AL-BAQARAH AYAT 7

64. Page

Ayat 7

 

﴿ خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم

(Khatama Allâh 'alâ qulûbihim wa 'alâ sam'ihim, wa 'alâ abshârihim ghishâwatun wa la-hum 'adzâbun 'adhîm.)

Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

 

Mukaddimah [Pertama]

Ketahuilah: Di sini kita perlu berhenti sejenak untuk mendengar pendapat para ulama kalam, sebab perang sengit telah dilancarkan di sekitar ayat ini, antara Mu'tazilah, Jabariyah, dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perang seperti ini menarik perhatian pengamat. Karena itu, layak jika kita menyebutkan beberapa argumen utama sehingga dapat diperoleh manfaat darinya.

[Akan terlihat kemudian bahwa] mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan jalan yang lurus, sementara lainnya berlebihan (ifrâth) atau kurang sempurna (tafrîth).

Pertama: Telah ditetapkan bahwa "tidak ada agen yang efektif (muatstsir) di alam semesta selain Allah." Karena itu, tidak ada pendelegasian kekuasaan (tafwîdl).[1]

Kedua:"Allah Maha Bijaksana," sehingga pahala dan hukuman tidak sia-sia atau tanpa hikmah. Karena itu, tidak ada paksaan. Sebagaimana [ide tentang] keesaan Allah (tauhîd) memukul dada Muktazilah, demikian pula [ide tentang] bebasnya Allah dari unsur antropomorfik (tanzîh) menampar mulut Jabariyah.

Ketiga: Segala sesuatu memiliki dua aspek: Aspek luar (mulkiyyah), yang terkadang baik dan terkadang buruk. Bentuk yang berbeda-beda berpengaruh padanya secara bergantian, seperti punggung cermin. Dan aspek batin (malakûtiyyah), yang melihat kepada Sang Pencipta. Hal ini transparan dalam segala hal, seperti bagian depan cermin. Dengan demikian, penciptaan keburukan bukanlah keburukan, karena penciptaan dilihat dari aspek batin (malakûtiyyah) adalah kebaikan. Penciptaan keburukan [dimaksud] untuk menyempurnakan kebaikan, sehingga ia membaik secara tidak langsung melalui yang lainnya. Maka, jangan perhatikan argumen rancu Muktazilah!

Keempat: Al-hâsil bi al-mashdar[2] adalah hasil dari kata benda verbal (mashdar), seperti kematian (al-hâsil bi al-mashdar) merupakan hasil pembunuhan (qathl, kata benda verbal) dan nyeri merupakan hasil dari pukulan (darb - kata benda verbal). Hasil dari kata benda verbal sesuatu itu tetap, dicipta, tak bernyawa (qârr, makhlûq, jâmid), dan atribut tidak dapat diturunkan darinya.[3] Namun, kata benda verbal (mashdar) itu diperoleh (maksûb), relatif (nisbi), dan hipotetis (itibârî), serta atribut dapat diturunkan darinya. Dengan demikian, pencipta pembunuhan (qathl) tidak bisa menjadi pembunuh (qâthil). Jadi tinggalkanlah Muktazilah, في خوضهم يَلْعَبُون"biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan." (Lihat, Qs. al-An'am [6]: 91)

Kelima: Perbuatan lahiriah atau semu pada umumnya merupakan hasil dari tindakan berangkai yang berakhir pada 'kecenderungan' (mayalân) seseorang, yang disebut bagian kehendak atau akhtiar (juz ikhtiyârî). Pertikaian berputar-putar di atas asas ini.

Keenam: Kehendak universal ilahi melihat kepada kehendak tertentu hamba-Nya, melalui hukum ilahi di alam semesta ('âdât Allâh). [Maksudnya, kehendak-Nya diwujudkan sesuai dengan kehendak hamba-nya,] sehingga tidak ada paksaan.

Ketujuh: Pengetahuan tergantung pada hal yang diketahui; tapi hal yang diketahui tidak tergantung pada pengetahuan. Jika tidak, maka akan menjadi argumen melingkar. Jadi seseorang tidak bisa

[1] Sebagaimana ditegaskan Mu'tazilah bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. (T: 79)

[2] Seperti sakit dan kematian, yang disebabkan pukulan atau pembunuhan. (T: 79)

[3] Maksudnya, kata benda aktif (isim fa'il) tidak dapat diturunkan dari sesuatu yang bernyawa (jâmid), sebagaimana dikenal dalam tata bahasa ('ilm al-sharf). (T: 80)




65. Page

membuat-buat alasan tentang, [atau melepaskan tanggung jawab atas], tindakannya dengan menganggap takdir sebagai penyebabnya, [dan mengklaim bahwa semuanya sudah ditentukan takdirnya].

Kedelapan: Penciptaan hâsil bi al-mashdar tergantung pada 'akuisisi' kata benda verbal (mashdar) melalui pemberlakuan hukum ilahi di alam semesta ('âdât Allâh) sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan-Nya untuk itu. Sementara itu, inti dalam akuisisi kata benda verbal itu dan kekuatan-hidupnya adalah kecenderungan (mayalân). Ketika ini sudah berhasil dituntaskan, inti permasalahan bisa terselesaikan.

Kesembilan: Preferensi (tarajjuh) tanpa sebab atau atribut yang menyebabkannya adalah mustahil, tapi pilihan (tarjîh) tanpa sebab atau atribut yang menyebabkannya bukanlah mustahil. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya tujuan (gharad) atau penyebab ('illat) dalam tindakan Allah; bahkan, satu-satunya agen pilihan (murajjih) adalah kehendak-Nya.

Kesepuluh: Sesuatu yang maujud tentu harus memiliki agen atau pelaku yang efektif (mu'atstsir) [untuk mewujudkannya]. Jika tidak, preferensi tanpa sebab atau atribut yang menyebabkannya akan diperlukan, dan ini mustahil sebagaimana ditunjukkan di atas. Namun, masalah teoritis (amr i'tibârî)[1] [seperti kehendak dan kecenderungan manusia] dapat ditentukan (takhassus) tanpa ada yang menentukannya (mukhasshis); ini belum tentu mustahil. [Artinya, ketika kecenderungan manusia tidak memiliki eksistensi eksternal, ia tidak memerlukan penyebab.]

Kesebelas: Untuk bisa mewujud, suatu makhluk (maujud) haruslah wajib [keberadaannya].[2] Tapi hal-hal teoritis bisa lebih diutamakan (tarajjuh) tanpa harus mencapai tingkat kebutuhan, sehingga tidak mengharuskan kemungkinan yang mewujud tanpa agen yang efektif (mu'aththir).

Kedua belas: Pengetahuan tentang wujud sesuatu tidak mengharuskan pengetahuan tentang esensinya; dan tidak adanya pengetahuan tentang esensi tersebut tidak mengharuskan ketiadaannya. Jadi ketidakmampuan untuk menentukan sifat kehendak yang sebenarnya tidaklah menafikan kepastian keberadaannya.

Jika engkau telah memahami prinsip-prinsip ini, sekarang dengarkan apa yang harus dikatakan:

Kami kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan: Wahai Mu'tazilah! Hamba [Allah] bukanlah pencipta hâshil bi al-mashdar.[3] Dia hanya mashdar atau sumber perbuatannya.[4] Sebab, "tidak ada pelaku (efektif) di alam ini selain Allah." Tauhid mengharuskan demikian.

Selanjutnya, kami katakan: Wahai pengikut Jabariyah! Hamba (Allah) tidak berada di bawah paksaan, karena dia memiliki sisi kehendak (juz 'ikhtiyârî), sebab Allah itu Maha Bijaksana. Tanzîh (bebasnya Allah dari semua cacat) mengharuskan demikian.

Jika kalian bertanya: Setiap kali sisi kehendak manusia dibedah, tak ada yang timbul darinya kecuali nasib keputusan ilahi (al-jabr)?

Kalian akan dijawab:

Pertama: Hati nurani dan fitrah menyaksikan adanya sesuatu yang sulit dipahami yang membedakan antara hal yang bersifat kehendak (ikhtiyârî) dan hal yang bersifat mesti (idhthirârî), yang keberadaannya pasti. Tapi kita tidak bersalah jika kita tidak bisa mendefinisikannya.

Kedua: Kami mengatakan bahwa jika kecenderungan (mayalân) merupakan sesuatu yang maujud -- seperti diklaim kaum Asy'ariyah[5] -- maka tindakan di dalamnya merupakan masalah teoritis (amr i'tibârî) yang berkaitan dengan manusia.[6] Tapi, jika kecenderungan merupakan masalah teoritis --

[1] Masalah yang tanpa wujud kecuali dalam pikiran orang yang mengungkapkannya selama diungkapkan. Lihat al-Ta'rifat 54.

[2] Yakni, suatu hal tidak bisa menjadi ada jika keberadaannya tidak wajib; keberadaannya menjadi wajib hanya dalam hubungannya dengan dua kehendak, yang universal dan yang partikular; kemudian memiliki keberadaan seketika. (T: 80)

[3] Yakni, hasil perbuatannya. Inilah yang diistilahkan dengan "kasab." (T: 81)

[4] Tak ada yang berada di tangan hamba kecuali kasab atau hasil usahanya. (T: 81)

[5] Mazhab pemikiran Islam Sunni yang memiliki satu metode kalam terkait akidah. Dasarnya, takwil terhadap sifat-sifat Allah S.w.t, sesuai kemestian bahasa, untuk membebaskan-Nya dari penyamaan dengan makhluk-Nya. Mazhab ini berasal dari Abu Hasan al-Asy'ari, penulis kitab al-Inabah. Lihat al-Firqah al-Islamiyyah karya Dr. Mazru'ah 147-162.

[6] Artinya, peralihan kecenderungan tersebut dari satu perbuatan ke perbuatan lainnya. (T: 81)




66. Page

sebagaimana dikatakan kaum Maturidiyah[1] -- kepastian keberadaannya (tsubût) dan kekhususannya (takhasshus) tidak memerlukan penyebab utuh ('illat tâmmah)[2] yang wajib ada,[3] sehingga kecenderungan tidak selalu harus ditindaklanjuti.[4] Pikirkan hal ini dengan hati-hati!

Ringkasan: Sesuai hukum ilahi di alam semesta, hâshil bi al-mashdar tergantung pada mashdar atau sumber,[5] yang dasarnya adalah kecenderungan (mayalân). Kecenderungan itu sendiri -- atau tindakan di dalamnya -- bukan sesuatu yang maujud sampai dispesifikasi[6] dengan cara ini atau itu yang memungkinkan tanpa harus memiliki agen yang efektif, atau harus memiliki agen preferensi tanpa ada yang menyebabkannya. Juga, [kecenderungan maupun tindakan di dalamnya] itu tidak harus bukan mawjud sehingga tak layak menjadi syarat penciptaan hâshil bi al-mashdar, atau penyebab pahala dan hukuman.

Jika engkau bertanya: Pengetahuan azali dan kehendak azali akan mencabut kehendak bebas (ikhtiyâr) dan menghapusnya?[7]

Engkau akan dijawab: Pengetahuan tentang perbuatan yang dilakukan karena kehendak tidak meniadakan kehendak itu.[8]

Juga, pengetahuan azali meliputi semua, seperti langit, yang tidak memiliki awal rangkaian atau titik permulaan masa lalu hingga berbagai akibat harus secara salah dinisbahkan kepadanya dengan mengabaikan penyebabnya.

Juga, pengetahuan tergantung pada hal yang diketahui (ma'lûm), yaitu: pada bagaimananya hal yang diketahui ini. Demikian pula, pengetahuan meliputi hal yang diketahui ini, sehingga ukuran dan kriteria hal yang diketahui ini tidak didasarkan pada prinsip-prinsip takdir ilahi.

Juga, kehendak ilahi tidak terkait dengan sebab saja satu kali, dan dengan akibatnya sekali lagi, sehingga kehendak (ikhtiyâr) dan penyebabnya tidak efektif. Tapi, ia terkait dengan akibat dan penyebabnya sekaligus.

Karena itu, jika misalnya seseorang membunuh orang lain dengan senapang, dan kita mengandaikan tiadanya sebab dan dugaan apa pun, apakah orang tersebut akan meninggal seketika itu atau tidak?

Kaum Jabariyah mengatakan: Jika tidak terbunuh, orang itu akan tetap mati. Sebab, mereka berpendapat bahwa kehendak ilahi berhubungan dengan sebab dan akibat secara terpisah, dan bahwa terdapat keterpisahan di antara keduanya.

Sementara itu, kaum Muktazilah mengatakan: Dia tidak akan mati. Sebab, menurut mereka, bisa saja akibat (lit. apa yang dimaksudkan) tertinggal di belakang kehendak ilahi.

Adapun kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mengatakan: Kami menghentikan [argumentasi, dan] diam. Sebab, menganggap tidak adanya sebab apa pun juga menuntut adanya asumsi bahwa kehendak dan pengetahuan ilahi tidak berhubungan dengan akibat. Padahal kehendak dan pengetahuan itu berhubungan dengan keduanya secara bersama-sama. Asumsi yang salah ini mesti mustahil. Pikirkan ini secara hati-hati!

 


[1] Salah satu kelompok Islam yang berusaha meneguhkan akidah menggunakan dalil-dalil 'aqli (akal) yang dibimbing dengan dalil-dalil naqli. Imamnya Abu Manshur Muhammad al-Maturidi, wafat pada 333 H. Lihat al-Firaq al-Islamiyyah karya Dr. Mazru'ah halaman 163 dan sesudahnya.

[2]‘Illat tammah (alasan utuh) ialah yang obyek alasannya harus ada. Illat tammah juga disebut keseluruhan hal yang keberadaan sesuatu tergantung padanya. Lihat al-Ta’rifat 201, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif 523.

[3] Sebab, tak ada lagi hajat pada kehendak universal. (T: 81)

[4] Artinya, sangat sering tidak ada tindakan yang terjadi pada saat terjadinya kecenderungan. Dengan demikian, tidak ada paksaan. (T: 81)

[5] Pada adat ketentuan Allah yang berlaku. (T: 81)

[6] Hingga membutuhkan agen (muatstsir). (T: 81)

[7] Sebab, agen muatstsir itu adalah qudrat, bukan ilmu yang tergantung pada sesuatu yang diketahui. (T: 82)

[8] Sebab, agen yang efektif adalah qudrat, bukan pengetahuan, yang tergantung pada apa yang diketahui.




67. Page

Mukaddimah Kedua

Ketahuilah: Kaum naturalis mengatakan bahwa penyebab memiliki akibat aktual.

Kaum Zoroaster mengatakan bahwa kejahatan memiliki penciptanya yang lain.

Kaum Mu'tazilah menyatakan bahwa makhluk hidup menciptakan [sendiri] perbuatan ikhtiar mereka.

Ketiganya didasarkan pada angan-angan batil, kesalahan murni, pelabrakan batas, dan analogi palsu, yang telah menipu dan menyesatkan mereka. Sebab, bertolak dari pernyataan ini mereka telah menyatakan Allâh bebas dari unsur antropomorfik (tanzîh), atau seperti yang mereka duga, sehingga mereka jatuh ke dalam perangkap syirik. Jika engkau ingin mempelajari rinciannya, dengarkan hal-hal berikut, yang dapat melenyapkan angan-angan mereka.

Pertama: Pendengaran manusia, sebagaimana pembicaraan, penglihatan, dan pemikirannya, semuanya bersifat partikular (juz-iyyah); dia hanya bisa berhubungan dengan sesuatu satu demi satu, pada suatu waktu secara bergantian. Demikian pula, aspirasinya bersifat partikular. Dia dapat menyibukkan diri dengan sesuatu hanya secara bergiliran.

Kedua: Nilai manusia [ditakar] sesuai dengan esensinya (mâhiyah). Dan apa yang dimilikinya akan bernilai sederajat dengan aspirasinya. Dan aspirasinya akan bernilai relatif sesuai dengan pentingnya tujuan dari pengabdian dirinya.

Ketiga: Manusia akan lenyap di dalam apa yang menjadi perhatiannya dan yang tertangkap oleh [persepsi]nya. Karena alasan inilah, engkau melihat manusia -- dalam kehidupan mereka sehari-hari -- menganggap hal remeh dan partikular sebagai sesuatu yang tak penting bagi orang besar dan tinggi, tetapi hanya sebagai penyebab dan perantara. Mereka mengira, menyibukkan diri dengan hal-hal kecil tidak layak dengan martabat mereka. Mereka tidak berkenan untuk berurusan dengan hal-hal seperti itu atau untuk menghabiskan upaya mereka pada hal-hal yang tidak ada konsekuensinya. Hal-hal remeh tersebut tidak sesuai dengan ambisi mereka yang besar.

Keempat: Ciri manusia, ketika memikirkan sesuatu untuk menimbangnya[1], ia pertama-tama mengusahakan kriterianya, hubungannya, dan prinsip-prinsipnya, dari dalam dirinya sendiri; kemudian dari sesama manusia; dan jika ia tidak dapat menemukannya di sana, ia mengusahakannya dari kemungkinan-kemungkinan lain di sekitarnya. Bahkan, ketika ia merenungkan Dzat Yang Wajid Ada, yang sama sekali tidak menyerupai kemungkinan-kemungkinan yang ada, daya duganya (quwwat wâhimah) memaksanya mengambil khayalan jahat tersebut di atas sebagai prinsipnya, dan menggunakan analogi yang menipu sebagai teleskopnya. Padahal, Sang Pencipta Yang Maha Mulia tidak melihatnya dari titik ini, sebab qudrat-Nya tidak terbatasi.

Kelima: Qudrat-Nya, pengetahuan-Nya, dan kehendak-Nya S.w.t seperti cahaya matahari -- "dan milik Allah perumpamaan tertinggi" (16: 60) -- meliputi segala sesuatu dan mencakup semua hal. Ia tidak bisa dibatasi atau dibandingkan dengan apa pun. Sebagaimana ia terkait (ta'alluq) dengan hal paling besar, seperti Arasy, ia juga melihat ke hal terkecil, seperti partikel atau atom[2] (jawhar fard). Sebagaimana ia menciptakan matahari dan bulan, ia juga membuat mata kutu dan nyamuk. Sebagaimana ia menerapkan tatanan tinggi di alam semesta, ia juga menerapkan sistem canggih dalam perut makhluk organik mikroskopis.[3] Dan sebagaimana ia mengikat benda-benda angkasa dan bintang-bintang, dengan disanggah hukum-Nya yang dikenal sebagai gravitasi [di ruang angkasa], ia juga menata partikel paling kecil melalui hukum yang sama, seolah-olah sebagai contoh yang diperkecil darinya. Melalui intervensi ketidakmampuan, derajat yang berbeda-beda bisa terjadi pada qudrat. Jadi, segala sesuatu sama di hadapan qudrat Dzat. Dan mustahil terjadi ketidakmampuan pada-Nya, sebab ketidakmampuan merupakan kebalikan dari qudrat.


[1] Istilah muhakamah di sini merupakan istilah bahasa Turki yang bermakna pengaturan dan penetapan atas sesuatu.

[2] Jawhar fard adalah ukuran yang tak dapat dibagi. Lihat Mu’jam Maqalid al-‘Ulum 72, al-Hudud al-Anifah 71.

[3] Khurdabineeh, istilah bahasa Persia, yang berarti hal-hal yang halus dan kecil. Lihat al-Mu’jam al-Farisi al-‘Arabi al-Mujaz 121.



68. Page

Keenam: Yang pertama-tama terikat (ta'alluq) dengan qudrat ilahi adalah aspek batin (malakûtiyya) sesuatu, dan ini transparan serta indah dalam segala hal, sebagaimana telah dibahas. Ya, sebagaimana Dzat Yang Maha Tinggi membuat wajah matahari bersinar terang dan wajah bulan berpijar, demikian pula Dia membuat wajah batin malam dan awan indah bercahaya.

Ketujuh: Pikiran manusia tidak cukup mampu untuk mengukur keagungan Allah S.w.t, menimbang-nimbang kesempurnaan-Nya, atau menilai sifat-Nya. Ini sama sekali tidak mungkin, kecuali dalam satu aspek, yaitu hanya dari apa yang dihasilkan dari keseluruhan produk ciptaan-Nya, dari apa yang termanifestasikan dari semua karya-Nya, dan dari apa yang dapat dicontohkan dari semua tindakan-Nya.

Ya, sebuah atom hanya dapat menjadi cermin, bukan alat untuk mengukur.

Jika engkau telah memahami masalah-masalah ini, ketahuilah bahwa Dzat Yang Wajib Ada S.w.t tidak bisa dibandingkan dengan makhluk yang serba mungkin, sebab itu memang berbeda seperti tanah dan bintang Kejora. Tidakkah engkau melihat kaum Naturalis, Muktazilah, dan Zoroaster -- disebabkan akal mereka dikuasai kekuatan imajinasi melalui perbandingan [palsu] ini -- mereka cenderung beranggapan bahwa akibat hakiki itu berasal dari penyebab, penciptaan tindakan itu berasal dari makhluk hidup, dan penciptaan kejahatan itu berasal dari selain Allah S.w.t. Melalui dugaan dan imajinasi mereka, mereka bertanya-tanya bagaimana, dengan keagungan-Nya dan kebebasan-Nya dari cacat (tanazzuh), Allah berkenan [menciptakan] hal-hal hina dan sesuatu yang buruk ini? Persetan dengan mereka! Bagaimana bisa mereka membelenggu akal mereka dengan anggapan lemah seperti ini?

Tapi, sayangnya, [bisikan] keragu-raguan yang demikian juga telah menimpa orang beriman. Maka hindarilah!

 

Adapun analisa tentang kata-kata ayat ini dan nadzamnya, sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa pengaitan kata خَتَمَ﴿ - khatama (“telah mengunci-mati”) dengan kata لاَ يُؤْمِنُونَ﴿ - lâ yu'minûna ("mereka tidak akan beriman”) dan peletakan kata itu [langsung] sesudahnya, sama seperti menjadikan hukuman sebagai konsekuensi dari perbuatan, seolah-olah ia hendak mengatakan, "Karena mereka telah merusak aspek ikhtiar mereka dan tidak mau beriman, mereka [akhirnya] dihukum dengan mengunci dan menutup hati mereka."

Selanjutnya, kata خَتَمَ﴿ juga memperlihatkan metafora ganda,[1] yang menunjukkan tamsil parabolis sebagai perangkat [sastra] (uslûb tamtsîlî), yang [pada gilirannya] mengisyaratkan pepatah yang menggambarkan kesesatan mereka, sebab maksudnya ialah mencegah penetrasi kebenaran ke dalam hati. Istilah 'kunci atau segel' (الختم - khatm) menggambarkan hati sebagai rumah yang dibangun oleh Allah S.w.t sebagai khazanah penuh permata. Namun, karena penyalahgunaan kehendak (ikhtiyar), [hati] itu rusak dan membusuk, serta apa yang dikandungnya telah berubah menjadi racun sehingga harus dikunci dan disegel, agar dihindari.

Adapun kata اللَّهُ﴿ - Allah, ketahuilah bahwa penggunaan [kata benda nama bukan kata ganti orang pertama] menandakan pengalihan (iltifât) dari orang pertama ke orang ketiga. Ini mengandung nuktah halus yang terkait dengan hubungan yang diniatkan dari kata اللَّهُ﴿ dengan kata لاَ يُؤْمِنُونَ﴿. Saya maksudkan bahwa lafadz pada اللَّهُ﴿ menunjukkan arti halus berikut: ketika cahaya pengetahuan Allah datang kepada mereka, mereka tidak membuka pintu hati mereka untuk itu, sehingga Dia berpaling dengan murka dari mereka dan mengunci pintu atas mereka.

Penggunaan ﴾عَلَى﴿-'alâ (“pada”) dengan kata kerja transitif خَتَمَ﴿ menunjukkan bahwa kata kerja itu meliputi arti mencap,[2] seolah-olah ia mengatakan: Allah telah mengunci mati hati mereka, mencap dan menandai mereka sehingga para malaikat melihat mereka.


[1] Metafora ganda (majaz murakkab), sebagaimana disebut al-Qazwaini, dipergunakan untuk hal yang maknanya menyerupai makna aslinya. Metafora ini terbagi tiga, yaitu tamtsiliyyah sebagaimana digunakan di sini, lalu murassyihah, dan mujarradah. Lihat al-Idlah fi 'Ulum al-Balaghah 284, Mu'jam al-Musthalahat al-Balaghiyyah 1/156.

[2] Kata "khatama" mengandung makna kata kerja lainnya, yaitu "wasama" (memberi cap), karena itu dikatakan "khatama 'alâ." Kandungan itu berarti menaruh kata di tempat lainnya dan memperlakukannya seperti perlakuannya karena maknanya terkandung dan tercakup di dalamnya.




69. Page

Kata ﴾عَلَى﴿ juga menunjukkan bahwa yang ditutup adalah pintu atas hati mereka, bukan pintu bawahnya yang melihat ke dunia.

Adapun kata ﴾قُلُوبِهِمْ﴿ - qulûbihim ("hati mereka”), ia didahulukan atas pendengaran dan penglihatan karena hati merupakan tempat keyakinan; karena ia bukti pertama Sang Pencipta dimanifestasikan dari konsultasi hati dengan dirinya sendiri, dan dari rujukan hati nurani kepada fitrahnya. Sebab, saat seseorang berkonsultasi pada dirinya, ia merasakan ketidakberdayaan akut yang mendorongnya untuk mencari titik sandaran, dan ia melihat kebutuhan besar harus memenuhi harapannya, serta ia dipaksa untuk menemukan sumber bantuan. Tetapi tidak ada dukungan yang bisa ditemukan dan tidak ada bantuan kecuali melalui keimanan.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan hati adalah perangkat lembut rabbani, bukan potongan daging berbentuk seperti kerucut, di mana emosi termanifestasikan dalam hati nurani dan pikiran terefleksikan di dalam otak. Istilah hati menunjukkan bahwa perangkat lembut rabbani diperuntukkan dimensi spiritual manusia, sebagaimana potongan daging berbentuk kerucut tadi diperuntukkan tubuh. Sebab, sebagaimana jantung fisik itu merupakan mesin hidup yang memompa air kehidupan ke semua bagian tubuh, dan jika terhambat atau berhenti bekerja, [maka kehidupan pun lenyap dan] tubuh meregang; demikian pula perangkat lembut batin membagi-bagikan cahaya kehidupan yang sebenarnya ke semua bagian tubuh yang membentuk aspek spiritual manusia, kondisi [jiwa]nya, dan harapannya. Dan jika -- kita berlindung pada Allah -- terang keimanan memudar, esensinya yang dengannya ia menentang alam semesta, menjadi seperti hantu tak bergerak, gelap secara keseluruhan.

Adapun kata ﴾وَعَلَى سَمْعِهِمْ﴿ - wa 'alâ sam'ihim ("dan pada pendengaran mereka”): Pengulangan ﴾عَلَى﴿ menunjukkan bahwa bukti dari masing-masing [perangkat] itu terpisah. Sebab, hati [mengarah pada Allah] dengan bukti-bukti dari akal dan hati nurani, sementara pendengaran [mengarah kepada-Nya] dengan bukti-bukti dari al-Qur'an dan hadits (naqli) serta dari dunia luar. Pengulangannya juga mengisyaratkan bahwa penyegelan atas pendengaran bukan dari jenis yang sama dengan penyegelan atas hati.

Selain itu, digunakannya bentuk kata tunggal "pendengaran" walaupun kata-kata pada kedua sisinya [yaitu, hati dan mata] berbentuk jamak, itu merupakan sebuah contoh keringkasan, dan juga mengandung beberapa tanda: ia mengisyaratkan bahwa sebagai kata benda verbal (mashdar), [tindakan] mendengarkan (sam'u) [dilakukan dengan telinga, yang] tidak memiliki penutup [seperti kelopak mata]; bahwa seseorang yang mendengarkan (musmi') itu tunggal; bahwa apa yang didengar (masmû') oleh setiap orang juga tunggal; dan bahwa seseorang mendengar satu hal pada suatu waktu. Dan ia mengisyaratkan kemitraan dari semua orang yang mendengar, seakan telinga mereka berpadu menjadi satu; ia menunjukkan penyatuan masyarakat dan personifikasinya, yang membuat orang membayangkan bahwa perangkat pendengaran itu tunggal; dan bahwa satu orang yang mendengar sesuatu sudah cukup bagi masyarakat. Karena poin-poin inilah, balaghah menuntut "pendengaran" harus dalam bentuk tunggal. Namun, hal-hal yang terkait dengan hati dan mata berbeda-beda, cara-caranya beragam, bukti-buktinya bermacam-macam, dan keduanya menerima instruksi dari hal yang berbeda-beda, serta sesuatu yang mendorong keduanya juga berbagai-bagai. Karena alasan inilah, kata tunggal [pendengaran] diletakkan di antara kedua kata berbentuk jamak. Kata "hati" diikuti dengan kata "pendengaran" langsung sesudahnya, karena pendengaran membentuk sifat hati [yaitu, sebagian besar informasi mencapai hati melalui saluran telinga], dan ia lebih dekat darinya. Juga, pendengaran menyerupai hati dalam menerima informasi dari enam arah, [dari semua sisi, sementara mata hanya melihat ke depan].

 Adapun kata غِشَاوَةٌ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ ﴿ - wa 'alâ absârihim ghishâwatun ("dan penglihatan mereka ditutup”), ketahuilah bahwa perubahan gaya, yaitu, pilihan kalimat nominal, menunjukkan bahwa -- berbeda dari kebun pendengaran dan hati, yang terus diperbaharui -- kebun mata yang darinya dikumpulkan bukti-bukti, [kondisinya] tetap dan konstan. Dan dengan menganggap penyegelan [hati] berasal dari Allah S.w.t, dan tidak demikian halnya dengan penutupan [mata], itu menunjukkan bahwa penyegelan [hati] merupakan hukuman atas apa yang telah mereka kerjakan, sedangkan penutupan [mata] 

70. Page

termasuk perbuatan mereka sendiri. Ini juga merupakan tanda bahwa pada permulaan pendengaran dan hati terdapat pilihan (ikhtiyar), sementara pada permulaan mata [penglihatan] terhadap paksaan; yaitu, terdapat pilihan hanya sebatas menutup mata seseorang. Istilah غِشَاوَةٌ﴿ menunjukkan bahwa mata melihat hanya satu arah. Dan penggunaannya berbentuk kata tak terbatas ini dimaksud untuk menunjukkan keterbatasannya; yaitu, penyebab kebutaan tidak diketahui sehingga mungkin bisa dicegah. Dan didahulukannya kata وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ﴿ dimaksud untuk mengarahkan perhatian ke mata mereka, sebab mata merupakan cermin rahasia hati.

 

Adapun kata ﴾وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿ - wa la-hum 'adzâbun 'adhîm ("dan bagi mereka siksa yang amat berat”): Ketahuilah bahwa sebagaimana dengan kalimat ini ia hendak menyinggung buah pahit pohon terkutuk kekufuran di dunia; ia juga menunjukkan buah pahit sisinya yang meluas ke akhirat, yang merupakan pohon Zaqqum neraka.

Juga, gaya bahasa di sini membutuhkan ungkapan seperti "وعليهم عقاب شديد - wa 'alayhim''iqâbun syadîd" (bagi mereka siksa yang amat berat). Sebab, dalam penggantian kata-kata yang sepatutnya untuk karunia, yaitu "عليهم - 'alayhim" dengan "وَلَهُم - la-hum," kata "عقاب - 'iqâbun" dengan "عَذَابٌ - 'adzâbun," dan kata "شديد - syadîd" dengan "عَظِيمٌ - 'adhîm," terdapat tanda bahwa itu semacam sindiran ejekan hukuman, seolah-olah [al-Qur'an] mengatakan: "Manfaat mereka, kesenangan mereka, nikmat besar mereka, tak lain kecuali siksaan." Ini menyerupai perkataan: "Ucapan selamat di antara mereka hanya akan menjadi pukulan menyakitkan,"[1] dan ayat: فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ ألِيم﴿"Berilah kabar gembira kepada mereka dengan siksaan yang pedih" (Qs. Alu Imran [3]: 21). Sebab "la-"[2] pada kata "وَلَهُم" menunjukkan konsekuensi dari perbuatan dan manfaatnya, seolah-olah ia membacakan kepada mereka [dengan nada mengejek]: "Terimalah balasan perbuatan kalian!"

Di kata "عَذَابٌ - 'adzâbun," terdapat isyarat tersembunyi yang mengingatkan mereka bahwa mereka memperoleh kesenangan di dunia ini melalui maksiat, seakan ia hendak mengatakan kepada mereka: "Sekarang rasakan pahitnya [buah kehidupan] manis kalian!"

Dan di dalam kata "عَظِيمٌ - 'adhîm" terdapat pertanda tersembunyi yang mengingatkan mereka tentang keadaan [penduduk] surga yang menerima nikmat luar biasa, seolah-olah ia berbisik kepada mereka: "Lihatlah karunia besar yang telah kalian lenyapkan, dan bagaimana kalian telah jatuh ke dalam penderitaan yang pedih."

Kata "عَظِيمٌ - 'adhîm" juga memperkuat tanwîn (ketaktentuan) pada kata "عَذَابٌ - 'adzâbun."

Jika engkau bertanya: Maksiat kekufuran terjadi dalam waktu singkat, tapi hukumannya kekal dan tak berujung; bagaimana ini selaras dengan keadilan ilahi?

Dan jika ini diterima, bagaimana konsisten dengan hikmah azali?

Dan jika ini diterima, bagaimana pula kasih sayang rabbani mengizinkannya?

Engkau akan dijawab: Bersama penerimaan hukuman yang tak terbatas itu, sesungguhnya kekufuran yang dilakukan dalam waktu yang terbatas merupakan kejahatan tak terbatas melalui enam aspek:

 

Pertama: Orang yang mati dalam keadaan kafir, dia akan tetap seperti itu bahkan jika ia hidup selama-lamanya, karena ia telah merusak substansi paling dalam dari jiwanya. Dan hatinya yang rusak memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan yang tak terbatas.

Kedua: Bahkan jika kekufuran terjadi dalam waktu yang terbatas, namun tetap itu merupakan kejahatan tak terbatas, dan merupakan pemberian kebohongan tak terbatas, maksud saya, ia menyangkal seluruh alam semesta, yang bersaksi atas keesaan Tuhan (wahdâniyyah).

Ketiga: Kekufuran merupakan sikap tak bersyukur atas nikmat yang tak terbatas.


[1] Ini potongan bait syair karya Amru bin Ma'ad Yakrub yang terdapat di kitab kumpulan syairnya hal 149. Lihat al-Khashaish 1/368, al-Mumatthi'260, dan Khazanat al-Adab 9/252.

[2]"Lam al-'aqibah" (huruf lam untuk menunjukkan akibat), yang dinamai juga "lam al-shayrurah" oleh para ulama Kufah. Lihat al-Lamat karya al-Zujaji 119-121.




71. Page

Keempat: Kekufuran merupakan kejahatan terhadap yang tak terbatas; yaitu, dzat dan sifat ilahi.

Kelima: Sesuai rahasia hadits, "Bumi dan langitku tidak muat bagiku, tapi hati orang beriman memuatku,"[1] hati nurani manusia meskipun wajah luarnya terbatas dan tertentu, namun pada hakekatnya akar wajah batinnya menyebar dan meluas ke keabadian. Dalam hal ini, karena itu, ia tak terbatas. Hanya saja, akibat kekufuran, ia ternoda dan meredup.

Keenam: Meskipun para lawan saling menolak satu sama lain dengan kerasnya, mereka sama dalam banyak hal. Sebagaimana, keimanan di satu sisi menghasilkan buah kelezatan abadi [surga], demikian pula kekufuran di sisi lain menghasilkan penderitaan menyakitkan yang kekal abadi.

Karena itu, dari penggabungan keenam aspek ini secara bersama-sama, mungkin dapat disimpulkan bahwa hukuman yang tak terbatas tak lain sesuai dengan kejahatan yang tak terbatas, dan tak lain itulah yang merupakan keadilan murni itu sendiri.

 

Jika engkau bertanya: Jadi, itu selaras dengan keadilan, tapi bagaimana dengan hikmah kebijaksanaan, yang bebas dari penciptaan kejahatan yang berakibat pada hukuman?

Engkau akan dijawab: Seperti yang telah engkau dengar sebelumnya, kebaikan yang banyak tidak boleh ditinggalkan karena ternoda kejahatan yang lebih kecil, sebab itu akan menjadi kejahatan yang lebih besar lagi. Hal ini karena hikmah ilahi mengharuskan adanya kebenaran relatif, yang jauh lebih banyak dari kebenaran aktual; tidak mungkin penampilannya terjadi kecuali melalui adanya kejahatan; dan tidak mungkin kejahatan dapat dihentikan pada batasnya, tidak mungkin agresi dapat dicegah, kecuali melalui gertakan peringatan (tarhîb); serta tidak mungkin gertakan peringatan ini benar-benar akan mempengaruhi hati nurani kecuali jika [bisa] diverifikasi dan diaktualisasikan melalui adanya siksaan eksternal; sebab, sebagaimana akal dan imajinasi, hati nurani akan benar-benar terpengaruh oleh gertakan peringatan itu hanya jika ia dapat melihat realitas siksaan eksternal yang abadi dari berbagai indikasi. Inilah hikmah murni setelah orang dipengaruhi perasaan takut terhadap neraka yang dialaminya di dunia, karena ia akan [mengalaminya pula kelak] di akhirat.

 

Jika engkau bertanya: Jadi, itu konsisten dengan hikmah ilahi juga, tapi bagaimana kasih sayang mengizinkannya?

Engkau akan dijawab: Orang-orang kafir tak dapat dipahami kecuali dikaitkan dengan ketiadaan atau keberadaan [mereka] dalam siksa. Jika engkau mengamatinya lebih dalam di lubuk hatimu, [engkau akan memahami bahwa] keberadaan (wujûd), walaupun itu di neraka, merupakan rahmat dan lebih baik ketimbang ketiadaan ('adam). Sebab, jika engkau menganalisanya dengan cermat, [engkau akan melihat bahwa] ketiadaan merupakan kejahatan murni; bahkan, ketiadaan merupakan sumber dari semua kemalangan dan dosa. Sedangkan keberadaan merupakan kebaikan murni, bahkan jika itu di neraka.

Selain itu, di antara ciri fitrah roh manusia -- jika ia mengetahui bahwa siksaan menghapus kejahatan dan dosa -- harus puas dengannya, untuk meringankan beban rasa malu kejahatan. Kemudian ia akan mengakui bahwa hukuman itu adil dan ia layak menerimanya. Bahkan, karena cintanya pada keadilan, ia bersenang-senang dengannya secara maknawi. Betapa banyak orang terhormat (nâmûs) di dunia ini yang merindukan pelaksanaan keadilan pada diri mereka sendiri agar bisa bebas dari rasa malu [akibat] kejahatan mereka.

[Orang-orang kafir] masuk ke neraka dan tinggal di sana selama-lamanya sebagai tempat tinggal abadi mereka. Tapi, setelah beberapa waktu membayar hukuman atas tindakan mereka, mereka sudah seperti terbiasa dengan hal itu, bahkan jika mereka tidak menerimanya. Mereka berusaha beradaptasi dengan

[1] Hadits ini disebutkan di dalam al-Ihya' dengan kalimat serupa. Al-'Iraqi dalam takhrijnya menyebut hadits ini tak jelas sumbernya, lihat Kasyf al-Khafa' karya al-'Ajluni 2/195 secara ringkas. Imam al-Suyuthi menyebutkan di dalam al-Durr al-Muntatsirah bahwa Imam Ahmad meriwayatkan masalah zuhud dari Wahab bin Munabbih bahwa Allah membukakan langit bagi Khuzaqil hingga dia melihat ke Arasy. Khuzaqil pun berkata, "Maha Suci Engkau, betapa agung Engkau, ya Rabb!" Lalu Allah berfirman, "Langit dan bumi lemah untuk memuat-Ku, dan hati mukmin yang lembut memuat-Ku." Ibnu Hajar al-Haitsami juga mengatakan soal ini dikaitkan dengan sikap kaum sufi, di dalam al-Fatawa al-Haditsah.




72. Page

[lingkungan neraka]. Bersamaan dengan itu, hukuman mereka dikurangi dan diringankan melalui berbagai cara sebagai balasan atas perbuatan baik mereka di dunia, sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa hadits.[1] Inilah contoh belas kasihan bagi mereka, meskipun itu tidak layak bagi mereka.


[1] Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari Nabi S.a.w yang bersabda: "Ahli neraka yang siksanya paling ringan memakai sandal dari api, yang karena panas dari sandalnya itu otaknya jadi meleleh."Shahih Muslim 1/195.