AL-BAQARAH AYAT 25

165. Page

Ayat 25

 

﴿وَبَشِّر الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّما رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذاَ الَّذِي رُزِقْنا مِنْ قَبْلُ وَأتُوا بِهِ مُتَشابِهًا وَلَهُمْ فِيها أزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيها خالِدُون

(Wa basysyir alladzîna âmanû wa 'amilû al-shalihât anna la-hum jannâtin tajrî min tahtihâ al-anhâr kullamâ ruziqû minhâ min tsamarâtin rizqan qâlû hâdzâ alladhî ruziqnâ min qablu wa utû bi-hî mutasyâbihan wa la-hum fi-hâ azwâjun muthahharatun wa hum fi-hâ khâlidûn.)

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

 

Ketahuilah: Nadzam ayat ini, seperti saudaranya, memiliki "tiga aspek":

 

Nadzam ayat ini secara keseluruhan [dan hubungannya] dengan apa yang mendahuluinya;

Nadzam [dan hubungan] frasa ayat ini satu sama lain;

Nadzam [dan hubungan] bagian-bagian dari frasa.                     

 

Pertama: Ketahuilah, antara makna ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya terdapat banyak sekali hubungan dan benang-benang yang membentang terkait dengan frasa [dari ayat-ayat] terdahulu.

Tidakkah engkau melihat bagaimana di awal surah al-Qur'an memuji dirinya sendiri dan orang-orang beriman karena keimanan dan amal saleh [mereka], kemudian dengan ayat ini [al-Qur'an] menunjukkan hasil keimanan dan buah amal saleh tersebut!

Begitu pula, bagaimana ia mencela orang-orang kafir dan mengutuk orang-orang munafik serta menjelaskan jalan mereka yang menyebabkan kebinasaan kekal abadi, kemudian dengan ayat ini ia menyerukan kepada cahaya kebahagiaan abadi, seraya memperlihatkan kepada mereka meningkatnya kehilangan demi kehilangan karena kepergian nikmat tertinggi ini!

Dan setelah mengenakan beban kewajiban [kepada manusia], يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا﴿ - yâ ayyuha al-nâs u'budû (“wahai manusia, sembahlah!”) -- meskipun ini berarti beban dan kesulitan serta mereka harus meninggalkan kesenangan langsung -- ia membuka bagi mereka pintu [kesenangan masa depan] yang ditunda. Dengan ayat ini ia hendak memperlihatkan kepada mereka bahwa ia memberikan ketenangan dan menjamin jiwa mereka.

Dan setelah membuktikan tauhid -- yang merupakan rukun iman yang pertama, sebagai asas beban kewajiban [agama] -- dengan ayat ia mengumumkan buah tauhid, judul lembaran rahmat, dan pengantar keridhaan ilahi, dengan memperlihatkan surga dan kebahagiaan abadi.

Dan setelah membuktikan kenabian -- rukun iman kedua -- melalui kemukjizatan firman-Nya, وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ﴿"dan jika kamu (tetap) dalam keraguan" (2:23), dengan ayat ini dan secara tidak langsung dengan ayat yang sebelumnya, ia menyinggung tugas dan kewajiban kenabian, yaitu: memperingatkan (indzâr) dan memberikan kabar baik (tabsyîr) melalui lisan al-Qur'an.

Dan setelah mengancam, mengintimidasi, dan memperingatkan di ayat terdekat sebelumnya, melalui misteri "hubungan antara lawan," di ayat ini ia menjanjikan, mendorong semangat, dan memberikan kabar baik.

Juga, untuk membuat jiwa [orang lain] patuh dan langgeng dalam ketaatan, serta untuk membuat hati nuraninya mematuhi perintah akal, seseorang harus membangkitkan rasa takut dan rasa rindu sekaligus [pada dirinya] dengan menggabungkan motivasi kecintaan (tarhîb) dan ketakutan (targhîb). Sebab, 

166. Page

perintah akal hanya [efektif] sementara, sehingga di dalam hati nurani harus ada motivasi permanen dan insentif yang menarik.

Demikian pula, setelah menunjukkan salah satu bagian dari akhirat melalui ayat sebelumnya, ia pun melalui ayat ini melengkapi bagiannya lain, yang merupakan sumber kebahagiaan kekal.

Demikian pula, ketika di sana dengan api ia menyinggung neraka, di sini secara eksplisit ia menyebutkan surga.

Selanjutnya, ketahuilah bahwa surga dan neraka merupakan dua buah yang menunjuk ke keabadian dari pohon penciptaan, dan dua hasil dari rangkaian alam semesta. Keduanya merupakan dua tangki penyimpanan di mana alam semesta dituangkan, dan dua kolam bagi alam semesta yang mengalir ke kekekalan.

Ya, alam semesta akan bergolak dan terguncang melalui gerakan sangat keras sekali, lalu surga dan neraka pun akan muncul serta berisi [hal-hal yang sesuai].

Penjelasannya ini: Ketika Allah (semoga kemuliaan-Nya ditinggikan) menghendaki penciptaan dunia untuk memberikan cobaan dan ujian, dikarenakan banyak hikmah yang terlalu lembut [untuk ditangkap oleh] akal, Dia menghendaki perubahan dan transformasi alam ini karena [berbagai] alasan. Dia menggabungkan kebaikan dan kejahatan, mencampur bahaya dengan manfaat, dan memasukkan keburukan ke dalam keindahan. Dia menggabung [kejahatan, bahaya, dan keburukan] ke dalam neraka dan mendukungnya dengannya. Dan Dia menggiring kebaikan dan kesempurnaan terwujud di surga.

Selanjutnya, ketika Dia menghendaki ujian dan persaingan [di antara] manusia, dan menghendaki adanya perbedaan dan perubahan di antara mereka di dunia ujian, Dia mencampur orang-orang jahat dengan orang-orang baik.

Kemudian ketika masa ujian selesai dan kehendak ilahi [memerintah] mereka harus kekal, Dia menjadikan orang-orang jahat sebagai perwujudan ayat: وَامْتَازُوا اْليَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ﴿"berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat" (Qs. Yasin [36]: 59). Sementara orang-orang baik akan disambut dan dihormati dengan kata-kata: فَادْخُلُوهَا خَالِدينَ﴿"masukilah surga ini, kamu akan kekal di dalamnya" (Qs. al-Zumar [39]: 73).

Lalu ketika dua golongan tadi sudah terpisahkan, alam semesta akan bersih, hal-hal jahat dan berbahaya akan ditarik dari unsur manfaat, kebaikan, dan kesempurnaan, serta semua akan berkumpul di satu sisi.

Ringkasan: Jika engkau mempelajari alam semesta dengan cermat, engkau akan menemukan dua elemen dasar, dua batang yang membentang panjang, yang ketika [buah masing-masing] dikumpulkan dan dibuat abadi, akan menjadi neraka dan surga.

 

Mukaddimah

Ayat ini dan [ayat-ayat] sebelumnya mengisyaratkan kiamat dan kebangkitan kembali (hasyr). Inti permasalahannya terletak pada "empat poin" penting:

Pertama: Kemungkinan kehancuran alam dan kematiannya.

Kedua: Kejadiannya.

Ketiga: Rekonstruksi dan penghidupannya kembali.

Keempat: Kejadiannya.

Adapun kemungkinan kematian alam semesta sebagai berikut:

 Ketahuilah, sesuatu yang tunduk pada hukum evolusi menyempurna (qânûn al-takâmul) akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Karena itu, ia memiliki umur alami dan ajal kematian; ia tidak bisa lepas dari hukum kematian. Menurut penalaran induktif, [hal ini berlaku bagi] sebagian besar anggota spesies (afrâd al-anwâ'). Maka, sebagaimana manusia sebagai mikrokosmos tidak bisa lepas dari kehancuran, demikian pula alam sebagai makroantropos tidak bisa berlindung dari kematian. Sebagaimana pohon merupakan salinan miniatur alam semesta yang ditimpa kerusakan dan kehancuran, begitu pula rangkaian alam semesta merupakan bagian dari pohon penciptaan yang tidak dapat selamat 

167. Page

dari tangan kehancuran untuk diperbaiki kembali nanti. Jika tidak terkena angin keras atau penyakit eksternal azali sebelum umur alam [berakhir], dan jika Sang Pembuat tidak memusnahkannya sebelumnya, pasti akan datang, bahkan menurut perhitungan ilmiah, hari ketika ayat-ayat berikut ini akan terwujud: إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْوَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ﴿"apabila matahari digulung, dan bintang-bintang berjatuhan" (Qs al-Takwir [81]: 1-2), dan إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ﴿"apabila langit terbelah" (Qs. al-Infithar [81]: 1). Kemudian makroantropos akan sekarat, menggeram mengerikan, meraung menakutkan, yang gemanya akan terdengar di angkasa.

 

Kejadiannya:

Hal itu telah disepakati oleh semua agama samawi, disaksikan oleh semua fitrah yang sehat, dan ditandai dengan perubahan, transformasi, dan pembaharuan alam semesta.

Jika engkau menginginkan, bayangkan sekarat kematian alam dan raungannya. Ketahuilah, alam semesta telah terikat bersama dengan tatanan tinggi yang halus, dan saling menempel dengan ikatan yang menakjubkan. Jika salah satu benda langit menerima perintah, كُن﴿"jadilah!" atau "keluar dari orbitmu!" engkau akan melihat alam [tiba-tiba] diterpa sekarat kematian, bintang-bintang dan benda angkasa mulai berbenturan dan bertabrakan. Angkasa yang tak terbatas akan berguntur dan bergemuruh. Satu bagian akan menghantam bagian lain, menerbangkan benda sebesar bumi atau lebih besar lagi. Dapatkah engkau bayangkan suara mengerikan dari jutaan meriam yang peluru terkecilnya lebih besar dari bumi? Itulah suara kematiannya. Dengan kematian ini, ciptaan akan meledak dan makhluk akan terpencar. Neraka pun akan muncul bersama dengan penduduk dan materinya, dan surga akan menjadi nyata, menyatukan semua kelembutannya yang berasal dari unsur-unsurnya.

Jika engkau bertanya: Mengapa alam semesta dibuat berubah, temporal, dan akan hancur. Sementara pada hari kebangkitan, ia akan dibuat abadi, tetap, dan tidak berubah?

 

Engkau akan dijawab: Ketika hikmah dan kasih karunia (inayah) azali mengharuskan ujian dan cobaan, penumbuhan dan pengembangan potensi, penampilan kemampuan, pengungkapan hakekat relatif (haqâ'iq nisbiyyah) yang di akhirat akan menjadi hakekat hakiki (haqâ'iq haqîqiyyah), adanya tingkatan-tingkatan relatif, dan banyak contoh kearifan pikiran manusia yang tak mampu dipahami; Sang Pencipta (semoga kemuliaan-Nya ditinggikan) menjadikan tabiat berbeda-beda, hal-hal yang berbahaya bercampur dengan yang berguna, kejahatan beraduk dengan kebaikan, keburukan dan keindahan berkumpul bersama-sama, maka tangan qudrat meremas sedemikian rupa, dan alam semesta menjadi tunduk pada hukum perubahan, pergantian, variasi, dan penyempurnaan (takâmul). Dengan demikian, Sang Pencipta (semoga kemuliaan-Nya ditinggikan) menghendaki melalui kasih karunia-Nya bahwa ketika arena cobaan telah ditutup, dan waktu sidang telah selesai, dan waktu panen telah datang, Dia akan memurnikan berbagai hal yang berlawanan untuk membuatnya abadi, memisahkan penyebab perubahan, dan membedakan materi perbedaan. Kemudian neraka akan terbentuk melalui jasad padat, menerima pesan وَامْتَازُوا﴿"berpisahlah kamu!" Dan surga akan diwujudkan melalui jasad abadi, yang didukung bersama dasarnya yang stabil. [Ini akan] sesuai dengan rahasia, "إن المناسبة شرط الانتظام، والنظام سبب الدوام - hubungan sangat penting bagi keteraturan, dan keteraturan merupakan penyebab kelanggengan."

Selain itu, melalui qudrat-Nya yang sempurna, Tuhan Yang Maha Tinggi akan memberikan penghuni [surga dan neraka], dua kediaman abadi, keberadaan stabil yang tidak akan dikenakan kehancuran atau perubahan, namun perubahan di sini yang mengarah ke kepunahan, muncul tak lain dari perbedaan relatif [yaitu, ketidakseimbangan] antara apa yang terbentuk dan apa luruh. Tapi di sana, stabilitas relatif [yaitu, keseimbangan] akan membolehkan perubahan yang tidak akan menyebabkan disintegrasi.

 

Poin Ketiga dan Keempat: Maksud saya, kemungkinan perbaikan dan kebangkitan kembali, serta kejadiannya: 


168. Page

Ketahuilah, ketika bukti tauhid dan kenabian yang diambil dari al-Qur'an dan hadist (dalîl naqlî) saja tidak valid karena akan memerlukan argumen yang berputar-putar,[1] al-Qur'an menunjukkan bukti rasionalnya [juga].

Adapun untuk kebangkitan kembali, dibolehkan pembuktiannya dengan menggunakan dalil aqli (rasional) dan dalil naqli (al-Qur'an dan hadits).

Untuk bukti rasional, silahkan merujuk apa yang telah kami jelaskan sesuai kemampuan ketika kami menafsirkan, وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ﴿"dan mereka yakin akan adanya akhirat" (2: 4). Singkatnya: keteraturan, rahmat, dan nikmat, hanya akan menjadi keteraturan, rahmat, dan nikmat, jika datang kebangkitan.

Sedangkan bukti naqli (naqlî), ia terdiri dari semua yang dikatakan orang [semua nabi], berikut apa yang dikatakan al-Qur'an yang penuh mikjizat tentang kejadian tersebut.

Mengenai bukti naqli ini beserta indikasi bukti rasional, engkau bisa merujuk masalah ini di dalam tafsir Fakhr al-Din al-Razi,[2] karena ia telah menyebutkan ayat-ayat yang membuktikan kebangkitan kembali.

Ringkasan: Seseorang yang dengan teliti mengamati sampel, contoh, dan perumpamaan kebangkitan di sangat banyak [makhluk] alam (lit. spesies - anwâ'), dia pasti akan mampu menyimpulkan dari tanda-tandanya yang beragam tentang adanya kebangkitan jasmani dan kebahagiaan abadi.

Nadzam dan hubungan kalimat satu sama lain: Ketahuilah bahwa tali yang mengikat mutiara kalimat-kalimat ayat ini dan rangkaiannya ialah bahwa: kebahagiaan abadi dibagi dua jenis:

Pertama dan paling utama: Keridlaan Allah Yang Maha Tinggi, kasih karunia-Nya, manifestasi-Nya, dan kedekatan-Nya.

Kedua: Kebahagiaan fisik, yang dicapai melalui rumah, makanan, dan pernikahan seseorang, serta segala kesempurnaannya, yang merupakan kelanggengan dan kekekalannya.

[Kebahagiaan abadi] jenis pertama tidak membutuhkan penjelasan rinci, atau penjelasan seperti itu tidak dapat diterima.

Adapun [kebahagiaan abadi] jenis kedua: Rumah paling nyaman adalah yang dibangun di antara tanaman pepohonan dan air yang mengalir. Engkau pasti mengetahui bahwa debur dan gemericik air sungai, yang berbisik di bawah paviliun dan kebun, menginspirasi lahirnya puisi dan desah cinta dalam hati.

Adapun makanan, itu adalah rezeki, dan karena rezeki yang paling lezat adalah yang akrab, buah-buahanlah yang terbaik di satu sisi ketika bervariasi. Melalui hukum keakraban seseorang dapat mengenali derajat ketinggian nikmat dan keunggulannya atas hal-hal serupa. Selain itu, salah satu kenikmatan tertinggi adalah mengetahui bahwa [rezeki itu] merupakan imbalan atas amal perbuatan seseorang. Sebagiannya merupakan sumbernya dan perbendaharaannya yang langsung hadir di depan mata, menghasilkan nikmat ketenangan.

Mengenai pernikahan, salah satu kebutuhan terbesar manusia adalah memiliki seseorang yang menanggapinya dengan cinta yang tulus dan berbagi kesenangan dan keintiman dengan [pasangannya]. Bahkan, mereka berbagi dalam hal-hal seperti merasakan heran [atas karunia ilahi] dan merenungkannya. Tidakkah engkau mengamati bahwa jika seseorang melihat sesuatu yang tidak biasa yang

[1] Kesahihan bukti naqliyah -- al-Qur'an dan hadits -- terkait dengan kesahihan dan kebenaran kenabian. Jika kenabian juga tak bisa dibuktikan dengan dalil naqli, maka ia mesti mustahil. Inilah yang membuat pembuktian menjadi berputar-putar dan melingkar tiada habisnya. (T: 63)

[2] Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi al-Bakri, Abu Abdillah, Fakhr al-Razi, seorang imam ahli tafsir, yang pada zamannya mampu memadukan dalil aqli, naqli, dan ilmu-ilmu para ulama awal. Dia bernasab Quraisy, aslinya dari Tabaristan, lahir di Ray pada 543 H, dan ke sana ia dinisbahkan. Dia disebut Ibnu Khatin al-Ray, yang berkelana ke Khawarizm, ke balik dua Sungai, dan ke Kharasan. Dia wafat di Hurah pada 606 H. Kitab-kitabnya memperoleh penerimaan luas semasa hidupnya, mereka mempelajarinya. Dia pandai berbahasa Farsi. Di antara karyanya yang terkenal Mafatih al-Ghayb yang dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir, al-Mahshul fi Ulum al-Ushul, Nihayat al-Ijaz Dirayat al-I'jaz. Lihat biografinya di Thabaqat al-Fuqaha'263, Wafayat al-A'yan 4/248, Thabaqat al-Syafiiyyah al-Kubra 8/81, dan Thabaqat al-Syafiiyyah karya Ibnu Qadli Syuhbah 2/65.




169. Page

mengherankannya dan membuatnya berpikir, ia mengajak seseorang, meskipun sebatas pikiran, untuk berbagi keheranannya.

Dan hati yang paling lembut, paling baik, dan paling hangat, adalah hati dari jenis kedua.

Dan yang membuat jiwa akan berbaur sepenuhnya, yang membuat hati akan mencapai keintiman utuh, serta yang membuat perpaduan luarnya akan murni dan bersih, adalah dengan menyucikan dan membersihkan [hati] jenis kedua dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tidak menyenangkan.

 

Jika engkau bertanya: [Tujuan] makanan untuk melanggengkan [kehidupan] seseorang, sebab dengannya bagian-bagian tubuh yang rusak akan terbentuk kembali. Sementara pernikahan dilakukan untuk melanggengkan spesies manusia, namun di akhirat manusia akan abadi, tanpa perubahan dan kerusakan. Demikianlah, tidak akan ada reproduksi di akhirat?

Engkau akan dijawab: Manfaat makanan dan pernikahan tidak terbatas untuk melanggengkan kehidupan dan reproduksi; keduanya sumber kesenangan terbesar di dunia yang menyakitkan ini. Lantas mengapa pada [makanan dan pernikahan] tidak harus ada kesenangan yang tinggi dan suci di alam kebahagiaan?

Jika engkau bertanya: Kesenangan di sini [di dunia ini diperoleh] dengan menghilangkan rasa sakit dan penderitaan, [tapi di akhirat, tidak begitu]?

Engkau akan dijawab: Menghilangkan rasa sakit hanya salah satu penyebab kesenangan. Juga, tidak mungkin membandingkan alam kekal dan dunia ini. Kiasnya jauh sekali. Bahkan, nisbah antara taman Horhor[1] ini dengan surga mulia adalah nisbah antara kesenangan akhirat dengan [kesenangan] serupa di dunia ini. Sebagaimana keunggulan taman surga sekian derajat tak terbatas, demikian pula taman di sini. Ibnu 'Abbas r.a menyinggung perbedaan besar ini ketika ia berkata: "Yang akan ada di surga tinggal nama-namanya."[2] Maksudnya, [nama] buah-buahan dari dunia.

Mengenai kehidupan kekal dan kesenangan abadi, ketahuilah: Kesenangan akan menjadi kesenangan hakiki hanya jika tidak tersentuh kelenyapan. Sebab, sebagaimana menghilangkan sakit adalah kesenangan atau penyebabnya, demikian pula hilangnya kesenangan merupakan sakit; bahkan, membayangkan hilangnya lazat adalah sakit juga. Sampai-sampai kumpulan puisi para pecinta 'metafora' semuanya memuat ratapan yang timbul dari rasa sakit. Diwan para pecinta ini bukanlah cinta hakiki, tapi hanyalah tangisan dan ratapan yang timbul dari rasa sakit ini, yang muncul dari gambaran hilangnya sang kekasih tercinta.

Ya, banyak kenikmatan sementara yang, ketika menghilang, justru menghasilkan rasa sakit yang berkelanjutan. Setiap kali orang mengingatnya, rasa sesal keluar dari mulutnya, "Ah! Aduh!" yang bernada mengutuk rasa sakit ruhani ini.

Tapi banyak [hasil] penderitaan yang, ketika reda, menghasilkan kesenangan berkelanjutan. Setiap kali orang mengingatnya, saat dia diselamatkan darinya, ia berseru: "Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah!" yang mengacu pada nikmat maknawi ini.

Ya, manusia diciptakan untuk keabadian. Dia hanya akan dapat memperoleh kenikmatan sejati dari hal-hal yang abadi seperti pengetahuan tentang Allah (ma'rifat Allâh), cinta, kesempurnaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Ringkasan: Kesenangan dan nikmat hanya akan menjadi kesenangan dan nikmat jika keduanya kekal abadi.

Jika engkau telah melihat benang ini, maka rangkailah kalimat-kalimat ayat ini di dalamnya.


[1] Nama madrasah penulis di kota Van, bagian timur Turki.

[2] Di dalam al-Zuhd karya Ibnu al-Sari 1/49. Waki' memberitahu kami dari al-A'masy dari Abu Dhibyan dari Ibnu Abbas yang berkata, "Tidak ada di surga sesuatu yang pernah ada di dunia kecuali nama-namanya." Lihat Tafsir al-Thabari 1/174, Tafsir Ibnu Abi Hatim 1/66, Sifat al-Jannah karya Abu Naim 1/160, al-Ahadits al-Mukhtarah 10/16, al-Targhib wal-Tarhib karya al-Mundziri 4/316, al-Taisir bi Syarhi al-Jami' al-Shaghir 2/326. Riwayatnya marfu', mauquf, dan isnad mauqufnya diakui jayyid (baik).




170. Page

Adapun kalimat, وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ﴿ - wa basysyir alladzîna âmanû wa 'amilû al-shâlihât (“dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik”): Ketahuilah, ketika Dia membebankan kewajiban agama kepada manusia [agar beribadah], membuktikan kenabian, dan membebankan kepada Nabi untuk menyampaikan [dakwah], Dia memerintahkannya untuk memberikan kabar gembira [surga] sebagai jaminan bagi mereka yang memenuhi kewajiban agama, yang tak lepas dari kesulitan dan [ujian] meninggalkan kesenangan duniawi. Sebagaimana ia diperintahkan untuk memperingatkan (indzar), ia juga diperintahkan untuk menyampaikan kabar gembira (tabsyîr) mengenai keridhaan Allâh Yang Maha Tinggi, kasih karunia-Nya, kedekatan-Nya, dan kebahagiaan abadi.

Adapun kalimat أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي﴿ - anna lahum jannâtin tajrî (“bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir”): Ketahuilah, seperti telah disebutkan di atas, kebutuhan manusia yang paling penting -- karena ia memiliki tubuh -- adalah tempat dan rumah. Tempat paling baik adalah yang dilengkapi tanaman dan pepohonan, yang paling menyenangkan adalah yang taman hijaunya dilengkapi kolam, dan yang paling indah adalah yang memiliki sungai yang airnya melimpah mengalir di antara pepohonan dan di bawah paviliunnya. Inilah sebabnya mengapa dikatakan تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَار﴿ ("mengalir sungai-sungai di dalamnya"). Selanjutnya, sesudah tempat, hal yang paling dibutuhkan manusia dan kesenangan jasmani yang paling sempurna, seperti sudah engkau dengarkan tadi, adalah makanan dan minuman, yang diisyaratkan dengan [kata] surga dan sungai.

Kemudian, rezeki yang terbaik hendaknya yang terasa akrab dan dekat [dengan manusia], sehingga dia dapat menilai tingkat kelebihannya dari makanan serupa. Dan yang paling lezat adalah buah-buahan, selama ia bervariasi baru. Dan yang kelezatannya murni ialah [buah] yang dipetik dari dekat dan dikenal. Tapi, yang paling lezat dari semua ialah mengetahui bahwa [buah-buahan] itu merupakan hasil kerja seseorang. Inilah sebabnya mengapa dikatakan كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ﴿ ("setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: 'Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu'"). Maksudnya, di dunia ini, atau sebelum sekarang.

Kalimat وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا﴿ - wa utû bihi mutasyâbihan (“mereka diberi buah-buahan yang serupa”): Ketahuilah, dalam sebuah hadis dikatakan, "أن صورتها واحدة والطعم مختلف - bentuknya serupa tapi rasanya berbeda."[1] Karena itu, ayat ini menunjukkan bahwa kesenangan buah terletak pada perubahan dan variasi barunya, dan bahwa kesenangan yang sempurna adalah ketika orang disajikan [buah] yang didatangkan kepadanya.

Kalimat وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ﴿ - wa la-hum fi-hâ azwâjun muthahharatun (“untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci”): Ketahuilah, sebagaimana telah engkau lihat di atas [saat menjelaskan] benang [mutiara ayat ini], manusia membutuhkan istri, pendamping yang tinggal bersamanya. Mungkin melalui mata [istri]nya dia melihat, dan mungkin melalui matanya [istrinya] melihat. Dia juga dapat mengambil manfaat dari cintanya yang merupakan sinar rahmat ilahi yang paling lembut. Tidakkah engkau melihat, keintiman utuh juga terjadi di sini dengan [istri]nya!

Adapun kalimat وَهُمْ فِيهَا خَالِدُون﴿ - wa hum fi-hâ khâlidûn (“dan mereka kekal di dalamnya”): Ketahuilah, ketika seseorang mendapatkan karunia atau memperoleh kesenangan, hal pertama yang terbetik dalam pikirannya, "Apakah akan berlanjut? Atau akan terputus karena kehancuran?" Untuk alasan ini, [al-Qur'an] dengan kata-kata وَهُمْ فِيهَا خَالِدُون﴿ menunjukkan penyempurnaan nikmat melalui keabadian surga, kekekalan mereka dan istri-istri mereka di sana, serta kelanggengan kesenangan dan kelanjutan manfaat yang akan mereka peroleh selamanya.

Adapun nadzam dan hubungan bagian-bagian dari frasa ayat ini:

Kalimat وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ﴿ - wa basysyir alladzîna âmanû wa 'amilû al-shâlihât (“dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik”): [Huruf] "الواو - waw" di dalamnya mengacu pada "أنذر - andzir (berilah peringatan)" yang menetes dari [ayat] sebelumnya, sesuai rahasia munasabah di antara dua kalimat yang saling terkait.


[1] Ini pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sebagaimana disebut dalam Tafsir al-Thabari 1/173. Lihat pula al-Nukat wa al-'Uyun karya al-Mawardi 1/86, Sifat al-Jannah 1/161, 'Umdat al-Qari 15/147.




171. Page

Adapun بَشِّر﴿ - basysyir (“sampaikanlah berita gembira”), itu pertanda bahwa surga merupakan kebaikan dari Sang Yang Maha Tinggi, dan tidak wajib bagi-Nya.

Demikian pula, itu menunjukkan bahwa amal perbuatan hendaknya tidak karena [harapan mendapatkan] surga.

Adapun bentuk [kata kerja] perintah di kata بَشِّر﴿ - basysyir, itu menunjukkan: "Sampaikan kabar itu seolah-olah engkau menyampaikan kabar baik!" Sebab, [Nabi] telah diberi tugas kewajiban untuk menyampaikan pesan (tablîgh).

Adapun penggunaan kata الَّذِينَ آمَنُوا﴿ - alladzîna âmanû (“orang-orang yang beriman”) bukan kata yang lebih ringkas "المؤمنين - al-mu'minûn (orang-orang beriman)," itu mengacu pada الَّذِينَ﴿ - alladzîna [“orang-orang yang beriman pada hal gaib”] di awal surah, sehingga rincian yang diberikan di sana dapat menjelaskan apa yang diringkasnya di sini.

Penggunaan kata kerja masa lampau di sini di آمَنُوا وَعَمِلُواِ﴿ - âmanû wa 'amilû (“mereka beriman dan berbuat baik”) meskipun di sana [pada awal surah] digunakan kata kerja masa mendatang untuk يُؤْمِنُون﴿ - yu'minûn (“mereka beriman”) dan يُنْفِقُون﴿ - yunfiqûn (“mereka menafkahkan harta”), itu menunjukkan bahwa pujian dan anjuran atas khidmat pengabdian lebih cocok diungkap dalam bentuk kata kerja mendatang, tapi untuk imbalan dan balasan lebih cocok diungkap dalam bentuk kata kerja lampau, sebab imbalan baru diberikan setelah pengabdian.

Adapun "واو - waw" pada وَعَمِلُوا﴿ - wa 'amilû (“dan mereka berbuat baik”), itu menunjukkan -- sesuai misteri perbedaan -- bahwa perbuatan tidak termasuk [bagian dari] keimanan sebagaimana dikatakan Muktazilah, dan bahwa keimanan tanpa perbuatan tidak cukup. Sementara kata "العمل - 'amal (perbuatan)" mengisyaratkan bahwa apa yang dikabarkan baik itu adalah seperti balasan.

Adapun الصَّالِحَاتِ﴿ - al-shâlihât (“kebaikan”), itu tidak jelas dan ringkas. Menurut Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir,[1] ia memiliki makna umum di sini karena orang-orang sudah mengetahui betul apa perbuatan baik itu.[2] Tapi saya mengatakan bahwa, di samping itu, ia dikatakan demikian karena mengacu pada [rincian yang diberikan] di awal surah.

Adapun kalimat, أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ﴿ - anna la-hum jannâtin tajrî min tahtihâ al-anhâr (“bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”): Ketahuilah bahwa semua [makna] dari bagian-bagian kalimat ini -- [makna] menegaskan "أَنَّ﴿ - anna," mengkhususkan "اللام - lam" [pada 'la-hum']," mendahulukan لَهُمْ﴿ - la-hum, jamak الجنة﴿ - al-jannat dan nakirahnya [جنة﴿- jannah], serta penyebutan "الجريان - jaryân" (air mengalir), penyebutan مِنْ﴿ - min dan "تحت - tahta," mengkhususkan "نهر - nahr (dari anhar)," dan makrifahnya ["al-nahr"] -- semua bagian ini saling membantu dan saling menanggapi satu sama lain untuk memperkuat tujuan utama, yaitu sukacita, kesenangan, dan balasan, seperti bumi kering lembab yang kolam utamanya meneteskan [air] dari semua sisinya. Sebab, أَنَّ﴿ menunjukkan bahwa, karena pikiran masih ragu-ragu tentang kehebatan sesuatu yang dikabarkan baik, maka ia perlu dikuatkan.

Juga, salah satu fungsi konteks (maqam) sukacita ialah menolak keragu-raguan, sebab adanya kecemasan sedikit saja dapat menghancurkan khayalan dan membuyarkan sukacita.

Demikian pula, ia merupakan pertanda bahwa ini bukan janji belaka, tetapi salah satu realitas yang sebenarnya.

"Lam" dari لَهُمْ﴿ - la-hum menunjukkan kekhususan, kepemilikan, dan hak, [yang berarti bahwa apa yang dikabarkan baik itu] eksklusif [bagi orang-orang beriman], dan milik mereka, serta bahwa mereka layak untuk itu, yang akan menyempurnakan kesenangan [mereka] dan meningkatkan sukacita [mereka]. Jika tidak, kebanyakan akan seperti seorang raja yang menjamu orang miskin.


[1] Muhammad Abduh bin Hasan Khayrullâh (1849-1905), yang dijuluki al-Imam. Ia mufti Mesir, belajar di Universitas al-Ahmadi di Thantha, kemudian melanjutkan ke Universitas Al-Azhar. Beliau wafat dan dimakamkan di Kairo, Mesir. Lihat Al-A'lam 6/252.

[2] Lihat pendapat Muhammad Abduh di Tafsir al-Manar 1/193.




172. Page

Didahulukannya لَهُمْ﴿ - la-hum menunjukkan bahwa [orang-orang beriman] dipilih khusus di antara manusia untuk [diberi] surga. Sebab, pengamatan mereka terhadap situasi ahli neraka menjadi sebab semakin tampaknya nilai kesenangan surga.

Jamak dari جَنَّاتٍ﴿ - jannât menunjukkan [banyaknya] jumlah surga dan keragaman derajatnya yang proporsional dengan [banyaknya] tingkat amal perbuatan.

Juga, itu pertanda bahwa setiap bagian dari surga adalah surga.

Juga, itu menyimpulkan bahwa secuil apa pun bagian [surga] yang diberikan kepada seseorang -- karena luasnya -- akan tampak seperti surga seluruhnya; bukan seperti [penghuni] yang digiring bersama jamaahnya ke satu tempat.

Bentuk kata جَنَّاتٍ﴿ - jannât sebagai kata indefinitif (nakirah) memberikan pesan ke pikiran pendengar: "[Surga] mengandung apa yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik di hati manusia."[1]

Juga, ini mengacu ke pikiran para pendengar sehingga masing-masing dapat memahaminya dengan cara yang dia anggap menyenangkan.

Selain itu, seolah-olah bentuk kata indefinitif merupakan pengganti [kalimat]: وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأَنْفُسُ﴿"di dalam [surga] itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati." (Qs. al-Zukhruf [43]: 71)

Adapun تَجْرِي﴿ - tajrî (“mengalir”), ketahuilah bahwa kebun paling indah ialah kebun yang di dalamnya terdapat air; dan yang paling indah dari ini ialah yang airnya mengalir; dan yang paling indah dari ini ialah yang aliran airnya abadi. Dengan demikian, kata تَجْرِي﴿ - tajrî memunculkan gambaran tentang air yang terus mengalir.

Adapun مِنْ تَحْتِهَا﴿ - min tahtihâ (“di bawahnya”), ketahuilah bahwa yang paling indah dari air adalah yang mengalir melalui tanaman dan semak-semak, yang memancar jernih dari kebun, serta mengalir gemericik di bawah paviliun dan di banyak anak sungai di antara pohon-pohon. مِنْ تَحْتِهَا﴿ - min tahtihâ menunjukkan ketiganya, [yaitu, air yang mengalir di bawah kebun, paviliun, dan pohon-pohon].

الأَنْهَارُ﴿ - al-anhâr (“sungai-sungai”): Ketahuilah, air di kebun akan sangat indah jika berlimpah, kemudian ini akan sangat menyenangkan jika berbentuk anak-anak sungai yang berkejaran satu sama lain, dan jika bentuknya simetris, pesona dan keindahan bagian itu akan bertambah. Tapi yang paling indah dari semua adalah ketika air itu segar, manis, dan dingin, seperti dalam ayat: ماءٍ غَيْر آسِنٍ﴿"air yang tiada berubah rasa dan baunya" (Qs. Muhammad [47]: 15). Lafadz "نهر - nahr (sungai)," baik bentuk jamak maupun bentuk definitifnya (ma'rifah), mengisyaratkan hal di atas.

 

Adapun frasa كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ﴿ - kullamâ ruziqû minhâ min tsamarâtin rizqan qâlû hâdzâ alladhî ruziqna min qablu (“setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”): Ketahuilah bahwa bagian-bagiannya mencakup banyak kalimat [atau frasa] yang tersirat. Karena tidak terikat dengan kalimat sebelumnya (isti'naf), [kalimat ini] merupakan jawaban untuk pertanyaan tersirat.

Pertanyaan ini merupakan campuran dari “delapan pertanyaan” berturut-turut. Sebab, saat diberi kabar baik seperti tingginya tempat hunian, terbetik dalam pikiran pendengar:

Apakah di sana akan ada makanan atau tidak?

Jika ada makanan, dari mana datangnya, dan bagaimana itu diperoleh?

Jika itu harus diperoleh dari surga tersebut, maka darinya yang mana?

Jika itu berupa buahnya, apakah itu menyerupai buah dari dunia ini?

Jika menyerupainya, apakah buah itu mirip satu sama lain?

Jika buah-buahan itu mirip satu sama lain, apakah rasanya berbeda?


[1] Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, "Allah Ta'ala berfirman, 'Disiapkan bagi hamba-Ku yang shaleh, [surga] yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik di hati manusia.' Maka bacalah jika kalian suka: Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang (Qs. 32: 17)." Lihat Shahih al-Bukhari 3/1185 hadits no. 3072.




173. Page

Jika berbeda, ketika dipetik, akankah [jumlahnya] berkurang atau akan diganti [dengan buah-buahan baru]?

Jika digantikan dengan yang lain, apakah makan darinya akan terus berlanjut?

Jika terus berlanjut, apakah yang memakannya akan merasa senang?

Dan jika mereka merasa senang, apa yang akan mereka katakan?

Jika engkau telah memahami pertanyaan-pertanyaan ini, sekarang perhatikan bagaimana al-Qur'an Mulia membalas pertanyaan-pertanyaan yang berangkai ini dengan bagian-bagian dari kalimat [ayat di atas]:

Kata كُلَّمَا﴿ - kullamâ (“setiap kali”) menunjukkan kontinuitas dan bukti yang menguatkan.

رُزِقُوا﴿ - ruziqû (“mereka diberi rezeki”), berbentuk kata kerja lampau untuk menunjukkan realisasinya.

Selain itu, ia mengingatkan di pikiran mereka keberadaan makanan yang mirip dengannya dari rezeki dunia.

Dan bentuknya berupa kata kerja pasif menunjukkan tidak adanya kesulitan [dalam memperoleh rezeki itu], mereka dilayani, dan [makanan itu] diberikan kepada mereka.

Pilihan kata مِنْهَامِنْ ثَمَرَةٍ﴿ - minhâ min tsamaratin (“buah-buahan dari dalam [surga-surga itu]”) ketimbang "من ثمراتها - dari buah-buahannya" dimaksud untuk memberikan jawaban tertentu terhadap dua pertanyaan tersebut di atas.

Bentuk nakirah (tak tentu) dari kata ثَمَرَةٍ﴿ - tsamaratin yang membuatnya bersifat umum, menunjukkan bahwa apa pun buah-buahan tersebut, itu adalah rezeki.

Bentuk nakirah kata رِزْقًا﴿ - rizqan (“rezeki”) menunjukkan bahwa itu bukan jenis makanan yang mereka ketahui untuk meredakan lapar.

Kata قَالُوا﴿ - qâlû (“mereka mengatakan”) memiliki arti "mereka saling berkata satu sama lain" [yaitu, bentuk keempat dari kata kerja], yang menandakan kegembiraan dan ketakjuban, yang lazim bagi mereka.

Adapun kalimat هَذَا الَّذِي رُزِقْنَامِنْ قَبْل﴿ - hâdza alladhî ruziqnâ min qablu (“inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”), ketahuilah bahwa penyebutan [ yang bersifat umum dan tidak spesifik] ini mengandung “empat makna”:

 

Pertama:"Apa yang kita makan di sini [berasal] dari amal saleh [yang kita dilakukan] di dunia." Ikatan yang kuat antara amal perbuatan dan balasan seolah-olah menyebabkan amal [saleh] [ditransformasikan] di akhirat menjadi imbalan yang diwujudkan. Dari sini, mereka bersukacita.

Kedua:"Kami makan di sini dengan makanan dari dunia, namun ada perbedaan besar dalam seleranya." Dari sini, mereka merasa takjub.

Ketiga:"Ini menyerupai apa yang kita makan sebelumnya, tapi meskipun mirip dalam bentuk ia berbeda artinya karena menggabungkan kesenangan keakraban [di satu sisi] dan variasi perubahan [di sisi lain]." Dari sini, mereka senang.

Keempat:"[Buah-buahan] yang ada di dahan-dahan pohon inilah yang kita makan. Karena [buah-buahan] penggantinya tumbuh seketika, maka seolah-olah [buah] itu juga [yang kita makan]." Dari sini diketahui bahwa [buah itu] tidak akan berkurang.

Adapun kalimat وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا﴿ - wa utû bihi mutasyâbihan (“mereka diberi buah-buahan yang serupa”): Ketahuilah bahwa ini merupakan ringkasan dan lampiran, serta kalimat untuk mengkonfirmasi dan menjelaskan [kalimat] sebelumnya.

Penggunaan kata kerja pasif untuk kata أُتُوا﴿ - utû menunjukkan bahwa mereka dilayani. Sementara مُتَشَابِهًا﴿ - mutasyâbihan menyiratkan penggabungan dua kesenangan, seperti yang sudah engkau ketahui.

Adapun kalimat وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ﴿ - wa la-hum fi-hâ azwâjun muthahharatun (“dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci”), ketahuilah bahwa, berdasarkan munasabah antara dua kalimat yang saling terhubung, huruf "الواو - waw (dan)" [di sini] menunjukkan bahwa sebagaimana mereka membutuhkan tempat tinggal untuk tubuh mereka, mereka juga membutuhkan sarana istirahat dan ketenangan untuk jiwa mereka.


174. Page

 

وَلَهُمْ﴿ - la-hum (“bagi mereka”) menunjukkan kekhususan dan kepemilikan.

Juga, [ia menunjukkan] pengkhususan dan pembatasan.

Juga, ia menyiratkan bahwa selain istri mereka yang dari dunia, mereka akan memiliki bidadari, yang dibuat khusus untuk mereka.

Dan فِيهَا﴿ - fi-hâ (“di dalamnya”) menunjukkan bahwa istri-istri tersebut akan layak untuk surga, dan kecantikan mereka akan proporsional sesuai dengan tingginya tingkatan mereka.

Selain itu, di dalamnya terdapat pertanda tersembunyi bahwa surga dihiasi dan diperindah dengan [kehadiran istri-istri] tersebut.

Kata مُطَهَّرَةٌ﴿ - muthahharatun (“suci”) menunjukkan bahwa seseorang telah membersihkan dan menyucikan mereka. Apa perkiraanmu dengan orang yang dibersihkan dan disucikan oleh tangan qudrat, [dapatkah engkau gambarkan]?!

[مُطَهَّرَةٌ﴿ - muthahharatun] berbentuk kata kerja transitif [bentuk kedua], yang menunjukkan bahwa perempuan dunia akan dibersihkan dan disucikan sehingga mereka akan menjadi secantik bidadari dalam diri mereka.

Adapun kalimat وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴿ - wa hum fi-ha khâlidûn (“dan mereka kekal di dalamnya”) menunjukkan bahwa baik diri mereka, istri-istri mereka, kelezatan surga, dan surga semuanya, adalah abadi.