantung hingga ke [alam] kekekalan.
Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang melihat tangkai panjang yang menjulur di sepanjang [tanah] akan mengerti ada melon di ujungnya.
Demikian pula orang yang melihat makhluk api akan mengerti bahwa pada ujungnya terdapat buah pahit (hanzalah) neraka.
Demikian juga, siapa pun yang melihat nikmat, hal-hal baik, dan kelezatan, akan menduga bahwa ekstraknya, tempat curahnya, dan kebunnya, adalah surga.
Jika engkau bertanya: Kalau neraka memang ada sekarang, di mana letaknya?
Engkau akan dijawab: Kami Ahlus Sunnah wal Jamaah percaya bahwa neraka itu sudah ada sekarang, tapi kami tidak bisa menentukan tempatnya di mana.
159. Page
Jika engkau bertanya: Arti literal beberapa hadits menunjukkan bahwa neraka berada di bawah bumi. Hadits lain mengatakan bahwa api itu dua ratus kali lebih dahsyat dan lebih panas dari api dunia, dan bahwa matahari juga akan masuk neraka?[1]
Engkau akan dijawab: Ungkapan "di bawah bumi" berarti intinya, sebab pusat berada di bawah bola dunia. Telah ditetapkan oleh teori-teori hikmah[2] (ilmiah), panas (lit. api) di pusat [bumi] mencapai dua ratus ribu derajat. Sebab, setiap engkau menggali tiga puluh tiga hasta komersial (dzirâ' al-tujjâr)[3] ke dalam bumi, suhu akan meningkat satu derajat, dan di pusat [suhunya] sekitar dua ratus ribu derajat. Teori ini sesuai dengan hadis yang mengatakan bahwa [panasnya] dua ratus kali lebih panas dari api dunia.
Selain itu, dalam hadis lain dikatakan bahwa sebagian api [neraka] ini beku (zamharîr) yang membakar dengan dinginnya.[4] Hal ini sesuai dengan teori ini, sebab api di pusat meliputi semua derajat [panas] api. Dan telah ditegaskan di dalam ilmu alam [hikmah thabî'iyyah] bahwa ada derajat panas (lit. api) yang secara spontan menarik panas sekitarnya dan membakar dengan dinginnya, serta membekukan air.
Jika engkau bertanya: Perut bumi itu kecil, bagaimana ia akan memuat neraka, yang akan meliputi langit dan bumi?
Engkau akan dijawab: Ya, jika itu dilihat dari dunia nyata ini (al-mulk) dan [neraka] yang 'digulung' (al-matwîyyah), meskipun ia dikandung oleh bumi. Tapi dilihat dari akhirat, ia akan menjadi begitu besar hingga mencakup ribuan [bola] mirip dengan [bola] bumi. Bahkan, dunia nyata ('alam al-syahâdah) bagaikan tirai yang mencegah kontak antara api ini dengan seluruh cabang (bagiannya). Yang terdapat di perut bumi tidak lain adalah pusatnya, rahasianya, dan intinya.
Selain itu, keberadaannya di bawah bumi tidak menghendakinya bersentuhan langsung dengan bumi. Itu karena cabang-cabang pohon penciptaan telah menghasilkan buah-buah seperti matahari, bulan, bintang, bumi kita, dan bumi-bumi lainnya. Jadi apa yang terletak di bawah buah meliputi daerah di antara cabang-cabang di mana ia ditemukan. Wilayah kekuasaan (mulk) Allah Yang Maha Tinggi memang sangat luas, dan pohon penciptaan tersebar [ke seluruhnya], sehingga ke mana pun neraka berjalan ia tak dapat dibendung.
Dikatakan dalam hadis: "Neraka digulung." Ini mungkin berarti, neraka adalah telur dari bumi kita yang terbang, dan ketika tabir dunia nyata ini pecah, maka telur itu akan robek, memamerkan giginya kepada para pendosa. Bisa jadi, hal yang menyebabkan kaum Muktazilah keliru dan jatuh ke dalam kesalahan [dengan pendapat mereka] bahwa wujud neraka tidak ada sekarang ini, tidak lain adalah [persoalan neraka] yang 'digulung' ini.
Adapun nadzam [dan hubungan] bagian-bagian dari frasa:
Ketahuilah, huruf "الواو - wâw (dan)" yang terdapat di ﴾وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا﴿ - wa in kuntum fi raybin mimmâ nazzalnâ 'alâ 'abdina (“dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami”) [sengaja ditempatkan demikian] karena hubungan antara dua kalimat
[1] Diriwayatkan Bukhari di Shahihnya dari Ismail bin Abi Uwais yang berkata dia menerima kabar dari Malik dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah S.a.w yang bersabda, "Api kalian sebagian dari tujuh puluh bagian neraka jahanam." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, jika itu cukup." Beliau berkata, "Maka ia di sana menjadi enam puluh sembilan bagian, semuanya seperti panasnya." Lihat Shahih al-Bukhari 3/1191 kitab Bud'u al-Khalqi, bab sifat api dan bahwa ia makhluk, hadits no 3092.
[2] Hikmah ialah ilmu tentang hal-ihwal wujud makhluk maujud seperti apa adanya di dalam jiwa sesuai kemampuan manusia. Hikmah alam membahas tentang hal-ihwal jasad alami yang wujudnya bukan menurut kemampuan kita. Lihat Dustur al-'Ulama 2/32, Abjad al-'Ulum 2/246.
[3] Salah satu ukuran panjang, sekitar 64 cm. Lihat al-Mu'jam al-Wasith (dz-r-'a) 2/246.
[4] Diriwayatkan al-Bukhari di dalam Shahihnya dari Abu Hirairah dari Nabi S.a.w yang bersabda, "Jika panas bertambah, usahakan mendinginkan diri dengan shalat, sebab keras panas berasal dari mulut api neraka." Lalu api mengadu pada Tuhannya dengan berkata, "Ya Rabb, aku saling memakan satu sama lain. Izinkan kami menjadi dua jiwa, satunya musim panas dan satunya lagi musim dingin." Dan itulah yang kalian temukan, panas paling puncak dan dingin paling beku." Lihat Shahih al-Bukhari 1/199 kitab waktu shalat bab mendinginkan diri dengan shalat dhuhur saat kerasnya panas, hadits no 512.
160. Page
yang saling terkait -- [yaitu ayat ini dan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu" (2: 21), tapi tidak ada hubungan yang terlihat] -- mengisyaratkan penentuan [makna]: "sebagaimana diajarkan al-Qur'an kepada kalian."
Penggunaan ﴾إِنْ﴿ (“jika”) yang menyatakan keragu-raguan, bukannya "إذا - idza" yang menegaskan kepastian dan menyelesaikan, meskipun memang jelas bahwa mereka berada dalam keadaan ragu-ragu, itu menunjukkan bahwa karena faktor-faktor penyebab hilangnya keraguan mereka sudah muncul, maka keberadaan mereka harus diragukan, atau bahkan mustahil; keberadaan mereka bisa saja hanya bersifat hipotetis.
Juga, keraguan yang diungkapkan melalui ﴾إِنْ﴿ [maknanya] dilihat melalui gaya bahasa [sastra] dan bukan dikias kepada [Allah] Yang Maha Pembicara S.w.t.
Penggunaan kata ﴾كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ﴿ - kuntum fi raybin (“kamu dalam keraguan”) ketimbang [bentuk lisan] "ارتبتم - irtabtum (engkau meragukan)" meskipun yang ini lebih ringkas, menunjukkan bahwa sumber keraguan mereka adalah tabiat dan karakter mereka yang sakit. Dan keragu-raguan menguasai (dharfiyyah) mereka meskipun ia terkondisikan (madhrûf) bagi hati mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa gelapnya keraguan telah menyebar dari hati mereka sehingga menguasai seluruh raga fisik mereka, lalu semua jalan [kebenaran] pun tertutupi oleh kegelapan.
Penggunaan bentuk kata tak terbatas (nakirah) untuk ﴾رَيْبٍ﴿ - rayb (“keraguan”) dimaksud untuk membuatnya bersifat umum. Artinya, jenis keraguan apa pun yang kalian rasakan, jawabannya adalah sama dan satu, yaitu: [al-Qur'an] penuh mukjizat dan benar! Dengan demikian, sikap kalian yang menyalahkan [al-Qur'an] dikarenakan pandangan kalian yang dangkal, itu merupakan kesalahan, dan setiap keraguan tidak mesti diberi jawaban khusus. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang melihat muara air dan merasakan airnya yang jenih dan segar, tidak perlu lagi mencoba mencicipi [air] di semua aliran cabang dan rantingnya!
Kata [partitif] "من - min" pada ﴾مِمَّا نَزَّلْنَا﴿ - mimmâ nazzalnâ (“dari yang Kami wahyukan”) menegaskan kata-kata tersirat 'pada bagian dari sesuatu' (fi shay'in mimmâ).
Kata ﴾نَزَّلْنَا﴿ - nazzalnâ (“kami telah wahyukan”) menunjukkan bahwa sumber keraguan mereka adalah sifat wahyu [al-Qur'an] (lit. kewahyuan). Dan jawaban qath'i membuktikan wahyu [al-Qur'an] saja.
Pilihan [bentuk kata kerja kedua] ﴾نَزَّلْنَا﴿ - nazzalnâ yang menunjukkan wahyu diturunkan bertahap, bukan [kata kerja bentuk keempat] "أنزلنا - anzalnâ" yang menunjukkan wahyu itu diturunkan tiba-tiba, mengisyaratkan alasan mereka tampil mengatakan, "Mengapa ia tidak diturunkan kepada beliau sekaligus?" Malah, al-Qur'an diturunkan secara bertahap sesuai tuntutan peristiwa, sesuai keadaan, ayat demi ayat, surah demi surah.
Pilihan kata ﴾عبد﴿ - 'abd (“hamba [atau budak belian]”) ketimbang 'النبي - Nabi' atau 'محمد - Muhammad':
Menunjukkan pengagungan Nabi
Menunjukkan tingginya sifat ibadah
Menguatkan perintah "﴾اعبدوا﴿ - Sembahlah!"
Mengisyaratkan penolakan terhadap angan-angan bahwa Nabi S.a.w melakukan ibadah lebih dari orang lain, dan membacakan al-Qur'an lebih dari orang lain. Renungkan hal ini!
Kalimat ﴾فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ﴿ - fa-'tû bi-sûratin min mitslihi (“buatlah satu surat saja yang semisal dengannya”): Perintah ﴾فَأْتُوا﴿ - fa-'tû [bertujuan] menampilkan ketidakmampuan mereka, dan itu terdiri dari tantangan, kecaman, dan ajakan pada mereka untuk melawan [tantangan itu], dan usaha untuk memperjelas ketidakmampuan mereka melakukan hal itu.
Sementara kata ﴾بِسُورَةٍ﴿ - bi-sûratin menunjukkan puncak akhir [upaya al-Qur'an] membungkam, mencemooh, dan menekan mereka. Sebab, [tingkatan tantangannya sebagai berikut]:
Tingkat Pertama Tantangan: Ia mengatakan: "Buatlah sesuatu yang sejenis al-Qur'an seluruhnya bersama-sama dengan hakekatnya, ilmunya, pekabarannya tentang hal gaib, berikut susunan katanya yang tinggi, semua dari seseorang yang buta huruf."
Tingkat Kedua: Ia mengatakan: "Jika engkau tidak bisa melakukan itu, karanglah sesuatu, tapi dengan susunan kata yang sama fasihnya.
161. Page
Tingkat Ketiga: Ia mengatakan: "Jika engkau tidak bisa melakukan itu, buatlah sekitar sepuluh surah."
Tingkat Keempat: Jika engkau tidak mampu melakukan itu dengan baik, buatlah [yang setara] surah panjang.
Tingkat Kelima: Jika itu terlalu sulit juga bagimu, buatlah satu surah meskipun sangat pendek seperti ﴾إنا أعطيناك﴿ - inna a'thainâka (“sungguh, Kami telah memberimu nikmat yang banyak”), (Qs. al-Kautsar [108]: 1), dari seseorang yang buta huruf seperti beliau.
Tingkat Keenam: Jika tidak mungkin bagimu memilikinya, dengan dibuat oleh seseorang yang buta huruf, silahkan cari sarjana mahir atau penulis terampil untuk melakukannya.
Tingkat Ketujuh: Jika itu terlalu sulit juga bagimu, silahkan beberapa orang dari kalian bekerja sama untuk membuatnya.
Tingkat Kedelapan: Dan jika Anda tidak bisa melakukan itu, carilah bantuan dari semua orang dan jin, bantuan dari semua hasil pengetahuan mereka bersama sejak zaman Adam sampai akhir dunia, beserta ide-ide yang ditemukan dalam buku-buku yang tersedia bagimu tentang bahasa Arab dan gaya bahasanya, yang ditulis dengan keinginan untuk meniru [al-Qur'an] atau dari sikap keras kepala mereka yang ingin menentangnya. Jangankan ulama otoritatif, seseorang yang kecerdasannya rendah atau bahkan bodoh tapi pernah mempelajari [buku-buku tersebut], ia akan menyatakan bahwa tidak satu pun darinya yang mirip dengan [al-Qur'an], Jadi, bisa jadi [al-Qur'an] kalah dengan mereka semua, dan ini tidak mungkin sebagaimana disepakati, atau ia unggul atas [buku-buku itu] semua. Dan inilah apa yang dikehendaki, seperti telah disebutkan di atas.
Ya, memang belum [ada yang berhasil] menentangnya selama tiga belas abad. Dan seperti yang terjadi di masa lalu, demikian pula yang akan terjadi di masa depan, sampai hari kiamat.
Tingkat Kesembilan: Ia mengatakan: Jangan memprotes dengan mengatakan bahwa kami tidak memiliki saksi dan kalian tidak bersaksi atas kami. Pergi dan panggillah para saksi dan pendukung fanatis kalian, biarkan mereka berbicara dengan hati nurani mereka; apakah mereka akan berani membenarkan klaim kalian yang menentang [al-Qur'an] itu?!
Jika engkau telah memahami tingkatan-tingkatan ini, sekarang perhatikan bagaimana al-Qur'an merupakan mukjizat di keringkasannya yang menunjukkan tingkatan-tingkatan ini, membungkam mereka secara efektif, tapi melonggarkan kekang mereka [untuk memberi mereka kesempatan membalas]!
Selanjutnya, ketahuilah bahwa ketidakmampuan manusia untuk membantah [al-Qur'an] bahkan satu surah terpendeknya sekali pun, itu merupakan argumen yang jelas dari akibat ke sebab (inniyyatuhû badîhîyyah). Adapun yang sedang berdebat dari sebab ke akibat (limmîyyatuhû), dikatakan "Allah Yang Maha Tinggi mencegah orang untuk membantah." Mazhab [paling benar mengenai argumen dari sebab ke akibat ini] adalah yang diikuti oleh 'Abd al-Qahir al-Jurjani, al-Zamakhsyari, dan al-Sakkâkî. Mazhab ini menyatakan bahwa "Kemampuan manusia tidak menjangkau derajat [kemampuan untuk menulis al-Qur'an] dengan susunan katanya yang tinggi."
Selain itu, al-Sakkâkî memilih [pandangan] bahwa kemukjizatan (i'jâz) itu hanya dapat dirasakan (dzawqî) dan tidak dapat dinyatakan atau diterangkan. Hal itu hanya bisa dialami.
Tapi penulis Dalail al-I'jaz [al-Jurjani] lebih memilih [pandangan] bahwa dimungkinkan untuk mengungkapkannya, dan kami mengikuti mazhabnya dalam masalah ini.
Pilihan kata ﴾سُورَة﴿ - sûrah ketimbang kata-kata seperti "najm, thâ'ifah, atau nawbah" menunjukkan [al-Qur'an] membungkam mereka [dengan menjawab] sumber keraguan mereka, yaitu, "Mengapa bukan mewahyukan kepadanya sekaligus?" Artinya, [al-Qur'an mengatakan kepada mereka:] "Silahkan kalian buat beberapa, bahkan meskipun hanya satu potongan pendek!"
Pilihan kata ﴾سُورَة﴿ juga berarti bahwa terdapat banyak manfaat dalam al-Qur'an yang dibagi menjadi surah-surah, seperti yang telah dijelaskan oleh al-Zamakhshari, dan bahwa metode yang tidak biasa ini mengandung banyak kelembutan (lathâif).
162. Page
Ungkapan ﴾مِنْ مِثْلِه﴿ - min mitslihi (“yang semisal dengannya”) mengandung dua makna: Yaitu, [kata ganti "hi" mengacu] pada sesuatu yang diwahyukan (al-munzal), [al-Qur'an - yaitu, "buatlah surah seperti yang ada dalam al-Qur'an"], atau mengacu ke seseorang yang diberi wahyu (al-munzal 'alaihi), [Rasulullah - yaitu, "Carilah seseorang yang buta huruf seperti beliau untuk membuatnya."]
Ketahuilah, jika [maknanya] mengacu pada yang pertama, seharusnya diungkapkan "مثل سورة منه - mitsli sûratin minhu," tetapi di sini dinyatakan ﴾مِنْ مِثْلِه﴿ - min mitslihi. Ini menunjukkan bahwa perhatian harus diberikan kepada kemungkinan [makna] kedua. Yakni, "Tantangan kalian akan dapat membatalkan seruan beliau hanya jika ada seorang buta huruf seperti beliau [Nabi S.a.w] yang melakukannya."
Hal ini juga menunjukkan bahwa kemukjizatan [al-Qur'an] bisa dibatalkan hanya jika dibantah oleh majmû' [atau koleksi karya sastra - yaitu, jika surah yang dihasilkan merupakan bagian dari karya lengkap] seperti [al-Qur'an].
Demikian pula, itu merupakan sindiran untuk mengarahkan perhatian pada kitab-kitab suci samawi lain yang diwahyukan seperti al-Qur'an, sehingga pendengar mungkin dapat menimbangnya dalam pikirannya, lalu memahami ketinggian al-Qur'an.
Kalimat ﴾وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴿ - wad'û syuhadâ'akum min dûn Allâh (“dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah”): Pilihan kata ﴾ادْعُوا﴿ - ud'û bukan 'استعينوا - carilah bantuan' atau 'استمدوا - mintalah pertolongan' menunjukkan bahwa orang yang mungkin akan mendukung mereka dan membela mereka bukannya tidak ada, tapi sudah ada [bersama mereka], dan tidak perlu diajak.
Kata ﴾شُهَدَاءَ﴿ - syuhadâ' (“penolong”, lit. saksi) terdiri dari tiga makna, yaitu:
Pembesar kalian dalam kefasihan [berbahasa Arab],
Orang yang mengamati [menyaksikan] kalian,
Dewa-dewa kalian.
Dilihat dari [makna] yang "pertama", ia membungkam mereka dengan menyanggah argumen mereka bahwa ketidakmampuan mereka sendiri tidak membuktikan bahwa para pemuka sastra mereka tidak memiliki kemampuan [untuk meniru al-Qur'an].
Dilihat dari [makna] yang "kedua", ia membungkam mereka dengan memotong alasan mereka bahwa mereka tidak memiliki saksi, sebab setiap pandangan dan sikap harus memiliki pembela dan saksi.
Dilihat dari [makna] yang "ketiga", ia menegur dan mengejek mereka, dengan bertanya mengapa dewa mereka yang mereka harapkan bermanfaat dan mampu mengusir bahaya, tidak membantu mereka dalam urusan yang mengganggu mereka ini.
Penyematan kata ﴾شُهَدَاءَ﴿ - syuhadâ' ke akhiran pronominal ﴾كُمْ﴿ -kum (“kalian”) yang menunjukkan kekhususan, memperkuat makna pertama [di atas]: "Para pembesar kalian hadir bersama kalian, dan memiliki [ikatan] khusus dengan kalian. Jika mereka memiliki kemampuan untuk membantu kalian, pasti [mereka melakukannya]."
Hal ini juga mengungkapkan "makna kedua" seperti ini: "Kami menerima kesaksian orang yang mendukung kalian dan partisan kalian, sebab mereka tidak akan berani bersaksi untuk sesuatu yang jelas-jelas batil."
Dan ia pun mengambil "makna ketiga" dengan lengannya seraya mengolok-olok, dengan mengatakan: "Mengapa para dewa yang kalian sembah tidak membantu kalian?"
Lafadz ﴾مِنْ دُونِ اللَّه﴿ - min dûn Allâh (“selain Allah”):
Dilihat dari [makna] yang "pertama": Frasa ini menunjukkan sifat umum; yaitu, [panggillah] semua ahli kefasihan bahasa di seluruh dunia, selain Allah Yang Maha Tinggi. Demikian pula, ini menunjukkan bahwa kemukjizatan [al-Qur'an] tak lain karena [kemukjizatan] itu dari Allah.
Dilihat dari [makna] yang "kedua": Frasa ini menunjukkan ketidakmampuan dan kebingungan mereka ketika mereka mengatakan: "Allah adalah saksi kami. Allah mengetahui bahwa kami bisa melakukannya." Karena, sudah menjadi kebiasaan orang kalah dalam berargumen, dia mengurangi ketidakmampuannya dengan bersumpah kepada Allah dan mengajak-Nya untuk menyaksikan apa yang tidak mampu dia buktikan.
163. Page
Dilihat dari [makna] yang "ketiga": Frasa ini menunjukkan bahwa penentangan mereka terhadap Nabi S.a.w tak lain sikap mereka menghadapkan syirik dengan tauhid, dan benda-benda mati dengan Sang Pencipta langit dan bumi.
Kalimat ﴾إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِين﴿ - in kuntum shâdiqîn (“jika kamu orang-orang yang benar”) mengisyaratkan ucapan mereka: "Jika kami ingin, tentu kami bisa mengatakan sesuatu yang mirip."
Hal ini juga menyindir: "Kalian bukan orang jujur. Kebenaran kalian hanya hipotetis. Bahkan, kalian hanya mengucapkan omongan kosong. Dan kalian tidak jatuh ke dalam keraguan karena kalian sedang mencari kebenaran, tapi karena kalian sedang mencari kepalsuan, dan kalian jatuh ke dalamnya."
Selanjutnya, konsekuensi dari kata kerja kondisional ["jika apa yang kalian katakan"] ini adalah keseluruhan dan substansi dari frasa sebelumnya, yaitu, "lakukanlah!" [Artinya, "Jika apa yang kalian katakan itu benar, maka cobalah menghasilkan sesuatu yang serupa dengannya."]
Kalimat, ﴾فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا﴿ - fa-in lam taf'alû wa lan taf'alû (“maka jika kamu tidak dapat membuatnya, dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya”): Ketahuilah bahwa dengan kalimat ﴾إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿ - in kuntum shâdiqîn, al-Qur'an hendak menghadapi mereka dengan silogisme kondisional (qiyas istitsnai), mengecualikan kebalikan dari kalimat berikutnya untuk melahirkan kebalikan dari kalimat yang sebelumnya.
Ringkasan:"Jika kalian memang jujur, kalian akan melakukan penentangan dan membuat surah. Tapi, kalian tidak melakukannya dan kalian tidak akan [bisa] melakukannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kalian tidak jujur. Sementara [di sisi lain,] musuh kalian -- yaitu Nabi S.a.w -- adalah seorang yang jujur, sehingga dengan demikian al-Qur'an adalah mukjizat, yang wajib kalian percayai agar kalian selamat dari azab [neraka]!" Lihat betapa ringkas wahyu ini, sehingga begitu penuh mukjizat!
Kemudian, ia mengatakan: ﴾إِنْ لَمْ تَفْعَلُوا﴿ - in lam taf'alu (“jika kamu belum membuat”), bukan "لكن ماتفعلون - lâkin mâ taf'alûn (tapi kamu tidak membuat)," ini menunjukkan melalui keraguan yang ditampilkan dengan ﴾إِنْ﴿- in (“jika”) sesuai kecurigaan mereka, dan melalui persyaratan yang mengharuskan kebalikan dari kalimat berikutnya, bagi kebalikan dari kalimat yang sebelumnya.
Selanjutnya, penyebutan tempat hasilnya, yaitu kebalikan dari [kalimat] sebelumnya, maksud saya, "tapi kalian tidak jujur," itu merupakan urutan ketiga dari tiga konsekuensi berturut-turun dari penyebab ('illat), yang berupa ﴾فَاتَّقُوا النَّار﴿ - fa-'ttaqû al-nâr (“peliharalah dirimu dari neraka”), untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan mengancam mereka.[1]
Adapun ﴾إِنْ لَمْ تَفْعَلُوا﴿ - in lam taf'alû (“jika kamu tidak dapat membuat”), yang menandakan masa lalu melalui kata ﴾لَمْ﴿ - lam (“tidak”) dan masa depan melalui kata ﴾إِنْ﴿ - in (“jika”), itu dimaksud untuk menarik perhatian langsung terhadap masa lalu mereka. Seolah-olah ia mengatakan kepada mereka: "Lihatlah pidato kalian yang dihiasi dan Ketujuh Syair Gantung kalian yang disepuh emas! Adakah salah satunya sama dengan [al-Qur'an], atau mendekatinya, atau hampir mendekatinya?"
Pilihan kata ﴾تَفْعَلُوا﴿ - taf'alû (“lakukan, buatlah”) ketimbang kata "تأتوا - ta'tû (datangkanlah)," mengisyaratkan “dua nuktah”:
Pertama: Kesimpulan bahwa sumber kemukjizatan [al-Qur'an] adalah ketidakmampuan ('ajz) mereka, dan sumber ketidakmampuan mereka [terkait dengan] tindakan (fi'l) bukan jejak karya (atsar).
Kedua: Keringkasan. Sebab, sebagaimana kata kerja "فعل - fa'ala" di Ilmu Sharaf digunakan untuk menggambarkan pola dan bentuk kata kerja, demikian pula di gaya sastra digunakan sebagai sumber tindakan dan ringkasan cerita. Seolah-olah ia merupakan kata ganti yang mengekspresikan seluruh kalimat dan menyinggungnya.
Adapun ﴾وَلَنْ تَفْعَلُوا﴿ - wa lan taf'alû (“dan pasti kamu tidak akan dapat membuat”): Ketahuilah bahwa penguatan dan penekanan yang diungkapkan melalui ﴾لَنْ﴿ - lan dimaksud untuk menyatakan kepastian, dan ini menunjukkan bahwa pembicara yakin dan serius, dan bahwa ia tidak memiliki keraguan tentang
[1] Di sini logika betul-betul digunakan secara maksimal.
164. Page
apa yang dia katakan. Dan ini juga merupakan pertanda bahwa tidak ada tipu daya atau mengada-ada [di dalam apa yang dia katakan dan dia lakukan].
Penggunaan ﴾فَاتَّقُوا﴿ - fa-'ttaqû (“peliharalah dirimu”) bukan "تجنبوا - tajannabû (hindarilah)," menyiratkan sebagai pengganti konsekuensi dari [kalimat bersyarat tersebut di atas]: "Berimanlah, dan hindari syirik yang merupakan penyebab masuk neraka."
Adapun kata definit ﴾النَّارَ﴿ - al-nâr (“api neraka”), itu digunakan untuk janji. Yakni, api neraka yang sudah dijanjikan dan melekat dalam pikiran manusia, yang mereka dengar dari semua nabi sejak Adam sampai sekarang.
Ia disifati dengan kata ganti relatif ﴾الَّتِي﴿ - allatî (“yang”), meskipun [kata ganti seperti ini] umumnya mengacu pada sesuatu yang dikenal sebelumnya, dimaksud sebagai akibat dari turunnya wahyu, ﴾نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴿"api yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu," (66: 6) sebelum ayat ini, dan para pendengar telah mengetahui hal ini. Dengan demikian, kata ganti relatif sudah tepat di tempatnya.
Adapun ﴾وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴿ - waqûduhâ al-nâs wa-hijârah (“yang bahan bakarnya manusia dan batu”): Tujuannya -- sebagaimana telah disebutkan di atas, -- untuk mengintimidasi (tarhîb), dan intimidasi ini diperkuat dengan ancaman dan tekanan (tahwîl, tasydîd). Ia mengancam dengan kata ﴾النَّاسُ﴿ (“manusia”), seolah-olah ia memukul mereka, dan ini diperkuat dengan kata ﴾الحِجَارَة﴿ ("batu"), seakan-akan ia menghukum mereka: "Yang darinya kalian harapkan keuntungan dan keselamatan, yakni berhala-berhala, justeru sekarang menjadi alat penyiksaan kalian?"
Adapun kalimat, ﴾أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ﴿ - u'iddat li'lkâfirin (“disediakan bagi orang-orang kafir”): Ketahuilah bahwa [kalimat yang seharusnya dibuat] di tempat ini adalah "أعدت لكم - u'iddat la-kum (disiapkan bagi kalian)." Namun, pada umumnya al-Qur'an menyebutkan ringkasan (fadzlakah) dan kaedah umum di ujung ayat untuk menunjukkan bukti-bukti yang paling kuat bagi pernyataan [yang dibuat dalam ayat tersebut]. Sebab, perkataan [yang tersirat di sini] aslinya adalah: "Disediakan bagi kalian jika kalian kufur, karena [api neraka] itu memang disediakan bagi orang-orang kafir." Karena alasan inilah, kata benda digunakan di tempat kata ganti.
Kemudian "u'iddat" berbentuk kata kerja masa lalu (fi'il mâdlî) untuk menunjukkan bahwa neraka sudah ada sekarang ini, sebagaimana telah dibahas di atas.