AL-BAQARAH AYAT 4

45. Page

Ayat 4

﴿وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِما أُنْزِلَ اِلَيْكَ وَما أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُون

(Wa alladzîna yu'minûna bi-mâ unzila ilayka wa mâ unzila min qablika wa bi al-âkhirati hum yûqinûn.)

Dan mereka yang beriman kepada apa (Kitab al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa (kitab-kitab) yang diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

 

Ketahuilah: Al-Qur'an tidak menetapkan atau membatasi susunan kata (nadzam). Artinya, di sebagian ayat yang mirip dengan yang satu ini, belum ditentukan setiap aspek dari frasa dan kalimatnya dengan menempatkan tanda di dalamnya. Ini karena rahasia lembut, dan rahasia inilah sumber keringkasannya [atau elipsis, îjâz), yang pada gilirannya merupakan sumber kemukjizatannya (i'jâz). Rahasianya berikut ini:

Balaghah merupakan kesesuaian perbicaraan dengan tuntutan situasi apa pun.[1] Mereka yang dituju oleh pembicaraan (mukhâthab) al-Qur'an terdiri dari tingkatan yang beragam di masa yang berbeda-beda pula. Maka, dengan memperhatikan semua tingkatan dan mencakup semua masa ini, agar semua jenis orang dapat memperoleh andilnya, al-Qur'an melakukan penghapusan di banyak tempat untuk membuat umum (ta'mîm) apa yang dikatakannya dan mendistribusikannya (tawzî'), serta berbicara dengan istilah mutlak untuk membuatnya komprehensif (tasymîl) dan terbagikan (taqsîm). Selain itu al-Qur'an membebaskan nadzam di banyak tempat untuk memperbanyak aspeknya dan meningkatkan cakupan kemungkinan yang sesuai dengan balaghah dan diterima oleh ilmu Bahasa Arab. Dengan demikian semua pikiran dapat menerima kelenturan al-Qur'an sesuai kadar kemampuan rasa batinnya (dzawq). Maka, renungkanlah!

Selanjutnya, aspek nadzam ayat ini terkait dengan [ayat] yang sebelumnya:

Di [ayat] ini, susunan kalimat dibentuk bersifat spesifik (takhshîsh) setelah [pada ayat sebelumnya] dibentuk bersifat umum (ta'mîm), untuk memaklumkan ke benak para saksi tentang kemuliaan orang beriman di kalangan Ahli Kitab, dan membungkam sebagian dari mereka yang puas [tak mau beriman], serta untuk menggandeng tangan orang-orang seperti 'Abdullah bin Salam[2] sehingga dapat mendorong orang selain dia untuk mengikuti teladannya.

Selain itu, [ayat ini] menegaskan adanya dua macam orang-orang yang bertakwa الْمُتَّقِينَ - muttaqîn﴿, untuk menyatakan secara terbuka bahwa petunjuk al-Qur'an mencakup semua orang, dan menyimpulkan bahwa Muhammad S.a.w diutus sebagai Rasul untuk semua bangsa tanpa kecuali.

Juga, dengan menguraikan rukun keimanan yang terkandung dalam bingkisan [kalimat] يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴿ - yu'minûna bi al-ghayb (“mereka beriman pada yang gaib”), [ayat ini] menghadirkan perincian (tafshîl) setelah pernyataan ringkas [di ayat] sebelumnya, sebab ia menyebut kitab-kitab dan kiamat secara eksplisit, serta menyebut para rasul dan malaikat secara implisit.

Di sini, al-Qur'an tidak membentuk keringkasan (îjâz) dengan mengatakan sesuatu seperti (والمؤمنين بالقرآن) (orang-orang yang beriman kepada al-Qur'an), tapi ia lebih memilih kalimat وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ﴿ - wa alladzîna yu'minûna bi-mâ unzila ilayka (“dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu”) untuk memperindah (tarshîh) makna[3] dengan kelembutan-kelembutan (lathâif) dan menghiasi tambahannya dengan nuktah-nuktah. Sebab, di kata الَّذِين﴿ terdapat petunjuk bahwa sifat

[1] Lihat definisi balaghah ini di Miftah al-'Ulum karya al-Sakkaki 84, al-Talkhish karya al-Qazwayni 33, Syuruh al-Talkhish 1/124, al-Muthawal fi Syarhi Talkhish al-Qazwayni karya al-Taftazani 25.

[2] Abdullah bin Salam bin al-Harits Abu Yusuf, berasal dari keturunan Nabi Yusuf a.s, warga Yahudi Bani Qainuqa'. Namanya semula al-Hushain, lalu diganti oleh Nabi S.a.w dengan nama Abdullah. Dia masuk Islam pada 43 H, dua tahun sebelum wafatnya Nabi. Lihat biografinya di al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah 4/118.

[3]Tarshîh berupakan istilah dalam Ilmu Balaghah, di mana kalimat dibuat bersajak dengan struktur yang imbang tapi bukan pada akhir katanya, sebagaimana dijelaskan al-Khawarizmi di dalam karyanya, Mafatih al-'Ulum 47. Lihat pula Miftah al-'Ulum 187.




46. Page

keimanan ialah apa yang dimaksudkan, dan bahwa keseluruhan sifat lainnya tergantung padanya dan tersembunyi di bawahnya.[1]

Dalam penggunaan kata kerja mendatang يُؤْمِنُونَ﴿ - yu'minûna sebagai ganti dari kata "المؤمنين” (al-mu'minûn, [partisip aktif]) yang menunjukkan [sesuatu] yang tetap dan tidak berubah, hal itu merupakan indikasi bahwa keimanan terus-menerus diperbarui dengan turunnya wahyu yang berkelanjutan dan kedatangannya yang terus berulang-ulang.

Kemudian dengan ketidakjelasan ما﴿ - (“apa”), hal itu menunjukkan bahwa keimanan secara singkat saja sudah cukup, serta menunjukkan bahwa keimanan itu termasuk pada wahyu eksoteris [seperti al-Qur'an] dan wahyu esoteris seperti hadits.[2]

Mengenai kata أُنْزِل﴿ - unzila (“diwahyukan”) dikaitkan dengan materinya (mâddah), itu menunjukkan bahwa keimanan terhadap al-Qur'an adalah keimanan terhadap wahyunya dari sisi Allah. Demikian juga, itu berarti keimanan kepada Allah adalah keimanan pada keberadaan Allah, dan keimanan kepada akhirat adalah keimanan pada kedatangan akhirat. Dilihat dari penggunaan kata kerja masa lalu (fi'il mâdlî) [di kata "unzila"] -- meskipun wahyu belum selesai kala itu -- itu merupakan indikasi bahwa penuntasan turunnya wahyu sudah pasti sebagaimana yang telah diwahyukan. Padahal, kata يُؤْمِنُونَ﴿ - yu'minûna yang berbentuk kata kerja masa mendatang (fi'il mudlâri'), itu mengacu ke masa depan, sehingga ia mengganti kekurangan yang ditunjukkan melalui penggunaan kata kerja masa lalu (fi'il mâdlî).[3] Bahkan, karena al-Qur'an diturunkan dengan cara ini [yaitu, secara bertahap], engkau akan melihat dalam gaya pewahyuannya bahwa masa lalu sangat sering menelan masa mendatang dan kata kerja mendatang (fi'il mudlâri') berbalut pakaian kata kerja masa lalu (fi'il mâdlî). Di dalamnya terkandung balaghah yang begitu lembut: Jika seseorang mendengar sesuatu disebut di masa lalu meskipun belum terjadi, hal itu membangkitkan pikiran dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian, tetapi di belakangnya terdapat baris demi baris orang pada jarak tertentu, hingga seolah-olah masa waktu bertingkat-tingkat, sementara banyak generasi bersaf-saf duduk di belakangnya. Hal ini membuatnya sadar bahwa pembicaraan dan seruan yang diarahkan kepadanya didengar oleh mereka semua sesuai dengan volumenya. Ya, itulah kalam ilahi yang diterima semua barisan manusia di semua masa sesuai bagiannya. Dengan demikian, masa lalu itu nyata bagi kebanyakan orang -- di sebagian besar waktu -- sedangkan bagi sedikit orang -- di sebagian kecil waktu -- masa lalu itu metafora (majâz). Maka, memperhatikan mayoritas lebih layak demi kepentingan balaghah.

Dan dalam penggunaan kata إِلَيْك﴿ - ilayka (“kepadamu”) ketimbang ”عليك - 'alayka” (atasmu) merupakan tanda bahwa risalah ilahi merupakan tugas yang diemban Nabi S.a.w, bahwa beliau melaksanakannya melalui usaha ikhtiar. Juga [di satu sisi], itu menunjukkan keagungannya karena malaikat Jibril melayaninya dengan menghadirkan [al-Qur'an] kepadanya, sebab kata "'alâ" menunjukkan adanya paksaan dan perantara wahyu lebih tinggi. Sementara [di sisi lain], penggunaan kata orang kedua إِلَيْك﴿ - ilayka ketimbang kata [orang ketiga] "إلى نحو محمد (kepada Muhammad)" menyiratkan bahwa Muhammad S.a.w hanyalah penerima [wahyu], dan bahwa kalam itu adalah firman Allah.

Juga, menurut artinya, ucapan langsung dari pembicara itu menegaskan dan menggambarkan makna dari apa yang diturunkan (nuzûl), yang merupakan wahyu (wahy), dan wahyu adalah al-Qur'an, yang merupakan kalam ilahi [kepada Nabi] yang cirinya menyerap semua [poin] ini. Hal ini menguak andilnya atas ciri ini. Maka, dengan memperhatikan cakupannya atas semua kelembutan (lathâif) tersebut, menjadi jelas bahwa kalam ini termasuk puncak keringkasan (îjâz) maksimal.

وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ﴿ - wa mâ unzila min qablika (“dan apa yang diturunkan sebelum kamu”)


[1] Hingga tak ada sifat tertentu yang khas bagi mereka kecuali keimanan. (T: 52)

[2]Al-wahyu al-dlahir (eksoteris) dan al-wahyu al-bathin (esoteris). Mengenai penggunaan istilah al-wahyu al-bathin (esoteris) dan hubungannya dengan hadits, lihat Ushul al-Bazdawi 230, Ushul al-Sarkhasi 2/95, Jami' al-Ushul karya Ibnu al-Atsir al-Jazari 1/282, al-Nihayah fi Gharib al-Atsar 4/295, Tafsir al-Qurthubi 1/38, Mirqat al-Mafatih 1/366, 'Aun al-Ma'bud 12/231.

[3] Yakni, kemasa-laluan kata "unzila", dalam arti bahwa wahyu yang belum tuntas turunnya, jika tak termasuk ke dalam cakupan totalitas "unzila", maka ia masuk ke dalam totalitas "yu'minûn." (T: 52)




47. Page

Ketahuilah: Deskripsi seperti ini dimaksud untuk membangkitkan semangat, dan mengandung perintah baru [tertentu]. Misalnya: "Berimanlah pada ini dan itu, dan jangan membeda-bedakan [antara para nabi]."

Selanjutnya, pada nadzam ini dan hubungannya [dengan kalimat sebelumnya] terdapat “empat poin lembut”:

Pertama: Argumen atas apa yang dikemukakan berdasarkan bukti (dalîl). Seperti ini: "Hai manusia! Jika kalian beriman kepada al-Qur'an, beriman juga kepada kitab-kitab suci sebelumnya, sebab al-Qur'an menegaskan kebenarannya dan bersaksi atasnya." Hal ini berdasarkan bukti, مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْه﴿"membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya." (Qs. al-Baqarah [2]: 97)

Kedua: Argumen atas bukti berdasarkan apa yang dikemukakan. Seperti ini: "Hai Ahli Kitab! Jika kalian beriman kepada nabi-nabi dan kitab-kitab suci terdahulu, kalian juga harus beriman kepada al-Qur'an dan Muhammad S.a.w, sebab kitab-kitab suci memberi kabar baik atas kedatangannya. Apalagi, konfirmasi dari mereka, wahyu mereka, dan bukti-bukti kenabian para utusan, terdapat kenyataannya dan semangatnya di dalam al-Qur'an dalam bentuk yang lebih sempurna dan pada diri Muhammad S.a.w dalam bentuk yang lebih jelas. Maka, menurut qiyas prioritas ini,[1] al-Qur'an adalah firman Allah dan Muhammad S.a.w adalah rasul-Nya.

Ketiga: Di dalamnya terdapat isyarat bahwa hasil (ma'âl) dari al-Qur'an -- maksud saya Islam yang muncul di Era Kebahagiaan -- seperti pohon yang asalnya tertancap kokoh di kedalaman masa lalu. Akarnya menyebar dengan diberi makan dari sumber mata air masa itu yang menghasilkan kehidupan dan kekuatan. Dan dengan dahannya di langit masa depan, cabang-cabangnya menyebar sarat dengan buah. Artinya, Islam meliputi masa lalu dan masa depan.

Keempat: Di dalamnya terdapat isyarat bahwa ia mendorong Ahli Kitab untuk beriman [dalam Islam], dan membuatnya tampak mudah bagi mereka. Seolah-olah [al-Qur'an] hendak mengatakan: 'Hai Ahli Kitab! Kalian tidak perlu mengalami kesulitan dalam memasuki jalan [baru] ini, sebab kalian sama sekali tak perlu keluar dari kulit luar kalian, tetapi hanya menyempurnakan keimanan kalian dan membangun[nya] di atas dasar-dasar [keimanan] yang sudah kalian miliki." Sebab al-Qur'an memodifikasi dan menyempurnakan dasar-dasar dan akidah yang sudah ada; serta menggabungkan dalam dirinya semua kebaikan kitab-kitab suci sebelumnya dan semua esensi syariat. Hanya saja, al-Qur'an menetapkan hal-hal baru yang bersifat sekunder (furu'), yang dapat berubah karena perbedaan waktu dan tempat. Sebab, sama seperti perubahan musim, makanan dan pakaian serta banyak hal lainnya juga berubah; demikian pula taraf hidup seseorang berubah melalui pendidikan dan pengajaran mereka. Juga, atas tuntutan hikmah dan kemaslahatan, hukum agama tentang hal-hal sekunder berubah sesuai tahap perkembangan manusia. Betapa banyak hukum sekunder bermanfaat pada satu waktu namun berbahaya di waktu lain, dan betapa banyak obat-obatan yang berkhasiat di masa kanak-kanak seseorang namun tak lagi dijadikan obat pada masa mudanya. Inilah alasan al-Qur'an membatalkan beberapa ketentuan sekundernya. Yakni, ia memutuskan bahwa masanya telah usai, dan kini tiba gilirannya bagi ketentuan lain.

Di [kata] ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika ("sebelum kamu") [juga] terdapat sejumlah kelembutan:

Ketahuilah: Tidak ada kata-kata wahyu yang meremehkan tempatnya, atau tidak puas dengannya, atau merasa tempat lain akan lebih baik. Bahkan, tidak ada kata-kata wahyu kecuali ia seperti mutiara hiasan, yang saling melekat kokoh melalui ikatan hubungan kesamaannya. Jika engkau sudi, pelajarilah kata ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika, maka engkau akan melihat bagaimana kelembutan-kelembutan yang beterbangan keluar dari setiap sisi ayat ini hinggap di kata-kata unik ini.

Ayat di mana kata ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika merupakan bagiannya berbicara mengenai masalah kenabian dan lima tujuan yang dicakupnya. Kata-kata itu telah menyerap [kelima] tujuan tersebut dan diwarnai

[1]Qiyas awlawi (qiyas prioritas): Bentuknya adalah mengambil dalil dengan meniadakan bagian terkecil atas tiadanya bagian terbanyak. Para ulama ushul juga menyebutnya qiyas jelas (qiyas jaly) dan fahwa al-khithab, yang mereka anggap sebagai hujjah. Lihat 'Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf 139.




48. Page

olehnya. Mengisyaratkan lima poin lembut, ia memancarkan lima tujuan, yang terefleksi dari [hubungan-hubungan] ayat ini.

[Kelima] tujuan yang tercakup [dalam kenabian], adalah: Bahwa Muhammad S.a.w seorang nabi; dialah yang paling sempurna di antara para nabi; dialah penutup para nabi; dia diutus ke semua orang; syariatnya membatalkan semua syariat yang sebelumnya dan meliputi semua kebaikannya.

Adapun aspek tujuan pertama, [yaitu bahwa Muhammad S.a.w adalah seorang nabi], terefleksikan di dalam frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika, adalah:

[Frasa] ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika hanya digunakan ketika cara [untuk tujuan itu] menyatu dan jalannya satu, seolah-olah frasa ini menunjukkan bahwa: Dengan membandingkan semua bukti atas nabi-nabi sebelum beliau dan semua hujjah atas kebenaran kitab suci mereka, melalui qiyas prioritas, terbentuklah suatu bukti yang sangat meyakinkan atas kenabian Muhammad S.a.w dan wahyu Kitabnya.[1] Sebab, semua penyebab dan alasan yang mengkonfirmasikan kenabian mereka, membuktikan kenabian beliau secara lebih eksplisit dan lebih kuat. Seolah-olah semua mukjizat mereka membentuk satu mukjizat tunggal yang membuktikan kebenaran beliau.

Cara di mana tujuan kedua, kesempurnaan kenabian Muhammad S.a.w, terefleksikan di dalam frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika, adalah:

Berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa sudah menjadi kebiasaan raja untuk tampil di hadapan rakyat pada akhir upacara, dan sesuai dengan hukum perkembangan manusia yang menunjukkan bahwa guru yang datang belakangan lebih baik dari guru sebelumnya, serta pada umumnya mereka yang datang kemudian lebih mahir dari mereka yang datang sebelumnya, maka [jelas bahwa] Muhammad S.a.w merupakan sultan para nabi, yang paling sempurna di antara mereka semua, sebagaimana al-Qur'an lebih komprehensif dan universal dari kitab suci mereka.

Cara frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika menyerap tujuan ketiga, yaitu Muhammad sebagai penutup para nabi (khâtimiyyah), adalah:

Sesuai dengan aturan, "jika satu dikalikan, hasilnya tak terhingga tanpa henti, tetapi jika perkalian hal banyak menyatu, hasilnya stabil tak terputus," dan dengan memperhatikan gagasan yang berlawanan, maka frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika mengisyaratkan bahwa Muhammad S.a.w adalah penutup para nabi, [bahwa tidak akan ada nabi setelah beliau].

Cara frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika diwarnai oleh tujuan keempat, universalitas misi dakwah beliau, adalah:

Frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika mengungkapkan makna ini: "Engkau penerus mereka dan mereka semua pendahulumu." Karena itu, menurut aturan, "penerus mengambil tugas pendahulunya dan menduduki tempatnya," maka mereka semua adalah pendahulumu, sedangkan engkau wakil mereka serta Rasul bagi semua orang.

Ya, memang harus demikian! Sebab, fitrah menuntutnya dan hikmah memerlukannya. Sebelum Era Kebahagiaan (zamân al-sa'âdah) semua bangsa di dunia kemanusiaan sangat berjauhan satu sama lain dan saling bermusuhan, baik secara fisik dan emosional, maupun dalam kesiapan dan pendidikan. Pendidikan tunggal tidak cukup bagi mereka, dan dakwah tunggal tak memenuhi. Kemudian, ketika alam insani tersadarkan di Era Kebahagiaan dan sesudahnya, dan orang-orang merasakan keinginan untuk berkumpul bersama-sama karena pertukaran ide, pergantian karakter, pembauran masyarakat, dan sebagian mereka menyelidiki kondisi sebagian yang lain, bahkan masa itu bergejolak oleh banyaknya sarana komunikasi dan transportasi; maka bola bumi menjadi seperti satu negara, atau provinsi, atau kota, dan warga dunia bisa berkumpul bersama-sama; kemudian dakwah tunggal dan kenabian tunggal pun sudah cukup bagi mereka semua.


[1] Di sini digunakan dua istilah ushul, tanqih al-manath dan tahqiq al-manath, yang banyak pada pembahasan tentang alasan ('illat). Tentang istilah ini, lihat Risalah fi Ushul al-Fiqh karya al-'Akbari 83, al-Mahshul 5/315, dan al-Ihkam karya al-Amidi 3/336.




49. Page

Cara frasa [﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika] mengisyaratkan tujuan kelima, [syariat beliau membatalkan semua syariat yang sebelumnya dan meliputi semua kebaikannya], adalah:

Karena kata "من" (min, dari) pada frasa ﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika mengandung makna permulaan, ia pun mengandung kata "إلى" (ilâ, ke) yang menunjukkan adanya makna cukup.[1] Yaitu, "kenabian berakhir dengan kedatanganmu, sebab syariatmu sudah cukup." Hal ini menegaskan bahwa syariat beliau membatalkan semua syariat yang sebelumnya, menandakan akhir mereka, dan melalui kecukupannya, syariat beliau meliputi mereka semua.[2]

Ketahuilah, dari sudut pandang balaghah, bukti bahwa frasa [﴾مِنْ قَبْلِكَ﴿ - min qablika] telah menyerap kelembutan-kelembutan ini, ialah:

Kelima tujuan tersebut menyerupai sungai yang mengalir di bawah ayat-ayat ini; salah satunya sepenuhnya menyembur di satu ayat, kemudian aliran lainnya mengucur sempurna di tempat lain, dan yang lainnya lagi menjelma dalam bentuk tetesan-tetesan di tempat lainnya. Bahkan satu tetesan kecil saja di permukaan sudah cukup menunjukkan bahwa urat nadi frasa ini telah menyentuhnya.

Selain itu, makna-makna di atas bertumbuhan di banyak ayat lainnya.

 

وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ﴿ - wa bi al-âkhirati hum yûqinûn (“serta mereka yakin akan adanya akhirat”)

Ketahuilah, frasa ini mengacu pada tujuan keempat dari empat tujuan al-Qur'an yang sudah masyhur: masalah kebangkitan kembali (hasyr).

Kami telah menyimpulkan sepuluh bukti dari nadzam al-Qur'an [mengenai masalah kebangkitan ini], dan kami pun telah menjelaskannya di kitab lain.[3] Akan bermanfaat jika kami meringkasnya di sini, sebagai berikut:

Kebangkitan itu benar (haqq).

Sebab, terdapat tatanan yang paling sempurna, yang disengaja bertujuan, di alam semesta.

Dan terdapat hikmah utuh dalam penciptaan.

Dan tidak ada yang sia-sia di dunia. Tidak ada yang boros dalam penciptaan (fithra).

Dan kesaksian ini dijamin oleh penalaran induktif melalui semua ilmu, yang masing-masing merupakan saksi setia atas keteraturan di bidang studinya.

Dan juga, terdapat kebangkitan yang berulang-ulang dalam banyak hal, seperti hari-hari, tahun-tahun, dan seterusnya, [yang bersaksi atas kebangkitan kembali nanti].

Dan juga, esensi potensi manusia pun menunjukkan hal itu.

Dan juga, harapan manusia dan keinginannya yang tak terbatas menunjukkan hal itu.

Dan juga, rahmat Sang Pencipta Yang Maha Bijak menyiratkan kebangkitan kembali.

Dan juga, lisan Rasulullah S.a.w yang jujur menyatakan secara eksplisit mengenai hal itu.

Dan juga, keterangan al-Qur'an yang penuh mukjizat bersaksi atas hal itu melalui ayat-ayat seperti, وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا﴿"Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian," (Qs. Nuh [71]: 14) dan ayat, وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيد﴿"Tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya" (Qs. Fusshilat [41]: 46).

Itulah sepuluh [bukti] lengkap, yang merupakan kunci menuju kebahagiaan yang kekal dan merupakan pintu-pintu surga.

Penjelasan Bukti Pertama: Jika alam semesta tidak (dimaksud) menimbulkan kebahagiaan abadi, pasti keteraturannya, yang oleh Sang Pembuatnya telah ditetapkan dengan keterampilan terbesar dan presisi tinggi, yang menakjubkan pikiran, akan menjadi bentuk gambaran lemah yang menipu, dan semua hal maknawi (non-materiil), ikatan-ikatan, dan hubungan-hubungan yang terdapat dalam sistem (alam

[1] Yakni, “min” (dari) mengandung makna permulaan, dan permulaan mesti punya akhir, yakni “ila” (ke), dan akhir menunjukkan tiadanya kebutuhan atau cukup. (T: 56)

[2] Yakni, kata "dari (min)" mengandung makna permulaan, dan permulaan pasti memiliki akhir, yaitu "ke (ilâ)". Sementara itu, akhir menunjukkan tiadanya kebutuhan atau cukup.

[3] Maksudnya, "Kalimat Kesepuluh" (Risalah Kebangkitan)




50. Page

semesta) akan menjadi sia-sia dan percuma. Karena itu, keteraturan sistem pasti mengarah kepada kebahagiaan kekal.

Yakni, nuktah-nuktah dan aspek non-materiil dari sistem itu hanya akan bertumbuhan di alam akhirat. Jika tidak, semua aspek non-materiil akan padam, semua ikatan akan rusak, semua hubungan akan terputus, dan sistem akan hancur berantakan. Tapi kekuatan yang melekat dalam sistem itu menyatakan dengan suara gemilang bahwa ia tidak akan membiarkannya rusak dan hancur.

Bukti Kedua: Contoh kepedulian dan perhatian azali ('inâyat azaliyyah), yang merupakan hikmah sempurna [di alam semesta], yang mencakup pemeliharaan berbagai kemaslahatan dan hikmah di semua spesies [di alam], bahkan di setiap bagian [makhluk], melalui kesaksian ilmu pengetahuan, memberikan kabar gembira tentang kehadiran kebahagiaan abadi. Jika tidak, kita mesti menyangkal hikmah dan tujuan ini, yang kepastiannya memaksa kita untuk mengakuinya. Sebab, manfaat bukan lagi merupakan manfaat, hikmah bukan lagi hikmah, dan kemaslahatan tidak lagi memiliki maslahat. Dan ini merupakan kesesatan murni.

Bukti Ketiga, yang menafsirkan [Bukti] Kedua: Ilmu pengetahuan juga bersaksi bahwa Sang Pembuat memilih jalur terpendek dalam segala hal, sisi yang paling dekat, bentuk yang paling ringan dan paling indah. Maka, hal ini menunjukkan tidak adanya kesia-siaan. Dan ini menunjukkan bahwa Sang Pembuat benar-benar serius. Dan ini hanya bisa [berlangsung] dengan kedatangan kebahagiaan abadi. Jika tidak, eksistensi ini akan turun ke tingkat non-eksistensi mutlak, dan segala sesuatu akan berubah menjadi kesia-siaan murni. Maha Suci Engkau! Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia!

Bukti Keempat, yang memaparkan [Bukti] Ketiga: Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa tidak ada pemborosan dalam penciptaan.

Jika otakmu tidak mampu memahami hikmah makrokosmos, yaitu "alam," maka perhatikanlah mikrokosmos, yang adalah "manusia." Ilmu anatomi telah menjelaskan dan membuktikan bahwa di tubuh manusia terdapat sekitar enam ratus tulang, yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Di dalamnya terdapat enam ribu pembuluh darah dan arteri untuk sirkulasi darah, masing-masing dengan kegunaannya sendiri. Juga terdapat dua puluh empat ribu pori-pori dan saluran di dalam sel. Dan di setiap fungsi sel itu terdapat lima daya kekuatan, berupa daya tarik, daya tolak, daya pegang (mumsika), daya tangkap (mushawwirah), dan daya reproduksi, yang kesemuanya memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Jika mikrokosmos demikian, bagaimana makrokosmos bisa rusak? Jika tidak ada pemborosan ini di tubuh, yang tidak seberapa penting dibanding esensinya, bisakah dibayangkan bahwa roh akan diabaikan? Ataukah, hal-hal spiritual, harapan dan ide-ide, yang merupakan karya roh, harus terbuang? Jika bukan untuk kebahagiaan abadi, semua hal spiritual akan mengerut dan sia-sia. Demi Allah, barangkali engkau bisa membayangkan di benak bahwa engkau memiliki permata senilai dunia, engkau menjaga kulit serta bungkusnya, bahkan engkau tidak membiarkannya berdebu, mungkinkah engkau kemudian mengambil dan menghancurkannya berkeping-keping seraya menghancurkan semua jejaknya? Sama sekali tidak!

Engkau tidak menjaga bungkus itu kecuali hanya untuk apa yang dikandungnya. Selain itu, jika kekokohan perawakan seseorang, kesehatan anggota tubuhnya dan inderanya, memberimu pemahaman bahwa ia akan terus hidup dan berkembang, tidakkah realitas konstan yang mengalir di spirit alam semesta, dan kekuatan utuh yang menunjukkan keberadaan sinambung tatanannya, serta kesempurnaan yang menyebabkan pematangan sistem secara keseluruhan, tidakkah semuanya menunjukkan bahwa kebahagiaan kekal akan tiba melalui pintu kebangkitan kembali? Sebab, hanya kebangkitan inilah yang menyelamatkan sistem dari kehancuran, dan merupakan sarana pematangannya, serta perantara bagi terungkapnya daya kekuatan abadi tersebut.

Bukti Kelima, dan Intuisi, yang menunjukkan tujuan: Keberadaan kebangkitan yang diulang-ulang pada sebagian besar alam makhluk menunjukkan kebangkitan tertinggi.

Jika engka suka, hal ini dapat diilustrasikan dengan sebuah contoh: lihatlah jam mingguanmu. Ia berisi beragam roda penggerak dan roda gaya yang mengubah dan menggerakkan jarum-jarum jam. Salah satunya menghitung detik; itulah pratanda, yang memberikan kabar gerakan jarum penunjuk menit. Ini 

51. Page

membuka jalan bagi dan memberi kabar gerakan jarum penunjuk jam, dan itu menghasilkan dan memberi kabar gerakan jarum yang menghitung hari dalam seminggu. Gerakan sebelumnya menyelesaikan perputaran yang menunjukkan bahwa gerakan berikutnya akan menyelesaikan perputarannya. Demikian pula, Allah Yang Maha Tinggi, memiliki jam besar yang mesinnya merupakan ruang angkasa; jarumnya menghitung hari, tahun, kehidupan umat manusia, dan jangka dunia, yang setara dengan detik, menit, jam, dan hari-hari jam milikmu. Pagi hari muncul setelah malam, dan musim panas datang setelah musim semi -- yang dihasilkan dari gerakan jam itu -- yang merupakan tanda tersembunyi dan petunjuk halus bahwa pagi musim semi kebangkitan akan datang, menyembul keluar dari jam besar alam semesta.

Jika engkau bertanya: Segala sesuatu tidak dibangkitkan kembali secara sama pada kebangkitan yang berulang-ulang di alam semesta, jadi bagaimana ini menunjukkan bahwa semua itu akan dikembalikan ke kehidupan yang sama di kebangkitan tertinggi?

Engkau akan diberitahu: Individu manusia sama seperti spesies makhluk lainnya. Sebab, cahaya pemikiran memberikan keluasan dan kelapangan kepada harapan manusia dan ruhnya hingga mencakup masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jika dia menelan masa lalu dan masa depan bersama-sama dengan masa kini, itu tidak akan memuaskan harapannya. Sebab, cahaya pemikiran membuat esensinya menjadi tinggi, nilainya bersifat umum, pandangannya universal, kesempurnaannya tak terbatas, kenikmatannya terus berlanjut, dan penderitaannya konstan. Adapun anggota individu spesies lainnya, esensinya bersifat parsial, nilainya personal, pandangannya terbatas, kesempurnaannya tertentu, kesenangannya seketika, dan penderitaannya sekilas. Jadi mengapa adanya kebangkitan pada spesies [lainnya] tidak mesti menunjukkan kiamat umum individu manusia?

Bukti Keenam, yang merupakan kiasan: Inilah sifat tak terbatas potensi manusia. Konsepsi dan pikiran manusia yang tak terbatas lahir dari harapannya yang tak terbatas. Hal ini muncul dari keinginannya tak terbatas, yang pada gilirannya muncul dari kemampuannya yang tak terbatas. Ini tersembunyi di dalam potensinya tak terbatas, tertanam di dalam substansi ruhnya, yang telah dimuliakan oleh Allah Yang Maha Tinggi. Semua poin ini bersaksi atas [adanya] kebahagiaan abadi di balik kebangkitan jasmani, dan membentangkan pandangannya tentang hal itu. Maka renungkanlah!

Bukti Ketujuh pemberi kabar baik, yaitu bahwa rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberi kabar gembira tentang kedatangan rahmat tertinggi, yang saya maksud kebahagiaan abadi. Sebab, dengan kebahagiaan abadi itulah rahmat menjadi rahmat dan nikmat menjadi nikmat, serta dengannya alam semesta terbebaskan dari ratapan dan perkabungan umum yang timbul dari perpisahan abadi, yang mengubah nikmat menjadi penderitaan. Jika ruh nikmat -- yaitu kebahagiaan abadi -- tidak hadir, maka semua nikmat akan berubah menjadi penderitaan, dan itu akan menuntut pengingkaran keras terhadap rahmat pasti, disaksikan dengan sendirinya oleh seluruh alam semesta.

Wahai Habib Shafiq,[1] pendamba cinta! Perhatikan jejak terbaik rahmat ilahi, yang saya maksud: cinta, kasih sayang, dan belas kasih. Kemudian konsultasikan hati nuranimu, tapi setelah mengandaikannya tunduk pada pemisahan abadi dan kepergian tanpa akhir (layazali).[2] Engkau lihat, bagaimana hati nurani memohon bantuan Bagaimana imajinasimu menangis, dan ruhmu tersiksa akibat transformasi cinta dan kasih sayang, jenis rahmat dan nikmat yang paling indah dan paling lembut, menjadi bencana dan penderitaan yang mengerikan.

Apakah mungkin menurut akal bahwa rahmat yang demikian diperlukan itu akan membantu perpisahan abadi untuk menyerang cinta dan kasih sayang?

Tidak! Bahkan, ciri rahmat adalah mengatur perpisahan abadi untuk menyerang kepergian yang tidak abadi, menggempur kepergian tak berujung dengan perpisahan abadi, dan memusnahkan keduanya!

Bukti Kedelapan, yang eksplisit: Inilah lisan Muhammad S.a.w yang jujur, yang diakui kejujurannya. Sabda beliau telah membuka pintu-pintu kebahagiaan abadi. Konsensus semua nabi dari Adam hingga

[1] Habib, salah seorang murid yang disayangi pengarang.

[2] Istilah layazali, maksudnya, masih tetap dan tanpa akhir. Lihat penggunaan istilah ini di Mirqat al-Mafatih 1/305, al-Kulliyyat 111, Ruh al-Ma'ani 9/106.




52. Page

Penutup mereka S.a.w mengenai hakekat ini, merupakan bukti hakiki yang meyakinkan atas beliau ini. Harus ada kebenaran demikian, karena mereka sepakat tentang hal itu.

Bukti Kesembilan: Inilah pemberitaan dari al-Qur'an yang penuh mukjizat tentang kebahagiaan abadi. Tujuh aspek kemukjizatan yang telah dikonfirmasi selama tiga belas abad meyediakan bukti atas apa yang diklaimnya. Sebab, ia mengungkap (kassyaf) kebangkitan jasmani melalui beritanya, dan merupakan kunci (miftah) untuk itu.[1]

Bukti Kesepuluh: Ini terdiri dari ribuan bukti yang diberikan oleh banyak ayat. Misalnya, ayat, وَقَدْ خَلَقَكُمْ أطْوارًا﴿"dan sungguh Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tahap (kejadian)" (Qs. Nuh [71]: 14) yang menunjukkan "perbandingan alegoris" (qiyâs tamtsîlî),[2] dan ayat lainnya, وَمَا رَبُّكَ بِظَلاّمٍ لِلْعَبيد﴿"Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-Nya" (Qs. Fusshilat [41]: 46) yang menunjukkan "dalil keadilan." Di banyak ayat, al-Qur'an memang telah membuka jendela untuk melongok kebangkitan kembali.

Adapun perbandingan alegoris pada ayat pertama di atas sebagai berikut:

Perhatikan tubuh manusia, bagaimana melewati tahap demi tahap, dari sperma ke darah menggumpal, terus ke embrio, terus menjadi daging dan tulang, dan dari situ menjadi makhluk baru. Masing-masing tahap ini memiliki hukum tertentu, sistem tertentu, perkembangan dinamis tertentu, yang masing-masing secara transparan mengungkap tujuan, kehendak, dan ikhtiar.

Kemudian, perhatikan kebakaannya, [tampak] bahwa tubuh memperbaharui “pakaiannya” setiap tahun, dan ini terjadi melalui kerusakan dan penyusunannya kembali. Yakni, sel-sel rusak dan diperbaiki kembali dengan zat halus yang disiapkan oleh Sang Pembuatnya sesuai dengan hukum tertentu, dan didistribusikan ke semua organ dalam jumlah yang sesuai.

Kini perhatikan tahapan materi halus pembawa rezeki anggota tubuh, bagaimana ia menyebar ke seluruh bagian tubuh dengan cara yang menakjubkan pikiran, dan bagaimana ia dibagi menurut hukum pembagian tertentu sesuai dengan kebutuhan anggota tubuh. Ini setelah ia disuling sesuai dengan urutan tetap, aturan spesifik, dan proses yang luar biasa, melalui empat filter tubuh, dan dimasak di empat dapur, serta menjalani empat transformasi menakjubkan; rezeki itu diperoleh sesuai hukum tertentu, sistem tertentu, dan aturan tertentu, dari zat yang tersebar di dunia elemen.

Semua hukum dan sistem pada tahap ini menunjukkan secara transparan adanya daya dorong, tujuan, dan hikmah. Bagaimana bisa tidak demikian? Jika engkau mempelajari atom dari kafilah materi halus [yang dikenal dengan rezeki], misalnya yang tersembunyi di unsur udara yang akhirnya menjadi bagian dari pupil mata Habib, engkau akan melihat bahwa jalannya telah ditentukan di udara, seolah-olah ditugaskan dan diperintahkan untuk melanjutkan ke tempat yang ditunjuk untuk itu. Dan jika engkau memperhatikan dengan kacamata ilmiah, engkau akan yakin bahwa hal itu tidak bergerak melalui kesepakatan buta dengan kebetulan tanpa tujuan, sebab tahap apa pun yang dimasukinya pasti mengikuti urutan tertentu, tahap apa pun yang ditujunya pasti dilakukan dengan aturan tertentu, dan tingkatan apa pun yang dijalaninya pasti didorong oleh gerakan yang teratur menakjubkan. Ia melewati semua tahapan ini hingga mencapai tujuannya. Dan ia tidak pernah menyimpang sedikit pun dari tujuan yang dimaksudnya.

Ringkasan:Bagi siapa pun yang merenungkan penciptaan pertama tak akan tersisa lagi dalam dirinya keraguan mengenai penciptaan kedua. Nabi S.a.w telah bersabda:

عجبًا لمن يرى النشأة الأولى كيف ينكر النشأة الأخرى

"Sungguh aneh orang yang melihat penciptaan pertama, bagaimana dia menyangkal penciptaan yang kedua."[3]

Bagi para prajurit suatu resimen, untuk berkumpul bersama begitu [mendengar] suara terompet [dibunyikan] setelah sebelumnya mereka bubar beristirahat, hingga mereka bermunculan dari setiap sudut

[1] Seolah-olah merujuk pada kitab tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari dan Miftah karya al-Sakkaki.

[2] Berdalil dengan salah satu bagian atas bagian yang lain. Lihat Mausu'ah Mushthalahat 'Ilm al-Manthiq 'Inda al-'Arab 689

[3] Lihat Musnad al-Syihab 1/347, Mafatih al-Ghayb karya al-Razi 2/31, Tafsir al-Qurthubi 17/217.




53. Page

dan celah, lalu membentuk barisan di bawah bendera mereka, jauh lebih mudah ketimbang memanggil mereka pertama kalinya seraya mengatur mereka di bawah [tekanan] disiplin dan senjata. Demikian pula halnya, lebih mudah bagi partikel yang telah saling akrab bercampur dalam satu tubuh untuk berkumpul saat [mendengar] bunyi sangkakala [yang ditiup malaikat] Israfil, agar mereka semua datang dari segala sisi untuk menanggapi perintah Sang Pencipta mereka; ini lebih mudah dan menurut akal lebih mungkin ketimbang menciptakannya dan menyusunnya pertama kali.

Adapun sehubungan dengan qudrat ilahi, hal terbesar sama saja dengan hal-hal terkecil.

Tampaknya saat kebangkitan kelak, bagian-bagian asli tubuh akan dikembalikan kepadanya, bersama dengan bagian-bagian tambahannya.[1] Hal ini ditunjukkan oleh badan besar orang-orang yang dibangkitkan,[2] serta oleh hukum dimakruhkannya memotong rambut atau kuku saat junub, serta oleh sunnah menguburnya.[3] Namun menurut penelitian, [beberapa sel dari] tulang ekor ('ajb al-dzanab) sudah cukup sebagai benih dan materi untuk pembentukan kembali tubuh.[4]

 

Adapun bukti yang ditunjukkan oleh ayat وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيد﴿ "Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-Nya" (Qs. Fusshilat [41]: 46):

Ketahuilah, kita sangat sering melihat orang zalim, lacut, dan kejam, hidup penuh kemewahan, melewati hidup mereka penuh kemakmuran dan kemudahan. Sementara itu, kita juga melihat orang tertindas, miskin, beragama dengan karakter baik, namun menghabiskan umurnya penuh kesulitan, tercampakkan, dan tertindas. Kemudian, kematian pun datang, sehingga membuat [kedudukan] kedua pihak tersebut sama. Tapi kesamaaan ini tampaknya sebuah kezaliman tanpa akhir. Padahal keadilan dan hikmah ilahi, yang disaksikan semua alam semesta, bebas dari kezaliman. Karena itulah, harus ada pertemuan akhir di mana pihak pertama akan menerima hukumannya, dan pihak kedua menerima ganjarannya, sehingga keadilan ilahi dapat sepenuhnya terwujud. Engkau dapat membandingkan ayat-ayat lain dari al-Qur'an dengan kedua ayat ini.

Adapun aspek nadzam bagian kalimat: وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُون﴿ - wa bi al-âkhirati hum yûqinûn (“dan mereka yakin pada adanya akhirat”):

Ketahuilah, nuktah [frasa ini] terdiri dari: "wâw (dan)," kemudian didahulukannya kata بِالآخِرَةِ﴿ - bi al-akhirat (“kepada akhirat”), kemudian penggunaan awalan pasti "al-" (alim-lam) untuk kata akhirat, kemudian istilah "akhirat," kemudian penggunaan kata ganti pribadi هُم - hum﴿ (mereka), kemudian penggunaan kata يُوقِنُونَ﴿ - yûqinûn (“mereka yakin”) ketimbang kata "يؤمنون - yu'minûn (mereka beriman)."

[Penggunaan huruf] "wâw" setelah pernyataan umum frasa sebelumnya, [bertujuan] untuk menunjukkan kekhususan [akhirat] dengan menyebutkan secara eksplisit rukun keimanan ini. Sebab, [rukun iman] ini merupakan salah satu dari dua kutub yang selalu dibicarakan kitab-kitab suci samawi.

Didahulukannya kata بِالآخِرَةِ﴿ - bi al-akhirat menunjukkan pembatasan (hishr). Dalam pembatasan ini terdapat penegasan bahwa -- karena [sebagian] Ahli Kitab mengatakan:


﴿لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّامًا مَعْدُودَة

"Api neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali hanya beberapa hari saja," (Qs. al-Baqarah [2]: 80), dan [sebagian lainnya] menyangkal kesenangan jasmani -- akhirat mereka ialah akhirat metafora dan hanya di nama saja; apa yang akan mereka alami bukanlah akhirat yang sebenarnya.


[1] Yakni, bagian-bagian tidak asli dari tubuh saat penciptaan. Lihat Lisan al-'Arab 11/526.

[2] Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, "Gigi geraham orang kafir -- atau taringnya -- seperti Gunung Uhud dan ketebalan tubuhnya seperti jarak perjalanan tiga hari." Hr. Muslim 4/2189 hadits no 2851.

[3] Diriwayatkan dari Nabi S.a.w: "Kuburlah darah, rambut, dan kuku kalian, agar tidak dimainkan oleh tukang sihir perempuan." Lihat Musnad al-Firdaus 1/102, al-Fath al-Kabir 2/375, Kanz al-'Ummal 6/278, hadits no 17245.

[4] Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: Diriwayatkan leh Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, "... Tidak ada [bagian] dari [tubuh] manusia yang tidak akan [hancur] ditelan bumi, kecuali [beberapa sel dari] tulang ekornya, dan darinya penciptaan akan dirakit kembali pada hari kiamat." Lihat Shahih al-Bukhari 4/1181 hadits no 4651, Shahih Muslim 4/2271 hadits no 2955.




54. Page

Penggunaan awalan definitif "alif" dan “lam”[dimaksud] untuk mengungkap janji. Artinya, ini menunjukkan bahwa [akhirat] sudah dijanjikan karena sudah disebutkan secara bergiliran oleh kitab-kitab samawi. Kejanjiannya juga merupakan petunjuk bahwa akhirat memang benar, sekaligus isyarat mengenai hakekat yang dijanjikan yang muncul di antara silia pikiran disebabkan dalil-dalil fitriah tersebut. Karena itu, kejanjiannya merupakan tanda bahwa akhirat merupakan hakekat.

Dan penggunaan istilah الآخِرَةِ﴿ - al-akhirat yaitu, menjadikannya kata sifat bagi penciptaan (al-nâ'itah li al-nasy'ah), dimaksud untuk mengarahkan perhatian terhadap penciptaan pertama, sehingga pikiran akan memahami kemungkinan penciptaan kedua.

Di dalam kata ganti orang هُمْ﴿ - hum terkandung makna pembatasan, dan ini menunjukkan bahwa keimanan orang di antara Ahlul Kitab yang tidak beriman pada Muhammad S.a.w bukanlah keyakinan tertentu. Tapi, itu hanya dugaan yang mereka kira keyakinan.

Kata يُوقِنُونَ﴿ - yûqinun (“mereka yakin”) digunakan ketimbang kata (يؤمنون - yu'minûn) (“mereka beriman”), meskipun keimanan adalah pembenaran bersama dengan keyakinan (al-tashdîq ma'a al-yaqîn), sengaja dimaksud untuk menundingkan telunjuk dengan maksud untuk menghilangkan keraguan. Sebab, kiamat merupakan kebangkitan kembali massa yang berkerumun dipenuhi keraguan.

Juga, pernyataan tegas ini menutup jalan bagi timbulnya alasan sebagaimana dikemukakan Ahli Kitab dengan pernyataan, " إنا مؤمنون، فليؤمن من لم يؤمن - Kami orang-orang yang sudah beriman, jadi biarlah beriman mereka yang belum beriman."