AL-BAQARAH AYAT 6

58. Page

Ayat 6

 

﴿إنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُون

(Inna alladzîna kafarû sawâun 'alayhim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu'minûn).

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.

 

Nadzamnya [dan hubungannya dengan ayat sebelumnya]:

Ketahuilah: Di alam sifat-Nya yang azali, Dzat Yang Maha Esa memiliki dua manifestasi (tajallî), yang berkaitan dengan Kemuliaan-Nya (jalâlî) dan yang berkaitan dengan Keindahan-Nya (jamâlî). Melalui manifestasi keduanya di alam sifat perbuatan, muncullah kelembutan (luthf) dan kemurkaan (qahr), serta kebaikan (hasan) dan kegentaran (haybah).

Kemudian, dengan condong ke alam perbuatan, lahirlah periasan (tahliyyah), pengosongan (takhliyyah), penghiasan (tazyîn), dan kesucian (tanzîh) Sang Pencipta dari sifat makhluk.

Kemudian, dengan tercetak di alam akhirat, yang termasuk alam karya ('âlam al-âthâr), maka kelembutan (luthf) termanifestasikan sebagai surga dan cahaya, sementara kemurkaan (qahr) termanifestasikan sebagai neraka dan api.

Dan dengan terefleksikan di alam dzikir, maka dzikir terbagi menjadi pujian (hamd) dan pengagungan (tasbîh).

Kemudian, dengan terlaksana di alam pembicaraan, keduanya terbagi ke dalam perintah (amr) dan larangan (nahy).

Kemudian, dengan tergambarkan di alam bimbingan (irsyâd), keduanya terbagi menjadi pengobaran semangat (targhîb) dan penahanan diri (tarhîb), serta pemberian kabar gembira (tabsyîr) dan peringatan (indzâr).

Kemudian, melalui manifestasi keduanya di dalam hati nurani, lahirlah harapan (rajâ') dan perasaan takut (khawf). Dan seterusnya.

Selain itu, ciri pembimbingan ialah menjaga keseimbangan antara harapan dan rasa takut, agar harapan dapat melecut daya juang dan kerja, sementara rasa takut dapat menahan diri dari pelanggaran, dan seseorang tidak akan putus asa dari rahmat ilahi kemudian memilih hidup tercela, atau merasa yakin tidak akan dihukum sehingga dia tersesat tanpa peduli. Karena hikmah yang berturut-turut inilah al-Qur'an tidak memberikan semangat tanpa mencegah, atau memuji orang yang berbakti tanpa mencela pendosa yang durhaka.

Jika engkau bertanya: Mengapa di sini tidak ada hubungan antara ayat ini dan ayat sebelumnya, seperti yang terdapat pada ayat:

﴿إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍوَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

"Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan * dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka" (Qs. al-Infithar [82]: 13-14)?

Engkau akan dijawab: Tepatnya hubungan tergantung pada tepatnya relasi [antara dua bagian pembicaraan], dan ketepatan itu akan berbeda tergantung pada perbedan tujuan yang dimaksud oleh pembicaraan. Tetapi karena tujuan [dalam ayat ini dan ayat sebelumnya] berbeda, maka hubungan tadi tidak dianggap tepat. Sebab, pujian terhadap orang-orang beriman mengantar pada dan pengantar [untuk memuji] al-Qur'an, serta itulah hasilnya dan didorong ke sana. Sementara kecaman terhadap orang-orang kafir dilakukan untuk mencegah dan menakut-nakuti (tarhîb), bukan pengantar [untuk memuji] al-Qur'an.

 


59. Page

Kini perhatikan kelembutan-kelembutan yang terkandung dalam nadzam bagian-bagian dari ayat ini:

Pertama: Berikan perhatianmu pada [kata imbuhan penguat] ﴾إنَّ﴿ - inna dan [kata ganti relatif] ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna, dua kata yang paling sering beredar dan melintas yang akan engkau temui di dalam al-Qur'an,[1] di tempat-tempat turunnya wahyu. Karena sesuatu alasan, al-Qur'an sering menyebut keduanya, sebab di samping poin-poin yang diungkapkannya khusus di tempat penggunaan masing-masing, keduanya memuat dua nuktah umum dari mutiara balaghah:

Termasuk ciri ﴾إنَّ﴿ - inna ialah sifatnya menembus hal-hal permukaan hingga sampai pada kebenaran, serta menyampaikan maksud kalimat padanya. Seolah-olah ia sendiri akar dari apa yang diklaim, yang bersambung dengan kebenaran.

Misalnya, "Sesungguhnya, ini begini," yakni: apa yang dinyatakan bukan imajiner, atau dibikin-bikin, atau subjektif, atau baru diciptakan; tapi, itulah kebenaran yang berlangsung konstan. [Ilmu tata bahasa] mengatakan, ﴾إنَّ﴿ - inna [dimaksud] untuk membangun atau mengkonfirmasi fakta (li al-tahqîq),[2] dan karena itu menunjukkan fakta dan karakteristik ini. Nuktah khususnya di sini ialah bahwa ﴾إنَّ﴿ - inna menyangkal keragu-raguan dan pengingkaran, meskipun keduanya sama sekali tidak terdapat pada diri Nabi S.a.w sebagai objek pembicaraan [ayat tersebut]; karena itu, kata ﴾إنَّ﴿ - inna memuat harapan besar agar [para pendusta] hendaknya beriman.

Adapun ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna, ketahuilah bahwa [kata ganti relatif] "الَّذِي - alladzî" mempunyai ciri menunjukkan sesuatu yang baru dan aneh sehingga pikiran merasakannya hadir di depan mata, yang meyakinkan tapi tidak kuat, bahkan lahir dari kombinasi banyak hal dan gabungan banyak sebab bersama keragaman keunikannya. Karena alasan inilah, engkau akan melihat bahwa di antara kata-kata imbuhan dan kata ganti demonstrasi, kata ganti relatif "الَّذِي - alladzî" lebih mudah diucapkan di lidah dan lebih banyak digunakan untuk menunjukkan perubahan dan pembaharuan subjek. Sebab, ketika penegak kebenaran dan hakekat, yaitu al-Qur'an, harus tampil, banyak hal (anwâ') meredup dan cabang-cabangnya menghilang, namun hal-hal lainnya terbentuk dan kebenaran baru lahir. Tidakkah engkau perhatian Era Jahiliyah, bagaimana hubungan sosial (anwâ') dibentuk berdasarkan ikatan nasional, dan adat istiadat masyarakat (lit. haqâ'iq ijtimâ'iyyah) didasarkan atas kesukuan. Kemudian ketika al-Qur'an datang, ia memutus ikatan mereka, menghancurkan adat istiadat mereka, serta membentuk ikatan baru sebagai gantinya, ikatan agama. Maka renungkanlah! Ketika al-Qur'an memancarkan sinarnya pada spesies manusia, hati bermekaran dan berbuah melalui cahayanya, serta menghasilkan hakekat bercahaya, berupa kelas golongan (naw') orang-orang beriman. Kemudian karena kedurhakaan mereka, sebagian jiwa membusuk menghadapi cahaya terang jiwa tersebut, sehingga lahirlah hakekat beracun, yang merupakan karakteristik kelas orang kafir.[3]

Di antara ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna di ayat ini dan ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna [sebelumnya di ayat 3] juga terdapat timbal balik.[4]

Ketahuilah, seperti imbuhan definit, kata ganti penghubung alim lam digunakan untuk mengekspresikan lima makna, dan yang paling dikenal di antaranya adalah makna yang menunjukkan sesuatu yang dikenal ('ahd). Maka kata ﴾الَّذِينَ﴿ - alladzîna merujuk ke orang-orang kafir terkenal seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, dan mereka yang meninggal dalam keadaan kafir. Berdasarkan ini, ayat tersebut memberikan berita tentang hal gaib. Dari kilauan seperti ini, lahirlah semacam kemukjizatan, di antara empat macam kemukjizatan, yang berkaitan dengan makna al-Qur'an (i'jâz ma'nawî).

Kata ﴾كَفَرُوا﴿ - kafarû (“mereka kafir”): Ketahuilah, kekafiran merupakan kegelapan, yang berasal dari penolakan terhadap sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah S.a.w, setelah memiliki pengetahuan tertentu tentang itu.


[1] Kata "inna" disebutkan 966 kali di 895 ayat di dalam al-Qur'an Karim. Sementara kata "alladzina" disebut 819 kali di 738 ayat. Lihat al-Mu'jam al-Mufahras al-Elektroni di website Majma' al-Malik Fahd untuk Percetakan al-Qur'an, di Internet.

[2] Dalam al-Luma' karya Ibnu Jinni, hal 41, disebutkan: Makna "inna" dan "anna" semuanya untuk konfirmasi (tahqiq).

[3] Untuk mengisyaratkan hakekat kekafiran ini, disebutlah "alladzîna." (T: 72)

[4] Sebab keduanya merujuk pada kebenaran yang merupakan kebalikan dari yang lain. (T: 72)




60. Page

Jika engkau bertanya: Al-Qur'an termasuk salah satu hal penting dari agama, namun maknanya dipersengketakan?

Engkau akan dijawab: Setiap bagian dari kalam al-Qur'an memiliki “tiga proposisi”:

Pertama: Ini adalah Firman Allah.

Kedua: Maknanya yang dimaksud adalah kebenaran (haqq). Menyangkal masing-masing dari keduanya [termasuk] kafir.

Ketiga: Maknanya yang dimaksud adalah ini. Jika proposisi yang terakhir ini sudah tak dapat diperdebatkan (muhkam) atau sudah tertafsirkan (mufassar),[1] maka wajib [bagi seseorang] mempercayainya begitu dia mengetahui hal itu, dan menyangkalnya merupakan kekufuran. Jika secara lahiriah atau menurut nashnya ia memiliki kemungkinan makna lain, tidak termasuk kufur untuk menyangkalnya karena [ayat] itu terbuka bagi penafsiran.[2] Namun, penafsiran ini tidak boleh didasarkan pada keinginan pribadi.[3] Dalam hal ini, [kedudukan] hadits mutawatir sama dengan ayat-ayat [al-Qur'an]. Tapi, begitu terdapat penolakan proposisi pertama terkait dengan hadits, ini harus dipertimbangkan secara hati-hati.[4]

Jika engkau bertanya: Kekufuran adalah ketidaktahuan, sementara dalam al-Qur'an dikatakan:

﴿يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ

"Mereka [Ahli Kitab] mengenalnya [Muhammad] sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri" (Qs. al-Baqarah [2]: 146). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat dirujukkan?

Engkau akan dijawab: Terdapat dua jenis kekufuran:

Pertama, karena kebodohan (jahlî); seseorang menyangkal karena dia tidak mengetahui. Kedua, penolakan keras kepala (juhûdî tamarrudî); seseorang mengetahui tapi tidak menerima; dia meyakini tapi tidak mempercayai; dia membenarkan tetapi hati nuraninya tidak mau tunduk. Pikirkan baik-baik tentang hal ini!

Jika engkau bertanya: Apakah di hati setan ada makrifah?

Engkau akan dijawab: Tidak, sebab sesuai ciptaan fitriahnya, hatinya terus disibukkan dengan upaya penyesatan manusia, otaknya terus memikirkan kekufuran untuk ditanamkan dalam diri orang lain. Dia tidak pernah berhenti melakukan kesibukan ini. Ide kekufuran itu tak akan pernah lenyap dari akalnya hingga makrifah bersemayam di dalamnya.

Jika engkau bertanya: Kekufuran adalah sifat hati, jadi bagaimana bisa hanya karena memakai "zunnâr"[5] -- yang dikiaskan dengan topi "qubba'ah" -- [seseorang] menjadi kafir?

Engkau akan dijawab: Syariat mengakui tanda-tanda lahiriah dari hal-hal yang tersembunyi. Bahkan, ia mengakui sebab-sebab lahiriah[6] yang tidak memiliki alasan ('illat) sebagai alasannya. Maka, ketika beberapa jenis ikat pinggang menghambat seseorang melakukan rukuk secara sempurna dalam shalatnya, dan beberapa jenis topi mencegah seseorang sujud secara sempurna, pemakaiannya dianggap sebagai alasan bagi kekufurannya. Sebab, keduanya menandakan penolakan terhadap ibadah, dan merupakan upaya peniruan orang-orang kafir, dengan memberikan apresiasi terhadap sikap dan pandangan mereka. Jadi, selama hal tersembunyi tidak tegas disangkal, penilaian tetap diberikan menurut tanda-tanda lahiriah.

Jika engkau bertanya: Apabila belum diberi peringatan, mengapa orang-orang harus bertanggung jawab?


[1] Di dalam al-Ta'rifat disebutkan, jika dari lafadz al-Qur'an timbul maksud yang tidak memungkinkan terjadinya penghapusan (nasakh), maka itu disebut muhkam, namun jika mungkin untuk ditakwil, maka itu disebut mufassar. Lihat al-Ta'rifat 263.

[2] Perbedaan di kalangan mufassir hanya terjadi pada bagian ini. (T: 73)

[3] Bukan didasarkan kecenderungan hawa nafsu, tanpa dasar ilmiah.

[4] Yakni, harus dipastikan sungguh-sungguh keshahihan dan kemutawatiran hadits tersebut. (T: 73)

[5] Tali ikat pinggang yang umumnya dipakai orang Nasrani, Majusi, atau kafir dzimmi, dengan ikat pada bagian tengahnya. Lihat al-Lisan 4/330.

[6] Yang bukan illat atau alasan. (T: 73)




61. Page

Engkau akan dijawab: Untuk membantah argumen dan alasan mereka.[1]

Jika engkau bertanya: Kabar tentang penolakan keras kepala mereka sudah lama disampaikan. Itu berarti mereka dicegah dari beriman. Bukankah mustahil menyuruh mereka bertanggung jawab?

Engkau akan dijawab: Baik prediksi, maupun pengetahuan dan kehendak ilahi, tidak terkait dengan kekufuran mereka, terpisah dan terputus dari penyebabnya. [Ketiganya] terkait dengan kekufuran mereka hanya melalui usaha mereka (ikhtiyâr), sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Dari sini dapat dikatakan: "Kewajiban [yang dikenakan] melalui ikhtiar tidak menafikan [atau menentang] ikhtiar."

Jika engkau bertanya: Tidakkah mustahil menurut akal bahwa mereka akan percaya pada ayat yang menyatakan mereka tidak akan beriman?[2] Ini menyerupai kerancuan "dinding yang bisu bicara."[3] [Bukankah ini kontradiksi dalam istilah]?

Engkau akan dijawab: Mereka tidak diperintah untuk percaya pada setiap detail al-Qur'an, sebab itu pasti mustahil.

Juga, kata kerja "(mereka) menolak beriman (lit. ﴾كَفَرُوا﴿ - kafarû) ditampilkan dalam bentuk kata kerja masa lalu (fi'il mâdli), sebagai isyarat bahwa mereka memilih kufur setelah kebenaran sudah begitu jelas, sehingga peringatan sia-sia saja diberikan [sebagaimana ditunjukkan oleh kata sawâ'un - sama saja].

Mengenai kata ﴾سَوَاءٌ﴿ - sawâun, itu merupakan majaz dari makna ucapan: "Peringatanmu sia-sia saja tanpa guna, seperti tidak ada peringatan." Artinya, tidak ada alasan bagimu untuk memperingatkan mereka atau tidak.

Adapun kata ﴾عَلَيْهِمْ﴿ - 'alayhim: Di dalamnya terdapat tanda bahwa mereka akan tetap di bumi, tetapi mereka tidak mau mengangkat kepala mereka, dan tidak bakal mengindahkan pemimpin mereka.

Di dalamnya terdapat siratan: "Tidak sama bagimu, [wahai Muhammad!, apakah engkau memperingatkan mereka atau tidak], sebab engkau berjasa karena telah menyampaikan pesan (tabligh); Sesungguhnya, مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغ﴿"kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan [amanat Allah]" (Qs. al-Maidah [5]: 99).

Adapun kata ﴾ءَأَنْذَرْتَهُمْ أمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ﴿ - aandzartahum am lam tundzirhum: Di sini, kedudukan "a' - apakah)" dan أمْ﴿ (ataukah) sama seperti huruf yang menandakan ﴾سَوَاءٌ﴿ - sawâun, serta menguatkan kata ﴾سَوَاء﴿ - sawâ’ yang pertama [yang terdapat pada frasa ayat ini]. Atau, [tujuannya] untuk mengarahkan perhatian pada kedua makna kesamaan yang telah disebutkan di atas.

Jika engkau bertanya: Mengapa 'kesamaan' ini dinyatakan dalam bentuk interogatif (shûrat al-istifhâm)?

Engkau akan dijawab: Jika engkau ingin mengingatkan orang bahwa apa yang dilakukannya sia-sia, engkau perlu menanganinya secara lembut dan memberi pemahaman (istifhâm) padanya sehingga dapat menarik perhatiannya terhadap perilakunya. [Selanjutnya,] dia bisa beralih dari perbuatannya ke hasil yang diharapkan, dan merasa tenang.

Juga terdapat hubungan antara bentuk interogatif (istifhâm) dan kesamaan (musâwah), karena pertanyaan mencakupnya. Sebab, jika si penanya mengetahui, sebetulnya sama apakah yang ditanyakannya ada atau tidak. Selain itu, sangat sering jawabannya juga menyiratkan kesamaan ini.


[1] Sebab, mereka bisa saja berargumen dengan mengatakan: "Kami tidak diberitahu bahwa kami akan dimintai pertanggungjawaban, dan kami tidak mengetahui tentang hal itu." Dan ini bisa menyelamatkan mereka dari hukuman. (T: 74)

[2] Sebagaimana di “lâ yu’minûn” dan ayat-ayat serupa. (T: 74)

[3] Kerancuan "dinding yang bisu bicara (al-jidâr al-ashamm al-kalâmi)" itu demikian: Dikatakan, gabungan dari dua hal yang bertentangan itu fakta. Sebab, jika seseorang berkata bahwa semua pembicaraannya saat ini bohong, namun faktanya dia saat ini tidak berbicara apa pun kecuali pembicaraannya ini, maka berarti pembicaraannya tetap bisa mengandung kebenaran dan kebohongan. Jadi, memang harus diakui adanya kedua kontradiksi itu. Jika pembicaraannya benar, maka harus dipastikan pembicaraannya bohong kala itu. Itulah pembicaraan yang dikatakannya saat itu, dan bukan yang lainnya. Jika pembicaraannya bohong, juga mesti tergabung di dalamnya kedua pertentangan tadi. Sebab, pembicaraannya mesti benar sebagiannya saat itu, tapi karena hanya itu pembicaraannya saat itu, maka ia harus dianggap benar. Kerancuan ini dikenal telah membingungkan para sarjana dalam mencari solusinya. Lihat, al-'Ithar 'ala Syarh al-Tahdzib fi al-Manthiq karya al-Khubaishi 141. Juga di Maqalid al-'Ulum 155, dengan definisi: Sesuatu yang tak mungkin diketahui hakekatnya kecuali melalui angka-angka.




62. Page

Jika engkau bertanya: Mengapa peringatan yang diungkapkan dalam ﴾أَنْذَرْتَهُمْ﴿ - andzartahum berbentuk kata kerja lampau (mâdlî)?

Engkau akan dijawab: Untuk menyeru: "Engkau telah mencoba sebelumnya, wahai Muhammad. Jadi, engkau mengetahui apa yang akan terjadi!"

Jika engkau bertanya: Mengapa mengatakan ﴾أمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ﴿ - am lam tundzirhum meskipun jelas sia-sia untuk tidak memperingatkan mereka?

Engkau akan dijawab: Memperingatkan seseorang dapat meningkatkan sikap keras kepalanya, tapi tetap bersikap diam dapat menyebabkannya berpikir adil.

Jika engkau bertanya: Mengapa ayat ini hanya memperingatkan dengan menggertak, padahal Nabi S.a.w seorang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan?

Engkau akan dijawab: Karena gertakan (tarhîb) itu tepat [dilakukan] untuk kekufuran; dan karena mencegah bahaya lebih utama dari menarik manfaat serta lebih efektif; dan karena gertakan (tarhîb) di sini menggetarkan imajinasi dan menyadarkannya bahwa setelah kata-kata ﴾لا يُؤْمِنُون - lâ yu'minûn﴿ (mereka tidak akan beriman), ia akan berhadapan dengan "apakah engkau memberi kabar gembira pada mereka ataukah tidak, [itu sama saja bagi mereka]."

Ketahuilah, sebagaimana semua ucapan memiliki arti literal dan tujuan tersembunyi, ia juga memiliki makna halus yang melayang-layang, dan tujuan yang terbentang, yaitu untuk meringankan kesulitan Nabi dan menghilangkan stres, serta untuk menghiburnya dan menyarankan beliau mengikuti nabi-nabi sebelumnya. Sebab, sebagian besar mereka dibicarakan sama. Bahkan, sesudah [kaumnya menolak seruannya], Nabi Nuh memohon [kepada Tuhan]:

﴿لاَ تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا

"Janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi!" (Qs. Nuh [71]: 26).

 

Juga, karena ayat-ayat al-Qur'an menyerupai cermin yang saling berkaca, dan kisah para nabi seperti halo di sekitar bulan yang melihat ke situasi Nabi S.a.w; seolah-olah bagian kalam ini berkata: "Inilah hukum fitriah ilahi yang harus dipatuhi."

Setelah membuat analisis ini, ketahuilah bahwa seluruh bagian ayat ini dan ayat berikutnya sampai وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم﴿ - wa la-hum 'adzâbun 'adlîm (“mereka akan mendapat azab yang besar”) (Qs. al-Baqarah 2: 7), disampaikan untuk menunjukkan busuknya kekufuran, mencemoohnya, mendorong sikap agar menjauhinya, melarangnya secara implisit, memperhinakan orang-orang kafir, menandai mereka keluar, menakut-nakuti orang lain agar jauh darinya, dan mengancam mereka. Dengan kata-katanya, ayat-ayat ini menyatakan bahwa dalam kekufuran terdapat bencana yang mengerikan, hilangnya karunia besar, timbulnya penderitaan yang berat, dan lenyapnya kenikmatan mulia. Ayat-ayat ini menyatakan secara eksplisit bahwa kekufuran merupakan paling jijiknya segala hal, dan paling berbahaya. Sebab, melalui kata "mereka kafir (kafarû)" sebagai ganti kata "mereka tidak beriman (lam yu'minû)," ditunjukkan bahwa, karena tiadanya keimanan, mereka telah jatuh ke dalam gelapnya kekufuran, yang merupakan musibah yang merusak substansi roh manusia, dan ditunjukkan pula bahwa itulah sumber penderitaan.

Dan dengan lafadz ﴾لا يُؤْمِنُون﴿ - lâ yu'minûn sebagai ganti kata (لا يتركون الكفر - lâ yatrukûna al-kufur) (mereka tidak meninggalkan kekufuran), hendak ditunjukkan bahwa bersama kerugian ini, mereka telah kehilangan keimanan mereka, yang merupakan sumber segala kebahagiaan.

Dengan ungkapan خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ﴿ - khatama Allâh 'alâ qulûbihim﴿ (“Allah telah mengunci hati mereka”), hendak ditunjukkan bahwa setelah mereka kafir, hati dan suara hati mereka -- yang merupakan hidupnya, sukacitanya, kebahagiaannya, dan kesempurnaannya melalui manifestasi hakekat ilahi dengan cahaya keimanan -- menjadi seperti bangunan hancur tanpa penghuni, yang dipenuhi bahaya dan hewan liar. Pintunya terkunci dan disegel, agar dihindari. Bangunan itu ditinggalkan dan dibiarkan untuk kalajengking dan ular.


63. Page

Dengan frasa وَعَلَى سَمْعِهِمْ ﴿ - wa 'alâ sam'ihim (“dan pendengaran mereka”), hendak ditunjukkan bahwa mereka telah kehilangan nikmat besar pendengaran disebabkan kekufuran mereka; karena ketika cahaya keimanan terus [bersinar] di belakang dan memberitahu telinganya, ia dapat merasakan tangisan seluruh dunia dan memahami dzikirnya. Ia mendengar keriuhan alam semesta dan memahami tasbihnya. Bahkan, ketika telinga mendengar kalam rabbani dari desah angin yang bertiup, gemuruh guntur di awan yang berarak, nyanyian laut yang bergelombang, suara ribut dari bebatuan yang berdenyut, derai hujan yang berjatuhan, dan kidung dari burung yang berkicau, serta memahami tasbih mereka yang meninggi, alam semesta menjadi orkestra besar baginya.

Ini membangkitkan kesedihan tinggi dan kerinduan spiritual di dalam hatinya. Dia merasa sedih karena mengingat para teman dan sahabatnya, sehingga kesedihan menjadi nikmat di tengah ketidakhadiran mereka. Ini bukan karena dia tidak memiliki teman-teman, sehingga ia gundah. Tapi ketika telinganya tertutup oleh kekufuran, ia menjadi tuli terhadap suara-suara yang menyenangkan, dan tidak mendengar apa-apa dari alam semesta kecuali teriakan berkabung dan ratapan kematian. Ini membangkitkan ratapan sedih anak yatim di dalam hati; yaitu, kurangnya teman; dan buasnya keterasingan; yakni, tiadanya pemilik atau pamong.

Berdasarkan rahasia inilah syariat menghalalkan sebagian suara yang dapat membangkitkan kerinduan tinggi dan kesedihan cinta, serta mengharamkan sebagian suara yang mengobarkan hawa nafsu dan membangkitkan kesedihan anak yatim. Segala sesuatu yang tidak ditentukan syariat bagimu, nilailah sendiri sesuai dampaknya pada jiwa dan hati nuranimu.

 

Ungkapan وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَة ﴿ - wa 'alâ abshârihim ghisyâwatun (“dan penglihatan mereka telah tertutup”) menyiratkan hilangnya nikmat besar disebabkan kekufuran mereka. Karena, ketika mata terang cahayanya dan terhubung dengan cahaya keimanan yang tinggal di balik pupilnya, membantu dan menggerakkannya, maka seluruh alam semesta menjadi taman surga yang dihiasi bunga-bunga dan bidadari. Cahaya mata menjadi lebah, yang terbang kesana-kemari mengumpulkan dari bunga-bunga itu perasan refleksi, pemikiran, keakraban, keramahan, kecintaan, dan ucapan selamat. Ia mengambil unduhannya, sehingga dalam hati nuraninya ia berubah menjadi madu kesempurnaan. Tapi jika, na'dzu billah, mata tersebut menggelap dan meredup karena kekufuran, dunia pun menjadi penjara dalam pandangannya, hakekat tersembunyi darinya, alam semesta menjadi gurun tandus, serta menimbulkan rasa sakit dalam hatinya, yang menguasai hati nuraninya dari kepala hingga kaki.

Selain itu, dengan frasa عَظِيمٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ ﴿ - wa la-hum 'adhâbun 'adlîm (“dan bagi mereka siksa yang amat berat”), hendak ditunjukkan adanya buah Zaqqum,[1] pohon kekufuran di alam akhirat, yang merupakan azab neraka dan siksa pedih murka ilahi.

Sementara kata ﴾َ لا يُؤْمِنُونَ ﴿- lâ yu'minûn (mereka tidak juga akan beriman), itu menguatkan kata   سَوَاءٌ ﴿- sawâun (“sama saja”) yang memberi penjelasan aspek kesamaan tersebut.

 


[1] Pohon tempat bernaung ahli neraka, disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan hadits. Lihat Lisan al-'Arab 12/286.