NAVIGATION
195. Page
﴿هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ﴾
(Hûwa alladzî khalaqa la-kum mâ fi'l-ardli jamî'an tsumma astawâ ilâ al-samâ' fa-sawwâhunna sab'a samâwât wa hûwa bi-kulli shay'in 'alîm.)
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ketahuilah, ayat ini juga memiliki tiga aspek penting:
Adapun nadzam ayat secara keseluruhan terkait dengan ayat sebelumnya, ialah:
Dalam ayat sebelumnya, kekufuran dan keengganan untuk bersyukur dibantah melalui bukti yang berkaitan dengan manusia sendiri (dalâil anfusiyyah), yaitu tahap-tahap [perkembangan] manusia, dan sekarang ayat ini menunjukkan bukti dari alam luar (dalâil âfâqiyyah).
Demikian pula, ayat sebelumnya menunjukkan nikmat eksistensi dan kehidupan, sedangkan ayat ini menunjukkan nikmat eksistensi yang langgeng (baqâ').
Sekali lagi, di ayat sebelumnya terdapat bukti Sang Pencipta dan pengantar pada kebangkitan kembali, sedangkan ayat ini menunjukkan realisasi kebangkitan dan menghilangkan keraguan, seolah-olah [orang kafir] bertanya: "Di manakah nilainya ini bagi manusia? Mengapa ia memiliki kepentingan seperti itu? Dan apa tempatnya di sisi Allah sehingga Dia harus mengadakan kiamat karenanya?"
Maka al-Qur'an menjawab melalui petunjuk ayat ini: "Manusia memiliki nilai yang tinggi seperti terbukti dengan ditundukkannya langit dan bumi [untuknya] agar dimanfaatkannya.
Manusia juga memiliki kepentingan yang luas seperti terbukti bahwa Allah tidak menciptakan manusia demi makhluk (ciptaan), tetapi menciptakan makhluk (ciptaan) untuk manusia.
Manusia juga memiliki posisi [tinggi] di sisi Allah seperti terbukti bahwa Allah tidak memberikan eksistensi kepada dunia untuk dirinya sendiri, tetapi mengadakannya bagi manusia, dan Dia mengadakan manusia agar menyembah-Nya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia unggul dan istimewa, tidak seperti hewan, sehingga dia layak menerima permata [kalimat]: ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.")
Nadzam frasa ayat: Ketahuilah, kata ﴾جَمِيعًا﴿ - jami'an (“semua”) di frasa pertama, kata ﴾ثُمَّ﴿ - tsumma (“kemudian”) di frasa kedua, dan ﴾سَبْعَ﴿ - sab'a (“tujuh”) di frasa ketiga, semua memerlukan penyelidikan. Kita akan membahasnya dalam "tiga masalah":
Masalah Pertama:
Jika engkau bertanya: Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu di bumi [disediakan] untuk dimanfaatkan manusia, tapi bagaimana dapat dipahami bahwa Zaid, misalnya, telah memanfaatkan setiap bagian dari bumi? Dan bagaimana bisa Habib dan 'Ali memperoleh manfaat dari batu di kaki gunung di tengah sebuah pulau di Samudera Pasifik? Dan bagaimana bisa 'Amr memanfaatkan harta Zaid? Tapi ayat ini dan ayat serupa lainnya menunjukkan bahwa semua itu [disediakan] bagi setiap orang tanpa dibagi. Selain itu, bagaimana matahari dan bulan serta seterusnya, dengan luasnya, [disediakan] bagi Zaid dan 'Amr, sementara tujuan utamanya ialah agar sebagian kecilnya saja yang bermanfaat? Dan bagaimana bisa hal-hal yang berbahaya bermanfaat bagi manusia? Padahal tidak ada yang samar-samar atau tidak akurat dalam al-Qur'an, serta berlebih-lebihan tidaklah sesuai dengan balaghah yang benar?
Engkau akan dijawab: Perhatikan "enam poin" berikut ini, yang akan membuyarkan keragu-raguan tersebut darimu:
Pertama: Ciri khas kehidupan ialah -- seperti telah disebutkan -- membuat sesuatu yang parsial menjadi universal, yang bagian menjadi keseluruhan, yang tunggal menjadi jamaah, yang terbatas
196. Page
menjadi mutlak, dan yang individu menjadi dunia. Dengan demikian, setiap anggota semua spesies menjadi seperti kaum yang memiliki kehidupan, dan dunia menjadi rumahnya, serta terbentuk baginya hubungan dengan segala sesuatu.
Kedua: Seperti engkau ketahui, di dunia terdapat sistem tetap, pengaturan sempurna, prinsip-prinsip tinggi, dan hukum dasar yang konstan, sehingga ia seperti jam atau mesin yang bergerak secara teratur. Sebagaimana setiap gir dari mesin itu, bahkan setiap gigi gir, bahkan setiap unit dari gigi gir, memainkan peran dalam sistem mesin meski sifatnya parsial, demikian pula ia berpengaruh terhadap fungsi mesin dan hasil kerjanya melalui kinerja mesin. Selain itu, melalui wujudnya ia memiliki peran dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup yang ketua dan pimpinannya adalah manusia.
Ketiga: Seperti telah didengar telinga Anda dalam diskusi sebelumnya, tidak ada [yang] menghalangi [makhluk lain] dalam memanfaatkan [segala sesuatu]. Sebab, sebagaimana matahari secara keseluruhan milik Zaid, dan cahayanya merupakan taman dan lapangan bagi pandangannya, demikian pula keseluruhannya milik 'Amr dan taman baginya. Jika misalnya Zaid berada sendirian di dunia, dia akan mendapatkan manfaat darinya tidak lebih dari jika dia bersama-sama dengan semua orang di dunia -- kecuali bagian yang kembali ke dua gua.
Keempat: Alam semesta tidak hanya memiliki satu aspek saja yang baik; tapi di dalamnya terdapat banyak aspek umum yang berbeda-beda, lapisan demi lapisan. Manfaatnya [juga] memiliki banyak aspek umum dan cara-cara pemanfaatan yang begitu beragam. Misalnya, jika engkau memiliki taman, engkau bisa mendapatkan manfaat darinya dalam satu aspek dan orang-orang lain juga akan mendapatkan manfaat dalam aspek lain, misalnya dengan menerima kenikmatan darinya melalui indera penglihatan. Manusia tak hanya memperoleh manfaat melalui kelima indera eksternalnya, indera batinnya, raga dan jiwanya, tapi juga melalui akal dan hatinya, di dalam hidupnya di dunia ini maupun di akhirat, serta dari aspek pengambilan ibrah; engkau bisa membuat contoh lebih lanjut dengan cara yang sama. Tidak ada yang mencegahnya dari mengambil manfaat melalui setiap aspek ini dari apa pun di bumi, bahkan di dunia.
Kelima:
Jika engkau bertanya: Ayat-ayat ini bersama ayat-ayat lainnya menunjukkan bahwa dunia yang luas ini diciptakan demi manusia, dan pemanfaatannya merupakan alasan utama ('illat ghâiyyah) dari penciptaannya. Namun, planet Saturnus, yang lebih besar dari bumi, relatif tidak ada manfaatnya bagi manusia kecuali hanya semacam perhiasan dan cahaya yang lemah. Bagaimana ini bisa menjadi alasan utama [bagi penciptaan]?
Engkau akan dijawab: Seseorang yang mengambil manfaat [dari sesuatu] kehilangan dirinya dari segi bahwa ia menggunakannya, memfokuskan pikirannya padanya, melupakan segala sesuatu yang lainnya, dan ia melihat segala sesuatu yang lain dari sudut pandangnya sendiri. Juga, [dalam pandangannya,] tujuan utama dari sesuatu terbatas pada aspek yang terlihat pada dirinya sendiri. Karena itu, tidaklah berlebihan atau tidak akurat jika dikatakan, dilihat dari konteks anugerah [ilahi] sehubungan dengan orang itu: "Meskipun Pencipta Saturnus diciptakan Penciptanya demi ribuan hikmah, masing-masing memiliki ribuan aspek, dan setiap aspek dapat memberi manfaat melalui ribuan cara, alasan utama penciptaannya adalah aspek pemanfaatannya oleh orang tersebut."
Keenam: Engkau telah diingatkan sebelumnya, manusia betapa pun kecilnya, dia tetap besar [menurut maknanya], maka baginya manfaat khusus parsial tetap bersifat universal dan besar, tidak ada yang sia-sia dan tidak berguna.
Masalah Kedua: Mengenai ﴾ثُمَّ﴿ - tsumma (“kemudian”).
Ketahuilah, ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit, dan bahwa ayat ﴾وَالأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا﴿ ("dan setelah itu, bumi Dia hamparkan") (Qs. al-Nazi'at [79]:30) menunjukkan bahwa langit diciptakan sebelum bumi. Kemudian ayat ﴾كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا﴿ ("langit dan bumi keduanya dulu bersatu,
197. Page
kemudian Kami pisahkan antara keduanya") (Qs. al-Anbiya' [21]: 30) menunjukkan bahwa keduanya diciptakan bersama-sama dari satu materi.
Ketahuilah, kedua, bahwa teks-teks ajaran (naqliyat) syariat[1] menunjukkan Allah Ta'ala pertama-tama menciptakan zat, yaitu, materi.
Kemudian Dia memanifestasikan [qudrat-Nya] atasnya, lalu menjadikan sebagian darinya uap dan sebagian lainnya cairan.
Kemudian melalui manifestasi-Nya bagian cairan itu mengental, hingga membuih.
Kemudian, dari buih ini Dia menciptakan bumi atau tujuh lapisan dari bumi. Lalu masing-masing bumi tersebut memiliki langit dari atmosfer menyejukkan.
Kemudian Dia menghamparkan materi beruap dan darinya terbentang [tujuh lapisan] langit, yang ditanam di dalamnya bintang-bintang. Maka langit pun tegak berdiri, berisi inti bintang-bintang.
Menurut asumsi dan teori-teori ilmu pengetahuan modern dipastikan, tata surya -- bersama-sama dengan langitnya yang mengapung di dalamnya -- merupakan zat sederhana.
Kemudian ia berubah menjadi semacam uap.
Kemudian dari uap ini terbentuk cairan berapi.
Kemudian sebagian darinya menjadi padat melalui proses pendinginan.
Kemudian, karena gerakannya, cairan berapi itu melemparkan percikan-percikan api dan potongan-potongan yang terputus [ke ruang angkasa]. Ini lalu terkompresi dan berubah menjadi planet-planet, salah satunya adalah bumi kita.
Jika Anda telah memahami hal ini, mungkin engkau dapat menghubungkan kedua penjelasan tersebut, sebab boleh jadi ayat ﴾كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا﴿ ("langit dan bumi keduanya dulu bersatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya") (21: 30) menunjukkan bahwa bumi dan tata surya itu semacam adonan yang diremas oleh tangan qudrat dari zat yang sederhana tadi; maksud saya eter, yang dibanding makhluk lain, seperti zat cair yang mengalir lalu menembus di antaranya.
Ayat ﴾وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ﴿ ("dan Arasy-Nya di atas air") (Qs. Hud [11]: 7) mengisyaratkan materi ini, yang menyerupai air.
Setelah pembentukannya, eter menjadi pusat bagi manifestasi pertama sang Pencipta melalui pengadaan (îjâd); yaitu, Dia menciptakan eter, lalu Dia menjadikannya atom dasar (jawâhir fardah), kemudian Dia membuat beberapa di antaranya padat, lalu dari benda-benda padat ini Dia menciptakan tujuh bola [dunia], di antaranya bumi yang kita dihuni. Kemudian bumi dipadatkan sebelum semua yang lain, dengan cepat membentuk kerak, dan selama periode waktu yang panjang menjadi sumber kehidupan. Bersamaan dengan itu, hingga saat ini sebagian besar benda langit tetap dalam keadaan cairan yang berapi. Dari sisi ini, penciptaan dan pembentukannya terjadi sebelum penciptaan langit. Namun, karena kegunaan dan penyebarnya -- yakni, penghamparan dan penyiapannya sebagai tempat tinggal spesies manusia -- yang berlangsung setelah penciptaan dan pengaturan langit, maka langit menjadi lebih dahulu dalam hal ini, meskipun [langit dan bumi] dulunya bersatu. Dengan demikian, ketiga ayat melihat ke tiga poin tersebut [memecahkan kontradiksi yang tampak].
Jawaban kedua: Tujuan al-Qur'an bukan untuk mengajarkan sejarah penciptaan; tapi ia diturunkan untuk mengajarkan pengetahuan tentang Sang Pencipta, dan mengandung dua tingkatan yang berbeda (maqamat). Di satu tingkatan, ia menjelaskan nikmat [ilahi], kelembutan, kasih sayang, dan kejelasan bukti, bahwa bumi datang lebih dahulu. Namun di tingkat bukti keagungan, kemuliaan, dan qudrat [ilahi], langitlah yang datang lebih dahulu.
﴾ثُمَّ﴿ - tsumma (“kemudian”): Ini bisa merujuk ke "penangguhan" (tarâkhi), yang mungkin penting (dzâti), dan mungkin juga berkaitan dengan tingkatan (rutbî) [atau refleksi (tafakkurî)]. Dengan demikian, ﴾ثُمَّ اسْتَوَى﴿ - tsumma astawâ (“kemudian Dia berkehendak”) menyiratkan kata-kata tak tertulis,
[1] Lihat tentang ini di Mafatih al-Ghayb karya al-Fakhr al-Razi 22/140, al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan 6/428.
198. Page
"Kemudian ketahuilah, dan renungkan [bagaimana] Dia berkehendak [menerapkan desain-Nya ke langit]."[1]
Masalah Ketiga: Mengenai ﴾سَبْعَ﴿sab'a (“tujuh”).
Ketahuilah, filsafat kuno menegaskan bahwa langit ada sembilan, dan pendukungnya mempahaminya dalam bentuk luar biasa. Pemikiran mereka mendominasi umat manusia selama berabad-abad. Bahkan, banyak penafsir al-Qur'an dipaksa mengalihkan makna literal ayat agar [sesuai dengan] dengan mazhab mereka.
Sementara itu, ilmu pengetahuan modern menegaskan bahwa bintang tergantung di angkasa atau di kekosongan, seolah-olah menyangkal keberadaan langit. Artinya, yang salah pergi ke yang ekstrim dan yang lainnya pergi ke ekstrem lainnya.
Adapun syariat, ia menyatakan bahwa Sang Pencipta (semoga kemuliaan-Nya ditinggikan) menciptakan tujuh langit, dan menempatkan bintang di dalamnya seperti ikan berenang [di laut]. Hadits "السماء موج مكفوف - langit adalah gelombang yang tertahan"[2] menunjukkan hal ini.
Mazhab [pemikiran] ini dapat diverifikasi dalam "enam mukaddimah":
Pertama: Telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat bahwa ruang angkasa yang luas dipenuhi eter.
Kedua: Pengikat hukum benda-benda angkasa serta penyebar dan pentransmisi kekuatan seperti cahaya dan panas adalah materi yang terdapat di ruang angkasa dan yang memenuhinya.
Ketiga: Meskipun materi eter tetap [disebut] sebagai eter, seperti materi lainnya, ia memiliki berbagai bentuk yang berubah-ubah dan berbeda-beda, seperti uap, air, dan es yang terbentuk dari air.
Keempat: Jika benda-benda angkasa diamati dengan cermat, tampaknya terdapat tingkatan yang berbeda-beda. Tidakkah engkau melihat sungai langit yang dikenal sebagai Bima Sakti, yang terlihat seperti percikan besar awan; ia terdiri dari jutaan bintang yang baru terbentuk dan mengelompok bersama-sama. Dan bentuk eter, di mana bintang-bintang terikat, tentu saja berbeda dengan tingkatan bintang-bintang yang tetap, dan menurut intuisi yang dipercaya ia juga berbeda dengan tingkatan tata surya. Demikian seterusnya, sampai tujuh tingkat.
Kelima: Telah dipastikan berdasarkan intuisi dan pemikiran induktif bahwa ketika pembentukan, formasi, dan pengaturan terjadi pada materi, ia menimbulkan berbagai kondisi (lit. tingkatan) yang berbeda-beda. Dari karbon (lit. mineral) diproduksi abu, batubara, dan berlian; api dapat dipisahkan menjadi bara, api, dan asap; dan dari campuran oksigen dan hidrogen akan dihasilkan air, es, dan uap.
Keenam: Semua indikasi di atas menunjukkan bahwa langit itu banyak. Dan pemberi hukum syariat yang benar (al-syari 'al-shadiq) menyebutnya ada tujuh. Dan tujuh ini dalam Bahasa Arab bisa berarti tujuh, tujuh puluh, tujuh ratus, yang kesemuanya menunjukkan jumlah banyak.
Ringkasan: Tuhan Maha Pencipta (Semoga kemuliaan-Nya ditinggikan) telah menciptakan dari "materi eter" tujuh langit. Dia mengaturnya dan menatanya secara menakjubkan. Dia pun menanam bintang-bintang di dalamnya, serta meragamkan lapisan-lapisannya.
Ketahuilah, jika engkau merenungkan kata-kata al-Qur'an dan maknanya, serta mempertimbangkan pemahamannya bagi semua tingkatan [manusia] dari yang terendah sampai kalangan elit tertinggi, engkau akan melihat suatu hal yang luar biasa.
Misalnya, dari [kata] ﴾سَبْعَ سَمَوَاتٍ﴿ ("tujuh langit") sebagian orang memahami adanya tingkatan-tingkatan atmosfer (hawa' nasimi).
Darinya, sebagian mereka memahami adanya bola yang mengitari bumi kita dan rekan-rekannya yang memiliki kehidupan.
[1] Maksudnya, penangguhan pemikiran (tarâkhi tafakkurî), yang berarti penciptaan langit memang pertama-tama waktunya, tetapi terkait refleksi ia berada di tempat kedua; sementara penciptaan bumi berlangsung setelah langit, tetapi terkait refleksi ia yang lebih dulu. Yakni, lazim berpikir bahwa penciptaan bumi berlangsung sebelum langit.
[2] Ini bagian dari hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad di dalam Musnadnya 2/370, al-Thabrani di al-Mu'jam al-Awsath 6/15, dan al-Ahadits al-Mukhtarah 10/118.
199. Page
Darinya, sebagian mereka memahami adanya tujuh planet yang terlihat oleh semua orang.
Darinya, sebagian mereka memahami adanya tujuh lapisan eter di tata surya.
Darinya, sebagian mereka memahami bahwa tujuh sistem tata surya yang pertama adalah matahari kami ini.
Darinya, sebagian mereka memahami eter menyebabkan pembentukan tujuh tingkatan [atau kondisi] seperti telah dibahas di atas.
Darinya, sebagian mereka menganggap bahwa semua yang terlihat berupa lampu-lampu yang berhiaskan matahari dan bintang-bintang tetap adalah langit tunggal. Ia membentuk langit dunia ini, dan di atasnya terdapat enam lagi langit yang tak terlihat.
Darinya, sebagian mereka menduga bahwa tujuh langit tidak terbatas pada dunia nyata saja, tapi mereka memahaminya sebagai tingkatan penciptaan di alam dunia ini, alam akhirat, dan alam gaib.
Masing-masing [tingkatan manusia] ini mengambil manfaat dari berkah al-Qur'an yang berlimpah, sesuai kapasitasnya, dan menerima bagiannya dari hidangannya, yang mencakup semua pemahaman ini.
Ketahuilah, kalimat pertama ayat ini; yaitu, ﴾هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا﴿ - Hû alladhî khalaqa la-kum mâ fi'l-ard jamî'an (“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”), nadzamnya memiliki lima aspek:
Pertama: Ayat sebelumnya menunjukkan nikmat kehidupan dan eksistensi, sementara ayat ini menunjukkan nikmat eksistensi yang kekal (baqâ') dan penyebabnya.
Kedua: Ketika ayat sebelumnya membuktikan bahwa manusia berada di derajat tertinggi, yaitu, ia akan kembali ke Dzat Yang Maha Tinggi, ia membangkitkan pikiran pendengar dan bertanya: "Bagaimana mungkin manusia yang hina memiliki kapasitas [untuk mempertahankan] derajat tertinggi ini jika bukan karena kemurahan Dzat Yang Maha Tinggi dan panggilan-Nya?" Maka, kalimat ini seakan jawaban atas pertanyaan tersebut, dengan mengatakan bahwa: manusia memiliki tempat yang sangat tinggi di sisi Sang Penciptanya yang telah menundukkan seluruh dunia baginya.
Ketiga: Pada ayat sebelumnya yang menunjukkan terjadinya kebangkitan kembali dan kiamat bagi umat manusia, pendengar mulai bertanya: "Apa pentingnya manusia sehingga kiamat harus dibentuk karenanya, dan dunia dihancurkan demi kebahagiaannya?" Dan kalimat ini seolah-olah membalasnya: "Semua yang dikandung bumi telah disiapkan untuk dimanfaatkan dan semua spesies [makhluk] telah ditundukkan bagi [manusia], berarti [manusia] pasti memiliki kepentingan besar yang menunjukkan bahwa dialah buah penciptaan."
Keempat: Dengan kata-kata ﴾إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kepada-Nya-lah kamu dikembalikan"), ayat sebelumnya menunjukkan bahwa [di akhirat] semua perantara akan dihapus, dan semua rujukan (marja'iyyah) hanya terbatas pada [Allah] Ta'ala. Namun, di dunia ini manusia memiliki banyak sekali rujukan, sehingga kalimat ini juga bermakna bahwa penyebab dan perantara berasal dari tangan qudrat, dan bahwa rujukan yang sebenarnya [di dunia ini juga] Allah Ta'ala, serta bahwa [penyebab dan perantara] mengintervensi karena alasan hikmah tertentu. Dialah [Allah] Ta'ala yang menciptakan segala kebutuhan manusia.
Kelima: Jika ayat sebelumnya mengisyaratkan kebahagiaan abadi, ayat ini menunjukkan rahmat dan nikmat sebelumnya yang mengharuskan kebahagiaan tersebut. Yakni, [manusia] yang telah dikarunia dengan semua yang ada di bumi tentunya berhak diberi kebahagiaan abadi.
Kalimat, ﴾ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ﴿ - tsumma astawa ilâ al-samâ' (“kemudian Dia berkehendak [menciptakan] langit”), nadzamnya memiliki"empat aspek":
Pertama: Langit adalah pendamping bumi. Bumi tidak dapat dipersepsi sendirian; menyebutnya selalu mengingatkan pikiran pada langit.
Kedua: Langit ditata sebagai penyempurna [sedemikian rupa sehingga] manusia dapat memanfaatkan apa yang ada di bumi.
Ketiga: Kalimat sebelumnya menunjukkan bukti kebaikan dan rahmat [ilahi], sementara ayat ini menunjukkan bukti keagungan dan qudrat [ilahi].
Keempat: Kalimat ini menunjukkan bahwa manfaat manusia tidak terbatas pada bumi, tetapi langit juga ditundukkan untuk dimanfaatkannya.
200. Page
Nadzam kalimat سَمَاوَاتٍ ﴾ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ ﴿ - fa-sawwâhunna sab'a samâwât (“lalu dijadikan-Nya tujuh langit”). Ini memiliki "tiga aspek":
Pertama: Kalimat ini terkait dengan kalimat yang sebelumnya seperti terkaitnya kata "فيكون - fayakun (maka jadilah!)" dengan kata "كن - kun (jadilah)."
Kedua: [Kalimat ini terkait dengan kalimat yang sebelumnya] seperti terganggungnya (ta'lluq) qudrat [ilahi] dengan kehendak [ilahi].
Ketiga: [Kalimat ini terkait dengan kalimat sebelumnya] seperti terkaitnya kesimpulan dengan pendahuluannya.
Nadzam kalimatعَلِيمٌ ﴾ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ ﴿ - wa hû bi-kulli syay'in 'alîm (“dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”), memiliki “dua aspek”:
Salah satunya: [Kalimat ini] merupakan argumen dari sebab kepada akibat (dalîl limmî) yang membuktikan pengaturan (tandzîm) [yang dijelaskan dalam kalimat] sebelumnya, sebagaimana pengaturan yang merupakan argumen dari akibat kepada sebab (dalîl innî) yang membuktikan kalimat ini. Sebab, harmoni dan keteraturan membuktikan adanya pengetahuan yang sempurna, sebagaimana pengetahuan memberitahukan keteraturan.
Yang lainnya: Kalimat sebelumnya menunjukkan qudrat [ilahi] yang sempurna, sementara kalimat ini menunjukkan pengetahuan yang mencakup semuanya.
Nadzam bagian-bagian kalimat ayat ini:
[Ayat ini berisi poin-poin berikut ini:] Kalimat pertama tidak terikat dengan kalimat sebelumnya; bentuk definit (ma'rîfah) dua bagian pertama kalimat ini, bentuk definit predikat, preposisi "لام - lam" pada "لَكُمْ - la-kum," didahulukannya kata ["لَكُمْ - la-kum"], preposisi "في - fî," dan kata "جميعا - jamî'an."
Berbentuk kata-kata yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang mendahuluinya (isti'nâf), kalimat pertama menyiratkan pertanyaan yang tak tertulis dan jawaban yang telah disinggung di lima aspek nadzam kalimat pertama [yang telah disebutkan] di atas.
Di frasa "huwa alladzî," terdapat kata "huwa (dia)" sebagai subjek dan "alladzî (yang)" sebagai predikat, yang keduanya berbentuk definit (ma'rifah), yang menunjukkan tauhid dan pembatasan. [Artinya, penciptaan semua yang ada di bumi terbatas pada Allah; Allah adalah satu-satunya Pencipta.] Dan pembatasan ini menyangkut pembatasan yang terungkap dengan didahulukannya kata ﴾إِلَيْهِ﴿ - ilayhi (“kepada-Nya”) pada kalimat ﴾ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿ ("kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan") di ayat sebelumnya.
Bentuk definit kata predikat (khabar) di sini menunjukkan bahwa pernyataan itu jelas. [Maksudnya, pernyataannya jelas dan tegas bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu di bumi.]
[Preposisi] "لام - lam" pada ﴾لَكُمْ﴿ - la-kum menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan dan diharamkan hanya dalam kondisi tertentu. Misalnya, harta orang lain haram karena dilindungi oleh syariat; daging manusia haram karena dihormati; racun haram karena bahayanya; atau bangkai haram karena najis.
Demikian pula, hal itu menunjukkan adanya manfaat bagi manusia dalam segala hal. Bahkan, meskipun hanya satu dari banyak aspek, atau hanya satu dari banyak jenisnya, atau malah dalam hal yang paling sepele, manusia tetap bisa mendapatkan manfaatnya. Atau setidaknya manusia dapat memanfaatkan sesuatu dengan maksud mengambil pelajaran darinya.
Selain itu, ia menunjukkan bahwa betapa banyak perbendaharaan [milik Allah] yang tersimpan di perut bumi, yang menunggu [dimanfaatkan oleh] generasi masa depan.
Didahulukannya kata ﴾لَكُمْ﴿ - la-kum menunjukkan bahwa pemanfaatan manusia [atas isi bumi] merupakan tujuannya yang paling dikedepankan, diprioritaskan, dan yang paling pertama.
Adapun ﴾مَا﴿ - mâ (“apa”) bersifat umum untuk mendesak [manusia] mencari manfaat dalam segala hal.
Penggunaan kata ﴾فِيالأَرْضِ﴿ - fi al-ardl (“di dalam bumi”) ketimbang "على الأرض - di atas bumi" -- misalnya -- menunjukkan bahwa sebagian besar hal yang dapat dimanfaatkan berada di dalam bumi. Hal ini juga memacu [manusia] untuk menyelidiki apa yang bisa ditemukan di sana. Dan pemanfaatan manusia secara bertahap atas mineral dan zat lain di bumi menunjukkan bahwa mungkin saja dalam
201. Page
kandungannya terdapat bahan dan elemen yang dapat digunakan sebagai bahan makanan dan hal-hal lain yang akan meringankan beban hidup generasi masa depan.
Adapun ﴾جَمِيعًا﴿ - jamî'an (“semua”), itu dimaksud untuk membantah ilusi-ilusi yang mengira sebagian hal [diciptakan] sia-sia.
Kata ﴾ثُمَّ﴿ - tsumma (“kemudian”) di kalimat kedua menunjukkan rankaian tindakan [Allah] Ta'ala dan ihwal-Nya setelah menciptakan bumi hingga pengaturan langit.
Ini juga merupakan pertanda bahwa terkait pemanfaatan manusia, pengaturannya lebih rendah derajatnya dari penciptaan bumi. Hal ini juga menyimpulkan kejadiannya lebih lambat dari [penciptaan bumi].
Adapun kata ﴾اسْتَوَى﴿ - astawâ, di dalamnya terdapat penggunaan kata yang ringkas, yang berarti "أراد أن يسوّي - arâda an yusawwiya (Dia hendak atau ingin mengatur)."
Ini juga memiliki arti kiasan (majâz), yang menunjukkan seseorang yang bertujuan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa meliuk ke kiri atau kanan.
Dan kata ﴾إِلَىالسَّمَاءِ﴿ - ilâ al-samâ' (“ke langit”): yakni, ke materi [fisik] langit, dan ke arahnya.
Adapun "فاء - fâ' (dan)" di ﴾فَسَوَّاهُنَّ﴿ - fa-sawwâhunna: Dilihat dari sisi keberadaannya sebagai partikel bercabang (tafrî'), [hubungan antara kalimat ini dan yang sebelumnya, yaitu, antara "astawâ" dan taswîyyah] menyerupai keberadaannya sebagai konsekuensi dari [perintah penciptaan] "kun (jadilah)", qudrat tergantung pada kehendak, dan qadla tergantung pada takdir.
Dan dilihat dari sisi kias ke aspek keberikutannya (ta'qîb), "فاء - fâ'" menyiratkan adanya beberapa kata tak tertulis: "Dia menciptakan berbagai [langit], mengaturnya, mengelola segala hal di antaranya, kemudian Dia mengadakannya [berupa tujuh langit]," dan seterusnya.
Adapun ﴾سوّى﴿ - sawwâ, maksudnya, Dia menciptakannya secara tertata, teratur, dan sama, di mana Dia memberi pada masing-masing apa yang sesuai dengan potensinya, dan sama dengan kapasitasnya.
Sedangkan kata ﴾هن﴿ - hunna menunjukkan keragaman materi [fisik] langit.
Adapun ﴾سَبْعَ﴿ - sab'a, itu mengandung [makna] keragaman dan hubungan dengan tujuh sifat [ilahi], dan dengan tujuh masa (adwâr) dalam pembentukan bumi.
Dan ﴾سَمَوَاتٍ﴿ - samâwât (“langit”), maksudnya, taman dengan bunga mutiara yang berlimpah, lautan dengan ikan-ikan planet, dan sawah untuk menanam benih bintang-bintang.
Adapun kalimat ﴾وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ﴿ - wa Huwa bi kulli shay'in 'alîm (“dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”): Kata penghubung "واو - waw" memerlukan sambungan [meskipun tampaknya tidak ada], yang berarti [adanya kalimat tak tertulis berikut]: "Dia maha berkuasa atas segala sesuatu sehingga Dia [pasti] Pencipta benda langit yang besar, dan Dia mengetahui segala sesuatu, maka Dia-lah yang mengatur penciptaan di dalamnya dengan kreasi yang sangat teliti."
Dan "باء - ba’" [pada "بِكُلِّ - bi-kulli"], yang mengekspresikan kelengketan, menunjukkan bahwa pengetahuan tidak terpisahkan dari apa yang dikenal.
Adapun ﴾كُلِّ﴿ - kull (“semua”), sifatnya umum yang, [dilihat dari sisi pengetahuan ilahi,] berada di luarnya, [sebab Allah mengetahui segala sesuatu tanpa kecuali]. Dengan demikian, kaedah "semua ketentuan umum memiliki pengecualian" dapat dikecualikan. Jika tidak, kalau pun benar, kaedah ini akan saling bertentangan dengan sendirinya, seperti "akar bisu yang berbicara."
Kata ﴾شَيْءٍ﴿ - syay' (“sesuatu”) mencakup hal-hal yang bekehendak dan berkemauan keras, dan apa yang bukan ini atau itu sepertinya hal yang mustahil.
Dan ﴾عَلِيمٌ﴿ - 'alim (“mengetahui”), yaitu, dzat [ilahi] di mana pengetahuan mesti merupakan [sifatnya] yang melekat padanya.