NAVIGATION
202. Page
﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُون﴾
(Wa idz qâla rabbuka li'l-malâ'ika innî jâ'ilun fi'l-ardl khalîfatan qâlû ataj'alu fi-hâ man yufsidu fî-hâ wa yasfiku al-dimâa wa nahnu nusabbihu bi-hamdika wa nuqaddisu la-ka qâla innî a'lamu mâ lâ ta'lamûn.)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Mukaddimah
Ketahuilah, kepercayaan yang membenarkan eksistensi malaikat merupakan salah satu rukun iman. Kami akan membahasnya di sini dengan beberapa "maqam" (stasiun):
Maqam Pertama:
Siapa pun yang mengamati bumi, [dia akan melihat bahwa] betapa pun kerendahannya ia dipenuhi dengan makhluk yang memiliki roh (dzawî al-arwâh), dan jika dia mempelajari keteraturan alam dan ketelitiannya, dia akan menduga bahwa rasi bintang yang tinggi juga memiliki penduduk. Seseorang yang tidak mempercayai keberadaan malaikat bagaikan seorang pria yang bepergian ke sebuah kota besar. Dia tiba di sebuah rumah kecil yang sudah tua, dikotori dengan sampah, dan dipenuhi orang-orang. Ia melihat halamannya dipenuhi makhluk yang memiliki roh yang untuk mendukung kehidupan mereka dibutuhkan kondisi khusus, seperti tumbuh-tumbuhan dan ikan. Kemudian dia melihat ribuan rumah mewah baru yang menjulang tinggi dan menarik perhatiannya. Di antaranya terdapat taman-taman lebar dan jalan. Namun karena tidak adanya kondisi yang mendukung kehidupan, dia percaya tempat tinggal ini tak berpenghuni.
Orang yang mempercayai keberadaan malaikat bagaikan orang yang ketika ia melihat rumah kecil tadi, sudah dipenuhi makhluk yang memiliki roh. Dia juga melihat kota tampak teratur. Dia pun benar-benar yakin bahwa rumah-rumah yang dihiasi tadi juga memiliki penduduk, yang sesuai dan cocok dengannya. Mereka memiliki kondisi khusus agar mereka bisa hidup. Ketidak-mampuan untuk melihat mereka -- karena jauhnya letak mereka atau karena tingginya mereka -- tak membuktikan bahwa mereka tidak ada.
Maka, melalui metode utama dan kias yang didasarkan silogisme 'tersembunyi' dan juga didasarkan tatanan yang teratur, dapat disimpulkan bahwa bumi dipenuhi makhluk bernyawa, yang ruang angkasanya yang tak berujung dipenuhi rasi bintang, yang bintang dan langitnya dipenuhi makhluk yang memiliki roh. Dan makhluk-makhluk inilah, yang beragam jenis dan macamnya, yang oleh syariat disebut sebagai malaikat. Renungkanlah!
Maqam Kedua:
Ketahuilah -- seperti telah dibahas -- bahwa hidup ialah yang menyingkap makhluk, bahkan itulah hasilnya. Jadi bagaimana mungkin ruang angkasa yang luas ini sepi dari penghuni dan langit itu tak berpenduduk?
203. Page
Semua ulama cendekia menyepakati melalui ijma' maknawi -- meskipun mereka berbeda dalam metode interpretasi -- keberadaan malaikat dan realitas mereka. Bahkan, para filosuf peripatetik[1] menyebut mereka "esensi spiritual tanpa jasad dari spesies." Para sarjana iluminasi[2] menyebut mereka "akal [kesepuluh] dan guru (arbâb) dari spesies." Para pengikut agama-agama telah menyebut malaikat gunung, malaikat lautan, dan malaikat hujan, misalnya. Bahkan kaum materialis, yang hanya mempercayai apa yang dapat mereka lihat, tidak mudah menolak konsep malaikat, dan mereka mengaitkannya dengan daya yang meresap (qûwwât sâriyyah) dalam hukum penciptaan.
Jika engkau bertanya: Apakah hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam penciptaan tidak cukup untuk mengikat alam semesta ini dan [mempertahankan] vitalitasnya?
Engkau akan dijawab: Hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku hanya bersifat teoritis atau subjektif (i'tibâriyyah) atau bahkan imajiner. [Alam semesta] dapat memperoleh wujud dan identitas spesifik hanya melalui apa yang mewakili dan mencerminkannya, serta yang dapat memegang kendalinya. Dan ini tidak lain hanya berasal dari para malaikat.
Selanjutnya, para filosuf (hukamâ') dan [para sarjana yang mengandalkan] akal dan teks agama telah bersepakat bahwa wujud tidak terbatas pada alam nyata yang terlihat ini, yang tak bernyawa dan tidak cocok bagi pembentukan (tasyakkul) roh. Alam gaib yang terdiri dari berbagai alam -- yang sesuai untuk roh, seperti air untuk ikan -- dipenuhi dengannya, dan merupakan tempat penampakan kehidupan alam nyata.
Dengan demikian, keempat hal ini telah bersaksi bagi Anda mengenai keberadaan malaikat sebagai konsep (ma'nawi). Deskripsi terbaik mengenai keberadaan mereka, yang paling diterima akal sehat, tak lain adalah penjelasan yang diberikan oleh syariat, bahwa [para malaikat] adalah hamba-hamba [Allâh] yang terhormat, yang tidak pernah menentang untuk melakukan apa yang diperintahkan atas mereka. Begitu pula, mereka adalah tubuh-tubuh lembut bercahaya dan terbagi ke dalam berbagai jenis yang beragam.
Maqam Ketiga:
Ketahuilah: Malaikat termasuk salah satu masalah di mana [keberadaan] hal universal dapat diverifikasi dengan menegakkan [keberadaan] hal tunggal tertentu. Dan spesies dapat diketahui melalui penampakan salah satu anggotanya. Sebab, jika salah satunya tertolak, semuanya tertolak.
Tentu termasuk mustahil menurut pendapat Anda -- semoga Allah menyadarkan Anda -- bahwa pengikut semua agama di sepanjang masa dari zaman Adam hingga saat ini telah menyepakati keberadaan malaikat, memastikan terjadinya percakapan dengan mereka, mengakui penyaksian mereka, dan narasi tentang mereka sebagaimana manusia telah melaporkan tentang satu kelompok dari kelompok lainnya, tanpa melihat salah satu pun malaikat atau beberapa, tanpa menuntut adanya salah satu atau bahkan beberapa dari mereka, tanpa merasakan harusnya keberadaan mereka. Demikian pula, mustahil khayalan terbangun dalam keyakinan umat manusia, berlanjut demikian dan tetap bertahan di tengah pergolakan [waktu] tanpa hakekat yang memunculkan keyakinan umum dan tanpa prinsip-prinsip yang diperlukan bagi munculnya keyakinan umum tersebut.
Karena itu, dasar konsensus ini tak lain intuisi yang lahir dari berbagai pertanda yang berbeda-beda, yang diperoleh melalui penyaksian-penyaksian, yang timbul dari prinsip-prinsip yang diperlukan. Dan
[1] Filosuf peripatetik (massyâiyyun) merupakan penganut aliran filsafat Aristoteles. Mereka disebut demikian karena Aristo mengajar muridnya sambil berjalan. Para pengagum filsafat Aristo, baik muridnya langsung maupun pelajar dari buku-bukunya, semuanya disebut penganut filsafat perpatetik. Lihat al-Mu'jam al-Falsafi karya Murad Wahbah 637, al-Mu'jam al-Falsafi karya Dr. Abdul Mun'im al-Hafani.
[2] Filsafat iluminasi mengacu pada filosuf Yunani Plato. Iluminasi, menurut Plato, berarti mengalirnya alam semesta dari akal pertama (akal efektif). Dalam Islam, ajaran ini mengacu pada hikmah isyraqiyah yang berkembang di Persia, yang bermaka kasyaf. Dengan kata lain, isyraqiyah Islam berarti mencampai pengetahui hakiki melalui rasa batin (dzawq) dan kasyaf, bukan melalui metode pembahasan dan pembuktian rasional. Lihat al-Mu'jam al-Falsafi karya Dr. Abdul Mun'im al-Hafani 24.
204. Page
penyebab bagi kepercayaan umum ini tak lain adalah prinsip-prinsip yang diperlukan yang timbul dari melihat dan menyaksikan [malaikat] di banyak kesempatan dan berulang-ulang, sehingga membentuk daya kemutawatiran maknawi [yang mendasari konsensus umum tentang mereka]. Jika tidak, tak akan ada keyakinan terkenal umat manusia [menyangkut hal-hal lainnya] yang bisa diandalkan. Dengan demikian, jika keberadaan salah satu roh (rûhâniyyah) telah diverifikasi pada suatu waktu, maka keberadaan spesies [malaikat] telah terverifikasi. Dan karena keberadaan spesies ini telah terverifikasi, pasti [kesimpulannya] akan sama seperti yang dijelaskan oleh syariat dan yang diuraikan oleh al-Qur'an Mulia.
Selanjutnya, nadzam makna dari ayat ini dalam kaitannya dengan ayat sebelumnya. Ia memiliki "empat aspek":
Pertama: Ayat-ayat [terdahulu] menyebut satu demi satu nikmat-nikmat besar [yang diberikan kepada manusia], sementara ayat yang sebelumnya menunjukkan nikmat yang terbesar darinya -- keberadaan manusia sebagai buah penciptaan, dan semua yang di bumi ditundukkan baginya, untuk dipergunakan sesuai keinginannya. Sekarang, ayat ini menunjukkan bahwa manusia merupakan khalifah [Allah] di bumi dan penguasanya.
Kedua: Ayat ini menguraikan, menjelaskan, memaparkan, memverifikasi, membuktikan, dan menguatkan apa yang terdapat di ayat sebelumnya, bahwa kendali rangkaian semua yang terdapat di bumi berada di tangan manusia.
Ketiga: Ayat sebelumnya menjelaskan pembangunan dua tempat tinggal di bumi dan langit, ayat yang satu ini menunjukkan penghuninya, manusia dan malaikat.
Sementara ayat sebelumnya menyinggung rangkaian penciptaan, ayat yang satu ini mengisyaratkan rangkaian makhluk yang memiliki roh (dzawî al-arwâh).
Keempat: Pada ayat sebelumnya, ketika dijelaskan bahwa manusia adalah tujuan penciptaan, dan manusia memiliki tempat yang tinggi di mata Pencipta-Nya, di benak pendengar timbul pertanyaan: "Bagaimana manusia bisa layak mendapat nilai (tinggi) ini padahal dia begitu banyak melakukan kejahatan dan kerusakan? Apakah hikmah memerlukan keberadaannya, untuk menyembah dan menyucikan Dzat Yang Maha Tinggi?" Maka, ayat ini menunjukkan bahwa dari sisi misteri yang ditaruh di dalam dirinya, kejahatan dan kerusakan itu dapat diampuni, dan bahwa Allah tidak membutuhkan ibadah manusia, sebab para malaikat selalu bertasbih dan menyucikan-Nya tak terhitung banyaknya. Bahkan, [penciptaan manusia] dimaksud untuk suatu hikmah yang hanya diketahui Dzat Yang Maha Mengetahui hal gaib.
Adapun nadzam frasa ayat ini [dan hubungan di antara] kalimat satu sama lain:
Ayat ini mengalir lancar [dari ayat sebelumnya] karena "إذ - idz (“kemudian”) diperlukan oleh yang sebelumnya, dan ia terkait dengan ('athf) [kalimat] ﴾وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ﴿ ("dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu"), [meskipun tampaknya tidak berhubungan]. [Hal ini menyiratkan adanya] kalimat tak tertulis:[1]"Kemudian (idz) Dia menciptakan apa yang Dia ciptakan secara sistematis sempurna,"﴾وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ﴿ ("dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat”), dan seterusnya. [Jadi, idz yang kedua terkait dengan yang pertama, dan terbentuklah hubungan antara kedua kalimat.]
Ketika [Allah] Ta'ala berbicara dengan malaikat -- agar mereka meminta alasan hikmah [penciptaan manusia] dan mengajari mereka cara bermusyawarah, dengan berfirman, ﴾إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً﴿ ("Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi") -- pikiran pendengar mengarah ke [tiga pertanyaan]: "Apa yang mereka katakan?" sesuai misteri percakapan; dan menanyakan hikmah [penciptaan manusia] disertai rasa takjub sesuai rahasia permintaan penafsiran: ﴾أَتَجْعَلُ فِيهَا﴿ ("Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi?"); dan sesuai rahasia dijadikannya manusia sebagai khalifah ketimbang jin yang suka merusak disertai penanaman daya amarah dan syahwat pada mereka: ﴾مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا﴿ ("Orang
[1] Hal itu karena tidak adanya hubungan di antara kedua ayat. (T: 228)
205. Page
yang akan membuat kerusakan padanya?") karena ekses dari daya syahwat, ﴾وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ﴿ ("dan yang akan menumpahkan darah?") sebagai ekses dari daya amarah.
Setelah pertanyaan, permintaan penafsiran, dan rasa terkejut usai, pikiran pendengar menunggu jawaban dari Dzat Maha Tinggi. Dan Dia pun mengatakan: ﴾قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴿ ("Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.") Artinya, segala sesuatu tidak terbatas pada apa yang kalian ketahui, dan ketidak-tahuan kalian bukan berarti sesuatu tidak ada. Aku Maha Bijaksana, Aku memiliki alasan hikmah yang baik untuk [penciptaan mereka], dan Aku harus mengampuni kerusakan dan pertumpahan darah mereka karena hikmah di dalamnya.
Adapun nadzam bagian-bagian frasa, ketahuilah bahwa huruf "الواو - waw" pada kalimat ﴾وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً﴿ ("ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,") serta "الواو - waw" pada kalimat ﴾وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ﴿ ("dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering") yang terdapat di ayat lain (Qs. al-Hijr [15]: 28), melalui rahasia hubungan kesesuaian (munasabah), [huruf "الواو - waw" tadi] menunjukkan "إذ - idz." Dan "إذ - idz," seperti dijelaskan di atas, menunjuk pada [kalimat tak tertulis,] "dan ingatkan kepada mereka ketika" dan seterusnya, sesuai rahasia bahwa wahyu mengandung [kalimat tak tertulis,] "ingatkan mereka dengan hal itu."
Kata ﴾إذ﴿ - idz (“ingatlah”) menunjukkan waktu masa lalu. Tujuannya, untuk membawa pikiran [pendengar] menuruni anak-anak tangga masa lalu, untuk mengangkat, menarik, dan menghadirkan pikiran ke [peristiwa-peristiwa] masa itu sehingga mereka dapat melihatnya dan mengumpulkan apa yang terjadi di sana.
[Kata] ﴾رَبُّكَ﴿ - rabbuka (“rabb-mu”) mengisyaratkan hujjah untuk malaikat; yaitu, Dia yang telah memelihara dan menyempurnakan engkau [Muhammad], dan menjadikan kamu sebagai pembimbing (mursyid) bagi manusia untuk menghentikan kerusakan mereka. Yakni, "Engkaulah kebajikan tertinggi yang melampaui dan menutupi semua kerusakan tersebut."
[Kata] ﴾لِلْمَلائِكَةِ﴿ - li'l-malâ'ikah (“kepada para malaikat”): Melalui percakapan mereka dalam bentuk musyawarah, [kata] ini menunjukkan bahwa penghuni langit, yaitu para malaikat, memiliki begitu banyak hubungan dan kaitan dengan penghuni bumi, yaitu manusia. Sebab, sebagian mereka bertugas mengawasi [manusia] (muwakkal), sebagian lainnya bertugas menjaga mereka, lainnya lagi mencatat [perbuatan] mereka, sehingga para malaikat harus menyibukkan diri dengan urusan mereka.
[Kata] "إن - inna," sesuai keberadaannya untuk menyangkal keragu-raguan yang diungkapkan [melalui pertanyaan malaikat] ﴾أَتَجْعَلُ﴿ - ataj'alu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertanyaan tersebut.
Penggunaan kata ganti orang pertama tunggal akhiran "ياء - yâ'" di sini bersama penggunaan kata "نا - nâ (“kami”) untuk orang yang berbicara dengan orang lain di kata ﴾قلنا﴿ - qulnâ pada ayat-ayat berikutnya, menunjukkan bahwa tidak ada perantara dalam [proses] pengadaan dan penciptaan yang dilakukan-Nya sebagaimana terjadi dalam pembicaraan dan kalam-Nya.
Di antara petunjuk mengenai nuktah-nuktah ini diberikan melalui ayat, ﴾إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ﴿ ("sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu") (Qs. al-Nisa' [4]: 105). Di sini, orang jamak pertama pada ﴾أنزلنا﴿ - anzalnâ (“Kami telah menurunkan”) dengan "نون - nun" kemegahan menunjukkan adanya perantara dalam [penurunan] wahyu. Sementara orang ketiga tunggal di ﴾أراك الله﴿ - arâka Allâh (“telah Allah wahyukan kepadamu”) menunjukkan bahwa tidak ada perantara dalam pengilhaman makna.
Pilihan kata ﴾جَاعِلٌ﴿ - jâ'il (“menjadikan”) ketimbang "خالق - khâliq (“menciptakan”) menunjukkan bahwa apa yang menyebabkan keraguan dan pertanyaan adalah "dijadikannya"[1] manusia di bumi dan ditunjuknya [manusia] untuk mengolahnya, bukan penciptaan [manusia] dan pewujudan eksistensinya.
[1] Yakni, dijadikan dan dikhususkannya manusia sebagai penghuni bumi. (T: 230)
206. Page
Sebab, wujud merupakan kebaikan murni dan penciptaan merupakan tindakan penting (fi'l dzâti) [dari Allah], yang tidak bisa dipertanyakan.
Dan pilihan kata ﴾ فِي﴿fî (“di”) pada frasa ﴾فِي الأَرْض﴿ ("di bumi") ketimbang "على - 'alâ (di atas)", meskipun manusia berada di atas bumi, mengisyaratkan bahwa manusia menyerupai roh yang ditiupkan ke jasad, dan jika manusia keluar, bumi akan hancur berantakan dan berakhir.
Kata ﴾خَلِيفَةً﴿ - khalîfatan (“sebagai khalifah atau wakil”) menunjukkan bahwa sebelum kondisi bumi siap bagi kelangsungan hidup manusia, sudah terdapat mahluk cerdas yang tinggal di [wilayah] yang kondisinya yang sesuai ditopang oleh zaman awal bumi. [Pandangan] inilah yang paling sesuai dengan problema ilmu pengetahuan (qadlîyyat al-hikmah). [Pandangan] yang masyhur berpendapat, makhluk ini termasuk spesies jin, tetapi mereka melakukan kerusakan [di bumi] sehingga digantikan oleh umat manusia.
Bagian-bagian kalimat: ﴾قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ﴿ - qâlû ataj'alu fi-hâ man yufsidu fi-hâ wa yasfiku al-dimâa (“Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah”)?
Ketahuilah: [Kata] ﴾قَالُوا﴿ - qâlû (“mereka mengatakan”) yang tak berhubungan dengan kalimat sebelumnya (isti'nâf), menunjukkan bahwa pembicaraan Dzat Yang Maha Tinggi yang diarahkan ke para malaikat mendorong pendengar bertanya: "Apa sikap [malaikat] nantinya terhadap tetangga mereka, dengan rumah mereka yang saling berdampingan? Apakah mereka akan senang tinggal bersama mereka? Apa pendapat malaikat tentang mereka?" Maka al-Qur'an pun mendeskripsikan: ﴾قَالُوا﴿ - qâlû ("mereka berkata").
Pernyataan terakhir ini, ﴾قَالُوا﴿ - qâlû, merupakan konsekuensi dari partikel bersyarat ﴾إذ﴿ - idz [dalam frasa ﴾وَإِذْ قَالَ﴿ - wa idz qâla tetapi frasanya yang diperlukan tak tertulis, menyiratkan kata-kata:] "Allah Ta'ala memutuskan bahwa manusia harus menjadi khalifah-Nya di bumi -- yang berada di bawah pengawasan malaikat -- meskipun Dia tidak membutuhkan petugas atau menteri. Ini berarti, malaikat harus menyatakan bagaimana sikap mereka saat bertemu [dengan manusia]."
Perkataan [dalam dua kalimat ini] berbentuk percakapan dengan gaya diskusi (musyawarah), [dimaksud] untuk mengajari manusia [cara bermusyawarah], sebab Dzat Yang Maha Tinggi disucikan dari [bermusyawarah dengan] mereka.
[Para malaikat] bertanya: ﴾أَتَجْعَلُ﴿ - ataj'alu (“mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah”) dengan maksud mengetahui alasan, sebab [Allah] Ta'ala telah memberitahu [mereka] tentang hal ini tetapi alasannya disembunyikan. Inilah yang menyebabkan mereka terkejut dan membuat mereka bertanya, yaitu: "Apa hikmah [manusia] ditempatkan [di bumi]?" Dengan demikian, mereka ingin mengetahui hasil atau dampak ketimbang penyebabnya. Mereka tidak menolak atau keberatan dengan [rencana Tuhan] itu, sebab mereka memang tidak pernah berbuat dosa.[1]
Dan "جعل - ja'ala (menjadikan)" [umat manusia khalifah di bumi] mengisyaratkan karakteristik manusia, asal-usul teoritis dan keturunannya, dan keadaannya bukan termasuk kelaziman alam atau tuntutan fitrah, tetapi semuanya telah 'dijadikan' oleh Tuhan Maha Pembuat.
Pengulangan kata ﴾فِيهَا﴿ - fi-ha (“di dalamnya”) meskipun jaraknya berdekatan, [itu dimaksud] untuk kejelasan, serta menyiratkan makna: Apa alasan dijadikannya manusia sebagai roh yang ditiupkan ke raga bumi untuk kehidupannya, sementara di sisi lain manusia akan menjadi penyebab kerusakan dan kematian?
Penggunaan [kata ganti relatif] ﴾مَنْ﴿ - man (“orang yang”) menunjukkan bahwa [malaikat] tidak mempermasalahkan kepribadian manusia, tapi yang memberatkan mereka adalah kedurhakaan makhluk terhadap Dzat Yang Maha Tinggi.
[1] Tujuan malaikat bertanya bukan penolakan terhadap rencana Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, yang memang pasti terjadi dan malaikut pun tak pernah menolak melaksanakan semua perintah-Nya. Hal itu tak lain dimaksud untuk mengetahui hikmah rencana Allah tersebut, karena alasannya selama ini masih tersembunyi bagi mereka. (T: 232)
207. Page
Penggunaan kata ﴾يُفْسِدُ﴿ - yufsidu (“merusak”) ketimbang "يعصي - ya'shî (“durhaka”) menunjukkan bahwa durhaka akhirnya juga akan merusak tatanan dunia. Dan penggunaan kata kerja masa depan (mudlari) menunjukkan bahwa diingkari adalah kedurhakaan dan pengulangannya terus-menerus. [Para malaikat] mengetahuai hal itu baik melalui informasi dari [Allah Ta'ala, atau dengan mempelajari Lauh Mahfudz, atau karena mereka mengetahuai fitrah manusia dan kekuatan tak terbatas yang ditanamkan di dalamnya. Penggunaan daya syahwat secara tak terkendali akan menyebabkan timbulnya kerusakan, sementara daya amarah yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya pertumpahan darah dan tirani.
﴾فِيهَا﴿ - fi-hâ (“di dalamnya”), yakni: [Mereka menyebabkan kerusakan di muka bumi] meskipun [bumi] dijadikan masjid yang didirikan berdasarkan takwa. Dan penempatan kata "الواو - waw" menggabung dua perbuatan tercela [yang menyebabkan kerusakan dan pertumpahan darah], dan kerusakan yang menyebabkan pertumpahan darah.
Pemilihan kata ﴾يَسْفِكُ﴿ - yasfiku (“menumpahkan darah”) ketimbang "يقتل - yaqtulu (membunuh)" karena menumpahkan darah berarti membunuh secara zalim.
Juga, karena, di antara "qathl (pembunuhan)" itu ada yang disebut jihad di jalan Allah.
Demikian pula, membunuh satu orang demi kebaikan masyarakat sama seperti membunuh serigala untuk menyelamatkan domba-domba.
[Penggunaan] kata ﴾الدِّمَاءَ﴿ - dimâ' (“darah”) merupakan penegasan tentang adanya darah yang tertumpah untuk menekankan jahatnya pembunuhan.
Nadzam bagian kalimat: ﴾وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ﴿ - wa nahnu nusabbihu bi-hamdika wa nuqaddisu la-ka (“padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”).
Pada "واو - waw" kondisional terdapat isyarat bahwa [malaikat] menyadari sikap keberatan mereka terhadap [penempatan manusia sebagai khalifah di bumi]: "Apakah tidak cukup bagi kalian hikmah peribadatan manusia dan penyucian mereka terhadap [Allah] Ta'ala?"
﴾وَنَحْنُ﴿ - nahnu (“kami”), yaitu: Seluruh malaikat yang terbebas dari dosa.
Bentuknya sebagai kalimat nominal (isim) mengisyaratkan bahwa bertasbih memuliakan Allah merupakan bagian dari watak alami mereka, yang melekat dalam diri mereka, dan mereka harus bersifat demikian.
﴾نُسَبِّحُبِحَمْدِكَ﴿ - nusabbihu bi-hamdika (“kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau”) merupakan ungkapan sangat komprehensif. Yakni: "Kami akan memberitahukan Engkau di alam semesta melalui semua jenis ibadah. Kami mempercayai kesucian-Mu dari apa-apa yang tidak layak bagi-Mu, dengan menyifati-Mu dengan sifat-sifat Keagungan. Hal itu tak lain termasuk sebagian nikmat-Mu yang dipujikan. Dan Kami menyatakan: 'سبحان الله وبحمده - Subhanallah wa bi-hamdihi!', yaitu, kami memuji-Mu dan menyifati-Mu dengan sifat-sifat Keagungan dan Keindahan!"
Dan, "ونقدس لك - wa nuqaddisu la-ka (dan kami mensucikan Engkau)," yaitu, "kami menguduskan Engkau," atau, "kami menyucikan diri kami dan perbuatan kami dari dosa, dan hati kami dari menoleh kepada apa pun selain Engkau."
Berbeda dari kata penghubung "الواو - waw" sebelumnya [yang menggabungkan kerusakan dan pertumpahan darah], "الواو - waw" di sini dimaksud untuk menggabungkan dua kebajikan, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Adapun bagian-bagian dari kalimat:﴾قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴿ - qâla inni a'lamu mâ lâ ta'lamûn (“Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'”): Tiadanya kaitan kalimat ini dengan kalimat sebelumnya (istî'nâf) menyiratkan adanya pertanyaan [tak tertulis]: "Apa yang dikatakan Allah Ta'ala ketika membalas pertanyaan mereka? Bagaimana Dia menjelaskan penyebab [penciptaan manusia] sehingga dapat menghilangkan keheranan mereka? Apa hikmah dari preferensi manusia atas mereka?" Maka [al-Qur'an] pun mengatakan: ﴾قَالَ﴿ - qâla [“Tuhan berfirman”], mengacu pada jawaban singkat dan penjelasan rinci di ayat berikutnya.
Kata "إن - inna" pada ﴾إِنِّي أَعْلَمُ﴿ - innî a'lamu (“sesungguhnya Aku lebih mengetahui”) dimaksud untuk menegaskan (tahqîq) dan menyangkal keragu-raguan serta kesangsian. Hal ini digunakan hanya untuk
208. Page
hal-hal spekulatif bukan sesuatu yang disangkal, sedangkan [Allah] Ta'ala yang terbukti dengan sendirinya dan yang tak disangkal mengetahui apa yang tidak diketahui makhluk. Para malaikat tidak meragukan ini. Maka, dalam hal ini, "inna" menjadi cahaya yang menerangi kalimat-kalimat [tak tertulis] yang disimpulkan, diringkaskan, dan disingkatkan oleh al-Qur'an dengan metode Ilmu Bayan yang diikutinya. Artinya, terdapat banyak kemaslahatan dan kebaikan pada manusia, yang sisinya memang dilumuri dosa tapi sedikit saja. Akan bertentangan dengan hikmah jika [kemaslahatan dan kebaikan manusia ini] diabadikan begitu saja hanya karena [dosanya]. Selain itu, manusia juga memiliki rahasia, yang membuatnya memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai khalifah. Para malaikat melupakan ini, tapi Sang Pencipta manusia mengajarinya hal itu.
Dalam [penciptaan] manusia juga terdapat hikmah yang membuatnya unggul [atas malaikat]; malaikat tidak mengetahui hal ini, tapi Dia yang menciptakannya memberitahukan hal itu.
Selain itu, makna "إن - inna" dapat merujuk ke suatu pernyataan yang dinyatakan oleh salah satu kata yang terdapat pada kalimat. Di sini ia merujuk ke frasa yang dinyatakan oleh "Engkau tidak mengetahui," yaitu, "Engkau tidak memiliki pengetahuan tertentu tentang hal itu."
Juga, ﴾أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴿ - a'lamu mâ lâ ta'lamûn (“Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”) termasuk pola penyebutan sesuatu yang lazim diperlukan, yang menghendaki konsekuensinya yang alami. Artinya, ada sesuatu yang tidak kalian ketahui. Maka, pengetahuan Dzat Yang Maha Tinggi diperlukan bagi semuanya. Tiadanya pengetahuan [dari Allah] menunjukkan tidak adanya hal yang bisa diketahui. Sebagaimana firman [Allah] Ta'ala: ﴾بِمَالاَيَعْلَمُ﴿ ("apa yang tidak diketahui-Nya?") (Qs. Yunus [10]: 18). Artinya, tidak mungkin [sesuatu yang tidak diketahui oleh Allah] bisa ada. Dan adanya pengetahuan merupakan bukti keberadaan hal yang diketahui.
[Di tempat lain, al-Qur'an] memverifikasi dan mengkonfirmasi jawaban singkat ini, dengan mengatakan: "Allah memang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." Tindakan-Nya tidak lepas dari hikmah dan maslahat. Karena itu, makhluk tidak terbatas pada pengetahuan tentang penciptaan, dan tidak adanya pengetahuan tidak menunjukkan ketidak-adaan [sesuatu].
Ketika Allah Ta'ala menciptakan kebaikan murni, yaitu para malaikat, dan kejahatan murni, yaitu setan, dan yang tanpa kebaikan maupun kejahatan, yaitu hewan, hikmah Sang Maha Pemurah menuntut adanya kategori keempat yang memadukan kebaikan dan kejahatan. [Itulah, manusia.] Jika kekuatan amarah dan syahwat [manusia] tunduk pada kekuatan akalnya, manusia akan lebih unggul dari para malaikat disebabkan perjuangan dan usaha kerasnya (mujahadah). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, manusia akan jatuh lebih rendah dari binatang, karena dia tidak memiliki alasan lagi.