AL-BAQARAH AYAT 8

73. Page

Ayat 8

 

﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِين

(Wa min al-nâs man yaqûlu âmannâ bi'llâhi wa bi'l-yawm al-âkhir wa mâ hum bi-mu'minîn.)

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.

 

Nadzam ayat ini terkait dengan apa yang mendahuluinya:

Sebagaimana dua bagian kalimat yang bersambung karena keduanya berkontribusi terhadap apa yang dinyatakan, dan dua klausa atau kalimat yang bersambung karena keduanya memiliki tujuan yang sama; begitu pula dua kisah yang bersambung karena keduanya memiliki tujuan sama. Sambungan kisah orang-orang munafik dan orang-orang kafir termasuk di dalamnya; yaitu, ringkasan dari dua belas ayat berikut ini bersambungan terkait substansi (ma'âl) kedua ayat sebelumnya. Sebab, ketika wahyu (tanzîl) dibuka dengan pujian [terhadap dirinya], "Itulah Kitab," ia memerlukan pujian dari orang-orang beriman sebagai buah dari kitab (lit. pujian) tersebut; dan ini pada gilirannya memerlukan penghinaan lawannya, karena "sesuatu itu dapat diketahui melalui lawannya." Kemudian, untuk memenuhi tujuan pemberian bimbingan (irsyâd), akan tepat untuk mengikutkan orang-orang munafik sesudahnya, sehingga semua jenis manusia jadi dimasukkan.

Jika engkau bertanya: Mengapa ia berurusan dengan orang-orang kafir dan kekufuran murni hanya secara ringkas dalam dua ayat, kemudian ia berurusan dengan orang-orang munafik secara panjang lebar di dua belas ayat?

Engkau akan dijawab: Karena beberapa nuktah:

Pertama: Musuh itu, jika tidak diketahui, akan lebih berbahaya; jika sulit dipahami, dia akan lebih merusak; jika berdusta, dia akan menyebabkan lebih banyak kerusakan; dan jika berada di dalam, dia akan lebih berbahaya. Sebab, musuh internal melemahkan soliditas dan menghancurkan kekuatannya, sebaliknya musuh eksternal, malah memperkuat tekad dan solidaritas. Sayangnya, bahaya yang ditimbulkan orang-orang munafik terhadap Islam besar sekali. Dari sini timbul kebingungan. Karena alasan inilah al-Qur'an sering mengutuk mereka.

Kedua: Orang munafik bercampur-baur dengan orang-orang beriman dan menjadi akrab dengan mereka, serta tumbuh terbiasa dengan keimanan sedikit demi sedikit. Dia mulai merasa ditolak dengan kondisinya karena tindakannya yang dicerca dan dikutuk. Sedikit demi sedikit kalimat tauhid menetes dari lidahnya ke hatinya.

Ketiga: Orang munafik melampaui kekufuran dalam hal kejahatan lainnya, seperti olok-olok, menipu, curang, licik, bohong, dan riya.

Keempat: Orang munafik biasanya salah seorang dari Ahli Kitab, dan termasuk kalangan pintar, yang licik dan suka menipu secara kejam. Karena itu, berpanjang lebar membicarakan orang munafik merupakan puncak balaghah paling sempurna.

Adapun analisa terhadap kata-kata ayat ini sebagai berikut: Ketahuilah bahwa, dari satu sisi, kata مِنَ النَّاسِ﴿ - wa min al-nâs (“dan orang-orang”) merupakan predikat yang diawalkan untuk kata (مَن - man) "siapa yang."

Jika engkau bertanya: Bukankah sudah jelas, orang munafik itu manusia pada umumnya?

Engkau akan dijawab: Jika sudah jelas demikian, apa yang dimaksud tentu salah satu dari konsekuensi semestinya, dan di sini maksudnya untuk menimbulkan rasa takjub (ta'jîb). Seolah-olah ia hendak mengatakan: Sungguh luar biasa, orang munafik itu manusia yang hina, padahal manusia seharusnya mulia; bukan cirinya untuk jatuh ke derajat kehinaan paling bawah ini.

Jika engkau bertanya: Mengapa kata predikat [وَمِنَ النَّاسِ﴿ - wa min al-nâs] ditempatkan di depan?


74. Page

Engkau akan dijawab: Kata predikat lebih tepat dikedepankan untuk menimbulkan perasaan takjub, dan untuk memfokuskan perhatian pada subjek, yang merupakan inti maksud [kalimat]. Jika tidak, seseorang mungkin menunggu sejenak lalu berpaling [dari subjek] ke predikat [serta mengabaikan subjek dan tujuannya].

Dari ungkapan النَّاسِ﴿ - al-nâs dapat disarikan beberapa kelembutan:"

Pertama: Al-Qur'an tidak menjelek-jelekkan [kaum munafik] dengan mengekspos mereka, tapi menyembunyikan mereka di bawah istilah النَّاسِ﴿ - al-nâs. Hal ini menunjukkan bahwa melindungi mereka dan tidak menyingkap tabir dari wajah mereka yang menjijikkan, merupakan sikap yang konsisten dengan kebijakan Nabi S.a.w. Sebab, seandainya ia mengekspos mereka, orang-orang beriman akan goyah, sebab tidak ada yang aman dari gangguan jiwa, lalu rasa waswas akan menyebabkan rasa takut, menyebabkan riya, dan riya menyebabkan kemunafikan. Juga, jika perhatian difokuskan pada keburukan mereka mungkin telah dikatakan bahwa Nabi S.a.w ragu-ragu dan tidak mempercayai pengikutnya. Dan kadang-kadang, jika sisa-sisa kerusakan ditutupi di balik tirai, ia akan mereda sedikit demi sedikit, dan pelakunya akan berupaya menyembunyikannya. Tapi jika tirainya dinaikkan, sesuai ungkapan, "Jika kamu tak tahu malu, lakukan apa kau mau,"[1] maka si pelaku akan berseru, "Tak peduli apa yang akan terjadi," dan kebobrokan pun menyebar tanpa peduli.

Kedua: Istilah النَّاسِ﴿ - al-nâs menunjukkan bahwa terlepas dari atribut lainnya yang menafikan kemunafikan, atribut yang paling umum, maksud saya kemanusiaan, juga menafikannya. Sebab, manusia itu mulia, dan kehinaan demikian bukan karakteristik dirinya.

Ketiga: Hal ini juga menunjukkan bahwa kemunafikan bukan khas untuk sesuatu kelompok atau kelas, tetapi ditemukan pada spesies manusia umumnya, apa pun kelompoknya.

Keempat: Kata itu mengisyaratkan bahwa kemunafikan menyinggung kehormatan setiap orang yang bernama manusia, sehingga pasti akan membangkitkan kemarahan mereka semua padanya, dan mendorong mereka untuk membatasi [aktivitasnya] agar racun tersebut tidak menyebar. Demikian pula, ia melukai kehormatan kelompok, dan aib anggotanya akan mendorong kemarahan mereka padanya.

 

Adapun مَنْ يَقُولُ آمَنَّا﴿ - man yaqûlu âmannâ) ("Siapa yang mengatakan: Kami beriman”)

Jika engkau bertanya: Mengapa meskipun keduanya merujuk pada orang yang sama, kata يَقُول﴿ (“dia berkata”) berbentuk tunggal, sementara kata آمَنَّا﴿ (“kami beriman”) berbentuk jamak?

Engkau akan dijawab: Di dalamnya terdapat isyarat tentang kelembutan yang menawan, yaitu:

Orang pertama jamak ditampilkan berbentuk tunggal, dan kata يَقُول﴿ ditampilkan berbentuk tunggal, karena orang yang berbicara itu [pasti selalu hanya] satu orang. Tapi kata آمَنَّا﴿ ditampilkan berbentuk jamak karena dia tidak sendirian dalam keimanannya.

Kemudian, tentang kutipan pernyataan mereka: Pada bentuk kutipan literal ini terdapat isyarat bantahan dalam dua aspek dari apa yang dikutip, sebagaimana pada apa yang dikutip terdapat isyarat kekuatannya dalam dua sisi. Sebab, يَقُول﴿ menunjukkkan melalui bentuknya bahwa mereka tidak berbicara atas keyakinannya atau [akibat dari] perbuatan mereka, tapi mengucapkan dengan mulut mereka apa yang tidak ada di hati mereka. Juga, bentuknya berupa kata kerja mendatang (fi’il mudlâri') menunjukkan bahwa alasan mereka terus mempertahankan diri dan membuat klaim ini adalah kemunafikan dan bukan lahir dari hati nurani. Sementara pernyataan mereka آمَنَّا﴿ berbentuk kata kerja masa lalu (fi’il mâdli) menunjukkan: "Kami semua Ahli Kitab, kami sudah lama beriman, jadi mengapa kami tidak mesti beriman sekarang?" Dan akhiran pronominal "نَّا - - kami" mengisyaratkan bahwa mereka berkata: "Kami adalah komunitas yang memiliki semangat partisan, kami tidak seperti seorang individu yang mungkin berbohong atau tertipu."

 


[1] Hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Ma'ud 'Uqbah bin Amru al-Anshari r.a, yang berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda, "Di antara ungkapan awal kenabian yang diketahui manusia: Jika engkau tidak malu, lakukan saja apa yang kamu suka." Lihat Shahih al-Bukhari 3/1284 hadits no 3296.




75. Page

بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ﴿ - bi'llâhi wa bi al-yawm al-âkhir (“kepada Allah dan hari kemudian”)

Ketahuilah: Wahyu terkadang mengambil [bentuk] persis apa yang dikatakan orang, atau mengambil substansinya, menempatkan dalam bentuk lain, atau meringkasnya.

Menurut [cara] pertama, dengan menyebutkan rukun iman yang pertama [beriman kepada Allah] dan yang terakhir [beriman kepada hari akhir], [orang-orang munafik] hendak memperlihatkan ketakwaan mereka. Sebab, menurut pandangan mereka, rukun ini yang paling dapat diterima. Dan dengan mengulangi [preposisi] "bâ' - pada" meskipun [kedua kata] berdekatan, mereka hendak menyinggung pilar lainnya.

Lalu, menurut [cara ]kedua, hendaknya itu merupakan firman Dzat Yang Maha Tinggi; pada penyebutan hanya dua kutub keimanan [yakni, beriman kepada Allah dan kepada hari akhir], terdapat isyarat bahwa apa yang mereka klaim sebagai keimanan yang paling kuat, sesungguhnya bukanlah keimanan. Sebab keimanan mereka pada keduanya tidak sebagaimana mestinya. Dan pengulangan preposisi "bâ'" menunjukkan perbedaan. Sebab, keimanan kepada Allah adalah keimanan kepada keberadaan dan keesaan-Nya, sementara keimanan kepada hari akhir merupakan keimanan pada hakekatnya, dan bahwa itu akan datang, sebagaimana telah dibahas di atas. [Artinya, keimanan pada keduanya beragam dan tidak hanya dalam satu hal.]

 

Adapun وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ﴿ - wa mâ hum bi-muminîn ("padahal mereka bukan orang-orang yang beriman”):

Jika engkau bertanya: Mengapa ayat ini tidak mengatakan "wa mâ âmanû (“dan mereka tidak beriman”), yang akan sama [kata kerja dan bentuknya] dengan "آمَنَّا﴿ - âmannâ (“kami beriman”)!

Engkau akan dijawab: [Maksudnya], agar jangan diduga ada ketidak-konsistenan, meskipun hanya dalam bentuknya.[1] Dan agar penafian dan penolakan (takdzîb) tidak diacu kepada "kami beriman (âmannâ)," yang [meskipun kata kerja berbentuk masa lalu] merupakan klausa seruan (jumlah insyâ'iyyah). Jadi ketegasannya mencegah penolakannya. Sebaliknya, penafian dan penolakan mengacu pada kalimat yang tersirat dalam "kami percaya (âmannâ)," yaitu "فنحن مؤمنون - fa-nahnu mu'minûn (“maka kami orang-orang yang beriman”). Dan, karena kalimat negatif ini berbentuk kalimat nominal, itu juga dimaksud untuk menunjukkan bahwa kekufuran mereka akan terus berlangsung selamanya.

Jika engkau bertanya: Mengapa ia tidak menunjukkan ketidak-berlangsungannya, padahal kata imbuhan negatif "مَاَ﴿ - (“tidak”) sudah diletakkan di awal klausa ini?

Engkau akan dijawab: Penafian atau penidakan ditandai dengan makna [yang dimaksud oleh] huruf yang tampak (lit. padat, harf katsîf), sedangkan keberlangsungan ditandai dengan makna [yang dimaksud dalam] struktur ringan (hay'at khafîfah) [dari klausa nominal]. Jadi penafian lebih dekat dengan apa yang diungkapkan.

Jika engkau bertanya: Apa kelembutan yang terkandung dalam [preposisi] "bâ'" pada kata "(bi-mu'minîn)" yang digunakan di predikat imbuhan negatif "mâ"!

Engkau akan dijawab: Ini menunjukkan kurangnya kemampuan mereka untuk beriman meskipun mereka [tampaknya] beriman secara lahiriah. Inilah yang membedakan antara kalimat "ما زيد سخيا - mâ Zaid sakhîyyan (Zaid tidak murah hati)" dan kalimat "ما زيد بسخي - mâ Zaid bi-sakhîyyin (Zaid bukan orang murah hati)." Kalimat pertama mengacu pada karakter Zaid yang berubah-ubah. Maksudnya, Zaid sebenarnya tidak murah hati meskipun ia memiliki kemampuan untuk itu dan merupakan orang yang murah hati. Sedangkan kalimat kedua, maksudnya, Zaid tidak memiliki kapasitas untuk menjadi orang murah hati, dan memang bukan orang yang murah hati, meskipun ia bekerja lebih baik.

 


[1] Yakni antara "âmannâ" yang terdapat di ayat, dengan "wa mâ âmanû" yang disebut dalam pertanyaan.