AL-BAQARAH AYAT 26-27

175. Page

Ayat 26-27

 

﴿إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُون

(Inna Allâha lâ yastahyi an yadlriba matsalan mâ ba'ûdlatan fa-mâ fawqahâ faammâ alladzîna âmanû fa-ya'lamûna annahû al-haqqu min rabbihim wa amma alladzîna kafarû fa-yaqûlûna mâdzâ arâda Allâhu bi-hâdzâ matsalan yudlillu bi-hi katsîran wa yahdî bi-hi kathîran wa mâ yudillu bi-hi illâ al-fâsiqîn * Alladzina yanqudlûna 'ahd Allâh min ba'd mitsâqihi wa yaqtha'ûna mâ amara Allâh bi-hi an yûshala wa yufsidûna fi al-ardl ûlâ'ika humu al-khâsirûn.)

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, * (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”

 

Ketahuilah: Ayat-ayat ini juga memiliki ketiga aspek nadzam, yang melihat pada susunan kata [dan hubungan-hubungannya], makna dari semuanya yang melihat pada ayat-ayat sebelumnya dan pada yang sesudahnya, serta pada al-Qur'an secara keseluruhan.

Nadzam [ayat-ayat] ini dilihat dari yang berikutnya:

Ketahuilah, ketika al-Qur'an memberi contoh lalat dan laba-laba serta berbicara tentang semut dan lebah, orang-orang Yahudi, orang-orang munafik, dan para penyembah berhala melihatnya sebagai kesempatan untuk menentangnya. Dengan bodohnya mereka berkata: "Apakah Allah Yang Maha Tinggi dengan keagungan-Nya berkenan untuk berbicara tentang hal-hal sepele yang dianggap malu oleh orang-orang sempurna untuk menyebutkannya?" Maka al-Qur'an pun membungkam mulut mereka dengan ayat ini.

Adapun nadzamnya sehubungan dengan dengan apa yang mendahuluinya: Ketahuilah, al-Qur'an membuktikan kenabian [Muhammad] melalui kemukjizatan; membuktikan kemukjizatan dengan menantang [lawan-lawannya]; dan membuktikan [keberhasilan] tantangan itu dengan diamnya mereka. Demikian pula, ia membuktikan pada awal surah ini bahwa al-Qur'an mencakup sifat-sifat mulia dan keunggulan sempurna yang tidak ditemukan menyatu dalam perkataan lainnya. [Demikianlah, ia mengalahkan lawan-lawannya yang] tetap diam [tak berkutik] menghadapi tantangan [al-Qur'an]. Bahkan, perasaan solidaritas kesukuan mereka tak terangsang sama sekali. Namun, dengan menggunakan argumen palsu mereka keberatan dengan salah satu [aspek] kesempurnaan al-Qur'an. Mereka mengatakan bahwa perumpamaan seperti كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا﴿"bagaikan orang yang menyalakan api" (2:17) dan كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ﴿"seperti hujan lebat dari langit" (2:19), termasuk hal biasa dan menurunkan derajat bahasa, serta meletakkannya sejajar dengan percakapan orang-orang biasa. Maka al-Qur'an mengetuk kepala mereka dengan ayat ini, sehingga membuat mereka linglung.

Penjelasannya: Keragu-raguan mereka yang lemah bersumber dari serangkaian delusi, yang basisnya sejumlah kerancuan berikut ini:

[Kerancuan] Pertama: Analogi palsu yang sumbernya adalah bahwa mereka melihat segalanya dengan bercermin pada apa yang mereka kenal. Sebab, mereka melihat orang yang otaknya parsial, yang pikirannya parsial, yang bicaranya parsial, yang pendengarannya parsial, dan yang tidak dapat hadir di dua hal sekaligus, dan mereka mengetahui bahwa kriteria ambisinya adalah sesuatu yang menjadi 

176. Page

kesibukannya dan yang dianggapnya penting. Mereka menganggap bahwa nilai kelayakan dan kebesaran itu harus sejalan dengan ambisinya, sehingga mereka tidak bisa menganggap hal rendah dan sepele disandarkan ke sesorang sosok tinggi. Mereka menganggap dia tidak akan turun merendah dan menyibukkan diri dengan hal-hal sepele, serta tak ada ruang bagi masalah seperti itu untuk menganggu ambisinya. Dengan pandangan yang salah ini mereka melihat ke Yang Maha Wajib Adanya (Maha Tinggi Dia) seraya berkata: "Bagaimana dengan keagungan dan kemuliaan-Nya Dia berkenan untuk berbicara dan berkomunikasi dengan manusia dengan cara mereka, serta berbicara tentang hal-hal sepele, terutama hal-hal hina ini?"

Apakah orang-orang bodoh itu tidak mengerti bahwa kehendak, pengetahuan, dan kekuatan Allah Yang Maha Tinggi bersifat universal, umum, mencakup semua, dan komprehensif, serta bahwa satu-satunya ukuran bagi keagungan-Nya adalah karya-Nya dalam totalitas mereka, dan bahwa satu-satunya skala untuk manifestasi-Nya adalah kata-kata-Nya (kalimâtuhu) yang, jika semua laut dijadikan tintanya, tidak akan pernah habis.[1]

 

Misalnya, وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى"dan Allah mempunyai perumpamaan yang tinggi" (Qs. al-Nahl [16]:60), jika cahaya matahari -- dengan asumsi ia memiliki kehendak dan kecerdasan -- jatuh ke atom yang kotor berdebu, bisakah engkau berkata padanya: "Bagaimana dengan segala kemuliaanmu engkau mau turun merendah dan menyibukkan diri dengan atom ini?"

Ya, sebagaimana Allah Ta'ala menciptakan dunia, membentuknya dengan seni maksimal, dan sangat memperhatikannya, demikian juga Dia menciptakan partikel terkecil dan membentuknya dengan presisi tinggi. Dalam pandangan qudrat [ilahi], tidak ada perbedaan antara partikel kecil dan planet-planet, sebab qudrat, pengetahuan, kehendak, dan kalam-Nya merupakan kemestian bagi dzat, dan bersifat esensial. Hal ini tidak berubah, dan tidak menerima penambangan dan pengurangan, atau berubah-ubah sehingga menyebabkannya bervariasi. Sebagai kebalikan [qudrat], ketidakmampuan tidak bisa bercampur di dalamnya. Karena itu, tidak ada perbedaan antara atom dan matahari. Sebab, sesuatu yang mungkin itu sama dalam hal ada dan tidak-adanya melalui kesamaan dua sisinya seperti timbangan yang memiliki dua tangan: jika tangannya memegang dua matahari atau dua atom, dibutuhkan kekuatan lainnya untuk menaikkan yang satu dan menurunkan lainnya. Demikian pula halnya, makhluk itu sama dalam pandangan qudrat [ilahi] esensial yang lazim. Namun, perbandingan tidak berlaku jika dikaitkan dengan kekuatan hal-hal mungkin yang wujudnya berubah dan dapat dipengaruhi ketidakmampuan.

Ringkasan: Partikel kecil dan hal-hal sepele adalah makhluk bagi-Nya, dan tentu dikenal oleh-Nya, sehingga tak dapat disangkal dan jelas dengan sendirinya bahwa Dia akan berbicara tentang makhluk-Nya itu. Karena rahasia inilah Dia berkata dalam firman-Nya: أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴿"apakah

[1] Di naskah Utsmaniyah disebutkan: "Tampak secara lahiriah terdapat pernyataan berlebihan (mubalaghah) di dalam ayat yang mengandung makna ini. Padahal jika diperhatikan pada hakekatnya akan tampak jelas bahwa tidak ada sikap berlebihan di dalamnya. Sebab "al-kalimat" dinyatakan untuk sesuatu yang mengandung makna tertentu. Adapun "al-kalimat" yang dimaksud ahli Nahwu adalah istilah khas mereka yang mengandung makna tersendiri.

Ya, terdapat dua bahasa. Yang satu bahasa perkataan (maqal al-lisan) dan satunya lagi bahasa keadaan (maqal al-hal). Kalimat bahasa perkataan adalah kata-kata, dan kalimat bahasa keadaan adalah hal-ihwal. Berdasarkan ini, semua makhluk di kitab alam semesta yang besar ini merupakan kalimat keadaan yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta S.w.t sebagaimana dikatakan penyair:

Di tiap sesuatu ada tanda bagi-Nya

yang menunjukkan bahwa Dia tunggal.

Jika diukur, pepohonan dan lautan seolah cukup untuk menulis kalimat-kalimat keadaan yang terdapat di kitab alam semesta. Maka diperlukan tinta dan pena untuk menuliskannya, sebab pepohonan dan lautan merupakan kalimat keadaan itu sendiri. Yakni, dibutuhkan kumpulan pohon dan laut lain sepertinya untuk menuliskannya. Setelah engkau menulis tetesan kumpulan pertama dan kalimatnya, akan dibutuhkan kumpulan pohon dan laut sepertinya. Demikian seterusnya, terjadi rangkaian sesuatu yang tanpa habisnya. Jadi, kalimat Allah S.w.t -- yakni kalimat keadaan yang menunjukkan keagungan-Nya -- tidak akan habis. Ini berarti, makna yang dikandung dalam ayat, "Katakanlah, 'Seandainya lautan menjadi tinta Tuhanku, niscaya laut akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis meskipun kami mendatangkan tinta yang serupa'" sama sekali tidak ada yang berlebihan di dalamnya, tapi betul-betul sempurna." (Abdul Majid)




177. Page

Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" (Qs. al-Mulk [67]: 14). Bagaimana Dia yang mengetahuinya tidak harus menyebutkannya atau membicarakannya, karena Dia adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana?!

Kerancuan Kedua: Mereka mengklaim bahwa di dalam gaya bahasa al-Qur'an di balik Sang Pembicara terlihat sosok patung manusia. Alasannya, [al-Qur'an] membahas hal-hal yang sepele dan urusan biasa ini dengan gaya bicara manusia biasa.

Tapi, apakah orang-orang yang menutup mata [terhadap kebenaran] itu tidak ingat bahwa ucapan selain dilihat dari sisi pembicara, juga dilihat ke pendengarnya dari berbagai sisi, sesuai tuntutan balaghah, yang menerapkan [pembicaraan] sesuai dengan kondisi [pemahaman] pendengar. Dengan demikian, karena pendengarnya adalah manusia, dan pembahasannya terkait kondisi manusia, dengan tujuan untuk memastikan bahwa dia memahaminya, al-Qur'an pun mengenakan gaya bahasa manusia yang dicampur dengan emosinya, yang disebut "membumikan wahyu ilahi ke pikiran manusia," untuk mengakrabkannya [dengan pikiran manusia]. Tidakkah engkau melihat ketika berbicara dengan anak-anak, engkau harus menggunakan bahasa kekanak-kanakan.

Jika engkau bertanya: Apakah kehinaan dan kesepelan sesuatu tidak bertentangan dengan keagungan qudrat [ilahi] dan kesucian kalam [ilahi]?

Engkau akan dijawab: Keremehan, kerendahan, keburukan, dan sebagainya, hanya dipandang dari wajah luar (mulk) dan wajah yang melihat kepada kita, serta dilihat dari pandangan dangkal kita. Sebab-sebab lahiriah sengaja dimasukkan sebagai perantara dalam hal ini, untuk membebaskan keagungan ilahi [dari kesalahan apa pun]. Namun, wajah internal sesuatu (malakûtiyyat al-asyyâ') sepenuhnya memiliki daya tembus tinggi. Aspek inilah lokus qudrat [ilahi], dan tidak terkait dengan yang di luarnya. Maka, sebagaimana keagungan [ilahi] menuntut agar penyebab ditempatkan di luar, demikian pula keesaan dan martabat lainnya menuntut kecakupan qudrat dan kalam [ilahi] atas segala sesuatu. Namun, al-Qur'an yang ditulis pada partikel kecil atom tidak kurang fasihnya dari al-Qur'an yang ditulis dengan tinta pada bintang-bintang di halaman langit. Dan penciptaan nyamuk bukanlah seni penciptaan yang lebih rendah ketimbang penciptaan gajah.[1] Dengan demikian, kalam [ilahi] sama dengan qudrat [ilahi].

Jika engkau bertanya: Lalu, keremehan lahiriah dalam perumpamaan ini merujuk kepada siapa?

Engkau akan dijawab: Hal itu merujuk bukan kepada objek perumpamaan, tetapi kepada orang-orang yang digambarkan. Semakin dekat perumpamaan kepada hal-hal yang digambarkan, akan semakin baik dia; dan semakin tinggi tingkat pembicaraan, semakin tinggi pula nadzam balaghahnya. Tidakkah engkau melihat, ketika seorang raja memberikan kepada tukang gembalanya beberapa pakaian yang cocok, dan melemparkan tulang kepada anjing, dan sebagainya, itu tidak dapat dikatakan bahwa apa yang telah dilakukannya bid'ah, [yang bukan pada tempatnya]; bahkan akan dikatakan bahwa dia telah melakukan hal terbaik dengan memberikan kepada masing-masing apa yang sesuai. Jadi, semakin tidak penting sesuatu yang digambarkan, representasinya akan sama tidak pentingnya; dan semakin penting [sesuatu yang digambarkan], representasinya akan demikian pula.

Karena berhala merupakan sesuatu yang paling hina, Allah mengirimkan lalat [untuk mengganggu] kepalanya[2]. Dan karena penyembahan berhala merupakan kelakuan paling hina, Allah menggambarkannya sebagai jaring laba-laba.

Kerancuan Ketiga: Mereka bertanya: "Apa perlunya ada perumpamaan tersebut, yang menyimpulkan bahwa [al-Qur'an] tidak mampu menampilkan realitas?"

Jawaban: Karena tujuan diturunkannya al-Quran [dimaksud] untuk membimbing khalayak umum yang merupakan orang-orang biasa, dan orang-orang biasa tidak dapat memahami kebenaran murni dan ide-ide

[1] Di dalam naskah Utsmaniyah disebutkan: "Di kepala nyamuk adalah belalai yang menyerupai bayonet. Ketika hinggap ke kepala gajah, nyamuk memasukkan belalainya ke belalai gajah. Gajah pun berlari, dan tidak bisa lepas dari nyamuk selamanya. Maksudnya, Allah menjadikan nyamuk mampu mengalahkan dan menguasai gajah. Karena itu, nyamuk bukanlah makhluk hina dan remeh dibanding gajah, bahkan melebihinya dalam hal keberanian, meskipun fisiknya kecil sekali dibanding gajah." (Abdul Majid)

[2]



178. Page

abstrak yang telanjang dari imajinasi mereka, maka berkat kasih karunia dan kebaikan-Nya Allah Ta'ala membungkus kebenaran dengan pakaian yang tidak asing bagi mereka, agar mereka merasa lebih enak. Engkau telah mengetahui hal ini dalam [pembahasan ayat 23 tentang] rahasia ayat-ayat mutasyabihat.

Adapun nadzam [dan hubungan] frasa ayat satu sama lain: Ketahuilah bahwa ungkapan إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا﴿ - inna Allâha lâ yastahyî an yadlriba matsalan mâ ba'ûdlatan fa-mâ fawqahâ (“sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”) hendak membantah dan menolak keberatan [mereka]. Seolah-olah mereka bertanya: "Apa alasan (hikmah) Allah Ta'ala berbicara dengan manusia, juga celaan-Nya terhadap mereka dan keluhan-Nya tentang mereka, sebab itu merupakan tanda bahwa manusia juga memiliki kekuatan bertindak di dunia? Apalagi jika [pembicaraa-Nya] menyerupai percakapan yang berlangsung di antara manusia, tidakkah itu pertanda sebagai ucapan manusia? Di balik pembicaraan terlihat jelas adanya patung manusia? Apalagi [Dia berbicara dalam bentuk] tamsil dan perumpamaan, sebab ini menunjukkan ketidakmampuan untuk menggambarkan realitas? Dan terutama jika perumpamaan itu berupa hal-hal biasa, sebab ini pertanda bahwa pikiran pembicara terbatas? Dan terutama jika ia [menggambarkan] hal sepele, sebab ini menunjukkan kesembronoan pembicara? Dan terutama jika itu berupa hal-hal yang tidak pantas disebutkan dan akan lebih baik kalau dihindari? Dan terutama jika sebagian hal tersebut menyangkut sesuatu yang dihindari untuk dibahas oleh orang terhormat? Dan terutama jika pembicaranya seorang pembesar dan penting? Maka, al-Qur'an pun membalas dan menghancurkan rangkaian pertanyaan ini dari awal sampai akhir dalam satu pukulan, dengan menyatakan: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي﴿"Allah tiada segan" dan seterusnya.

Sebab, aspek internal [segala sesuatu] (malakûtiyyah) tidak bertentangan dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sehingga Dia mengabaikan atau membiarkan apa pun. Ketuhanan menuntut demikian. Karena itulah, Dia menggambarkan hal sepele [untuk mengekspresikan] makna yang tidak penting, sebab hikmah dan rahasia balaghah menuntut demikian. Dan karenanya Dia menyebutkan perumpamaan biasa sebab hal itu sesuai untuk pendidikan dan bimbingan. Dan karenanya pula Dia menggambarkan kebenaran dengan cara perumpamaan sebab inilah yang dituntut oleh inayah bersama curahan rahmat ilahi. Dan karenanya pula Dia memilih berbicara dengan cara percakapan manusia sebab inilah yang ditutut oleh pengayoman (rubûbiyyah) bersama pendidikan ilahi. Dan karenanya pula Dia berbicara dengan manusia sebab inilah yang dituntut oleh hikmah bersama keteraturan [segala sesuatu].

Ringkasan: Ketika Allah Ta'ala menanamkan indera kehendak (juz' ikhtiyâri) pada manusia dan menjadikannya sumber (mashdar) dari dunia perbuatan, Dia mengirimkan firman-Nya untuk mengatur dunia tersebut.

Nadzam kalimat فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ﴿ - fa-ammâ alladhîna âmanû faya'lamûna annahû al-haqq min rabbihim (“adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”):

Melalui kalimat ini, [al-Qur'an] menunjukkan cara untuk membuktikan pernyataan yang dibuat di [ayat] sebelumnya. Ini juga menunjukkan cara menyangkal ilusi atau keragu-raguan [wahm]. Maksudnya, siapa pun yang melihat dengan cahaya keimanan, dan dari sudut pandang Allah Ta'ala dan qudrat-Nya, mengingat hikmah, inâyah (kasih karunia), dan rubûbiyyah (penyayoman)-Nya, dia akan mengetahui bahwa inilah [perumpamaan yang] benar dan [sesuai dengan] kefasihan balaghah. Tapi orang yang melihat hanya dari kedalaman jiwanya dan dari sudut pandang makhluk yang serba mungkin (mumkinât), tak ayal dia akan tertimpa ilusi.

Ini menyerupai dua orang yang pergi ke bukit dan yang pergi ke bawah lembah mencari sejumlah aliran sungai.

Salah seorang dari mereka naik ke atas, dan sampai ke mata air. Ia merasakan air itu, dan mengetahui bahwa airnya baik dan segar. [Dia kemudian turun dan] setiap kali dia menemukan sedikit air dari anak sungai itu, dia mengetahui bahwa air itu baik dan segar -- meskipun buktinya lemah -- dan tidak ada keragu-raguan -- meskipun kuat -- yang bisa menyesatkannya. 


179. Page

Sementara orang satunya, ia pergi menurun dan mencari air dari sisi aliran sungai. Dia tidak [mendaki atau] melihat sumber mata air, karena itu ia memerlukan bukti kuat untuk mengetahui baik-tidaknya setiap tetes air dari sejumlah kecil air yang ditemuinya. Sedikit saja kecurigaan bisa melemparkannya ke dalam keraguan.

Atau, ini menyerupai dua orang, yang di antara mereka terdapat cermin: salah seorang dari mereka melihat ke kaca yang transparan, dan yang lainnya melihat ke kaca yang berwarna.

Ringkasan: Ketika mengamati karya seni [Allah] Ta'ala, [kita] harus melihatnya dari sudut pandang-Nya (min jânibihi), bersamaan dengan melihat inayah dan rububiyah-Nya. Pengamatan ini tak lain kecuali melalui cahaya keimanan, dan tak akan ada ilusi -- meskipun kuat -- kecuali lebih tipis dari jaring laba-laba. Tetapi jika kita melihat [karya seni ilahi] dari sudut pandang makhluk yang serba mungkin, dengan pandangan sempit pembeli, maka ilusi lemah akan tumbuh kuat di hadapannya, dan kebenaran akan disembunyikan darinya, seperti sayap nyamuk yang mencegah mata melihat Gunung Judi.

Nadzam kalimatوَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا﴿ - wa amma alladzîna kafarû (“tetapi mereka yang kafir”) dan seterusnya:

Setelah memperlihatkan cara untuk memahami hikmah dalam perumpamaan (tamtsîl) -- yaitu melihat dengan cahaya keimanan dari sudut pandang Dzat Yang Wajib Ada -- ia menjelaskan di sini cara yang sebaliknya, yang merupakan sumber dari ilusi dan gangguan. Hal ini karena [seseorang] melihat dari sisi jiwanya, melalui gelapnya kekufuran, yang membayangkan segalanya gelap, disertai penyakit hati yang menyebabkan khayalan meskipun hanya sedikit terasa memberatkannya. Kemudian ia menyimpang dari jalan kebenaran, lalu merasa ragu-ragu, kemudian ia mulai mengajukan pertanyaan, dan selanjutnya ia pun menyangkal. Dengan keringkasan dan sindirannya, al-Qur'an menyampaikan [kepada orang-orang kafir] pertanyaan yang bernada penolakan, dengan mengatakan, مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً﴿ - mâdzâ arâda Allâhu bi-hâdzâ matsalan (“apa maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”), bukan dengan mengatakan, "لا يعلمون - mereka tidak tahu," meskipun jelas ini sejalan dengan [kata "mereka mengetahui" di] frasa sebelumnya.

 

Nadzam kalimat يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا﴿ - yudlillu bihî katsîran wa yahdî bi-hî katsîran (“dengan [perumpamaan itu] banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengannya pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk”):

Ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan [orang-orang kafir] [di kalimat sebelumnya]. Untuk mencapai puncak keringkasan, ia menjadikan hasil [dari perumpamaan, yaitu, petunjuk dan kesesatan] sebagai alasan utama untuk itu ('illat ghâ'iyyah), seolah-olah mereka bertanya, "Mengapa seperti itu? Mengapa kemukjizatannya tidak aksiomatis? Mengapa keberadaannya sebagai kalam Allah bukan keharusan? Mengapa memberikan kesempatan bagi keraguan dan ilusi tampil melalui perumpamaan ini?"

Maka al-Qur'an [menghalau semua pertanyaan ini] dengan menjawab: يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا﴿. Yakni, orang yang memikirkan [perumpamaan] itu dengan cahaya keimanan, [al-Qur'an] akan menambah cahayanya, dan orang yang memikirkannya dengan gelapnya kekufuran [al-Qur'an] akan menambah kegelapannya.

Dan ini agar [al-Qur'an] bersifat teoritis (nadlarî), bukan aksiomatis (badîhî).

Agar ruh yang suci mulia dapat dibedakan dari ruh yang keruh rendah.

Agar kesiapan yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang dapat dibedakan dari kesiapan yang buruk.

Agar fitrah yang benar untuk menyempurna, berjuang keras, dan berijtihad dapat dibedakan dari fitrah yang busuk dan rusak.

Agar ujian manusia menuntutnya, dan agar bala cobaan mengharuskannya.

Agar rahasia pemberian beban tanggungjawab (taklîf) dalam penyempurnaan manusia dan kebahagiaannya mengharuskannya.

Maka al-Qur'an pun meringkas jawabannya!

 


180. Page

Jika engkau bertanya: Engkau mengatakan bahwa tugas kewajiban dibebankan kepada manusia untuk menjamin kebahagiaan mereka, padahal [tugas] itu menjadi penyebab sebagian besar mereka sengsara. Jika bukan karena beban tugas ini, tidak akan terjadi perbedaan sedemikian besar di antara manusia?

Engkau akan dijawab: Sebagaimana Allah Ta'ala mempercayakan manusia dengan indera kehendak (juz' ikhtiyârî) dan beban kewajibannya (taklîf) dapat berusaha (bi-kasbihi) untuk membentuk dunia perbuatan ikhtiarnya, demikian juga Dia membuat beban kewajiban ini sarana menyiram dan menumbuhkan bibit tak terbatas yang telah ditanamkan di dalam jiwa manusia. Jika bukan karena beban kewajiban itu, [benih tadi] akan kering [dan tidak akan tumbuh].

Jika engkau mempelajari sejarah (ahwâl) umat manusia secara mendalam, engkau akan melihat bahwa semua kemajuan ruh maknawi [manusia], semua penyempurnaan nurani ilahi, kemajuan akal, peningkatan pemikiran produktif yang besar hingga begitu menakjubkan, semuanya terjadi hanya karena beban tugas kewajiban tadi, yang dibangkitkan melaui pengutusan nabi, yang hanya membuahkan melalui syariat agama, dan yang terinspirasi oleh agama.

Kalau bukan karena itu, manusia akan tetap sebagai hewan, serta kesempurnaan nurani dan kebaikan akhlak tidak akan ada.

Hanya sebagian kecil saja manusia yang mau menerima beban kewajiban agama (taklîf) berdasarkan pilihannya, sehingga mereka memenangkan kebahagiaan pribadinya dan mereka menjadi penyebab kebahagiaan umat manusia.

Adapun mayoritas, secara kuantitatif, meskipun mereka mungkin kafir di dalam hati dan di mana mereka bebas memilih, namun karena tidak setiap sikap dan sifat tiap orang kafir muncul dari kekafiran, dan karena para nabi membangkitkan kepekaan hati nurani dan memperingatkan watak moral, serta karena syariat [yang mereka bawa] diperhatikan dan jejak karya mereka dikenal, [maka mayoritas] mau tak mau menerima beberapa tugas kewajiban [yang dibebankan kepada manusia].

Jika engkau bertanya: Bagaimana kebahagiaan sekelompok kecil orang dan kesengsaraan mayoritas mereka bisa menjadi tampilan kebahagiaan umat manusia, sehingga syariat dianggap sebagai rahmat? Sebab, kebahagiaan umat manusia hanya bisa [dicapai] melalui [kebahagiaan] semua atau [setidaknya] mayoritas.

Engkau akan dijawab: Jika engkau memiliki seratus telur dan engkau menempatkannya di bawah ayam [untuk dieram], lalu dua puluhnya menetas dan yang delapan tidak, tidakkan engkau akan mengatakan bahwa spesies telah sepenuhnya sempurna? Sebab, dua puluh anak ayam yang hidup sama dengan ribuan telur.

Atau jika engkau memiliki seratus biji kurma dan engkau [menanamnya serta] mengairinya, lalu dua puluhnya menjadi kurma yang menjulang sementara delapan puluh lainnya busuk, tidakkah engkau akan mengatakan bahwa air merupakan kebahagiaan bagi spesies?

Atau jika engkau memiliki beberapa bijih logam, lalu engkau menyepuhnya, sehingga seperlimanya menjadi emas dan sisanya berubah menjadi sampah dan abu, tidakkah api menjadi sarana kesempurnaan dan keunggulan (lit. kebahagiaan)? Engkau dapat membuat contoh lebih lanjut dengan cara yang sama.

Dengan demikian, tumbuhnya kepekaan tinggi dan berkembangnya akhlak hanya dapat dicapai melalui usaha keras, serta sempurnanya segala sesuatu hanya dapat dicapai melalui penghadapan hal-hal yang bertentangan dan persaingannya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika pemerintah atau negara berkerja keras, keberaniannya akan tumbuh, tetapi jika menyerah keberaniannya akan mati. Renungkan ini!

 

Nadzam kalimat وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ﴿ - wa mâ yudlillu bi-hi illâ alfâsiqîn (“dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”):

Karena ketidakjelasan dari kalimat [sebelumnya], يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا﴿ ("dengannya banyak orang yang disesatkan”), kalimat yang satu ini mengingatkan pikiran pendengar, dan mengganggunya, seraya bertanya: "Siapakah orang yang sesat itu? Apa alasannya? Dan bagaimana bisa kegelapan datang dari cahaya al-Qur'an?"


181. Page

[Al-Qur'an] menjawab: "[Orang-orang sesat] adalah orang-orang yang fasik dan menyimpang dari jalan yang benar (fâsiqûn), dan penyesatan merupakan hukuman atas kafasikan mereka, serta dengan kefasikan itu cahaya berubah menjadi api sebagai hak mereka, sementara terang berubah menjadi gelap." Tidakkah engkau melihat bahwa sinar matahari dapat membusukkan barang yang bahannya basi!

[Berbagai] aspek [dari dosa dan kefasikan] dideskripsikan dalam [ayat berikut]: الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ﴿ - alladzîna yanqudlûna 'ahd Allâhi min ba'd mitsâqihi wa yaqtha'ûna mâ amara Allâhu bi-hi an yûshala wa yufsidûna fi al-ardl (“orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi”). Ayat ini mengungkap [apa] kefasikan itu.

Sebab, kefasikan adalah penolakan terhadap kebenaran, melampaui batas, dan keluar dari bungkus keras [petunjuk yang benar].

Kefasikan terjadi karena sikap ekstrem berlebih-lebihan (ifrâth) atau ekstrem berkekurangan (tafrîth) di ketiga daya indera, yaitu akal, kemarahan, dan syahwat.

Sikap sikap ekstrem berlebih-lebihan dan berkekurangan menyebabkan durhaka dalam menghadapi bukti-bukti yang berupa perjanjian ilahi ('uhûd) dalam penciptaan.

Kedua sikap ekstrem juga menyebabkan penyakit dalam kehidupan pribadi; hal ini ditunjukkan melalui sifat pertama [dalam ayat di atas].

Demikian juga keduanya menghasut orang untuk durhaka dalam menghadapi kehidupan sosial, serta merobek ikatan dan hukum masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh sifat kedua [dalam ayat di atas].

Keduanya juga menyebabkan kerusakan dan revolusi, yang merusak tatanan bumi, seperti yang ditunjukkan oleh sifat ketiga.

Ya, dengan daya akal yang melewati batas moderasi (i'tidâl), orang fasik merusak ikatan akidah, dan menghancurkan kerangka kuat, yaitu, kehidupan abadi.

Dengan daya amarah yang berlebih-lebihan, dia merobek kerangka kehidupan sosial.

Dengan daya kebinatangan yang berlebihan, dan mengikuti hawa nafsu, dia menghilangkan kasih sayang terhadap sesama dari dalam hatinya.

Dia merusak manusia dan membuat kesulitan bagi mereka dalam hal apa pun dia terlibat di dalamnya, sehingga menyebabkan bahaya bagi umat manusia dan merusak tatanan bumi.

 

Nadzam kalimat: أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ﴿ - ûla ika humu al-khâsirûn (“mereka itulah orang-orang yang rugi”):

Setelah menyebutkan kejahatan orang fasik dan mengintimidasi mereka, [al-Qur'an] memperkuat ancaman [dengan menyebutkan] hasil akhir dan hukuman atas kejahatan tersebut, untuk memperkuat pengaruh intimidasi terhadap mereka. Dan ia mengatakan: "Merekalah yang merugi dengan memperdagangkan akhirat dengan dunia, dan menukar petunjuk dengan hawa nafsu."

Sekarang mari kita mulai [menganalisis] nadzam [dan hubungan] dari bagian-bagian frasa, kalimat demi kalimat. Ketahuilah: Ayat-ayat, frasa, dan bagian-bagiannya, menyerupai jarum jam yang menunjukkan detik, menit, dan jam. Jika salah satu membuktikan satu hal, yang lain menguatkannya sampai batasnya sendiri, dan membantu yang lainnya sejauh itu bisa. Demikian pula, jika yang satu ini menginginkan sesuatu, satunya yang lain akan membantu, dan ia akan menyokong lainnya pula sehingga mengingatkan bait berikut:

عِبَارَاتُنا شَتّى وَحُسْنُكَ وَاحِدٌ          وَكلٌّ إلى ذَاكَ الْجَمالِ يُشِيرُ

Ungkapan kami bervariasi, tapi keindahanmu satu

Masing-masing mengisyaratkan keindahan tersebut.

Berdasarkan misteri inilah, kefasihan al-Qur'an dan tingkat unggulan serta kehalusan ukirannya mencapai tingkat kemukjizatan.

 


182. Page

Bagian-bagian dari frasa: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا﴿ - inna Allâha lâ yastahyi an yadlriba matsalan mâ ba'ûdlatan fa-mâ fawqahâ (“sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”):

Ketahuilah: Kata "إِنَّ﴿ - inna (“sesungguhnya”) [bertujuan] untuk menegaskan (tahqîq), menghilangkan keraguan, dan membantah penolakan. Ia mengisyaratkan rangkaian kebimbangan [dan keragu-raguan] yang disebutkan sebelumnya.

Kata الله﴿ - Allâh [digunakan] untuk mengingatkan pikiran [pendengar] terhadap kesalahan [membuat] perbandingan yang telah disebutkan di atas.

Pilihan لاَ يَسْتَحْيِي﴿ - lâ yastahyî (lit. tidak malu)" ketimbang kata "لا يترك - tidak berhenti atau meninggalkan," meskipun malu (hayâ') -- yang merupakan pencabutan diri[1] -- tidak mungkin berlaku bagi Dzat Yang Maha Tinggi dan meniadakan sesuatu yang mustahil itu tidak ada gunanya, hal itu menunjukkan bahwa karena hal-hal seperti hikmah, balaghah, dan sebagainya memerlukan sebuah tamsil, maka tidak ada alasan untuk berhenti [mengemukakan perumpamaan] kecuali rasa malu, dan karena malu tidak mungkin berlaku bagi Dzat Yang Maha Tinggi, sama sekali tidak ada alasan untuk berhenti [mengemukakan perumpamaan]. Dengan demikian, membungkam [orang kafir] itu paling efektif dan paling halus.

Selain itu, ia mengisyaratkan penggunaan [teknis sastra] musyâkalah[2] al-shuhbah pada kata-kata bodoh mereka yang mengatakan: "Apakah Rabb Muhammad tidak malu dengan perumpamaan hal-hal sepele ini?" [Artinya, al-Qur'an menggunakan ungkapan yang mereka gunakan untuk membantah apa yang mereka katakan.]

Pilihan أَنْ يَضْرِبَ﴿ - an yadlriba (“membuat”) daripada 'من المثل الحقير - dari perumpamaan rendah,' meskipun yang ini akan lebih tepat, itu menunjukkan gaya bahasa yang halus, yaitu bahwa tamsil seperti mengumpamakan khatam [dimaksud] untuk menegaskan dan membenarkan [sesuatu], atau pencetakan koin [dimaksud] untuk menetapkan nilai dan kredibilitas [uang].

Dan ini menunjukkan bahwa tamsil yang baik dapat mengusir keragu-raguan dan kecurigaan.

Demikian pula, ini menunjukkan bahwa tamsil merupakan metode yang terkenal dan dihargai, sebab mengemukakan tamsil termasuk prinsip yang diakui.

Selanjutnya, pilihan [kata kerja masa mendatang untuk] أَنْ يَضْرِبَ﴿ - an yadlriba dan bukan [kata benda verbal] "ضرب - dlarb" meskipun yang ini lebih ringkas, [dimaksud] untuk menunjukkan bahwa sumber keberatan [orang-orang kafir] tak lain kesepelean [apa yang diumpamakan, bukan perumpamaan itu sendiri, yang berguna.] Sebab, bentuk kata kerja أَنْ يَضْرِبَ﴿ tidak independen [mandiri]; seolah-olah kelembutan substansial mengantarkan pikiran (li. tujuan) ke objek. Namun, karena [kata benda verbal] 'dlarb' independen, seolah-olah ia padat dan menghambat pikiran.

[Kata] مَثَلاً﴿ - matsalan (“perumpamaan”) mengungkap ciri khas perumpamaan dan alegori (tamtsîl), yaitu menggambarkan hal-hal yang abstrak dengan yang konkret, dan menampilkan sesuatu yang imajiner dengan yang nyata, dan memotret hal yang tersembunyi dengan yang kelihatan. Dan ini pertanda penolakan keragu-raguan dan kecurigaan.

Bentuk indefinitif (nakirah) dari kata مَثَلاً﴿ - matsalan menunjukkan bahwa yang penting adalah tamsil itu sendiri, bukan sifat [yang ditamsilkan], sebab ini berhubungan dengan tuntutan konteks (maqâm) atau situasi apa yang ditamsilkan dengannya.

Bentuk umum pada مَا﴿ - menunjukkan bahwa kaedah [tamsil] bersifat umum, sehingga jawabannya tidak harus [dianggap] khusus bagi keberatan mereka; Apa yang ditamsilkan akan mengambil bentuk apa pun yang mesti dan dianggap tepat oleh [Ilmu] Balaghah.


[1] Lihat di al-Ta'rifat 126, Mu'jam Maqalid al-'Ulum 205, al-Tawfiq 'ala Muhimmat al-Ta'arif 302, al-Kulliyyat 404, Dustur al-'Ulama 2/48.

[2] Dalam Miftah al-'Ulum disebutkan, musyâkalah adalah menyebutkan sesuatu dengan lafadz lainnya dari berada dalam penyertaannya. Lihat Tahrir al-Tahbir fi Shina'at al-Syi'r wa al-Natsr 78, Mu'jam Maqalid al-'Ulum 101, al-Kulliyyat 843, Mu'jam al-Mushthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha 3/257.




183. Page

Kata بَعُوضَةً﴿ - ba'ûdlatan (“nyamuk”) [disebutkan] secara spesifik memperlihatkan tamsil sering digunakan oleh para ahli balâghah dalam ekspresi mereka, seperti: "Lebih lemah dari seekor nyamuk." "Lebih bandel dari seekor nyamuk." "Dia membebani saya dengan otak nyamuk." "Lebih mulia dari otak nyamuk."[1] "Nyamuk berkata kepada lebah: Tunggu, saya akan terbang!"[2] "Di sisi Allah dunia tidak sama dengan sayap nyamuk itu."[3] Dan sebagainya. Silahkan buat kias yang serupa.

Hal ini juga menunjukkan lemahnya keraguan mereka.

Yang dimaksud dengan مَا فَوْقَهَا﴿ - mâ fawqahâ adalah sesuatu yang lebih kecil dari ukurannya atau sesuatu yang lebih tinggi sesuai nilai kefasihan balaghah, atau juga yang lebih rendah nilai dan ukurannya.

Ungkapan مَا فَوْقَهَا﴿ - mâ fawqahâ juga mengisyaratkan bahwa hal-hal kecil bisa lebih luar biasa dalam pandangan balaghah, dan lebih menawan dalam penciptaan.

Ketahuilah: Bagian-bagian dari frasa ini seperti benang sutera yang kumpulannya menampilkan bordir halus.

Adapun bagian-bagian dari kalimat فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً﴿ - fa-ammâ alladzîna âmanû fa-ya'lamûna annahû al-haqq min rabbihim wa ammâ alladzîna kafarû fa-yaqûlûna mâdzâ arâda Allâh bi-hâdzâ matsalan (“adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”):

Ketahuilah: "الفاء - ’" [mengungkapkan] percabangan (tafrî') [kalimat ini dari kalimat yang sebelumnya], dan percabangan menunjukkan bukti tersirat yang menghasilkan kalimat ini terbagi dua bagian. Yakni, [Allah] tidak berhenti dari [mengemukakan] tamsil karena balaghah membutuhkannya, dan orang yang berpikiran adil mengetahui bahwa tamsil itu fasih, benar, dan merupakan firman Allah. Sementara orang yang berpikiran keras kepala tidak mengetahuai hikmah [yang terdapat di dalamnya], sehingga dia ragu-ragu, mempertanyakan, kemudian menyangkal[nya], serta memandangnya sepele. Akibatnya, karena orang beriman berpikiran adil, ia menegaskan bahwa tamsil itu firman Allah, sementara karena orang kafir itu bandel, ia bertanya-tanya: "Apa gunanya ini?"

Mengenai "أما - ammâ (“adapun”), ia mengungkapkan syarat kebutuhan. [Di sini,] ia menunjukkan bahwa predikat ["fa-ya'lamûna annahû al-haqq"] merupakan konsekuensi penting dari subjek [الَّذِينَ آمَنُوا﴿]. Maksudnya, predikat ["mengetahui kebenaran"] merupakan karakteristik dari subjek ["orang-orang yang beriman"].

Penggunaan الَّذِينَ آمَنُوا﴿ - alladzîna âmanû" bukan "المؤمنين - al-mu'minûn (“orang-orang beriman”), jelas menunjukkan bahwa keimanan adalah alasan mereka mengetahui kebenarannya, sebagaimana mengetahui kebenarannya merupakan suatu keimanan.

Dan penggunaan أَنَّهُ الْحَقُّ﴿ - annahû al-haqq ketimbang "أنه البليغ - sesungguhnya ini [paling] fasih" meskipun ini akan lebih tepat dalam konteks ini, [secara logis] mengisyaratkan hasil akhir dari keberatan mereka, sebab tujuan mereka ialah menyangkal bahwa [al-Qur'an] adalah firman Allah.

Pembatasan yang terungkap dalam أَنَّهُ الْحَقُّ﴿ - annahû al-haqq merupakan pertanda bahwa, bertentangan dengan apa yang mereka klaim, [hanya perumpamaan nyamuk] inilah yang dianggap baik dan layak [karena sejalan dengan Ilmu Balaghah]. [Metafora lain tidak akan diterima meskipun bebas dari cacat], sebab bebas dari cacat tidak otomatis membuktikan kesempurnaan [sesuatu].

Ungkapan مِنْ رَبِّهِمْ﴿ - min rabbihim menunjukkan bahwa target tujuan mereka ialah menyangkal wahyu  [terkait tamsil].


[1] Lihat di al-Ma'ani al-Kabir karya Ibnu Qutaibah 143, Jumhurat al-Amtsal 2/32, al-Tamtsil wa al-Muhadlarah 77, Tsamar al-Qulub fi al-Mudlaf wa al-Mansub 55, Majma' al-Amtsal 254, 147, Asas al-Balaghah 45, al-Mustaqsha fi Amtsal al-Arab 2/223, Zuhar al-Akamm fi al-Amtsal wal-Hikam 5.

[2] Lihat al-Tamtsil wa al-Muhadlarah 97, Syarh Nahj al-Balaghah karya Ibnu Abi al-Hadid 6/179.

[3] Ini termasuk sabda Nabi S.a.w. Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Sahl bin Sa'ad yang berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, "Andaikan dunia di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, orang kafir tak bisa bisa sedikit pun air darinya." Hadits ini dinilai shahih gharib. Lihat Sunan al-Tirmidzi 4/560 hadits no 2320.




184. Page

[Kata] أَمَّا﴿ - ammâ di وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا﴿ - wa ammâ alladzîna kafarû menandakan penguatan, pembenaran, dan perincian.

Penggunaan kata الَّذِينَ كَفَرُوا﴿ - alladzîna kafarû ketimbang "الكافرين - al-kâfirûn (orang-orang kafir)" meskipun ini lebih ringkas, menyimpulkan bahwa penolakan mereka muncul dari kekufuran dan mengarah ke kekufuran, seperti telah disebutkan.

Penggunaan فَيَقُولُونَ﴿ - fa-yaqûlûna lebih dipilih ketimbang kata "فلا يعلمون - tetapi mereka tidak mengetahui" meskipun ini lebih jelas sebagaimana telah disebutkan, karena [maksudnya] untuk membuat metode kiasan bisa lebih ringkas; yaitu: orang yang kafir tidak mengetahui kebenaran sehingga menyebabkannya goyah, dan ini menyebabkan penolakan, kemudian sikap meremehkan dalam bentuk mempertanyakan.

Selain itu, di kata يَقُولُونَ﴿ - yaqûlûna terdapat isyarat bahwa karena sebagaimana mereka sendiri sesat, demikian pula mereka menyesatkan orang lain dengan kata-kata mereka.

Adapun [nadzam dan hubungan) bagian-bagian dari frasa يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا﴿ - yudlillu bihî katsîran wa yahdî bi-hî katsîran (“dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk”):

Ketahuilah: Di sini, tertib susunan kata mensyaratkan bahwa [frasa] yang kedua mestinya didahulukan [agar sesuai dengan ayat sebelumnya], tapi karena tujuannya untuk membantah [orang kafir] yang bimbang, penuh pertanyaan, sarat penolakan, dan penuh kebencian, maka ungkapan يُضِلُّ﴿ - yudlillu menjadi lebih dipentingkan.

Tidak digunakannya kata benda verbal "الضلالة والهداية - kesesatan dan petunjuk" yang sesuai dengan pertanyaan yang berbentuk kata kerja masa mendatang, itu menunjukkan bahwa kekafiran mereka terus menyebabkan kegelapan demi kegelapan yang semakin pekat sesuai dengan bertambahnya wahyu [al-Qur'an] yang turun secara bertahap, sebagaimana orang beriman semakin meningkat keimanannya sesuai tingkat turunnya wahyu seperti cahaya di atas cahaya.

Selain itu, sebagai balasan [atas pertanyaan mereka: "Apa maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan"], bentuk kata kerja dimaksud bahwa ia hendak menjelaskan kondisi kedua kelompok, dan menjelaskan [pilihan] alasan [bagi mereka].

Adapun kata كَثِيرًا﴿ - katsîran, pertama ia hendak mengungkapkan kuantitas dan jumlah [mereka yang sesat], sedangkan kedua mengungkapkan kualitas dan nilai [orang yang diberi petunjuk]. Ya, orang-orang yang murah hati dan mulia itu banyak meskipun [jumlah mereka] sedikit, [karena nilai mereka banyak]. Kedua, "banyak" juga merupakan kiasan bagi misteri al-Qur'an sebagai rahmat bagi umat manusia.[1] Renungkan hal ini!

Ungkapan وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ﴿ - wa mâ yudillu bi-hi illâ al-fâsiqîn (“dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”):

Ketahuilah: Dengan menjelaskan di sini siapa orang sesat, [al-Qur'an] menghilangkan rasa waswas, ketakutan, dan keragu-raguan [yang ditimbulkan oleh kata] "banyak" di atas ["banyak orang yang disesatkan Allah"], dan menolak tuduhan bahwa al-Qur'an yang cacat, dengan menjelaskan: siapakah orang sesat itu? [Ia menerangkan] bahwa sumber kesesatan mereka adalah kefasikan mereka, bahwa penyebabnya adalah apa yang telah mereka lakukan (kasbuhum), dan bahwa kesalahannya ada pada mereka, bukan pada al-Qur'an, serta bahwa kesesatan dibuat sebagai hukuman atas tindakan mereka.

Selanjutnya, ketahuilah bahwa setiap frasa [di ayat] ini menjelaskan frasa yang mendahuluinya, dan ini diuraikan oleh frasa yang berikutnya, seolah-olah masing-masing menjadi bukti bagi yang sebelumnya, sebagai hasil bagi yang berikutnya.


[1] Di antara kelembutan al-Qur'an dan universalitas rahmatnya bagi manusia ialah ditampilkannya keutamaan orang-orang yang diberi petunjuk yang begitu banyak, meskipun jumlah mereka sedikit. Dijelaskan bahwa orang pemilik keutamaan dan hidayah lebih utama dari seribu orang yang tidak diberi keutamaan dan hidayah. Karena itu, orang mulia itu banyak meskipun jumlah mereka sedikit. (T: 196)




185. Page

Hal ini dapat diperjelas dengan "dua garis penalaran":

Yang pertama, begini: [Allah] tidak segan (lit. tidak malu) [untuk mengemukakan perumpamaan], karena Dia tidak berhenti [melakukannya], karena [perumpamaan] itu fasih menurut balaghah, karena itulah kebenaran, karena itulah firman Allah, karena orang beriman mengetahui hal ini.

Yang kedua, begini: [Allah] tidak segan [untuk mengemukakan perumpamaan], sebagaimana dikatakan orang ingkar; karena mereka mengatakan bahwa Dia harus berhenti melakukan hal itu, karena mereka tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya, karena mereka bertanya apa gunanya, karena mereka menyangkalnya, karena mereka menganggapnya sepele, karena mereka telah jatuh ke dalam kesesatan dengan mendengarnya, karena al-Qur'an menyebut mereka sesat, karena merekalah yang berbuat fasik dan melampaui batas, karena mereka telah melanggar perjanjian dengan Allah, karena mereka telah merobek apa yang telah Dia sambung melalui perintah-Nya dalam penciptaan maupun syariat, karena mereka merusak tatanan ilahi di bumi, akibatnya mereka yang merugi baik di dunia ini melalui kepedihan hati nurani mereka, hati yang cemas, dan jiwa yang merana, dan [merugi] di akhirat karena adzab kekal dan murka ilahi. Renungkan kefasihan dua sekuens ini![1]

Adapun bagian-bagian dari kalimat الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ﴿ - alladzîna yanqudlûna 'ahd Allâh min ba'd mitsâqihi wa yaqtha'una mâ amara Allâh bi-hi an yûshala wa yufsidûna fi al-ardl (“orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi”):

Ketahuilah: Penggambaran orang-orang fasik yang meragukan [al-Qur'an] melalui kemukjizatan dan nadzamnya dengan cara ini di posisi ini, tak lain karena [memang dibuat] untuk konteks yang lembut dan tinggi. Seolah-olah al-Qur'an mengatakan: "Sama sekali tidak mungkin orang-orang fasik meragukan dan pura-pura tidak mengetahui kemukjizatan nadzam al-Qur'an -- karena mereka tidak dapat melihat kemukjizatan qudrat ilahi di dalam tatanan alam semesta, yang merupakan al-Qur'an besar. Sebab, mereka memandang tatanan alam semesta [terjadi] secara kebetulan, dan [menganggap] perubahan-perubahan [di alam semesta] yang membuahkan hasil merupakan hal sia-sia tanpa tujuan, sehingga hikmah yang ada di dalamnya tersembunyi dari mereka -- karena roh mereka telah rusak. Demikian juga, karena fitrah mereka yang sakit dan kebodohan mereka yang busuk, mereka menganggap nadzam [al-Qur'an] yang penuh mukjizat membingungkan, pengantarnya sia-sia, dan buahnya pahit."

Adapun kalimat يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ﴿ - yanqudlûna 'ahd Allâh, di sini terdapat sebuah gaya bahasa tinggi yang ditunjukkan melalui penggunaan kata 'النقض - naqd,' yang secara bahasa berarti mengurai untaian tali dan merobeknya, seolah-olah perjanjian Dzat Maha Tinggi berupa tali bercahaya yang dililit hikmah, inayah, dan kehendak [ilahi], kemudian membentang sepanjang jalan dari keazalian hingga ke keabadian. Hal ini diwujudkan di alam semesta dalam bentuk keteraturan umum, dan untaian tadi dikirim ke semua spesies, dan ujung-ujungnya dibentangkan dari mereka ke umat manusia. Dalam jiwa manusia itu telah diwariskan benih potensi dan kemampuan, yang terus disiram hingga berkembang melalui indera kehendak, yang diatur melalui syariat, yaitu, bukti-bukti dari al-Qur'an dan Sunnah (dalil naqli). Dengan demikian, perjanjian akan terpenuhi dengan menggunakan kemampuan mereka seperti seharusnya, dan perjanjian akan rusak bila melakukan yang sebaliknya serta merusak [tali perjanjian], misalnya mempercayai sebagian nabi dan menyangkal yang lainnya, menerima sebagian ajaran dan menolak yang lainnya, dan menyetujui beberapa ayat dan mengingkari lainnya. Ini melanggar aturan, pengaturan, dan keteraturan.

Adapun kalimat وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ﴿ - wa yaqtha'ûna mâ amara Allâhu bi-hî an yûshala (“dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya”):

Ketahuilah: Perintah di sini mencakup perintah legislatif (tashrî') dan perintah penciptaan (takwînî), yang keduanya termasuk dalam hukum alam (qawânîn fithriyyah) dan hukum karya ilahi ('âdât

[1] Terima kasih ya Allah, sebanyak-banyaknya, karena Engkau telah memberi pemahaman dan arti terbaik mengenai dua sekuens ini (ditulis tangan oleh penulis di naskah aslinya).




186. Page

ilâhiyyah). Jadi Memutus apa diperintahkan syariat untuk disambung berarti memutus hubungan keluarga dan memutuskan ikatan antara hati orang beriman. Engkau dapat membuat contoh lebih lanjut.

Dan [memutus apa yang bersambung dengan perintah penciptaan] berarti memutus perbuatan dari pengetahuan, memisahkan pengetahuan dari kecerdasan, memutus kecerdasan dari kemampuan bawaan, pengetahuan tentang Allah dari akal, usaha dari kekuatan, jihad dari keberanian, dan sebagainya. Sebab, pemberian kekuatan merupakan perintah penciptaan maknawi (amr ma'nawî takwînî) untuk bekerja, dan pemberian kecerdasan merupakan perintah penciptaan maknawi untuk belajar. Dan sebagainya.

Adapun kalimat وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ﴿ - wa yufsidûna fi al-ardh (“dan membuat kerusakan di muka bumi”):

Ketahuilah: Sesuai rahasia [ungkapan], "Jika bencana sudah umum, ia akan terasa makin ringan," orang yang rusak dan berkubang di lumpur ingin memiliki sahabat yang sama-sama ikut merasakan sehingga meringankan beratnya beban penderitaan.

Demikian pula, jika [ide] penaklukan mengendap di hati seseorang, hal itu akan menghancurkan kesempurnaan. Capaian-capaian dan daya rasanya yang tinggi secara bertahap akan menurun, dan keinginan untuk menghancurkan akan lahir di dalamnya. Hal ini akan membuatnya merasa senang dengan kehancuran, dan dia akan mencari kesenangan dengan menyebarkan kerusakan (fasâd) dan mengobarkan revolusi.

Jika engkau bertanya: Bagaimana seluruh bumi, yang ditandai dengan kata "fi al-ardh (di bumi)" bisa dipengaruhi oleh kerusakan satu orang yang bejat?

Engkau akan dijawab: Yang memiliki sistem pasti memiliki keseimbangan; pada kenyataannya, sistem didasarkan atas keseimbangan. Benda kecil yang menyusup ke dalam mesin akan mengganggu kerjanya, meskipun tidak begitu terasa. Timbangan yang di kedua pancinya ditaruh dua gunung tetap akan terpengaruh dengan hanya ditempatkan sebuah kacang di salah satunya.

Adapun kalimat أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ﴿ - ûlâika humu al-khâsirûn (“mereka itulah orang-orang yang rugi”):

Ketahuilah: Kalimat ini seharusnya: "Mereka orang-orang yang merugi karena [mereka tidak menerima] petunjuk yang benar melalui [al-Qur'an]." Lafadz أُولَئِكَ﴿ - ûlâ'ika, هُم﴿ - hum, bentuk pasti dari الْخَاسِرُونَ﴿ - al-khâsirûn dan bentuk umumnya [dimaksud] untuk beberapa nuktah:

Kata أُولَئِكَ﴿ - ûlâ'ika, karena posisinya, bertujuan untuk menyulap suatu ide menjadi terasakan atau sensitif (li ihdlâr al-mahshûs).

Dan ini menunjukkan bahwa ketika pendengar mengetahui kondisi mereka yang fasik, akan bangkit rasa benci pada dirinya sehingga membuatnya marah pada mereka. Dia ingin membayangkan mereka dalam imajinasinya, untuk melampiaskan kemarahannya dan mengekspresikan kebenciannya, serta ingin melihat mereka mengalami akhir mengerikan [seperti] yang digambarkan.

Sensitivitas (mahshûshiyyah) merupakan isyarat bahwa sifat mereka yang memalukan semakin bertambah [buruk] sejauh bisa dirasakan dengan jelas dalam sorot kebencian. Ini juga menyinggung alasan kerugian mereka.

Jarak [yang terungkap melalui kata أُولَئِكَ﴿ - ûlâ'ika] menunjukkan bahwa mereka terlalu jauh dari jalan kebenaran untuk bisa kembali, dan karena itu layak untuk dicela dan dibenci, sebaliknya bagi mereka yang bertobat dan mampu menempuh jarak untuk kembali.

Dan هُم﴿ - hum menunjukkan bahwa kerugian hanya terbatas pada mereka. Jika orang beriman menderita kehilangan beberapa kesenangan duniawi, itu bukan rugi. Dibanding kerugian mereka, hilangnya beberapa kerugian duniawi dalam bisnis mereka bukanlah kerugian.

[Imbuhan definit] "alif" dan "lam" [pada kata الْخَاسِرُونَ﴿ - al-khâsirûn] menunjukkan fakta [tertentu] dan [golongan sesuatu]; yaitu, siapa saja yang ingin melihat hekekat orang-orang yang rugi hendaknya melihat kepada mereka.

Ini juga pertanda bahwa jalan mereka [menghasilkan] kerugian murni, tidak seperti jenis kerugian lainnya, yang mungkin masih mengandung aspek keuntungan tapi bahayanya lebih besar. Imbuhan definit (ta'rîf) [digunakan] untuk [hal-hal yang] lengkap atau jelas dengan sendirinya, atau untuk menggambarkan fakta [tertentu].


187. Page

Dibiarkannya kerugian berbentuk umum [yakni, kerugian yang tak didefinisikan] menunjukkan -- didukung oleh konteks pembicaraan -- pada keumuman jenis-jenis kerugian; yaitu, mereka telah merugi dalam [konteks] pemenuhan perjanjian dengan melanggarnya; mereka telah merugi dalam hubungan keluarga (shilat al-rahim) dengan memutus [silaturahim], mereka merugi dalam [hal] reformasi (ishlâh) dengan menyebarkan kerusakan, mereka merugi dalam keimanan dengan melakukan kekufuran, dan melalui kesengsaraan mereka telah merugi kehilangan kebahagiaan abadi.