NAVIGATION
55. Page
﴿ أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُ فْلِحُون ﴾
(Ulâika 'alâ hudan min Rabbihim wa ûlâika humu al-muflihûn.)
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
﴿أُولئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ﴾ - ulâika 'alâ hudan min Rabbihim (merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka.)
Ketahuilah: Titik dugaan (madlânn) di mana nuktah-buktah berkilauan [di ayat ini] adalah sebagai berikut: Nadzam kata-katanya dihubungkan dengan kata-kata yang sebelumnya; daya rasa (mahshûsiyyah) di kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika," jarak kejauhan (bu'diyyah) yang terungkap di dalamnya; ketinggian ('uluw) yang dilambangkan dengan kata ﴾عَلَى﴿ - 'alâ," penggunaan kata indefinit (tankir) di ﴾هُدًى﴿ - hudan, preposisi ﴾مِنْ﴿ - min, dan [makna] pemeliharaan dan pendidikan (tarbiyyah) yang terkandung dalam kata ﴾رَبِّهِمْ﴿ - rabbihim.
Nadzam: Ketahuilah, ayat ini terkait dengan ayat yang sebelumnya melalui sejumlah rangkaian hubungan. Salah satunya, mengambil rangkaian, yaitu, jawaban terhadap “tiga pertanyaan” tersirat:
Pertama: Pertanyaan tentang contoh teladan, seolah-olah setelah mendengarkan al-Qur'an yang cirinya memberikan petunjuk kepada manusia yang -- sebagai akibatnya -- memperoleh sifat yang baik, pendengar ingin melihat mereka benar-benar mengenakan sifat ini saat duduk di tahta petunjuk. Jadi, ia menjawab pendengar itu dengan menggambarkan mereka melalui perkataan: ﴾أُولئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ﴿ - ulâika 'alâ hudan min Rabbihim.
Kedua: Pertanyaan tentang alasan (pemberian petunjuk), seolah-olah si penanya menyoal: "Apa yang membuat mereka berhak mendapatkan petunjuk, dan diistimewakan dengannya?" Dan ia menjawab: "Orang-orang yang pada diri mereka tergabung dan terkumpul semua sifat ini -- jika engkau simak -- merekalah yang layak memperoleh cahaya petunjuk."
Jika engkau bertanya: Apakah ada penjelasan lebih rinci mengenai sifat-sifat tersebut di ayat-ayat sebelumnya yang mengungkapkan alasan pemberian petunjuk dengan lebih jelas ketimbang pernyataan ringkas ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika?
Engkau akan dijawab: Keringkasan biasanya lebih jelas dari keterangan rinci, apalagi jika jawaban yang dicari muncul dari gabungan banyak hal. Sebab, [di sini] disebabkan keterbatasan pikiran pendengar, sifat berpanjang-panjang dalam diskusi, intervensi kelupaan di antaranya, serta munculnya alasan pemberian hidayah dari gabungan semua unsur diskusi, [itu semua] terkadang menghalangi lahirnya alasan itu. Maka, keringkasan di "mereka (ûlâika)" untuk menggabungkan hal-hal ini, lebih jelas alasannya.
Ketiga: Pertanyaan tentang hasil dan buah petunjuk, serta kesenangan dan nikmat di dalamnya. Seolah-olah pendengar bertanya: "Apa sebetulnya kesenangan dan kenikmatan itu?" Maka dijawab bahwa [hanya] di dalam petunjuk itulah terdapat kebahagiaan di dunia dan akhirat; yaitu, hasil petunjuk dan buahnya sendiri. Sebab, ia sendiri merupakan nikmat terbesar, kesenangan nurani, bahkan surga roh. Sama seperti halnya kesesatan adalah nerakanya. Kemudian setelah itu ia akan menghasilkan buah kebahagiaan dan keselamatan di akhirat.
Mengenai daya rasa (mahshûsiyyah) di kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, itu merupakan isyarat bahwa sering-sering menyebut sifat [sesuatu] akan menyebabkannya tertanam di otak pendengar, menghadirkannya dalam pikiran, dan membuatnya terasakan di dalam imajinasi. Jadi, dari sekedar mengenal[1] dengan [hanya] menyebutkannya, kini ia membuka pintu pengenalan eksternal [yang sesungguhnya], dan dari sini ia mengenal perbedaan orang-orang beriman, serta menatap pada cahaya mereka yang bersinar di
[1] Sebab sifat-sifat mereka disebutkan, sehingga dikenal. (T: 65)
56. Page
antara spesies manusia. Seolah-olah ia mengangkat kepalanya, membuka matanya, dan tidak ada yang terlihat olehnya kecuali mereka.
Jarak jarak kejauhan (bu'diyyah) yang diungkapkan melalui kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, meskipun secara keseluruhan orang-orang beriman itu dekat, menunjukkan kemuliaan derajat mereka, yang ketika dilihat dari jauh, yang tampak hanya sosok yang tertinggi. Padahal, jika jarak ruang dan waktu itu nyata, maka itulah hakim terbaik bagi keharusan balaghah. Sebab, Era Kebahagiaan merupakan lisan pembaca ayat ini persis seperti yang diwahyukan, dan semua abad berikutnya merupakan lisan yang membacanya juga, sehingga [ayat] itu senantiasa tampak muda dan segar seolah-olah baru diwahyukan, bukan sudah lama diwahyukan yang kemudian diceritakan. Baris-baris terdepan, yang disebut dengan ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika (mereka), begitu tampak kelihatan dari kejauhan. Maka, mereka yang terlihat, meskipun jauh, diketahui bertubuh besar dan memiliki derajat tinggi.
Sekarang mengenai [preposisi] ﴾عَلَى﴿ - 'alâ. Ketahuilah: Rahasia hubungan [atau asosiasi] di antara banyak hal membuat kebanyakan darinya seperti banyak cermin yang saling berkaca satu sama lain. Cermin yang satu berkaca pada satunya, dan satunya lagi berkaca padanya. Sama seperti fragmen kaca dapat memperlihatkan padang pasir yang luas padamu; demikian juga kadang-kadang satu kata dapat menimbulkan imajinasi tak berujung, satu kalimat dapat menyulap sebuah kisah yang aneh di depan matamu, dan satu frasa dapat membawa pikiranmu bertamasya melewati dunia perumpamaan. Begitu pula, kata "bâraza" atau bertempur, mengungkapkan kepadamu adanya medan perang, dan kata "buah" di ayat ini mendorong terbukanya pintu surga bagimu. Silahkan engkau membuat qiyas dengan cara serupa! Sama halnya kata ﴾عَلَى﴿ - 'alâ, membuka jendela bagi pikiran, [mengungkapkan] perbandingan berikut: petunjuk al-Qur'an adalah buraq ilahi yang diberikan kepada orang-orang beriman untuk dinaiki. Ketika naik di atasnya, mereka berada di jalan yang lurus, bertolak menuju tahta kesempurnaan.
Penggunaan kata indefinit (nakirah) untuk ﴾هُدًى﴿ - hudan, memperlihatkan bahwa [petunjuk] ini berbeda dari [petunjuk di ayat sebelumnya]: ﴾هُدًى لِلْمُتَّقِينَ﴿ - hudan li al-muttaqîn (Qs. al-Baqarah [2]: 2). Pada umumnya,[1] pengulangan kata yang tak tentu menunjukkan bahwa kata tak tentu yang kedua tidak sama dengan yang pertama. Kata yang sebelumnya adalah kata benda verbal (mashdar), sementara yang satu ini produk dari kata benda verbal (hâsil bi al-mashdar). Artinya, itulah sifat yang dapat dirasakan terus-menerus (shifah mahshûsah qârah) dan buah dari yang pertama.
Adapun kata ﴾مِنْ﴿ - min, itu mengisyaratkan bahwa [petunjuk] merupakan ciptaan dan taufik dari Allah,[2] yang diberikan-Nya kepada mereka.
Sedangkan kata ﴾رَبّْ﴿ - rabb menunjukkan bahwa memberikan petunjuk merupakan ciri Pemeliharaan-Nya (rubûbiyyah). Maka, sebagaimana Dia memberi mereka rezeki, Dia pun menopang mereka dengan petunjuk.
﴾وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون﴿ - wa ûlâika humu al-muflihûn (“dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”)
Ketahuilah, tempat dugaan nuktah yang harus dicari adalah: Kata penghubung "wâw," pengulangan kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, kata ganti pemisah ﴾هُم﴿ - hum, kata definitif "alif lam", kemudian pemutlakan kata ﴾الْمُفْلِحُون﴿ - al-muflihûn, serta tak ditentukannya bentuk keberuntungan atau nasib baik mereka.
Kata penghubung ["wâw"] digunakan karena terdapat hubungan di antara dua klausa. Karena, sebagaimana kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika yang pertama mengisyaratkan kebahagiaan di dunia ini (sa'âdah 'âjilah), yang merupakan buah dari petunjuk; maka [﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika yang kedua] ini mengisyaratkan kebahagiaan akhirat (sa'âdah âjilah).
[1] Ustadz Said Nursi hendak menunjuk pada apa yang ditunjukkan melalui tankir (penggunaan isim nakirah, kata tak tentu atau indefinitif, dalam bahasa secara umum. Maka, kata "hudan" mengandung makna tambahan dari maknanya yang asli sesuai konteks awalnya. Disebut di dalam (T: 67): "Jika isim nakirah diulang-ulang, maka bentuknya berubah menjadi isim ma'rifah (definitif), namun isim makrifah ini adalah isim nakirah itu sendiri. Tapi, jika isim nakirah ditegaskan sebagai sebuah nakirah, maka pada umumnya ia tidak menjadi isim nakirah itu sendiri."
[2] Sebab, pemberian hidayah atau petunjuk, yakni berjalan melalui jalan kebenaran, berada di dalam ikhtiar dan usaha mereka, padahal petunjuk merupakan sifat yang tetap, yaitu dari Allah Ta’ala. (T: 67)
57. Page
Selanjutnya, meskipun keduanya merupakan buah [atau ringkasan] dari masing-masing yang telah lalu, namun [pandangan] terbaik ialah melihat bahwa akar kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika yang pertama terikat dengan kata ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna yang pertama (Qs. al-Baqarah [2]: 3), dan tampaknya itu mengacu pada orang-orang beriman buta huruf yang [bukan Ahli Kitab dan] memperoleh kekuatan mereka dari rukun Islam [yaitu, mereka melakukan shalat dan membayar zakat], serta melihat pada apa yang ada di ayat sebelumnya ﴾وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُون﴿ - wa bi al-âkhirati hum yûqinûn (“dan mereka yakin akan adanya akhirat”)." (Qs. al-Baqarah [2]: 4).
Dan ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika yang kedua menembus secara rahasia, melihat ke ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna yang kedua, yang tampaknya mengacu pada orang-orang beriman dari kalangan Ahli Kitab. Titik acuannya adalah rukun iman dan keyakinan pada akhirat. Maka, renungkanlah!
Adapun pengulangan kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, itu menunjukkan bahwa terkait alasan utama pemberian petunjuk serta penyebab mereka diistimewakan dan dipuji, kedua buah [petunjuk dan keselamatan (keuntungan)] itu terpisah dan berbeda satu sama lain. Namun demikian, [interpretasi] terbaik ialah bahwa kedua kata ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika menunjuk pada [﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika] yang pertama berikut [predikat yang merupakan subjeknya], seolah-olah ia mengatakan: "yang ini terpelajar dan yang satunya lagi terhormat."
Mengenai kata ganti pemisah ﴾هُم﴿ - hum: Di samping menguatkan pembatasan (hishr) yang menegaskan tentang Ahlul Kitab yang belum beriman kepada Nabi S.a.w, ia mengandung nuktah lembut begini: Penempatan kata ﴾هُم﴿ - hum di antara subjek (mubtada') dan predikat (khabar) mengubah subjek tadi menjadi satu subjek dengan banyak predikat. Yang satu disebutkan, dan sisanya dirujuk dalam imajinasi. Sebab, kata ﴾هُم﴿ - hum mengingatkan imajinasi bahwa predikat tidak terbatas, dan ia mendesaknya untuk mencari yang cocok. Sebagaimana engkau hendak menempatkan Zaid di hadapan pendengar dan menyebut banyak sifatnya, dengan mengatakan, "Zaid terpelajar, Zaid pintar, dia ini, dia itu," maka demikian pula, dengan mengatakan, ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, lalu menempatkan kata [ganti] ﴾هُم﴿ - hum, al-Qur'an hendak menggugah imajinasi sehingga menghadirkan hal-hal yang sesuai dengan sifat mereka. Misalnya, "Mereka memperoleh petunjuk,""mereka orang-orang yang beruntung,""mereka akan selamat dari api neraka,""mereka akan mendapatkan surga,""mereka akan berhasil menyaksikan keindahan Allah (Swt)," dan seterusnya.
Kata definitif "alif lam" menggambarkan realitas, seolah-olah mengatakan: "Jika engkau ingin mengetahui apakah mereka termasuk orang yang beruntung, berkacalah pada cermin ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, sebab merekalah orang yang beruntung itu." Atau [tujuannya] untuk memastikan mereka, [seolah-olah mengatakan: "Jika engkau ingin mendengar siapa yang akan beruntung dan mencapai kebahagiaan, serta ingin mempelajari kesukaan mereka, lihatlah ﴾أُولئِكَ﴿ - ulâika, atau perhatikan bagaimana kondisi mereka."] Atau [tujuannya] untuk memperjelas apa yang dinyatakan dan menjadikannya bukti, seperti "والده العبد" (ayahnya seorang budak), yaitu, kenyataan bahwa ayahnya seorang budak sudah dikenal dan pasti. [Karena, meskipun predikat seharusnya tidak terbatas, tapi dibuat pasti.]
Kata ﴾الْمُفْلِحُون﴿ - al-muflihûn (“orang-orang yang beruntung”) berbentuk mutlak agar ia berlaku umum. Sebab, al-Qur'an berbicara kepada semua kelas manusia dengan aspirasi yang berbeda-beda: sebagian mereka menginginkan selamat dari api neraka, yang lain hanya menginginkan surga, yang lainnya lagi hanya mencari ridha ilahi, namun orang lain lagi rindu bisa menyaksikan keindahan-Nya; dan seterusnya. Di sini, al-Qur'an telah menempatkan kata tersebut dalam bentuk mutlak, agar hidangan kebaikan-Nya berlaku umum sehingga setiap orang dapat memilih apa yang mereka suka.