NAVIGATION
188. Page
﴿كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِالله وَكُنْتُمْ أمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾
(Kayfa takfurûna bi'llâhi wa kuntum amwâtan fa-ahyâkum tsumma yumîtukum tsumma yuhyîkum tsumma ilayhi turja'ûn.)
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?
Ketahuilah, seperti ayat-ayat sebelumnya, nadzam ayat ini memiliki "tiga aspek":
Adapun nadzam makna ayat ini terkait dengan apa yang mendahuluinya, ketahuilah bahwa Allah Ta'ala, setelah menyeru manusia untuk menyembah-Nya dan beriman kepada-Nya, serta setelah menyebutkan prinsip-prinsip dasar akidah dan hukum-hukum [terkait perbuatan] dengan menunjukkan dalilnya secara ringkas, di dalam ayat ini berikut ketiga aspeknya Dia kembali menetapkan bukti-bukti atasnya dengan menyebutkan karunia sebagai bukti itu terdiri.
Yang terbesar dari karunia ini adalah “kehidupan“, yang ditunjukkan oleh ayat ini.
Kelangsungan hidup (baqâ’), yaitu, kesempurnaan hidup terjadi melalui pengaturan langit dan bumi, yang ditunjukkan oleh ayat kedua.
Pengutamaan manusia dan pemuliaannya atas semua makhluk ditunjukkan oleh ayat ketiga.
Pengajarannya pengetahuan [dinyatakan] oleh [ayat] keempat.
Dilihat dari "bentuk nikmat," karunia nikmat ini merupakan bukti pemeliharaan dan tujuan [ilahi] (dalil al-'inâyah wa al-ghâyah), selain bukti [kewajiban] beribadah. Sebab, bersyukur kepada Sang Pemberi nikmat itu wajib, sementara mengingkari nikmat itu haram menurut akal.
Dilihat dari "hakekat", [nikmat ini] merupakan bukti penciptaan (dalil ikhtirâ'i) atas keberadaan [makhluk] pertama dan kebangkitan kembali (al-mabda' wa al-ma'âd).
Selanjutnya, sebagaimana ayat ini melihat ke ayat yang sebelumnya, ia juga melihat ke ayat yang lebih sebelumnya yang membahas orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Ia mengisyaratkan melalui pertanyaan retoris yang penuh kekaguman ini bahwa ia menohok, mengutuk, mengancam, dan mengintimidasi mereka.
Nadzam [dan hubungan] kalimat-kalimat ayat ini:
Ketahuilah bahwa di sini, [al-Qur'an] mengubah dari penggunaan [kata] orang ketiga [dalam ayat-ayat sebelumnya] ke [kata] orang kedua, karena bila sebelumnya ia hanya membicarakan [orang kafir], sekarang ia sudah berbicara langsung dengan mereka. Hal ini [dimaksud] untuk nuktah yang dikenal dalam [Ilmu Balaghah], yaitu:
Jika seseorang menggambarkan kesalahan orang sedikit demi sedikit, akan tercipta perasaan marah yang membuncah [pada pendengar] sampai-sampai jika [benar-benar] dia manusia, dia akan merasa dipaksa untuk bertemu dan berbicara langsung dengannya.
Demikian pula, jika seseorang menyebutkan kebaikan orang lain sedikit demi sedikit, keinginan untuk berbicara dengannya tumbuh kuat [secara bertahap] sampai dia ingin bertatap muka dan berbicara langsung dengannya. Demikianlah, karena al-Qur'an diturunkan dalam gaya [pembicaraan] orang-orang Arab, ia menatap [orang-orang kafir] dan berbicara [langsung dengan mereka] dengan mengatakan: ﴾كَيْفَ تَكْفُرُونَ﴿ ("mengapa kalian kafir kepada Allah?")
Selanjutnya, ketahuilah bahwa karena tujuannya di sini hendak menetapkan bukti atas hal-hal mendasar yang disebutkan di atas, termasuk keimanan dan ibadah, menolak kekufuran dan mencegah pengingkaran terhadap nikmat; dan karena bukti yang paling jelas adalah yang berasal dari rangkain silsilah keadaan manusia, dan karena nikmat terbesar adalah yang tergantung di batang-batang rangkaian tersebut dan membaur di simpul-simpulnya; maka [al-Qur'an] mengatakan: ﴾وَكُنْتُمْ أمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ
189. Page
يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.") Hal ini menunjukkan rangkaian yang menakjubkan, yang memiliki lima simpul, dari batang yang menggantung tandan nikmat. Sekarang kita akan mulai [membahas] lima masalah untuk menguraikan simpul-simpul tersebut.
Masalah Pertama: Tentang ﴾وَكُنْتُمْ أمْوَاتًا﴿ - wa kuntum amwatân (“kalian tadinya mati”).
Ketahuilah, secara fisik manusia terdiri dari partikel tak bernyawa yang tersebar di alam; engkau melihatnya masuk [ke tubuh manusia] melalui hukum tertentu dan pengaturan tertentu.
Kemudian, sementara engkau melihat [partikel tersebut] tersembunyi dan diam di dunia elemen, tiba-tiba engkau melihatnya beralih dan merasuk ke dunia makhluk hidup melalui aturan tertentu dan pengaturan yang memperlihatkan tujuan dan kebijaksanaan.
Kemudian, sementara engkau melihat [partikel tadi] tersebar dan tinggal di dunia itu, tiba-tiba engkau melihatnya berkelompok dalam format luar biasa dan menjadi sperma (nuthfah).
Kemudian, melalui serangkaian pergolakan, [partikel tersebut] menjadi darah beku yang menempel ('alaqah), lalu menjadi gumpalan daging (mudlghah), lalu daging serta tulang, dan seterusnya.
Meskipun dalam setiap tahap ini [partikel tersebut] semakin menyempurna dibanding sebelumnya, tapi ia relatif mati dan tak bernyawa ketimbang yang berikutnya.
Jika engkau bertanya: Kematian berarti tidak adanya dan lenyapnya kehidupan, dan [partikel] tidak memiliki kehidupan di dalamnya hingga ia lenyap?
Engkau akan dijawab: Kematian di sini [hanyalah] metafora (majaz), [yang dibentuk] untuk mempersiapkan pikiran menerima simpul ketiga dan keempat.
Masalah Kedua: Mengenai ﴾فَأَحْيَاكُمْ﴿ - fa-ahyâkum (“lalu Allah menghidupkan kamu”).
Ketahuilah: Mukjizat qudrat yang paling menakjubkan dan paling lembut ialah kehidupan.
Demikian pula, yang terbesar dari semua nikmat, dan yang paling jelas dari semua bukti penciptaan pertama dan kebangkitan kembali, adalah [kehidupan].
Adapun aspeknya yang mendalam dan paling rumit adalah:
Jenis terendah dari kehidupan adalah kehidupan tanaman. Tingkatan pertamanya: kebangkitan embrio atau sel vital ('uqdat hayâtiyyah) di dalam biji. Meskipun begitu jelas, umum, dan akrab, kebangkitan ini tetap menjadi misteri bagi ilmu pengetahuan manusia dari zaman Adam sampai saat ini.
Adapun aspek keberadaannya sebagai nikmat tertinggi ialah:
Satu-satunya hubungan yang dimiliki benda tak bernyawa adalah dengan tempatnya berada dan hal-hal yang menimpanya; sehingga ia [hidup] satu-satunya, sendirian, meskipun ia berupa gunung. Tapi engkau melihat benda meskipun mungil -- lebah, misalnya -- begitu dimasuki kehidupan ke dalamnya ia dapat membentuk hubungan dengan seluruh alam semesta dan dapat melakukan interaksi dengan semua spesies [makhluk]. Hingga kemudian mungkin ia mengatakan, "Alam semesta itu rumahku, dan hanya seperti milikku." Sebab, ketika berpindah ke tingkat kehidupan binatang, engkau akan melihatnya menjelajah dengan inderanya dan bertindak dengannya di semua bagian alam semesta. Hubungan khusus, interaksi, dan cinta, terbangun antara dia dan spesies [makhluk] lainnya. Apalagi jika naik ke tingkat kehidupan manusia, engkau akan melihatnya berjalan di alam semesta dengan cahaya akalnya. Selain bertindak di alam jasmani, dia menjelajah di alam spiritual, dan berkeliling di alam perumpamaan. Dia berkelana ke alam-alam tersebut. Selain itu, [alam-alam] ini juga melakukan perjalanan kepadanya dengan menjelma di cermin jiwanya. Dia kemudian memiliki hak untuk mengatakan, "Alam diciptakan untukku berkat karunia keutamaan dari Allah Ta'ala!" Dengan demikian, hidupnya menjadi beraneka ragam dan berkembang menuju kehidupan fisik, maknawi, dan rohani, yang masing-masing mencakup berbagai tingkatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, seperti cahaya menyebabkan warna dan benda terlihat, demikian pula kehidupan menyingkap makhluk dan menampakkan mereka.
Kehidupan inilah yang membuat atom menjadi seperti alam. Dan kehidupan itulah sarana bagi kebaikan keseluruhan makhluk hidup secara individual, tanpa desak-desakan atau perpecahan kecuali bagi sebagian terkecil manusia.
190. Page
Adapun aspek kehidupan sebagai bukti paling jelas bagi [keberadaan] Sang Pembuat dan kebangkitan kembali (hasyr):
Ketahuilah: Perpindahan dan perubahan spontan sejumlah partikel tak bernyawa dari satu situasi dan pengelompokan lain yang bertentangan dengan situasi pertama -- tanpa intervensi penyebab apa pun yang masuk akal -- merupakan bukti yang menentukan. Bahkan, sesuai sifatnya, kehidupan merupakan kebenaran murni dan paling luhur. Baik aspek luarnya (mulk) maupun aspek dalamnya (malakût) sama sekali tanpa tanah atau cacat, sebab keduanya lembut. Bahkan, kehidupan makhluk hidup kecil yang paling tak berarti sekali pun tetap mulia juga.
Karena misteri inilah,[1] tidak ada campur tangan penyebab lahiriah di antara kehidupan dan tangan qudrat, sebab kontak langsung [tangan qudrat] ini tidak bertentangan dengan kemuliaan qudrat, meskipun -- seperti telah dinyatakan sebelumnya -- penyebab lahiriah ditempatkan untuk menjaga kemuliaan qudrat ilahi dari kontak langsung dengan hal-hal yang dipandang hina dan rendahan.
Tentang aspek keberadaan kehidupan sebagai bukti paling jelas atas penciptaan pertama dan kebangkitan kembali, engkau telah mendengarnya tadi. Di sini, kami hanya akan meringkasnya untuk Anda:
Orang yang mempelajari kehidupan dan mengikuti tahapan paling sederhana perkembangan tubuh [manusia], dia akan melihat bagian-bagian yang tersebar di dunia atom. Kemudian dia akan melihat bahwa [bagian-bagian itu] telah terbungkus dalam bentuk lain di dunia elemen. Kemudian dia akan bertemu dengannya di dunia makhluk hidup dalam situasi lain. Kemudian dia akan menemuinya di sperma, lalu dalam bekuan darah, kemudian sebagai segumpal daging. Selanjutnya, dia akan melihat bahwa [bagian-bagian itu] telah tiba-tiba mengenakan suatu bentuk [tersendiri] di tengah-tengah transformasi menakjubkan ini. Dia akan melihat bahwa seluruh transformasi [ini mengikuti] gerakan-gerakan teratur sesuai dengan undang-undang khusus, yang memperlihatkan bahwa: setiap partikel telah diprogram pada tahap pertama, dan seolah-olah dibebani tugas bepergian ke posisi yang sesuai dalam tubuh makhluk hidup. Orang menangkap dengan pikirannya bahwa itu sengaja didorong untuk suatu tujuan dan dikirim untuk suatu hikmah. Sekarang kehidupan kedua akan tampak padanya jauh lebih mudah, sederhana, dan lebih mungkin [dari yang pertama], dan dia akan merasa puas dalam hatinya dengan jalan yang utama.
Dengan demikian, kalimat [﴾فَأَحْيَاكُمْ﴿ - fa-ahyâkum ("lalu Allah menghidupkan kamu")] ini seperti bukti bagi kalimat berikutnya ["kemudian kamu dimatikan"], dan keduanya bersama-sama membentuk sebuah bukti dalam menghadapi penolakan yang tersirat pada ﴾كَيْفَ﴿ - kayfa (mengapa, bagaimana)? [yang terdapat di ayat ini, 2: 28].
Masalah Ketiga: Mengenai ﴾ثُمَّ يُمِيتُكُمْ﴿ - tsumma yumîtukum (“kemudian kamu dimatikan”).
Ketahuilah: Ayat ﴾خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ﴿ ("Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan") (67: 2) menunjukkan bahwa kematian bukanlah pemusnahan dan ketiadaan mutlak; bahkan [kematian] merupakan perlakuan, perubahan tempat tinggal, dan pembebasan roh dari kurungannya.
Selain itu, tanda-tanda yang tak terhitung banyaknya dan isyarat-isyarat menonjol yang telah disaksikan manusia sampai sekarang telah tertanam di pikiran mereka dengan penuh keyakinan dan intuisi bahwa manusia setelah mati akan abadi dalam satu hal, dan yang abadi di antaranya adalah rohnya. Dengan demikian, keberadaan ciri khas yang melekat dalam individu ini merupakan bukti keberadaannya dalam ras secara keseluruhan, karena hal itu sangat esensial. Akibatnya, [sesuai dengan aturan logika], proposisi tertentu memerlukan [proposisi] universal. Karena itu, kematian merupakan mukjizat qudrat [ilahi], sama seperti kehidupan; bukan ketidaan ('adam) yang disebabkan oleh tidak adanya syarat-syarat kehidupan.
Jika engkau bertanya: Bagaimana kematian dapat menjadi nikmat, hingga dirangkai [dengan yang lainnya] di tali kenikmatan?
[1] Penjelasan mendalam yang menawan (dengan tulisan tangan penulis di naskah cetakan).
191. Page
Engkau akan dijawab:
Pertama: Karena [kematian] merupakan pengantar menuju kebahagiaan abadi, dan pengantar sesuatu memiliki hukum sesuatu itu, apakah baik atau buruk. Sebab apa yang padanya tergantung kewajiban, ia menjadi wajib; dan apa pun yang menyebabkan sesuatu haram, ia haram.
Kedua: Karena menurut ulama peneliti dari kalangan sufi, kematian bagi individu berarti keselamatannya dari apa yang tampaknya merupakan penjara penuh binatang buas, [pergi menuju] dataran yang sangat luas.
Ketiga: Karena bagi umat manusia, [kematian] merupakan nikmat tertinggi, sebab tanpa [nikmat ini] umat manusia akan menderita kesengsaraan dan kemalangan yang mengerikan.
Keempat: Karena menurut sebagian orang, [kematian] merupakan nikmat yang dicari. Sebab, karena kelemahan dan ketidakmampuannya, [manusia] tidak dapat menanggung beban kehidupan, tekanan cobaan, dan tiadanya kasih sayang elemen. Maka kematian [bagi orang tersebut] menjadi pintu [yang memungkinkannya] melarikan diri.
Masalah Keempat: Mengenai ﴾ثُمَّ يُحْيِيكُمْ﴿ - tsumma yuhyîkum (“kemudian dihidupkan-Nya kembali”).
Ketahuilah: Seperti yang ditunjukkan oleh ayat ﴾أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ﴿ ("Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali,") (Qs. Ghafir [40]: 11), dan seperti yang ditunjukkan oleh [frasa di atas] yang diikuti oleh ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan"), mengingat keringkasan al-Qur'an, [dapat dikatakan bahwa ini] menunjukkan [adanya] kehidupan di alam kubur dan kehidupan [yang dibangunkan] pada hari kebangkitan nanti.
Jika engkau bertanya: Jika seseorang dibakar dan abunya dibuang ke angin, bagaimana mungkin dia berpikir akan mengalami kehidupan kubur?
Engkau akan dijawab: Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, tubuh bukanlah syarat kehidupan, sehingga roh mungkin melekat pada sebagian partikel.
Jika engkau bertanya: Bagaimana seseorang bisa memahami siksaan kubur, karena jika seseorang menempatkan telur di dada mayat dan meninggalkannya di sana selama berhari-hari, tidak sedikit pun gerakan yang dirasakan di sana. Jadi bagaimana bisa ada kehidupan dan siksaan?
Engkau akan dijawab: Alam perumpamaan ('âlam mitsâlî) telah dibuktikan di tempatnya yang relevan; bahkan, keberadaannya [telah dibuktikan] secara pasti (qath'i) menurut para ulama ahli ketuhanan yang cermat. Alam [perumpamaan] tersebut dicirikan oleh kemampuannya mewujudkan makna, mengubah aksiden menjadi substansi, dan membuat sesuatu yang berubah menjadi tetap. Mata yang melihat kepadanya dari dunia nyata merupakan mimpi yang benar, dan kasyaf. Dan raga-raga bening mengisyaratkan keberadaannya.
Alam barzakh merupakan hakekat yang lebih pasti dari alam perumpamaan, yang adalah gambar atau contohnya. Sementara bayangan alam [perantara] ini merupakan alam mimpi, dan bayangan alam mimpi merupakan alam imajinasi. Sedangkan raga-raga fisik ini transparan seperti cermin.
Sekarang, jika engkau telah memahami hal ini, perhatikan alam mimpi dan bayangkan seseorang yang tidur di dekat Anda. Dia sedang beristirahat dengan tenang dan diam, tapi di alamnya, dia berjuang dan terluka oleh pukulan yang diterimanya, atau dia digigit ular dan merasakan sakitnya. Jika mungkin, masuklah ke dalam mimpinya, dan katakan kepadanya: "Hei, jangan putus asa dan marah, ini tidak nyata, [hanya mimpi]!" Engkau [mungkin] akan bersumpah padanya seribu kali [untuk meyakinkannya], tapi dia tidak akan mempercayai Anda. Malah, dia akan mengatakan: "[Tidakkah engkau melihat,] ini sakitku yang membuatku merintih kesakitan. Dan ini lukaku! Tidakkah engkau melihat ular yang mendesis padaku, sementara di tangan ada pedang?"
Sebab, makna sakit atau dinginnya kepala telah terwujud dalam bentuk pedang yang memotong, karena hasilnya sama. Atau dia membayangkan makna pengkhianatan yang telah melukai hatinya dalam bentuk ular, sebab rasa sakitnya sama.
Wahai kawan! Jika sekarang engkau telah melihatnya dalam bayangan alam perumpamaan, [alam mimpi,] tidakkah engkau akan membenarkannya di alam barzakh, yang hakekatnya jauh lebih pasti, dan ia lebih jauh dari kita?
192. Page
Adapun ﴾يُحْيِيكُمْ﴿ - yuhyîkum (“engkau akan dihidupkan lagi”), dilihat dari kehidupan akhirat, ketahuilah bahwa kehidupan tersebut merupakan hasil dari keseluruhan alam. Tanpa [kehidupan] tersebut, tidak akan ada hakekat yang tetap dan konstan, serta semua kebenaran -- seperti rahmat -- akan berubah menjadi bencana. Engkau bisa memikirkan contoh lebih lanjut dengan cara yang sama! Kami telah meringkas bukti-buktinya ketika menguraikan [ayat] ﴾وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ﴿ ("dan mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.") (2: 5)
Masalah Kelima: Mengenai ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ - tsumma ilayhi turja'ûn (“kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”), inilah simpul terakhir dalam rangkaian ini, maka pikirkan hal berikut:
Ketahuilah, Sang Pencipta mewujudkan qudrat-Nya, menggabungkan hal-hal yang berlawanan di alam penciptaan dan perubahan ('alam al-kawn wa al-fasad) demi [banyak] hikmah yang lembut. Dia menempatkan penyebab lahiriah dan perantara untuk menampilkan kemuliaan-Nya, serta menentukan rangkaian sebab dan akibat. Kemudian, saat kebangkitan kembali, ketika alam semesta dibersihkan dan [hal-hal yang berlawanan] dipisahkan dan digabung, sebab-sebab akan dihapus, perantara akan dirobohkan, tirai akan disingkapkan, dan setiap orang akan melihat Sang Penciptanya dan mengetahui Pemiliknya yang sebenarnya.
Lampiran Ringkasan Nadzam Kalimat:
Ketahuilah: Setelah membantah kekufuran mereka yang tersirat dalam pertanyaan retoris ﴾كَيْفَ﴿ - kayfa (“bagaimana?”), dan setelah menyeru manusia untuk takjub padanya, Dzat Yang Maha Tinggi memberi [mereka] bukti dengan sesuatu yang menyertai "dan" situasional (waw hâliyyah), yaitu dengan memperlihatkan empat transformasi dahsyat, yang semuanya dan masing-masingnya bersaksi atas kewajiban beriman.
Setiap transformasi terdiri dari berbagai tahapan dan tingkatan, masing-masing merupakan awal dan 'perut' dari transformasi yang berikutnya. Dari tahapan awal transformasi pertama sampai tahapan terakhir dari transformasi terakhir, asal raga makhluk hidup terus-menerus diperbarui. Ia membuang selnya, membungkusnya dalam sel lain yang lebih sempurna, lalu membuangnya dan membungkusnya kembali dengan yang lebih halus, kemudian melemparnya lagi, dan menempatkannya di bentuk yang lebih baik, dan seterusnya dan sebagainya! Ia terus mengubah bentuknya dengan lainnya yang lebih sempurna lagi sampai mencapai puncak paling sempurna, hingga tiba saatnya untuk beristirahat pada pembentukan kebahagiaan abadi. Dan semua ini berlangsung sesuai aturan tertentu dan hukum teratur. Dia menunjukkan transformasi pertama dengan firman-Nya ﴾وَكُنْتُمْ أمْوَاتًا﴿ ("kamu tadinya mati"), yang terdiri dari [banyak] tahapan terakhir yang mengarah ke titik ﴾فَأَحْيَاكُمْ﴿ ("lalu Allah menghidupkan kamu"), yang menunjukkan transformasi kedua, yang merupakan hakekat alam paling menakjubkan. Ini berakhir dengan transformasi ﴾ثُمَّ يُمِيتُكُمْ﴿ ("kemudian kamu dimatikan"), yang juga memiliki banyak tahapan yang berkaitan dengan alam barzakh. Ini akan tuntas dengan transformasi ﴾ثُمَّ يُحْيِيكُم﴿ ("dan dihidupkan-Nya kembali"), yang terdiri dari banyak tahapan yang berkaitan dengan kuburan, kemudian ke kebangkitan kembali, dan diakhiri dengan [hakekat] ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan"). Orang yang mempelajari transformasi ini dengan penuh perhatian, bagaimana bisa berani menyangkalnya?
Mari kita mulai membahas nadzam [dan hubungan] bagian-bagian kalimatnya satu demi satu:
Adapun kalimat pertama, yaitu, ﴾كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِوَكُنْتُمْ أمْوَاتًا﴿ - kayfa takfurûna bi'llâhi wa kuntum amwâtan (“mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati?”):
Di sini [digunakan kata] bentuk interogatif untuk menuntut perhatian [orang-orang kafir] terhadap kesalahan mereka sehingga mereka dapat melihat sendiri, memikirkan secara fair, dan mengakui [Allah].
﴾كَيْفَ﴿ - kayfa (“bagaimana”) menunjukkan pembuktian, melalui penolakan keadaan yang semestinya, bahwa kekufuran mereka [pada kenyataannya] merupakaan ketiadaan.
Penggunaan orang kedua pada [kata] ﴾تَكْفُرُونَ﴿ - takfurûna (“kalian kafir”) menunjukkan, seperti telah dibahas di atas, kerasnya kemarahan [Allah kepada mereka]. Tidak digunakannya [kata] "لا تؤمنون - kalian
193. Page
tidak beriman" [tapi "kalian kafir"] menunjukkan sifat keras kepala mereka yang ekstrem, sebab mereka meninggalkan keimanan, yang banyak buktinya, dan menerima kekufuran, yang banyak bukti kebatilannya.
[Kata penghubung] kondisional "waw" pada ﴾وَكُنْتُمْ﴿ - wa kuntum menunjukkan adanya kalimat yang tak terkatakan. Sebab, dua kalimat di antaranya mengacu ke masa lampau (madli) dan dua kalimat lainnya mengacu ke masa depan (mustaqbal). Karena itu, kedua-duanya menentang kaedah penyertaan kondisi kepada faktor penentu makna yang memiliki kondisi. Jadi, kalimat yang tak terkatakan itu: "Kondisi sesungguhnya ialah, kalian sebenarnya mengetahui [bahwa kalian pelaku dari kata kerja takfurûn itu.]"
Jika engkau bertanya: Meskipun mereka mengetahui kematian dan kehidupan pertama, tapi mereka tidak mengetahui bahwa keduanya dari Allah. Demikian pula, mereka tidak mengakui kehidupan yang kedua, dan tidak membenarkan bahwa mereka akan kembali kepada Allah Ta'ala?
Engkau akan dijawab: Di antara ketentuan balaghah, menyesuaikan status orang tidak tahu dengan status orang yang mengetahui jika ada bukti yang jelas untuk menghilangkan ketidaktahuannya. Sebab, memikirkan tahap-tahap kematian pertama dan kehidupan pertama memaksa seseorang untuk mengakui Sang Pencipta, dan pengetahuan tentang itu meyakinkan akal mengenai [adanya] kehidupan kedua; seolah-olah [orang-orang kafir] memiliki pengetahuan tentang rangkaian [kejadian] ini.
Penggunaan orang kedua pada [kata] ﴾وَكُنْتُمْ﴿ - wa kuntum, menunjukkan bahwa mereka juga memiliki eksistensi tertentu di alam partikel. Partikel-partikel itu tidak muncul bersama-sama secara sembarangan, dan tidak menjadi raga tertentu secara kebetulan.
Dan pilihan [kata] ﴾أَمْوَاتًا﴿ - amwâtan (“orang mati”) ketimbang [kata] "jamâdât (benda mati tak bernyawa) mengisyaratkan makna ayat, ﴾لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا﴿ ("ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut") (Qs. al-Insan [76]: 1).
Adapun kalimat: ﴾فَأَحْيَاكُمْ﴿ - fa-ahyâkum (“lalu Dia menghidupkan kalian”):
Jika engkau bertanya: Kata penghubung "الفاء - fa'" menunjukkan suksesi dan hubungan [yakni, tidak boleh ada 'jarak' antara apa yang mendahului dan yang sesudahnya], tapi apakah itu tidak mengganggu tahapan-tahapan tersebut dan tidak ada interval yang panjang antara kematian dengan kehidupan?
Engkau akan dijawab: Kata "الفاء - fa’" menunjukkan sumber bukti Sang Pencipta, yaitu transformasi partikel secara spontan dari benda mati ke keadaan bernyawa tanpa intervensi penyebab wajar, yang memaksa pikiran mengakui Sang Pencipta.
Selain itu, tahapan-tahapan di kondisi makhluk mati itu cacat dan tidak kekal, yang ditandai dengan suksesi [cepat].
Dan pilihan ﴾فَأَحْيَاكُمْ﴿ - fa-ahyâkum ketimbang "صرتم أحياء - shirtum ahyâan (“kalian menjadi hidup”) dimaksud untuk klarifikasi; yaitu, "Anda menjadi hidup, dan ini tak mungkin kecuali melalui qudrat Sang Pencipta. Karena itu mesti disimpulkan bahwa yang menghidupkan adalah Allah Ta'ala."
Adapun penggunaan kata ﴾ثُمَّ يُمِيتُكُم﴿ - tsumma yumîtukum (“kemudian kamu dimatikan”) ketimbang "تموتون - tamûtûna (kalian mati)" menunjukkan bahwa, seperti telah disebutkan, kematian merupakan tindakan besar qudrat [ilahi] sejalan dengan takdir-Nya. Tidakkah engkau menyadari bahwa hanya kecil sekali orang yang hidup di luar ajal alami mereka yang sepenuhnya. Hal ini membuat orang menyadari bahwa kematian bukanlah konsekuensi alami. Inilah kehancuran jasad, bukan kepunahan roh; bahkan, pembebasan roh.
Dalam frasa ﴾ثُمَّ يُحْيِيكُمْ﴿ - tsumma yuhyîkum (“kemudian dihidupkan-Nya”), kata ﴾ثُمَّ﴿ - tsumma menunjukkan jeda waktu di alam barzakh dengan segala keajaibannya yang menakjubkan.
Adapun kalimat ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ - tsumma ilayhi turja'ûn (“kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan”), kata ﴾ثُمَّ﴿ - tsumma menunjukkan penyingkapan tabir besar, penolakan penyebab, dan penghentian perantara [yang ditunjukkan dengan kata ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kepada-Nya kamu dikembalikan.")]
194. Page
Jika engkau bertanya: Untuk kembali kepada Allah Ta'ala mengharuskan adanya yang datang dari-Nya pertama kali, dan dari sini sebagian orang membayangkan adanya serikat [dengan Allah] dan sebagian sufi tergelincir ke dalam keragu-raguan?
Engkau akan dijawab: Di dunia ini terdapat eksistensi (wujûd) dan kelanggengan (baqâ'), demikian pula di akhirat terdapat eksistensi dan kelanggengan. Eksistensi di dunia berasal dari tangan qudrat [ilahi] tanpa perantara, sementara kelanggengan yang diliputi penghancuran dan pembentukan, perlakuan dan perubahan di alam semesta, serta kerusakan, mengharuskan adanya campur tangan [di dalamnya] disebabkan alasan hikmah tersebut di atas. Tapi di akhirat, eksistensi dan kelanggengan akan berasal [langsung] dari tangan qudrat [ilahi] dengan semua keharusan dan komposisinya, serta semuanya akan mengetahui Pemiliknya yang sebenarnya. Jika engkau berpikir tentang hal ini, engkau akan mengerti arti "kembali."