NAVIGATION
10. Page
()بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيم)
(Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
﴿الرَّحْمَنُعَلَّمَ الْقُرْآنَخَلَقَ الإِنْسَانَعَلَّمَهُ الْبَيَانَ﴾
(Tuhan) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan al-Qur'an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (Qs. al-Rahman [55]: 1-4)
فنحمده مصلين على نبيه محمد الذي أرسله رحمةً للعالمين وجعل معجزته الكبرى الجامعة برموزها وإشاراتها لحقائق الكائنات باقيةً على مر الدهور إلى يوم الدين، وعلى آله عامة، وأصحابه كافة.
Kami memuji-Nya, dan menyampaikan salawat untuk nabi-Nya, Muhammad. Dia telah mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta menjadikan mujizatnya yang terbesar melalui simbol-simbol dan isyarat-isyarat hakikat alam semesta kekal selamanya dalam perjalanan waktu sampai hari pembalasan. (Kami juga menyampaikan salawat) untuk semua keluarga dan sahabatnya.
Selanjutnya, ketahuilah. Pertama, tujuan kami dari (penulisan) Isyârat (al-I’jâz) ini adalah tafsir terhadap simbol-simbol nadzam (susunan kata) al-Qur'an. Sebab, kemukjizatan termanifestasi dari nadzamnya. Kemukjizatan yang cemerlang tak lain merupakan ukiran nadzam.
Kedua, tujuan pokok al-Qur'an dan prinsip dasarnya ada empat: tauhid (tauhîd), kenabian (nubuwwah), kebangkitan kembali (hasyr), dan keadilan ('adâlah).
Sebab, ketika manusia, seperti kendaraan dan kafilah yang berturut-turut berangkat dari lembah masa lalu dan negeri tempat tinggalnya, yang berjalan di padang eksistensi dan kehidupan, yang menghadap ke puncak-puncak masa depan, dan mengarah ke surganya, peristiwa demi peristiwa mengguncang mereka dan alam semesta menatap ke arah mereka. Seolah-olah pemerintah penciptaan mengirimkan ilmu hikmah (fann al-hikmah, filsafat alam)[1] untuk menginterogasi dan menanyai mereka, dengan mengatakan: "Hai manusia! Dari mana kamu berasal? Ke mana kamu pergi? Apa yang kamu lakukan? Siapa penguasa kamu? Dan siapa juru bicara kamu."
Saat dialog ini berlangsung, tiba-tiba berdiri salah seorang dari umat manusia -- sebagaimana yang dilakukan orang-orang seperti dia dari kalangan para nabi pemilik otoritas (ulû al-'azmi)[2] -- pemimpin spesies manusia, Muhammad al-Hasyimi S.a.w, yang berkata melalui lisan al-Qur'an:
"Wahai filsafat! Kami semua makhluk maujudat,[3] kami datang dengan muncul dari kegelapan non-eksistensi menuju cahaya eksistensi melalui qudrat Tuhan Penguasa Azali.[4] Dan kami semua anak-anak
[1] Dalam al-Ta'rifat h 291 disebutkan: "Hikmah adalah ilmu yang di dalamnya dibahas tentang hakikat segala sesuatu menurut apa adanya dalam wujud nyata sesuai kadar kemampuan manusia. Hikmah adalah ilmu teoritis, bukan aktual."
[2]Ulu al-'azmi dari kalangan rasul, maksudnya, Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad S.a.w. Lihat Sunan al-Baihaqi al-Kubra 9/8 hadits no. 1751.
[3] Di dalam al-Tauqif 'ala Muhimmat al-Ta'arif h 719 disebutkan: "Maujudat terdiri dari tiga, yaitu maujud yang tanpa awal dan akhir, yang tak lain adalah Tuhan Pencipta S.w.t, kemudian maujud yang memiliki awal dan akhir seperti esensi-esensi duniawi, serta maujud yang memiliki awal dan tanpa akhir seperti manusia dalam penciptaan akhirat."
[4] Di dalam al-Tauqif 'ala Muhimmat al-Ta'arif h 53 disebutkan: "Azali adalah keabadian yang tanpa permulaan, yang dikatakan kepada orang yang umurnya panjang. Azali berarti kelangsungan wujud dalam waktu tertentu yang tak terhingga di sisi masa lalunya, sebagaimana abadi berarti kelangsungan wujud dalam hal kondisinya. Azali tidak didahului oleh ketiadaan. Maujud terdiri dari tiga, tanpa yang keempatnya: Azali abadi, yaitu Allah S.w.t; tidak azali tidak abadi, yaitu dunia; abadi tidak azali, yaitu akhirat. Kebalikannya mustahil terjadi, sebab jika tidak pasti keabadiannya, maka mustahil ketidaannya."
11. Page
Adam, dikirim sebagai petugas yang berkedudukan istimewa[1] dan unik di atas makhluk maujudat dengan membawa beban; kami sedang dalam perlawatan dari jalan kebangkitan (hasyr) menuju kebahagiaan abadi; dan sekarang kami sibuk di dunia ini sedang mempersiapkan kebahagiaan tersebut dan sedang mengembangkan potensi yang merupakan modal utama kami; dan saya adalah pemimpin mereka serta juru bicara mereka. Ini, silahkan ambil manifesto saya, yang merupakan firman Sang Penguasa Azali tersebut, yang di atasnya cap kemukjizatan berkilau. Penjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yang benar, tidak lain adalah al-Qur'an, kitab tersebut.
Inilah[2] keempat prinsip (al-Qur'an) yang paling mendasar tersebut.
Sebagaimana keempat tujuan ini terus terlihat di keseluruhan (al-Qur'an al-Karim),[3] demikian pula ia termanifestasi di surah demi surah. Bahkan, terkadang ia disinggung di frasa demi frasa, malah kadang-kadang ia terlambangkan dalam kata demi kata. Sebab, setiap bagian demi bagian layaknya seperti cermin bagi keseluruhan demi keseluruhan yang naik seterusnya ke atas, sebagaimana keseluruhan terus terlihat di setiap bagian demi bagian secara berturut-turut.
Dikarenakan nuktah inilah -- maksud saya, kesertaan bagian (juz') pada keseluruhan (kull) -- maka al-Qur'an dikenal sebagai (kitab) yang diberi kekhasan (musyakhkhash)[4] sebagaimana totalitas (kull) memiliki bagian-bagian (juz'iyyât).
Jika engkau bertanya: Tunjukkan padaku keempat tujuan ini dalam الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh dan الْحَمْدُ لِلَّه ﴾ ﴿ -alhamdulillâh.
Saya jawab: Karena الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh diungkapkan untuk mengajari hamba-Nya, sebetulnya terdapat kata "قُل - qul" (katakanlah)[5] yang tersirat di dalamnya, dan pada dasarnya itu tersirat di semua kata-kata al-Qur'an.[6] Berdasarkan ini, di dalam "قُل - qul" terdapat isyarat pada kenabian.
Di dalam الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh terdapat pertanda ketuhanan.
Di awalan preposisi "ba’" pada الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh terdapat tanda tauhid.[7]
Di kata ﴾الرَّحْمَنِ﴿- al-rahmân (Maha Pengasih) terkandung kiasan mengenai sistem keadilan ('adâlah) dan kebaikan (ihsân).
Di kata ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm (Maha Penyayang) terdapat petunjuk mengenai kebangkitan kembali (hasyr).
Demikian juga, dalam لِلَّه ﴾ الْحَمْدُ ﴿- alhamdulillâh terdapat indikasi mengenai ketuhanan (ulûhiyyah); sementara pada "lâm" spesifikasi ("li" pada "li-llâh")[8] terkandung pertanda mengenai tauhid.
Di dalam "Rabb al-'âlamîn" tersimpan petunjuk mengenai keadilan, dan juga kenabian. Sebab, melalui para rasul berlangsung pendidikan pada spesies manusia.
Di dalam "Mâlik yawm al-dîn" terkandung pernyataan eksplisit tentang kebangkitan kembali.
Bahkan kerangka ﴾إنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ﴿- innâ a'thaynâka 'al-kawtsar, misalnya, mengandung mutiara (keempat tujuan utama al-Qur'an) ini. Engkau dapat melanjutkan cara pemberian contoh yang sama (untuk ayat-ayat yang lain).
الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh, seperti matahari, menerangi dirinya dan orang lain, serta berdiri sendiri[9]. Dengan demikian, kata "bi" yang ada padanya berkaitan dengan kata kerja yang tersirat dalam maknanya; yakni, "Aku memohon pertolongan kepadanya."
[1] Yakni, memiliki keistimewaan dan kekhasan. Lihat, al-Lisan (Miz) 5/412.
[2] Jawaban atas ungkapan, "lamma (sebab, ketika manusia)." (Penulis)
[3] Kemukjizatan terjelma dalam al-Qur'an dengan melihatnya sebagai satu keseluruhan yang utuh.
[4] Maksudnya, mushaf mulia. Penulis sering menggunakan istilah al-musyakhkhash dalam konteks kejadian, maujud, atau pelaksana.
[5] Jadi, kalimat tersirat itu lengkapnya: "Katakanlah: 'Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm'."
[6] Yakni: Wahai Muhammad, katakanlah perkataan ini, dan ajarilah manusia. (T: 13)
[7] Berguna untuk meringkas kata. (T: 13)
[8] Spesifikasi (ikhtishâsh): salah satu makna "lâm." Ibnu Sayyidah mengatakan, "lâm" terbagi lima makna: lâm al-ikhtishash (spesifikasi), lam al-mulk (kepemilikan), lâm al-istighâtsah (permohonan), lâm al-'illah (sebab), lam al-'aqibah (akibat). Lam di tulisan ini mengacu pada satu makna, yaitu spesifikasi. Misalnya, ucapan anda, "alhamdu lillâh,""al-qudrah lahû," semua ini mengacu pada makna spesifikasi, sebab maknanya tercakup di dalam lingkup bagian-bagian." Lihat al-Mukhashshas 4/228.
[9] Lihat tentang hal itu di Tafsir al-Qurthubi 1/50.
12. Page
Atau, kata "bi" berkaitan dengan arti yang biasanya dipahami untuk itu, yakni, "Aku bersumpah dengannya."
Atau kata "bi" berkaitan dengan "قل- qul" implisit, yang mengharuskan "Iqra'" (bacalah) yang diakhirkan [1] untuk menunjukkan keikhlasan dan tauhid.[2]
Adapun "الاسم - al-ism" (nama), ketahuilah bahwa Allah memiliki nama-nama yang berkaitan dengan Dzat-Nya, dan nama-nama yang berkaitan dengan berbagai macam tindakan-Nya, seperti "al-Razzâq" (Yang Memberi Rizki), "al-Muhy" (Yang Menghidupkan), "al-Mumît" (Yang Mematikan), dan sebagainya. Nama-nama itu beragam dan banyak disebabkan banyaknya hubungan qudrat azali-Nya dengan berbagai jenis makhluk.[3] Seolah-olah الله ﴾ بِسْمِ ﴿-bismillâh merupakan doa untuk memohon pengaruh dan hubungan qudrat ilahi, agar hubungan tersebut dapat menjadi spirit yang membantu hamba dalam berusaha.
الله - Allâh, suatu lafal keagungan (lafdz al-jalâl), merupakan ringkasan komprehensif dari semua sifat kesempurnaan, karena berimplikasi harus menunjuk pada-Nya,[4] sesuai dengan rahasia bahwa sifat-Nya harus memiliki implikasi pada Dzat-Nya, tidak seperti kata benda lain yang tidak harus memiliki implikasi (dari sifatnya).
الرَّحْمنِ الرَّحِيم- al-Rahmân al-Rahîm (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Aspek Nadzam:
Lafal Keagungan ilahi (al-jalâl), sebagaimana darinya menjelma keagungan dengan urutannya, demikian juga Keindahan ilahi (al-jamâl) tampak bermunculan dengan urutannya dari ﴾الرَّحْمنِ الرَّحِيم﴿- al-rahmân al-rahîm (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang). Sebab, Keagungan dan Keindahan merupakan dua sumber, yang darinya -- melalui penjelmaan keduanya di setiap alam -- muncullah cabang-cabang secara berurutan: seperti perintah (amr) dan larangan (nahy), pahala (tsawâb) dan siksa ('iqâb), bujukan (targhîb) dan ancaman (tarhîb), penyucian (tasbîh) dan pujian (tahmîd), dan rasa takut (khawf) dan harapan (rajâ'), dan sebagainya.
Juga, sebagaimana lafal al-Jalâl merupakan isyarat pada sifat yang identik dengan Dzat-Nya[5] dan menunjukkan kebebasan-Nya dari cacat[6] (al-shifât al-'ayniyyah wa al-tanzîhiyyah), demikian pula ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm (Yang Maha Penyayang) merupakan petunjuk pada sifat yang selain Dzat-Nya dan berkaitan dengan perbuatan (al-shifât al-ghayriyyah al-fi'liyyah).[7]
[1] Mengenai konteks diakhirkannya kata kerja tersirat di "basmalah," lihat Mafatih al-Ghayb 1/90.
[2] Kata kerja yang telah disebutkan, yang berkaitan dengan kata "ba’", diberi makna tersirat yang diakhirkan agar memuat makna keikhlasan dan tauhid. (T: 14)
[3] Yakni, disebabkan hubungan dan kaitan qudrat azali dengan berbagai macam makhluk dan individunya. (T: 14)
[4]Dilâlah al-iltizâm, maksudnya, hendaknya lafal itu memiliki makna, dan makna ini memiliki implikasi dari luar. Ketika pemahaman konteks lafal dari lafal memindahkan pikiran dari konteks lafal ke implikasinya, meskipun perpindahan pikiran ini sebetulnya tidak ada, maka implikasi tersebut tak akan dapat dipahami. Lihat al-Ahkam karya al-Amidi 1/6.
[5] Makna-makna yang menunjuk pada kesempurnaan dan kebesaran. Allah Yang Maha Agung bersifatkan makna-makna itu, dan mustahil bersifatkan yang sebaliknya karena sifat kebalikannya itu cacat. Misalnya, pengetahuan, qudrat, kebesaran, dan lain sebagainya. Juga, di antaranya, sifat-sifat informatif (al-shifat al-khabariyyah) yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi bukan ditunjukkan oleh akal, seperti wajah dan tangan. Lihat al-Ta'rifat 175.
[6] Sifat-sifat yang maknanya merupakan penafian sifat yang sebaliknya, dari Allah S.w.t. Ia menafikan segala bentuk kekurangan dari Allah S.w.t. Di antara sifat tanzihiyah, seperti "kekal" (baqa') yang kita katakan. Dengan kata demikian, kita menafikan "kefanaan" dari Allah S.w.t. Lihat Ushul al-Din karya Jamaluddin Ahmad bin Muhammad al-Ghaznawi al-Hanafi 63, al-Ghayb karya al-Razi 1/117, al-Furuq karya al-Qarafi 3/83, Dustur al-'Ulama' 1/280, Ayat al-Asma' wa al-Shifat karya Muhammad Amin al-Syinqithi 17.
[7] Sifat yang berhubungan dengan kehendak dan qudrat-Nya. Jika berkehendak, Dia melakukannya, dan jika tidak bekerhendak, Dia tidak melakukannya. Maka dimungkinkan Dia bersifat dengannya atau dengan kebalikannya. Misalnya, menghidupkan, mematikan, menciptakan, memberi rizki. Lihat al-Ta'rifat 175.
13. Page
Adapun ﴾الرَّحْمنِ﴿- al-rahmân (Yang Maha Pengasih), itu menunjukkan tujuh sifat yang tidak identik dengan atau selain Dzat-Nya (lâ 'ain wa lâ ghayr).[1] Dan ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm memiliki makna Pemberi rezeki (al-Razzâq), yakni bermakna memberikan kekekalan. Kekekalan adalah pengulangan eksistensi; eksistensi memerlukan sifat yang membedakan, sifat yang mengkhaskan, dan sifat yang berpengaruh, yaitu Pengetahuan, Kehendak, dan Qudrat. Kekekalan, yang merupakan hasil dari pemberian rezeki, memerlukan kepastian Penglihatan, Pendengaran, dan Pembicaraan. Sebab, Pemberi rezeki harus memiliki penglihatan untuk melihat kebutuhan si penerima rezeki jika ia tidak meminta; Dia harus memiliki pendengaran agar bisa mendengarkan perkataan si penerima rezeki jika ia meminta; dan Dia memiliki pembicaraan untuk berbicara melalui perantara jika ada. Keenam (sifat) ini memerlukan (sifat) ketujuh, yaitu Kehidupan.
Jika engkau bertanya: Didahulukannya ﴾الرَّحْمنِ﴿- al-rahmân, yang menunjukkan nikmat yang besar, terhadap ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm, yang menunjukkan nikmat yang kecil-kecil,[2] merupakan seni penurunan dari besar ke kecil (shan'at al-tadallî), sementara balaghah mengharuskan pendakian dari yang terendah ke yang tertinggi (shan'at al-taraqqî)?
Saya jawab: Kata yang terakhir ditambahkan ke kata sebelumnya dimaksud untuk menyempurnakannya, seperti alis melengkapi mata dan tali kekang untuk kuda.
Demikian pula, ketika yang besar tergantung pada yang kecil-kecil, maka yang kecil-kecil menjadi lebih unggul, seperti anak kunci bagi kunci dan lisan untuk jiwa.
Selanjutnya, konteks ini (maqâm) menjadi satu hal yang memberikan perhatian pada karunia ketimbang menyebutkannya atau membangkitkan rasa syukur atasnya, untuk mengingatkan pembaca terhadap fakta ini karena yang paling tersembunyi lebih tepat untuk diberi perhatian. Jadi seni penurunan dari besar ke kecil yang berupa, dalam konteks ini, penyebutkan nikmat dan pembangkitan rasa syukur atasnya, menjadi seni menaikkan dari yang kecil ke yang besar ketika memperingatkan pikiran padanya dan menunjukkannya.
Jika engkau bertanya:﴾الرَّحْمنِ﴿- al-rahmân dan ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm atau yang semacamnya berikut konsep-konsepnya, mustahil digunakan untuk Allah sebagai konsep kelembutan hati. Jika apa yang dimaksud dengan ini adalah hasil akhirnya,[3] yang di sini berupa pemberian nikmat, apa hikmah dari ungkapan metafora (majâz)[4] semacam itu?
Saya jawab: Alasannya adalah hikmah ayat-ayat alegoris (mutasyâbihât).[5] Yaitu, segala yang diturunkan oleh Allah (tanzîlât) ke otak manusia; membuat sesuatu cocok dengan pikiran dan merangsang pemahaman, seperti berbicara dengan seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kebiasaannya dan yang akrab dengannya. Khalayak umum mengumpulkan informasi mereka melalui indera, dan mereka melihat kebenaran semata-mata hanya di cermin apa yang mereka bayangkan akan terjadi dan dari sudut pandang kebiasaan mereka.
Selain itu, tujuan dari kalimat ini adalah untuk menyampaikan makna, dan ini tidak akan tercapai kecuali dengan mempengaruhi hati dan emosi, dan dengan membungkus kebenaran dalam gaya yang akrab dengan orang yang dituju; dengan cara ini hatinya siap untuk menerimanya.
[1] Sifat yang tujuh adalah: Pengetahuan, kehendak, qudrat, kehidupan, pembicaraan pribadi, pendengaran, dan penglihatan. Lihat al-Maqshad al-Asna 1/160, al-Furuq 2/350.
[2] Mengenai al-Rahmân yang menunjukkan nikmat yang besar, dan al-Rahîm yang menunjukkan nikmat yang kecil-kecil, lihat penjelasannya di Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi 1/11, al-Kasysyaf 1/51. Soal-jawab tentang hal ini dikemukakan dalam al-Kasysyaf, selain di Mafatih al-Ghayb 1/189, al-Lubab fi 'Ulum al-Kitab 1/148.
[3] Yakni, maksud pemberian nikmat yang merupakan hasil dan kemestian dari makna hakekatnya. (T: 16)
[4] Maksud majâz di sini adalah ungkapan mengenai Allah yang menyerupakan-Nya dengan manusia.
[5] Maksudnya, kesamaan hasilnya. Di (T: 16): Mustahil penggunaan maknanya yang sebenarnya bagi Allah S.w.t, seperti tangan.