AL-BAQARAH AYAT 3

40. Page

Ayat 3

﴿الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

(Alladzîna yu'minûna bi al-ghayb wa yuqîmûna al-shalât wa mimmâ razaqnâhum yunfiqûn.)

[Yaitu] mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

 

اَلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴿ - alladzîna yu'minûna bi al-ghayb (“mereka yang beriman kepada yang gaib”)

Ketahuilah: Aspek nadzam ayat ini dan yang sebelumnya terkait makna esensialnya ialah bahwa pujian al-Qur'an di ayat sebelumnya memiliki pengaruh pada pujian orang-orang beriman di ayat ini, dan yang satu mengalir ke yang lain. Sebab, pujian orang-orang beriman merupakan hasil dari pendahulu mereka; itu merupakan bukti dari akibat ke sebab (al-burhân al-innî), buah petunjuk al-Qur'an, dan saksi atasnya; dan disebabkan [pujian di ayat ini] mengandung dorongan, hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki andil [dalam pemberian] petunjuk itu dan merupakan contoh darinya.

Adapun aspek nadzamالذين﴿- alladzîna bersama المتقين﴿ - al-muttaqîn [serta hubungan di antara keduanya], itu [menunjukkan] pengosongan (takhliyyah) melalui penghiasan diri (tahliyyah), yang merupakan rekan abadinya. Sebab, penghiasan (tazyîn) [selalu terjadi] setelah pemurnian (tanzîh).

Apakah engkau tidak melihat bahwa taqwâ merupakan pengosongan (takhallî) dari kejahatan dan bahwa al-Qur'an telah menyebutnya dengan ketiga tahapnya, yaitu: meninggalkan syirik, lalu meninggalkan dosa, kemudian meninggalkan semua hal selain Allah?

Sementara penghiasan diri (tahliyyah) ialah melakukan perbuatan baik, dengan hati, atau fisik, atau dengan harta. Maka, matahari perbuatan hati adalah "keimanan", indeks keseluruhan perbuatan fisik adalah "shalat" yang merupakan tiang agama, dan poros perbuatan yang berkaitan dengan harta adalah "zakat" yang merupakan "jembatan Islam."

Ketahuilah bahwa [kalimat] ﴾اَلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴿ - alladzîna yu'minûna bi al-ghayb terkait dengan nadzamnya, engkau akan melihat bahwa itu memang harus ringkas, namun jika engkau membandingkannya dengan sinonimnya, yaitu "المؤمنون - al-mukminûn" (orang-orang beriman), engkau akan mengiranya terlalu panjang lebar.

Digantinya kata pasti "al -ال" dengan الذين﴿ - alladzîna yang berfungsi sebagai kata ganti penghubung ialah untuk menunjukkan adanya kata benda yang ditentukannya melalui klausa penghubung saja.[1] [Maka klausa penghubung inilah -- bukan kata ganti penghubung -- yang memiliki kepentingan karena ia memenuhi syarat subjek. Susunan kata di sini kemudian menarik perhatian], seolah-olah ia tidak memiliki atribut kecuali mendorong pada keimanan dan memuliakannya. Ini juga merupakan isyarat bahwa keimanan menyinari orang yang memangkunya sebagaimana mercusuar yang membuat semua atribut lain di bawahnya melemah dan memudar.

Dan kata "مؤمنون - mu'minûn" (orang-orang beriman) diganti dengan kata يُؤْمِنُونَ - yu'minûna﴿ ([mereka] beriman) dimaksud untuk menggambarkan dan memperlihatkan situasi terpuji ini di dalam imajinasi. Ini juga merupakan pertanda bahwa keimanan terus-menerus diperbarui dan dimanifestasikan sesuai pergantian bukti-bukti eksternal maupun internal. Setiap kali bukti-bukti itu bertambah jelas, semakin bertambah pula keimanannya.

Dengan kata بِالْغَيْبِ﴿ - bi al-ghayb (“pada yang gaib”) berarti mereka beriman dengan hati, yaitu, dengan tulus ikhlas tanpa kemunafikan, meskipun ketika sendirian. Dan mereka beriman pada apa yang tak terlihat dan pada dunia gaib.

Dan ketahuilah bahwa keimanan adalah cahaya yang diperoleh dengan menegaskan secara rinci semua esensi agama [yang dibawa oleh Nabi S.a.w] dan semua yang lainnya secara global.

 


[1] Sebab "alladzîna" termasuk nama yang sublim, karena itu kata penghubungnya yang menentukan dan mencirikannya. (T: 43)




41. Page

Jika engkau bertanya: Hanya satu dari seratus orang awam yang mampu mengungkap hakekat keimanan secara jelas?

Engkau akan dijawab: Ketidakmampuan untuk menyatakan sesuatu secara jelas tidak menunjukkan non-eksistensinya. Sebagaimana lidah kebanyakan tidak mampu menerjemahkan seluk-beluk apa yang terlintas dalam pikiran, demikian pula akal tidak mampu memahami rahasia tersembunyi hati nurani, jadi bagaimana harus menerjemahkan semua yang ada di dalamnya?!

Apakah engkau tidak melihat bahwa dengan semua kecerdasannya, sang jenius dan ahli balaghah seperti al-Sakkâkî [1] gagal memetik poin-poin penting karya spontan penyair nomaden seperti Imri 'al-Qays,[2] atau nomaden lainnya. Karena itu, kita dapat menentukan apakah orang awam beriman atau tidak dengan mengajukan pertanyaan padanya dan mencari penjelasan darinya. Anda dapat menanyainya baik secara positif maupun negatif, mengatakan: "Hai orang awam, apakah mungkin atau tidak menurut pikiranmu bahwa sang Pencipta yang kekuasaan-Nya menggenggam keenam aspek dunia, mesti hadir hanya di satu tempat darinya?" Jika dia menjawab negatif, maka jelas bahwa Allah berada di luar batasan ruang tertancap kokoh di hati nuraninya, dan itu cukup baginya. Engkau bisa memikirkan contoh lebih lanjut dengan cara yang sama.

Kemudian, keimanan -- sebagaimana diuraikan oleh Saad[3] -- adalah cahaya yang ditanamkan oleh Allah S.w.t di dalam hati sebagian dari hamba-hamba-Nya[4] yang dikehendaki-Nya. Yaitu, setelah mereka telah menggunakan kekuatan kehendak mereka.[5]

Ya, keimanan merupakan cahaya bagi hati nurani manusia, serta sinar dari Matahari Keazalian[6] yang menerangi malakut[7] hati nurani ini secara keseluruhan. Ia menebarkan perasaan keakraban dengan seluruh alam semesta dan menetapkan hubungan antara hati nurani dan segala sesuatu. Ia menanamkan kekuatan moral di dalam hati seseorang sehingga dia dapat mengatasi semua peristiwa dan musibah yang menimpa dirinya. Ia memberinya keluasan sehingga dia mampu bertahan di masa lalu dan pada masa mendatang.

Sebagaimana keimanan merupakan sinar dari Matahari Keazalian, ia juga merupakan kilau kebahagiaan abadi, yaitu, kilau kebangkitan kembali (hasyr). Melalui cahaya yang dipancarkan kilauan tersebut, benih seluruh harapan manusia tumbuh, bibit semua potensi yang bersarang di hati nuraninya mulai bersemi, lalu ia mekar keluar menuju keabadian, sehingga benih potensinya berubah menjadi Pohon Tuba.[8]


[1] Yaitu Abu Ya'qub Yusuf bin Abu Bakar bin Muhammad al-Sakkaki, termasuk warga Khawarizm. Tokoh terkemuka dalam ilmu Bahasa Arab, Bayan, Adab, Arudl, dan syiir. Dia juga ahli kalam dan ahli fikih. Lahir pada 554 H, dan wafat pada 626 H. Di antara karyanya yang terkenal, Miftah al-'Ulum. Lihat biografinya di Mu'jam al-Udaba' 5/649.

[2] Penyair Arab Jâhiliyyah, dikenal dengan Imri 'al-Qays bin Hajar bin al-Harits al-Kindi (497-545 M), penulis salah satu dari Tujuh Syair Gantung (al-mu'allaqât al-sab'ah), di Ka'bah.

[3] Dia adalah Sa'ad al-Haqq wa al-Din Mas'ud bin 'Umar al-Taftazani al-Faruqi, yang dikenal sebagai imam muhaqqiq di kalangan ulama besar Syafi'iyah. Dia dilahirkan pada 722 H di Taftazan, dan wafat di Samarkand, lalu dipindah ke Sarkhas untuk dimakamkan di sana pada 792 H. Banyak karya besarnya, antara lain Syarhu Talkhish al-Miftah, Hasyiyah 'ala Tafsir al-Kasysyaf. Lihat biografinya di Thabaqat al-Mufassirin karya al-Dawudi 310, al-Durr al-Kaminah fi A'yan al-Miah al-Tsaminah 6/112.

[4] Di Siyar A'lam al-Nubala' terdapat riwayat dari Muhammad bin Suhnun: "... Adapun hakekat pengakuan (iqrar) yang merupakan pembenaran, itu merupakan cahaya yang dipasangkan oleh Allah ke hati hamba-Nya." Lihat Siyar A'lam al-Nubala' 13/63. Termasuk dalam pengertian ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah S.a.w dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala: "Barang siapa dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, Dia akan melapangkan dadanya bagi keimanan" yang berarti itu cahaya yang dipasangkan oleh Allah di dalam hati sehingga menjadi lapang. Lihat Tafsir al-Thabari 8/26.

[5] Yakni, setelah hamba memalingkan hatinya kepada Allah semata, yang harus dilakukan oleh sang hamba dengan penuh usaha untuk memperoleh petunjuk, sehingga Allah memberinya karunia dengan memberikan cahaya petunjuk ke dalam hatinya.

[6] Ungkapan majaz yang dikenal di dunia sastra Turki dan Persia mengenai sifat Allah "al-Qadîm."

[7] Malakut: alam gaib khusus untuk roh, jiwa, dan keajaiban. Sementara malakutiyah: akal dan jiwa bebas. Lihat Lisan al-Arab 10/492, al-Tauqif 'an Muhimmat al-Ta'arif 283, al-Ta'rifat 119.

[8] Tuba adalah pohon surga, lihat Lisan al-Arab 1/564. Di dalam Musnad Ahmad, disebutkan di hadits no 17679 juz 4/183, di mana seorang Arab badui bertanya kepada Nabi S.a.w tentang buah surga, beliau menjawab, "Ya, di sana ada pohon yang disebut Tuba."




42. Page

 

وَيُقِيمُونَ الصَّلوة﴿ - wa yuqîmûna al-shalât (“Yang mendirikan shalat”):

Ketahuilah bahwa aspek nadzam [kalimat ini dan hubungannya dengan yang sebelumnya] sangat jelas sejelas siang hari. Disebutnya الصَّلوةَ﴿- al-shalât secara spesifik ketimbang perbuatan baik fisik lainnya menunjukkan bahwa shalat merupakan indeks dari semua perbuatan baik, teladannya, dan cerminnya, seperti surah al-Fâtihah merupakan indeks al-Qur'an dan manusia merupakan indeks dunia. Sebab, di satu sisi shalat mencakup puasa, haji, zakat, dan berbagai jenis ibadah lainnya; dan ia mencakup ibadah semua makhluk, baik fitriah maupun ikhtiariah; sebagian malaikat tunduk beribadah, lainnya bersujud, dan yang lain lagi berdiri; sebagian batu sujud beribadah, pohon-pohon berdiri, dan hewan bersujud.

Bentuk kata kerja يُقِيمُونَ﴿ - yuqîmûna (lit. “mereka melakukan”) digunakan sebagai pengganti "المقيمين - al-muqîmîn" (isim fa’il) untuk menghadirkan gerakan vital yang luas dan perhatian ruhani ilahiah tersebut, di dunia Islam, ke dalam pikiran pendengar, untuk menggugah imajinasinya terhadap situasi mengagumkan dan tertib ini di semua wilayah kemanusiaan, serta untuk membangkitkan dalam dirinya keinginan untuk melakukan hal yang sama. Sebab jika seseorang mengamati dampak dari panggilan terompet pada tentara yang tersebar dan terserak di antara banyak orang, bagaimana ia membangkitkan mereka, memanggil mereka untuk segera berkumpul, untuk bangun dengan sukarela, berdiri tertib, maka dia sendiri akan merasa cenderung untuk bergabung dengan mereka. Demikian pula halnya adzan Muhammadi di antara manusia di gurun tandus dunia ini. "ولله المَثَلُ الأعْلَى - dan milik Allah perumpamaan tertinggi."

Namun di sela keringkasan ini, [pilihan kata] tak dibatasi hanya dengan penggunaan kata "يصلّون- yushallûn)" (mereka shalat), tapi melengkapinya dengan kata يُقِيمُونَ الصَّلوةَ﴿ - yuqîmûna al-shalat (“mereka melakukan shalat”). Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan makna "melakukan" (iqâmah) dalam shalat, seperti melakukan dengan benar, tertib, khusyu, dan menjaga diri [dari gangguan dll], serta meningkatkan permintaannya di pasar dunia. Renungkanlah!

Kemudian [pahami juga] bahwa shalat merupakan nisbah tinggi, interaksi mahal, dan khidmat luhur antara hamba dan Sultan Azali. Ciri dari nisbah ini, setiap roh selalu merindukan (shalat). Rukun shalat mencakup banyak rahasia yang telah diuraikan di karya-karya seperti al-Futûhât al-Makkiyah.[1] Ciri dari rahasia ini, setiap hati nurani selalu mencintainya.

Shalat merupakan seruan dari Sang Pencipta Keazalian menuju anjungan hadirat-Nya lima kali sehari-semalam untuk bermunajat dengan-Nya, yang berfungsi semacam Mikraj. Di antara ciri shalat, hati setiap orang selalu merindukannya. Shalat melanggengkan persepsi keagungan Sang Pencipta di dalam hati, dan membuat pikiran menyadari hal ini untuk membangun ketaatan kepada hukum keadilan ilahi dan menjalankan sistem rabbani. Manusia membutuhkan kelanggengan ini karena dia manusia, dan karena dia makhluk berbudaya secara alami (madaniyyun bi al-thab'i). Betapa sangat disayangkan orang yang meninggalkan shalat! Sungguh merugi orang yang malas melakukannya! Wahai, betapa bodoh orang yang tidak mengetahui nilainya! Sungguh menjijikkan, terhina, memuakkan, dan menyebalkan, orang-orang yang tidak menghargainya!

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿ - wa mimmâ razaqnâhum yunfiqûn (“dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”)

Aspek nadzam [dan hubungan dengan kalimat sebelumnya]:

Sebagaimana shalat merupakan "tiang agama" dan dengannya agama tegak; demikian pula zakat merupakan "jembatan Islam" dan sarana tolong-menolong di antara warganya.


[1]Al-Futuhat al-Makkiyyah fi Ma'rifat Asrar al-Malikiyyah wa al-Mulkiyyah karya Muhyiddin Ibnu 'Arabi (1165-1240 Masehi). Kitab ini termasuk yang paling masyhur di antara karyanya, dan ditulisnya paling belakangan. Di dalamnya dimuat sejumlah ungkapan aneh (syathahat) yang ditolak para ulama. Di antaranya, pernyataannya yang diklaim sebagai wahyu mengenai wihdat al-wujud. Kitab ini diringkas oleh 'Abdul Wahhab al-Sya'rani, yang wafat pada tahun 973 H, dengan nama Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah al-Muntaqat min al-Futuhat al-Makkiyyah. Lalu, ringkasan ini diringkasnya lagi menjadi al-Kibrit al-Ahmar min 'Ulum al-Syaikh al-Akbar. Lihat Kasyf al-Dlunun 2/1238.




43. Page

Terdapat syarat tertentu yang membuat sedekah diterima dan layak:

Hendaknya orang yang bersedekah tidak bersikap boros [secara berlebihan], sehingga dia tercela.

Dan hendaknya dia tidak mengambil dari seseorang lalu memberikannya ke orang lain, tapi hendaknya dia memberikan sedekah dari hartanya sendiri.

Dan hendaknya dia tidak memberi dengan harapan memperoleh keuntungan.

Dan hendaknya dia tidak takut miskin.

Dan sedekah tidak harus dibatasi berupa harta; tapi pengetahuan, ide-ide, dan amal perbuatan, juga dapat diberikan sebagai sedekah.

Dan penerima sedekah tidak boleh menghabiskannya untuk hal-hal bodoh, tetapi untuk nafkah dan kebutuhan mendesak.

Demi membuat nuktah-nuktah berikut ini dan menyimpulkan persyaratan tersebut di atas, al-Qur'an memberi pemahaman dengan lebih memilih kata ﴾وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿ - wa mimmâ razaqnâhum yunfiqûn"[1] ketimbang kata-kata “يتصدقون - yatashaddaqûn" (mereka memberikan sedekah) atau "يزكّون - yazakkûn” (mereka memberikan zakat), dan sebagainya:

Dengan kata من﴿ - min, ia hendak menunjukkan bahwa pemborosan [dalam pemberian sedekah] harus dihindari;

Dengan menempatkan kata مِمَّا﴿ - mimmâ (sebagian [rezeki]”) di bagian depan kalimat, ia hendak menyimpulkan bahwa sedekah itu harus berasal dari hartanya sendiri;

Dengan kata رَزَقْنَا﴿ - razzaqnâ (“yang Kami anugerahkan”), ia hendak melarang (sedekah) itu [dianggap sebagai] perberiannya; yakni, "Allahlah Sang Pemberi, dan engkau hanya perantara."

Dengan kata نا﴿ - (“Kami”), ia hendak menyinggung makna hadits:

لاَتَخَفْ مِنْ ذِي الْعَرْشِ إِقْلاَلا

"Janganlah engkau merasa khawatir kekurangan dari Tuhan Pemilik Arasy."[2]

Karena rizq [kata benda 'rezeki', yang berasal dari akar kata kerja] di sini bersifat mutlak dan tidak spesifik, hal itu menunjukkan bahwa bersedekah meliputi pemberian pengetahuan, ide, dan hal-hal lainnya.

Dan dengan kata يُنْفِقُونَ﴿ - yunfiqûn (“menafkahkan”), ia hendak menyimpulkan syarat bahwa si penerima harus menggunakan sedekah itu untuk nafkah dan kebutuhan mendesak.

Hal ini dinyatakan oleh hadits shahih:

الزَّكاةُ قَنْطَرَةُ الإسلام

"Zakat adalah jembatan Islam."[3] Artinya, zakat merupakan jembatan; Seorang muslim membantu saudaranya yang muslim untuk melewatinya. Sebab, itulah cara yang diperintahkan [oleh agama] di mana [orang] dapat saling membantu satu sama lain; bahkan, itulah jalan raya di sistem manajemen gerakan sosial spesies manusia, dan link atau arteri dimana substansi kehidupan dapat mengalir di antara anggotanya. Malahan, itulah penawar atas setiap racun yang sangat nyata menghambat kemajuan manusia.

Ya, di dalam "kewajiban zakat" dan "pelarangan riba" terdapat hikmah sangat besar, maslahat yang tinggi, dan rahmat yang luas. Sebab, jika engkau memperhatikan sejarah pada lembaran dunia dan

[1] Keterangan tambahan tentang ini dijelaskan di dalam Risalah al-Iqtishad, yang merupakan "Kilau Kesembilan Belas."

[2] Ini potongan dari hadits Abu Hurairah r.a yang meriwayatkan bahwa Nabi S.a.w mengunjungi Bilal, lalu disuguhinya secuil kurma. "Ini apa, Bilal," beliau bertanya. Bilal menjawab, "Ini kurma, wahai Rasulullah, yang aku simpan." Rasulullah bersabda, "Tidakkah engkau takut mendengar kisah tentang tukang kayu di neraka? Nafkahkanlah, Bilal. Janganlah engkau merasa khawatir kekurangan dari Tuhan Pemilik Arasy." Lihat hadits no 6040 di Musnad Abu Ya'la 10/429. Lihat juga al-Mu'jam al-Kabir 1/340 hadits no 1021, 1/324 hadits no 1025, 10/155 hadits no 10300, serta di Musnad al-Syihab 1/437 hadits no 499.

[3] Dinukil al-Haitsami di Majma' al-Zawaid 3/62. Dikatakan: Hadits ini diriwayatkan al-Thabrani di al-Kabir dan al-Awsath. Dinukil juga oleh al-Mundziri di al-Targhib wa al-Tarhib 1/517.




44. Page

mempelajari kejahatan masyarakat manusia, engkau akan melihat bahwa alasan yang mendasari semua revolusi (ikhtilâlât) dan korupsi atau kerusakan (fasâd), serta sumber amoralitas, hanya dua perkataan:

Ucapan Pertama: "Setelah saya kenyang, tak ada urusan saya jika orang lain mati kelaparan."

Ucapan Kedua: "Bekerjalah engkau sehingga saya bisa makan, dan bekerjalah engkau dengan keras sehingga saya bisa beristirahat."

Adapun ungkapan pertama, yang kejam, serakah, dan keji, itulah yang telah mengguncang dunia kemanusiaan dan membawanya ke jurang kehancuran. Hanya zakat yang dapat memotong ungkapan tersebut pada akarnya.

Sementara ungkapan kedua, yang penuh tirani, angkara, dan sesat, itulah yang telah meruntuhkan umat manusia, yang membawanya hancur di ambang api anarki dan kerusuhan. Dan satu-satunya cara untuk memberantasnya, satu-satunya obat untuk itu, adalah melalui pelarangan riba. Renungkanlah!

Ketahuilah: Keteraturan masyarakat tergantung pada tiadanya kevakuman di antara kelas manusia. Kelas atas hendaknya tidak tumbuh begitu jauh dari kelas bawah, begitu pula si kaya dari si miskin, [tak boleh berjarak] hingga jalur komunikasi di antara mereka terputus. Namun karena kewajiban membayar zakat dan pelarangan riba telah diabaikan, terbuka kesenjangan lebar di antara kelas, dan kelas atas tumbuh begitu jauh dari kelas bawah hingga tingkat tidak ada lagi hubungan di antara mereka. Hal ini terjadi karena, alih-alih rasa hormat, ketaatan, dan cinta tumbuh dari kelas bawah ke kelas atas, teriakan revolusi meledak, diiringi jeritan hasad, pekik kebencian dan balas dendam. Demikian pula, bukan kebaikan, kedermawanan, dan kasih sayang yang mengalir dari kelas atas ke kelas bawah, justeru api tirani dan penindasan, serta petir penghinaan, memberondong mereka. Sayang sekali! Padahal "kelebihan kaum elit" seharusnya menjadi penyebab kerendahan hati dan cinta kasih, namun sayangnya malah menimbulkan rasa bangga dan kesombongan. Sementara "ketidakberdayaan kaum miskin" dan "kemiskinan kaum awam" yang seharusnya menjadi penyebab kasih sayang atas mereka dan kebajikan pada mereka, malahan menyebabkan perbudakan dan penghinaan pada mereka!

Jika engkau ingin menjadi saksi atas apa yang saya katakan, lihatlah kerusakan dan kemerosotan situasi dunia yang berperadaban; di sana engkau akan menemukan banyak sekali bukti. Satu-satunya cara rekonsiliasi di antara kedua kelas, yang akan membawa mereka lebih dekat satu sama lain, adalah dengan menjadikan zakat -- salah satu rukun Islam -- sebagai aturan tertinggi dan luas di dalam pemerintahan masyarakat.