AL-BAQARAH AYAT 9-10

76. Page

Ayat 9-10


﴿يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

(Yukhâdi'ûna Allâha wa alladzîna âmanû wa mâ yakhda'ûna illâ anfusahum wa mâ yasy'urûn * Fi qulûbihim maradlun fazâdahum Allâhu maradlan wa la-hum 'adzâbun alîmun bi-mâ kânû yakdzibûn.)

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar * Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

 

Ketahuilah, aspek nadzam [ayat ini dan hubungannya dengan ayat sebelumnya], sebagai berikut:

Kalimat-kalimatnya mengisyaratkan: Celaan terhadap kemunafikan; lalu pengutukannya; lalu penghinaan atasnya; lalu ancaman terhadap orang-orang munafik; lalu intimidasi terhadap mereka; lalu rasa takjub dari mereka; lalu penjelasan tujuan mereka seperti yang telah disebutkan di atas; lalu penjelasan tentang alasan perkataan mereka [mengenai apa yang mereka lakukan]; lalu penjelasan tentang kejahatan pertama dari empat kejahatan yang timbul dari kemunafikan, yaitu penipuan, kerusakan, tuduhan menyebut orang-orang beriman lemah pikiran, dan caci-maki mereka terhadap kaum beriman. Lalu, gambaran tentang kejahatan dan kelicikan mereka melalui tamsil alegoris (isti'ârah tamtsîliyyah). Misalnya seperti ini: ia menggambarkan perilaku mereka dalam menerima perintah Allah S.w.t dan sikap mereka terhadap Nabi S.a.w serta orang-orang beriman -- dengan menampilkan pada mereka keimanan untuk tujuan duniawi meskipun dalam hati tidak beriman. Ia menggambarkan tindakan Allah, sikap Nabi dan orang-orang beriman terhadap mereka, dengan memberlakukan ajaran-ajaran orang beriman pada mereka secara bertahap, meskipun dalam pandangan Allah, mereka orang-orang kafir yang paling keji. Sama seperti dua orang yang menipu satu sama lain, atau pemburu dan mangsanya: mangsa merasakan adanya pemburu begitu ia muncul dari lubangnya sehingga ia bergegas segera kembali ke dalamnya.[1]

Adapun nadzam kata-kata dari frasa يُخَادِعُونَ﴿ - yukhâdi'ûna (“mereka hendak menipu”) yang memperhatikan kejahatan pertama mereka, hingga frasa بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ﴿ - bi-mâ kânû yakdzibûn) (“disebabkan mereka berdusta”), maka perhatikanlah konsekuensi berturut-turut yang dikandung dalam tujuh ungkapan ini, sebagai berikut:

Pertama: Mereka dianggap tolol mencari sesuatu yang mustahil [seperti menipu Allah].

Kedua: Mereka dianggap bodoh karena telah merugikan diri sendiri padahal niat mereka mencari keuntungan.

Ketiga: Mereka disebut goblok karena gagal membedakan antara manfaat dan bahaya.

Keempat: Mereka dihina karena buruknya karakter mereka, sakitnya sumber kesehatan mereka, dan matinya mata air kehidupan mereka.

Kelima: Mereka dibenci karena memperparah penyakit mereka sementara mereka mencari obatnya.

Keenam: Mereka diancam dengan penderitaan murni, yang melahirkan rasa sakit lebih lanjut.

Ketujuh: Mereka diarak di hadapan orang banyak [sebagai pelaku] kejahatan paling jelek; yaitu, berbohong.

Adapun rangkaian ketujuh frasa tersebut, dan bagaimana masing-masing saling terkait, dapat digambarkan sebagai berikut:

Jika engkau ingin mencegah seseorang dari melakukan sesuatu dan menasehatinya, engkau mengatakan kepadanya pertama-tama: "Hei, jika kamu orang berakal, kamu pasti dapat melihat bahwa hal ini mustahil!"


[1]



77. Page

Lalu: "Jika kamu mencintai dirimu, kamu dapat memahami bahwa ini membahayakanmu!"

Lalu: "Dan kamu juga mempunyai perasaan, mengapa kami tidak bisa mengatakan perbedaan antara apa yang berbahaya dan apa yang bermanfaat?!"

Lalu: "Mungkin kamu tidak memiliki kemauan, tapi setidaknya kamu mengakui bahwa karaktermu rusak. Di dalamnya terdapat penyakit yang mendistorsi kebenaran dan membuatmu berpikir apa yang manis itu pahit!"

Lalu: "Jika kamu sedang mencari obat agar kamu sembuh, ketahuilah bahwa yang ini hanya meningkatkan penyakitmu dan tidak akan menyembuhkan bagimu. Perumpanaanmu seperti orang yang menderita insomnia. Kamu berusaha bisa tidur, tetapi itu hanya mengganggumu dan mengusir kantukmu. Atau kamu menyerupai seseorang yang hatinya diserang perasaan khawatir, dan kecemasan yang berlebihan ini hanya melipatgandakan penyakitnya."

Lalu: "Jika kamu mencari kesenangan, itu hanya akan menghasilkan sakit yang lebih parah, menyebabkan penderitaan yang lebih mengerikan, dan tidak mengandung kesenangan sama sekali."

Lalu: "Jika kamu tidak segera menyadari dirimu, dan membuang semua ini, maka tidak akan ada yang tersisa padamu kecuali kamu akan diberi cap di moncongmu dengan tanda yang jelek! Engkau akan diumumkan pada semua orang untuk mencegah agar kerusakanmu tidak akan menyebar di antara mereka!"

Demikian pula halnya, untuk mencegah orang-orang munafik, Allah Yang Maha Tinggi mengatakan: يُخَادِعُونَ اللَّهَ﴿ - yukhâdi'ûna Allâh (“mereka hendak menipu Allah”) , ketimbang mengatakan, "Mereka hendak menipu Nabi." Ini [juga] menunjukkan kebodohan mereka. Artinya, bagaimana mereka bisa menipu Nabi S.a.w padahal mereka mengetahui bahwa beliau itu Rasul dari Allah Yang Maha Tinggi. Maka, tipu daya mereka beralih kepada Allah, padahal mustahil untuk menipu Allah Yang Maha Tinggi. Mencoba hal mustahil itu suatu kebodohan, dan kebodohan demikian patut diherankan.

Ini diikuti dengan kalimat, وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ﴿ - wa mâ yakhda'ûna illâ anfusahum (“padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri”), dengan maksud untuk menunjukkan kebodohan mereka. Artinya, "Tidak ada gunanya apa yang kamu lakukan, itu hanya membahayakan; dan bahayanya akan kembali padamu, seolah-olah kamu sedang menipu diri sendiri."

Lalu, ini diikuti dengan kalimat, وَمَا يَشْعُرُون﴿ - wa mâ yash'urûn ("sedang mereka tidak sadar”), untuk menunjukkan kebodohan mereka. Artinya, "Kamu orang bodoh! Kamu lebih sesat dari binatang, atau batu yang keras, sebab kamu tidak dapat melihat perbedaan antara manfaat dan bahaya!"

Ini dilanjutkan dengan kalimat, فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ﴿ - fi qulûbihim maradlun (“dalam hati mereka ada penyakit”), untuk menunjukkan betapa hinanya mereka, disebabkan sifat mereka yang rusak. Artinya, jika kamu tidak memiliki kehendak (ikhtiyâr), setidaknya kamu harus mengetahui bahwa penyakitmu adalah penyakit, dan bahwa watak kamu sudah rusak! Sesunggugnya, kemunafikan dan iri hati (hasad) adalah penyakit di dalam jiwa, yang cirinya mendistorsi kebenaran dan mengubahnya sehingga engkau mengira manis itu pahit dan getir itu manis, menganggap hitam itu putih dan putih itu hitam; maka janganlah kamu mengikuti jalan seperti itu!

Kemudian ia menambah dengan kalimat, فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا﴿ - fa-zâdahum Allâhu maradlan) (“lalu ditambah Allah penyakitnya”), untuk menunjukkan kehinaan mereka. Artinya, engkau menginginkan obat untuk menyembuhkan kemarahan dan iri hati, tetapi obat ini hanya akan menambah penyakitmu. Engkau seperti orang yang menghancurkan salah satu tangannya, lalu ingin membalas dendam pada seseorang dengan cara memukulnya dengan tangan yang hancur itu, sehingga membuat yang hancur semakin bertambah hancur.

Berikutnya ayat itu mengatakan وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴿ - wa la-hum 'adzâbun alîmu (“dan bagi mereka siksa yang pedih”), dengan maksud untuk mengancam mereka. Artinya, jika engkau mencari kesenangan melalui kemunafikanmu ini, itu tidak akan memberimu apa pun kecuali penderitaan berat segera [di dunia], dan mengakibatkan penderitaan yang lebih berat kelak di akhirat. [Kemunafikan] tidak seperti perbuatan dosa lainnya, yang mengandung semacam kesenangan rendahan yang disegerakan.


78. Page

Akhirnya, ia melengkapi [bagian ayat] ini dengan kata-kata, بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ﴿ - bi-mâ kânû yakdzibûn) ("disebabkan mereka berdusta”) dengan maksud untuk menandai mereka dengan cap yang paling menjijikkan. Yaitu, jika engkau tidak menyadari diri, dan engkau tidak berhenti [berbuat kemunafikan], tak ada jalan lain kecuali engkau akan diumumkan kepada publik atas kebohonganmu yang akan membuat mereka tidak bakal menaruh kepercayaan lagi padamu, agar penyakitmu tidak menyebar.

 

Adapun aspek nadzam di antara bagian-bagian frasa keseluruhan kalimat, sebagai berikut:

Frasa pertama: yaitu, يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا﴿ - yukhâdi'ûna Allâh wa alladzîna âmanû:

Penggunaan istilah penipuan (khudâ') yang menggambarkan tindakan mereka, dalam bentuk kata kerja mendatang (fi’il mudlari'), apalagi bentuk ketiga kata kerja, khususnya penggunaan nama اللَّهَ﴿ - Allah di tempat Nabi, dan وَالَّذِينَ آمَنُوا﴿ - wa alladzîna âmanû di tempat المؤمنين - al-mu'minûn ("orang-orang beriman”), semuanya menunjukkan secara eksplisit ketidakmungkinan tujuan mereka menipu. Ia menyodorkan kemustahilan ini di depan mata, membuat orang merasa jijik dan ngeri melihatnya. Sebab, metafora parabolis (isti'ârah tamtsîlîyyah) yang terkandung dalam kata "penipuan” (khudâ') membangkitkan rasa jijik dan benci.

Hati dibuat menjadi begitu kecut atas penggambaran yang terungkap dari penggunaan kata kerja mendatang, dan kelanjutan masa depan yang ditunjukkannya.

Sebagaimana di ayat, وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا﴿"balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal (Qs. al-Syura [42]: 40), dalam ungkapan timbal-balik (musyakilah) yang dibuat melalui penggunaan bentuk ketiga kata kerja (musyarakah), terdapat petunjuk bahwa hasil penipuan mereka akan sia-sia. Sebab, dalam penggunaan bentuk ketiga kata kerja (musyarakah), perbuatan 'pelaku' merupakan penyebab perbuatan yang dilakukan seseorang, dan di sini perbuatan yang dilakukan seseorang menjadi penyebab penipuan pelaku yang sia-sia dan tanpa pengaruh; bahkan, hal itu menunjukkan penipuan mereka melemah dan tanpa substansi, seperti membalikkan maksud pada seseorang. Misalnya, engkau mengejek seseorang dengan anggapan dia tidak menyadari hal itu, tapi dalam hati dia tahu dan diam-diam mengejekmu.

Nama اللَّهَ﴿"Allah" menyatakan secara eksplisit kemustahilan apa yang mereka niatkan, sebab menipu Nabi S.a.w menuntut keharusan menipu Allah Yang Maha Tinggi, dan indera penalaran tidak bisa menerima penipuan tersebut.

Dalam pemilihan kata الَّذِينَ آمَنُوا﴿ - wa alladzîna âmanu [ketimbang kata "orang-orang yang beriman"], yaitu, dalam pemilihan klausa penghubung sebagai sifat keimanan, terdapat tanda bahwa orang-orang munafik berusaha mengambil hati agar disukai orang-orang beriman melalui sifat keimanan, mempengaruhi pikiran orang-orang beriman untuk memenangkan cinta mereka sehingga kaum munafik dapat menyusup di antara mereka.

Ini juga menunjukkan bahwa ketika pikiran jamaah kaum mukminin diterangi cahaya keimanan, penipuan yang dilakukan orang-orang munafik tidak akan tersembunyi dari mereka, sehingga menyebabkan penipuan mereka menjadi tumpul sia-sia.

Frasa kedua: yaitu, وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ﴿ - wa mâ yakhda'ûna illâ anfusahum: Dalam pembatasan (hishr) yang diungkapkan melalui kata "hanya (illâ)," terdapat tanda kebodohan utuh mereka, karena perbuatan mereka memantul kembali kepada mereka. Seperti seseorang yang melemparkan batu ke dinding dan memantul kembali kepada dirinya hingga meretakkan tengkorak kepalanya. Sebab, mereka membiarkan panah terbang membahayakan orang-orang beriman, tapi mereka sebenarnya mengena diri mereka sendiri, seolah-olah mereka menipu diri mereka sendiri.

Dalam penggantian kata "يضرون - yadlurrûna (mereka membahayakan)" dengan kata يَخْدَعُونَ﴿ - yakhda'ûna, terdapat isyarat tentang puncak kebodohan mereka; sebab di kalangan orang-orang berakal ada yang sengaja merugikan dirinya sendiri. Tapi tidak ada yang sengaja menipu dirinya sendiri, kecuali dia seekor keledai berbentuk manusia!


79. Page

Dan pada istilah أَنْفُسَهُمْ﴿ - anfusahum terdapat tanda tersembunyi bahwa karena kemunafikan dan kelicikan mereka dimaksud untuk memuaskan jiwa insting mereka dan demi tujuan pribadi, hal itu justeru menghasilkan kebalikan dari apa yang sedang mereka cari.

Jika engkau bertanya: Pembatasan [pembicaraan ke orang-orang munafik] di sini berarti bahwa penipuan mereka tidak membahayakan Islam dan kaum Muslimin. Padahal, Islam tak pernah melihat sesuatu yang telah merugikannya seperti yang tampak pada berbagai macam kemunafikan dan cabangnya, yang telah menyebar seperti racun di antara unsur-unsur dunia Islam?

Engkau akan dijawab: Bahaya agresif yang engkau lihat, dan racun menular yang telah menyebar seperti penyakit menular itu, tak lain berasal dari karakter mereka yang rusak, fitrah mereka yang hancur, dan hati nurani mereka yang busuk; itu bukan hasil dari penipuan dan pengelabuhan yang telah mereka lakukan melalui kehendak mereka. Sebab, mereka ingin menipu Allah dan Nabi serta jamaah kaum beriman, tetapi Allah mengetahui segala sesuatu sementara Nabi S.a.w diberi wahyu, dan tidak mungkin penipuan tersembunyi dari jamaah orang-orang beriman sepanjang waktu, serta mereka pun tidak tertipu. Jadi, terbukti jelas bahwa mereka tidak menipu kecuali diri mereka sendiri.

Frasa Ketiga: yaitu kalimat, وَمَا يَشْعُرُون﴿ - wa mâ yasy'urûn, yakni, mereka tidak merasa atau tidak menyadari:

Pada kalimat singkat 'fadzlakah'[1] ini terkandung pembodohan (tajhîl), yakni nada yang membodoh-bodohkan mereka. Sebab, ia memberikan pemahaman bahwa jika mereka makhluk cerdas, ini bukanlah ciri kecerdasan, dan jika mereka binatang yang bertindak atas dorongan jiwa insting, mereka harus merasakan dan menyadari bahaya yang teraba seperti ini. Karena itu, jelas mereka sudah menyerupai makhluk mati, yang tanpa kehendak.

Frasa keempat:فِي قُلُوبِهِمْ مَرَض﴿ - fî qulûbihim maradlun:

Kalimat ini diposisikan demikian untuk menyatakan bahwa karena mereka tidak bertindak seperti yang dipersyaratkan oleh penalaran akal dan kesadaran inderawi, tampak jelas bahwa mereka menderita penyakit jiwa. Setidaknya mereka harus mengetahui bahwa itu penyakit, menghindari masalah ikutannya, dan tidak menghakimi menurut mereka. Sebab, penyakit demikian akan mengubah-ubah kebenaran, mendistorsi keindahan, dan menunjukkan yang pahit itu manis, seperti telah dijelaskan.

Preposisi فِي﴿ - mengisyaratkan bahwa kecemburuan dan kebencian mereka merupakan penyakit yang melanda dimensi batin hati, perangkat lembut rabbani, seperti telah dibahas.

Dan dalam istilah “القلب - qalb” terdapat indikasi bahwa sebagaimana penyakit hati fisik mengganggu fungsi semua tubuh, demikian pula ketika apa yang dimaknai hati itu sakit melalui penipuan dan kemunafikan, semua fungsi roh melenceng dari jalan lurus, sebab hati dalam pengertian ini merupakan sumber kehidupan dan mesinnya.

Didahulukannya kata فِي قُلُوبِهِمْ﴿ - fî qulûbihim terhadap kata مَرَضٌ﴿ - maradlun, mengandung arti pembatasan dalam dua hal:

Pertama, melalui cara kiasan, ia menunjukkan bahwa keimanan merupakan cahaya, yang tugasnya memberikan kesehatan dan arah yang tepat pada semua perbuatan dan karya manusia.

Kedua, ia menyimpulkan bahwa kerusakan mereka bersifat fundamental sehingga tak ada gunanya untuk memperbaiki hal-hal kecil.

Kata مَرَضٌ﴿ - maradlun merupakan sindiran yang membantah alasan mereka, dan menyerodok kerongkongan mereka. Sebab, fitrah manusia condong pada kebenaran; kerusakan dan keruntuhan itu tak lain penyakit yang disengaja ('âridl).

Dan dalam penggunaan kata tak tentu (nakirah) terdapat tanda bahwa penyakit ini sangat dalam sehingga tidak mungkin dilihat atau disembuhkan.


[1]



80. Page

Frasa Kelima: yaitu, فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا﴿ - fazâdahum Allâhu maradlan:

Ketika mereka tidak mengetahui bahwa itu penyakit sehingga mereka bisa menghindarinya, tapi mereka malah mengejarnya dengan mengharapkan kebaikan baginya, Allah meningkatkan pernyakitnya, sebab "Barangsiapa mencari, dia akan menemukan."

Pada "fa’" [pada kata فَزَادَهُمُ اللَّهُ﴿], yang menyatakan tujuan (ta'qîb sababî) -- meskipun keberadaan penyakit tersebut bukan alasan bagi peningkatannya -- terdapat tanda bahwa karena mereka tidak mengidentifikasi penyakit tersebut, atau mereka tidak mencari cara menyembuhkannya, bahkan mereka mengambil langkah-langkah untuk memperburuknya seperti orang yang menyerang musuh kuat dengan tangannya yang patah, tampak seolah-olah mereka memang berusaha meningkatkannya. Maka Allah pun meningkatkannya dengan mengubah harapan mereka menjadi keputusasaan yang menakutkan, disebabkan kemenangan orang-orang beriman, dan mengubah permusuhan mereka menjadi kebencian yang membakar di dalam hati mereka, disebabkan kemenangan orang-orang beriman. Maka, dari penyakit kebencian dan keputusasaan itu timbullah penyakit ketakutan, penyakit kelemahan, dan penyakit kehinaan, yang semuanya menguasai hati mereka.

Selanjutnya, Allah Yang Maha Tinggi tidak mengatakan "فزاد الله مرضهم - fa-zâda Allâhu maradlahum (Allah menambah penyakit mereka)," tetapi "ditambah Allah penyakitnya" dengan menjadikan akhiran pronominal sebagai objek, dan "penyakit" itu sebagai pembeda (tamyîz), [maksudnya] untuk menunjukkan bahwa penyakit batin hati juga telah menyebar ke luar, mencemari semua yang mereka lakukan. Seolah-olah penyakit ganas ini telah menguasai seluruh tubuh mereka, yang seolah-olah telah menjadi penyakit itu sendiri. Lepuh bernanah pada penyakit mereka telah menjadi tubuh tambahan bagi mereka. Seperti pepatah "اِشْتَعَلَ الْبَيْتُ نارًا - isyta'ala al-baytu nâran" yang menyatakan bahwa api telah menyelimuti seluruh rumah, dan semua telah terbakar; beda dari ungkapan, "اشْتَعَلتَ نَارُ الْبَيْتِ - isyta'alat nâru al-bayti," yang menyatakan bahwa sebagian sisinya telah terbakar.[1]

Frasa Keenam, yaitu kalimat وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم﴿ - wa la-hum 'adzâbun alîm:

Lâm (di kata "لَهُمْ - la-hum"), yang berarti manfaat, menunjukkan bahwa jika mereka menerima manfaat, pastilah itu akan [berbentuk] penderitaan sengsara di dunia ini, atau siksaan pedih di akhirat. Padahal, mustahil ada manfaat bagi mereka, sehingga tidak mungkin mereka menerimanya. Sementara kata "siksaan, hukuman (adzâb)" yang disifati dengan "menyakitkan, menyedihkan (alîm)," yang berarti "sakit, penderitaan (muta'allim)," yang biasanya mengacu pada orang, mengisyaratkan bahwa siksaan telah menguasai tubuh mereka, menyelimuti diri mereka, dan menembus ke dalam batin mereka, sehingga mereka berubah menjadi siksaan itu sendiri, dan siksaan menjadi identik dengan mereka, seperti batu bara merah yang berubah menjadi bara yang terbakar bila disulut api. Jika seseorang membayangkan siksaan dengan imajinasinya dan mendengar dari setiap sisinya ratapan, aduhan, dan rintihan yang timbul dari kehidupan yang terus-menerus diperbarui di bawah penyiksaan, akan terbayang seolah-olah siksaan itu sendiri yang menangis dan mengerang. Sebuah peringatan yang begitu mengerikan bagi mereka yang berpikir!

Frasa Ketujuh, yaitu, بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ﴿ - bimâ kânû yakdzibûn:

Dengan menghubungkan hukuman tersebut di atas dengan kejahatan mereka dalam berbohong saja, frasa ini menunjukkan hebatnya kejahatan, keburukan, dan kemuakan berbohong. Indikasi ini merupakan saksi jujur atas dampak parah dari racun kebohongan, sebab berbohong merupakan dasar kekufuran; bahkan, kekufuran merupakan kebohongan dan kepalanya kebohongan, dan itulah tanda utama kemunafikan.[2] Berbohong tak lain kecuali tidak mengakui qudrat ilahi, dan kebalikan dari hikmah rabbani. Berbohong itulah yang telah menghancurkan akhlak tinggi. Ia mengubah kepatuhan besar menjadi seperti hantu busuk. Dengannya racun menyebar di dunia Islam. Ia telah menjungkir-balik urusan umat manusia, mengekang dunia manusia dalam mencapai kesempurnaannya, serta mencegah

[1] Lihat pembahasannya di Dalail al-I'jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani 93.

[2] Dalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a disebutkan Nabi S.a.w bersabda, "Tanda orang munafik ada tiga: Jika berbicara, dia berbhong; jika berjanji, dia ingkar; dan jika diveri kepercayaan, dia berkhianat." Lihat Shahih al-Bukhari 1/21 hadits no 33.




81. Page

kemajuannya. Dengannya orang-orang seperti Musailamah al-Kadzdzab[1] terlempar ke dasar jurang paling terbawah. Inilah beban berat di punggung manusia yang menghalanginya mencapai tujuannya. Inilah nenek moyang riya dan kepalsuan. Karena alasan-alasan inilah, berbohong secara khusus menjadi objek laknat, kecaman, dan ancaman, yang diturunkan dari atas Arasy.

Maka, wahai manusia, terutama kaum muslimin! Ayat ini mengajak kalian untuk mencermatinya dengan hati-hati.

Jika engkau bertanya: Apakah berbohong tidak dimaafkan jika untuk kemaslahatan?

Engkau akan dijawab: Jika kemaslahatan itu memang jelas-jelas terbukti penting. Tapi, [apa yang mereka sebut] kemaslahatan itu [pada umumnya hanyalah] alasan palsu. Sebab telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Syariah bahwa suatu hal yang tidak dapat ditentukan atau diukur, terbuka untuk didaya-gunakan, namun karena itu tidak dapat dijadikan alasan dan dasar untuk menetapkan putusan hukum. Misalnya, kesulitan yang belum bisa ditentukan saat hendak melakukan shalat di perjalanan, tidak bisa dijadikan alasan untuk mempersingkat shalat (qashar); bahkan, alasannya adalah perjalanan.[2] Dan jika kita mengakui adanya bahaya pada sesuatu melebihi maslahatnya, maka putusan diberikan untuk membatalkannya, dan maslahatnya terletak pada ketiadaannya. Anarki dan kekacauan yang engkau lihat di dunia merupakan saksi atas kerugian besar dari dalih kemaslahatan. Tapi sindiran (ta'rîdl)[3] dan kiasan (kinâyah)[4] tak termasuk kebohongan. Cara [kita bersikap] ada dua: diam, sebab kejujuran tidak menuntut seseorang mengatakan segala kejujuran; atau jujur, sebab kejujuran merupakan dasar dari Islam dan karakteristik keimanan; bahkan, keimanan adalah kejujuran dan kepalanya. [Kejujuran] merupakan ikatan semua kesempurnaan; kehidupan moral yang tinggi; akar yang mengikat segala sesuatu dengan hakekat; dan manifestasi kebenaran di lidah. Iniah poros pembangunan manusia, dan sistem dunia Islam; inilah yang bisa mempercepat spesies manusia -- secepat kilat -- dalam menempuh jalan kemajuan menuju ka'bah kesempurnaan; inilah yang dapat mengubah kedudukan orang termiskin dan paling bodoh menjadi lebih tinggi dari sultan; inilah yang membuat para sahabat Nabi S.a.w unggul di atas semua orang; dan inilah yang membuat Nabi Muhammad al-Hâsyimî S.a.w naik ke puncak kemanusiaan paling mulia.



[1] Musailamah bin Tsamamah ibnu Katsir bin Habib bin al-Harits bin Abdul Harits bin ibnu Dzahl bin al-Zawal bin Hanifah, berasal dari Bani Hanifah. Konon namanya Maslamah, dan para sejarawan muslim menyebutnya Musailamah sebagai penghinaan atasnya. Para pengikutnya menggelarinya Rahman al-Yamamah. Dia mengaku sebagai nabi pada masa Nabi S.a.w. Dia menikah dengan Sajja' yang juga mengaku nabi perempuan. Dia tewas dalam Perang Yamamah pada masa kekhalifahan Abi Bakar r.a. Konon umurnya kala itu mencapai 150 tahun. Lihat biografinya di al-Bud'u wa al-Tarikh wa al-Ma'arif karya Ibnu Qutaibah 405, Tahdzib al-Asma' karya al-Nawawi 2/400.

[2] Ini diskusi ulama Ushul yang mendalam saat membedakan antara alasan ('illat) dan hikmah.

[3] Ta'ridl dalam pembicaraan: Apa yang dipahami pendengar maksudnya tanpa pernyataan tegas. Lihat al-Ta'rifat 85, al-Ta'arif 185, Mu'jam al-Musthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha 2/276.

[4] Kinayah: mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata tak jelas konteksnya karena tujuan tertentu. Lihat al-Kulliyyat 761, al-Ta'rifat 240, al-Ta'arif 610, Mu'jam al-Musthalahat al-Balaghiyyah wa Tathawwuriha 3/154.